ANTARA MERUSAK DAN MEMANFAATKAN HUTAN MANGROVE PADA MASYARAKAT PESISIR (Studi Etnosains pada Hutan “Bakau” di Masyarakat Pesisir Desa Pematang Pasir, Lampung)

ABSTRACT
BEETWEN COASTAL PEOPLE BEHAVIOR OF DESTRUCTING AND
USING MANGROVE FOREST
(An Ethno-science Study on Magrove Forest in Coastal People of
Pematang Pasir Village, Lampung)
By
WAWANG ANDRIANTO
Student of Faculty of Social and Political Science in Lampung University
Indonesia is a country with rich natural resources, and of them is mangrove forest.
Pematang Pasir village people (Lampung) has long been using mangrove forest to
make their living. The mangrove uses by local people are fishing, catching crabs,
taking wood for fuel, and making fish ponds. Despite of warning from forestry
police prohibiting log mangrove trees, people are persistent to log the mangrove
forest. Ironically, people destructing mangrove forest received facilities from
village government in form of Letter of Mangrove Forest Working Permit. The
aforementioned facts confused people status between destructing and using
mangrove forest.
Mangrove is groups of plants growing along the coast and mangrove has a high
adaptation ability to salinity of brackish water where it has to live in this
environment. Mangrove forest functions to protect mainland from sea water
abrasion, to provide living for people, to be environment for sea fish breeding.

People have their reasons for inhabiting and using mangrove forest; not only for
mangrove potential, but also their social background to live there. People control
to mangrove forest is conducted by processes and from one season to another.
People are aware of what they are doing as destructing mangrove forest. However,
they do not have other options because their family members need food and their
children have to go to school.
Stopping mangrove forest destruction can be done by means of some stages. First,
people should be aware of environment potentials when it is in good and
destructed conditions, second village government should be consistent about their
job descriptions and coordinate with its people to preserve environment, and
finally, the Forestry Office should be routinely monitoring mangrove forest
register.

Keywords

: Mangrove, Use, Destruction

ABSTRAK
ANTARA MERUSAK DAN MEMANFAATKAN HUTAN MANGROVE
PADA MASYARAKAT PESISIR

(Studi Etnosains pada Hutan “Bakau” di Masyarakat Pesisir
Desa Pematang Pasir, Lampung)
Oleh
WAWANG ANDRIANTO

Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumberdaya alam, salah satu kekayaan
alamnya adalah hutan mangrove. Masyarakat Desa Pematang Pasir (Lampung)
sudah lama menggunakan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bentuk penggunaan hutan mangrove oleh masyarakat setempat berupa
penangkapan ikan, kepiting, mengambil kayu, dan membuat tambak. Meski polisi
kehutanan Lampung Selatan sudah memberikan peringatan agar warga tidak lagi
menebang pohon mangrove warga tetap melakukan penggundulan hutan. Paling
ironis lagi, fenomena warga merusak hutan mangrove mendapat fasilitas dari
pemerintah desa berupa Surat Izin Garap. Beberapa hal diatas memberikan
ketidak jelasan antara merusak dan memanfaatkan hutan mangrove.
Mangrove adalah kelompok tumbuhan berkayu yang tumbuh di sekelilinh garis
pantai dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap salinitas payau dan harus hidup
pada kondisi lingkungan yang demikian. Hutan mangrove memiliki fungsi
diantaranya adalah fungsi melindungi darat dari abrasi laut, mangrove dapat
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, dan mangrove berfungsi sebagai tempat

berkembang biak ikan-ikan laut.
Masyarakat memiliki alasan untuk tinggal dan memanfaatkan hutan mangrove
tidak hanya potensi hutan mangrove tetapi juga latar belakang sosial msayarakat
sendiri menjadi alasan mengapa mereka ada disana. Penguasaan masyarakat
terhadap hutan mangrove dilakukan dengan proses dan musim-ke musim.
Masyarakat sadar akan apa yang mereka lakukan merupan bagian dari
pengrusakan hutan mangrove. Tetapi mereka tidak memiliki alteratif lain, karena
keluarga mereka butuh makan dan sekolah anak-anak butuh biaya.
Penghentian pengrusakan hutan mangrove oleh masyarakat bisa di hentikan
dengan beberapa tahapan. Pertama masyarakat harus sadar akan potensi
lingkungan saat baik maupun rusak, pemerintah desa harus konsisten akan tugas
dann fungsinya dan berkordinasi dengan masyarakat untuk melestarikan
lingkungan, dinas kehutanan juga harus rutin melakukan pengawasan di dalam
hutan register mangrove.
Kata kunci: Mangrove, Pemanfaatan, Pengrusakan

