POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN 2013

(1)

POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN 2013

Oleh

GITA LEVIANA PUTRI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah melalui pola konsumsi rumah tangga yang dihubungan dengan beberapa variabel karakteristik rumah tangga. Data yang digunakan merupakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2013 dengan 791 sampel rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah. Metode analisis yang digunakan dengan analisis deskriptif, dengan alat uji tabel silang dan korelasi Kendall’s Tau. Hasil penelitian ini adalah (1) Pola konsumsi rumah tangga di Lampung Tengah lebih didominasi proporsi pengeluaran makanan dibanding bukan makanan. Persentase pengeluaran makanan sebesar 52,83 persen dan bukan makanan sebesar 47,17 persen dengan jumlah pengeluaran perkapita perbulan Rp.632.230. (2) Semakin tinggi golongan pengeluaran rumah tangga dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk bukan makanan. Sedangkan semakin tinggi jumlah anggota rumah tangga, semakin sedikit proporsi pengeluaran untuk bukan makanan. Sementara kepala rumah tangga yang bekerja di sektor bukan pertanian dan tinggal diwilayah perkotaan memiliki proporsi pengeluaran untuk bukan makan lebih besar dibandingkan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian dan tinggal di perdesaan. (3) Variabel golongan pengeluaran rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, kepala rumah tangga bekerja di sektor bukan pertanian dan rumah tangga tinggal di wilayah perkotaan memiliki hubungan positif dan siginifikan dengan proporsi pengeluaran untuk bukan makanan. Sementara, variabel jumlah anggota rumah tangga memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan proporsi pengeluaran untuk bukan makanan. Akan tetapi berdasarkan nilai koefisien korelasinya hanya golongan pengeluaran yang memiliki hubungan yang kuat dengan proporsi pengeluaran bukan makanan.

Kata Kunci : Pola Konsumsi, Pengeluaran Rumah Tangga, Kesejahteraan Rumah tangga, dan Kemiskinan.


(2)

THE CONSUMPTION PATTERNS OF HOUSEHOLD AT CENTRAL LAMPUNG REGENCY ON 2013

By

GITA LEVIANA PUTRI

ABSTRACT

This study aims to determine the level of welfare of the household in Central Lampung regency through the consumption patterns of household which connected with some household characteristics variables. The data used is data from the National Socioeconomic Survey (SUSENAS) on 2013 with a sample of 791 households in Central Lampung regency. The method of analysis used by the researcher is the descriptive analysis, by means of cross-table test and Kendall's Tau correlation. The results of this study were (1) the pattern of household in Central Lampung consumption is dominated by the proportion of food expenditure than non-food.The percentage of food expenditures amounted to 52.83 percent and non-food were 47.17 percent with monthly per capita expenditure Rp.632.230.(2) the higher the household expenditure group and education level of the household head, higher proportion of expenditure on non-food. While the higher number of household members, the less the proportion of expenditure on food.While heads of household who work in the non-agricultural sector and live in the region's cities have a proportion of expenditure not eats bigger than the head of household who work in agriculture and live in rural areas.(3) Variable household expenditure group, level of education of household head, household head works in the non-agricultural sector and do not stay in urban areas have a positive and significant relationship with the proportion of expenditure on non-food. Meanwhile, the variable of number of household members has a negative and significant relationship with the proportion of expenditure on non-food. However, based on the value of the correlation coefficient is only the expenditure group has a strong relationship with the proportion of non-food expenditure.

Keywords: Consumption Patterns, Household Expenditure, Household Welfare, and Poverty.


(3)

POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN 2013

Oleh

GITA LEVIANA PUTRI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA EKONOMI

Pada

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Gita Leviana Putri lahir di Bandar Lampung tanggal 31 Desember 1993 sebagai anak kedua dari empat bersaudara, buah hati dari pasangan Saldewi dan Salama Hafiah, S.Pd.

Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Sukajadi Kecamatan Kasui Kabupaten Way Kanan pada tahun 2000 dan lulus tahun 2005, melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 22 Bandar Lampung dan lulus tahun 2008, Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bandar Lampung lulus tahun 2011, kemudian diterima sebagai Mahasiswa Ekonomi Pembangunan di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung pada tahun 2011 yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung. Penulis menyelesaikan pendidikan di Universitas Lampung pada tahun 2015.

Penulis aktif di dunia kemahasiswaan baik di internal maupun eksternal kampus, di internal kampus penulis mengawali karirnya sebagai Anggota Brigadir Muda (Brigmud) BEM FEB tahun 2011, Anggota Bidang Pendidikan dan Pelatihan HIMEPA tahun 2011, Redaktur Pelaksana Pers Mahasiswa PILAR tahun 2012, Wakil Pemimpin Redaksi Pers Mahasiswa PILAR tahun 2013, dan Pemimpin Umum Pers Mahasiswa PILAR tahun 2014. Di eksternal kampus penulis aktif


(8)

Sekretaris Umum Bidang Pemberdayaan Perempuan 2013-2014 dan Wakil Sekretaris Umum Bidang Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Anggota (P3A) tahun 2014-2015.

Penulis selain aktif di organisasi kemahasiswaan juga aktif dalam dunia sosial kemasyarakatan, diawali dengan pelatihan Youth on Action (YOA) Lampung akhir tahun 2013, kemudian penulis mulai aktif untuk melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan dengan bergabung dengan berbagai komunitas sosial di Bandar Lampung. Pada awal tahun 2014 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sendang Retno Kecamatan Sendang Agung Kabupaten Lampung Tengah selama 40 hari dan berhasil mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BumDes) di desa tersebut. Usai mengikuti KKN, penulis kemudian diamanahkan menjadi Ketua Koordinator Mahasiswa Desa Binaan Jurusan Ekonomi Pembangunan 2014-2015.

Penulis juga pernah menjadi surveyor Bank Indonesia pada tahun 2012, surveyor LSI tahun 2014, pernah juga mengikuti kegiatan Kuliah Kunjungan Lapangan (KKL) HIMEPA pada tahun 2013, mengikuti Latihan Kader II (LK II) HMI Cabang Depok tahun 2013, Pelatihan Jurnalistik Nasional 2012 dan 2013. Selain itu penulis juga merupakan 3 besar Mahasiswa Berprestasi FEB Unila 2013 dan 2014.


(9)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk Allah SWT sebagai rasa syukur atas ridho serta karunia-Nya sehingga skripsi ini telah terselesaikan dengan baik. Serta Rasulullah Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat dari zaman kebodohan menuju

zaman ilmu pengetahuan. Alhamdulillaahirabbil’ alamiin.

Ayahku Saldewi dan Ibuku Salamah Hafiah, S.Pd. yang paling kucintai, terimakasih untuk segala do’a, semangat, dan dukungan kalian kepada anakmu.

Adikku Rizki Agus Setiawan terimakasih semangat dan dukungannya.

Dosen dan sahabat yang selalu memberikan arahan dan dukungan agar saya menjadi lebih baik lagi.

Almamater tercinta. Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung,


(10)

MOTO

“Dan dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah tidaklah dapat

kamu menghitungnya” (Q.S : Ibrahim :34)

“Kombinasi keyakinan dan penyerahan diri kepada Allah adalah obat mujarab dari penyakit bernama keputus asa an”

(Rahmat, Motivasi Islam)

“Jika mencari keridhoan Allah yang menjadi tujuan, kenapa harus dikalahkan oleh rintangan-rintangan yang kecil dihadapan Allah? Rencana bagiku jembatan

menuju impian” (Gita Leviana Putri)

“Al-Ummu Madrasah al-ula;Ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi anaknya, untuk itu persiapkan diri sebaik-baiknya”

(Ulama Salaf rahimahullah)


(11)

SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pola Konsumsi Rumah Tangga di Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2013” ini sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Ekonomi.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak terbantu dan didukung oleh beberapa pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung;

2. Bapak Muhammad Husaini, S.E., M.Si., selaku Ketua dan Ibu Asih Murwiati, S.E., M.E., selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung yang membantu mengarahkan dan memberikan saran;

3. Bapak Dr. H. Toto Gunarto, S.E., M.Si., selaku Pembimbing yang atas kesediaannya untuk membantu meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran dalam proses penyelesaian skripsi;

4. Ibu Dr. Marselina Muchtar, S.E., M.P.M., selaku penguji utama yang telah membantu mengarahkan penulis;


(12)

membimbing dan membagi ilmunya yang bermanfaat untuk penulis; 7. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung khususnya Mas Radhika Trianda

yang sudah dengan sabar mengajarkan penulis;

8. Ayahanda Saldewi dan Ibunda Salama Hafiah, S.Pd., yang dengan sabarnya telah mendidik penulis, yang dengan keikhlasannya selalu mendoakan, yang dengan segala kemampuannya selalu mengupayakan membantu penulis hingga menjadi seperti sekarang;

9. Adikku Rizki Agus Setiawan dan Keluarga Besar yang selalu memotivasi penulis sampai sekarang;

10. Atikah, Emon, Dila, sahabat yang selalu mendukung dan selalu siap mendengarkan keluh kesah penulis;

11. Teman-teman Ekonomi Pembangunan 2011 Nurul, Cella, Ari, Winda, Agil, Butet, Gondol, Aming, Windy, Gella, Annisa, Yessi, Gino, Devi, Desi, Zahara, Ochi, Caca, Suci, Mul, Defti, Ayuni, Putri, Wiwid, Nanang, Nina, Fadil Akmal, Genio dan Richard dan seluruh teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu- persatu;

12. Kakak tingkat EP 2009 dan 2010 serta adik tingkat EP 2012, 2013, dan 2014; 13. Keluarga besar kanda dan adinda HMI Cabang Bandarlampung Komisariat

Ekonomi Unila, Bang Indra Jantana, Bang Duki Irawan, Bang Hadi, Bang Inot, Bang Guntur, Bang Fijar, Yunda Kurnia, Yunda Wenny, Yunda Nova, Yunda Sonia, Bang Ali, Bang Dimas, Bang Dicky, Yusmitha,dan Yuni serta yang lain yang tidak bisa disebut satu persatu;


(13)

Nai, Ginan, Daus, Lian, Findo, Mersa, Odi, Fadli, dan Erson.

15. Kakak dan Adik di Pers Mahasiswa PILAR, Bang Ivan, Bang Chairman, Bang Darus, Bang Roy, Kak Ardan, Mbak Dania, Dewi, Nanda, Faradina, Suci, Mega, Tingut, Duwi, Ayu Nadia, Apri, Inne, Wiranida, Nadaa, Yugo, Acil, Septi O, Septi W, Tama, Eko, dan Mirna serta yang lain yang tidak bisa disebut satu persatu;

16. Keluarga KKN Sendang Retno Sendang Agung Lampung Tengah, Bapak Ahmad Turmudi beserta jajarannya, keluarga ibu Warsiti, Habiba, Jenny, Wayan, Jaya, Kevin, Kak Putu, Kak Harry, Sade, Hermawan, dan Kak Irfan; 17. Staf FEB dan EP, khususnya Ibu Hudaiyah, Mas Usman, Mbak Atun, Mas

Nanang, dan Mas Ma’ruf.

