Rekayasa model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Utara

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komoditi peternakan memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Salah satu komoditi peternakan itu adalah sapi potong. Populasi sapi potong hampir tersebar diseluruh Indonesia, bahkan di beberapa daerah komoditi sapi potong dijadikan sebagai komoditi unggulan dan hasilnya sebagian diolah menjadi produk agroindustri sapi potong.

Hasil sapi potong terutama berupa daging digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Pada tahun 2005 kebutuhan daging di dalam negeri sebesar 2.113.200 ton, sekitar 463.800 ton atau 21,95% dipenuhi oleh daging sapi. Besarnya permintaan konsumsi daging sapi sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti perubahan struktural atau keputusan dari suatu institusi, kebijakan adopsi teknologi, preferensi konsumen, harga eceran, jumlah konsumsi, populasi penduduk, pendapatan per kapita, sistem produksi sapi potong, harga sapi, harga daging dan harga produk substitusi, serta faktor kesehatan (genetik dan penyakit) sapi (Chavas, 1983; Pang et al., 1997; Priyanti et al., 1998; Pang et al., 1999; Bruce et al., 1999; Ilham, 2001; Grzybowski, 2002).

Pekembangan industri pengolah hasil (agroindustri) sapi potong sangat ditentukan oleh ketersediaan dari jumlah populasi sapi. Keputusan investasi seringkali dipengaruhi oleh ketersediaan populasi sapi dan pendistribusiannya (Foster dan Burt, 1992). Berdasarkan data statistik, populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 10.679.504 ekor. Jumlah tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2003 populasi sapi potong berjumlah 10.504.128 ekor dan tahun 2004 berjumlah 10.532.889 ekor dengan tingkat kenaikan populasi sebesar 0,83% per tahun (Dirjen Peternakan, 2006). Daerah-daerah yang potensial memiliki ketersediaan jumlah sapi potong adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat.

Pemotongan sapi di Indonesia baru dimanfaatkan sebagai penghasil daging dan beberapa hasil samping. Hasil sapi potong sebagai komoditi ekspor masih berupa bahan baku dan belum diolah menjadi produk hilir, sehingga nilai tambahnya belum dapat diperoleh di dalam negeri (Wasito, 2001). Hal ini terlihat dari ekspor produk dan hasil ternak berupa daging, kulit, tulang dan tanduk. Volume ekspor daging sapi Indonesia tahun 2006 berjumlah 98 ton dengan nilai US $ 113.200 atau setara dengan


(2)

US $ 1.155,10 per ton. Ekspor tulang dan tanduk sebesar 327,1 ton mempunyai nilai US $ 320.400 atau US $ 979,52 per ton, sedangkan kulit yang diekspor pada tahun yang sama sebesar 75.663.200 lembar dengan nilai US $ 97.733.600 atau setara dengan US $ 1,29 per lembar (Dirjen Peternakan, 2006). Padahal hasil sapi potong bila diolah dapat menjadi produk yang bernilai jual tinggi dan bernilai komersial baik di pasar domestik maupun ekspor dengan mengembangkan agroindustri sapi potong di dalam negeri dengan memperhatikan persyaratan standar dan sertifikasi mutu, aturan-aturan yang berlaku, harmonisasi perdagangan internasional, kesehatan, kondisi ekonomi atau faktor sosial budaya dan sistem peternakan yang memperhatikan agroekologi dan produk organik (Darmawan, 2001; Barcos, 2001; Figueiredo, 2002; Kumm, 2002).

Berdasarkan statistik peternakan, daerah pemasok tulang pada tahun 2002 sampai 2004 adalah Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Banten. Daerah pemasok kulit terbesar dari tahun 2002 sampai 2006 adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara, sedangkan di Sumatera hanya Bengkulu sebagai daerah pemasok kulit. Hal tersebut terlihat dari jumlah pengeluaran kulit dari Bengkulu pada tahun 2002 sebesar 6.000 lembar (Dirjen Peternakan, 2006), sedangkan daerah yang membutuhkan kulit tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Banten, dan Maluku Utara. Di Sumatera hanya Riau dan Bengkulu yang membutuhkan kulit. Pemasukan kulit ke Riau pada tahun 2005 dan 2006 sebesar 384.000 lembar, sedangkan pemasukan kulit ke Bengkulu pada tahun 2004 sebesar 328.000 lembar.

Sumatera Barat sebagai salah satu sentra sapi potong untuk wilayah Indonesia Bagian Barat. Pengembangan sapi potong di Sumatera Barat cukup berhasil, namun perkembangan industri pengolahan hasil atau agroindustri sapi potong belum terencana dengan baik. Populasi sapi potong di Sumatera Barat terkonsentrasi pada lumbung-lumbung ternak nagari di beberapa kabupaten dan kota. Keberhasilan perkembangan sapi potong tersebut tidak terlepas dari berbagai program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain program pengembangan kawasan sentra produksi. Setelah desentralisasi dan kembalinya sistem pemerintahan nagari, program pengembangan sapi potong dilanjutkan ke dalam program pengembangan kawasan peternakan, pengembangan kawasan agropolitan, dan pengembangan lumbung ternak nagari.

Agroindustri sapi potong di Sumatera Barat belum berkembang. Terlihat dari populasi dan produksi daging sapi potong di Sumatera Barat sampai tahun 2005


(3)

cenderung meningkat, namun hasilnya baru dikonsumsi sekitar 70,30 persen, bahkan daging sapi maupun sapi hidup didistribusikan ke propinsi tetangga, seperti ke Riau, Jambi dan Sumatera Utara, hanya sebagian kecil hasil sapi potong dijadikan produk olahan makanan. Hal tersebut disebabkan karena pengembangan agroindustri sapi potong belum terencana secara sistematis dan belum mampu menarik investor karena terkait dengan konflik sosial, terutama dalam memanfaatkan tanah ulayat.

Usaha pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat baru dilakukan melalui promosi oleh beberapa daerah saja berupa informasi profil industri pengolahan daging dan sapi potong, info investasi pertanian dalam proyek-proyek investasi dan profil usaha beberapa produk hasil sapi potong melalui situs web (http://www.kabupaten-agam.go.id [10-02-2007]; http://www.disnaksumbar. org [29-08-2007]; http://kpt-bukittinggi.go.id [31-08-2007]). Oleh karena itu, dengan kembalinya sistem pemerintahan nagari dan pemberlakuan desentralisasi, memberi kewenangan dan peluang bagi Sumatera Barat mengembangkan potensi hasil sapi potong melalui strategi dan perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong yang sistematis, berkeadilan dan dapat memenuhi permintaan pasar serta bernilai jual tinggi.

Upaya pengembangan agroindustri sapi potong tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi untuk diselesaikan dan diformulasikan ke dalam perencanaan, seperti 1) ketersediaan bahan baku (kontinuitas, mutu, adopsi teknologi, penyediaan, permintaan dan harga), 2) perencanaan lokasi pengembangan, 3) ketersediaan sarana dan prasarana, 4) manajemen sumber daya manusia, 5) investasi/permodalan, 6) konflik dalam pemanfaatan tanah/lahan, 7) keterbatasan data dan studi kelayakan yang kurang dan belum optimal, 8) kebijakan pemerintah belum berorientasi pada segmen pasar, kemauan dan kebutuhan masyarakat, serta faktor pertimbangan sosial budaya masyarakat (Gumbira-Sa’id dan Burhanuddin, 1996; Gumbira-Sa’id dan Intan, 1996; Priyanto et al., 1997; Priyanto et al., 1999; Bruce et al., 1999; Saragih, 2000; Wasito, 2001; Nasution, 2002; Yusdja dan Iqbal, 2002).

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membangun rekayasa model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menghasilkan rumusan model strategi pengembangan agroindustri sapi potong. 2. Mendapatkan rancang bangun model perencanaan dan evaluasinya dalam


(4)

tahap pengambilan keputusan, sehingga memberikan alternatif penyelesaian dalam pengambilan keputusan bagi pemanfaat dan stakeholders.

1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian untuk mencapai tujuan mendapatkan rancang bangun model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong, dibatasi oleh beberapa elemen berikut.

1. Kawasan sentra peternakan atau lumbung ternak nagari yang berorientasi pengembangan kawasan agroindustri sapi potong.

2. Strategi pengembangan agroindustri sapi potong yang dihasilkan berdasarkan pada pengembangan pembangunan lumbung ternak nagari.

3. Sistem perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong dimulai dengan mengkaji ulang dasar-dasar perencanaan, mengukur prestasi yang dicapai dan mengambil tindakan korektif yang perlu untuk sistem perencanaan dan evaluasi. 4. Beberapa elemen yang dikaji, adalah a) faktor-faktor strategis untuk merumuskan

strategi pengembangan agroindustri sapi potong, b) kelayakan pasar, c) perencanaan kapasitas produksi, d) prediksi sumber pembiayaan, e) model penyelesaian konflik, penilaian komitmen stakeholders, f) kelayakan ekonomi, yakni dampak manfaat dan biaya yang ditimbulkan serta kelayakan finansial, g) evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri yang telah dirancang. 5. Bahasan perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong yang dikaji

mendalam hanya aspek/keluaran model yang prioritasnya tertinggi.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat menambah ilmu dan berguna dalam operasional: 1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah propinsi dan kabupaten

kota dalam menyusun strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.

2. Menjadikan alat bantu dalam pengambilan keputusan bagi investor, perantau dan peternak dalam pengembangan sapi potong dan agroindustrinya.

3. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu sistem dan aplikasinya dalam sistem intelijen, penunjang keputusan dan strategi pengembangan agroindustri.


(5)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong

Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut Bachtiar (1991) dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian (peternakan) pada kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap variabel-variabel jumlah penduduk, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, luas padang rumput, luas tegalan/ladang dan luas sawah dari berbagai data populasi ternak di seluruh Indonesia. Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang tanpa penduduk walaupun areal tersedia.

Dalam hal ini Bachtiar (1991) menyatakan sebagai berikut.

1. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di wilayah yang relatif miskin, dimana tambahan pendapatan dari sektor lain belum terbuka.

2. Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya produksi/harga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan.

3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif.


(6)

Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi kawasan peternakan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan berdasarkan perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) membagi tingkat kawasan pertumbuhan/kemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri.

1. Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan.

2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok dalam bentuk usaha bersama agribisnis (KUBA). Telah dirintis pendirian unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai sudah berkurang. 3. Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan

yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas. Terdapat kelompok petani yang meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam wadah KUBA (Kelompok Usaha Bersama Agribisnis), dan dapat dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan.

