Rekayasa model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat

(1)

REKAYASA MODEL

PERENCANAAN DAN EVALUASINYA

PADA PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI

SAPI POTONG DI SUMATERA BARAT

FIRMAN NOER TA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

REKAYASA MODEL PERENCANAAN DAN EVALUASINYA PADA PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAPI POTONG

DI SUMATERA BARAT

adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi

yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

disertasi ini.

Bogor, Februari 2008

Firman Noer TA NIM F361030071


(3)

REKAYASA MODEL

PERENCANAAN DAN EVALUASINYA

PADA PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI

SAPI POTONG DI SUMATERA BARAT

FIRMAN NOER TA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

Penguji Luar Komisi pada:

Ujian Tertutup : Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc

Ujian Terbuka : 1. Prof. (Riset) Dr. Ir. Tjeppy D. Soedjana, MSc 2. Dr. Ir. Amril Aman, MSc


(5)

Judul Disertasi : Rekayasa Model Perencanaan dan

Evaluasinya pada Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat

Nama : Firman Noer TA NIM : F361030071

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc Ketua

Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id, MA.Dev Dr. Ir. Illah Sailah, MS Anggota Anggota

Dr. Ir. Rudy Priyanto Dr. Ir. Sukardi, MM Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS


(6)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

ABSTRACT

FIRMAN NOER TA. The Design of Beef Cattle Agroindustry Development Planning and Its Evaluation Model in West Sumatra. Supervised by MARIMIN, ENDANG GUMBIRA SA’ID, ILLAH SAILAH, RUDY PRIYANTO and SUKARDI.

Beef cattle agroindustry is considered as one of the potential agroindustries in West Sumatra, because of its high production rate and demand. However, this agroindustry has yet been optimally developed due to the lack of development planning. Therefore, the strategic planning and its evaluation model need to be carried out to develop the beef cattle agroindustry in order to increase the farmer income and to achieve the high quality product that match up the shareholders preferences. The main objective of this research to develop a strategic planning and its evaluation model for development of beef cattle agroindustry in West Sumatra.

The stages conducted in this research consisted of formulating a strategic development for beef cattle agroindustry, designing a planning model of beef cattle agroindustry and evaluating this model. Methods used in the study were External Factor Evaluation Matrix, Internal Factor Evaluation Matrix, Internal External Matrix, Grand Strategy Matrix, SWOT Matrix Analysis, Fuzzy-Analysis Hierarchy Process, forecasting analysis, economic and financial analysis (benefits and costs, BEP, NPV, IRR, PBP and B/C Ratio) and Knowledge Based Management System (KBMS) Evaluation Model with fuzzy if then rule method using AGRIBEST program and the Statistical Analysis System (SAS) Program.

The results show that the development of products and market is the highest priority strategy with appropriate location planning model is in Agam Regency (East Agam). Spicy dried beef is the chosen product with BEP 25.212 kg/year. Based on the raw material availability, production capacity is designed at 5% of BEP at the first year, 10% at the second year and 20% at the third year. By means of theCost of Capital at 12% p.a, DER 40:60, investment on Rp 392.855.300, it can be concluded that development of spicy dried beef is feasible with NPV at Rp 6.177.642.886, IRR at 63,89%, PBP at 0,38 year and B/C ratio at 1.47. Resolution conflict with agreement and conformity of shareholders and profit quotient from ulayat land utilization in ranah Minang is the best solution in beef cattle agroindustry development planning model in West Sumatra.

The results of evaluation of KBMS show that the development of commodities and market strategy and location selection of agroindustry development in Agam Regency are suitable. The results also show that the development of spicy dried beef and its source material availability, value and quotient of shareholder, economic impact (direct benefits and indirect benefits) and financial feasibility are high enough. However, spicy dried beef production capacity, conventional bank access and stakeholders commitment through small and middle industry are low. Based on IF THEN RULE of the KBMS Evaluation it was found out that the planning model was needed to increase spicy dried beef production capacity, decrease interest and develop a policy for beef cattle industry.

Key words: Strategic planning, Beef cattle agroindustry, IE Matrix, Grand Strategy Matrix, SWOT Matrix, Fuzzy ME-MCDM, financial analysis


(8)

RINGKASAN

FIRMAN NOER TA. Rekayasa Model Perencanaan dan Evaluasinya pada Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat. Di bawah bimbingan MARIMIN, ENDANG GUMBIRA SA’ID, ILLAH SAILAH, RUDY PRIYANTO dan SUKARDI.

Pembangunan agroindustri sapi potong selama ini belum menjadi fokus pertimbangan tingkat keputusan atau kebijakan, perkembangannya berjalan sendiri-sendiri dan terpisah dari pembangunan peternakan. Di beberapa daerah produksi ternak sapi potong melimpah dan berlebih dari daerah lainnya, namun belum ada model perencanaan dan evaluasinya di tingkat pengambil kebijakan agar dapat meningkatkan pendapatan peternak dan stakeholder. Hasil ternak sapi potong yang banyak belum optimal diolah menjadi produk industri hilir, sehingga nilai tambahnya belum dapat diperoleh dan memenuhi harapan keinginan berbagai pihak. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk perencanaan pengembangan agroindustri dari hasil ternak sapi potong. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong yang dikembangkan dari rumusan strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.

Model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong dirancang melalui tiga tahapan penting, dimulai menganalisa faktor eksternal dan internal lingkungan usaha pengembangan sapi potong dan merumuskan strategi pengembangan, mendisain perencanaan dari aspek teknis, pembiayaan, penyelesaian (resolusi) konflik, komitmen stakeholder, analisis kelayakan dan terakhir melakukan evaluasi terhadap model perencanaan yang didisain.

Rumusan strategi pengembangan dihasilkan melalui beberapa tahap, yakni (1) tahap penilaian faktor lingkungan internal dan eksternal dari kawasan sentra peternakan (lumbung ternak nagari) sapi potong di Sumatera Barat, kemudian disusun ke dalam Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) dan Matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI); (2) tahap perumusan alternatif strategi didasarkan kepada posisi agroindustri sapi potong di Sumatera Barat di dalam Matriks Internal–eksternal (Matrix IE) dan matriks grand strategy, kemudian dirumuskan dengan menggunakan analisis matriks

SWOT, sedangkan penentuan prioritas strategi menggunakan metoda Fuzzy

-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP).

Evaluasi faktor lingkungan strategis menghasilkan faktor peluang lebih dominan dari faktor ancaman. Begitu juga dengan faktor kekuatan lebih besar dari faktor kelemahan. Total skor faktor eksternal dan internal menunjukkan posisi agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berada pada posisi tumbuh dan bina, sehingga alternatif strategi yang paling memungkinkan dikembangkan adalah strategi intensif (strategi pengembangan produk, pengembangan dan penetrasi pasar) atau strategi integratif (strategi integrasi ke belakang, integrasi ke depan, dan integrasi horisontal). Matriks grand strategy menunjukan posisi agroindustri sapi potong Sumatera Barat berada dalam pertumbuhan pasar, sehingga memperkuat pengembangan produk dan pengembangan pasar sebagai strategi alternatif. Penilaian yang dilakukan pakar dalam menentukan prioritas strategi dari beberapa alternatif, ternyata strategi pengembangan produk dan pasar merupakan strategi prioritas dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Hasil evaluasi model

perencanaan strategi berdasarkan sistem pakar (Knowledge Base Management

System, KBMS), strategi pengembangan produk dan pasar cukup sesuai diterapkan dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.


(9)

Model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat didisain, dimulai dari studi kelayakan pasar, yaitu kelayakan dari sisi permintaan dan ketersediaan produk hasil sapi potong. Pengolahan data menggunakan metoda prediksi time series dengan software program The Statistical Analysis System (SAS)

for Window v6.12 hasil Stepwise Autoregressive Method (Stepar) terhadap variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk menunjukkan adanya ketersediaan hasil sapi potong sebagai bahan baku pengembangan agroindustri. Hasil evaluasi model perencanaan terhadap kelayakan pasar dengan sistem pakar (KBMS) menunjukkan bahwa ketersediaan bahan baku untuk agroindustri cukup tinggi dan diprediksi cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.

Pada implementasi model perencanaan hasil evaluasi dengan KBMS terhadap beberapa pilihan alternatif produk agroindustri sapi potong yang sesuai di Sumatera Barat, rangking pertama menunjukkan produk dendeng kering dapat dikembangkan di Sumatera Barat. Produk dendeng kering atau dendeng sapi merupakan produk yang cukup diminati dan cocok dikembangkan di Sumatera Barat berdasarkan hasil evaluasi sistem pakar dengan KBMS. Dendeng kering yang berasal dari daging sapi lebih disukai, kandungan lemaknya lebih rendah dan serat-seratnya sangat lembut dibanding dari jenis ternak besar lainnya. Proses pembuatannya praktis tidak sulit dan banyak dikonsumsi di dalam negeri dan dipasarkan ke luar negeri sebagai komoditi ekspor. Dendeng daging sapi terasa enak karena diberi bumbu sebelum dilakukan proses pengeringan dan dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama.

Hasil pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong, Kabupaten Agam memiliki total nilai skor terbobot terbesar dan dinilai cukup tepat sebagai lokasi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Hasil evaluasi dengan sistem pakar, lokasi pengembangan cukup sesuai di Kabupaten Agam. Kabupaten Agam memiliki kawasan sentra produksi peternakan sapi potong yang menjadi lumbung ternak nagari di wilayah Agam bagian Timur. Wilayah tersebut memiliki infrastruktur dan ketersediaan jaringan utilitas, dekat dengan pasar perdagangan yakni Padang dan Sumatera tengah (Sumbar, Riau, Jambi) serta Bukittinggi sebagai kota dan pasar wisata untuk pengembangan bagi industri kecil makanan olahan berbagai produk dari sapi potong. Jaringan transportasi tersedia dan kawasan terletak pada posisi strategis dan persimpangan ke Medan, Batusangkar, Payakumbuh menuju Pekanbaru, dan mengelilingi Kota Bukittinggi menuju Padang.