18. Keluarga besar Alinasi Pers Mahasiswa (APM) Lampung dan Media online Duajurai.com.

19. Berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih.

Akhir kata, penulis berharap skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat untuk semua. Aamiin.

Bandar Lampung, 24 Maret 2015 Penulis,


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Kerangka Pemikiran ... 10

1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 10

2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 14

F. Hipotesis ... 17

G. Ruang Lingkup Penelitian ... 19

H. Sistematika Penulisan ... 20

II.TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Konsumsi ... 21

1. John Maynard Keynes dan Fungsi Konsumsi ... 21

B. Teori Permintaan ... 24

1. Harga Barang Itu Sendiri ... 24

2. Harga Barang Lain ... 25

3. Pendapatan kosumen ... 26

3.1Kurva Engel ... 28

3.2Hukum Engel ... 29

4. Distribusi Pendapatan ... 31

5. Cita Rasa Masyarakat ... 31

6. Jumlah Penduduk ... 31

7. Ekspektasi Tantangan Masa Depan ... 32

C. Teori Tingkah Laku Konsumen ... 33

1. Preferensi Konsumen ... 34

1.1 Kurva Indiferensi ... 35

1.1.1 Peta Indiferensi ... 35

1.1.2 Bentuk-bentuk Kurva Indiferensi ... 36

1.2 Utilitas ... 37


(15)

2. Keterbatasan Anggaran ... 38

3. Pilihan-pilihan Konsumen ... 39

D. Ketidakpastian dan Perilaku Konsumen ... 42

E. Konsumsi Rumah Tangga ... 43

F. Distribusi dan Ketimpangan Pendapatan ... 43

1. Koefisien Gini ... 46

2. Ukuran Bank Dunia ... 48

3. Ukuran BPS ... 50

G. Penelitian Terdahulu ... 52

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 57

B. Jenis dan Sumber Data ... 57

C. Metode Analisis Data ... 58

1. Pengeditan Data ... 59

2. Coding dan Transformasi Data ... 59

3. Penyajian Data ... 63

4. Analisis Deskriptif ... 63

5. Uji Hipotesis ... 63

D. Definisi Istilah dalam Penelitian ... 67

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 70

1. Pola Konsumsi Penduduk Lampung Tengah 2013... 70

2. Pola Konsumsi Menurut Katagori ... 72

2.1Pola Konsumsi Menurut Katagori Golongan Pengeluaran ... 72

2.2Pola Konsumsi Menurut Pendidikan Kepala Rumah Tangga ... 76

2.3Pola Konsumsi Menurut Jumlah ART ... 79

2.4Pola Konsumsi Menurut Lapangan Usaha ... 82

2.5Pola Konsumsi Menurut Wilayah Tempat Tinggal ... 83

3. Hubungan Berbagai Variabel dengan Bukan Makanan ... 84

3.1Golongan Pengeluaran dengan Bukan Makanan ... 84

3.2Pendidikan KRT dengan Bukan Makanan ... 85

3.3Jumlah ART dengan dengan Bukan Makanan ... 86

3.4 Usaha Bukan Pertanian dengan Bukan Makanan ... 86

3.5Wilayah Perkotaan dengan Bukan Makanan ... 87

B. Pembahasan ... 88

1. Pola Konsumsi Penduduk Lampung Tengah 2013 ... 88

2. Pola Konsumsi Menurut Katagori ... 89

3. Hubungan Berbagai Variabel dengan Bukan Makanan ... 92

V.SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 95

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... viii LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa) Daerah Regional

Sumatera 2009-2012 ... 4

2. Kontribusi Kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi Lampung dalam persen Tahun 2010-2103 ... 4

3. Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Rata-rata perkapita Sebulan Menurut Kelompok Barang Lampung Tengah ... 6

4. Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Lampung Tengah 2012 ... 7

5. Keluarga Menurut Katagori Kesejahteraan di Lampung Tengah 2012-2013 ... 7

6. Persentase Pengeluaran untuk Berbagai Barang di Belgia Tahun 1853 ... 30

7. Persentase Pengeluaran untuk Berbagai Barang di AS Tahun 1997 ... 30

8. Contoh Perhitungan Koefisien Gini ... 45

9. Perhitungan Koefisien Gini versi BPS ... 51

10.Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 52

11.Klasifikasi, Skor dan Kriteria Perkotaan dan Perdesaan ... 62

12.Pola Konsumsi Rumah Tangga Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2013... 70

13. Pengeluaran Konsumsi makanan di Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2013 ... 71 14.Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan di


(17)

Lampung Tengah 2013 ... 72 15.Pola Konsumsi Rumah Tangga Menurut Golongan

Pengeluaran ... 73 16.Perhitungan Koefisien Gini Lampung Tengah 2013 ... 75 17.Pola Konsumsi Penduduk Menurut Pendidikan

KRT ... 77 18.Pola Konsumsi Menurut Jumlah Anggota Rumah

Tangga ... 79 19.Pola Konsumsi Menurut Lapangan Usaha KRT ... 82 20.Pola Konsumsi Menurut Wilayah Tempat Tinggal ... 83 21.Uji Korelasi Golongan Pengeluaran dengan Pengeluaran

Bukan Makanan ... 85 22.Uji Korelasi Tingkat Pendidikan dengan Pengeluaran

Bukan Makanan ... 86 23.Uji Korelasi Jumlah ART dengan Pengeluaran

Bukan Makanan ... 86 24.Uji Korelasi Usaha Bukan Pertanian dengan Pengeluaran

Bukan Makanan ... 87 25.Uji Korelasi Wilayah Tinggal Perkotaan dengan Pengeluaran


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data yang digunakan dalam penelitian ... L-1 2. Hasil Uji Korelasi Kendall’s Tau ... L-2


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pengeluran Rumah Tangga Indonesia dalam persen

Tahun 2007-2013 ... 2

2. Pengeluran Rumah Tangga Lampung dalam persen Tahun 2007-2013 ... 3

3. Komposisi PDRB Lampung Tengah dalam persen Tahun 2008-2013 ... 5

4. Persentase Penduduk Miskin di Lampung Tengah 2005-2013 ... 6

5. Efek Perubahan Pendapatan ... 12

6. Kurva Engel pada Barang Normal ... 13

7. Kurva Engel pada Barang inferior ... 14

8. Kerangka Pemikiran ... 17

9. Kurva Fungsi Konsumsi Keynes ... 23

10.Kurva Permintaan... 25

11.Kurva Permintaan atas Perubahan Pendapatan ... 26

12.Kurva Engel ... 29

13.Humburger barang normal, ketika pendapatan > 20 jadi barang inferior ... 29

14. Kurva Indiferensi ... 35


(20)

16.Kurva Lorenz ... 48 17.Kurva Engel Berdasarkan Golongan Pengeluaran

Wilayah Perkotaan ... 74 18.Kurva Engel Berdasarkan Golongan Pengeluaran

Wilayah Perdesaan ... 74 19.Kurva Lorenz di Kabupaten Lampung Tengah 2013 ... 76 20.Kurva Engel Berdasarkan Tingkat Pendidikan KRT

Wilayah Perkotaan ... 78 21.Kurva Engel Berdasarkan Tingkat Pendidikan KRT

Wilayah Perdesaan ... 78 22.Kurva Engel Berdasarkan Jumlah ART

Wilayah Perkotaan ... 80 23.Kurva Engel Berdasarkan Jumlah ART

Wilayah Perdesaan ... 80 24.Kurva Engel Berdasarkan Lapangan Usaha

Wilayah Perkotaan dan Perdesaan ... 82 25.Kurva Engel Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal


(21)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang. Definisi tersebut menjelaskan bahwa pembangunan tidak hanya melihat pendapatan yang meningkat, tetapi juga jumlah penduduk serta perubahan struktur ekonomi di suatu negara.

Pembangunan ekonomi yang inklusif, berkeadilan dan merata diharapkan bisa mengatasi permasalahan kemiskinan, dimana kemiskinan tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi, tetapi juga kondisi sosial masyarakat. Hingga saat ini kemiskinan merupakan masalah besar bagi negara berkembang termasuk Indonesia.

Kondisi sosial ekonomi suatu negara dapat dicerminkan oleh pola konsumsi penduduk negara tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2009) data pola konsumsi dapat menjadi acuan dalam memprediksi indikator kesejahteraan penduduk seperti status kesehatan penduduk, status gizi, dan status kemiskinan penduduk.

Salain menjadi indikator kesejahteraan, pola konsumsi masyarakat juga merupakan cerminan masalah perilaku penduduk yang berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi, budaya dan lingkungan, sehingga dengan menganalisis


(22)

secara deskriptif pola konsumsi yang dikaitan dengan karakteristik penduduk dapat diperoleh gambaran tingkat kesejahteraan mereka.

Penelitian empiris yang sejalan dengan pernyataan BPS adalah penelitian Krisnawati (2004) menyatakan bahwa kemiskinan lebih bisa dipahami dengan analisis pola konsumsi, memahami pola konsumsi tidak hanya dipengaruhi kondisi ekonomi tetapi juga kondisi sosial.

Menurut BPS (2007) penyajian data informasi pola konsumsi juga dapat menjadi cerminan taraf hidup masyarakat. Pola hidup masyarakat yang tidak sehat dengan konsumsi yang tidak memadai akan menurunkan status gizi masyarakat, yang akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia, yang merupakan salah satu modal dasar pembangunan Nasional.

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 1. Pengeluran Rumah Tangga Indonesia dalam persen Tahun 2007-2013 Berdasarkan data BPS (2013) pola konsumsi rumah tangga Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan kondisi yang membaik, yaitu mengarah pada pengeluaran bukan makanan seperti yang ditunjukan pada Gambar 1. Hanya saja pada tahun 2008 dan 2012 proporsi untuk makanan naik dari tahun sebelumnya. Data ini menunjukan adanya pergeseran konsumsi dari makanan ke bukan makanan, yang

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Bukan Makanan 41.68 41.33 41.43 48.57 50.55 48.92 49.34 Makanan 58.32 58.67 58.57 51.43 49.44 51.08 50.66

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

P

erse

n

tas


(23)

menurut Engel jika pendapatan meningkat maka proprosi untuk pengeluaran makanan akan menurun dengan asumsi selera tetap.

Seperti pola konsumsi Indonesia, Lampung juga memiliki pola konsumsi yang terus membaik setiap tahunnya, seperti yang ditunjukan oleh Gambar 2. Akan tetapi, meskipun persentasenya terus menurun, jika dibandingkan dengan

Indonesia, proporsi pengeluaran untuk makanan di Lampung nilai persentasenya lebih besar. Hal tersebut disebabkan total pengeluaran perkapita Lampung berada di bawah Nasional.

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 2.Pengeluran Rumah Tangga Lampung dalam persen Tahun 2007-2013 Berdasarkan data BPS (2012) Provinsi Lampung merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar kedua di Pulau Sumatera, seperti yang terlihat pada Tabel.1 bahwa jumlah penduduk miskin di Lampung pada tahun 2012 berjumlah 1.253.834 jiwa, sedang urutan pertama diduduki oleh Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah 1.407.249 jiwa.

