Dampak Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkunga Di Jawa Barat

(1)

LINGKUNGAN DI JAWA BARAT

ATIH ROHAETI DARIAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN DI JAWA BARAT

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juni 2007

Atih Rohaeti Dariah Nrp. A 546014011/EPN


(3)

Terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat (BUNASOR SANIM sebagai

Ketua, HERMANTO SIREGAR dan PARULIAN HUTAGAOL sebagai

Anggota Komisi Pembimbing).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap degradasi lingkungan, mengevaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara, menganalisis dampak dari degradasi lingkungan terhadap kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, melakukan simulasi ramalan kebijakan pembangunan berkelanjutan di Jawa Barat tahun 2007-2010.

Untuk menemukan jawaban dari tujuan penelitian ini, dibangun model makroekonomi lingkungan yang terdiri dari 12 persamaan struktural dan 8 identitas, dilakukan survei untuk mengumpulkan informasi tentang eksistensi hak kepemilikan, persepsi dan sikap pengusaha serta rumahtangga terhadap kebijakan lingkungan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan perilaku antara lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara ketika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan serta hak kepemilikan. Lahan kritis per kapita lebih ditentukan oleh kemiskinan dan ketimpangan pendapatan karena tekanan jumlah penduduk dan pengangguran. Sedangkan pencemaran air dan udara lebih ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan proses industrialisasi di Jawa Barat. Dalam kasus lahan kritis milik masyarakat hak kepemilikan terdefinisikan dengan baik, hanya di lahan kritis milik pemerintah

tidak terpenuhi karakteristik enforceability. Sedangkan air dan udara bersifat open

access yang menimbulkan peluang besar terjadinya over eksploitasi. Efektivitas kebijakan penanganan lahan kritis sangat tergantung pada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sementara regulasi aturan baku mutu limbah cair dan emisi (CAC) cenderung tidak ditaati karena unit pengolah limbah menaikan biaya produksi, limbah terserap air, tidak ada sanksi, dan tidak ada peluang kerjasama mengatasi pencemaran. Berdasarkan simulasi historis terbukti bahwa meningkatnya degradasi lingkungan telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Luas lahan kritis per kapita memberikan dampak buruk yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan dengan pencemaran air dan udara. Berdasarkan simulasi ramalan 2007-2010 diperoleh kebijakan pembangunan berkelanjutan yakni pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor jasa, diikuti dengan kebijakan perbaikan distribusi pendapatan, penurunan laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kepedulian lingkungan

Kata kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, Hak Kepemilikan, Degradasi Lingkungan


(4)

Environmental Degradation in West Java Province (BUNASOR SANIM as

chairman, HERMANTO SIREGAR and PARULIAN HUTAGAOL as

members of the advisory committee)

The purpose of research is to analyze impact of economic growth and poverty on environmental degradation, evaluate existence and implementation of environmental policies of critical land, water and air pollution, analyze impact of environmental degradation on sustainable development achievement, simulate of sustainable development policies for West Java Propince in 2007-2010.

This rersearch would be approached by econometric model consist of twenty equations with simulation technique. In addition, field survey to elaborate perception and attitude to environment of related firm and household. Model incorporated economic growth, poverty, environmental awarness and policies.

The results indicated that there are different behaviour among critical land, water and air pollution in which relationship with economic growth, poverty and property rights. Private critical land more responsive to inequality income and poverty due to the high of population growth and unemployment. In the other hand water and air pollution more responsive to economic growth as well as industrialization process. There is well defined property rights in critical private land case, only in critical state land less enforceability. But, is not well defined property rights in air and water. Effectiveness rehabilitation of land critical policies depend on social welfare. While regulation of liquid waste and emission standard tend did not obey because of increased cost of waste treatment, assimilation capacity, no sancsion, no opportunities to reduce air dan water pollution together. Based on historical simulation proved that increased of environmental degradation had decreased economic growth and increased poverty. Critical land per capita had bigger bad effect to economy than air and water pollution. Based on forcast simulation indicate that sustainable development policies are services bias economic growth pattern, equalization of income distribution, decrease of population growth and increase awareness of environmental.

Key Words: Economic Growth, Poverty, Property Rights, Environmental


(5)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, hak cetak, foto


(6)

LINGKUNGAN DI JAWA BARAT

ATIH ROHAETI DARIAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Nama Mahasiswa : Atih Rohaeti Dariah

Nomor Pokok : A 546014011

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. Ketua

Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(8)

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1968 di Sumedang, putri ketiga dari tiga bersaudara dari Bapa H. Ase Suhana dan Ibu Hj. Usih Sukaesih. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cibeureum I Sumedang pada tahun 1981, pada tahun 1984 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMPN Legok Sumedang, pada tahun 1987 menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN I Sumedang. Pada tahun 1992 menyelesaikan pendidikan sarjana sebagai sarjana ekonomi pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung dengan judul skripsi ‘Analisis Tingkat Persaingan Antar Developer Dalam Industri Perumahan di Indonesia’.

Pada tahun 1993 diterima sebagai dosen tetap di Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung. Pada tahun 1999 memperoleh gelar Magister Sain pada Program Pascasarjana Bidang Kajian Utama Ilmu Ekonomi dan Akuntasi Universitas Padjadjaran Bandung dengan judul tesis ‘Pengaruh Ekolabeling Terhadap Ekspor Kayu Lapis Indonesia Di Pasar Internasional’. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pada program S3 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selain mengajar penulis aktif melakukan penelitian tentang perekonomian Jawa Barat dengan Bank Indonesia Bandung dan BAPEDA Propinsi Jawa Barat.

Penulis telah menikah dengan Sutrisno Setiawan sejak tahun 1991 dan dikarunia seorang putri Rajab Cipta Lestari (14 tahun).


(9)

limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini dibuat sebagai syarat bagi penyelesaian studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat, yang membahas degradasi lingkungan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, kebijakan dan kepedulian lingkungan. Melalui hasil estimasi dari model makroekonomi lingkungan yang sudah dibangun dan temuan hasil survei maka dapat digambarkan bagaimana hubungan satu sama lain diantara variabel tersebut, bagaimana kinerja pertumbuhan ekonomi dan implementasi kebijakan selama ini, sehingga dengan mensintesi seluruh temuan tersebut dicoba dikembangkan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan yang diungkapkan masih

bersifat grand policies, sehingga penulis menyarankan penelitian berikutnya

untuk menurunkan kebijakan pada tataran yang lebih detil.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada keluarga yakni orang tua, suami dan anak yang telah mendukung penuh penulis untuk mengikuti studi doktor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. selaku ketua komisi pembimbing yang

dengan penuh perhatian memberikan masukan untuk menjaga konsistensi redaksional dan substansi penulisan disertasi ini, meyakinkan penulis bahwa setiap penelitian memiliki pendekatan dan keunggulan tertentu sekalipun obyeknya sama.


(10)

perluasan analisa.

3. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS. selaku anggota komisi pembimbing yang

dengan penuh perhatian mengarahkan dalam menstruktur isu, mensintesa temuan baik hasil estimasi maupun hasil survei sehingga tampak esensinya.

4. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberi kesempatan

kepada penulis untuk menempuh jenjang Program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

5. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA yang telah memberikan kesempatan untuk

diskusi mempertajam model dalam penelitian ini dan juga sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang banyak memberikan motivasi selama menjalani jenjang Program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

6. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup

yang telah memberikan masukan yang konstruktif.

7. Prof. Dr. Armida Alisjahbana, SE., MA dan Dr. Ir. Agus Rahmat, MT selaku

penguji luar komisi pada saat ujian terbuka yang telah memberikan masukan untuk mempertajam arah dan isi penelitian ini.

8. Rektor Universitas Islam Bandung, Dekan Fakultas Ekonomi, Ketua Program

Studi Ilmu Ekonomi yang telah mengijinkan dan membiayai penulis dalam mengikuti jenjang Program Doktor.


(11)

yang positif sebagai akademisi.

10.Staf administrasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sekolah

Pascasarjana IPB yang telah membantu kelancaran administrasi selama kuliah.

11.Rekan-rekan Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian terutama Mba Poer yang

selalu memberikan semangat, Yuhka dan Pa Rasidin yang banyak membantu penyempurnaan disertasi.

12.Eka dan Andi yang telah membantu survei lapangan kepada beberapa

perusahaan dan rumahtangga.

13.BPLHD dan BAPEDA Jawa Barat, Bank Indonesia Bandung yang banyak

memberi kesempatan untuk diskusi dan memberikan informasi yang terkait dengan disertasi ini.

14.Karyawan SOS Kinderdorf Lembang terutama Mas Kardi yang sejak awal

penulis kuliah di IPB sampai selesainya dengan sabar sering mengantar ke Bogor.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih ada beberapa kekurangan yang akan ditemui oleh pembaca. Harapan penulis disertasi ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca, dan atas kritikan yang membangun penulis ucapkan terimakasih.