Hasil evaluasi model perencanaan sistem pakar merekomendasikan perlu peningkatan kapasitas produksi dendeng kering. Dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku, kebutuhan bahan baku daging sapi semula 30.000 kg ditingkatkan menjadi 60.000 kg ditambah dengan bahan tambahan (bumbu), diperoleh kapasitas produksi titik impas produk dendeng kering sebesar 25.212 kg dengan biaya tetap sebesar Rp. 85.896.468,-, biaya variabel per unit untuk memproduksi dendeng kering adalah Rp. 136.393 per kg dan harga jual BEP sebesar Rp. 139.800,- per kg. Berdasarkan kapasitas produksi BEP kapasitas produksi yang dirancang untuk tahun pertama sebesar 5 persen dari kapasitas BEP, yakni sebesar 26.472 kg. Tahun kedua 10 persen dari kapasitas BEP, sebanyak 27.733 kg dan tahun ketiga sampai tahun ke sepuluh ditingkatkan sebesar 20 persen dari kapasitas BEP, menjadi 30.254 kg per tahun.

Hasil evaluasi model perencanaan terhadap akses ke perbankan konvensional menggunakan KBMS dengan sistem pakar ternyata rendah. Berdasarkan beberapa informasi, rendahnya akses ke perbankan konvensional antara lain disebabkan tingkat biaya suku bunga bank dalam pemberian kredit sebesar 14 persen dinilai masih tinggi. Hasil keputusan evaluasi dengan KBMS, bahwa tingkat suku bunga bank konvensional perlu diturunkan lagi. Hasil konsultasi dengan pimpinan salah satu bank


(10)

konvensional, pemberian kredit modal usaha dapat diberikan dengan pembebanan tingkat suku bunga bank sebesar 12 persen per tahun.

Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan tanah ulayat hasil verifikasi dapat diselesaikan dengan adanya kesepakatan pembagian saham antara pemilik lahan ulayat dan industri. Hasil analisis pemilihan prioritas penyelesaian (resolusi) konflik ditunjukkan oleh nilai tertinggi pada kesesuaian pembagian saham di dalam kaum. Hasil kesepakatan, kepemilikan saham pemilik tanah ulayat setara dengan nilai Rp. 100.000,- per meter. Dengan lahan atau tanah yang dimiliki pemegang hak ulayat seluas 400 M2, maka nilai saham yang dimiliki sebesar Rp. 40.000.000,- atau 16,97 % dari total modal perusahaan sebesar Rp. 235.713.180,- dan nilai saham pengelola (pihak industri) sebesar 83,03 %. Jumlah pembagian keuntungan dari kepemilikan saham diterima pemilik lahan/tanah ulayat terhitung dimulai pada tahun ke tiga sebesar Rp. 31.050.258,- tahun ke empat diterima pemilik lahan sebesar Rp. 37.017.945,- dan tahun ke lima diterima sebesar Rp. 37.540.661,- Pada tahun ke enam sampai tahun ke sepuluh diterima sebesar Rp. 41.273.945,- per tahun. Secara keseluruhan, selama sepuluh tahun pemilik lahan/tanah ulayat menerima sebesar Rp. 311.978.538,- atau rata-rata per tahun dalam sepuluh tahun diterima sebesar Rp. 31.197.854,- Hasil evaluasi KBMS menunjukkan nilai shareholder dan bagi hasil yang diterima pemilik lahan (tanah ulayat) cukup tinggi.

Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil sangat diperlukan dalam implementasi model pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat, karena dari hasil evaluasi terhadap penilaian komitmen dari stakeholder untuk pengembangan usaha kecil ternyata rendah. Berpedoman pada manfaat langsung dan manfaat tidak langsung yang tinggi akan diperoleh dengan pengembangan agroindustri sapi potong, maka perlu adanya kebijakan pemerintah untuk meningkatkan komitmen dalam pengembangan usaha kecil.

Dari hasil evaluasi sistem pakar dalam KBMS dan pengolahan secara agregasi kriteria-pakar ternyata manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dinilai tinggi jika mengembangkan dan membangun agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Manfaat langsung tersebut adalah 1) Kenaikan nilai hasil produksi sapi potong, 2) Meningkatnya mutu produksi, 3) Berkurangnya biaya operasional pemasaran, 4) Meningkatnya kapasitas produksi, 5) Meningkatnya ketersediaan bahan baku, 6) Menambah penyerapan tenaga kerja lokal, 7) Meningkatnya tingkat pendapatan/keuntungan, 8) Peningkatan investasi, dan 9) Peningkatan penggunaan tanah/lahan. Manfaat tidak langsungnya adalah 1) Mendorong tumbuhnya industri-industri lain, 2) Bertambahnya nilai produksi industri-industri-industri-industri lain, 3) Meningkatnya kepercayaan berinvestasi, 4) Peningkatan pemanfaatan produk samping, 5) Peningkatan motivasi berusaha, 6) Mendorong meningkatnya inovasi teknologi, 7) Meningkatnya nilai lahan/tanah di lokasi pengembangan, 8) Mendorong tumbuhnya jumlah stakeholders, dan 9) Menjadikan contoh lokasi pengembangan agroindustri sapi potong, sehingga pembangunan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat secara ekonomi layak untuk dikembangkan.

Pembangunan agroindustri dendeng kering dengan bahan baku daging sapi 60.000 kg, menghasilkan kapasitas BEP sebesar 25.212 kg per tahun, membutuhkan alokasi investasi senilai Rp. 392.855.300,- Dengan kapasitas produksi 5 persen, 10 persen dan 20 persen di atas kapasitas produksi BEP menunjukkan Nilai bersih saat ini (NPV) sebesar Rp. 6.177.642.886,-; Tingkat kemampulabaan internal (IRR) sebesar 63,89 persen; Pemulihan investasi atau tahun kembali modal (PBP) selama 0,38 tahun; Nisbah biaya dan manfaat (Net B/C Ratio) sebesar 1,47. Kondisi tersebut memberikan informasi bahwa pembangunan agroindustri dendeng kering secara finansial dinyatakan layak dikembangkan.

Hasil analisis sensitivitas dengan memperkirakan biaya variabel naik 47 persen menunjukkan Nilai bersih saat ini (NPV) sebesar Rp. (141.340.296),-; Tingkat


(11)

kemampulabaan internal (IRR) sebesar (14,89) persen; Pemulihan investasi atau tahun kembali modal (PBP) selama 8,32 tahun; Nisbah biaya dan manfaat (Net B/C Ratio) sebesar 1,01. Kondisi tersebut memberikan informasi bahwa agroindustri dendeng kering secara finansial sudah tidak menguntungkan lagi dan tidak layak dikembangkan.

Kata kunci: Agroindustri sapi potong, strategi pengembangan, resolusi konflik, Sumatera Barat, matriks IE, matriks Grand Strategy, matriks SWOT, metoda Fuzzy-AHP.


(12)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim.

Alhamdulillahirrabbil’aalamin. Puji syukur dipersembahkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Pemilik segala ilmu, Pemberi rahmat dan kasih sayang yang telah melimpahkan hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2006 sampai Agustus 2007 dengan Judul Rekayasa Model Perencanaan dan Evaluasinya pada Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat ini dilaksanakan pada beberapa Kawasan Sentra Peternakan Sapi Potong di Sumatera Barat.

Rekayasa model perencanaan pengembangan agroindustri yang dihasilkan berupa sistem penunjang keputusan (SPK) dalam pemrograman AGRIBEST dapat digunakan untuk berbagai model perencanaan pengembangan agroindustri yang lain dan disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong menghasilkan model rumusan strategi pengembangan, model perencanaan agroindustri dari berbagai aspek pengembangan dan evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong menggunakan sistem manajemen berbasis pengetahuan (knowledge base management system - KBMS).

Ucapan terimakasih yang tidak terhingga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc, sebagai Ketua Komisi Pembimbing. Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id, MA.Dev, Dr. Ir. Illah Sailah, MS, Dr. Ir. Rudy Priyanto, dan Dr. Ir. Sukardi, MM, sebagai anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan, dorongan semangat dan moril serta nasehat, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Gubernur Sumatera Barat dan Wakil Gubernur Sumatera Barat yang telah memberikan izin tugas belajar dan Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Sumatera Barat yang telah memberikan rekomendasi tugas belajar di sekolah pascasarjana IPB.

Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada para personalia di bawah ini. 1. Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) Sekolah Pascasarjana IPB

yang telah mengarahkan dan memfasilitasi penulis selama mengikuti pendidikan. 2. Penguji luar komisi pada ujian tertutup Dr. Ir. Aref Daryanto, MEc (Direktur

Pascasarjana Magister Manajemen dan Bisnis, IPB. Prof. (Riset) Dr. Ir. Tjeppy D. Soedjana, MSc (Direktur Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI dan Dr. Ir.


(13)

Amril Aman, MSc (Depatemen Matematika FMIPA IPB) sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.

3. Rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian, khususnya angkatan 2003 yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam menyelesaikan studi.