Padahal secara statistik pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung dapat dikatakan dalam kondisi baik, berdasarkan data BPS (2013) pertumbuhan ekonomi

Lampung tahun 2012 tumbuh positif sebesar 6,48 persen. 0.00

10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Makanan Bukan Makanan


(24)

Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa) Daerah Regional Sumatera 2009-2012

Provinsi 2009 2010 2011 2012

Aceh 892.860 861.850 894.810 909.040 Sumatera Utara 1.499.680 1.490.890 1.481.310 1.407.249 Sumatera Barat 429.250 430.020 442.090 404.736 Riau 527.490 500.260 482.050 483.067 Jambi 249.690 241.610 272.670 271.671 Sumatera Selatan 1.167.870 1.125.730 1.074.810 1.057.081 Bengkulu 324.130 324.93 303.600 311.663 Lampung 1.558.280 1.479.930 1.298.710 1.253.834 Bangka Belitung 76.630 67.750 72.060 71.355 Kepulauan Riau 128.210 129.660 129.560 131.220 Sumber : Badan Pusat Statistik

Lampung Tengah merupakah salah satu kabupaten di Lampung yang menjadi sentra beras (padi) di Provinsi Lampung. Kabupaten Lampung Tengah juga memiliki sumber daya manusia terbesar di Lampung berjumlah 1.454.969 jiwa dari total penduduk Lampung7,4 juta jiwa pada tahun 2013 (BPS, 2013). Tabel 2.Kontribusi Kabupaten/Kota terhadap PDRB Provinsi Lampung dalam

persen Tahun 2010-2013

Kabupaten/ Kota 2010 2011 2012 2013

Lampung Barat 2,93 3,03 1,95 1,91

Tanggamus 4,98 4,96 5,03 5,32

Lampung Selatan 10,57 10,35 10,6 10,54

Lampung Timur 10,82 10,55 10,26 10,04

Lampung Tengah 17,24 17,23 17,14 16,85

Lampung Utara 8,44 9,25 9,67 9,71

Way Kanan 3,12 3,11 3,1 3,08

Tulang Bawang 5,88 5,79 5,92 6,15

Pesawaran 5,22 5,25 5,21 5,18

Pringsewu 3,09 3,07 3,02 3,01

Mesuji 3,33 3,52 3,56 3,65

Tulang Bawang Barat 3,05 2,86 2,83 2,84

Pesisir Barat 0 0 0,97 0,94

Bandar Lampung 20,12 19,86 19,58 19,63

Metro 1,21 1,17 1,15 1,15

Jumlah 100 100 100 100


(25)

Berdasarkan Tabel 2. Kabupaten Lampung Tengah merupakan kabupaten tertinggi penyumbangan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Lampung. Sedangkan jika dilihat dari Kabupaten/Kota maka Bandar Lampung yang menjadi penyumbang terbesar terhadap PDRB Lampung.

Sektor konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang PDRB di Lampung Tengah, seperti yang terlihat pada Gambar 3. Secara persentasi memang menurun, tetapi masih menjadi komponen utama PDRB di Kabupaten Lampung Tengah.

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 3. Komposisi PDRB Lampung Tengah dalam persen Tahun 2008-2013 Persentase konsumsi rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah juga

menunjukan pola yang baik, dimana untuk bahan makanan terus menurun, dan berpindah ke bukan bahan makanan, seperti pada Tabel 3. Akan tetapi, jika kita teliti lebih lanjut terjadi penurunan yang signifikan dari tahun 2011 ke tahun 2012 pada pengeluaran makanan, dan kembali meningkat pada tahun 2013. Padahal di Indonesia dan Lampung pada tahun 2013 terjadi penurunan pengeluaran untuk makanan.

0 10 20 30 40 50 60

2008 2009 2010 2011 2012 2013

p

erse

n

tas

e

Tahun


(26)

Tabel 3. Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang, Lampung Tengah

Jenis Pengeluaran (%) 2010 2011 2012 2013

Pangan 61,23 60,39 51,93 52,94

Non Pangan 38,77 39,61 48,07 47,06

Sumber : SUSENAS, 2013

Secara statistik terjadi penurunan jumlah penduduk miskin setiap tahunnya di Kabupaten Lampung Tengah, seperti yang ditunjukan oleh Gambar 4 bahwa jumlah penduduk miskin di Lampung Tengah terus menurun meskipun pada tahun 2006 dan 2007 sempat naik, akan tetapi untuk tahun-tahun selanjutnya trend nya menurun.

Sumber : Badan Pusat Statistik (data diolah)

Gambar 4. Persentase Penduduk Miskin di Lampung Tengah 2005-2013 Kendati demikian, Lampung Tengah masih menduduki peringkat kedua untuk jumlah penduduk miskin terbanyak pada tahun 2012 yaitu sebesar 187.000 jiwa penduduk seperti yang ditunjukan pada Tabel 4. Sementara urutan pertama masih diduduki oleh Lampung Timur dengan penduduk miskin sebanyak 189.500 jiwa. Meskipun menduduki peringkat terbanyak kedua, selisihnya hanya 2500 jiwa penduduk.

0 50 100 150 200 250 300

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013


(27)

Tabel 4. Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Lampung 2012 Nama Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk

Miskin (Jiwa)

Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bulan)

Lampung Barat 67.900 269.670

Tanggamus 92.700 250.134

Lampung Selatan 177.700 256.153

Lampung Timur 189.500 257.284

Lampung Tengah 187.000 271.262

Lampung Utara 155.800 274.291

Way Kanan 72.500 241.330

Tulang Bawang 40.700 256.793

Pesawaran 77.100 251.723

Pringsewu 43.000 269.212

Mesuji 15.300 256.185

Tulangbawang Barat 18.100 253.773

Bandarlampung 121.600 359.948

Metro 19.000 225.231

Sumber : Lampung Dalam Angka 2013

Berdasarkan data BPS tahun 2013 sebanyak 32,26% penduduk di Lampung Tengah berada dalam kategori pra sejahtera, seperti yang ditunjukan pada Tabel 5. Hal ini menunjukan kondisi sosial penduduk di Lampung Tengah, yang masuk kriteria sebagai keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan (BKKBN, 2011).

Tabel 5. Keluarga menurut kategori ke-sejateraan di Lampung Tengah 2012-2013

Kategori

2012 2013

Jumlah Keluarga

Persentase Jumlah keluarga

Persentase

Pra Sejahterah 104.638 32,27 102.768 31,21

Sejahterah Tahap I 103.956 32,06 102.774 31,21

Sejahterah Tahap II 70.961 21,88 78.207 23,75

Sejahterah Tahap III 40.735 12,56 41.366 12,56

Sejahterah Tahap III Plus 3975 1,23 4.164 1,26

Jumlah Total 324.265 100,00 329.279 100,00

Sumber : Lampung Tengah Dalam Angka 2013

Kemudian berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung (2014) Lampung Tengah merupakan kabupaten kedua tertinggi penyumbang kasus


(28)

busung lapar, yaitu mencapai 15,9% atau 21 kasus dari 132 kasus di Provinsi Lampung selama tahun 2014.

Melihat hal tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis pola konsumsi rumah tangga di Lampung Tengah dengan memanfaatkan data modul konsumsi dan modul keterangan rumah tangga yang dilakukan BPS melalui kegiatan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 2013. Kedua data tersebut berasal dari rumah tangga sampel di Lampung Tengah. Pendekatan dengan pengeluaran rumah tangga ini dapat digunakan, karena rumah tangga adalah unit pelaku ekonomi terkecil di masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa

kesejahteraan rumah tangga berarti kesejahteraan masyarakat.

Dengan menganalisis secara deskiptif data pengeluaran rumah tangga, yang dikaitkan dengan karakteristik rumah tangga seperti pendapatan rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, lapangan usaha kepala rumah tangga dan wilayah tempat tinggal kita akan memperoleh pola konsumsi penduduk yang dapat menjadi cerminan masalah perilaku penduduk sehingga akan diperoleh gambaran tingkat kesejahteraan mereka.

Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian “Pola Konsumsi Rumah Tangga di Kabupaten Lampung Tengah tahun 2013”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pola konsumsi rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2013?


(29)

2. Bagaimana pola konsumsi rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah menurut golongan pengeluaran, pendidikan kepala rumah tangga, banyaknya anggota rumah tangga, lapangan usaha kepala rumah tangga dan wilayah tempat tinggal pada tahun 2013?

3. Bagaimanakah hubungan antara golongan pengeluaran, pendidikan kepala rumah tangga, banyaknya anggota rumah tangga, lapangan usaha kepala rumah tangga dan wilayah tempat tinggal dengan proporsi pengeluaran bukan makanan sebagai indikator kesejahteraan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah

1. Mengetahui pola konsumsi rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2013.

2. Mengetahui pola konsumsi rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah menurut golongan pengeluaran, pendidikan kepala rumah tangga, banyaknya anggota rumah tangga, lapangan usaha kepala rumah tangga dan wilayah tempat tinggal pada tahun 2013.

3. Mengetahui hubungan antara golongan pengeluaran, pendidikan kepala rumah tangga, banyaknya anggota rumah tangga, lapangan usaha kepala rumah tangga dan wilayah tempat tinggal dengan proporsi pengeluaran bukan makanan sebagai indikator kesejahteraan.


(30)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian adalah

1. Sebagai sumber informasi kepada pemerintah, khususnya pemerintah daerah Lampung Tengah dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan.

2. Penelitian ini menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang pola

konsumsi yang menggambarkan kuantitas dan nilai konsumsi rumah tangga di daerah Lampung Tengah, sehingga dapat dijadikan dasar untuk membuat kebijakan yang lebih tepat bagi kesejahteraan masyarakat di Lampung Tengah.

3. Sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi peneliti, mahasiswa dan dosen yang berminat melakukan penelitian dengan tema yang sama.

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Keputusan konsumsi sangat penting untuk analisis jangka-panjang karena peranannya dalam pertumbuhan ekonomi. Keputusan konsumsi juga berperan dalam menentukan permintaan agregat. Konsumsi adalah dua-pertiga dari GDP (Gross Domestic Product), sehingga fluktuasi dalam konsumsi adalah elemen penting dari booming dan resesi ekonomi.

John Marynard Keynes pada tahun 1936 mulai memperkenalkan teori umum tentang konsumsi dengan membuat fungsi konsumsi sebagai pusat teori fluktuasi ekonominya.


(31)

Ada beberapa dugaan penting yang digunakan Keynes dalam fungsi konsumsi. Pertama dan terpenting, Keynes menduga bahwa kecenderungan mengkonsumsi marginal (Marginal propensity to consume) - jumlah yang dikonsumsi dari setiap dolar tambahan- adalah antara nol dan satu.

Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (average propensity to consume), turun ketika pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan, sehingga ia menduga orang kaya menabung dalam proporsi lebih tinggi dari pendapatan mereka ketimbang si miskin.

Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran penting.

a. Perubahan Pendapatan

Peningkatan pendapatan dengan harga semua barang tidak berubah,

menyebabkan konsumen mengubah pilihan keranjang pasar mereka. Seperti pada Gambar 5 bagian (a) keranjang pasar yang memaksimalkan kepuasan konsumen untuk berbagai pendapatan. Pergesar ke kanan dari kurva

permintaan sebagai reaksi atas peningkatan pendapatan ditunjukan pada bagian (b).