Bandung, Juni 2007 Penulis


(12)

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN LITERATUR ... 14

2.1. Pengertian dan Pengukuran Degradasi Lingkungan ... 14

2.1.1. Proksi Untuk Kualitas Udara ... 16

2.1.2. Proksi Untuk Kualitas Air ... 18

2.1.3. Lahan Kritis ... 20

2.2. Model Pezzey ... 22

2.3. Teori Environmental Kuznet Curve ... 25

2.4. Aspek Sosial-Ekonomi dan Degradasi Lingkungan ... 27

2.4.1. Dampak Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan ... 27

2.4.2. Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Degradasi Lingkungan ... 30

2.5. Degradasi Lingkungan: Wujud Kegagalan Pasar ... 32


(13)

v

2.8. Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya ... 46

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 51

3.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan ... 51

3.2. Degradasi Lingkungan: Aspek Kelembagaan ... 55

3.3. Etika Lingkungan ... 58

IV. METODE PENELITIAN ... 63

4.1. Model Makroekonomi Lingkungan ... 64

4.1.1. Identifikasi dan Pendugaan Model ... 74

4.1.2. Simulasi Kebijakan ... 77

4.2. Metode Survei: Hak Kepemilikan dan Respon Masyarakat Terhadap Kebijakan Lingkungan... 78

4.2.1. Kasus Lahan Kritis ... 78

4.2.2. Kasus Pencemaran Air dan Udara ... 79

4.2.3 Penentuan Sampel ... 80

V. HASIL ESTIMASI DAN VALIDASI MODEL ... 82

5.1. Hasil Estimasi Model Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 82

5.2. Hasil Validasi Model ... 106


(14)

vi

6.1. Pengaruh Kenaikan PDRB ... 111

6.2. Pengaruh Kenaikan Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan ... 115

6.3. Pengaruh Kenaikan Pertumbuhan Penduduk ... 120

6.4. Substansi Hasil Simulasi Historis ... 121

VII. RESPON PELAKU EKONOMI TERHADAP KEBIJAKAN LINGKUNGAN ... 124

7.1. Kasus Lahan Kritis ... 124

7.1.1. Lahan Kritis Milik Masyarakat ... 124

7.1.2. Lahan Kritis Milik Negara ... 129

7.1.3. Keberadaan Kebijakan dan Pelaksanaan Penanganan Lahan Kritis di Dalam dan Luar Kawasan ... 130

7.2. .. Kasus Pencemaran Air ... 144

7.2.1. Pencemaran Air: Realita Open Access ... 144

7.2.2. Keberadaan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air ... 146

7.3. Kasus Pencemaran Udara ... 158

7.3.1. Pencemaran Udara: Eksternalitas Publik ... 158

7.3.2. Keberadaan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara ... 160

VIII. SIMULASI HISTORIS DAMPAK DEGRADASI LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN ... 163

8.1. Pengaruh Kenaikan TDSp dan BODp... 164

8.2. Pengaruh Kenaikan CO dan CO2p ... 166

8.3. Pengaruh Kenaikan Lus Lahan Kritis Per Kapita ... 169


(15)

vii

9.1. Skenario Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan ... 173

9.2. Skenario Kebijakan Kredit Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan ... 178

9.3. Skenario Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk ... 181

9.4. Skenario Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan, Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Peningkatan Kepedulian Lingkungan ... 183

X. ALTERNATIF KEBIJAKAN LINGKUNGAN ... 187

10.1. Kebijakan Pengendalian Luas Lahan Kritis ... 188

10.2. Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air ... 191

10.3. Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara ... 199

XI. SIMPULAN DAN SARAN ... 207

11.1. Simpulan ... 207

11.2. Implikasi Kebijakan ... 208

DAFTAR PUSTAKA ... 211

DAFTAR BACAAN... 217


(16)

1. Ragam Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air... 39

2. Ragam Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara ... 41

3. Ragam Kebijakan Pengendalian Lahan Kritis ... 42

4. Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya ... 48

5. Distribusi Sampel Obyek Penelitian ... 81

6. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Pertanian (AGRO) ... 82

7. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Industri Pengolahan ... 83

8. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Jasa ... 85

9. Distribusi Output dan Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi di Jawa Barat Periode 1973-2005 ... 87

10. Distribusi Pendapatan Diantara Kelompok Rumah Tangga di Jawa Barat Tahun 1999 dan 2002 (Juta rupiah) ... 88

11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Gini Ratio ... 89

12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tingkat Kemiskinan .... 90

13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Lahan Kritis Per Kapita ... 92

14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Output Sektor Pertambangan dan Penggalian ... 95

15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Sektor Bangunan ... 95

16. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan TDSp ... 96

17. Daftar Kawasan Industri di Jawa Barat Tahun 2002 ... 98

18. Jumlah dan Jenis Industri Dominan di Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2002 ... 99

19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan BODp ... 101


(17)

ix

23. Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi dari Data Aktual dan

Prediksi ... 108

24. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB 1%, 2% dan 3%

Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat ... 112

25. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB 1% Terhadap

Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Jika Kemiskinan dan

Ketimpangan Pendapatan Tetap ... 114

26. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan 0.5% dan

Ketimpangan Pendapatan 0.02 Terhadap

Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 116

27. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan 0.5% dan

Ketimpangan Pendapatan 0.02 Terhadap

Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Jika PDRB Tetap ... 118

28. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Pertumbuhan Penduduk

0.15% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 121

29. Perbedaan Substansi UU Pengelolaan LH Antara No 4 Tahun

1982 Dengan No 23 Tahun 1997 ... 134

30. Distribusi Sampel Survei Persepsi dan Sikap Pengusaha dan

Rumahtangga Terhadap Eksistensi Sungai dan Kebijakan

Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat ... 148

31. Tingkat Responsif Pengusaha dan Rumahtangga Terhadap

Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat ... 150

32. Tingkat Responsif Industri Terhadap Kebijakan Pengendalian

Pencemaran Udara di Jawa Barat ... 161

33. Simulasi Historis Dampak Kenaikan TDSp 2%, BODp 1% dan

BODp 2%, TDSp 4% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 165

34. Simulasi Historis Dampak Kenaikan CO 2%, CO2p 1% dan

CO 4%, CO2p 2% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan

Jawa Barat ... 167

35. Simulasi Historis Dampak Kenaikan LKp 1%, 2%, 3%


(18)

x

37. Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Kredit

Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan Terhadap

Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 180

38. Simulasi Ramalan Dampak Peningkatan Kebijakan Kredit

Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Laju Laju Pertumbuhan Penduduk Terhadap

Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 182

39. Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Pembangunan

Berkelanjutan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa

Barat ... 184

40. Klasifikasi Instrumen Dalam Matrik Kebijakan ... 188


(19)

Nomor Halaman

1. Data yang Digunakan Dalam Penelitian ……….………….221

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air ...229

3. Peraturan Pemerintah Indonesia No 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara ...253

4. Kuesioner Untuk Pemilik Lahan... 278

5. Kuesioner Untuk Pejabat yang Terkait Dengan Lahan Kritis ... 280

6. Kuesioner untuk Perusahaan yang Menghasilkan Limbah Cair ...283

7. Kuesioner untuk Perusahaan yang Menghasilkan Limbah Gas ...287

8. Kuesioner untuk Rumahtangga ...291

9. Program dan Hasil Simulasi Dasar PDRB Eksogen ...295

10. Program dan Hasil Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB 1%...301

11. Program dan Hasil Simulasi Dasar Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan...307 12.


(20)

1.1. Latar Belakang

Dilihat dari distribusi outputnya, sejak tahun 1993 struktur perekonomian Jawa Barat telah mengalami pergeseran dari dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri pengolahan. Pada tahun 1993 peranan sektor pertanian terhadap PDRB tercatat sebesar 20.51 persen turun menjadi 12.85 persen pada tahun 2005. Sebaliknya peranan sektor industri pengolahan terhadap PDRB mengalami perkembangan yang cukup pesat dari 22.81 persen tahun 1993 menjadi 41.18 persen tahun 2005 (BPS Jawa Barat). Selama krisis ekonomi pun persentase kontribusi ini relatif tetap. Perkembangan sektor industri pengolahan diikuti oleh semakin berkembangnya sektor tersier, khususnya di bidang perdagangan dan jasa-jasa. Berdasarkan proporsi sektor industri pengolahan yang di atas 30 persen, maka menurut klasifiaksi United Nation Industrial Development Organization (UNIDO), Provinsi Jawa Barat termasuk wilayah industri (Bapeda Jabar, 2002). Perubahan struktural pada hakikatnya menunjukan bahwa selama pertumbuhan ekonomi berlangsung terjadi perbedaan dalam laju pertumbuhan produksi dari setiap sektor. Dengan demikian pertumbuhan sektor industri pengolahan di Jawa Barat lebih tinggi dari sektor pertanian.

Tahapan pembangunan yang berhasil dilampaui Jawa Barat telah berdampak pada meningkatnya PDRB per kapita. Sejak tahun 1974 sampai tahun 1997 PDRB per kapita riil Jawa Barat meningkat terus. Pada tahun 1974 yang hanya sebesar 1.13 juta rupiah (harga konstan tahun 2000), pada tahun 1997 sudah sebesar 4.8 juta rupiah. Nilai PDRB/kapita turun drastis menjadi 3.75 juta rupiah


(21)

ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1998 (BPS Jawa Barat). Selama periode pemulihan peningkatan PDRB per kapita riil Jawa Barat relatif rendah dibandingkan periode sebelumnya karena pertumbuhan ekonomi melambat sementara laju pertumbuhan penduduk relatif tetap.

Perubahan distribusi output ekonomi Jawa Barat ternyata tidak diikuti oleh perubahan struktur tenaga kerjanya secara proporsional. Terdapat kecenderungan proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian semakin menurun, namun penurunannya relatif lambat. Dampak krisis ekonomi justru meningkatkan proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian dan menurunkan proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor industri pengolahan dan jasa. Data terakhir tahun 2005 proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian sebesar 31.23 persen, di sektor industri pengolahan 17.89 persen dan sisanya tersebar di sektor-sektor ekonomi lainnya. Sedangkan pangsa output sektor pertanian terhadap PDRB hanya 12.85 persen, sementara pangsa output sektor industri pengolahan sudah 41.18 persen (BPS Jawa Barat).

Ketimpangan antara dominasi output dan tenaga kerja secara eksplisit memperlihatkan perbedaan produktivitas yang mencolok diantara dua sektor ekonomi ini. Menurut Hayami (2001), perbedaan produktivitas tersebut selanjutnya akan berdampak pada perbedaan pendapatan kelompok masyarakat pertanian dengan masyarakat industri yang menjadi sumber terjadinya ketimpangan pendapatan dan kemiskinan.

Namun ternyata tingkat kemiskinan terus turun seiring dengan pertumbuhan ekonomi, sementara angka Gini Ratio (GR) cenderung berfluktuatif. Pasca krisis ekonomi ukuran kedua variabel tersebut jadi memburuk. Kondisi


(22)

terakhir tahun 2005 angka GR sebesar 0.34 dan persentase penduduk miskin mencapai 28.29 persen ketika ekonomi hanya tumbuh 5.31 persen sementara jumlah penduduk sudah mencapai 39.96 juta jiwa (BPS Jawa Barat).

Selain masalah ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, seiring dengan tahapan pembangunan yang dilampaui, Jawa Barat pun dihadapkan pada masalah lingkungan yang semakin serius. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat sudah melakukan identifikasi terhadap seluruh permasalahan lingkungan di Jawa Barat yang dapat dikelompokan sebagai

berikut. Pertama, masalah degradasi sumberdaya alam khususnya air dan lahan.