Do’a yang tulus dan ucapan terimakasih penulis sampaikan, khusus untuk papa H. Mohd. Noer TA (Almarhum) dan mama Hj. Dahniar. Penghargaan dan terimakasih tidak terhingga disampaikan kepada kakak/abang dan ipar: Hj. Ely Yurnita dan M. Noh Isa, ST, H. Edy Tiawarman dan Hj. Jasnah Ely, SH, Edy Trisno dan Susi Susilowati, Edy Zamzami dan Rosmainar, Hj. Ely Yufrida, SE dan H. Hafni Abdullah, BSc, Adik Yuli Herni, SSos dan Taslim Yulius, SSiT serta istri tercinta Dwi Ramadhani, ananda Widya Dwifirman, Muhammad Fadly dan Naila Husna atas segala kesabaran, dorongan, pengertian dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak lepas dari kelemahan dan kekurangan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Semoga disertasi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

Bogor, Februari 2008 Firman Noer TA


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru Riau pada tanggal 17 Oktober 1965 sebagai anak ke enam dari tujuh bersaudara dari Bapak H. Mohd. Noer TA (Alm) dan Ibu, Hj. Dahniar. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri pada SMPP 49 jurusan IPA di Pekanbaru tahun 1984, penulis diterima di Program Studi Produksi Ternak (S1) pada Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang. Selama studi di Fakultas Peternakan tahun 1987 penulis dibantu dengan beasiswa Yayasan Toyota Astra Jakarta dan lulus pada tahun 1989. Pada tahun 2000 penulis diterima mengikuti program studi Magister Manajemen Agribisnis (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa Pemda Sumatera Barat dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan pada program doktor (S3) program studi Teknologi Industri Pertanian di Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa Pemda Sumatera Barat.

Setelah tamat sarjana penulis bekerja sebagai sales executive di Widyaloka

Group pada divisi PT. Widya Adimitra, sales supervisor di CV. Wing Komputer dan

marketing manager di CV. Harapan Indah di Pekanbaru. Pada tahun 1998 sampai sekarang sebagai pegawai negeri sipil di Pemda Sumatera Barat di Bidang Statistik dan Pelaporan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Sumatera Barat dan tahun 2002 di Bidang Produksi dan Sarana Perekonomian Bappeda Propinsi Sumatera Barat di Padang. Berdasarkan keputusan Gubernur Sumatera Barat pada bulan Agustus 2003 menjadi mahasiswa tugas belajar pada program doktor (S3) di Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menikah dengan Dwi Ramadhani pada tahun 1992 dan telah dikaruniai dua orang putri dan seorang putra. Putri pertama Widya Dwifirman, putra bernama Muhammad Fadly dan putri kedua Naila Husna.

Selama mengikuti program S3, penulis telah menulis artikel ilmiah yang berjudul Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat diajukan ke Jurnal Teknik Industri INOVISI (ISSN: 0216-9673, Akreditasi Dirjen DIKTI No. 26/DIKTI/Kep/2005). Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis.


(15)

D AFTAR I SI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ...... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ....... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Ruang Lingkup ........ 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong ... 5

2.2. Alternatif Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 9

2.3. Model Perencanaan Pengembangan industri ... 13

2.4. Evaluasi Model Perencanaan ... 14

2.5. Penyelesaian (Resolusi) Konflik ... 15

2.6. Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah ... 16

2.7. Sistem Penunjang Keputusan ... 16

2.8. Perkembangan Sistem Berbasis Komputer ... 18

III. LANDASAN TEORITIS ... 21

3.1. Konsep Pengembangan Kawasan ... 21

3.2. Analisis Faktor Lingkungan ... 22

3.3. Analisis SWOT ... 23

3.4. Metoda Fuzzy – AHP ... 23

3.5. Metoda Perbandingan Eksponensial ... 28

3.6. Metoda Faktor Peringkat ... 29

3.7. Metoda Prediksi ... 30

3.8. Analisis Titik Impas ... 31

3.9. Metoda Fuzzy- Semi Numerik... 32

3.10. Metoda Fuzzy - Non Numerik ... 33

3.11. Konsep Penyelesaian Konflik ... 34

3.12. Konsep Evaluasi Model Perencanaan ... 36

3.13. Metoda Kelayakan Ekonomi ... 37

3.14. Metoda Kelayakan Finansial ... 38

IV. METODA PENELITIAN ... 40

4.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ... 40

4.2. Tahapan Penelitian ... 42

4.3. Metoda Pengumpulan Data ... 42

4.4. Metoda Pengolahan dan Analisa Data ... 43

4.5. Metoda Penyusunan Model Perencanaan dan Evaluasi ... 44

4.6. Perancangan Implementasi Model Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 46

V. ANALISIS SISTEM ... 47

5.1. Pendekatan Sistem ... 47


(16)

Halaman

5.3. Formulasi Permasalahan ... 49

5.4. Identifikasi Sistem ... 49

5.5. Diagram Sebab-Akibat ... 49

5.6. Diagram Input-Output... 52

VI. PERMODELAN SISTEM PERENCANAAN ... 54 6.1. Susunan Model Perencanaan ... 54

6.2. Sistem Manajemen Basis data... 54

6.3. Sistem manajemen Basis Model... 63

6.4. Sistem Manajemen Basis Pengetahuan... 73

6.5. Sistem Manajemen Dialog... 74

VII. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL ... 75

7.1. Pengambilan Keputusan ... 75

7.2. Identifikasi Model Pengembangan Agroindustri ... 75

7.3. Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 77

7.4. Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 81

7.5. Evaluasi Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 104

VIII. MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAPI POTONG ... 108

8.1. Potensi Pengembangan Sapi Potong di Sumatera Barat ... 108

8.2. Model Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 113

8.3. Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri ... 126

8.4. Evaluasi Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 150

IX. RANCANGAN IMPLEMENTASI MODEL ... 155

9.1. Implementasi Model Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 155

9.2. Implementasi Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 164

9.3. Pemanfaatan Tanah Ulayat ... 166

9.4. Komitmen Stakeholder, Kelayakan Ekonomi dan Finansial ... 167

9.5. Implementasi Model Pemrograman AGRIBEST ... 170

9.6. Aplikasi Pemrograman AGRIBEST ... 172

X. KESIMPULAN DAN SARAN ... 173

10.1. Kesimpulan ... 173

10.2. Saran ... 174

DAFTAR PUSTAKA ... 176

DAFTAR ISTILAH ... 188


(17)

D AFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Komparasi beberapa model perencanaan pengembangan industri/

agroindustri ... 76

2. Permintaan total daging sapi berdasarkan jumlah konsumen dan konsumsi di Sumatera Barat ... 82

3. Hasil verifikasi analisa statistik prediksi permintaan total daging sapi di Sumatera Barat ... 83

4. Hasil verifikasi analisa statistik prediksi ketersediaan daging sapi di Sumatera Barat ... 84

5. Hasil verifikasi model prediksi permintaan total produk daging sapi di Sumatera Barat ... 85

6. Hasil verifikasi pengolahan metoda perbandingan eksponensial pemilihan produk agroindustri sapi potong ... 88

7. Hasil verifikasi metoda faktor peringkat (factor-rating method) pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong ... 90

8. Biaya variabel produksi dendeng kering ... 93

9. Hasil verifikasi kapasitas produksi titik impas produk dendeng kering ... 94

10. Proyeksi perencanaan kapasitas produksi dendeng kering ... 95

11. Hasil verifikasi model pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 96

12. Hasil verifikasi model komitmen stakeholder pengembangan agroindustri sapi potong ... 101

13. Hasil verifikasi model kelayakan ekonomi (manfaat dan biaya) terhadap pengembangan agroindustri sapi potong ... 102

14. Input parameter evaluasi KBMS model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 105

15. Deskripsi keputusan evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 106

16. Hasil verifikasi evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 107


(18)

Halaman

18. Pengeluaran, pemasukan dan pemotongan sapi di Sumatera Barat

Tahun 2001-2006 ... 110

19. Produksi dan konsumsi daging sapi di Sumatera Barat Tahun 1989-2005 ... 111

20. Penilaian faktor eksternal pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 115

21. Penilaian faktor internal pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 116

22. Ringkasan analisis faktor-faktor strategis pengembangan agroindustri di Sumatera Barat ... 117

23. Proyeksi ketersediaan daging sapi Sumatera Barat ... 127

24. Produk-produk agroindustri daging sapi dan hasil samping ... 129

25. Produk-produk agroindustri kulit sapi ... 130

26. Syarat mutu dendeng sapi menurut Standar Perdagangan (SP)-148-1982 ... 132

27. Lokasi pengembangan peternakan sapi potong di Sumatera Barat ... 136

28. Status tanah wilayah rencana pengembangan agroindustri sapi potong di Agam bagian Timur, Kabupaten Agam Sumatera Barat ... 138

29. Perencanaan kapasitas produksi pengembangan agroindustri dendeng kering ... 139

30. Perkiraan sumber pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 140

31. Prioritas resolusi konflik stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 142

32. Hasil verifikasi model pembagian keuntungan shareholder agroindustri dendeng kering ... 144

33. Hasil model komitmen stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong ... 145

34. Kriteria kelayakan analisa manfaat dan biaya ... 147

35. Penilaian kelayakan ekonomi pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 147


(19)

36. Penilaian pakar terhadap manfaat langsung pengembangan agroindustri

sapi potong di Sumatera Barat ... 148

Halaman

37. Penilaian pakar terhadap manfaat tidak langsung pengembangan

agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 148 38. Parameter penilaian evaluasi model perencanaan pengembangan

agroindustri sapi potong ... 151 39. Penilaian model perencanaan pengembangan agroindustri sapi

potong ... 152 40. Deskripsi keputusan evaluasi model perencanaan pengembangan

agroindustri sapi potong ... 153 41. Hasil evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri


(20)

D AFTAR GAM BAR

No. Teks Halaman

1. Pohon industri sapi potong ... 11

2. Alur penyelesaian masalah dengan metode fuzzy ... 19

3. Hubungan antara pengembangan wilayah, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi ... 21

4. Triangular fuzzy number (TFN) A = (α1, α2, α3) ... 25

5. Tahapan-tahapan AHP ... 27

6. Tingkatan hirarki AHP ... 28

7. Hirarki prioritas penyelesaian konflik ... 35

8. Proses evaluasi dan pengendalian ... 36

9. Kerangka pemikiran konseptual penelitian ... 41

10. Diagram implementasi model pengembangan agroindustri sapi potong ... 46

11. Diagram sebab-akibat sistem perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 50

12. Diagram input output sistem perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 52

13. Diagram alir perumusan model strategi pengembangan agroindustri sapi potong ... 64

14. Diagram alir model prediksi permintaan pasar dan ketersediaan produk ... 65

15. Diagram alir model pemilihan produk agroindustri sapi potong ... 66

16. Diagram alir model perencanaan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong ... 66

17. Diagram alir model perencanaan kapasitas produksi ... 67

18. Diagram alir model pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 68


(21)