(32)

Sumber : Pyndyck (2007)

Gambar 5. Efek Perubahan Pendapatan

b. Hukum Engel

Hubungan antara pendapatan dan konsumsi rumah tangga sudah lama diteliti oleh Ernest Engel (1821-1896) yang merupakan salah seorang pakar ekonomi Jerman. Ernest Engel mengemukakan sebuah teori yang dikenal dengan Hukum Engel. Hukum tersebut menyebutkan bahwa pendapatan dari rumah tangga yang digunakan untuk belanja makanan akan cenderung menurun jika pendapatannya meningkat, artinya semakin meningkat pendapatan seseorang maka proporsi konsumsi atau pengeluaran pangan, akan semakin menurun.

Sandang

Kurva

Konsumsi-Pendapatan

U3

U2

U1

7

5 3

4 10 16

$1

Pangan

4 10 16

P

Q D3

D2

D1

(a)


(33)

c. Kurva Engel

Secara teoritis diketahui bahwa tingkat konsumsi pada suatu rumah tangga terhadap barang dan jasa akan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya pendapatan. Dalam konsep ilmu ekonomi kurva Engel dapat menjelaskan mengenai hubungan antara tingkat pendapatan dengan jumlah permintaan barang oleh konsumen. Kurva Engel yang menggembarkan hubungan pendapatan dengan jumlah permintaan pada barang normal oleh konsumen pada Gambar 6, sedangkan pada Gambar 7 merupakan Kurva Engel pada barang inferior.

Gambar 6. Kurva Engel pada barang normal

30

20

10

4 8 12

Kurva Engel

Pangan Pendapatan


(34)

Gambar 7. Kurva Engel Barang Inferior

2. Kerangka Pemikiran Operasional

Penelitian ini akan menganalisis tentang pola konsumsi rumah taangga di

Kabupaten Lampung Tengah menurut beberapa karakteristik pokok rumah tangga seperti golongan pengeluaran rumah tangga; pendidikan kepala rumah tangga; jumlah anggota rumah tangga; lapangan usaha kepala rumah tangga; serta wilayah tempat tinggal.

Penelitian tentang pola konsumsi sebenarnya sudah banyak dilakukan diantaranya, dilakukan Halyani (2008) penelitiannya menunjukan bahwa terdapat pengaruh signifikan variabel pendapatan rumah tangga dan jumlah anggota keluarga terhadap pengeluaran konsumsi, selain itu dia juga memasukan variabel lain seperti jumlah anak sekolah dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga tetapi tidak signifikan. Agustin (2012) juga pernah meneliti terkait faktor yang

mempengaruhi pengeluaran konsumsi variabelnya adalah pendapatan, jumlah tanggungan dan penggunaan kredit. Serta Pusposari (2012) hasil penelitiannya

30

20

10

4 6 8 Kurva Engel

Humburger Pendapatan

0

Normal Inferior


(35)

tentang pola konsumsi pangan di Maluku menunjukan bahwa pengeluaran, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan lokasi

mempengaruhi permintaan pangan di Maluku, masing-masing pangan berbeda variabel yang mempengaruhi.

Berikut ini penjabaran mengapa karakteristik tersebut dimasukan didalam penelitian ini :

1. Golongan Pengeluaran Rumah Tangga

Pendapatan rill penduduk dari survei relatif sulit diperoleh dan biasanya dilakukan pendekatan nilai pengeluaran. Semakin tinggi pengeluaran biasanya, semakin baik pula pola konsumsi masyarakat, termasuk kecukupan gizinya. Maka, golongan pengeluaran rumah tangga akan dibagi menjadi lima kuantil, yaitu membagi pengeluaran 20 persen terbawah (kuantil I), 20 persen bawah (kuantil II), 20 persen menengah (III), 20 persen tinggi (IV) dan 20 tertinggi (kuantil V) untuk melihat apakah semakin tinggi pengeluaran, maka pola konsumsinya lebih baik.Pengeluaran rumah tangga yang dimaksud adalah pengeluaran rata-rata per kapita perbulan.

2. Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Pendidikan kepala rumah tangga disinyalir dapat membedakan pola konsumsi rumah tangga. Ada indikasi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga, berpengaruh pada pola konsumsi, maka pendidikan kepala rumah akan dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok pertama adalah kelompok SD kebawah yaitu kepala rumah tangga berpendidikan tamat SD, tidak tamat SD, dan Tidak/belum pernah sekolah; kelompok kedua, SMP yaitu kepala


(36)

rumah tangga yang berpendidikan tamat SLTP dan atau sejenisnya, dan kelompok ketiga adalah SMA ke atas yaitu kepala rumah tangga yang

berpendidikan minimal SLTA.Untuk melihat apakah semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga makin baik pola konsumsinya.

3. Anggota Keluarga Rumah Tangga

Jumlah anggota keluarga dalam rumah tangga dapat membedakan pola konsumsi rumah tangga. Ada indikasi bahwa semakin sedikit jumlah anggota keluarga, maka akan semakin baik pola konsumsinya. Sehingga pada penelitian ini, akan bagi empat kategori rumah tangga yaitu rumah tangga dengan anggota rumah tangga berjumlah satu orang, rumah tangga dengan anggota dua orang, rumah tangga dengan anggota keluarga berjumlah 3 orang, dan rumah tangga dengan anggota keluarga berjumlah 4 atau lebih.

4. Lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga

Lapangan usaha kepala dalam rumah tangga dapat membedakan pola konsumsi rumah tangga. Ada indikasi bahwa lapangan usaha pertanian konsumsinya cenderung lebih buruk. Sehingga, akan dibagi 2 kategori lapangan usaha yaitu kepala rumah tangga (krt) dari sektor pertanian, dibandingkan dengan rumah tangga yang sumber penghasilan utama kepala rumah tangga (krt) bukan pertanian.

5. Wilayah Tempat Tinggal

Wilayah tempat tinggal dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi, karena variabel ini berhubungan dengan biaya transportasi, budaya dan geografis. Untuk menentukan apakah suatu desa tertentu termasuk daerah


(37)

perkotaan atau pedesaan dilakukan perhitungan skor terhadap tiga variable potensi desa yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses fasilitas umum.

Gambar 8. Kerangka Pemikiran

F. Hipotesis

Hipotesis merupakan dugaan sementara yang masih perlu diuji kebenarannya melalui data-data yang diperoleh, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Konsumsi Penduduk

Pendidikan KRT

Jumlah

ART Usaha KRT Lapangan

Makanan Bukan Bahan Makanan

Analisis Deskriptif

Gambaran Tingkat Kesejateraan

Rekomendasi Kebijakan Untuk Peningkatan Kesejahteraan Golongan

Pengeluaran

Karakteristik Rumah Tangga

Data Rumah Tangga

Wilayah tempat tinggal Pengeluaran Rumah


(38)

1. Hipotesis (1)

Diduga pola konsumsi rumah tangga di Lampung Tengah lebih didominasi proporsi pengeluaran makanan dibanding bukan makanan.

2. Hipotesis (2)

a. Diduga semakin tinggi golongan pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk bukan makanan.

b. Diduga semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga, semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk bukan makanan.

c. Diduga semakin tinggi jumlah anggota rumah tangga, semakin sedikit proporsi pengeluaran untuk bukan makanan.

d. Diduga kepala rumah tangga yang bekerja di sektor bukan pertanian memiliki proporsi pengeluaran untuk bukan makan lebih besar.

e. Diduga rumah tangga yang tinggal di wilayah perkotaan memiliki proporsi pengeluaran untuk bukan makan lebih besar.

3. Hipotesis (3)

a. Diduga golongan pengeluaran rumah tangga memiliki hubungan positif dengan proporsi pengeluaran untuk bukan makanan.

b. Diduga tingkat pendidikan kepala rumah tangga memiliki hubungan positif dengan proporsi pengeluaran untuk bukan makanan.

c. Diduga tingkat jumlah anggota rumah tangga memiliki hubungan negatif dengan proporsi pengeluaran untuk bukan makanan.

d. Diduga lapangan usaha bukan pertanian memiliki hubungan positif dengan proporsi pengeluaran untuk bukan makanan.


(39)

e. Diduga wilayah tempat tinggal di perkotaan memiliki hubungan positif dengan proporsi pengeluaran untuk bukan makanan.

G. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian mengenai pola konsumsi masyarakat Kabupaten Lampung Tengah ini dibatasi pada beberapa karakateristik pokok rumah tangga seperti pendidikan kepala rumah tangga yang dibedakan menjadi tiga kelompok yakni SD kebawah, SMP, dan SMA keatas; pengeluaran rumah tangga yang dibedakan menjadi lima kuantil; banyaknya anggota keluarga yang dibedakan dalam tiga kategori yakni rumah tangga dengan 1 anggota rumah tangga (art), 2 art, 3 art dan 4 art atau lebih; lapangan usaha kepala rumah tangga yang dibedakan dalam dua kategori yaitu pertanian dan bukan pertanian; serta wilayah tempat tinggal yaitu perkotaan dan perdesaaan.

Kelompok pengeluaran dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu makanan dan bukan bahan makanan. Dalam kelompok makanan dirinci menurut 14 sub

kelompok, yakni padi-padian, umbi-umbian, ikan/udang/cumi/kerang, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya (yang tidak termasuk dalam kategori sebelumnya), makan dan minuman jadi, tembakau dan sirih. Sedangkan kelompok bukan makanan terdiri atas 6 sub kelompok yakni perumahan dan fasilitas rumah tangga, aneka barang dan jasa, pakaian dan alas kaki, barang tahan lama, pajak, pungutan dan asuransi serta keperluan pesta dan upacara. Dalam sub kelompok untuk pengeluaran perumahan dirinci menjadi sewa/kontrak rumah; pemeliharaan rumah; rekening listrik, air, dan rekening telepon rumah. Sedangkan


(40)

pengeluaran aneka barang dan jasa dirinci menjadi pengeluaran untuk sabun mandi/cuci, kosmetik; biaya kesehatan; biaya pendidikan; transportasi; dan jasa lainnya.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, yakni Bab I Pendahuluan, Bab II Tinjauan Pustaka, Bab III Metode Penelitian, Bab IV Hasil dan Pembahasan, serta Bab V Simpulan dan Saran.

I. Pendahuluan

Bab ini berisikan tentang latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan kerangka pemikiran penelitian.

II. Tinjauan Pustaka

Bab ini berisikan landasan teori yang relevan dengan penelitian ini. III. Metodologi Penelitian

Bab ini berisikan metode penelitian yang terdiri dari sumber dan jenis data, metode analisis, penjelasan data penelitian dan definisi istilah dalam penelitian. IV. Hasil dan Pembahasan

Bab ini berisikan hasil perhitungan dan pembahasan. V. Simpulan dan Saran

Bab ini berisikan simpulan dan saran. DAFTAR PUSTAKA


(41)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Konsumsi

Bagaimana rumah tangga memutuskan seberapa besar dari pendapatan mereka yang akan dikonsumsi saat ini dan berapa yang akan ditabung untuk masa depan? Ini adalah pengambil keputusan individu. Tetapi jawabannya mengandung

konsekuensi makro ekonomi.