Deplesi sumber air mencakup air permukaan dan air bawah tanah, kuantitas dan kualitasnya sehingga akses masyarakat terhadap air bersih terutama di perkotaan

semakin sulit. Kedua, kerusakan hutan semakin meluas baik hutan pegunungan

maupun hutan pantai. Selama periode 1994 - 2000 telah terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan kawasan lindung sekitar 12.9 persen. Kondisi terbesar dari penyimpangan tersebut terutama disebabkan adanya alih fungsi pada kawasan hutan dan kawasan resapan air. Dari tahun 1994 sampai 2000, hutan lindung berkurang sekitar 106 851 ha (24 persen), sementara hutan produksi berkurang sekitar 130 589 ha (31 persen). Pesawahan dalam periode ini telah diubah menjadi lahan bukan pesawahan seluas kurang lebih 165 903 ha (17 persen). Wilayah hutan yang sebelumnya 791 571 ha (22 persen dari daratan Jawa Barat) ternyata penutupan vegetasi hutannya tinggal 9 persen atau sekitar 323 802 ha pada tahun 2000. Kondisi ini diikuti dengan bertambahnya luas lahan kritis. Hutan mangrove telah mengalami kerusakan berat akibat konversi menjadi area pertambakan,


(23)

masalah sampah dan pencemaran baik pencemaran air, udara maupun tanah yang penyebarannya sudah cukup meluas.

Semua sungai di Jawa Barat dan wilayah-wilayah perkotaan Bogor, Depok, Bekasi, Bandung dan Cirebon tidak cocok untuk pemakaian langsung. Kebanyakan kontaminasi sungai tersebut berasal dari limbah domestik yang langsung masuk ke sungai (BPLHD, 2003). Dari 146 lokasi pengukuran di anak-anak Sungai Citarum hanya terdapat 2 titik sampling (1.4 persen) yang memenuhi baku mutu B:C:D, sedangkan 144 lainnya (98.6 persen) tidak memenuhi baku mutu air B:C:D (peruntukan untuk air baku air minum, perikanan dan peternakan, pertanian dan lain-lain) sebagaimana Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 39/2000. Adapun kedua titik sampling yang memenuhi baku mutu B:C:D adalah masing-masing satu terletak di Sungai Cibuniherang yakni ruas Gunung Wayang-Jembatan Majalaya dan di Sungai Cisaranten Hulu (Wangsaatmadja, 2003).

Beberapa parameter yang tidak memenuhi persyaratan baku mutu B:C:D

dari ketiga pembagian ruas sungai adalah Chemical Oxigen Demand (COD),

Biological Oxigen Demand (BOD), Dissolved Oxigen (DO), koliform tinja, total koliform, minyak dan lemak, nitrit, nitrat, amoniak bebas, fenol, timbal, mangan, boron, flourida, presentase natrium, pH, zat padat terlarut, seng.

Demikian halnya dengan pencemaran udara semakin memprihatinkan. BPLHD Jabar telah mencatat nilai tertinggi harian Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) setiap bulan antara tahun 2000 hingga tahun 2003 di Kota Bandung.

Data-data menunjukan parameter kritis pada saat itu adalah PM10 dan ozon.


(24)

mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 di Kota Bandung hanya terdapat 55 hari yang tergolong sehat (BPLHD Jabar, 2004).

Kerusakan lingkungan yang dicerminkan oleh lahan kritis, pencemaran air, dan pencemaran udara menyangkut kemampuan daya dukung lingkungan untuk menyangga aktivitas manusia. Meluasnya lahan kritis telah menimbulkan dampak negatif berupa banjir ketika musim hujan dan kekeringan ketika musim kemarau karena hilangnya fungsi lahan sebagai tataguna air.

Valuasi ekonomi yang dilakukan oleh BPLHD Jabar menunjukan bahwa kerugian ekonomi akibat tidak cukupnya pasokan air bersih untuk rumahtangga mencapai 331.267 milyar rupiah, untuk industri 55.01 milyar rupiah, untuk pemerintah 7.6 milyar rupiah. Turunnya produksi pertanian karena kekeringan sebesar 180.01 milyar rupiah, sedangkan luas tanaman yang rusak karena banjir dan kekeringan mencapai 480 milyar rupiah (BPLHD Jabar, 2004).

Demikian halnya dampak dari air sungai yang tercemar, tidak hanya pada kesehatan masyarakat yang langsung bersentuhan dengan sungai namun juga terhadap tanaman padi dan perikanan. Kondisi penyakit akibat bawaan air di Cekungan Bandung: diare, penyakit yang terjadi di lokasi hulu-hilir di sungai Citarum (Wangsaatmadja, 2003). Berkurangnya hasil panen padi di area persawahan di Bandung Selatan karena tercemarnya air sungai yang mengairi persawahan oleh limbah industri dan kegagalan panen ikan di Cirata, Karawang dan Subang (BI Bandung, 2005).

Sementara dampak dari pencemaran udara karena padatnya transportasi yang banyak terjadi di daerah perkotaan dapat menimbulkan gangguan sistem pernafasan dan turunnya tingkat kecerdasan. Hasil penelitian menunjukan bahwa


(25)

di dalam darah anak-anak sekolah dasar yang terletak di pusat Kota Bandung telah mengandung timbal yang sangat membahayakan untuk perkembangan ke depannya (Lestari, 2004).

Degradasi lingkungan baik lahan kritis, pencemaran air maupun pencemaran udara yang dapat mengancam keberlanjutan pembangunan tidak mungkin dibiarkan. Artinya, perlu dicari jalan keluar atau solusi untuk mengatasi lahan kritis dan mencegah tingkat pencemaran air dan pencemaran udara yang lebih parah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mencermati faktor-faktor penyebab degradasi lingkungan yang dihadapi Jawa Barat dan mendapatkan solusi pemecahannya agar Jawa Barat dapat mencapai pembangunan berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Kebijakan industrialisasi nasional pada pertengahan tahun 1980 an telah menempatkan Jawa Barat sebagai tujuan utama investasi asing maupun domestik, sehingga Jabar telah menjadi wilayah industri sejak tahun 1993, lebih cepat dari nasional. Pangsa sektor industri pengolahan pada tahun 2005 sudah mencapai 41 persen, bandingkan dengan nasional yang masih 28 persen (BPS Jawa Barat).

Teori Environment Kuznet Curve (EKC) yang mengaitkan antara

pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan memperkirakan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang berbasis sektor industri pengolahan dengan degradasi lingkungan memiliki hubungan yang searah. Artinya, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi seiring dengan proses industrialisasi semakin besar degradasi lingkungan yang terjadi.


(26)

Namun selanjutnya Teori EKC memprediksikan bahwa setelah mencapai titik tertentu, setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi dimana perekonomian sudah bergeser didominasi sektor jasa justru dapat menurunkan degradasi lingkungan. Semakin tinggi pendapatan masyarakat, permintaan terhadap lingkungan yang berkualitas semakin besar, sehingga akan terjadi titik balik pada tingkat pendapatan tertentu dari hubungan yang searah menjadi tidak searah.

Dari sekian hasil studi empiris menunjukan titik balik terjadi pada angka pendapatan per kapita riil berkisar antara $1 200 - $16 000. Dengan interval yang begitu besar berarti titik balik tersebut tidak bersifat unik atau tidak pasti pada tingkat pendapatan berapa titik balik terjadi. Hal ini terkait erat dengan tipe degradasi lingkungan yang dikaji apakah deforestasi, lahan kritis, indikator pencemaran air atau pencemaran udara.

Lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara secara fisik memiliki karakteristik kerusakan yang berbeda karena menyangkut obyek yang berbeda yakni lahan, air yang mengalir dan udara yang bergerak. Oleh karena itu diduga terdapat perbedaan perilaku diantara ketiganya ketika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu dilihat dari masalah hak kepemilikan terdapat perbedaan pula antara lahan kritis yang dimiliki pemerintah dan pribadi dengan pencemaran air

dan udara yang bersifat open access. Secara teori hak kepemilikan pribadi dapat

menjamin pemanfaatan sumberdaya alam tersebut secara efisien dan berkelanjutan karena keuntungan dan kerugian terkait dengan pemilik. Sebaliknya

sumberdaya alam yang bersifat open access mengundang over eksploitasi karena


(27)

masalah lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara terkait pula dengan ragam hak kepemilikan.

Pada tahun 1998 perekonomian Jawa Barat menghadapi krisis ekonomi sehingga terjadi resesi yang meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian harapan pendapatan yang semakin meningkat untuk memperbaiki kualitas lingkungan menjadi tidak terealisir. Artinya, muncul masalah kemiskinan yang menghambat pencapaian titik balik. Teori EKC tidak mengakomodir kejadian seperti yang dialami oleh Jawa Barat karena prediksi pertumbuhan ekonomi dalam perspektif Teori EKC meningkat terus.

Mengingat antara lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara memiliki karakteristik yang berbeda, perlu diverifikasi pula apakah masalah ketiga indikator degradasi lingkungan tersebut terkait dengan kemiskinan.

Teori EKC pun tidak mampu mengelaborasi mengapa titik balik bisa terjadi untuk kasus negara tertentu dan tipe kerusakan lingkungan tertentu. Kelemahan ini mendorong munculnya pemikiran tentang peran kebijakan lingkungan yang menentukan besarnya titik balik (Anderson, 2001).

Pengendalian degradasi lingkungan mutlak harus dilakukan karena menurunnya daya dukung lingkungan akan menghambat pencapaian pembangunan berkelanjutan. Pemerintah baik pusat maupun daerah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengendalikan lahan kritis, pencemaran udara dan pencemaran air. Kebijakan-kebijakan tersebut lebih bias pada tipe

Command and Control (CAC) yakni kontrol dan awasi. Hal ini menarik pula untuk diteliti apakah tipe kebijakan tersebut sudah sesuai dengan akar


(28)

permasalahan yang terjadi di kasus lahan kritis, pencemaran air, dan pencemaran udara.

Dalam proses pemulihan ekonomi, upaya mengendalikan degradasi lingkungan menjadi kompleks karena pada saat yang bersamaan pemerintah dihadapkan pada masalah kemiskinan yang tinggi. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat dibutuhkan untuk menurunkan kemiskinan. Sementara pertumbuhan ekonomi diduga masih memperburuk kualitas lingkungan. Oleh karena itu menarik untuk dikaji pola pertumbuhan ekonomi yang bagaimana dan kebijakan lingkungan seperti apa yang mendukungnya agar Jawa Barat dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Berdasarkan pemaparan di atas berarti perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah pertumbuhan ekonomi meningkatkan atau menurunkan lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara?