Dalam pengembangan peternakan sapi potong terdapat beberapa aspek sarana dan prasarana yang penting diperhatikan selain aspek karakteristik komoditas


(7)

dan pemasaran, yaitu aspek teknis produksi, suhu dan lokasi lingkungan. Aspek teknis produksi dan suhu lingkungan yang sesuai sangat menentukan mutu hasil industri sapi potong. Aspek teknis produksi meliputi keadaan perkandangan baik fungsi, model kandang, bahan dan konstruksi, ukuran dan letak bangunan kandang (Santosa, 2000). Peralatan dan bangunan penunjang merupakan peralatan yang dibutuhkan dalam aspek teknis produksi. Peralatan penunjang tersebut yaitu tempat pakan dan minum dan peralatan kebersihan (Sugeng, 2001). Bangunan penunjang dalam aspek teknis antara lain gudang untuk penyimpan pakan dan peralatan, tempat pemotongan hewan, bak dan saluran limbah serta handling yard yaitu fasilitas yang diperlukan untuk menangani berbagai fungsi, seperti penimbangan, pemeriksaan dan pengobatan sapi, pemuatan atau pembongkaran ternak dari atau ke kendaraan.

Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) sarana dan prasarana pendukung pengembangan kawasan pengembangan sapi potong adalah 1) sarana produksi, yaitu adanya industri bibit/bakalan ternak, industri obat dan vaksin, 2) untuk pengamanan budi daya antara lain tersedianya poskeswan dan pos inseminasi buatan (IB), 3) untuk pengamanan pasca panen dan pengolahan hasil diperlukan adanya rumah potong hewan, industri pengolah daging dan produk ternak lainnya, 4) untuk pemasaran adalah adanya holding ground, pasar hewan, sarana transportasi, 5) untuk pengembangan usaha, terdapatnya kelembagaan keuangan (permodalan), penyuluh, koperasi, lembaga peneliti dan kelembagaan pasar dan 6) untuk prasarana pendukung lainnya, yaitu tersedianya jalan, listrik dan air.

Masalah sumber pembelian dan kualitas bakalan (bibit) sangat penting diketahui dalam usaha pembibitan sapi maupun penggemukan. Pemilihan semen beku bakalan merupakan aspek penting dalam pembibitan maupun penggemukan sapi (Sarwono dan Arianto, 2001), begitu juga dengan ketersediaan jenis pakan yang berkualitas dan pakan tambahan atau konsentrat, disesuaikan penggunaannya dalam usaha peternakan sapi potong (Hendratno dan Hendratno, 1991; Jamarun, 1991).

Menurut Dinas Peternakan Sumbar (2000a), peternak sapi di Sumatera Barat umumnya mengusahakan ternak sapi potong melalui usaha sapi bibit (bakalan) dan usaha penggemukan. Usaha peternakan umumnya hampir merata di seluruh kabupaten dan kota, namun lebih terkonsentrasi pada kawasan sentra peternakan yang disebut Lumbung Ternak Nagari. Pembangunan lumbung ternak nagari ditetapkan atas empat kebijakan pokok (Dinas Peternakan Sumbar, 2002a) sebagai berikut.


(8)

1. Pengembangan peternakan dilaksanakan pada kawasan sentra produksi peternakan,

2. Pengembangan usaha kecil menengah, terutama pada akses permodalan dan pasar melalui peran pemerintah sebagai fasilitator,

3. Pendekatan pelayanan publik oleh pemerintah harus menyediakan sarana dan sumber daya manusia sesuai kewenangannya,

4. Penyerahan kewenangan kepada kabupaten/kota menyangkut aspek a) perizinan penanaman modal dalam negeri, b) kesehatan penyakit hewan menular, c) pengaturan pasokan dan permintaan, dan d) pelarangan dan pemusnahan bahan-bahan asal ternak yang masuk secara illegal.

Salah satu kawasan sentra produksi (KSP) di Sumatera Barat, yaitu Kabupaten Agam mengembangkan KSP dengan mengintegrasikan pengembangan budi daya tanaman pangan dengan peternakan (Madarisa, 2000). Pengembangan agribisnis sapi potong di Kabupaten Agam Sumatera Barat diperlukan strategi ekspansi dalam investasi dan memperkuat kelompok peternak sapi (Noer-TA, 2002). Strategi ekspansi dalam investasi yaitu pengembangan investasi dimana modal usaha yang ditanam dimanfaatkan untuk tujuan usaha peternakan yang produktif dengan pelaku atau kelembagaan yang berperan dalam ekspansi investasi tersebut adalah lembaga keuangan. Strategi memperkuat kelompok peternak sapi dilakukan agar usaha peternakan yang berbadan hukum dengan pelaku atau aktor yang berperan pengusaha swasta yang perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yang kondusif. Promosi kawasan sebagai sentra sapi bibit dan sapi potong perlu dilakukan sesuai dengan karakteristik agar dapat menarik investor atau peran perantau untuk berinvestasi di kampung halaman. Kerjasama dengan investor atau pengusaha swasta diperlukan dalam mengembangkan agribisnis sapi potong melalui pola kemitraan.

Peningkatan jumlah hasil ternak sapi potong dalam pengembangan peternakan seharusnya diikuti dengan peningkatan kualitas dari produk yang dihasilkannya. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan (Tim Fapet IPB, 2002) pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan produk yang berkualitas, seperti kualitas dari daging sapi sangat ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al. (1997; 1999) bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi bobot total daging yang dihasilkan.


(9)

Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah serta serat-serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan disukai konsumen. Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging sapi lebih disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah kandungan air daging.

Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut Sarwono dan Arianto (2001) dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen (Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan Sediono, 2000). Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam rumen (alat pencernaan).

Menurut Priyanto et al. (1999) nilai jual produk daging sapi di pasaran bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi mempunyai nilai ekonomi (mutu maupun harga) lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil ternak besar/kecil lainnya (Sugeng, 2001).

2.2. Alternatif Pengembangan Agroindustri Sapi Potong

Menurut Austin (1981), agroindustri adalah perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Pengolahan meliputi transformasi dan pengawetan malalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Pendistribusian bertujuan untuk memindahkan dan memasarkan (ekspor/impor) dari produk agroindustri yang dihasilkan. Pengembangan agroindustri yang pesat saat ini adalah untuk mempercepat memaksimalkan produksi hasil pertanian, meningkatkan mutu produk, dan mengamankan hasil pertanian (Gumbira-Sa’id dan Intan, 1996), sedangkan peningkatan ekspor dari ternak dan hasil ternak Indonesia yang terjadi belum dalam bentuk produk hilir, tetapi karena penerapan keamanan maksimum terhadap beberapa penyakit ternak dan Harmonized System

dan Standard International Trade Classification (HS dan SITC) dari hasil ternak (Sudarjat, 2002).


(10)

Sapi potong menghasilkan produk utama yaitu daging dan jeroan. Produk samping yaitu kulit, tulang, tanduk, darah, lemak, lidah, dan otak serta limbah yakni isi rumen dan kotoran. Hampir semua bagian sapi potong dapat dijadikan berbagai produk yang bermanfaat dapat makanan dan tidak bisa dimakan, seperti disajikan dalam pohon industri pada Gambar 1.

Daging sapi dapat diolah menjadi daging lumat atau daging cincang, daging potong, diekstrak dan diawetkan menghasilkan berbagai jenis produk. Pengawetan daging dapat dilakukan dengan cara pendinginan (chilling), perawatan (curing), pengasapan (smoking), pengeringan (drying), pengalengan (canning), pembekuan (freezing), dan irradiasi (irradiation) (Palupi, 1986; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [12-02-2008]).

Daging sapi lumat melalui proses curing dapat dijadikan bahan makanan, seperti bistik, sosis, corned, bakso, steak, nugget dan dikeringkan dapat menjadi abon dan dendeng giling. Daging sapi juga dapat diekstrak menjadi esense daging. Daging potongan melalui proses curing dapat diolah menjadi rendang, rawon, empal, sate, semur, sop dan daging curing, dan jika disayat tipis kemudian dikeringkan dapat menjadi dendeng sayat atau dendeng kering. Daging lumat setelah melalui proses

curing, penyinaran irradiasi kemudian dikalengkan dapat menjadi daging corned, sedangkan melalui proses pengawetan dengan pengasapan dapat menjadi daging asap. Daging sapi juga dapat tahan lama apabila dibekukan menjadi daging beku (Palupi, 1986; Purnomo, 1997; www.ristek.go.id, 2000; Astawan, 2004; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [12-02-2008]).

Daging, kulit dan bagian edible-offal (termasuk jeroan) dapat menghasilkan bahan makanan. Diantara produk olahan makanan hasil sapi potong adalah rendang. Rendang merupakan salah satu bahan makanan Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat. Saat ini rendang diprediksi telah berkembang menjadi menu makanan internasional di manca negara, seperti Malaysia, Eropa, Amerika Serikat dan Australia dan sangat strategis dikembangkan menjadi produk ekspor. Bahkan Malaysia telah mengekspor atas nama produk “Rendang Padang” (Uska, 2004). Rendang merupakan produk makanan olahan semi basah yang mengandung protein, mineral dan vitamin yang tinggi, tahan lama disimpan dan sangat populer di Indonesia, karena cocok bagi hampir semua lidah (Astawan, 2004a).


(11)

Gambar 1. Pohon industri sapi potong (Judoamidjojo, 1980; Palupi, 1986; Purnomo, 1997; www.ristek.go.id, 2000; Dewan Iptek dan Industri Sumbar, 2001; Astawan, 2004; Uska, 2004; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [12-02-2008]) Sa pi Pot ong

Produk Ut am a

Produk sam ping

Lim bah

Daging

Jeroan

Perawat an (cur ing)

Lidah Ot ak Darah Tanduk Tulang

I si Rum en Kot oran

Ek st rak (ex t ract)

Daging bek u

Pelum at an (pulver ize)

Sosis Corned Bakso Nugget Abon Rendang Sat e Daging kering

Kulit lapis Esense daging

Daging asap Dendeng

Em pal

Dendeng giling

Mak anan k er ing Mak anan basah Pak an

Kulit aw et Kulit sam ak berbulu

Kulit Jangat

Kulit perkam en

Mak anan Mak anan Tepung darah

Hiasan uk iran fat s

oils Gelat in

Tepung t ulang Ekst rak k alsium

Pupuk / kom pos

Kulit kalf Kulit split

Kulit pot ongan Kulit berat Wet blue

Kulit afk ir Kap lam pu Wayang k ulit Drum Rebana

Kulit sol Harm es Ban m esin

Tas Sepat u Jaket I kat pinggang Dom pet Pendinginan (chilling)

Pengasapan (sm oking) Pem bekuan (fr eezing)

Penger ingan (drying)

I r radiasi (irradiat ion)

Pengalengan (canning) Daging lum at

Dendeng ragi Dendeng sayat / ker ing

Sem ur Sop Rawon

St eak/ beef- st eak

Lem ak Kulit

Kerupuk Kulit Kulit sam ak


(12)

Rendang merupakan makanan siap saji, dapat lebih lama disimpan dan sangat steril bila dikemas dalam aluminium foil (Irawati, 2005). Rendang kemasan aluminium foil dapat disimpan selama satu setengah tahun melalui proses iradiasi atau penyinaran sinar gamma. Agar rendang dapat tahan lama dalam penyimpanan, proses penyinaran dilakukan di ruangan bersuhu minus 18oC selama dua malam, kemudian ditutup dalam dry-ice dan diselimuti aluminium foil selama 12 jam dalam suhu minus 79 oC.