Keputusan konsumsi sangat penting untuk analisis jangka-panjang karena peranannya dalam pertumbuhan ekonomi. Keputusan konsumsi juga berperan dalam menentukan permintaan agregat. Konsumsi adalah dua-pertiga dari GDP (Gross Domestic Product), sehingga fluktuasi dalam konsumsi adalah elemen penting dari booming dan resesi ekonomi.

1. John Maynard Keynes dan Fungsi Konsumsi

John Marynard Keynes pada tahun 1936 mulai memperkenalkan teori umum tentang konsumsi dengan membuat fungsi konsumsi sebagai pusat teori fluktuasi ekonominya.

Ada beberapa dugaan penting yang digunakan Keynes dalam fungsi konsumsi. Pertama dan terpenting, Keynes menduga bahwa kecenderungan mengkonsumsi


(42)

marginal (Marginal propensity to consume) - jumlah yang dikonsumsi dari setiap dolar tambahan- adalah antara nol dan satu.

Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (average propensity to consume), turun ketika pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan, sehingga ia menduga orang kaya menabung dalam proporsi lebih tinggi dari pendapatan mereka ketimbang si miskin.

Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran penting. Dugaan ini

berlawanan dengan kepercayaan dari para ekonom klasik sebelumnya. Para ekonom klasik berpendapat bahwa tingkat bunga lebih tinggi akan mendorong tabungan dan menghambat konsumsi. Keynes menyatakan bahwa pengaruh tingkat suku bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori. Namun, dia menulis

bahwa, “menurut saya, kesimpulan utama yang diberikan oleh pengalaman adalah

bahwa pengaruh jangka-pendek dari tingkat suku bunga terhadap pengeluaran individu dari pendapatannya adalah bersifat sekunder atau relatif tidak penting”. Berdasarkan tiga dugaan ini, fungsi konsumsi Keynes sering ditulis sebagai

̅ ̅

di mana adalah konsumsi, Y adalah pendapatan disposabel, ̅ adalah konstanta, dan t adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal. Fungsi konsumsi ini yang ditunjukan dalam Gambar 9, digambarkan sebagai garis lurus. ̅ menunjukan perpotongan pada garis vertikal dan merupakan kemiringan.


(43)

Sumber : Mankiw (2006)

Gambar 9. Kurva Fungsi Konsumsi Keynes

Ingatlah bahwa fungsi konsumsi ini menunjukan tiga alasan yang dinyatakan oleh Keynes. Fungsi konsumsi ini memenuhi alasan pertama Keynes karena

kecenderungan mengkonsumsi marginal adalah antara nol dan satu, sehingga pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi dan juga tabungan yang lebih tinggi. Fungsi konsumsi ini memenuhi alasan kedua Keynes karena kecenderungan mengkonsumsi rata-rata adalah

̅

Ketika meningkat, ̅ turun, dan begitu pula kecenderungan mengkonsumsi

rata-rata turun. Akhirnya, fungsi konsumsi ini memenuhi alasan ketiga Keynes karena tingkat bunga tidak dimasukan dalam persamaan ini sebagai diterminan konsumsi.

Konsumsi, C

Pendapatan, Y

̅

1 MPC

1 APC

APC


(44)

B. Teori Permintaan

Menurut Sadono Sukirno (2005) teori permintaan menerangkan tentang sifat permintaan para pembeli terhadap sesuatu barang. Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga.

Permintaan seseorang atau suatu masyarakat terhadap suatu barang ditentukan oleh banyak faktor, beberapa faktor penting penentu permintaan menurut Sadono Sukirno (2005) adalah sebagai berikut :

1. Harga Barang Itu Sendiri

Dalam kehidupan konsumen dihadapkan dengan berbagai pilihan barang, salah satu hal yang paling mempengaruhi permintaan konsumen terhadap suatu barang adalah harga barang itu sendiri. Kemudian untuk menyederhanakan analisis maka muncul hukum permintaan.

Didalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya. Menurut Sadono Sukirno (2005) pada

hakikatnya hukum permintaan merupakan suatu hipotesis yang menyatakan bahwa makin rendah harga suatu barang maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin tinggi harga suatu barang makin sedikit permintaaan terhadap barang tersebut. Pada umumnya kurva permintaan berbagai jenis barang menurun dari kiri atas ke kenan bawah seperti pada Gambar 10.


(45)

Sumber : Pyndyck (2007) Gambar 10. Kurva Permintaan

2. Harga Barang Lain

Hubungan antara suatu barang dengan berbagai jenis-jenis barang lainnya dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu :

a. Barang Pengganti (Substitusi)

Suatu barang dikatakan sebagai barang pengganti, apabila barang itu dapat menggantikan fungsi barang lain tersebut. Harga barang pengganti dapat mempengaruhi permintaan barang yang digantikan. Jika harga barang pengganti bertambah murah, maka barang yang digantikan akan mengalami pengurangan dalam permintaan.

b. Barang Pelengkap (komplemen)

Apabila suatu barang selalu digunakan bersama dengan barang lainnya, maka barang tersebut dinamakan barang pelengkap bagi barang lain tersebut.

Jumlah permintaan barang pelengkap selalu sejalan dengan permintaan barang yang dilengkapinya. Jadi jika harga suatu barang naik, maka permintaan barang tersebut akan turun, diikuti turunnya permintaan barang pelengkap.

Harga, P

Jumlah, Q P2

P1

Q2 Q1


(46)

c. Barang Netral

Permintaan terhadap suatu barang tidak ada hubungan dengan permintaan barang lain, itu yang disebut dengan barang netral. Artinya bahwa berapapun harga barang lain, maka tidak akan berpengaruh terhadap permintaan ini, karena bersifat netral, tidak terpengaruh ataupun mempengaruhi permintaan barang lainnya.

3. Pendapatan Konsumen

Pendapatan konsumen merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan corak permintaan terhadap suatu barang.

Sumber : Pyndyck (2007)

Gambar 11. Kurva Permintaan atas Perubahan Pendapatan Sandang

Kurva Konsumsi-Pendapatan

U3

U2

U1

7

5 3

4 10 16

$1

Pangan

4 10 16

P

Q D3

D2

D1

(a)


(47)

Perubahan pendapatan selalu menimbulkan perubahan terhadap permintaan berbagai jenis barang. Seperti pada Gambar 11, pada bagian (a) keranjang pasar yang memaksimalkan kepuasan konsumen untuk berbagai pendapatan. Pergesar ke kanan dari kurva permintaan sebagai reaksi atas peningkatan pendapatan ditunjukan pada bagian (b).

Berdasarkan sifat perubahan permintaan yang berlaku apabila terjadi perubahan pada pendapatan konsumen, makan barang dapat dibagi menjadi empat golongan :

a. Barang Inferior

Barang yang banyak dimintak oleh orang-orang yang berpendapatan rendah. Kalau pendapatan bertambah tinggi maka permintaan terhadap barang-barang tergolong inferior akan berkurang. Para pembeli yang mengalami kenaikan pendapatan akan mengurangi pengeluarannya terhadap barang-barang inferior dan menggantikannya dengan barang-barang yang lebih baik mutunya.

b. Barang Esensial

Barang esensial adalah barang yang sangat penting artinya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Biasanya barang itu terdiri dari kebutuhan pokok, sehingga pengeluaran untuk barang seperti ini tidak berubah meskipun pendapatan meningkat.

c. Barang Normal

Suatu barang dinamakan barang normal apabila barang tersebut mengalami kenaikan dalam permintaan sebagai akibat dari kenaikan pendapatan. Ada dua faktor yang menyebabkan barang-barang tergolong normal permintaannya bertambah apabila pendapatan konsumen meningkat, yaitu :


(48)

(i) Pertambahan pendapatan menambah kemampuan untuk membeli banyak barang, dan

(ii)Pertambahan pendapatan memungkinkan pembeli menukar konsumsi mereka dari barang kurang baik mutunya kepada barang yang lebih baik. d. Barang mewah

Jenis-jenis barang yang dibeli orang apabila pendapatan mereka relatif tinggi termasuk jenis golongan ini. Biasanya barang mewah baru dibeli masyarakat setelah dapat memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan perumahan.

3.1Kurva Engel

Menurut Pyndyck dan Rubinfeld (2007) hubungan pendapatan dan jumlah barang yang konsumsi dapat digambarkan dengan kurva Engel. Pada barang normal kemiringan kurva Engel naik seperti pada Gambar.12 sedangkan pada Gambar 13. akibat dari kenaikan pendapatan konsumen, humburger yang mulanya merupakan barang normal pada saat pendapatan kurang dari 20, menjadi barang inferior ketika pendapatan konsumen naik menjadi lebih dari 20.


(49)

Sumber : Pyndyck (2007)

Gambar 12. Kurva Engel pada barang normal

Sumber : Pyndyck (2007)

Gambar 13. Humburger barang normal, ketika pendapatan > 20 jadi barang inferior

3.2Hukum Engel (Engel’s Law)

Generalisasi paling penting tentang perilaku konsumen terkait pendapatan. Generalisasi ini menyatakan bahwa bagian pendapatan yang digunakan untuk belanja makanan cenderung menurun jika pendapatannya meningkat. Penemuan

30

20

10

4 6 8 Kurva Engel

Humburger Pendapatan

0

Normal Inferior 30

20

10

4 8 12

Kurva Engel

Pangan Pendapatan


(50)

ini pertama kali dikemukan seorang ekonom Prusia, Ernest Engel (1821-1896) pada abad kesembilan belas dan dikenal sebagai Hukum Engel (Engel’s Law). Tabel 6. Memberikan ilustrasi data yang digunakan Engel. Data ini menujukan bahwa keluarga yang lebih kaya membelanjakan bagian yang lebih kecil dari pendapatannya untuk membeli makanan.

Data terakhir pada masyarakat Amerika Serikat (AS) di Tabel 7. menunjukan kecenderungan sesuai dengan hukum Engel. Keluarga kaya memberikan proporsi yang lebih kecil dari daya beli mereka untuk membeli makanan daripada proporsi yang disisihkan oleh keluarga miskin. Perbandingan data dalam Tabel 6 dan 7 juga membenarkan Hukum Engel, bahkan konsumen berpendapatan rendah di AS saat ini jauh lebih kaya daripada orang Belgia di abad sembilan belas, dan membelanjakan bagian lebih kecil dari pendapatan untuk makanan, sebagaimana yang diperkirakan.