2. Apakah kemiskinan turut memperburuk lahan kritis, kualitas air dan kualitas udara?

3. Apakah masalah lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara terkait pula dengan masalah hak kepemilikan?

4. Bagaimanakah peran kebijakan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara selama ini?

5. Bagaimanakah dampak lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan?

6. Bagaimanakah kebijakan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di Jawa Barat?


(29)

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap lahan

kritis, pencemaran air dan pencemaran udara.

2. Menganalisis masalah hak kepemilikan yang terkait dengan lahan kritis,

pencemaran air dan pencemaran udara.

3. Mengevaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan yang terkait dengan

pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara.

4. Menganalisis dampak lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara

terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.

5. Melakukan simulasi ramalan untuk memilih kebijakan pembangunan

berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi:

1. Pemerintah daerah provinsi Jawa Barat sebagai masukan untuk

penyempurnaan kebijakan pembangunan dalam dimensi ekonomi dan lingkungan.

2. Peneliti berikutnya yang tertarik dengan masalah pembangunan ekonomi yang


(30)

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Untuk kepentingan membangun model dan menganalisis hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan di Jawa

Barat, penelitian ini menggunakan data time series tahun 1974 sampai tahun 2004.

Hubungan timbal balik diantara ketiganya akan dibuktikan melalui simulasi historis. Sedangkan dalam rangka mengevaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara di

Jawa Barat digunakan data cross section yakni informasi hasil survey ke 130

responden. Perpaduan analisa antara hasil simulasi historis tentang hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan dengan hasil evaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan lingkungan akan menjadi landasan mengembangkan kebijakan pembangunan berkelanjutan ke depannya.

Mengingat masalah degradasi lingkungan sangat kompleks baik indikatornya, faktor-faktor penyebab maupun dampaknya maka dalam penelitian akan dibatasi dalam hal-hal berikut:

1. Indikator degradasi lingkungan akan dibatasi pada lahan kritis, polusi udara,

dan polusi air. Untuk lahan kritis ukurannya jelas, yakni luas lahan yang memenuhi kriteria lahan kritis. Sementara untuk polusi udara menyangkut beberapa proksi variabel seperti Carbon Monoksida (CO), Carbon Dioksida

(CO2), Natrium Oxida (NOx), Sulfur Oxida (SOx), Timbal (Pb), Partikulat,

Hidrocarbon. Pemilihan salah satu dari sejumlah proksi yang ada akan mempertimbangkan kontribusi terbesar terhadap tingkat pencemaran udara dan ketersediaan data. Oleh karena itu yang dipilih adalah CO dan CO2.


(31)

Selama ini BPS Pusat mengeluarkan estimasi data CO dengan pendekatan jumlah kendaraan, dimana diperoleh rata-rata rasio jumlah CO terhadap jumlah kendaraan sebesar 0.686, artinya 1 kendaraan menghasilkan 0.686 ton CO. Sementara untuk data CO2 diestimasi secara proporsional dari pertumbuhan output sektor industri manufaktur, jasa dan pertambangan yang mengacu pada analisa tabel I-O lingkungan Jawa Barat tahun 1995. Sementara untuk pencemaran air, proksi variabel yang digunakan umumnya adalah BOD, COD, TDS, dan SS. Dengan pertimbangan yang sama, yang dipilih adalah TDS dan BOD. Data BOD diestimasi secara proporsional dari pertumbuhan output sektor pertanian dan industri manufaktur yang mengacu pada analisa tabel I-O lingkungan Jawa Barat tahun 1995. Sedangkan data TDS hasil penelitian Teknik Lingkungan ITB terbatas untuk beberapa tahun saja, maka untuk mengisi tahun-tahun lainnya diestimasi secara proporsional dari pertumbuhan output sektor industri manufaktur dan jumlah penduduk. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Faktor-faktor penyebab degradasi lingkungan menyangkut aspek fisik yakni

karakteristik yang melekat pada SDA itu sendiri, ekonomi, sosial ekonomi, kelembagaan. Tiap aspek terdiri dari sejumlah variabel yang kompleks dan saling terkait. Model yang akan dibangun diusahakan sesederhana mungkin namun diharapkan dapat mewakili hal-hal yang paling krusial yang terjadi dalam dunia nyata. Variabel yang akan dimunculkan yang mewakili aspek ekonomi, sosial, dan kelembagaan mempertimbangkan landasan teoritis, studi empiris sebelumnya, ketersediaan data, dan permasalahan spesifik yang bersifat lokal di wilayah Jawa Barat. Dengan demikian model akan terfokus


(32)

pada variabel pertumbuhan ekonomi, perkembangan output sektor primer dan sekunder, kemiskinan, tingkat pendidikan yang memproksi kesadaran lingkungan, dan kebijakan lingkungan. Aspek fisik tidak akan dibahas mengingat diluar disiplin ilmu ekonomi.

3. Penelitian terfokus pada keterkaitan antara kemiskinan dan degradasi

lingkungan maka variabel-variabel tenaga kerja dan kredit perbankan yang merupakan input cukup diperlakukan sebagai variabel eksogen. Demikian halnya pertumbuhan penduduk yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi degradasi lingkungan diperlakukan sebagai variabel eksogen pula.

4. Penelitian bersifat agregat untuk lingkup Jawa Barat sehingga model tidak bisa mengakomodir perbedaan ekonomi, sosial dan lingkungan lintas kabupaten/kota.


(33)

I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 6 1.3 Tujuan Penelitian ... 10 1.4 Manfaat Penelitian ... 10


(34)

2.1. Pengertian dan Pengukuran Degradasi Lingkungan

Lingkungan merupakan media hubungan timbal balik antara manusia dengan faktor-faktor alam. Lingkungan hidup terdiri dari berbagai proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan. Proses ini merupakan berbagai siklus yang saling terangkai dan mendukung satu dengan yang lain menjadi siklus kehidupan. Dengan demikian lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Dari beberapa definisi tentang degradasi lingkungan dapat ditemukan kata kuncinya, yakni: kerusakan biosfir keseluruhan, berkurangnya daya dukung lingkungan, menurunnya kapasitas regenerasi ekosistem, menurunnya kualitas atau jasa lingkungan. Berdasarkan definisi tersebut degradasi lingkungan mencakup deforestasi, degradasi lahan, kekurangan dan pencemaran air, pencemaran udara, kehilangan keanekaragaman hayati (World Bank, 1992; Santoso, 2005). Namun menurut Duraiappah (1996) mendefinisikan degradasi lingkungan sangat sulit. Pengukuran degradasi lingkungan sangat bersifat subjektif, artinya siapa pelaku yang terkait atau siapa yang memiliki sumberdaya alam (SDA). Perbedaan ekosistem sama halnya dengan perbedaan nilai yang diberikan oleh masyarakat terhadap SDA-lingkungan, sehingga membuat definisi degradasi lingkungan sulit dan kompleks. Solusinya adalah menggunakan karakteristik fisik sebagai ambang batas dimana degradasi ditetapkan.


(35)

Kualitas lingkungan adalah suatu istilah yang digunakan yang lebih mengacu pada keberadaan lingkungan alami yang menyangkut pendugaan dari kualitas ambient dan juga aspek keindahan lingkungan. Kualitas ambient merupakan jumlah polutan dalam lingkungan, misalnya konsentrasi SO2, NOx,

CO, CO2 di udara, BOD, COD, SS dan TDS di air. Sedangkan yang dimaksud

dengan polutan adalah bentuk energi atau kegiatan yang diintroduksikan ke alam yang akan merendahkan kualitas ambient (Field, 1994). Pendugaan terhadap kualitas ambien merupakan metoda langsung untuk menunjukkan kualitas lingkungan di suatu wilayah.

Selain pengukuran langsung, terdapat pula pengukuran tidak langsung seperti keberadaan jumlah spesies sebagai fungsi dari klasifikasi dan belanja riset margasatwa bisa menggambarkan degradasi habitat. Ukuran lainnya menyangkut kinerja pemerintahan atau institusi nasional dalam komitmennya terhadap upaya pencapaian target lingkungan (Grafton, 2003).

Cara lain pengukuran tidak langsung melalui pendekatan input dan output. Pendekatan input menyangkut tingkat pemakaian untuk sumberdaya alam tertentu yang berdampak langsung pada kualitas lingkungan, misalnya tingkat konsumsi energi per kapita. Sementara pendekatan output mencoba menghitung berapa jumlah limbah untuk setiap ton output.

Dalam rangka memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang karakteristik suatu daerah yang diduga tercemar, dibutuhkan pengukuran sifat-sifat air, udara dan tanah yang beraneka ragam dengan cara melakukan analisis kualitas yang terdiri dari pemeriksaan fisik, kimiawi dan biologi. Menurut Nordell (1951) dalam Pesoth (2001) pemeriksaan fisik yang umum dilihat atau dinilai


(36)

untuk mengetahui lingkungan yang tercemar biasanya terdiri dari beberapa parameter berikut: suhu, rasa dan bau, warna, kekeruhan.

Selain pemeriksaan fisik, tingkat pencemaran dapat diketahui dari pemeriksaan kimiawi. Pemeriksaan kimiawi cenderung lebih khusus sifatnya dibandingkan dengan sifat fisik, sehingga lebih tepat dan cepat untuk menilai sifat suatu sampel. Karakteristik kimiawi tersebut diantaranya: pH, alkalinitas, asiditas, oksigen terlarut, kebutuhan oksigen, nitrogen, Pb.

Menurut Saeni (1989) dalam Pesoth (2001) selain pemeriksaan fisik dan kimia, zat-zat pencemar air yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur renik dalam air yakni unsur yang terdapat pada konsentrasi yang sangat rendah dalam suatu sistem atau suatu unsur yang terjadi hanya pada konsentrasi beberapa bagian per sejuta atau kurang.

Penurunan kualitas lingkungan pada gilirannya akan diikuti oleh turunnya jasa lingkungan yakni berkurangnya fungsi keindahan dan kenyamanan lingkungan (insitu resources), sehingga akan menurunkan tingkat kepuasan.