Halaman

20. Diagram alir model resolusi konflik stakeholders ... 70

21. Diagram alir model penilaian komitmen stakeholders ... 71

22. Diagram alir model kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial ... 72

23. Diagram alir evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 73

24. Susunan sistem model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 74

25. Hasil analisis strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 79

26. Hirarki strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 80

27. Hasil analisis prioritas resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 98

28. Hirarki resolusi konflik stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 99

29. Peningkatan populasi dan pemotongan sapi di Sumatera Barat ... 108

30. Peningkatan produksi dan konsumsi daging sapi di Sumatera Barat ... 112

31. Posisi agroindustri sapi potong Sumatera Barat ... 119

32. Penilaian matriks Grand Strategy ... 120

33. Matriks SWOT agroindustri sapi potong Sumatera Barat ... 121

34. Proses pembuatan dendeng kering ... 133

35. Peta lokasi pengembangan peternakan sapi potong Sumatera Barat ... 134

36. Tiga tahapan model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 155

37. Model manajemen strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 156


(22)

Halaman

38. Rancangan implementasi model perencanaan

pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 164 39. Rancangan implementasi komitmen stakeholders, kelayakan

ekonomi dan kelayakan finansial ... 168 40. Tampilan antar muka (interface) AGRIBEST ... 171


(23)

D AFTAR LAM PI RAN

No. Teks Halaman 1. Prosedur perolehan dan pengolahan data penelitian ... 194 2. Evaluasi faktor internal dan eksternal ... 199 3. Prediksi pemrograman SAS permintaan, produksi dan ketersediaan

daging sapi di Sumatera Barat Tahun 1993 – 2028 ... 205 4. Kebutuhan bahan baku dan bahan tambahan, biaya tetap dan

biaya variabel, kebutuhan biaya investasi produksi

dendeng kering ... 209 5. Parameter sistem pakar, deskripsi keputusan evaluasi

dan skenario rule base ... 215 6. Aplikasi pemrograman AGRIBEST ... 223 7. Daftar informan, pakar dan responden ... 228 8. Potensi potensi kawasan peternakan (Lumbung ternak nagari)

sapi potong di Sumatera Barat ... 235 9. Panduan operasional (Manual) sistem penunjang keputusan


(24)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komoditi peternakan memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Salah satu komoditi peternakan itu adalah sapi potong. Populasi sapi potong hampir tersebar diseluruh Indonesia, bahkan di beberapa daerah komoditi sapi potong dijadikan sebagai komoditi unggulan dan hasilnya sebagian diolah menjadi produk agroindustri sapi potong.

Hasil sapi potong terutama berupa daging digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Pada tahun 2005 kebutuhan daging di dalam negeri sebesar 2.113.200 ton, sekitar 463.800 ton atau 21,95% dipenuhi oleh daging sapi. Besarnya permintaan konsumsi daging sapi sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti perubahan struktural atau keputusan dari suatu institusi, kebijakan adopsi teknologi, preferensi konsumen, harga eceran, jumlah konsumsi, populasi penduduk, pendapatan per kapita, sistem produksi sapi potong, harga sapi, harga daging dan harga produk substitusi, serta faktor kesehatan (genetik dan penyakit) sapi (Chavas, 1983; Pang et al., 1997; Priyanti et al., 1998; Pang et al., 1999; Bruce et al., 1999; Ilham, 2001; Grzybowski, 2002).

Pekembangan industri pengolah hasil (agroindustri) sapi potong sangat ditentukan oleh ketersediaan dari jumlah populasi sapi. Keputusan investasi seringkali dipengaruhi oleh ketersediaan populasi sapi dan pendistribusiannya (Foster dan Burt, 1992). Berdasarkan data statistik, populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 10.679.504 ekor. Jumlah tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2003 populasi sapi potong berjumlah 10.504.128 ekor dan tahun 2004 berjumlah 10.532.889 ekor dengan tingkat kenaikan populasi sebesar 0,83% per tahun (Dirjen Peternakan, 2006). Daerah-daerah yang potensial memiliki ketersediaan jumlah sapi potong adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat.

Pemotongan sapi di Indonesia baru dimanfaatkan sebagai penghasil daging dan beberapa hasil samping. Hasil sapi potong sebagai komoditi ekspor masih berupa bahan baku dan belum diolah menjadi produk hilir, sehingga nilai tambahnya belum dapat diperoleh di dalam negeri (Wasito, 2001). Hal ini terlihat dari ekspor produk dan hasil ternak berupa daging, kulit, tulang dan tanduk. Volume ekspor daging sapi Indonesia tahun 2006 berjumlah 98 ton dengan nilai US $ 113.200 atau setara dengan


(25)

US $ 1.155,10 per ton. Ekspor tulang dan tanduk sebesar 327,1 ton mempunyai nilai US $ 320.400 atau US $ 979,52 per ton, sedangkan kulit yang diekspor pada tahun yang sama sebesar 75.663.200 lembar dengan nilai US $ 97.733.600 atau setara dengan US $ 1,29 per lembar (Dirjen Peternakan, 2006). Padahal hasil sapi potong bila diolah dapat menjadi produk yang bernilai jual tinggi dan bernilai komersial baik di pasar domestik maupun ekspor dengan mengembangkan agroindustri sapi potong di dalam negeri dengan memperhatikan persyaratan standar dan sertifikasi mutu, aturan-aturan yang berlaku, harmonisasi perdagangan internasional, kesehatan, kondisi ekonomi atau faktor sosial budaya dan sistem peternakan yang memperhatikan agroekologi dan produk organik (Darmawan, 2001; Barcos, 2001; Figueiredo, 2002; Kumm, 2002).

Berdasarkan statistik peternakan, daerah pemasok tulang pada tahun 2002 sampai 2004 adalah Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Banten. Daerah pemasok kulit terbesar dari tahun 2002 sampai 2006 adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara, sedangkan di Sumatera hanya Bengkulu sebagai daerah pemasok kulit. Hal tersebut terlihat dari jumlah pengeluaran kulit dari Bengkulu pada tahun 2002 sebesar 6.000 lembar (Dirjen Peternakan, 2006), sedangkan daerah yang membutuhkan kulit tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Banten, dan Maluku Utara. Di Sumatera hanya Riau dan Bengkulu yang membutuhkan kulit. Pemasukan kulit ke Riau pada tahun 2005 dan 2006 sebesar 384.000 lembar, sedangkan pemasukan kulit ke Bengkulu pada tahun 2004 sebesar 328.000 lembar.

Sumatera Barat sebagai salah satu sentra sapi potong untuk wilayah Indonesia Bagian Barat. Pengembangan sapi potong di Sumatera Barat cukup berhasil, namun perkembangan industri pengolahan hasil atau agroindustri sapi potong belum terencana dengan baik. Populasi sapi potong di Sumatera Barat terkonsentrasi pada lumbung-lumbung ternak nagari di beberapa kabupaten dan kota. Keberhasilan perkembangan sapi potong tersebut tidak terlepas dari berbagai program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain program pengembangan kawasan sentra produksi. Setelah desentralisasi dan kembalinya sistem pemerintahan nagari, program pengembangan sapi potong dilanjutkan ke dalam program pengembangan kawasan peternakan, pengembangan kawasan agropolitan, dan pengembangan lumbung ternak nagari.

Agroindustri sapi potong di Sumatera Barat belum berkembang. Terlihat dari populasi dan produksi daging sapi potong di Sumatera Barat sampai tahun 2005


(26)

cenderung meningkat, namun hasilnya baru dikonsumsi sekitar 70,30 persen, bahkan daging sapi maupun sapi hidup didistribusikan ke propinsi tetangga, seperti ke Riau, Jambi dan Sumatera Utara, hanya sebagian kecil hasil sapi potong dijadikan produk olahan makanan. Hal tersebut disebabkan karena pengembangan agroindustri sapi potong belum terencana secara sistematis dan belum mampu menarik investor karena terkait dengan konflik sosial, terutama dalam memanfaatkan tanah ulayat.

Usaha pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat baru dilakukan melalui promosi oleh beberapa daerah saja berupa informasi profil industri pengolahan daging dan sapi potong, info investasi pertanian dalam proyek-proyek investasi dan profil usaha beberapa produk hasil sapi potong melalui situs web (http://www.kabupaten-agam.go.id [10-02-2007]; http://www.disnaksumbar. org [29-08-2007]; http://kpt-bukittinggi.go.id [31-08-2007]). Oleh karena itu, dengan kembalinya sistem pemerintahan nagari dan pemberlakuan desentralisasi, memberi kewenangan dan peluang bagi Sumatera Barat mengembangkan potensi hasil sapi potong melalui strategi dan perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong yang sistematis, berkeadilan dan dapat memenuhi permintaan pasar serta bernilai jual tinggi.

Upaya pengembangan agroindustri sapi potong tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi untuk diselesaikan dan diformulasikan ke dalam perencanaan, seperti 1) ketersediaan bahan baku (kontinuitas, mutu, adopsi teknologi, penyediaan, permintaan dan harga), 2) perencanaan lokasi pengembangan, 3) ketersediaan sarana dan prasarana, 4) manajemen sumber daya manusia, 5) investasi/permodalan, 6) konflik dalam pemanfaatan tanah/lahan, 7) keterbatasan data dan studi kelayakan yang kurang dan belum optimal, 8) kebijakan pemerintah belum berorientasi pada segmen pasar, kemauan dan kebutuhan masyarakat, serta faktor pertimbangan sosial budaya masyarakat (Gumbira-Sa’id dan Burhanuddin, 1996; Gumbira-Sa’id dan Intan, 1996; Priyanto et al., 1997; Priyanto et al., 1999; Bruce et al., 1999; Saragih, 2000; Wasito, 2001; Nasution, 2002; Yusdja dan Iqbal, 2002).