Produk olahan lain dari daging sapi dari Sumatera Barat yang telah diekspor adalah dendeng kering. Dendeng merupakan salah satu produk awetan daging yang dikelompokkan sebagai daging curing dan merupakan produk bahan pangan semi basah dari Indonesia yang ditambah gula, garam dan rempah-rempah kemudian dijemur sampai kering (Margono et al., 2000; Hasbullah, 2001). Curing merupakan proses yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme melalui penggunaan garam dapur dan pengendalian aktivitas air. Prinsip pembuatan dendeng adalah substitusi air daging dengan bumbu pengawet. Untuk memperpanjang daya simpan, sebagian air bahan harus dihilangkan, misalnya melalui proses pengeringan (Purnomo, 1997). Dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging ternak, tetapi yang paling banyak dijumpai adalah dendeng sapi (Harris dan Karmas, 1989).

Jeroan sapi dapat diolah menjadi berbagai bakan makanan kering dan makanan basah. Jeroan sapi diolah dapat dijadikan pakan sebagai bahan makanan bagi ternak (Palupi, 1986; Murtidjo, 2005).

Produk samping sapi potong berupa kulit dapat diolah menjadi kulit samak berbulu, kulit samak, kulit jangat dan gelatin. Kulit samak diolah melalui proses pengawetan dapat menjadi kulit awet dan kulit perkamen. Kulit awet dapat dijadikan sebagai kulit split, kulit kalf untuk kulit lapis bahan pembuatan tas, sepatu, ikat pinggang dan dompet, kulit potongan, wet blue, kulit afkir dan kulit berat untuk kulit sol, harmes dan ban mesin. Kulit perkamen dapat dijadikan kap lampu, wayang kulit dan rebana. Kulit jangat dapat diolah menjadi kerupuk kulit (Judoamidjojo, 1980; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005).

Produk samping berupa tulang dan tanduk sapi dapat diolah menjadi tepung tulang, ekstrak kalsium, gelatin dan bahan hiasan dan ukiran. Lemak sapi dapat dijadikan fats dan oils. Darahnya dikeringkan dan dihaluskan dapat menjadi tepung darah dan lidah dan otaknya diolah menjadi bahan makanan, sedangkan limbah sapi potong berupa isi rumen dan kotoran dapat diolah menjadi kompos dan sebagai pupuk (Sugeng, 2001; Jaswir, 2007; www.IVS.org [29-07-2007] ; deptan.go.id [25-01-2008]).


(13)

2.3. Model Perencanaan Pengembangan Industri

Perencanaan secara umum menurut Kunarjo (2002) adalah suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu. Seiring dengan meningkatnya permintaan pasar domestik hasil ternak sapi potong perlu dilakukan perencanaan dalam penyiapan keputusan pengembangan agroindustri untuk masa yang akan datang, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap impor (Gumbira-Sa’id, 2000).

Beberapa model perencanaan dan kelayakan pengembangan industri atau agroindustri secara agregat yang diidentifikasi, dikelompokkan ke dalam berbagai aspek, yaitu: 1) seleksi produk yang akan dikembangkan sesuai dengan permintaan pasar, 2) aspek pasar, 3) aspek teknis, yaitu penentuan lokasi, kapasitas produksi, dan perencanaan bahan baku, dan 4) aspek keuangan. Selain masalah teknis adalah kondisi pasar, pasokan bahan baku, biaya investasi, pertimbangan sisi kelayakan lingkungan dan sosial serta aspek lainnya seharusnya sudah ada, yaitu aspek legalitas/izin usaha, aspek tenaga kerja atau sumber daya manusia dan manajemen, aspek kelayakan ekonomis dan investasi, aspek pembiayaan serta dapat dilengkapi dengan penyelesaian (resolusi) konflik (Dekopin, 1999; Saragih, 2000; Sutojo, 2002; Yusdja dan Iqbal, 2002; Haming dan Basalamah, 2003; Umar, 2003; Unido, 1978; Clifton dan Fyffe, 1977; Austin, 1981; FAO, 1972; Husnan dan Suwarsono, 2000; Balai Penelitian Pengembangan Pertanian, 2002 dan Sulistyadi, 2005).

Kelayakan ekonomis dikaji untuk mendapatkan manfaat dan biaya terhadap perekonomian secara keseluruhannya. Manfaat (benefits) diklasifikasikan ke dalam

direct benefits (manfaat langsung), indirect benefits (manfaat tidak langsung), dan

intangible benefits (manfaat tidak kentara). Manfaat langsung, seperti kenaikan nilai hasil produksi dengan meningkatnya jumlah produksi atau meningkatnya mutu produk atau terjadinya penurunan biaya. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang ditimbulkan secara tidak langsung yang merupakan multiplier effects dari pembangunan agroindustri, sedangkan manfaat tidak kentara adalah manfaat yang sukar diukur dengan uang, misalnya manfaat dalam perbaikan lingkungan hidup, berkurangnya pengangguran, peningkatan ketahanan nasional, sedangkan biaya diklasifikasikan menjadi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung merupakan semua pengeluaran langsung untuk keperluan pengembangan pembangunan agroindustri, seperti biaya investasi, biaya operasi, dan biaya pemeliharaan. Biaya tidak langsung merupakan biaya yang tidak kentara, seperti


(14)

terjadinya polusi udara, bising, dan perubahan nilai-nilai (norma) dalam masyarakat dalam pembangunan agroindustri (Nitisemito dan Burhan, 1995).

Aspek kelayakan keuangan (finansial) meliputi sumber dan kebutuhan dana investasi, aliran kas, nilai bersih saat ini (Net Present Value) yang merupakan selisih antara capital inflow yang didiskonto pada tingkat bunga minimum atau pada tingkat

cost of capital perusahaan dikurangi dengan nilai investasi. Tingkat pengembalian modal (Internal Rate Return-IRR) merupakan tingkat suku bunga yang akan disamakan terhadap present value cash inflow dengan jumlah investasi dari pembangunan yang sedang dinilai. Tahun kembali modal (Pay Back Period-PBP) merupakan penentuan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan initial investmen dari pembangunan agroindustri berdasarkan penggunaan cash inflow, dan nisbah biaya dan manfaat (Benefit Cost Ratio) (Gray et al. 1992; Haming dan Basalamah, 2003; Simarmata, 1984 dan Sutojo, 2002).

2.4. Evaluasi Model Perencanaan

Evaluasi dan pengendalian merupakan tahapan terakhir dalam suatu model perencanaan yang dibangun. Menurut Nitisemito dan Burhan (1995) evaluasi dan studi kelayakan dari suatu gagasan/model dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan suatu model diteruskan (diterima) atau ditolak (diperbaiki). Evaluasi dapat dilaksanakan sebelum, pada saat atau setelah selesainya suatu program, proyek atau kegiatan.

Sistem pakar dapat diterapkan dalam mengevaluasi suatu model perencanaan di bidang pertanian, industri, dan sebagainya yang bersifat cukup kompleks, tidak memiliki algoritma yang jelas dan membutuhkan kemampuan pakar untuk mencari sistematika penyelesaian secara evolutif. Penerapan sistem pakar dapat dilakukan dalam ruang lingkup permasalahan yang bersifat 1) analitik, yaitu penyelesaian masalah yang didasarkan atas kumpulan fakta (data) termasuk interpretasi dan diagnostik, yaitu menjalankan fungsi diagnosa komponen, telaah situasi dan identifikasi, 2) sintesis, yaitu pemecahan masalah yang dibatasi oleh sejumlah kendala dan pembatas, namun dalam interpretasinya menghasilkan rekomendasi yang telah digariskan sebelumnya, dan 3) integratif, yaitu penyelesaian masalah yang memadukan pendakatan analisis dengan sistem (Marimin, 2005).

Komponen basis pengetahuan dalam sistem pakar selain dapat direpresentasikan dengan pengetahuan statik (declarative knowledge), bisa juga direpresentasikan dengan pengetahuan dinamik (procedural knowledge), yaitu


(15)

representasi menggunakan kaidah produksi dan representasi logika. Teknis berbasis kaidah/aturan (rule base) yaitu teknik pengembangan yang menggunakan pernyataan-pernyataan IF premis (pernyataan) dan THEN aksi/kesimpulan. Kaidah produksi digunakan untuk pengetahuan prosedural yang distrukturisasi ke dalam bentuk: Jika, suatu keadaan tertentu [kondisi], maka keadaan lain dapat terjadi [aksi] dengan tingkat kepastian (certainty factor) tertentu [CF] dengan nilai positif dan benar, agar pengguna tidak dapat memberikan nilai negatif dari suatu parameter saat pelacakan. Nilai CF ditentukan dengan pernyataan yang benilai benar, yaitu nilai CF lebih besar sama dengan 0,2. Jika pernyataan IF dari kaidah dikombinasikan dengan fungsi AND, maka nilai CF adalah nilai terkecil. Jika dikombinasikan dengan fungsi OR, maka nilai CF adalah yang terbesar (Kristanto, 2004; Arhami, 2005). Pengetahuan para pakar direpresentasikan dalam bentuk program komputer menggunakan rule base

berdasarkan kriteria if, then dan else.

2.5. Penyelesaian (Resolusi) Konflik

Pengembangan suatu industri pada daerah dan kawasan tertentu dapat memicu terjadinya permasalahan yang akhirnya menimbulkan konflik antar

stakeholder. Salah satu penyelesaian permasalahan tersebut adalah melakukan

stakeholder dialogue. Stakeholder dialogue digunakan untuk menyelesaikan

permasalahan dan mengatasi konflik melalui kompromi dan dilakukan dengan cara dialog dari pihak yang saling berperkara.

Beberapa bentuk kesepakatan telah dicapai melalui pendekatan multy atribute utility dari persoalan perbedaan yang berakibat terjadinya konflik dari pihak yang berkepentingan (Tell, 1976; Sulistyadi, 2005). Multy atribute utility merupakan analisa biaya berdasarkan hypothetical compensation yang digunakan dalam menentukan nilai preferensi individual sosial (Turner et al, 1994). Nilai kesediaan satu individu untuk membayar kompensasi atas suatu usaha yang memberikan keuntungan kepada pihak lain yang mau menerima merupakan cara analisa manfaat dan biaya dari

hypothetical compensation (Sulistyadi, 2005). Identifikasi perbedaan kepentingan dalam pembangunan suatu industri dari beberapa kegagalan yang terjadi dicarikan solusi penyelesaian melalui mediator untuk menciptakan kerjasama dari pihak yang bersengketa menggunakan sistem informasi yang menghubungkan kedua belah pihak untuk bernegosiasi (Indonesian Alternative Dispute Resolution Unit, 2000). Mediator adalah pihak ketiga, dapat melalui pemerintah atau agen yang ditunjuk secara resmi yang tidak memihak ke salah satu yang berperkara dan bersifat adil.