Tabel 6. Persentase Pengeluaran untuk Berbagai Barang di Belgia Tahun 1853

Jenis Pengeluaran Pendapatan Tahunan

$255-$300 $450-$600 $750-$1.000 Makanan 62,0% 55,0% 50,0% Pakaian 16,0 18,0 18,0 Kebutuhan Rumah Tangga 17,0 17,0 17,0 Jasa (Pendidikan, Kesehatan, Hukum) 4,0 7,5 11,5 Kesenangan dan rekreasi 1,0 2,5 3,5 Jumlah 100,0 100,0 100,0

Sumber : Walter Nicholson (2007)

Tabel 7. Persentase Pengeluaran untuk Berbagai Barang di AS Tahun 1997

Jenis Pengeluaran Pendapatan Tahunan

20% terendah 20% menengah 20% tertinggi Makanan 62,0% 55,0% 50,0%

Pakaian 16,0 18,0 18,0 Kebutuhan Rumah Tangga 17,0 17,0 17,0 Pengeluaran lain 4,0 7,5 11,5 Jumlah 100,0 100,0 100,0


(51)

4. Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan juga dapat mempengaruhi corak permintaan terhadap berbagai jenis barang.sejumlah pendapatan masyarakat yang tertentu besarnya akan menimbulkan corak permintaan masyarakat yang berbeda apabila

pendapatan tersebut diubah corak distribusinya. Misalnya jika pemerintah menaikan pajak terhadap orang-orang kaya dan kemudian menggunakan hasil pajak ini untuk menaikan pendapatan pekerja yang bergaji rendah maka corak permintaan terhadap berbagai barang akan mengalami perubahan. Barang-barang yang digunakan oleh orang-orang kaya akan berkurang permintaaanya, tetapi sebaliknya barang-barang yang digunakan orang yang pendapatan rendah yang mengalami kenaikan pendapatan akan bertambah permintaannya.

5. Cita Rasa Masyarakat (selera)

Cita rasa masyarakat atau selera masyarakat mempunyai pengaruh cukup besar terhadap keinginan masyarakat untuk membeli barang-barang. Pada tahun 1960-an sedikit sekali or1960-ang y1960-ang suka menggunak1960-an mobil-mobil buat1960-an Jep1960-ang, tetapi semenjak tahun 1970-an diberbagai negara mobil Jepang makin populer dan menyebabkan permintaan terhadap mobil buatan Amerika dan Eropa merosot tajam.

6. Jumlah Penduduk

Pertambahan penduduk tidak dengan sendirinya menyebabkan pertambahan permintaan. Tetapi biasanya pertambahan penduduk diikuti oleh perkembangan dalam kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak orang yang menerima


(52)

pendapatan dan ini menambah daya beli dalam masyarakat. Pertambahan daya beli ini akan menambah permintaan.

7. Ekspektasi Tantangan Masa Depan

Perubahan-perubahan yang diramalkan mengenai keadaan pada masa yang akan datang dapat mempengaruhi permintaan. Ramalan konsumen bahwa harga-harga akan menjadi bertambah tinggi pada masa depan akan mendorong mereka untuk membeli banyak pada masa kini, untuk menghemat pengeluaran pada masa yang akan datang. Sebaliknya, ramalan bahwa lowongan kerja akan bertambah suka diperoleh dan kegiatan ekonomi akan mengalami masa resisi, akan mendorong orang lebih berhemat dalam pengeluarannya dan mengurangi permintaan. Sepanjang penjelasan tersebut kita mengasumsikan bahwa permintaan orang untuk sesuatu barang saling tidak tergantung. Akan tetapi menurut Pyndyck dan Rubinfeld (2007) untuk beberapa barang permintaan seseorang juga bergantung pada permintaan orang lain. Bila demikian halnya, maka terdapat eksternalitas jaringan (nerwork externalities) yang beruwujud positif dan negatif.

Eksternalitas jaringan yang positif terjadi apabila jumlah permintaan barang dari konsumen tertentu meningkat akibat adanya peningkatan pembelian oleh

konsumen lain. Bila permintaan menurun, terjadi eksternalitas jaringan negatif. 1. Efek Bandwagon

Efek Bandwagon atau dikenal dengan efek ikut-ikutan yaitu keinginan untuk bergaya, untuk memiliki barang karena hampir semua orang memilikinya, atau karena iseng.


(53)

2. Efek Snob

Efek Snob mengacu pada keinginan untuk memiliki barang ekslusif atau

unik. Jumlah permintaan “barang snob” akan lebih tinggi bila semakin sedikit orang yang memilikinya.

Kedua efek tersebut diperkenalkan oleh Hervey Liebenstein tahun 1948 dalam jurnalnya yang berjudul “Bandwagon, Snob and Veblen Effects in the Theory of Counsumer Demand”.

C. Teori Tingkah Laku Konsumen

Teori tingkah laku konsumen merupakan sebuah teori yang menerangkan

mengenai alasan para pembeli/konsumen untuk membeli lebih banyak pada harga yang lebih rendah dan mengurangi pembeliannya pada harga yang tinggi, dan bagaimana seorang konsumen menentukan jumlah dan komposisi dari barang yang akan dibeli dari pendapatan yang diperolehnya (Sadono Sukirno, 2005). Menurut Pyndyck dan Rubinfeld (2007) Teori perilaku konsumen adalah

deskripsi tentang bagaimana konsumen mengalokasikan pendapatan antara barang dan jasa yang berbeda-beda untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka. Cara terbaik untuk memahami perilaku konsumen adalah dengan tiga langkah yang berbeda :


(54)

1. Preferensi Konsumen

Untuk mempelajari preferensi konsumsen terdapat beberapa asumsi dasar preferensi konsumen yaitu:

a. Kelengkapan

Preferensi konsumen diasumsikan lengkap. Dengan kata lain, konsumen dapat membandingkan dan menilai semua keranjang pasar (daftar dari satu barang atau lebih dengan jumlah spesifik). Dengan kata lain, untuk setiap dua keranjang pasar A dan B, konsumen akan lebih suka A daripada B atau lebih suka B daripada A, atau tidak peduli pada kedua pilihan. Yang dimaksud dengan tidak peduli adalah bahwa seseorang akan sama puasnya dengan pilihan keranjang manapun. Perhatikanlah bahwa preferensi ini mengabaikan harga. Seorang konsumen mungkin lebih suka bistik daripada humburger, tetapi akan membeli humburger karena lebih murah.

b. Transitifitas

Preferensi adalah transitif. Transitifitas berarti bahwa seorang konsumen lebih suka keranjang pasar A daripada keranjang pasar B, dan lebih suka B daripada C, maka konsumen itu dengan sendirinya lebih suka A daripada C.

Transitifitas ini biasanya dianggap perlu untuk konsistensi konsumen. c. Lebih baik berlebih daripada kurang

Semua barang yang “baik” adalah barang yang diinginkan. Sehingga

konsumen selalu menginginkan lebih banyak barang daripada kurang. Sebagai tambahan, konsumen tidak akan pernah puas atau kenyang; lebih banyak selalu lebih menguntungkan, meskipun lebih untungnya hanya sedikit saja.


(55)

Ketiga asumsi ini merupakan dasar teori tentang konsumen. Ketiganya tidak menjelaskan preferensi konsumen, tetapi menekankan adanya tingkat rasionalitas dan kewajaran pada asumsi tersebut.

1.1Kurva Indiferensi

Secara grafik kita dapat menunjukan prefenrensi konsumen dengan menggunakan kurva-kurva indiferensi (indifference curves). Kurva indeferensi memperhatikan semua kombinasi keranjang pasar yang memberikan tingkat kepuasan yang sama kepada seseorang konsumen. Sehingga konsumen itu tidak peduli pada pilihan keranjang pasar seperti yang ditunjukan oleh Gambar 14.

Sumber : Pyndyck (2007) Gambar 14. Kurva Indiferensi

1.1.1 Peta Indiferensi

Preferensi seseorang untuk semua kombinasi pangan dan sandang dapat digambarkan dengan grafik seperangkat kurva indiferensi yang disebut peta

50 40 30 20 10

10 20 30 40

Sandang

Pangan

U1

B

A

D E

G H


(56)

indiferensi (indifference map), dimana diantara pilihan keranjang pasar tersebut konsumen menunjukan sikap tidak peduli akan pilihannya seperti Gambar 15.

Sumber : Pyndyck (2007) Gambar 15. Peta Indiferensi

1.1.2 Bentuk-bentuk Kurva Indiferensi

Semua kurva indiferensi kemiringannya menurun sehingga membentuk beberapa bentuk kurva indeferensi yaitu :

a. Tingkat Substitusi Marginal

Untuk mengukur jumlah suatu barang yang konsumen bersedia melepaskan untuk mendapatkan barang lain lebih banyak, kita menggunakan ukuran yang disebut tingkat substitusi marginal (marginal rate of substitution =MRS). Sehingga dapat dikatakan bahwa MRS adalah jumlah maksimum suatu barang yang konsumen bersedia melepaskan untuk memperoleh satu tambahan unit barang lain.

U1

U3

U2

Pangan

A

B C


(57)

Besarnya MRS pada setiap titik sama dengan kemiringan kurva indiferensi pada titik itu. Untuk memahami MRS, maka terdapat tambahan asumsi yaitu tingkat substitusi marginal yang makin berkurang (diminishing marginal rate of substitution) Kurva indeferensi biasanya cembung, atau melengkung kedalam.

Cara lain untuk menggambarkan prinsip ini adalah dengan menyatakan bahwa konsumen pada umumnya lebih menyukai suatu keranjang pasar yang

berimbang, daripada keranjang pasar yang hanya berisikan satu barang saja.

b. Substitusi Sempurna dan Komplemen Sempurna

Bentuk kurva indiferensi menunjukan kesediaan konsumen untuk

menggantikan suatu barang dengan barang lainnya. Suatu kurva indiferensi yang berbeda menunjukan kesediaan konsumen yang berbeda pula untuk mengganti barang.

 Substitusi Sempurna adalah dimana dua barang memiliki tingkat substitusi marginal atas barang lainnya adalah tetap.

 Komplemen Sempurna adalah dimana dua barang MRS nya tidak terbatas; indiferensi bentuknya siku-siku.

1.2Utilitas

Utilitas merupakan skor yang menujukan kepuasan yang diperoleh konsumen dari keranjang pasar yang ada. Dengan kata lain, utilitas adalah alat untuk

menyederhanakan peringkat keranjang pasar. Jika membeli tiga buku teks ini membuat seseorang lebih gembira daripada membeli sebuah kemeja, maka kita


(58)

dapat katakan bahwa tiga buku memberikan lebih banyak utilitas dari pada kemeja.

1.2.1 Fungsi Utilitas

Suatu rumusan yang menujukan tingkat utilitas untuk keranjang individu.

Terdapat dua jenis fungsi utilitas, yaitu fungsi utilitas ordinal dan kardinal. Fungsi utilitas ordinal yang menghasilkan peringkat keranjang pasar secara berurutan dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai. Sedangkan fungsi utilitas kardinal merupakan fungsi utilitas yang menjelaskan berapa banyak satu

keranjang pasar lebih disukai daripada keranjang pasar lainnya.

2. Keterbatasan Anggaran

Keterbatas anggaran adalah batas yang dihadapi konsumen sebagai akibat dari terbatasnya pendapatan. Untuk melihat bagaimana keterbatasan anggaran

membatasi pilihan konsumen, maka digambarkan dengan garis anggaran. Dimana garis anggaran diartikan sebagai semua kombinasi dari barang-barang dengan jumlah total uang yang dibelanjakan sama dengan pendapatan.

Garis anggaran dapat mengalami perubahan yang diakibatkan oleh dua hal yaitu : a. Pendapatan

Perubahan berupa kenaikan pendapatan dengan asumsi harga yang tidak berubah mengakibatkan garis anggaran bergeser ke arah pararel (kanan atas), sebaliknya jika pendapatan menurun maka garis anggaran bergeser ke arah pararel (ke kiri).