2.1.1. Proksi Untuk Kualitas Udara

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Susunan udara bersih dan kering kira-kira tersusun oleh nitrogen (78.09 persen), oksigen (21.94 persen), argon (0.93 persen) dan karbon dioksida (0.032 persen). Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam


(37)

jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu lama dapat mengganggu kesehatan (Hasmanto, 2001).

Dalam PP No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, gangguan pada kesehatan manusia serta secara umum menurunkan kualitas lingkungan.

Konsentrasi zat-zat kimia dan atau fisika seperti SOx, NO2, CO, HO, CO2

dapat digunakan sebagai proksi terhadap kualitas udara. Secara umum penyebab pencemaran udara ada dua macam yakni pencemaran secara alamiah seperti debu yang bertebaran karena ditiup angin atau dari letusan gunung berapi dan pencemaran buatan manusia seperti debu dari kegiatan industri dan kendaraan bermotor, serta zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara. Dengan demikian berdasarkan sumbernya jenis polusi udara ini dibagi atas sumber tetap (sektor industri) dan sumber yang bergerak (sektor transportasi).

Berdasarkan hasil riset BPLHD Jawa Barat dengan menggunakan tabel I-O lingkungan Jawa Barat 1995, penyumbang terbesar polutan Sox di Jawa Barat bersumber dari kegiatan industri manufaktur yang diikuti oleh sektor transportasi dan komunikasi. Kedua sektor tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencemaran udara terutama di perkotaan.

Industri manufaktur yang diduga memberikan kontribusi terbesar pada total output Hidrocarbon diduga berasal dari aktivitas industri migas atau industri kimia yang menggunakan bahan dasar petroleum. Selain dari industri, Hidrocarbon banyak dihasilkan dari kegiatan domestik pada sektor bangunan.


(38)

Dari hasil riset yang sama dapat diketahui bahwa penyumbang terbesar polutan CO2 di Jawa Barat adalah dari sektor pertambangan, kemudian industri manufaktur, listrik gas, air dan bangunan serta trasnportasi dan komunikasi. CO2 merupakan gas yang tidak berbau dan tidak beracun. Di atmosfir, CO2 dapat berasal dari proses pernafasan makhluk hidup, sedangkan sumber buatan adalah berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, industri, pembakaran hutan dan perubahan tata guna lahan, dimana sekitar 67 persen dari sumber buatan tersebut berasal dari industri dan pembakaran bahan bakar fosil (Santoso, 2005).

Seperti halnya parameter Sox, total Nox yang dihasilkan dari berbagai sektor di Jawa Barat bersumber dari kegiatan industri manufaktur dan aktivitas domestik dan transportasi. Sementara total Pb juga dihasilkan dari sektor manufaktur, sektor bangunan dan transportasi. Hal ini menunjukkan bahwa jenis gas-gas berbahaya yang diemisikan ke udara masih didominasi oleh sektor industri manufaktur, transportasi dan domestik.

2.1.2. Proksi Untuk Kualitas Air

Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1988).

Menetapkan standar air yang bersih tidaklah mudah karena tergantung pada beberapa faktor penentu seperti kegunaan air dan asal sumber air. Dengan


(39)

demikian pencemaran air terjadi apabila adanya penyimpangan dari keadaan normal yang tergantung pada kegunaan air dan asal sumber air. Menurut Wardhana (1999) dalam Hasmanto (2001) indikator dari pencemaran air dapat diketahui melalui:

1. Adanya perubahan suhu.

2. Adanya perubahan pH atau konsentrat ion hidrogen. 3. Adanya perubahan warna, bau dan rasa air.

4. Timbulnya endapan, koloidal, bahan terlarut. 5. Adanya mikro organisme.

6. Meningkatnya radioaktivitas air lingkungan.

Secara lebih eksplisit, Sastrawijaya (2000) menunjukkan bahwa kualitas air dapat dinyatakan dengan beberapa parameter berikut ini:

1. Parameter fisika, diantaranya suhu, kekeruhan, padatan terlarut.

2. Parameter kimia, diantaranya pH, oksigen terlarut, BOD, COD, kadar logam. 3. Parameter biologi diantaranya keberadaan plankton, bakteri.

4. Parameter fisika dan kimia seperti TDS dan TSS.

Pada umumnya air lingkungan yang telah tercemar, kandungan oksigennya rendah. Dengan melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air dapat ditentukan seberapa jauh tingkat pencemaran air telah terjadi yakni dengan uji COD dan BOD. BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji (starch), glukosa, aldehida, ester, dan sebagainya. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat. Bahan organik


(40)

merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan limbah domestik dan industri.

Total output BOD yang dihasilkan dari beberapa sektor di Jawa Barat terutama bersumber dari sektor pertanian dan manufaktur. Tingginya kadar BOD yang dihasilkan dari sektor pertanian merupakan hasil pembusukan materi organik pada hasil-hasil pertanian. Sedangkan dari industri manufaktur tingginya BOD dihasilkan dari limbah yang mengandung bahan organik tinggi.

Padatan Terlarut Total (TDS) adalah bahan-bahan terlarut (diameter < 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm – 10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0.45 μm. TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan. Nilai TDS di perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri).

2.1.3. Lahan Kritis

Lahan kritis adalah lahan yang mengalami penurunan produktivitas atau kehilangan fungsi secara fisik, kimia, hidrologi dan sosial ekonomi sebagai akibat dari salah penggunaan dan atau salah pengelolaan (Karmellia, 2006). Lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga untuk perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan keracunan tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan tanaman. Fungsi hidrologi tanah berkaitan dengan fungsi tanah dalam mengatur


(41)

tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah untuk menahan, menyerap dan menyimpan air. Lahan kritis secara hidrologi berkaitan dengan berkurangnya kemampuan lahan dalam menjalankan salah satu atau lebih dari ketiga kemampuannya tadi. Lahan kritis secara sosial ekonomi adalah lahan yang sebenarnya masih mempunyai potensi untuk usaha pertanian dengan tingkat kesuburan relatif baik, tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi misalnya sengketa pemilikan lahan, sulit pemasaran hasil atau harga produksi sangat rendah maka lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi terlantar.

Lahan kritis merupakan indikator utama dari degradasi lahan yang bisa terjadi di dalam hutan dan di luar hutan, ukurannya hektar. Dalam prakteknya penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi (Dephut, 2000). Lebih lengkapnya, kriteria lahan kritis adalah:

1. Lahan kosong tidak produktif.

2. Lapisan olah tanah (solum) kurang dari 30 cm. 3. Lahan bekas penambangan yang tidak direklamasi. 4. Lahan kosong dan kemiringan di atas 15 persen. 5. Lahan dengan penutupan vegetasi di bawah 25 persen. 6. Lahan kering yang tergenang lebih dari 6 bulan.

7. Lahan yang telah mengalami erosi permukaan pada jarak kurang dari 20

meter.


(42)

Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian.

Pada fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kekritisan lahan dinilai berdasakan produktivitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum opsional pada pengelolaan tradisional (bobot 30 persen), kelerengan lahan (bobot 20 persen), tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal (bobot 15 persen), batu-batuan (bobot 5 persen) dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan (bobot 30 persen).

2.2. Model Pezzey

Lingkungan hidup secara ekonomi memiliki tiga fungsi yakni sebagai penyedia bahan mentah, asimilasi limbah, dan daya tarik (insitu resources). Fungsi pertama dan kedua memiliki hubungan timbal balik, bahwa proses produksi yang mengolah bahan mentah menjadi barang akhir pada saat bersamaan menghasilkan limbah (by product) yang akan kembali ke alam. Fungsi ketiga bahwa lingkungan alam pun menyediakan jasa yang bisa secara langsung dikonsumsi, seperti halnya udara segar dan keindahan alam.

Pezzey (1992) menggambarkan keterkaitan antara ekonomi dan lingkungan secara lebih rinci yang disebut dengan ‘economic and environmental stocks and flows – a general model’ sebagaimana bisa dilihat pada Gambar 1.


(43)

Sumber: Pezzey (1992), hal. 7

Gambar 1. Economic and Environmental Stocks and Flows – a GeneralModel Berdasarkan Gambar 1 tingkat produksi suatu barang (Q) tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan modal (K), teknologi (T), dan tenaga kerja (L) namun juga oleh kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan (E) terdiri dari stok SDA (R), tingkat polusi (E1), dan nilai daya tarik (E2). Ketergantungan produksi

terhadap lingkungan disebut produktivitas lingkungan, yakni Q(K, L, T, R, E1).

Dampak dari kelima variabel tersebut terhadap tingkat produksi adalah positif. Sehingga jika kualitas lingkungan memburuk berarti menurunkan tingkat produksi.

Model Pezzey pada dasarnya merupakan perluasan dari fungsi produksi Cobb-Douglas dengan memasukan kualitas lingkungan sebagai input yang akan mempengaruhi output. Berbeda dengan input faktor produksi lainnya yakni modal


(44)

dan tenaga kerja yang akan menaikan output jika kedua input tersebut bertambah, meningkatnya kerusakan lingkungan akan menurunkan output. Dengan demikian teori dasar dalam penelitian adalah teori produksi yang diperluas dengan memasukan unsur lingkungan.

Proses produksi yang mengolah input jadi output pada saat bersamaan menghasilkan limbah sebagai by product, sehingga perkembangan jumlah BOD, TDS, CO dan CO2 akan mengikuti perkembangan aktivitas ekonomi, ceteris paribus. Dengan demikian jumlah BOD, TDS, CO, CO2 dan luas lahan kritis juga merupakan output yang dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi.

Ketika aktivitas ekonomi semakin tinggi maka jumlah BOD, TDS, CO, CO2 dan luas lahan kritis akan semakin meningkat yang pada gilirannya akan menurunkan output agregat. Dalam konteks ini konsep limits to growth menjadi relevan. Konsep limits to growth yang dikembangkan oleh Meadow menunjukkan bahwa dampak dari pertumbuhan ekonomi terhadap degradasi lingkungan bersifat trade off. Hal ini didasarkan pada dua alasan, yakni pertama kapasitas lingkungan yang terbatas untuk menampung limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi, dan yang kedua keterbatasan SDA yang tidak bisa diperbaharui (Turner,

1994). Pemikiran Meadow ini berimplikasi pada satu pilihan yakni pertumbuhan ekonomi atau lingkungan. Jika ingin melestarikan lingkungan, harus membatasi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jika pertumbuhan ekonomi yang diutamakan maka lingkungan akan menanggung beban yang pada gilirannya akan membatasi ekonomi untuk tumbuh.