(16)

2.6. Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah

Skala usaha kecil berdasarkan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI nomor 254/MPP/Kep/7/1997, yaitu nilai investasi yang dimiliki perusahaan seluruhnya mencapai Rp. 200 juta,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha (Deperindag RI: http://www.dprid.go.id[26 Februari 2005]. Pembiayaan UMKM dalam penambahan modal kerja/investasi untuk mengembangkan usaha dapat melalui Kredit Usaha Kecil (KUK) dari perbankan. Menurut peraturan Bank Indonesia (BI) disempurnakan (http://www.bi.go.id) [26 Februari 2005], besarnya pemberian kredit melalui KUK minimal adalah Rp. 500 juta per nasabah.

Istilah usaha kecil dan menengah (small and medium Enterprise; SME) menurut Bank Dunia dalam keputusan pemberian pinjaman adalah usaha kecil yang memiliki 50 orang tenaga kerja dengan total aset sampai dengan $ 3 juta dan total penjualannya mencapai $ 3 juta. Untuk usaha menengah memiliki tenaga kerja sebanyak 300 orang dengan total aset sampai dengan $ 15 juta dan total penjualannya mencapai $ 15 juta (http://www.wordbank.org) [26 Februari 2005].

Berbagai program peningkatan kemampuan permodalan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan sistem pinjaman/kredit berbunga pada perbankan konvensional, baik berbentuk kredit program (berbunga rendah), maupun kredit komersial. Terdapat pula alternatif lain dalam menunjang sistem pembiayaan UMKM, yakni pola bagi hasil melalui lembaga keuangan mikro syariah (Hendri, 2006). Sistem pembiayaan UMKM adalah pola bagi hasil (loss and profit sharing) yang merupakan nilai tradisional Indonesia yang dapat dikembangkan sebagai konsep dan sistem kelembagaan tradisional yang universal untuk menunjang (Darmansyah, 2005).

Di Indonesia, bagi hasil dikenal di seluruh daerah. Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk bagi dua; di Sumatera Barat dikenal sebutan sasiah,

mampaduokan (sapaduo, saduoan, sapuduoan atau sapaduoan), mampatigoi

(sapatigo), dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut thesang-tawadua

untuk bagi dua; di Bali dikenal nandu, telon, negmepat-empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya (Rino, 2007; Nagara, 2008; Syahyuti, http://www.geocities.com [04-02-2008].

2.7. Sistem Penunjang Keputusan

Falsafah kesisteman telah banyak digunakan dan berkembang dengan pesat sebagai penyelesaian berbagai persoalan yang semakin kompleks. Menurut Marimin (2004) pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas


(17)

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Eriyatno (2003) menyatakan pendekatan sistem diperlukan karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh dan sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Struktur sistem yang dibagi ke dalam input, proses, dan output saling berinteraksi dengan lingkungannya dan frekuensi interaksi di dalamnya yang terjadi merupakan suatu mekanisme umpan balik (Turban, 1990).

Turban (1988) menyatakan, bahwa pada DSS terdapat beberapa komponen program, yaitu: 1) Dialogue Management, yaitu program yang mengelola tampilan layar yang menerima masukan (input) dari pengguna dan mengirim hasilnya (output) ke pengguna, 2) Data Management, yaitu sebagai penyimpan dan pengolah data dan informasi, 3) Model Management, yaitu suatu paket program yang berisi perhitungan finansial, statistik, model teknik optimasi dan metode kuantitatif lainnya yang mempunyai kemampuan analisis, dan 4) Knowledge Management, yaitu pendapat ahli yang dimasukkan ke dalam sistem untuk memecahkan masalah terutama untuk sistem yang semi kompleks dan tidak terstruktur yang biasa digunakan untuk Expert System, namun dapat juga ditambahkan pada DSS.

Sistem Penunjang Keputusan (decision support system, DSS) merupakan salah satu bagian dari pendekatan sistem (Turban, 1990). Pendekatan sistem pada manajemen dirancang untuk memanfaatkan analisis ilmiah pada permasalahan organisasi dengan tujuan untuk mengembangkan dan pengelolaan sistem operasi, dan perancangan sistem informasi dalam pengambilan keputusan (Suryadi dan Ramdhani, 2002). Perkembangan dari sistem pendukung keputusan pada pembentukan dasar pendekatan sistem adalah gagasan pengotomatisan atau pemrograman keputusan. Gagasan dasar dan utama mengenai pendekatan sistem pada sistem pendukung keputusan adalah hubungan timbal balik antara data, model, dan keputusan yang dihasilkan.

Model merupakan inti dari rancang bangun DSS, karena model dapat menghasilkan keputusan yang efektif bagi pengguna. Menurut Eriyatno (2003) model adalah ekspresi dari sebuah objek atau situasi aktual dunia. Model dapat melihat hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili beberapa aspek dari realitas yang sedang dikaji. Sistem berbasis komputer umumnya


(18)

menggunakan model matematika berupa persamaan, karena mudah dan cepat dimengerti, serta lebih tepat dalam pengolahan data dan informasi. Model dalam matematika umumnya dapat dibagi dua, yaitu model statik dan stokastik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu dan model dinamik yang mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model. Model stokastik adalah model yang didasari pada teknik peluang dan perhitungan adanya ketidakmenentuan atau disebut juga model probalistik. Model kuantitatif yang tidak mempertimbangkan peluang kejadian dalam matematika disebut model deterministik.

2.8. Perkembangan Sistem Berbasis Komputer

Perkembangan dan penggunaan komputer yang semakin pesat dan meluas, dipengaruhi oleh semakin banyaknya tekanan-tekanan dan permintaan dari para penggunanya. Penelitian dan pengembangan di bidang mesin kecerdasan buatan (artificial intelligence machine) digunakan adalah untuk mempercepat kinerja dan pengembangan sistem informasi berbasis komputer dalam mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan daya nalar dan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI), seperti penerapan di laboratorium, pabrik-pabrik dan rumah tangga (Marimin, 2002). Penerapan komputer di laboratorium menurut Sailah et al. (1989) digunakan dalam perhitungan-perhitungan proses. Analisa numerik hasil kecerdasan buatan dalam pemrograman komputer pada proses pangan, dimulai dari hasil penelitian laboratorium, kemudian mencari kondisi optimum sebagai acuan dalam suatu permodelan. Pemrograman komputer dalam analisa numerik tersebut hanya sebagai alat bantu dalam menyelesaikan perhitungan, karena salah satu tujuan dari kecerdasan buatan adalah merealisasi komputer yang memiliki kecerdasan seperti manusia untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi atau melakukan kegiatan yang memerlukan penalaran dinamik.

Diantara bidang-bidang yang tercakup pada sistem informasi berbasis komputer dalam sistem penunjang keputusan (decision support system, DSS) adalah sistem pakar (expert system, ES). Menurut Marimin (2002) perkembangan expert system (sistem pakar) dihasilkan dari penelitian dalam bidang intelijen/kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Sistem pakar ditujukan untuk memenuhi keinginan kecanggihan komputer oleh pemakai untuk dapat mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan daya nalar atau kecerdasan buatan. Sistem pakar merupakan sistem komputer yang berbasis pengetahuan yang terpadu di dalam sistem informasi dasar


(19)

dan memiliki kemampuan memecahkan berbagai persoalan dalam bidang tertentu secara cerdas dan efektif, seperti layaknya seorang pakar (Marimin, 2005).

Struktur dari sistem pakar pada prinsipnya tersusun atas beberapa komponen berikut: 1) fasilitas akuisisi pengetahuan, yaitu merupakan suatu proses untuk mendapatkan pengetahuan yang digunakan oleh seorang ahli dalam menyelesaian masalah pada domain tertentu, 2) sistem berbasis pengetahuan, yaitu merupakan tempat penyimpanan pengetahuan yang diperlukan untuk mengerti, merumuskan dan menyelesaikan masalah, 3) mesin inferensi, yaitu suatu modul yang berisi strategi penalaran yang dipakai oleh pakar pada saat mengolah atau memanipulasi fakta atau aturan yang tugas utamanya adalah menguji fakta, kaidah dan fakta baru jika memungkinkan serta memutuskan perintah sesuai dengan hasil penalaran, 4) fasilitas untuk menjelaskan dan justifikasi, dan 5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (Marimin, 2007).

Turban dan Aronson (2001) memperkenalkan teknologi pengambilan keputusan selain algoritma genetik (genetic algoritms, GA) dan berbeda dengan pendekatan kualitatif (qualitative reasoning) lainnya dalam sistem intelijen/kecerdasan buatan dan aplikasi dalam dunia nyata, yakni teknologi pengambilan keputusan menggunakan logika fuzzy (fuzzy logic) atau gugus fuzzy. Alur penyelesaian dalam pencarian solusi dengan metoda fuzzy dari permasalahan nyata disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Alur penyelesaian masalah dengan metoda

fuzzy (Marimin, 2002)

Represent asi Nat ural

Fuzzifikasi

Kom put asi Secara Fuzzy

Defuzzifik asi

Solusi Perm asalahan ny at a


(20)

Gugus fuzzy dapat mendefinisikan dan mengekspresikan dan menyelesaikan sifat kemenduaan (ambiguity) dalam bahasa sehari-hari, dimana logika biasa tidak dapat menyelesaikannya (Marimin, 2002). Gugus fuzzy merupakan perangkat yang tepat dalam mengekspresikan sifat kemenduaan dan merupakan media komunikasi yang dapat berbicara mengenai logika alami dan kompleksitas diantara manusia dan pengetahuan sosial. Sistem fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik yang mempunyai kemampuan mengembangkan sistem intelijen dalam lingkungan yang tidak pasti, dan tidak tepat. Sistem tersebut menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy. Logika fuzzy digunakan untuk menangani konsep derajat kebenaran dan sering menggunakan informasi linguistik dan verbal. Gugus fuzzy

didefinisikan oleh Bojadziev dan Bojadziev (1999) sebagai derajat elemen keanggotaan dalam suatu gugus fungsi yang berada dalam suatu selang tertentu dalam batasan yang tidak jelas (fuzzy). Gugus fuzzy dan keanggotaan fuzzy yang digunakan dalam logika fuzzy diekspresikan dalam model verbal/kata-kata (tinggi, rendah, sedang, besar, kecil) seperti dalam hal keuntungan, investasi, biaya, penghasilan, usia dan sebagainya.