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membangun rekayasa model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menghasilkan rumusan model strategi pengembangan agroindustri sapi potong. 2. Mendapatkan rancang bangun model perencanaan dan evaluasinya dalam


(27)

tahap pengambilan keputusan, sehingga memberikan alternatif penyelesaian dalam pengambilan keputusan bagi pemanfaat dan stakeholders.

1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian untuk mencapai tujuan mendapatkan rancang bangun model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong, dibatasi oleh beberapa elemen berikut.

1. Kawasan sentra peternakan atau lumbung ternak nagari yang berorientasi pengembangan kawasan agroindustri sapi potong.

2. Strategi pengembangan agroindustri sapi potong yang dihasilkan berdasarkan pada pengembangan pembangunan lumbung ternak nagari.

3. Sistem perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong dimulai dengan mengkaji ulang dasar-dasar perencanaan, mengukur prestasi yang dicapai dan mengambil tindakan korektif yang perlu untuk sistem perencanaan dan evaluasi. 4. Beberapa elemen yang dikaji, adalah a) faktor-faktor strategis untuk merumuskan

strategi pengembangan agroindustri sapi potong, b) kelayakan pasar, c) perencanaan kapasitas produksi, d) prediksi sumber pembiayaan, e) model penyelesaian konflik, penilaian komitmen stakeholders, f) kelayakan ekonomi, yakni dampak manfaat dan biaya yang ditimbulkan serta kelayakan finansial, g) evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri yang telah dirancang. 5. Bahasan perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong yang dikaji

mendalam hanya aspek/keluaran model yang prioritasnya tertinggi.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat menambah ilmu dan berguna dalam operasional: 1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah propinsi dan kabupaten

kota dalam menyusun strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.

2. Menjadikan alat bantu dalam pengambilan keputusan bagi investor, perantau dan peternak dalam pengembangan sapi potong dan agroindustrinya.

3. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu sistem dan aplikasinya dalam sistem intelijen, penunjang keputusan dan strategi pengembangan agroindustri.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong

Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut Bachtiar (1991) dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian (peternakan) pada kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap variabel-variabel jumlah penduduk, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, luas padang rumput, luas tegalan/ladang dan luas sawah dari berbagai data populasi ternak di seluruh Indonesia. Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang tanpa penduduk walaupun areal tersedia.

Dalam hal ini Bachtiar (1991) menyatakan sebagai berikut.

1. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di wilayah yang relatif miskin, dimana tambahan pendapatan dari sektor lain belum terbuka.

2. Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya produksi/harga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan.

3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang

perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif.


(29)

Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi kawasan peternakan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan berdasarkan perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) membagi tingkat kawasan pertumbuhan/kemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri.

1. Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan.

2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok dalam bentuk usaha bersama agribisnis (KUBA). Telah dirintis pendirian unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai sudah berkurang.

3. Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan

yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas. Terdapat kelompok petani yang meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam wadah KUBA (Kelompok Usaha Bersama Agribisnis), dan dapat dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan.

Dalam pengembangan peternakan sapi potong terdapat beberapa aspek sarana dan prasarana yang penting diperhatikan selain aspek karakteristik komoditas


(30)

dan pemasaran, yaitu aspek teknis produksi, suhu dan lokasi lingkungan. Aspek teknis produksi dan suhu lingkungan yang sesuai sangat menentukan mutu hasil industri sapi potong. Aspek teknis produksi meliputi keadaan perkandangan baik fungsi, model kandang, bahan dan konstruksi, ukuran dan letak bangunan kandang (Santosa, 2000). Peralatan dan bangunan penunjang merupakan peralatan yang dibutuhkan dalam aspek teknis produksi. Peralatan penunjang tersebut yaitu tempat pakan dan minum dan peralatan kebersihan (Sugeng, 2001). Bangunan penunjang dalam aspek teknis antara lain gudang untuk penyimpan pakan dan peralatan, tempat pemotongan hewan, bak dan saluran limbah serta handling yard yaitu fasilitas yang diperlukan untuk menangani berbagai fungsi, seperti penimbangan, pemeriksaan dan pengobatan sapi, pemuatan atau pembongkaran ternak dari atau ke kendaraan.

Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) sarana dan prasarana pendukung pengembangan kawasan pengembangan sapi potong adalah 1) sarana produksi, yaitu adanya industri bibit/bakalan ternak, industri obat dan vaksin, 2) untuk pengamanan budi daya antara lain tersedianya poskeswan dan pos inseminasi buatan (IB), 3) untuk pengamanan pasca panen dan pengolahan hasil diperlukan adanya rumah potong hewan, industri pengolah daging dan produk ternak lainnya, 4) untuk pemasaran adalah adanya holding ground, pasar hewan, sarana transportasi, 5) untuk pengembangan usaha, terdapatnya kelembagaan keuangan (permodalan), penyuluh, koperasi, lembaga peneliti dan kelembagaan pasar dan 6) untuk prasarana pendukung lainnya, yaitu tersedianya jalan, listrik dan air.

Masalah sumber pembelian dan kualitas bakalan (bibit) sangat penting diketahui dalam usaha pembibitan sapi maupun penggemukan. Pemilihan semen beku bakalan merupakan aspek penting dalam pembibitan maupun penggemukan sapi (Sarwono dan Arianto, 2001), begitu juga dengan ketersediaan jenis pakan yang berkualitas dan pakan tambahan atau konsentrat, disesuaikan penggunaannya dalam usaha peternakan sapi potong (Hendratno dan Hendratno, 1991; Jamarun, 1991).

Menurut Dinas Peternakan Sumbar (2000a), peternak sapi di Sumatera Barat umumnya mengusahakan ternak sapi potong melalui usaha sapi bibit (bakalan) dan usaha penggemukan. Usaha peternakan umumnya hampir merata di seluruh kabupaten dan kota, namun lebih terkonsentrasi pada kawasan sentra peternakan yang disebut Lumbung Ternak Nagari. Pembangunan lumbung ternak nagari ditetapkan atas empat kebijakan pokok (Dinas Peternakan Sumbar, 2002a) sebagai berikut.


(31)

1. Pengembangan peternakan dilaksanakan pada kawasan sentra produksi peternakan,

2. Pengembangan usaha kecil menengah, terutama pada akses permodalan dan pasar melalui peran pemerintah sebagai fasilitator,

3. Pendekatan pelayanan publik oleh pemerintah harus menyediakan sarana dan sumber daya manusia sesuai kewenangannya,

4. Penyerahan kewenangan kepada kabupaten/kota menyangkut aspek a)

perizinan penanaman modal dalam negeri, b) kesehatan penyakit hewan menular, c) pengaturan pasokan dan permintaan, dan d) pelarangan dan pemusnahan bahan-bahan asal ternak yang masuk secara illegal.

Salah satu kawasan sentra produksi (KSP) di Sumatera Barat, yaitu Kabupaten Agam mengembangkan KSP dengan mengintegrasikan pengembangan budi daya tanaman pangan dengan peternakan (Madarisa, 2000). Pengembangan agribisnis sapi potong di Kabupaten Agam Sumatera Barat diperlukan strategi ekspansi dalam investasi dan memperkuat kelompok peternak sapi (Noer-TA, 2002). Strategi ekspansi dalam investasi yaitu pengembangan investasi dimana modal usaha yang ditanam dimanfaatkan untuk tujuan usaha peternakan yang produktif dengan pelaku atau kelembagaan yang berperan dalam ekspansi investasi tersebut adalah lembaga keuangan. Strategi memperkuat kelompok peternak sapi dilakukan agar usaha peternakan yang berbadan hukum dengan pelaku atau aktor yang berperan pengusaha swasta yang perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yang kondusif. Promosi kawasan sebagai sentra sapi bibit dan sapi potong perlu dilakukan sesuai dengan karakteristik agar dapat menarik investor atau peran perantau untuk berinvestasi di kampung halaman. Kerjasama dengan investor atau pengusaha swasta diperlukan dalam mengembangkan agribisnis sapi potong melalui pola kemitraan.

Peningkatan jumlah hasil ternak sapi potong dalam pengembangan peternakan seharusnya diikuti dengan peningkatan kualitas dari produk yang dihasilkannya. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan (Tim Fapet IPB, 2002) pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan produk yang berkualitas, seperti kualitas dari daging sapi sangat ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al. (1997; 1999) bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi bobot total daging yang dihasilkan.


(32)

Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah serta serat-serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan disukai konsumen. Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging sapi lebih disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah kandungan air daging.

Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut Sarwono dan Arianto (2001) dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen (Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan Sediono, 2000). Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam rumen (alat pencernaan).

Menurut Priyanto et al. (1999) nilai jual produk daging sapi di pasaran bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi mempunyai nilai ekonomi (mutu maupun harga) lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil ternak besar/kecil lainnya (Sugeng, 2001).

2.2. Alternatif Pengembangan Agroindustri Sapi Potong

Menurut Austin (1981), agroindustri adalah perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Pengolahan meliputi transformasi dan pengawetan malalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Pendistribusian bertujuan untuk memindahkan dan memasarkan (ekspor/impor) dari produk agroindustri yang dihasilkan. Pengembangan agroindustri yang pesat saat ini adalah untuk mempercepat memaksimalkan produksi hasil pertanian, meningkatkan mutu produk, dan mengamankan hasil pertanian (Gumbira-Sa’id dan Intan, 1996), sedangkan peningkatan ekspor dari ternak dan hasil ternak Indonesia yang terjadi belum dalam bentuk produk hilir, tetapi karena penerapan keamanan maksimum terhadap beberapa penyakit ternak dan Harmonized System

dan Standard International Trade Classification (HS dan SITC) dari hasil ternak (Sudarjat, 2002).