Kritikan terhadap konsep limits to growth mengemukakan bahwa ada sejumlah alasan mengapa dalam beberapa hal tidak ada keterbatasan untuk


(45)

tumbuh, seperti: nilai elastisitas pendapatan yang positif dan meningkat, perubahan dalam komposisi produksi dan konsumsi, meningkatnya tingkat pendidikan dan kesadaran terhadap lingkungan, kemajuan teknologi, dan lebih terbukanya sistem politik (Lim, 1997). Hal ini memiliki implikasi bahwa pertumbuhan ekonomi adalah jalan untuk masalah lingkungan yang juga perlu didukung oleh kekuatan pasar dan kebijakan serta regulasi lingkungan.

Model Pezzey mengoreksi konsep limits to growth bahwa kualitas lingkungan sangat dipengaruhi oleh belanja lingkungan yakni alokasi dana yang berasal dari total pendapatan. Pengalaman Pemerintah Korea Selatan melalui kebijakan fiskalnya telah membuktikan hal ini (Min, 2003). Dengan demikian kekhawatiran Meadow tentang limit to growth tidak akan terjadi selama ada upaya pengendalian degradasi lingkungan melalui belanja lingkungan yang memadai. Pemikiran Pezzey ini identik dengan Teori EKC sebagai analogi terhadap Kurva Kuznet yang mengaitkan antara pendapatan per kapita dengan distribusi pendapatan.

2.3. Teori Environmental Kuznet Curve (EKC)

Teori EKC menjelaskan hubungan antara pendapatan per kapita dengan degradasi lingkungan yang diperkirakan memiliki hubungan seperti huruf U terbalik. Artinya, ketika pendapatan per kapita meningkat seiring dengan proses industrialisasi akan berdampak pada meningkatnya degradasi lingkungan. Namun selanjutnya semakin tinggi pendapatan per kapita dimana kegiatan ekonomi didominasi oleh sektor jasa maka degradasi lingkungan akan berkurang. Jadi Teori EKC mengkritik limit to growth bahwa pertumbuhan ekonomi justru


(46)

diperlukan agar terbentuk belanja yang memadai untuk memperbaiki degradasi lingkungan.

Gambar 2 menunjukan bentuk kurva EKC yang mengaitkan antara indikator lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. Sesuai esensi dari teori dasarnya, pertumbuhan ekonomi yang dimaksud seiring dengan tahapan pembangunan yang telah dialami oleh suatu negara. Dalam studi empirisnya tahapan pembangunan tersebut dicerminkan oleh besarnya pendapatan per kapita.

Sumber: Panayatou (2000), hal. 3

Gambar 2. Environmental Kuznets Curve : Hubungan Antara Pembangunan Ekonomi dengan Lingkungan

Studi empiris yang meneliti hubungan antara pendapatan per kapita dengan degradasi lingkungan, ada yang bisa membuktikan hipotesis EKC dan ada pula yang tidak. Dari sekian hasil studi empiris sebelumnya menunjukan titik balik terjadi pada angka pendapatan per kapita riil berkisar antara $1 200 - $16 000. Dengan interval yang begitu besar berarti titik balik tersebut tidak bersifat unik atau tidak pasti pada tingkat pendapatan berapa titik balik terjadi.


(47)

Beragamnya titik balik tergantung pada tipe kerusakan lingkungannya apakah deforestasi atau pencemaran air, pencemaran udara. Namun ternyata untuk kasus yang sama pun seperti deforestasi, beda lokasi penelitian dan rentang waktu berbeda pula besarnya tingkat pendapatan ketika titik balik terjadi, seperti hasil studi Panayotou (1993) dan Shafik (1992). Fakta ini menarik perhatian, bahwa dibalik hubungan antara pendapatan per kapita dengan degradasi lingkungan menyimpan potensi analisa faktor lain penyebab degradasi lingkungan.

Perekonomian Jawa Barat yang masih berada dalam tahap industrialisasi dengan pencapaian PDRB/kapita riil tahun 2005 sebesar 6.3 juta rupiah setara dengan $612 belum mampu menganggarkan belanja lingkungan sebagaimana mestinya. Dengan demikian terdapat kecenderungan pertumbuhan ekonomi masih menimbulkan degradasi lingkungan.

2.4. Aspek Sosial-Ekonomi dan Degradasi Lingkungan

2.4.1. Dampak Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan

Berdasarkan penjelasan pada sub bab sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai penentu degradasi lingkungan sekaligus memberikan peluang untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Perbaikan degradasi lingkungan bisa dilakukan seiring dengan naiknya pendapatan hanya akan berlaku jika benar-benar pendapatan naik melebihi kebutuhan primer dan sekunder. Dalam kondisi pendapatan sangat rendah akan sangat sulit untuk mengeluarkan belanja lingkungan yang sifatnya menyangkut kepentingan jangka panjang dan untuk manfaat sosial, karena yang lebih mendesak adalah kebutuhan saat ini dan pribadi. Dalam istilah Andersen (1995) kemiskinan meningkatkan discount rate sehingga


(48)

menurunkan insentif untuk konservasi dengan mengurangi net present value

(NPV) benefit yang akan datang. Munasinghe (1993) pun mengungkapkan hal

yang sama bahwa penyebab ekonomi terhadap degradasi lingkungan adalah pricing dan kemiskinan. Masalah pricing terbagi dalam empat komponen: eksternalitas, underpricing, tidak adanya pasar untuk jasa lingkungan dan kegagalan kebijakan.

Dampak kemiskinan terhadap degradasi lingkungan semakin nampak dalam kasus pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan. Ketika krisis ekonomi terjadi dimana harga bahan bakar meningkat tajam dan lapangan kerja semakin sulit, berdampak pada luasnya lahan kritis yang mencakup dua aspek. Pertama,

semakin banyak masyarakat yang menjarah kayu untuk dijadikan bahan bakar dan bahka menjualnya ke penampung ilegal. Kedua, semakin banyak masyarakat yang

merambah lahan hutan untuk ditanami sayuran, berarti di kemiringan yang rawan longsor. Hal ini banyak terjadi di daerah Bandung Selatan dan Majalengka.

Dalam kondisi miskin bisa mendorong perlakuan yang lebih eksploitatif terhadap SDA. Studi Grepperud (1997) memperlihatkan bahwa degradasi kesuburan tanah disebabkan oleh perilaku petani yang mana keadaan ekonomi berada pada tingkat subsisten yang minimum. Petani di ekonomi perdesaan negara berkembang memiliki ciri semikomersial, dimana mereka menjual sebagian hasil dan menggunakan bagian lainnya untuk kebutuhan konsumsinya. Petani seperti ini sering meghadapi kekurangan makanan sebagai sebab dari cuaca yang tidak stabil. Defisit anggaran rumah tangga akan terjadi ketika jumlah produksinya turun di bawah kebutuhan minimum (subsisten). Berdasarkan model konsepsional yang ia bangun, yang menggabungkan fungsi produksi petani bersama-sama


(49)

dengan tingkat kebutuhan minimum dan unsur stokastik, ia memprediksi bahwa dalam upaya petani subsisten untuk menutupi defisit anggarannya, petani ini akan cenderung menguras kesuburan lahan dibandingkan dengan petani yang tidak subsisten.

Lahan yang berkurang kesuburannya akan berdampak pada rendahnya hasil panen. Artinya, degradasi lahan akan membuat mereka semakin miskin dalam kondisi tidak ada sumber pendapatan lainnya. Studi Holden, et. al (2005) di beberapa wilayah perdesaan dataran tinggi Ethiopia menunjukan hal ini bahwa degradasi lahan dan rendahnya produktivitas pertanian membuahkan kerawanan pangan dan kemiskinan. Demikian halnya sintesa dari Andersen (1995) bahwa degradasi lingkungan dapat meningkatkan kemiskinan karena degradasi lingkungan mengurangi stok natural capital, sehingga meningkatkan kerentanan. Erosi lahan akan menurunkan hasil dan menimbulkan banjir, sedangkan polusi meningkatkan penyakit dan kematian karena pestisida, air yang beracun, dan polusi dalam rumah. Deforestasi dan over eksploitasi air tanah meningkatkan biaya barang kebutuhan pokok seperti kayu bakar dan air minum.

Berdasarkan studi keduanya terbukti bahwa ada hubungan timbal balik pula antara kemiskinan dan degradasi lingkungan. Fakta ini bisa dikaitkan dengan hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan. Dari interaksi semuanya, berarti terdapat hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan.

Selain kemiskinan, dalam kondisi ketimpangan pendapatan masih ada pelaku lain yakni mereka yang kaya identik dengan memiliki kekuasaan. Informasi di lapangan (hasil interview) mengungkapkan hal ini, bahwa


(50)

perambahan hutan terluas dilakukan oleh mereka yang bermodal besar yang memanfaatkan kelemahan hukum dan masyarakat miskin untuk memetik keuntungan sebesar-besarnya. Studi Barros (2002) pun mengamati kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Bahwa kemiskinan di Brazil mempengaruhi permintaan untuk konservasi lingkungan. Konsentrasi pendapatan dan kesulitan dalam akses terhadap pendidikan mempengaruhi tingkat deforestasi di Brazil, minimalnya secara tidak langsung melalui dampaknya terhadap willingness to pay

(WTP) untuk konservasi. Dengan demikian distribusi pendapatan yang lebih

merata, ceteris paribus dapat mengurangi luas lahan kritis.

Eriksson (2002) menunjukan secara matematis bahwa distribusi pendapatan yang lebih merata tergantung pada derajat demokrasi, sehingga dalam kondisi demokrasi lebih sempurna distribusi pendapatan lebih merata akan menghasilkan polusi yang lebih rendah. Boyce (1994) menunjukan hal yang sama bahwa semakin besar ketimpangan kekuasaan dan kekayaan, lingkungan akan semakin terdegradasi.