(21)

III. LANDASAN TEORITIS

3.1. Konsep Pengembangan Kawasan

Zen (1999) menyatakan, pengembangan dalam arti development merupakan “kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat dilakukan, apa yang mereka miliki guna meningkatkan kualitas hidupnya dan orang lain”. Pengembangan harus diartikan sebagai keinginan untuk memperoleh perbaikan dan kemampuan menyelesaikannya. Masalah dasar pengembangan adalah motivasi dan pengetahuan lebih tampak dari pada masalah kekayaan. Konsep dasar pengembangan wilayah/kawasan merupakan usaha memadukan secara harmonis sumber daya alam, manusia dan teknologi dengan memperhatikan daya tampung lingkungan itu sendiri yang disebut dengan memberdayakan masyarakat, seperti disajikan pada Gambar 3.

Sumber daya Manusia

Sumber daya Teknologi Alam

Keterangan: LH : Lingkungan Hidup

Gambar 3. Hubungan antara pengembangan wilayah, sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi (Zen, 1999).

Secara garis besar terdapat empat konsep kovensional tentang pengembangan wilayah menurut Alkadri et al. (2001), yaitu: 1) pengembangan wilayah berbasis sumber daya, yaitu pengembangan berdasarkan kualitas dan kuantitas sumber daya yang dipunyai sebuah wilayah, 2) pengembangan wilayah berbasis komoditi unggulan, yaitu merupakan konsep pengembangan yang menekankan motor penggerak pembangunan suatu wilayah pada komoditas-komoditas yang dinilai bisa menjadi unggulan, 3) pengembangan wilayah berbasis efisiensi, yaitu konsep penekanan pengembangan wilayah melalui pembangunan ekonomi yang porsinya

L H L H

Pengem- bangan Wilayah

L H


(22)

lebih besar dibanding bidang-bidang lainnya, dan 4) pengembangan wilayah menurut pelaku pembangunan, yaitu pengembangan wilayah yang mengedepankan peranan setiap pelaku pembangunan ekonomi, seperti pelaku usaha kecil/rumah tangga, usaha lembaga sosial, lembaga non keuangan, lembaga keuangan dan pemerintah.

Selain dari empat konsep pengembangan wilayah konvensional di atas, terdapat konsep pengembangan kawasan agribisnis modern. Menurut Gumbira-Sa’id dan Burhanuddin (1996) konsep pengembangan kawasan agribisnis modern harus memiliki ciri sustainability yang ditinjau dari semua aspek sudut pandang. Agar resisten dari segala gangguan alam dan manusia dan terhindar dari kerusakan sumber daya alam, di dalam konsep pengembangan kawasan harus memperhatikan wawasan lingkungan. Untuk mencapai kesinambungan diperlukan pendekatan

resource-base yang merupakan kekuatan pengembangan kawasan agribisnis modern. Pembangunan yang dilaksanakan pada konsep pengembangan kawasan agribisnis di samping menyangkut infrastruktur, juga membangun manusia dengan pendekatan yang seimbang dan mempunyai keterkaitan yang harmonis antara pendekatan top-down dan bottom-up, sehingga memberikan efek ganda. Pendekatan yang berasal dari bawah adalah dengan memobilisasi unggulan-unggulan lokal yang menyentuh harga diri dan membangun rasa percaya diri secara psikososial. Pendekatan ini diupayakan secara optimal untuk mengubah siklus tantangan dan unggulan-unggulan komparatif yang terpendam menjadi kawasan agribisnis yang modern. Pembangunan prasarana umum yang dilaksanakan pemerintah dapat menarik kalangan swasta berpartisipasi dalam mengembangkan kawasan tersebut yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dengan memilih dengan tepat sumber-sumber dan faktor-faktor yang memiliki potensi yang kuat (influencing factors).

3.2. Analisis Faktor Lingkungan

Analisis lingkungan dalam konsep membangun model perencanaan strategis penting sekali dilakukan. Purnomo dan Zulkieflimansyah (1999) menyatakan bahwa analisis lingkungan dilakukan karena terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan yang berada di luar (eksternal) dan di dalam (internal) suatu organisasi/ perusahaan yang mempengaruhi kemajuan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Lingkungan eksternal merupakan segala kekuatan yang berada di luar organisasi/perusahaan, yang mana pengaruh perusahaan tidak ada sama sekali. Pengaruh lingkungan eksternal organisasi/perusahaan tersebut sangat mempengaruhi kinerja perusahaan dalam suatu industri. Lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan


(23)

umum dan lingkungan industri. Lingkungan umum merupakan lingkungan eksternal suatu organisasi yang ruang lingkupnya luas. Faktor-faktor yang termasuk lingkungan umum adalah 1) faktor ekonomi, 2) faktor sosial, 3) faktor politik dan hukum, dan 4) faktor teknologi. Sedangkan lingkungan internal merupakan hasil analisis dari nilai atau identifikasi segala faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi.

Internal suatu organisasi/perusahaan merupakan kumpulan dari berbagai macam sumber daya, kapabilitas dan kompetensi yang dapat digunakan untuk membentuk posisi pasar tertentu. Analisis lingkungan internal mencakup analisis sumber daya, kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki dan mampu memanfaatkan peluang dengan cara efektif yang secara bersama mampu mengatasi ancaman.

3.3. Analisis SWOT

Analisis matriks Strength-Weakness-Opportunity-Threat (SWOT) merupakan salah satu alat analisis yang dapat menggambarkan secara jelas keadaan yang dihadapi perusahaan/organisasi. Rangkuti (2000) menyatakan bahwa penggunaan analisis SWOT dimulai dengan mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang didasarkan pada logika untuk memaksimalkan kekuatan yang dimiliki dan peluang yang ada dan secara bersamaan mampu meminimalkan kelemahan dan ancaman yang timbul yang berasal dari internal dan eksternal perusahaan/organisasi.

Alat analisis untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan/organisasi menggunakan matriks SWOT dapat menggambarkan dengan jelas peluang dan ancaman dari luar yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Matriks tersebut menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis, yaitu strategi SO, strategi ST, strategi WO, dan strategi WT.

3.4. Metoda Fuzzy - AHP

Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu alat bantu dalam proses pengambilan keputusan. AHP sangat cocok untuk digunakan pada masalah-masalah yang kompleks dan tidak terstruktur. Penilaian dalam AHP dilakukan terhadap relatif pentingnya suatu komponen dibandingkan dengan komponen lainnya dengan meminta pendapat pakar (ahli) pada bidang yang diteliti. Kelebihan AHP adalah sederhana dan tidak banyak menggunakan asumsi. Prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam AHP meliputi penyusunan hirarki, prinsip penentuan prioritas serta prinsip konsistensi logis (Saaty, 1991).


(24)

Penggabungan metoda Fuzzy dengan AHP dapat digunakan pada tahap input, yaitu dalam penilaian agar memudahkan pakar untuk melakukan pebandingan komparatif secara kualitatif. Pada tahap input sama seperti metoda AHP, dimulai mengidentifikasi sistem dengan menyusun kriteria-kriteria di setiap level hirarki, namun penilaian setiap kriteria menggunakan label Fuzzy (skala linguistik), sebagai berikut: 1. Mutlak Penting (Absolute Importance)

2. Sangat Jelas Lebih Penting (Very Strong Importance) 3. Jelas Lebih Penting (Strong Importance)

4. Sedikit Lebih Penting (Weak Importance) 5. Sama Penting (Equal Importance)

Global priority alternatif keputusan dapat diperoleh dengan melakukan

systhesis di setiap alternatif local priority. Bobot yang menunjukkan local priority

alternatif strategi setiap pakar digabungkan dengan menghitung rata-rata terbobot dalam fuzzy computation. Dengan menggunakan fungsi keanggotaan Triangular Fuzzy Number (TFN), pemrosesan bilangan fuzzy dilakukan secara matematika fuzzy

sesuai dengan metoda representasinya.

Analisis AHP dilakukan untuk menentukan prioritas dari beberapa alternatif sesuai dengan faktor-faktor penyusun hirarkinya dan tujuan yang ingin dicapai atau diprioritaskan dalam pengambilan keputusan untuk jangka waktu yang akan datang (Saaty, 1991). Pada analisa metoda AHP, terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan, sebagai berikut:

a. Identifikasi sistem: proses untuk menemukan pokok permasalahan yang akan diselesaikan, menentukan tujuan yang ingin dicapai, kriteria-kriteria yang akan digunakan dalam menentukan pilihan alternatif-alternatif yang akan dipilih.

b. Penyusunan hirarki dengan melakukan abstraksi antara komponen dan dampak-dampaknya pada sistem. Bentuk abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, tersusun dari puncak atau sasaran utama (goal) turun ke sub-sub level di bawahnya sebagai syarat penentu, kemudian turun lagi ke level berikutnya, misalnya pelaku (aktor) yang memberi dorongan level tujuan dari yang ingin dicapai pelaku. Pada level terakhir misalnya level kebijakan-kebijakan atau alternatif strategi. Penyusunan atas struktur keputusan secara hirarki dilakukan adalah untuk menggambarkan elemen sistem atas beberapa alternatif keputusan yang teridentifikasi.

c. Penyusunan matriks pendapat individu untuk setiap elemen hirarki dilakukan melalui perbandingan berpasangan, yaitu perbandingan setiap elemen sistem


(25)

dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga di dapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif.

d. Penilaian dengan metoda Fuzzy-AHP dapat menggunakan skala dengan label linguistik, misalnya dapat menggunakan Triangular Fuzzy Number (TFN), yaitu suatu nilai dengan menetapkan selang batas bawah, batas tengah dan batas atas, misalnya untuk nilai Mutlak penting/Absolute importance, batas selang batas bawah, batas tengah dan batas atas adalah (7, 9, 9), Sangat jelas lebih penting/Very strong importance (5, 7, 9), Jelas lebih penting/Strong importance (3, 5, 7), Sedikit lebih penting/Weak importance (1, 3, 5), dan untuk Sama penting/Equal importance (1/3, 1, 3). Kebalikannya, untuk nilai selang Sedikit lebih penting/Weak importance (1/5, 1/3, 1), Jelas lebih penting/Strong importance (1/7, 1/5, 1/3), Sangat jelas lebih penting/Very strong importance (1/9, 1/7, 1/5), dan Mutlak penting/Absolute importance (1/9, 1/9, 1/7) untuk mengkuantifikasi pendapat kualitatif tersebut. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Fungsi keanggotaan, penilaian dan perhitungan prioritas global/gabungan secara fuzzy (TFN) menurut Marimin (2002) disajikan pada Gambar 4.

μA (x)

1

.5

α1 0 α2 α3 x

Gambar 4. Triangular fuzzy number (TFN) A = (α1, α2, α3)

e. Nilai-nilai perbandingan yang telah dilakukan haruslah diperoleh tingkat konsistensinya, misalnya bila dalam melakukan perbandingan, hasil yang di dapat A > B dan B > C, maka secara logis seharusnya A > C. Untuk menghitung tingkat konsistensi analisa AHP digunakan rumus consistency ratio.