(59)

b. Harga

Perubahan berupa kenaikan harga dengan asumsi pendapatan yang tidak berubah mengakibatkan garis anggaran berputar kira-kira satu perpotongan ke arah (kiri), sebaliknya jika harga barang menurun maka garis anggaran

berputar ke arah (ke kanan).

3. Pilihan-pilihan Konsumen

Dengan mengetahui preferensi dan keterbatasan anggaran, selanjutnya kita dapat menentukan bagaimana konsumen secara individu memilih berapa barang yang akan dibelinya. Kita berasumsi bahwa konsumen membuat pilihan ini dengan cara yang rasional, yakni bahwa mereka memilih barang untuk memaksimalkan

kepuasan yang dapat mereka capai, dengan anggaran yang terbatas.

Keranjang pasar yang maksimal dapat dicapai dengan memenuhi dua syarat : 1. Harus berada pada garis anggaran, diasumsikan bahwa seluruh pendapatan

dibelanjakan sekarang.

2. Harus memberikan kombinasi barang dan jasa yang paling disukai konsumen.

Teori tingkah laku konsumen juga diungkapkan oleh ekonom Indonesia Sadono Sukirno (2005) menurutnya teori tersebut dibedakan dua macam pendekatan : 1) Pendekatan Nilai Guna (utiliti) Kardinal

Dalam pendekatan nilai guna kardinal dianggap manfaat atau kenikmatan yang diperoleh seseorang konsumen dapat dinyatakan secara kuantitatif. Berdasarkan kepada pemisalan ini, dan dengan anggapan bahwa konsumen akan


(60)

seseorang akan menentukan kepuasan yang dapat dicapainya, diterangkan bagaimana seseorang akan menentukan konsumsinya ke atas berbagai jenis barang yang terdapat di pasar.

Untuk memahami pendekatan nilai guna (utiliti) kardinal, ada dua pengertian yaitu :

a) Nilai guna total atau jumlah utiliti dari mengkonsumsi sejumlah barang tertentu.

b) Nilai guna marginal yaitu tambahan utiliti yang diperoleh dari menambah satu unit barang yang dikonsumsi.

Pola konsumsi atas suatu barang diperngaruhi oleh hukum utiliti marginal yang semakin menurun (diminishing of marginal return), artinya semakin banyak suatu barang dikonsumsi, semakin sedikit nilai utiliti marginalnya dan pada akhirnya utiliti marginal akan bernilai negatif.

Apabila seseorang hanya mengkonsumsi satu jenis barang saja, kepuasan yang maksimum akan dicapai pada ketika utiliti marginal adalah nol (dan pada waktu ini utiliti total mencapai maksimum). Apabila seseorang mengkonsumsi banyak barang, syarat pemaksimuman kepuasan adalah :

Dimana :

MUA, MUB, dan MUC adalah nilai guna marginal barang A,B, dan C. PA, PB, PC adalah harga barang A, B dan C.

Teori tingkah laku konsumen dapat menerangkan mengapa kurva permintaan menurun dari kira atas ke kanan bawah, yaitu menggambarkan apabila harga turun, permintaan bertambah. Dengan menggunakan teori nilai guna dapat


(61)

diterangkan mengapa permintaan konsumen atas suatu barang bersifat demikian dan selanjutnya teori nilai guna dapat juga digunakan untuk mewujudkan kurva permintaan konsumen.

Teori nilai guna dapat pula digunakan untuk menerangkan tentang paradoks nilai, yaitu suatu keadaan dimana beberapa jenis barang sangat berguna dalam

kehidupan sehari-hari (seperti air dan udara) harganya sangat rendah, sedangkan barang yang kurang berguna (seperti perhiasan) harganya sangat tinggi.

Dalam teori tingkah laku konsumen kita juga mengenal yang dinamakan surplus konsumen, yaitu kepuasan seorang konsumen dari mengkonsumsi suatu barang biasanya lebih tinggi dari pengorbanan (pembayaran) yang dibuat untuk

memperoleh barang tersebut. 2) Pendekatan Nilai Guna Ordinal

Dalam pendekatan nilai guna ordinal, manfaat atau kenikmatan yang diperoleh masyarakat dari mengkonsumsikan barang-barang tidak dikuantifikasi. Tingkah laku seseorang konsumen untuk memilih barang-barang yang akan

dimaksimumkan kepuasannya ditunjukan dengan bantuan kurva kepuasan sama, yaitu kurva yang menggambarkan gabungan barang yang akan memberikan nilai guna (kepuasan) yang sama.

Kepuasan tertinggi konsumen dalam pendekatan nilai guna ordinal yaitu ketika garis anggaran disinggungkan oleh kurva kepuasan sama yang paling tinggi. Garis anggaran pengeluaran menggambarkan kombinasi dua barang yang dapat dibeli oleh sejumlah uang tertentu. Dengan demikian, pemaksimuman kepuasan yang digambarkan adalah tingkat kepuasan maksimum dari mengkonsumsi dua barang dengan menggunakan sejumlah pendapatan tertentu.


(62)

D. Ketidakpastian dan Perilaku Konsumen

Konsumen seringkali membuat keputusan dalam situasi ketidakpastian akan masa depan. Ketidakpastian ini dinyatakan dengan istilah resiko, yaitu setiap hasil yang mungkin dan probabilitas terjadinya diketahui. Konsumen khawatir dengan nilai yang diharapkan dan variabilitas dari ketidakpastian hasil. Ekspektasi nilai diukur dari kecenderungan utama dari nilai hasil yang berisiko. Variabelitas sering diukur dengan penyimpangan baku dari hasil, yang merupakan akar pangkat dua rata-rata kuadrat penyimpangan tiap kemungkinan hasil dari ekspektasi nilai dari setiap kemungkinan hasil.

Dengan menghadapi ketidakpastian pilihan, konsumen memaksimalkan ekspektasi utilitasnya, rata-rata utilitas dari setiap hasil, dengan menyatakan probabilitas sebagai bobot.

Seseorang yang lebih suka dengan pengembalian yang sudah pasti dalam jumlah ekspektasi pengembalian yang sama disebut orang yang enggan terhadap resiko (risk averse). Jumlah maksimum uang yang bersedia yang dibayarkan oleh seseorang yang enggan terhadap resiko untuk menghindari resiko disebut premi resiko (risk premium). Seseorang yang tidak peduli antara investasi yang berisiko dan penerimaan pasti dari ekspektasi return dari investasi tersebut disebut netral terhadap resiko (risk neutral). Sedangkan seseorang konsumen yang menyukai resiko akan lebih suka investasi yang berisiko dengan ekspektasi return daripada menerima ekspektasi jumlah yang sudah pasti.

Resiko dapat dikurangi dengan (a) Diversifikasi, (b) membeli asuransi, dan (c) memperoleh informasi tambahan.


(63)

The law of large numbers memungkinkan perusahaan asuransi memberikan asuransi yang cukup memadai dengan premi yang dibayarkan sama dengan nilai yang diharapkan dari kerugian yang diasuransikan. Kita menyebutnya penaksiran yang wajar (acturially fair).

E. Konsumsi Rumah Tangga

Menurut KBBI konsumsi berarti pemakaian barang hasil produksi makanan maupun non makanan untuk memenuhi keperluan hidup. Sedangkan rumah tangga adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan di rumah termasuk didalamnya belanja rumah tangga. Sehingga Konsumsi Rumah tangga merupakan pemakaian barang hasil produksi dengan belanja kebutuhan, yang dilakukan rumah tangga baik berupa makanan maupun non pangan untuk memenuhi keperluan hidup.

Menurut data istilah statistik BPS pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah mencakup berbagai pengeluaran konsumsi akhir rumah tangga atas barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan individu ataupun kelompok secara langsung. Pengeluaran rumah tangga di sini mencakup pembelian untuk makanan dan bukan makanan (barang dan jasa) di dalam negeri maupun luar negeri. Termasuk pula disini pengeluaran lembaga nirlaba yang tujuan usahanya adalah untuk melayani keperluan rumah tangga.

F. Distribusi dan Ketimpangan Pendapatan

Pada umumnya ahli ekonomi membedakan dua ukuran pokok distribusi


(64)

ukuran yang digunakan dalam menganalisa distribusi pendapatan yaitu size distribution of income (distribusi ukuran pendapatan) dan functional or factor share distribution of income (distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi).

Size distribution of income dapat secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Berdasarkan ukuran ini, cara mendapatkan penghasilan tidak dipermasalahkan, apa yang lebih

diperhatikan dari ukuran ini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima individu, tanpa melihat sumbernya. Selain itu, lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor usaha yang menjadi lapangan pekerjaan utama juga diabaikan. Sedangkan functional or factor share distribution of income berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja dan modal.

Teori distribusi pendapatan nasional pada dasarnya mempersoalkan persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bungan dan laba (perolehan dari faktor produksi). Walaupun individu-individu tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari semua faktor produksi tersebut, tetapi itu bukan merupakan perhatian dari analisis pendekatan ini.

Guna mengukur ketimpangan pendapatan antara penduduk, ukuran yang

digunakan berdasarkan pada ukuran size distribution of income. Namun, karena data pendapatan sulit diperoleh, maka pengukuran ketimpangan atau distribusi pendapatan selama ini didekati dengan menggunakan data pengeluaran. Dalam hal


(65)

ini analisis distribusi pendapatan dilakukan menggunakan data total pengeluaran rumah tangga sebagai proksi pendapatan. Terkait hal tersebut maka ukuran yang lazim digunakan untuk melihat distribusi pendapatan yaitu koefesien gini (Gini Ratio).

1. Koefesien Gini (Gini Ratio)

Koefesien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu ukuran yang paling sering

digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus umum koefisien Gini diperlihatkan pada persamaan berikut, sedangkan cara perhitungannya diilustrasikan pada Tabel 8.

Dimana :

GR : Koefesien Gini (Gini Ratio)

fPi : Frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i

fCi : Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i fCi-1 : Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke

(i-1)

Tabel 8. Contoh Perhitungan Koefisien Gini Kelas Konsumsi Total Penduduk Total Pendapatan % Penduduk (Fi) % Pendapatan % Pendapatan (Yi)

(Yi+Yi-1) Fi* (Yi+Yi-1) <2000 14286 2236 0.1019 0.0029 0.0029 0.0029 0.0003 2000-2999 27141 68151 0.1936 0.0896 0.0926 0.0955 0,0185 3000-3999 25052 87182 0.1787 0.1147 0.2072 0.2998 0.0536 4000-4999 19108 85566 0.1363 0.1125 0.3198 0.5270 0.0718 5000-5999 13809 75507 0.0985 0.0993 0.4191 0.7388 0.0728 7000-7999 17482 120380 0.1247 0.1583 0.5774 0.9964 0.1243 8000-9999 8986 79762 0.0641 0.1049 0.6823 1.2597 0.0807 10000-15000 8874 106223 0.0633 0.1397 0.8220 1.5043 0.0952 >15000 5453 135360 0.0389 0.1780 1.0000 1.8220 0.0709 Jumlah 140191 760367 1.0000 1.0000 Koefesien Gini : 1-0.5881 = 0.4119


(66)

Ide dasar perhitungan koefesien Gini sebenarnya berasal dari upaya pengekuran luas suatu kurva yang menggambarkan distribusi pendapatan untuk seluruh kelompok pendapatan. Kurva tersebut dinamakan kurva Lorenz yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tententu (seperti pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk.