2.4.2. Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Degradasi Lingkungan

Pertumbuhan penduduk adalah kunci katalisator dari kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan terutama untuk kasus di lahan marjinal. Pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan ukuran lahan pertanian semakin sempit sehingga mendorong masyarakat miskin untuk merambah lahan di pinggir hutan yang rawan erosi sehingga bisa memunculkan lahan-lahan kritis. Bahkan mereka pun terdorong untuk menebang pohon dalam rangka mendapatkan bahan bakar yang melebihi kapasitas reproduksinya (Hayami, 2001; Endersen,


(51)

1995).

Dalam beberapa literatur tentang kajian Pertumbuhan Penduduk dan Degradasi Lingkungan, ada kelompok yang bersikap pesimis dan optimis. Kelompok yang pesimis lahir dari ekonom klasik dan ahli ilmu alam. Argumen utama mereka bahwa degradasi lingkungan adalah hasil dari meningkatnya tekanan penduduk terhadap basis SDA dalam rangka memelihara atau meningkatkan standar hidup penduduk (Guinness, 2000). Kelompok pesimis sangat yakin bahwa ada ambang batas untuk ketersediaan SDA, selain itu ekosistem memiliki carrying capacity yang sudah tertentu. Kelompok pesimis pun mengungkapkan temuan empiris yang terkait dengan kelangkaan SDA seperti halnya kekurangan lahan pertanian yang dihadapi oleh banyak negara berkembang. Degradasi lahan dan hilangnya produktivitas lahan mencapai 270 000 km persegi setiap tahunnya. Sementara Engelman (1997) dalam Guinness (2000) mengemukakan kelangkaan air bersih di Mexico City seiring dengan tingginya pertumbuhan penduduk.

Sementara kelompok yang optimis dalam memandang keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan degradasi lingkungan, mengacu pada teori neoklasik. Ekonom neoklasik fokus pada pasar yang terbuka dan efisien sebagai media untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Basis teori ini bersandarkan pada asumsi bahwa individu berfikir dan berperilaku dengan cara yang rasional secara ekonomi. Mereka berargumen bahwa dalam perekonomian dimana pasar berfungsi secara sempurna, pertumbuhan output dapat dipelihara bahkan mungkin sekali melebihi pertumbuhan penduduk. Terdapat 2 alasan, pertama ekonom


(52)

langka. Kedua, ekonom neoklasik percaya bahwa pasar akan beraksi untuk

melindungi kelangkaan SDA. Ketika SDA menjadi lebih langka, produsen akan mencari cara penggunaan SDA lebih efisien lagi untuk mencegah naiknya biaya.

Dengan demikian dalam pandangan ekonom neoklasik degradasi lingkungan menghasilkan tiga kasus. Pertama, merupakan respon jangka pendek

terhadap pertumbuhan penduduk dimana hanya terjadi sampai ketika manusia mampu mensubstitusi atau menemukan cara yang lebih efisien dalam menggunakan SDA yang langka. Kedua, degradasi lingkungan akan terjadi ketika

pasar tidak ada atau tidak bekerja secara efisien, seperti halnya kasus untuk SDA yang berada dalam rejim kepemilikan open access. Ketiga, degradasi lingkungan

terjadi ketika terjadi deplesi SDA untuk kegiatan produksi. Ekonom neoklasik mengakui adanya degradasi lahan yang meluas dimana pasar menawarkan alternatif penggunaan (Guinness, 2000).

2.5. Degradasi Lingkungan: Wujud Kegagalan Pasar

Dari perspektif paham ekonomi neoklasik, masalah lingkungan muncul karena terjadinya kegagalan pasar. Akar masalahnya adalah tidak adanya hak kepemilikan atau hak kepemilikan yang tidak terdefinisikan dengan baik (Taggart, 1996; Hanley, 1997; Callan, 2000). Hak kepemilikan yang dapat terdefinisikan dengan baik yakni serangkaian hak yang menggambarkan keistimewaan dan kewajiban pemilik dalam rangka penggunaan sumberdaya memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut (Tietenberg, 1996):

1. Universality, ditentukan secara komprehensif. Semua aset atau sumberdaya harus dimiliki baik secara pribadi maupun bersama, serangkaian hak harus


(53)

diketahui dan ditegakan secara efektif. Dalam kondisi tidak ada eksklusifme dimana beberapa pihak sama-sama memiliki hak atau akses legal terhadap suatu SDA, maka semuanya memiliki insentif untuk mengambil sebesar manfaat yang diberikan oleh SDA tersebut dan secepat mungkin sebelum yang lain melakukan hal yang sama. Untuk beberapa kasus kondisi ini akan mengakibatkan overuse.

2. Eksklusif, semua keuntungan dan biaya dari penggunaan SDA hanya terkait dengan pemilik.

3. Transferable, semua hak kepemilikan harus bisa dialihkan dari satu pemilik ke pihak lainnya dalam pertukaran yang sukarela. Kemampuan mengalihkan hak kepemilikan memberi insentif pada pemilik untuk melakukan konservasi. 4. Enforceability, hak kepemilikan yang jelas aman dari perampasan pihak lain.

Eksternalitas adalah kasus spesial dari pasar yang tidak sempurna untuk aset lingkungan. Ketika kegiatan konsumsi atau produksi individu tertentu mempengaruhi utilitas seseorang atau fungsi produksi suatu perusahaan maka kondisi pareto optimal tidak akan terjadi dan yang terjadi adalah eksternalitas. Dengan demikian efek eksternalitas tidak bekerja melalui harga pasar, tetapi melalui dampaknya terhadap utiliti atau profit. Pasar tidak sempurna menunjukan tidak ada pertukaran institusi dimana seseorang membayar untuk keuntungan eksternal atau membayar sebuah harga untuk pembebanan biaya eksternal.

Aset lingkungan merupakan pure public goods jika dalam

mengkonsumsinya non-rival dan non-excludable. Pure public goods tersedia untuk semuanya dan konsumsi perorangan tidak mengurangi konsumsi perorangan lainnya. Non-rivalry berimplikasi bahwa biaya marjinal dari


(54)

penawaran barang tersebut nol, oleh karena itu tidak ada efisiensi pareto. Setiap orang dapat menerima benefit dari jasa yang disediakan oleh pure public goods, dan tak seorang pun dapat dikecualikan (dikeluarkan) dari benefit tersebut maka sesorang bisa berperilaku ‘free rider’. Artinya, seseorang yang menyembunyikan preferensinya terhadap suatu barang dalam rangka menikmati benefitnya tanpa membayar.

Kondisi incomplete market, externalities, non-exclusion and the commons, non-rivalry and public goods, semuanya terkait erat dengan masalah hak kepemilikan. Bromley (2003) dalam Borris (2004) mendefiniskan hak sebagai kapasitas mempersilahkan pihak tertentu berada di belakang pengakuan seseorang terhadap aliran manfaat. Bromley (2003) mencirikan bahwa hak bukan merupakan hubungan antara sesorang dengan obyek tapi hubungan antar person yang terkait dengan obyek. Sedangkan kepemilikan adalah benefit stream, aliran manfaat. Dengan demikian hak kepemilikan adalah hubungan sosial tritunggal yakni hubungan antara individu yang memiliki hak, pihak lain yang harus menahan diri dari intervensi dengan pemegang hak, institusi untuk menyokong pengakuan.

Ada empat tipe hak kepemilikan (property rights regim) yakni untuk individu, negara, kelompok, dan tidak seorang pun, sehingga ada private property rights, state property rights , common property rights dan open access. Sekalipun ada pemilikan pribadi namun dalam pelaksanaannya tetap dibatasi oleh UU, regulasi, dan aturan sosial. Keempat tipe tersebut dapat dioperasionalisasikan untuk menentukan dampaknya terhadap pemanfaatan SDA, melalui pengaitan antara hak kepemilikan dengan perilaku ekonomi yakni biaya transaksi dan eksternalitas. Hak kepemilikan dapat memperkecil biaya transaksi sehingga lebih


(55)

mudah mengatasi eksternalitas. Hak kepemilikan dapat memfasilitasi kerjasama untuk menginternalisasi eksternalitas, sehingga distribusi hak kepemilikan menentukan siapa yang menanggung biaya kerjasama. Semakin dekat kepentingan pemegang hak terhadap kepentingan sosial, maka struktur hak kepemilikan akan lebih efisien.

Berdasarkan pendekatan institutionalis berarti solusi untuk masalah degradasi lingkungan adalah memberikan hak kepada pencemar atau kepada korban polusi. Menurut Coase (1960), jika hak kepemilikan ada dan biaya transaksi rendah maka transaksi antar individu akan efisien (tercapai polusi optimal). Dengan lain kata, adanya hak kepemilikan dan biaya transaksi rendah maka tidak akan ada eksternalitas karena seluruh biaya dan manfaat akan diperhitungkan oleh pihak yang melakukan transaksi.

Namun demikian terdapat beberapa situasi dimana hak kepemilikan tidak dapat diberikan. Dalam kasus seperti ini pemerintah terpaksa mengembangkan alternatif lain seperti pungutan emisi, ijin yang dapat diperdagangkan atau pajak.

2.6. Kebijakan dan Kepedulian Lingkungan

Kegagalan pasar dalam mengalokasikan sumberdaya secara efisien, mendorong adanya intervensi pemerintah. Perantara pihak ketiga, tipe pemerintahan sangat dibutuhkan untuk mengoreksi kegagalan pasar dan mencapai keseimbangan yang efisien. Demikian halnya dalam menghadapi masalah lingkungan, terutama yang terkait dengan SDA yang bersifat open access perlu ada kebijakan yang akan membatasi akses atau kewajiban bertanggungjawab terhadap kegiatan yang berdampak pada timbulnya pencemaran.


(56)

Dalam literatur ekonomi lingkungan terdapat beberapa tipe kebijakan yang dapat dipilih untuk merespon permasalahan, yakni decentralized policies seperti liability law, property rights, dan moral suasion, command and control seperti standar emisi, baku mutu limbah cair dan tipe insentif yakni pajak dan subsidi.