(26)

f. Penyusunan matriks gabungan. Setelah consistency ratio memenuhi, dilakukan penyusunan matriks gabungan responden. Selanjutnya dilakukan pengolahan vertikal dan menentukan vektor prioritas sistem.

Formula-formula yang digunakan dalam metoda Fuzzy-AHP sama seperti pada analisa AHP (Saaty, 1991), yaitu sebagai berikut.

• Perhitungan vektor eigen untuk perkalian baris menggunakan rumus: ij n n j a VEi 1 =

= π ...………... (1)

dimana:

VEi = Vektor eigen baris ke i, n = Jumlah elemen,

i = 1, 2, …, n,

aij = Elemen untuk baris ke i lalu ke j.

• Perhitungan vektor prioritas, menggunakan rumus:

= = n k VEi VEi VPi 1 ...…. (2) dimana:

VPi = Vektor prioritas baris ke i,

• Penentuan vektor antara (VA ) dan nilai eigen VB, menggunakan rumus:

VAi = aij x VPi = (baris) ... (3)

VPi VAi

VBi = ... (4) dimana

VAi = Vektor antara baris ke i,

VBi = nilai eigen

• Perhitungan nilai eigen maksimum

λ

n

VBi

maks

n i

=

=

1 ...…….. (5) dimana:

λ maks = Nilai eigen maksimum,

• Perhitungan indeks konsistensi untuk mengetahui jawaban yang akan berpengaruh kepada kesahihan hasil, menggunakan rumus:

1 − − = n n maks


(27)

dimana:

CI = Consistency Index,

• Untuk mengetahui CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak menggunakan rumus:

% 10

≤ =

RI CI

CR ………... (7)

dimana:

CR = Consistency Ratio,

RI = Random Consistency Index.

Formula matriks gabungan pendapat, yaitu:

G

a

( )

k

ij m

n

j

ij = π=1 ……….…. (8)

i, j = 1, 2, 3, 4, … n

Tahapan metoda AHP dalam flow chart dijelaskan pada Gambar 5.

Tidak

Ya

Gambar 5. Tahapan-tahapan AHP (Saaty, 1991)

Pengisian Mat r iks Pendapat I ndiv idu

Penyusunan Mat rik s Gabungan

Penghit ungan Vekt or Prior it as Sist em Rev isi Pendapat

CR Konsist en ( Mem enuhi) ? I dent ifik asi Sist em

Peny usunan Hirark i


(28)

Susunan hirarki pada analisis AHP dapat menggunakan level fokus, aktor/pelaku, prinsip, kriteria, dan level strategi kebijakan, seperti disajikan pada Gambar 6.

3.5. Metoda Perbandingan Eksponensial

Metoda Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metoda untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak yang membantu dalam pengambilan keputusan dalam rancang bangun suatu model yang telah terdefinisi dengan baik di setiap prosesnya. Metoda Perbandingan Eksponensial dapat digunakan dalam pemilihan produk agroindustri. Menurut Marimin (2004), penggunaan MPE dapat menghasilkan nilai alternatif dengan perbedaan yang lebih kontras dari alternatif keputusan yang sulit dibedakan. Metoda ini mempunyai keuntungan untuk mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Nilai skor urutan prioritas menjadi besar dan mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan akan lebih nyata. Tahap kegiatan yang dilakukan dalam Metoda Perbandingan Eksponensial adalah sebagai berikut.

1. Menyusun semua alternatif keputusan yang dipilih,

2. Tentukan kriteria-kriteria penting dalam pengambilan keputusan, 3. Lakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, 4. Lakukan penghitungan skor atau nilai total setiap alternatif,

Aktor (Pelaku 1)

Aktor (Pelaku 2)

Aktor (Pelaku 3)

Aktor (Pelaku 4)

Kriteria 1

Prinsip 1 Prinsip 2 Prinsip 3

Kriteria 2

Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 1 Kriteria 3

Fokus

Kriteria 2

Gambar 6. Tingkatan hirarki AHP (Saaty, 1991)

Kriteria 3


(29)

5. Tentukan urutan prioritas keputusan di dasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif.

Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dilakukan sebagai berikut (Marimin, 2004).

(

)

(

)

=

=

m

j

TKKj

RK ij

TN

nilai

Total

1

1

...…..……….………… (9) dimana:

TN1 = Total nilai alternatif ke-1

RK ij = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i, TKK j = derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0; bulat,

n = jumlah pilihan keputusan, m = jumlah kriteria keputusan. 3.6. Metoda Faktor Peringkat

Perencanaan lokasi agroindustri yang akan dibangun dilakukan peninjauan ke lokasi yang akan dipilih dengan memperhatikan faktor-faktor yang terukur diantaranya adalah jarak dari lokasi ke sumber bahan baku, sumber-sumber yang diperlukan untuk pelaksanaan sistem operasional, dan kondisi lingkungan yang dapat menunjang efektivitas, efisiensi dan kelancaran sistem operasional. Dalam penilaian, semua faktor yang dianggap penting dinilai untuk masing-masing lokasi. Secara garis besar, terdapat beberapa metoda pemilihan lokasi (plant-site), yaitu: berdasarkan penilaian hasil (values), perbandingan biaya (cost comparison), produktivitas tenaga kerja, analisis pulang pokok (BEP-Location Method), metoda median sederhana (centre of grafity method), model transportasi dan metoda faktor peringkat (factor-rating method) (Tampubolon, 2004).

Metoda Faktor Peringkat (factor-rating method) dalam pemilihan suatu lokasi tergantung pada rating tertinggi yang menjadi pilihan. Semua faktor yang diidentifikasi dan dianggap penting dinilai untuk masing-masing lokasi. Penentuan lokasi dengan Metoda Faktor Peringkat (Factor-Rating Method) digunakan dalam perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong. Langkah-langkah metoda pemeringkat faktor ini (Ma’arif dan Tanjung, 2003) sebagai berikut:

(1) menilai peringkat faktor-faktor yang mempengaruhi objek dengan membuat urutan berdasarkan urutan tingkat kepentingan setiap parameter terhadap variabel yang dianalisa. Urutan tertinggi adalah angka 1, kemudian 2, dan seterusnya,


(30)

(2) menilai skala faktor-faktor yang mempengaruhi objek dengan membubuhkan nomor 1 (sangat rendah) sampai dengan nomor 5 (sangat tinggi).

3.7. Metoda Prediksi

Kelayakan pasar dilakukan dengan mengukur permintaan dari produk yang akan dihasilkan dan memprediksinya untuk waktu yang akan datang. Analisa permintaan produk mengunakan pendekatan sisi permintaan (demand) Nitisemito dan Burhan (1995). Metoda prediksi menggunakan prosedur PROC FORECAST (Sitepu dan Sinaga, 2006). PROC FORECAST adalah prosedur ekstrapolasi yang praktis dan efisien dalam meramalkan nilai variabel tertentu. Prosedur PROC FORECAST menggunakan tiga metoda untuk menghasilkan nilai-nilai prediksi, yaitu metoda STEPAR (Stepwise Autoregressive Method), metoda EXPO (Exponential Smoothing Method), dan metoda WINTERS (Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal

Method). Metoda-metoda tersebut menggunakan dua pendekatan dasar, yaitu

pendekatan kecenderungan waktu dan time series.

3.7.1. Pendekatan sisi Permintaan (demand)

Menaksir besarnya permintaan total suatu produk dilakukan dengan menggunakan pendekatan dari sisi permintaan (demand) pertama-tama adalah dengan mencoba menaksir permintaan per kapita terhadap suatu produk, kemudian mengalikannya dengan jumlah konsumen yang membutuhkan produk tersebut (Nitisemito dan Burhan, 1995). Jumlah kebutuhan seorang konsumen akan suatu barang/produk dalam satuan waktu, dapat digunakan standar yang telah ditetapkan instansi/institusi terkait atau dilakukan dengan penaksiran melalui percobaan dan penelitian. Setelah mengetahui jumlah kebutuhan konsumen akan produk, maka perlu diketahui jumlah konsumen yang menggunakan produk tersebut. Dengan demikian, dapat dihitung jumlah permintaan total per satuan waktu tertentu, sebagai berikut.

.…… (10)

3.7.2. Pendekatan Kecenderungan Waktu

Menurut Sitepu dan Sinaga (2006) persamaan untuk kecenderungan linear menggunakan pendekatan kecenderungan waktu dengan asumsi terdapat pola deterministik antara waktu adalah sebagai berikut:

Jumlah konsumen Kebutuhan/ Permintaan total = pengguna X konsumsi produk per kapita


(31)

Xt = b0 + b1t + et ………. (11)

dimana:

Xt = nilai-nilai yang dihasilkan menurut persamaan,

b0= rata-rata series,

t = waktu (term),

et = error term dengan rata-rata nol dan bebas terhadap waktu.

3.7.2. Metoda Time Series

Metode time series diasumsikan bahwa nilai masa depan adalah adalah fungsi linear dari nilai masa lampau. Model ini disebut dengan model autoregressive dengan persamaan (Sitepu dan Sinaga, 2006) berikut:

Xt = a0 + a1xt-1 + a2xt-2 + ... + apxt-p + et ………. (12)

dimana:

Xt = nilai-nilai yang dihasilkan,

ai = koefisien ke i, disebut juga dengan autoregressive parameter,

xt-1 = nilai-nilai yang dihasilkan pada periode sebelumnya,

et = error term.