(33)

Sapi potong menghasilkan produk utama yaitu daging dan jeroan. Produk samping yaitu kulit, tulang, tanduk, darah, lemak, lidah, dan otak serta limbah yakni isi rumen dan kotoran. Hampir semua bagian sapi potong dapat dijadikan berbagai produk yang bermanfaat dapat makanan dan tidak bisa dimakan, seperti disajikan dalam pohon industri pada Gambar 1.

Daging sapi dapat diolah menjadi daging lumat atau daging cincang, daging potong, diekstrak dan diawetkan menghasilkan berbagai jenis produk. Pengawetan daging dapat dilakukan dengan cara pendinginan (chilling), perawatan (curing), pengasapan (smoking), pengeringan (drying), pengalengan (canning), pembekuan (freezing), dan irradiasi (irradiation) (Palupi, 1986; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [12-02-2008]).

Daging sapi lumat melalui proses curing dapat dijadikan bahan makanan, seperti bistik, sosis, corned, bakso, steak, nugget dan dikeringkan dapat menjadi abon dan dendeng giling. Daging sapi juga dapat diekstrak menjadi esense daging. Daging potongan melalui proses curing dapat diolah menjadi rendang, rawon, empal, sate, semur, sop dan daging curing, dan jika disayat tipis kemudian dikeringkan dapat menjadi dendeng sayat atau dendeng kering. Daging lumat setelah melalui proses

curing, penyinaran irradiasi kemudian dikalengkan dapat menjadi daging corned, sedangkan melalui proses pengawetan dengan pengasapan dapat menjadi daging asap. Daging sapi juga dapat tahan lama apabila dibekukan menjadi daging beku (Palupi, 1986; Purnomo, 1997; www.ristek.go.id, 2000; Astawan, 2004; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [12-02-2008]).

Daging, kulit dan bagian edible-offal (termasuk jeroan) dapat menghasilkan bahan makanan. Diantara produk olahan makanan hasil sapi potong adalah rendang. Rendang merupakan salah satu bahan makanan Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat. Saat ini rendang diprediksi telah berkembang menjadi menu makanan internasional di manca negara, seperti Malaysia, Eropa, Amerika Serikat dan Australia dan sangat strategis dikembangkan menjadi produk ekspor. Bahkan Malaysia telah mengekspor atas nama produk “Rendang Padang” (Uska, 2004). Rendang merupakan produk makanan olahan semi basah yang mengandung protein, mineral dan vitamin yang tinggi, tahan lama disimpan dan sangat populer di Indonesia, karena cocok bagi hampir semua lidah (Astawan, 2004a).


(34)

Gambar 1. Pohon industri sapi potong (Judoamidjojo, 1980; Palupi, 1986; Purnomo, 1997; www.ristek.go.id, 2000; Dewan Iptek dan Industri Sumbar, 2001; Astawan, 2004; Uska, 2004; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [12-02-2008]) Sa pi Pot ong

Produk Ut am a

Produk sam ping

Lim bah

Daging

Jeroan

Perawat an (cur ing)

Lidah Ot ak Darah Tanduk Tulang

I si Rum en Kot oran

Ek st rak (ex t ract)

Daging bek u

Pelum at an (pulver ize)

Sosis Corned Bakso Nugget Abon Rendang Sat e Daging kering

Kulit lapis Esense daging

Daging asap Dendeng

Em pal

Dendeng giling

Mak anan k er ing Mak anan basah Pak an

Kulit aw et Kulit sam ak berbulu

Kulit Jangat

Kulit perkam en

Mak anan Mak anan Tepung darah

Hiasan uk iran fat s

oils Gelat in

Tepung t ulang Ekst rak k alsium

Pupuk / kom pos

Kulit kalf Kulit split

Kulit pot ongan Kulit berat Wet blue

Kulit afk ir Kap lam pu Wayang k ulit Drum Rebana

Kulit sol Harm es Ban m esin

Tas Sepat u Jaket I kat pinggang Dom pet Pendinginan (chilling)

Pengasapan (sm oking) Pem bekuan (fr eezing)

Penger ingan (drying)

I r radiasi (irradiat ion)

Pengalengan (canning) Daging lum at

Dendeng ragi Dendeng sayat / ker ing

Sem ur Sop Rawon

St eak/ beef- st eak

Lem ak Kulit

Kerupuk Kulit Kulit sam ak


(35)

Rendang merupakan makanan siap saji, dapat lebih lama disimpan dan sangat steril bila dikemas dalam aluminium foil (Irawati, 2005). Rendang kemasan aluminium foil dapat disimpan selama satu setengah tahun melalui proses iradiasi atau penyinaran sinar gamma. Agar rendang dapat tahan lama dalam penyimpanan, proses penyinaran dilakukan di ruangan bersuhu minus 18oC selama dua malam, kemudian ditutup dalam dry-ice dan diselimuti aluminium foil selama 12 jam dalam suhu minus 79 oC.

Produk olahan lain dari daging sapi dari Sumatera Barat yang telah diekspor adalah dendeng kering. Dendeng merupakan salah satu produk awetan daging yang dikelompokkan sebagai daging curing dan merupakan produk bahan pangan semi basah dari Indonesia yang ditambah gula, garam dan rempah-rempah kemudian dijemur sampai kering (Margono et al., 2000; Hasbullah, 2001). Curing merupakan proses yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme melalui penggunaan garam dapur dan pengendalian aktivitas air. Prinsip pembuatan dendeng adalah substitusi air daging dengan bumbu pengawet. Untuk memperpanjang daya simpan, sebagian air bahan harus dihilangkan, misalnya melalui proses pengeringan (Purnomo, 1997). Dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging ternak, tetapi yang paling banyak dijumpai adalah dendeng sapi (Harris dan Karmas, 1989).

Jeroan sapi dapat diolah menjadi berbagai bakan makanan kering dan makanan basah. Jeroan sapi diolah dapat dijadikan pakan sebagai bahan makanan bagi ternak (Palupi, 1986; Murtidjo, 2005).

Produk samping sapi potong berupa kulit dapat diolah menjadi kulit samak berbulu, kulit samak, kulit jangat dan gelatin. Kulit samak diolah melalui proses pengawetan dapat menjadi kulit awet dan kulit perkamen. Kulit awet dapat dijadikan sebagai kulit split, kulit kalf untuk kulit lapis bahan pembuatan tas, sepatu, ikat pinggang dan dompet, kulit potongan, wet blue, kulit afkir dan kulit berat untuk kulit sol, harmes dan ban mesin. Kulit perkamen dapat dijadikan kap lampu, wayang kulit dan rebana. Kulit jangat dapat diolah menjadi kerupuk kulit (Judoamidjojo, 1980; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005).

Produk samping berupa tulang dan tanduk sapi dapat diolah menjadi tepung tulang, ekstrak kalsium, gelatin dan bahan hiasan dan ukiran. Lemak sapi dapat dijadikan fats dan oils. Darahnya dikeringkan dan dihaluskan dapat menjadi tepung darah dan lidah dan otaknya diolah menjadi bahan makanan, sedangkan limbah sapi potong berupa isi rumen dan kotoran dapat diolah menjadi kompos dan sebagai pupuk (Sugeng, 2001; Jaswir, 2007; www.IVS.org [29-07-2007] ; deptan.go.id [25-01-2008]).


(36)

2.3. Model Perencanaan Pengembangan Industri

Perencanaan secara umum menurut Kunarjo (2002) adalah suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu. Seiring dengan meningkatnya permintaan pasar domestik hasil ternak sapi potong perlu dilakukan perencanaan dalam penyiapan keputusan pengembangan agroindustri untuk masa yang akan datang, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap impor (Gumbira-Sa’id, 2000).

Beberapa model perencanaan dan kelayakan pengembangan industri atau agroindustri secara agregat yang diidentifikasi, dikelompokkan ke dalam berbagai aspek, yaitu: 1) seleksi produk yang akan dikembangkan sesuai dengan permintaan pasar, 2) aspek pasar, 3) aspek teknis, yaitu penentuan lokasi, kapasitas produksi, dan perencanaan bahan baku, dan 4) aspek keuangan. Selain masalah teknis adalah kondisi pasar, pasokan bahan baku, biaya investasi, pertimbangan sisi kelayakan lingkungan dan sosial serta aspek lainnya seharusnya sudah ada, yaitu aspek legalitas/izin usaha, aspek tenaga kerja atau sumber daya manusia dan manajemen, aspek kelayakan ekonomis dan investasi, aspek pembiayaan serta dapat dilengkapi dengan penyelesaian (resolusi) konflik (Dekopin, 1999; Saragih, 2000; Sutojo, 2002; Yusdja dan Iqbal, 2002; Haming dan Basalamah, 2003; Umar, 2003; Unido, 1978; Clifton dan Fyffe, 1977; Austin, 1981; FAO, 1972; Husnan dan Suwarsono, 2000; Balai Penelitian Pengembangan Pertanian, 2002 dan Sulistyadi, 2005).