Liability law adalah undang-undang pertanggungjawaban yang melandasi mekanisme penyelesaian masalah lingkungan antara pihak pembuat (polluter) dengan pihak yang menderita (sufferer). Polluter diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak yang terkena dampak negatif dari kegiatannya, sebaliknya pihak yang menderita mendapatkan kompensasi. Jenis kebijakan ini tergolong tipe kebijakan yang terdesentralisasi karena diserahkan langsung pada pihak-pihak terkait, artinya pemerintah tidak turut mengatur dan menentukan. Untuk kasus masalah lingkungan di Indonesia, masalah ini diatur dalam Bab VII UU Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 yakni bab tentang Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Dalam bab ini terungkap secara tegas bahwa penyelesaian sengketa lingkungan bisa ditempuh diluar pengadilan. Pasal 31 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Selanjutnya berdasarkan Pasal 32, dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.


(57)

Jenis kebijakan lain yang termasuk dalam kebijakan yang terdesentralisasi adalah property rights yakni memberikan hak penuh kepada suatu lembaga untuk memiliki dan mengelola lingkungan di wilayah tertentu. Contohnya adalah hak yang diterima oleh pengembang Bumi Serpong Damai (BSD) untuk mengelola lingkungan di area kompleks perumahan BSD. Sedangkan moral suasion berupa seruan moral untuk peduli lingkungan. Dalam UU Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 juga dibahas tentang seruan moral seperti yang terungkap dalam Bab 3 pasal 6 bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

Tipe command and control yakni atur dan awasi merupakan kebijakan yang sepenuhnya ditangani oleh pemerintah, artinya pemerintah mendesign mulai dari penetapan standarnya, penilaiannya sampai pengawasannya. Semua ini diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Surat Keputusan Menteri (SKM), seperti Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri dan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak. Sedangkan tipe insentif baik berupa pajak maupun subsidi merupakan suatu dorongan untuk peduli lingkungan melalui perhitungan sisi biaya dan benefit.

Efektivitas ragam kebijakan tersebut sangat tergantung pada sejauhmana kepedulian lingkungan seluruh pihak terhadap masalah lingkungan. Kepedulian ini terkait dengan etika lingkungan yang dimiliki oleh masyarakat. Dimungkinkan sekali disaat tingkat kepedulian lingkungan masih rendah, keberadaan kebijakan tidak efektif mencapai sasarannya. Beberapa studi menunjukan bahwa suatu negara dengan tingkat pendidikan dan hak politik yang lebih tinggi memiliki


(58)

tingkat polusi tertentu yang lebih rendah, karena dalam kondisi tersebut akan lebih mudah mengembangkan koalisi untuk perlindungan lingkungan.

Penduduk Jawa Barat mayoritas lulusan sekolah dasar sehingga rata-rata lamanya sekolah untuk tahun 2005 hanya 7.5 tahun. Dalam kondisi penegakan hukum masih lemah dan tingkat pendidikan rendah, kepedulian lingkungan diperkirakan merupakan sesuatu yang sangat langka.

2.6.1 Kebijakan Lingkungan di Jawa Barat

Selama periode 1974 - 2004 kebijakan lingkungan yang berlaku di Jawa Barat adalah kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam sub bab ini akan disebutkan nama-nama kebijakan tersebut baik yang menyangkut obyek lahan kritis, pencemaran air maupun udara.

Pemerintah mencoba merespon masalah pencemaran air melalui kebijakan-kebijakan yang bias pada tipe CAC seperti standar baku mutu limbah cair. Tabel 1 menguraikan beberapa kebijakan penanganan pencemaran air. Aturan pokok yang secara khusus untuk masalah ini yakni PP No 82 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dapat dilihat pada Lampiran 2. Kebijakan CAC pada dasarnya merupakan turunan dari UU Lingkungan hidup. Program-program seperti Program Kali Bersih (Prokasih), Surat Pernyataan Kali Bersih (Superkasih) dan Citarum Bersih Geulis dan Lestari (Bergeutar) diarahkan untuk peningkatan pentaatan aturan baku mutu limbah cair.


(59)

Tabel 1. Ragam Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air

Nama Kebijakan Tahun Yang Menetapkan

UU Pengairan

UU Lingkungan Hidup AMDAL

SKM Perindustrian Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran

Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor 20 tentang Pengendalian Pencemaran Air

Prokasih

Aturan Baku Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan yang Sudah Beroperasi

Aturan Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri

Undang-undang LH Nomor 23

Aturan Baku Mutu Limbah Bagi Kawasan Industri

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

PROKASIH

Aturan Baku Mutu Limbah Cair (BMLC) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

Citarum Bergeutar (Bersih, Geulis, dan Lestari)

KM Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik Program Super Kasih

Aturan Baku Mutu Limbah Cair

1974 1982 1986 1988 1990 1990 1991 1995 1997 1997 1998 1999 1998 2001 2001 2001 2003 2004 Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat

Pemerintah Propinsi Jawa Barat Pemerintah Pusat

Pemerintah Pusat

Pemerintah Propinsi Jawa Barat

Pemerintah Pusat

Pemerintah Propinsi Jawa Barat Pemerintah Propinsi Jawa Barat Sumber: Berbagai Instansi.


(60)

Program Prokasih diintroduksi oleh pemerintah pusat dengan sasaran utama sungai-sungai melewati daerah padat penduduk. Pada prinsipnya Prokasih merupakan kegiatan pemantauan serta pembinaan terhadap kegiatan industri yang merupakan salah satu sumber pencemar yang cukup potensial. Industri yang terpilih menjadi sasaran pemantauan adalah industri prioritas yang diperkirakan mempunyai beban pencemaran yang cukup tinggi ataupun yang diindikasikan telah melakukan pencemaran melalui permasalahan yang muncul di masyarakat.Lokasi pemantauan Prokasih Jawa Barat tersebar di DAS-DAS di Jawa Barat, diantaranya di DAS Ciujung, DAS Cisadane, DAS Ciliwung, DAS Cileungsi/Kali Bekasi serta DAS Citarum.

Tipe kebijakan CAC menuntut kesiapan infrastruktur sistem pelaksanaan dan pengawasan yang sangat memadai. Artinya, komitmen dan konsistensi pihak yang terlibat menjadi modal utama untuk mencapai efektivitas implementasi kebijakan.

Tipe kebijakan CAC berlaku pula untuk mengendalikan pencemaran udara, namun tidak sebanyak penanganan pencemaran air. Tabel 2 menginformasikan ragam kebijakan pengendalian pencemaran udara yang berlaku di Jawa Barat baik yang seluruhnya dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

Indonesia belum mempunyai undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pencemaran udara, tetapi ada beberapa undang-undang yang dapat digunakan sebagai dasar pengaturannya seperti UU No. 5/1984, UU No. 14/1992, UU No. 24/1992, UU No. 23/1997 dan UU No. 41/1999. Sementara di tingkat peraturan pemerintah, telah ada beberapa peraturan yang secara khusus


(1)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, hak cetak, foto


(2)

DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN

KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI

LINGKUNGAN DI JAWA BARAT

ATIH ROHAETI DARIAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

Judul Disertasi : Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat Nama Mahasiswa : Atih Rohaeti Dariah

Nomor Pokok : A 546014011

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. Ketua

Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1968 di Sumedang, putri ketiga dari tiga bersaudara dari Bapa H. Ase Suhana dan Ibu Hj. Usih Sukaesih. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cibeureum I Sumedang pada tahun 1981, pada tahun 1984 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMPN Legok Sumedang, pada tahun 1987 menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN I Sumedang. Pada tahun 1992 menyelesaikan pendidikan sarjana sebagai sarjana ekonomi pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung dengan judul skripsi ‘Analisis Tingkat Persaingan Antar Developer Dalam Industri Perumahan di Indonesia’.

Pada tahun 1993 diterima sebagai dosen tetap di Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung. Pada tahun 1999 memperoleh gelar Magister Sain pada Program Pascasarjana Bidang Kajian Utama Ilmu Ekonomi dan Akuntasi Universitas Padjadjaran Bandung dengan judul tesis ‘Pengaruh Ekolabeling Terhadap Ekspor Kayu Lapis Indonesia Di Pasar Internasional’. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pada program S3 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selain mengajar penulis aktif melakukan penelitian tentang perekonomian Jawa Barat dengan Bank Indonesia Bandung dan BAPEDA Propinsi Jawa Barat.

Penulis telah menikah dengan Sutrisno Setiawan sejak tahun 1991 dan dikarunia seorang putri Rajab Cipta Lestari (14 tahun).


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya dengan limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini dibuat sebagai syarat bagi penyelesaian studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat, yang membahas degradasi lingkungan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, kebijakan dan kepedulian lingkungan. Melalui hasil estimasi dari model makroekonomi lingkungan yang sudah dibangun dan temuan hasil survei maka dapat digambarkan bagaimana hubungan satu sama lain diantara variabel tersebut, bagaimana kinerja pertumbuhan ekonomi dan implementasi kebijakan selama ini, sehingga dengan mensintesi seluruh temuan tersebut dicoba dikembangkan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan yang diungkapkan masih bersifat grand policies, sehingga penulis menyarankan penelitian berikutnya untuk menurunkan kebijakan pada tataran yang lebih detil.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada keluarga yakni orang tua, suami dan anak yang telah mendukung penuh penulis untuk mengikuti studi doktor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. selaku ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian memberikan masukan untuk menjaga konsistensi redaksional dan substansi penulisan disertasi ini, meyakinkan penulis bahwa setiap penelitian memiliki pendekatan dan keunggulan tertentu sekalipun obyeknya sama.


(6)

2. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian memberikan masukan penyempurnaan model dan perluasan analisa.

3. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS. selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian mengarahkan dalam menstruktur isu, mensintesa temuan baik hasil estimasi maupun hasil survei sehingga tampak esensinya. 4. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberi kesempatan

kepada penulis untuk menempuh jenjang Program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

5. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA yang telah memberikan kesempatan untuk diskusi mempertajam model dalam penelitian ini dan juga sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang banyak memberikan motivasi selama menjalani jenjang Program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

6. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup yang telah memberikan masukan yang konstruktif.

7. Prof. Dr. Armida Alisjahbana, SE., MA dan Dr. Ir. Agus Rahmat, MT selaku penguji luar komisi pada saat ujian terbuka yang telah memberikan masukan untuk mempertajam arah dan isi penelitian ini.

8. Rektor Universitas Islam Bandung, Dekan Fakultas Ekonomi, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi yang telah mengijinkan dan membiayai penulis dalam mengikuti jenjang Program Doktor.