3.8. Analisis Titik Impas

Penentuan perencanaan kapasitas sering melibatkan penggunaan dana dalam jumlah besar. Oleh karena itu, dalam analisis suatu nilai investasi perlu mendapat perhatian. Perencanaan kapasitas/kuantitas dengan pencapaian produk minimum agar tidak merugikan agroindustri dapat dipergunakan “analisis titik impas” (break event point/BEP analysis) (Tampubolon, 2004). Perencanaan kapasitas dengan model titik impas/pulang pokok digunakan dengan menentukan jumlah output (baik nilai maupun fisik) yang harus dihasilkan, agar perusahaan tidak rugi. Analisis perencanaan kapasitas/kuantitas produk dapat menggunakan formula-formula berikut: a. Titik impas (BEP)

• Formula BEP untuk memproduksi satu jenis produk

P x Q = Fc + (Vc + Q) ……….……….….. (13) • Formula BEP memproduksi multi produk

⎢⎣

⎡ −

⎥⎦

=

)

)(

1

(

)

(

Wi

Pi

Vc

Fc

Rp

BEP

………..……..…….. (14)

dimana:

P = Harga produk per unit Q = Kuantitas yang dihasilkan Fc = Biaya tetap total


(32)

P = Price/unit

W = % produk dari total

i = Unit produk

b. Kuantitas atau kapasitas untuk mencapai titik impas (BEP)

Vc

P

Fc

Q

=

………..….. (15)

c. Estimasi kapasitas/kuantitas produk berdasarkan laba yang dinginkan

Vc

P

diinginkan

yang

Laba

Fc

Q

+

=

………..………... (16)

d. Estimasi kapasitas dikaitkan dengan faktor pajak dan laba yang diinginkan

Vc

P

pajak

Tingkat

1

diinginkan

yang

Laba

Q

=

………..……….. (17)

3.9.Metoda Fuzzy - Semi Numerik

Metoda gugus fuzzy digunakan untuk menentukan besaran setiap alternatif sumber pembiayaan dalam mengembangkan agroindustri. Metoda gugus fuzzy

tersebut merupakan metoda yang menggunakan semi numerik. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Penentuan alternatif dan kriteria. Penentuan alternatif kriteria digunakan adalah faktor-faktor sebagai alternatif dan kriteria yang mempengaruhi besarnya alternatif penilaian.

b. Penetapan label linguistik. Penetapan label linguistik preferensi fuzzy, preferensi

multi person dari suatu kriteria diberikan dengan penilaian skala ordinal.

c. Memilih pakar untuk penilaian. Pakar yang dipilih untuk melakukan penilaian setiap alternatif berdasarkan kriteria terhadap faktor-faktor mempengaruhi.

d. Menentukan bobot masing-masing kriteria. Menghitung bobot masing-masing kriteria. Langkah-langkah metoda ini: (1) menilai peringkat faktor-faktor yang mempengaruhi objek dengan membuat urutan berdasarkan urutan tingkat kepentingan setiap parameter terhadap variabel yang dianalisa. Urutan tertinggi adalah angka 1, kemudian 2, dan seterusnya, (2) menilai skala faktor-faktor yang mempengaruhi objek dengan membubuhkan nomor 1 (sangat rendah) sampai dengan nomor 5 (sangat tinggi).

e. Menentukan rata-rata terbobot (fuzzy computation). Rata-rata terbobot dalam


(33)

f. Defuzzification. Proses pengembalian bilangan fuzzy ke ekspresi natural dapat digunakan lebih lanjut Centre of Grafity (CoG).

3.10. Metoda Fuzzy - Non Numerik

Metoda Fuzzy Multi Expert – Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) digunakan untuk mempelajari tingkat komitmen stakeholders dan evaluasi perencanaan dalam mengembangkan agroindustri. Metoda ME-MCDM fuzzy – Non Numerik merupakan metoda analisis tidak menggunakan nilai angka (non numerik). Terdapat empat langkah dalam menyelesaikan analisis dengan metoda ME-MCDM

fuzzy – Non Numerik, yaitu sebagai berikut.

3.10.1. Negasi Tingkat Kepentingan Kriteria.

Penentuan Negasi Tingkat Kepentingan Kriteria digunakan rumus (Yager, 1993) sebagai berikut:

Neg (Wak) = Wq – k + 1 ……….……… (18)

dimana: k: Indeks; q: Jumlah skala

3.10.2. Perhitungan Nilai Alternatif Pakar

Metoda pengolahan data menggunakan teknik Fuzzy Group Decision

Making sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Yager (1993) dengan

menghitung setiap skor alternatif ke i untuk setiap pengambilan keputusan ke-j (Vij)

pada semua kriteria (ak). Rumus yang digunakan adalah;

Vij = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] ………..……..…..…… (19)

dimana:

Vij = Nilai alternatif ke-i oleh pakar ke-j

Wak = Bobot kriteria ke-k

Neg (Wak) = W q-k+1

Vij (ak) = Nilai alternatif ke-i oleh pakar ke-j pada kriteria ke-k

k = 1,2,3,…

3.10.3. Penentukan Bobot Faktor Nilai:

Penenentukan bobot faktor nilai pengambilan keputusan digunakan formula berikut (Yager, 1993).


(34)

Q(k) = Int [ 1 + k* (q-1)/r] ………...………. (20)

dimana:

Q(k) = Bobot untuk pakar ke-k

r = Jumlah pakar

k = 1,2,3…

q = Jumlah skala penilaian 3.10.4. Penentuan Nilai Gabungan

Pentuan nilai gabungan menggunakan metoda OWA (Ordered Weight Average) dengan rumus (Yager, 1993).

Vi = f(Vj) = Max [ Qj Λ bj ] ……….……… (21) dimana:

Vi = nilai total alternatif ke-i, Qj = bobot nilai pakar ke-j,

bJ = urutan dari skor alternatif kecil ke-i yang ke besar oleh pakar ke-j.

3.11. Konsep Penyelesaian Konflik

Sistem peradilan melalui jalur pengadilan atau mahkamah peradilan yang bersifat prosedural maupun substansif yang mengikuti azaz hukum selalu memberikan solusi hukum pemenang atau kalah (win-lose). Mekanisme peradilan tersebut tidak sesuai dengan penyelesaian konflik dengan tujuan win-win solution. Oleh karena itu, salah satu metoda penyelesaian konflik yang paling banyak dipakai adalah melalui cara kompromi (Winardi, 1994).

Penyelesaian perselisihan dengan cara kompromi dan di luar jalur prosedur hukum pengadilan biasanya lebih cepat dan tidak banyak mengeluarkan biaya, karena diselesaikan melalui perundingan dengan berbagai pihak (stakeholders) yang berselisih untuk mencapai suatu kesepakatan yang saling tidak merugikan. Melalui kompromi, pihak yang menengahi mencoba menyelesaikan konflik dengan jalan menghimbau pihak yang berkonflik untuk mengurbankan sasaran-sasaran tertentu, guna mencapai sasaran-sararan lain. Kompromi digunakan juga untuk resolusi perselisihan berbagai pihak yang merasa frustrasi atau mengambil sikap bermusuhan, berakhir relatif seimbang yang mengandung unsur komitmen (kesediaan) dan kepercayaan dari berbagai pihak yang berkepentingan.

Pada pelaksanaan kompromi, perlu adanya suatu itikad baik dan unsur kesukarelaan untuk menyelesaikan persoalan perselisihan di luar pengadilan. Hasil kesepakatan atau mufakat harus dinyatakan secara tertulis yang mengikat dan bersifat final dari pihak yang berkepentingan. Masing-masing pihak tunduk dan taat pada


(35)

peraturan yang berlaku serta disyahkan oleh Pengadilan Negeri. Untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan, pihak yang berkepentingan membutuhkan persyaratan, yaitu 1) kedua belah pihak (pihak yang berselisih) yang tidak sejalan, harus mematuhi dan tunduk pada peraturan kesepakatan, 2) pihak industri bersedia memberikan sebagian keuntungan usaha untuk memberikan kompensasi, dan 3) masyarakat tidak bertindak sewenang-wenang dan bersedia menerima kesepakatan tersebut.

Konflik agraria yang sering terjadi di Sumatera Barat antara beberapa perusahaan (investor) dan komonitas lokal terhadap tanah ulayat perlu penyelesaian melalui mekanisme resolusi konflik di luar pengadilan dan pengakuan resmi dari pemerintah (Afrizal, 2007). Berdasarkan skala prioritas melalui pendekatan Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) digunakan sebagai langkah awal resolusi konflik yang dapat terjadi dimasa yang akan datang. Penilaian dilakukan terhadap relatif pentingnya suatu komponen resolusi konflik dibandingkan dengan komponen resolusi lainnya. Penilaian didasarkan kepada pendapat pakar (ahli). Hirarki pada tingkat 1. fokus, tingkat 2. faktor penentu, tingkat 3. aktor/pelaku (kelembagaan), dan tingkat 4. alternatif penyelesaian (resolusi) konflik disajikan pada Gambar 7.

Nilai kesepakatan yang didapat berdasarkan nilai aset yang dimanfaatkan, disepakati antara pemegang hak dan pengguna sebagai modal investasi dalam persentase. Nilai tersebut dijadikan dasar untuk pemberdayaan masyarakat sebagai modal usaha.

Aktor/ Pelaku 1

Aktor/ Pelaku 2

Aktor/ Pelaku 3

Aktor/ Pelaku 4

Resolusi 1 Resolusi 2 Resolusi 3 Resolusi 5

Fokus

Penyelesaian (resolusi) Konflik

Resolusi 4

Gambar 7. Hirarki prioritas penyelesaian konflik (Saaty, 1991)

Resolusi 6 Aktor/

Pelaku 5

Aktor/ Pelaku 6 Faktor

Penentu 1

Faktor


(1)

pendekatan Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP). Model program yang di disain secara hirarki berdasarkan prioritas di setiap level fokus, faktor penentu, pelaku aktor), dan resolusinya. Dalam rancangan implementasi dari model resolusi konflik, nilai kesepakatan dihasilkan berdasarkan pada nilai lahan atau tanah yang dimiliki pemegang hak ulayat sebagai persentase kepemilikan saham dari perhitungan total investasi modal perusahaan. Pembagian keuntungan dilakukan setiap tahun berdasarkan prosentase kepemilikan saham tersebut dari laba yang telah dihasilkan perusahaan.

9.4. Komitmen Stakeholder, Kelayakan Ekonomi dan Finansial

Disain program pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat dalam rancangan implementasi dilengkapi dengan model penilaian komitmen

stakeholders, model kelayakan ekonomi, dan model kelayakan finansial. Pada Gambar 39 dapat dilihat model komitmen stakeholders, model kelayakan ekonomi, dan model kelayakan finansial perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat secara keseluruhan.

9.4.1. Penilaian Komitmen Stakeholders

Terdapat 4 (empat) kegiatan dalam program pembangunan pada pelaksanaan pengembangan peternakan dan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat setelah otonomi daerah diberlakukan dalam disain model evaluasi komitmen stakeholders. Kegiatan pengembangan tersebut, yaitu: (1) Pengembangan kawasan sentra peternakan, (2) pengembangan unit usaha kecil, (3) pelayanan kebutuhan sarana dan sumberdaya manusia, dan (4) penyerahan kewenangan ke kabupaten/kota dalam mempercepat pembangunan peternakan. Hasil agregasi analisa Expert Multi-Criteria Decision Making (ME-MCDM) dari model diperoleh nilai komitmen dengan nilai kualitatif (non numerik) untuk pengembangan unit usaha kecil.

Hasil evaluasi perencanaan terhadap komitmen stakeholders dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ternyata rendah, sehingga dalam implementasi model, diperlukan suatu kebijakan pemerintah daerah yang mendukung terwujudnya komitmen yang tinggi dalam model pengembangan agroindustri sapi potong. Kebijakan tersebut dapat berupa kemudahan dalam perizinan dan birokrasi, regulasi adanya lembaga penjamin dalam pemberian kredit perbankan dan kemudahan dalam pembuatan sertifikat kepemilikan tanah untuk pengembangan produk agroindustri sapi potong, sehingga investor dan pengusaha


(2)

swasta tertarik berinvestasi, dapat tumbuh dan berkembang dalam membangun ekonomi riil.