Kelayakan ekonomis dikaji untuk mendapatkan manfaat dan biaya terhadap perekonomian secara keseluruhannya. Manfaat (benefits) diklasifikasikan ke dalam

direct benefits (manfaat langsung), indirect benefits (manfaat tidak langsung), dan

intangible benefits (manfaat tidak kentara). Manfaat langsung, seperti kenaikan nilai hasil produksi dengan meningkatnya jumlah produksi atau meningkatnya mutu produk atau terjadinya penurunan biaya. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang ditimbulkan secara tidak langsung yang merupakan multiplier effects dari pembangunan agroindustri, sedangkan manfaat tidak kentara adalah manfaat yang sukar diukur dengan uang, misalnya manfaat dalam perbaikan lingkungan hidup, berkurangnya pengangguran, peningkatan ketahanan nasional, sedangkan biaya diklasifikasikan menjadi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung merupakan semua pengeluaran langsung untuk keperluan pengembangan pembangunan agroindustri, seperti biaya investasi, biaya operasi, dan biaya pemeliharaan. Biaya tidak langsung merupakan biaya yang tidak kentara, seperti


(37)

terjadinya polusi udara, bising, dan perubahan nilai-nilai (norma) dalam masyarakat dalam pembangunan agroindustri (Nitisemito dan Burhan, 1995).

Aspek kelayakan keuangan (finansial) meliputi sumber dan kebutuhan dana investasi, aliran kas, nilai bersih saat ini (Net Present Value) yang merupakan selisih antara capital inflow yang didiskonto pada tingkat bunga minimum atau pada tingkat

cost of capital perusahaan dikurangi dengan nilai investasi. Tingkat pengembalian

modal (Internal Rate Return-IRR) merupakan tingkat suku bunga yang akan

disamakan terhadap present value cash inflow dengan jumlah investasi dari pembangunan yang sedang dinilai. Tahun kembali modal (Pay Back Period-PBP) merupakan penentuan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan initial investmen dari pembangunan agroindustri berdasarkan penggunaan cash inflow, dan nisbah biaya dan manfaat (Benefit Cost Ratio) (Gray et al. 1992; Haming dan Basalamah, 2003; Simarmata, 1984 dan Sutojo, 2002).

2.4. Evaluasi Model Perencanaan

Evaluasi dan pengendalian merupakan tahapan terakhir dalam suatu model perencanaan yang dibangun. Menurut Nitisemito dan Burhan (1995) evaluasi dan studi kelayakan dari suatu gagasan/model dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan suatu model diteruskan (diterima) atau ditolak (diperbaiki). Evaluasi dapat dilaksanakan sebelum, pada saat atau setelah selesainya suatu program, proyek atau kegiatan.

Sistem pakar dapat diterapkan dalam mengevaluasi suatu model perencanaan di bidang pertanian, industri, dan sebagainya yang bersifat cukup kompleks, tidak memiliki algoritma yang jelas dan membutuhkan kemampuan pakar untuk mencari sistematika penyelesaian secara evolutif. Penerapan sistem pakar dapat dilakukan dalam ruang lingkup permasalahan yang bersifat 1) analitik, yaitu penyelesaian masalah yang didasarkan atas kumpulan fakta (data) termasuk interpretasi dan diagnostik, yaitu menjalankan fungsi diagnosa komponen, telaah situasi dan identifikasi, 2) sintesis, yaitu pemecahan masalah yang dibatasi oleh sejumlah kendala dan pembatas, namun dalam interpretasinya menghasilkan rekomendasi yang telah digariskan sebelumnya, dan 3) integratif, yaitu penyelesaian masalah yang memadukan pendakatan analisis dengan sistem (Marimin, 2005).

Komponen basis pengetahuan dalam sistem pakar selain dapat direpresentasikan dengan pengetahuan statik (declarative knowledge), bisa juga direpresentasikan dengan pengetahuan dinamik (procedural knowledge), yaitu


(38)

representasi menggunakan kaidah produksi dan representasi logika. Teknis berbasis kaidah/aturan (rule base) yaitu teknik pengembangan yang menggunakan pernyataan-pernyataan IF premis (pernyataan) dan THEN aksi/kesimpulan. Kaidah produksi digunakan untuk pengetahuan prosedural yang distrukturisasi ke dalam bentuk: Jika, suatu keadaan tertentu [kondisi], maka keadaan lain dapat terjadi [aksi] dengan tingkat kepastian (certainty factor) tertentu [CF] dengan nilai positif dan benar, agar pengguna tidak dapat memberikan nilai negatif dari suatu parameter saat pelacakan. Nilai CF ditentukan dengan pernyataan yang benilai benar, yaitu nilai CF lebih besar sama dengan 0,2. Jika pernyataan IF dari kaidah dikombinasikan dengan fungsi AND, maka nilai CF adalah nilai terkecil. Jika dikombinasikan dengan fungsi OR, maka nilai CF adalah yang terbesar (Kristanto, 2004; Arhami, 2005). Pengetahuan para pakar

direpresentasikan dalam bentuk program komputer menggunakan rule base

berdasarkan kriteria if, then dan else. 2.5. Penyelesaian (Resolusi) Konflik

Pengembangan suatu industri pada daerah dan kawasan tertentu dapat memicu terjadinya permasalahan yang akhirnya menimbulkan konflik antar

stakeholder. Salah satu penyelesaian permasalahan tersebut adalah melakukan stakeholder dialogue. Stakeholder dialogue digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dan mengatasi konflik melalui kompromi dan dilakukan dengan cara dialog dari pihak yang saling berperkara.

Beberapa bentuk kesepakatan telah dicapai melalui pendekatan multy atribute utility dari persoalan perbedaan yang berakibat terjadinya konflik dari pihak yang berkepentingan (Tell, 1976; Sulistyadi, 2005). Multy atribute utility merupakan analisa biaya berdasarkan hypothetical compensation yang digunakan dalam menentukan nilai preferensi individual sosial (Turner et al, 1994). Nilai kesediaan satu individu untuk membayar kompensasi atas suatu usaha yang memberikan keuntungan kepada pihak lain yang mau menerima merupakan cara analisa manfaat dan biaya dari

hypothetical compensation (Sulistyadi, 2005). Identifikasi perbedaan kepentingan dalam pembangunan suatu industri dari beberapa kegagalan yang terjadi dicarikan solusi penyelesaian melalui mediator untuk menciptakan kerjasama dari pihak yang bersengketa menggunakan sistem informasi yang menghubungkan kedua belah pihak untuk bernegosiasi (Indonesian Alternative Dispute Resolution Unit, 2000). Mediator adalah pihak ketiga, dapat melalui pemerintah atau agen yang ditunjuk secara resmi yang tidak memihak ke salah satu yang berperkara dan bersifat adil.


(39)

2.6. Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah

Skala usaha kecil berdasarkan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI nomor 254/MPP/Kep/7/1997, yaitu nilai investasi yang dimiliki perusahaan seluruhnya mencapai Rp. 200 juta,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha (Deperindag RI: http://www.dprid.go.id [26 Februari 2005]. Pembiayaan UMKM dalam penambahan modal kerja/investasi untuk mengembangkan usaha dapat melalui Kredit Usaha Kecil (KUK) dari perbankan. Menurut peraturan Bank Indonesia (BI) disempurnakan (http://www.bi.go.id) [26 Februari 2005], besarnya pemberian kredit melalui KUK minimal adalah Rp. 500 juta per nasabah.

Istilah usaha kecil dan menengah (small and medium Enterprise; SME) menurut Bank Dunia dalam keputusan pemberian pinjaman adalah usaha kecil yang memiliki 50 orang tenaga kerja dengan total aset sampai dengan $ 3 juta dan total penjualannya mencapai $ 3 juta. Untuk usaha menengah memiliki tenaga kerja sebanyak 300 orang dengan total aset sampai dengan $ 15 juta dan total penjualannya mencapai $ 15 juta (http://www.wordbank.org) [26 Februari 2005].

Berbagai program peningkatan kemampuan permodalan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan sistem pinjaman/kredit berbunga pada perbankan konvensional, baik berbentuk kredit program (berbunga rendah), maupun kredit komersial. Terdapat pula alternatif lain dalam menunjang sistem pembiayaan UMKM, yakni pola bagi hasil melalui lembaga keuangan mikro syariah (Hendri, 2006). Sistem pembiayaan UMKM adalah pola bagi hasil (loss and profit sharing) yang merupakan nilai tradisional Indonesia yang dapat dikembangkan sebagai konsep dan sistem kelembagaan tradisional yang universal untuk menunjang (Darmansyah, 2005).

Di Indonesia, bagi hasil dikenal di seluruh daerah. Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk bagi dua; di Sumatera Barat dikenal sebutan sasiah, mampaduokan (sapaduo, saduoan, sapuduoan atau sapaduoan), mampatigoi (sapatigo), dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut thesang-tawadua

untuk bagi dua; di Bali dikenal nandu, telon, negmepat-empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya (Rino, 2007; Nagara, 2008; Syahyuti, http://www.geocities.com [04-02-2008].

2.7. Sistem Penunjang Keputusan

Falsafah kesisteman telah banyak digunakan dan berkembang dengan pesat sebagai penyelesaian berbagai persoalan yang semakin kompleks. Menurut Marimin (2004) pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas


(1)

Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan).

Bandung: Penerbit Mandar Maju.

Yager RR. 1993. Non Numeric Multy Criteria Multi-Person Decision Making. Group

Decision and Negotiation, Volume ke-2:81-93.

Yusdja Y, Iqbal M. 2002. Analisis Kebijaksanaan, Paradigma Pembangunan dan

Kebijaksanaan Pembangunan Agroindustri. Monograph Series No. 21.

Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Zen MT. 1999. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: Sumberdaya Alam, Sumberdaya

Manusia, dan Teknologi - Falsafah Dasar Pengembangan Wilayah;

Memberdayakan Manusia. Ed ke-1. Jakarta: Direktorat Kebijaksanaan

Teknologi untuk Pengembangan Wilayah BPPT dan UI Press.

Zulbahri M, Kuswandi, Martawidjaja M, Thalib C, Wiyono DB. 2000. Daun Gliricidia

sebagai Sumber Protein pada Sapi Potong. Dalam: Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September. Hal 233-241.