Guna membentuk koefisien Gini, grafik persentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) digambar pada sumbu horizontal dan persentase kumultaif pengeluaran (pendapatan) digambar pada sumbu vertikal seperti pada Gambar 16.

Pada Gambar.16 besarnya ketimpangan digambarkan sebagai daerah yang diarsir. Sedangkan Koefisien Gini atau Gini Ratio adalah resio (perbandingan) antara luas bidang A yang tersebut dengan luas segitiga BCD. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa bila pendapatan didistribusikan secara merata dengan sempurna, maka semua titik akan terletak pada garis diagonal. Artinya, daerah yang diarsir akan bernilai nol karena daerah tersebut sama dengan garis diagonalnya.

Sumber : Todaro dan Smith (2006) Gambar 16. Kurva Lorenz

A

D

C B

Koefisien Gini = Bidang A dibagi bidang BCD


(67)

Dengan demikian angka koefisiennya sama dengan nol. Sebaliknya, bila hanya satu pihak saja yang menerima seluruh pendapatan, maka luas daerah yang diarsir akan sama dengan luas segitiga, sehingga Koefisien Gini bernilai 1. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa suatu distribusi pendapatan dikatakan makin merata bila nilai Koefisien Gini mendekati nol (0), sedangkan makin tidak merata suatu distribusi pendapatan maka nilai koefisien Gina-nya makin mendekati satu. Kriteria ketimpangan pendapatan berdasarkan Koefisien Gini (Susanti, 2007) adalah sebagai berikut :

 Lebih kecil dari 0,4 maka tingkat ketimpangan rendah

 Antara 0,4-0,5 maka tingkat ketimpangan tinggi

 Lebih tinggi dari 0,5 maka tingkat ketimpangan tinggi

Menurut Tadaro dan Smith (2006) Koefisien Gini merupakan salah satu ukuran ketimpangan pendapatan yang memenuhi empat kriteria yaitu :

1. Prinsip anonimitas(anonymity principle) : ukuran ketimpangan seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Artinya, bahwa ukuran tersebut tidak tergantung pada apa yang kita yakini sebagai manusia yang lebih baik, apakah itu orang kaya atau orang miskin.

2. Prinsip independensi skala (scale independence principle) : ukuran ketimpangan kita seharusnya tidak tergantung pada ukuran suatu perekonomian atau negara, atau cara kita mengukur pendapatannya. Artinya, ukuran ketimpangan tersebut tidak bergantung pada apa kita mengukur pendapatan dalam dolar atau dalam sen, dalam rupee ataupun


(1)

97

tetapi dua lapangan usaha kepala rumah tangga ini tidak ada yang didominasi oleh pengeluaran bukan makan, hal ini juga terjadi karena rumah tangga penelitian adalah rumah tangga miskin.

(e) Berdasarkan wilayah tempat tinggal rumah tangga, diketahui bahwa rumah tangga yang tinggal di wilayah perkotaan memiliki proporsi pengeluaran untuk bukan makan lebih besar dibandingkan rumah tangga yang tinggal di perdesaan. Hal ini terjadi karena rumah tangga yang tinggal di wilayah perkotaan lebih memiliki peluang untuk memperoleh penghasilan tambahan, dan dipimpin kepala rumah tangga dengan pendidikan cukup tinggi.

3. Hubungan berbagai variabel dengan pengeluaran bukan makanan

(a) Variabel golongan pengeluaran rumah tangga memiliki hubungan positif dan signifikan dengan proporsi pengeluaran bukan makanan. Artinya, jika

pengeluaran semakin besar, maka proporsi pengeluaran untuk bukan makanan akan semakin besar. Variabel golongan pengeluaran memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,75 yang dikategorikan sebagai hubungan yang kuat. Hasil ini sesuai dengan asumsi konsumsi Keynes yang menyatakan bahwa

pendapatan rumah tangga (pengeluaran) merupakan faktor primer kecenderungan konsumsi.

(b) Variabel tingkat pendidikan kepala rumah tangga memiliki hubungan positif dan signifikan dengan proporsi pengeluaran bukan makanan. Artinya, jika pengeluaran semakin besar, maka proporsi pengeluaran untuk bukan makanan akan semakin besar.

(c) Variabel jumlah anggota rumah tangga memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan proporsi pengeluaran untuk bukan makanan. Artinya, jika


(2)

98

jumlah anggota rumah tangga semakin besar, maka proporsi pengeluaran untuk bukan makanan akan semakin menurun.

(d) Variabel kepala rumah tangga bekerja di sektor bukan pertanian memiliki hubungan positif dan siginifikan dengan proporsi pengeluaran untuk bukan makanan. Artinya, apabila lapangan usaha utama kepala rumah tangga berasal dari bukan pertanian, maka proporsi pengeluaran untuk bukan makanan juga akan semakin besar

(e) Variabel rumah tangga tinggal di wilayah perkotaan memiliki hubungan positif dan siginifikan dengan proporsi pengeluaran untuk bukan makanan. Artinya, apabila rumah tangga tinggal di daerah perkotaan, maka proporsi pengeluaran untuk bukan makanan juga akan semakin besar.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini beberapa saran yang dapat disampaikan sebagai berikut :

1. Pengeluaran rata-rata perkapita Lampung Tengah masih di bawah Nasional, maka diperlukan upaya peningkatan pendapatan masyarakat yang lebih merata. Peningkatan teknologi budi daya tanaman, sejak hulu sampai hilir, merupakan cara terbaik meningkatkan pendapatan petani.

2. Proporsi pengeluaran rumah tangga (tembakau dan sirih) jumlahnya sangat besar, sehingga perlu adanya upaya dari pemerintah melalui bidang yang terkait untuk memberikan sosialisasi mengenai bahaya tembakau.


(3)

99

3. Proporsi pengeluaran bukan makanan yang masih bersifat konsumtif, perlu upaya dari pemerintah untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat Lampung Tengah terkait investasi jangka panjang seperti asuransi kesehatan. 4. Pola konsumsi menurut golongan pengeluaran diketahui bahwa Kuantil I

merupakan golongan rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan untuk itu diperlukan subsidi atau bantuan pemerintah berupa bantuan langsung untuk peningkatan kesejahteraan.

5. Pola konsumsi berdasarkan pendidikan diketahui bahwa hanya KRT pendidikan SMA ke atas yang memiliki pola konsumsi baik. Untuk itu diperlukan upaya untuk peningkatan hidup penduduk melalui pendidikan. 6. Pola konsumsi jumlah anggota rumah tangga menunjukan bahwa semakin

besar jumlah anggota keluarga kuantitas maupun kualitas konsumsi menurun, sehingga perlu dilakukan evaluasi terkait program keluarga berencana di Lampung Tengah karena berdasarkan penelitian sampel rumah tangga

didominasi oleh rumah tangga dengan empat orang atau lebih yang mencapai 50,02 persen.

7. Untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan tambahan alat analisis agar hasil yang dapat diperoleh optimal seperti dilakukan analisis regresi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

. 2013. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2013. BPS. Jakarta.

. 2013. Lampung Dalam Angka. BPS. Lampung. . 2013. Lampung Tengah Dalam Angka. BPS. Lampung Tengah.

. 2013. Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). BPS. Jakarta.

Widarjono, A. 2013. Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Ketiga. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.

Agustin, N. 2012. Analisis Konsumsi Rumah Tangga Petani Padi dan Palawija di Kabupaten Demak. Skripsi. UNDIP. Semarang.

Alwi, H. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Anisa, Nurul,dkk. 2011. Konsumsi Rumah Tangga pada Keluarga Sejahtera dan Pra Sejahtera di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar . Jurnal. UNS.Semarang.

Banita, Dian. 2009. Ketersediaan Pangan Pokok dan Pola Konsumsi Pada Rumah Tangga Petani di Kabupaten Wonogiri. Jurnal. USM. Surakarta.

Danil, Mahyudi. 2013. Pengaruh Pendapatan Terhadap Tingkat Konsumsi pada Pegawai Negeri Sipil di Kantor Bupati Kabupaten Bireuen.Jurnal. STIE Kebangsaan Bireuen. Aceh.

Gilarso, T. 1992. Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian Makro. Kanisius. Yogyakarta. Harianto.2013. Peluang yang Tersisa Meningkatkan Pendapatan Petani .Artikel.


(5)

Halyani, Krustin. 2008. Analisis Konsumsi Rumahtangga Petani Wortel Di Desa Sukatani Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat. Skripsi.IPB. Bogor.

Krisnawati, Enni. 2004. Analisis pola konsumsi rumah tangga nelayan dalam perspektif ekonomi dan sosial. Jurnal. Universitas Brawijaya. Malang. Lamusa, Arifuddin. 2007. Konsumsi rumah tangga petani di Wilayah Taman

Nasional Lore Lindu (TNLL) Studi kasus di Desa Katu Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal. Poso, Sulawesi Tengah.

Mankiw, N.Gregory, 2006.Teori Makro Ekonomi.Edisi 6. Penerbit Erlangga .Jakarta.

Nicholson, W.1995. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan Pengembangannya. PT Radja Grafindo. Jakarta.

Nicholson, W.2002. Mikro Ekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Penerbit Erlangga. Jakarta

Payman, Simanjuntak.1985. Produktivitas Dan Tenaga Kerja Indonesia. FEUI. Jakarta.

Priyanto, Ruri. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga karyawan PT. Askes (Persero) Cabang Jember. Jurnal. Jember, Jawa Timur.

Pyndyck, S Robert dan Rubinfeld, L Daniel. 2007. Mikroekonomi. PT Indeks. Jakarta

Pusposari, Fitria. 2012. Analisis pola konsumsi pangan masyarakat di Provinsi Maluku. Tesis. Universitas Indonesia. Depok.

Rochaeni, Siti dkk. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Ekonomi Rumah Tangga Petani Di Kelurahan Setugede Kota

Bogor.Jurnal Agro Ekonomi.Pusat Analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian. Bogor.

Saptanto, Subhechanis, dkk. 2011. Analisis pola migrasi dan konsumsi rumah tangga di daerah asal migrasi terkait kemiskinan dan kerentanan pangan (Studi kasus Indramayu). Jurnal. Indramayu, Jawa Barat.


(6)

Sasongko. 2009. Pengaruh raskin terhadap pengeluaran konsumsi dan Sosial ekonomi serta kesejahteraan keluarga Di jawa timur. Jurnal. UNBRAW. Malang.

Silalahi, Ulber. 2012. Metode Penelitian Sosial. PT. Refika Aditama. Bandung. Sukirno, S. 2007. Makroekonomi Modern, Perkembangan Pemikiran dari

Klasik hingga Keynesian Baru .Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Widyanto, Wahyu Bagus. 2007. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

konsumsi rumah tangga buruh industri kecil di Kecamatan Turen Kabupaten Malang. Skripsi. Universitas Jember. Malang.