Gambar 39. Rancangan implementasi komitmen stakeholders,

kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial

9.4.2. Rancangan Kelayakan Ekonomi (Analisa Manfaat dan Biaya)

Analisis kelayakan ekonomi menggunakan metoda fuzzy- Expert Multi-Criteria Decision Making (fuzzy- ME-MCDM) menghasilkan model evaluasi kelayakan ekonomi yang di disain. Model ini digunakan untuk menilai kelayakan secara kualitatif terhadap alternatif manfaat dan biaya yang diperoleh dengan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Alternatif kelayakan ekonomi yang digunakan, yaitu: (1) manfaat langsung/direct benefits, (2) manfaat tidak langsung/indirect benefits, (3) manfaat tidak kentara/intangible benefits, dan (4)biaya

Penilaian Komitmen Stakeholders

Rancangan Implementasi Komitmen dan Kelayakan Perencanaan

Analisasi Kelayakan Ekonomi (Analisa Manfaat dan Biaya)

Kelayakan Finansial

NPV

IRR

PBP Net B/C Ratio

Alternatif 1

Alternatif 2

Alternatif 3

Alternatif 4

Penilaian Kriteria

Analisa Manfaat dan Biaya

Biaya Tidak Langsung

Terwujudnya Pengembangan Agroindustri Sapi Potong

Layak ?

Perencanaan yang di rekomendasi Tinggi ?

Analisa FUZZY NON NUMERIK

Analisa FINANSIAL Tidak Direkomendasi Ya Tidak Ya Tidak

Manfaat Langsung Manfaat Tidak Langsung


(3)

tidak langsung/indirect costs dengan kriteria-kriterianya. Hasil analisis diperoleh nilai kualitatif manfaat dan biaya dari evaluasi model kelayakan ekonomi.

Alternatif kelayakan manfaat langsung memiliki kriteria-kriteria, yaitu: (1) Kenaikan nilai hasil produksi sapi potong, (2) Meningkatnya mutu produksi, (3) Berkurangnya biaya operasional pemasaran, (4) Meningkatnya kapasitas produksi, (5) Meningkatnya ketersediaan bahan baku, (6) Menambah penyerapan tenaga kerja lokal, (7) Meningkatkan tingkat pendapatan/keuntungan, (8) Peningkatan investasi, dan (9) Peningkatan penggunaan tanah/lahan. Kriteria alternatif manfaat tidak langsung, yaitu: (1) Mendorong tumbuhnya industri-industri lain, (2) Bertambahnya nilai produksi industri-industri lain, (3) Meningkatnya kepercayaan berinvestasi, (4) Peningkatan pemanfaatan produk samping, (5) Peningkatan motivasi berusaha, (6) Mendorong meningkatnya inovasi teknologi, (7) Meningkatnya nilai lahan/tanah di lokasi pengembangan, (8) Mendorong tumbuhnya jumlah stakeholders, dan (9) Menjadikan contoh lokasi pengembangan agroiondustri. Hasil pengolahan secara agregasi kriteria-pakar dari analisis Multi-Expert Multi-Criteria Decision Making ( ME-MCDM) menunjukkan manfaat langsung dan manfaat tidak langsung pada kelayakan ekonomi dinilai lebih “Tinggi” dengan mengimplementasikan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.

9.4.3. Rancangan Kelayakan Finansial

Kriteria-kriteria yang digunakan dalam disain model kelayakan investasi (finansial) dalam pengembangan agroindustri sapi potong, yaitu: Net Present Value (NPV), Internal Rate Return (IRR), Net Benefit Ratio (Net B/C), Pay Back Period (PBP). Model kelayakan finansial dengan analisa finansial digunakan pula untuk analisis sensitivitas dengan menggunakan berbagai asumsi. Model evaluasi kelayakan finansial tersebut memberikan informasi kelayakan dari pembangunan dan pengembangan produk agroindustri sapi potong yang terpilih.

Hasil evaluasi model perencanaan menghasilkan asumsi kapasitas produksi untuk produk dendeng kering yang terpilih ditingkatkan dan tingkat suku bunga diturunkan. Dengan asumsi semula menggunakan bahan baku sebesar 30.000 kg daging sapi ditingkatkan menjadi 60.000 kg daging sapi sebagai dasar perencanaan kapasitas produksi yang akan digunakan. Diperoleh kapasitas produksi titik impas produk dendeng kering sebesar 25.212 kg per tahun berdasarkan biaya tetap, biaya variabel dan harga jual BEP dendeng kering per kg.


(4)

Dasar kapasitas produksi yang digunakan adalah kapasitas produksi titik impas (BEP) yaitu 25.212 kg per tahun dendeng kering. Berdasarkan kapasitas terpasang 5 persen, 10 persen dan 20 persen di atas kapasitas BEP, harga jual dendeng kering untuk tingkat industri sebesar Rp. 175.000,-, Biaya bunga bank sebesar 12 persen dari pinjaman bank sebesar 40 persen dari total biaya investasi, yakni sebesar Rp. 157.142.120,-, biaya tetap sebesar Rp. 85.896.467,- per tahun dan biaya variabel sebesar Rp. 2.905.171.212,- per tahun, angsuran pinjaman selama lima tahun, setelah dikurangi biaya pajak PPh pasal 21 dan pasal 25 diperoleh NPV pada tingkat suku bunga 12 persen, sebesar Rp. 6.177.642.886,- IRR sebesar 63,89 persen, Net B/C Ratio sebesar 1,47, dan PBP selama 0,38 tahun. Kondisi tersebut memberikan informasi bahwa pembangunan agroindustri produk dendeng kering secara finansial dinyatakan layak dikembangkan. Hasil analisis sensitivitas dengan skenario biaya variabel keseluruhannya naik sebesar 47 persen atau harga jual dendeng kering turun sebesar 31 persen atau biaya variabel naik dan harga jual dendeng kering turun sebesar 19 persen menunjukkan bahwa agroindustri dendeng kering secara finansial tidak lagi menguntungkan dan tidak layak untuk dilanjutkan.

9.5. Impelementasi Model Pemrograman AGRIBEST

Hasil penelitian ini telah menetapkan prioritas dan peringkat berbagai alternatif hasil model pemrograman AGRIBEST dalam implementasi perencanaan dan evaluasi perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat yang berguna untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Strategi implementasi yang dirumuskan dari berbagai metoda analisis menghasilkan pengembangan produk dan pengembangan pasar sebagai priorotas pertama dalam agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Dalam implementasi model perlu diperhatikan bagi pengambil keputusan adalah upaya penyelesaian persoalan dan hal-hal yang terkait dengan penggunaaan tanah ulayat sebagai lahan dan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong, karena masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat masih memegang teguh adat-istiadat, terutama yang berhubungan dengan persoalan tanah dan sangat terikat dengan aturan adat. Setiap terjadi persoalan yang terkait dengan adat-istiadat setempat dapat diselesaikan dengan cara musyawarah dengan pemuka adat (ninik mamak) untuk mencapai kata mufakat dalam mencari prioritas persoalan dan penyelesaian (resolusi) konflik. Model strategi prioritas dan prioritas resolusi dihasilkan menggunakan software Fuzzy-AHAPE 1.0.


(5)

Peternakan sapi potong sebagai penghasil bahan baku agroindustri sapi potong di kawasan peternakan atau lumbung ternak nagari di Sumatera Barat telah berjalan dan berkembang melalui berbagai program pembangunan, namun di dalam merencanakan pengembangan agroindustri sapi potong harus memperhatikan kelayakan pasar, yakni permintaan dan potensi pasar yang ada. Kajian kelayakan pasar harus dilakukan karena terkait dengan pemilihan jenis produk agroindustri sapi potong yang dibangun sebagai contoh produk agroindustri sapi potong yang sesuai dengan kondisi riil dan strategi pengembangan. Evaluasi model perencanaan dilakukan dengan menggunakan sistem pakar, yaitu model berdasarkan Knowledge Base Management System (KBMS) di dalam pemrograman AGRIBEST. Tampilan antar muka (interface) AGRIBEST diperlihatkan pada Gambar 40.

Gambar 40. Tampilan antar muka (interface) AGRIBEST

Kajian kelayakan pasar harus dilakukan karena terkait dengan pemilihan jenis produk agroindustri sapi potong yang dibangun sebagai contoh produk agroindustri sapi potong yang sesuai dengan kondisi riil dan prioritas strategi pengembangan. Analisa lokasi pengembangan agroindustri digunakan untuk menentukan lokasi yang sesuai untuk mengembangkan produk agroindustri sapi potong digunakan software

MPE v1.0.

Implementasi model pengembangan agroindustri sapi potong dapat mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, memerlukan persyaratan evaluasi kelayakan


(6)

terhadap komitmen pengembangan dari stakeholders, kelayakan terhadap manfaat dan biaya, dan kelayakan finansial dalam pengembangan agroindustri sapi potong. Berpegang dengan hasil analisis, komitmen stakeholders dan manfaat langsung dan tidak langsung yang tinggi dalam mengembangkan unit usaha kecil, maka produk agroindustri sapi potong dengan skala usaha kecil layak dan dapat dikembangkan dengan memperhatikan berbagai aspek sebelumnya, menggunakan software

FUNORIK v1.0. Pembangunan agroindustri hasil produk sapi potong yaitu dendeng kering skala usaha kecil dirancang berdasarkan kapasitas produksi titik impas. Kelayakan finansial menggunakan Metode kelayakan investasi dalam model evaluasi dengan kriteria-kriteria kelayakan finansial, yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) dapat menggunakan

software analisa finansial (ANSIAL v1.0). Evaluasi model perencanaan sistem pakar menggunakan Knowledge Base Management System (KBMS), yaitu menggunakan metoda fuzzy-if then rule yang dirancang dalam pemrograman KBMS.

9.6. Aplikasi Pemrograman AGRIBEST

Model pengembangan agroindustri sapi potong yang dirancang melalui program AGRIBEST dapat membantu pengambil keputusan bagi praktisi usaha yang bergerak dalam usaha peternakan dan agroindustri. Penggunaan program AGRIBEST dapat juga digunakan oleh pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota oleh instansi, dinas atau badan yang terkait dalam perumusan prioritas kebijakan. Program AGRIBEST dapat pula digunakan oleh setiap individu, kelompok dan sistem perencanaan lainnya dengan melakukan beberapa perubahan data input yang sesuai dengan tujuan analisis pengguna. Data-data yang diperlukan dalam menggunakan pemrograman AGRIBEST bagi pengguna untuk berbagai macam pengambilan keputusan dalam perencanaan dan evaluasi disajikan pada Aplikasi Pemrograman AGRIBEST di Lampiran 6.