(2)

DAFTAR ISTILAH

Agroekologi – adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik

lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan

dapat diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata. Komponen utama

agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah.

Agroindustri – perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan

atau hewan. Pengolahan meliputi transformasi dan pengawetan malalui

perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan distribusi.

Biaya langsung

semua pengeluaran langsung untuk keperluan pengembangan

pembangunan agroindustri, seperti biaya investasi, biaya operasi, dan biaya

pemeliharaan.

Biaya tidak langsung

biaya yang tidak kentara, seperti terjadinya polusi udara,

bising, dan perubahan nilai-nilai (norma) dalam masyarakat dalam

pembangunan.

Daging

curing

– merupakan produk bahan pangan semi basah dari Indonesia yang

ditambah gula, garam dan rempah-rempah kemudian dijemur sampai kering.

Curing merupakan proses yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme

melalui penggunaan garam dapur dan pengendalian aw.

Edible-offal

bagian non karkas yang layak dan dapat dijadikan bahan makanan.

Bagian tersebut adalah lidah, otak, jantung, hati, paru-paru dan saluran

pencernaan serta ginjal dan limpa.

Evaluasi – merupakan tahapan akhir dalam manajemen strategis yang berhubungan

dengan proses pengendalian, dimana proses pengendalian membandingkan

kinerja dengan hasil yang diinginkan untuk mengevaluasi hasil-hasil yang

diperoleh dan mengambil tindakan perbaikan bila diperlukan.

Expert

atau ahli – Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan

pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu.

Fuzzy logic

atau

logika

fuzzy

– konsep gugus fuzzy

yang dimasukan ke dalam

kerangka pemikiran. Logika fuzzy merupakan basis penalaran yang dimulai

dengan pernyataan yang sifatnya kabur (grey) menggunakan teori himpunan

fuzzy. Logika fuzzy

merupakan metode penalaran yang sebagian atau

semua diskripsi aturan bersifat fuzzy.

Handling yard

– fasilitas yang diperlukan untuk menangani berbagai fungsi, seperti

penimbangan, pemeriksaan dan pengobatan sapi, pemuatan atau

pembongkaran ternak dari atau ke kendaraan.

Harmonized System

(HS)

– merupakan sederatan kode yang dimaksudkan untuk

mengklasifikasikan berbagai macam komoditi atau barang impor untuk

kemudian ditentukan tarif bea masuknya. Pengklasifikasian ini didasarkan

pada ketentuan pemerintah mengenai klasifikasi barang impor (tata niaga

komoditi impor), yaitu: a) barang yang bebas di impor, b) barang yang diatur,


(3)

c) barang yang diawasi, d) barang yang dibatasi, dan e) barang yang

dilarang.

Investasi – adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan

dengan

keuangan

dan

ekonomi

. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi

suatu bentuk

aktiva

dengan suatu harapan mendapatkan

keuntungan

dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai penanaman

modal.

Karkas – bagian tubuh ternak hasil pemotongan setelah dikurangi kepala, keempat

kaki pada bagian bawah (mulai dari carpus dan tarsus), kulit, darah, organ

dalam, seperti hati, jantung, paru-paru, limpa, saluran pencernaan beserta

isinya, dan saluran reproduksi.

Kaum – merupakan sekumpulan keluarga atau beberapa keluarga yang mempunyai

suku yang sama di Minangkabau berdasarkan garis keturunan ibu dalam

suatu nagari/kanagarian atau wilayah di Sumatera Barat.

Kelompok peternak

kumpulan peternak dapat berbadan hukum atau tidak yang

terdiri dari orang-orang yang membudidayakan binatang ternak sejenis.

Kebijakan – mengarahkan pengambilan keputusan. Sebuah ketetapan yang berlaku

yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang

membuatnya maupun yang mentaatinya

Konflik – sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang

untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai

bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa

frustasi dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi

minatnya atau konflik adalah proses pertikaian yang terjadi sedangkan

peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu

manifestasinya.

Konsentrat (pakan tambahan) – pakan yang kaya akan sumber protein dan atau

sumber energi, serta dapat mengandung pelengkap pakan dan atau

imbuhan pakan.

Koperasi –

badan usaha

yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum

koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas

kekeluargaan. Koperasi bertujuan untuk menyejahteraan anggotanya.

Lembaga Swadaya Masyarakat – sebuah

organisasi

yang didirikan oleh perorangan

ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan

pelayanan kepada

masyarakat

umum tanpa bertujuan untuk memperoleh

keuntungan dari kegiatannya.

Lumbung ternak nagari

lumbung mepunyai arti tempat penyimpanan atau gudang.

Lumbung ternak nagari mengandung makna sekumpulan populasi suatu

jenis ternak yang diusahakan/dipelihara oleh anak nagari dalam rangka

pembangunan peternakan pada kawasan sentra produksi peternakan di

dalam suatu nagari/batas-batas kenagarian di Sumatera Barat.


(4)

Manfaat langsung

Manfaat yang langsung dapat diperoleh seperti kenaikan nilai

hasil produksi dengan meningkatnya jumlah produksi atau meningkatnya

mutu produk atau terjadinya penurunan biaya.

Manfaat tidak kentara

manfaat yang sukar diukur dengan uang, misalnya manfaat

dalam perbaikan lingkungan hidup, berkurangnya pengangguran,

peningkatan ketahanan nasional.

Manfaat tidak langsung

manfaat yang ditimbulkan secara tidak langsung yang

merupakan multiplier effects dari suatu pembangunan.

Masyarakat setempat

kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik

Indonesia yang tinggal di dalam dan atau sekitar kawasan atau lumbung

ternak nagari yang membentuk komunitas didasarkan pada kesamaan mata

pencaharian yang berkaitan dengan peternakan sapi potong, kesejarahan,

keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama.

Nagari/Kenagarian

kesatuan masyarakat hukum adat dalam kabupaten/Kecamatan

yang terdiri dari himpunan beberapa suku di Minangkabau Sumatera Barat

yang mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu dan mempunyai harta

kekayaan sendiri, berwenang mengurus rumah tangganya dan memilih

pimpinan pemerintahannya.

Nilai tambah (

value added

)

sejumlah nilai ekonomis yang ditimbulkan oleh kegiatan

yang diselenggarakan dalam masing-masing satuan produksi, atau

selisih

penjualan dan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan baku dan

pembelian material pendukung.

Pemerintahan daerah kabupaten/kota

penyelenggaraan urusan pemerintahan

oleh

Pemerintah Daerah

dan

DPRD

Kabupaten/Kota menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam UUD 1945.

Pengembangan kawasan sentra produksi – merupakan pengembangan suatu

kawasan budidaya yang memiliki keunggulan dan potensi prospektif untuk

dikembangkan yang didasarkan pada potensi sumberdaya yang ada.

Konsep dasar penetapan kawasan menurut Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Propinsi Sumatera Barat adalah suatu kawasan

budidaya yang memiliki potensi dan telah memperoleh investasi

pemerintah/swasta/masyarakat yang prospektif untuk dikembangkan lebih

lanjut serta menjadi sebaran pengembangan kegiatan produksi, jasa, dan

pemukiman, prasarana wilayah pendukung dan prasarana wilayah

pengembangannya.

Pengusaha swasta – adalah: 1) orang, persekutuan atau badan hukum yang

menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri, 2) orang, persekutuan atau

badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan

miliknya, 3) orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia

mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2,

yang berkedudukan di luar Indonesia.


(5)

Perencanaan – suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan

pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran

tertentu.

Perkembangan wilayah

segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi

ekonomi wilayah, penyediaan fasilitas publik, serta potensi fisik dan

lingkungan suatu daerah.

Perusahaan daerah

suatu badan usaha yang modalnya merupakan kekayaan

daerah yang dipisahkan dan pendiriannya diprakarsai oleh Pemerintah

Daerah.

Populasi – wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang memiliki

kuantitas dan karakteristik.

Prinsip “

Adat diisi limbago dituang

prinsip dalam penyelesaian konflik yang

mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban menggunakan

perangkat adat (secara adat) Minangkabau untuk mencapai kesepakatan/

penyelesaian dari suatu persoalan (konflik).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

didefinisikan sebagai jumlah nilai

tambah bruto yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam wilayah

tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan

oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan

nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga

pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan

nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu

tahun tertentu sebagai dasar. PDRB atas dasar harga berlaku dapat

digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan harga

konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke

tahun. Dengan demikian, PDRB merupakan indikator untuk mengatur

sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumber

daya yang ada dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan

keputusan.

Sistem – suatu kesatuan yang terdiri

komponen

atau

elemen

yang dihubungkan

bersama untuk memudahkan aliran

informasi

,

materi

atau

energi

. Istilah ini

sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang

berinteraksi, di mana suatu

model matematika

seringkali bisa dibuat.

Strategi –

rencana

jangka panjang dengan diikuti tindakan-tindakan yang ditujukan

untuk mencapai

tujuan

tertentu, yang umumnya adalah "kemenangan".

Strategi dibedakan dengan

taktik

yang memiliki

ruang lingkup

yang lebih

sempit dan

waktu

yang lebih singkat, walaupun pada umumnya orang sering

kali mencampuradukkan ke dua kata tersebut. Contoh berikut

menggambarkan perbedaannya, "Strategi untuk memenangkan keseluruhan

kejuaraan dengan taktik untuk memenangkan satu pertandingan".

Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

nilai investasi yang dimiliki perusahaan

seluruhnya mencapai Rp. 200 juta,- tidak termasuk tanah dan bangunan

tempat usaha.


(6)

Validasi

Model

proses pengujian apakah model tersebut dalam lingkup aplikasinya

memiliki kisaran akurasi yang memuaskan dan konsisten dengan tujuan

penerapan model.

Verifikasi Model – proses meyakinkan bahwa program komputer dari model yang

dibuat beserta implementasinya adalah benar.