ABSTRACT
BEETWEN COASTAL PEOPLE BEHAVIOR OF DESTRUCTING AND
USING MANGROVE FOREST
(An Ethno-science Study on Magrove Forest in Coastal People of

Pematang Pasir Village, Lampung)
By
WAWANG ANDRIANTO

Indonesia is a country with rich natural resources, and of them is mangrove forest.
Pematang Pasir village people (Lampung) has long been using mangrove forest to
make their living. The mangrove uses by local people are fishing, catching crabs,
taking wood for fuel, and making fish ponds. Despite of warning from forestry
police prohibiting log mangrove trees, people are persistent to log the mangrove
forest. Ironically, people destructing mangrove forest received facilities from
village government in form of Letter of Mangrove Forest Working Permit. The
aforementioned facts confused people status between destructing and using
mangrove forest.
Mangrove is groups of plants growing along the coast and mangrove has a high
adaptation ability to salinity of brackish water where it has to live in this
environment. Mangrove forest functions to protect mainland from sea water
abrasion, to provide living for people, to be environment for sea fish breeding.
People have their reasons for inhabiting and using mangrove forest; not only for
mangrove potential, but also their social background to live there. People control
to mangrove forest is conducted by processes and from one season to another.

People are aware of what they are doing as destructing mangrove forest. However,
they do not have other options because their family members need food and their
children have to go to school.
Stopping mangrove forest destruction can be done by means of some stages. First,
people should be aware of environment potentials when it is in good and
destructed conditions, second village government should be consistent about their
job descriptions and coordinate with its people to preserve environment, and
finally, the Forestry Office should be routinely monitoring mangrove forest
register.

Keywords

: Mangrove, Use, Destruction

LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini
memiliki banyak wilayah pesisir dan lautan yang terdapat beragam sumberdaya
alam. Wilayah pesisir terutama hutan bakau mengandung banyak ikan, kerang
udang dan dan tanah basah yang subur.

Kekayaan kawasan pesisir memiliki variasi jenis sumberdaya alam yang
berlimpah dibanding kawasan lain (hutan, gunung, dan sungai) (Djauhari
Noor:2006). Variasi sumberdaya alam wilayah pesisir diantaranya adalah
sumberdaya alam berupa hutan bakau dan pantai yang dimanfaatkan untuk
kegiatan pariwisata, pertanian/perkebunan, dan pemukiman. Ekosistem hutan
bakau memberikan kontribusi secara nyata bagi peningkatan pendapatan
masyarakat, devisa untuk daerah(desa/keluarahan, kecamatan, kabupaten/kota,
provinsi), dan Negara. Produksi yang didapat dari ekosistem hutan bakau berupa
kayu bakar, bahan bangunan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan,
minuman, peralatan rumah tangga, lilin, madu, rekreasi, tempat pemancingan dan
lain-lainnya (Saenger et al dalam Ghufran:2012).

Disamping potensi alam diatas, Hubungan interaksi masyarakat dan alam sulit
ditentukan, siapakah yang paling kuat (bertahan) dan siapa yang paling lemah


(beradaptasi). Dalam beberapa kasus, alam mampu menunjukan kekuatannya
untuk membuat masyarakat tunduk terhadapnya. Hal yang paling sederhana
adalah makanan yang dimakan oleh masyarakat adalah produk yang disediakan
oleh lingkungan alam termasuk hutan bakau. Manusia mendapatkan makanannya
dengan cara memanfaatkan alam lingkungannya dan ketika makanan sudah habis
maka masyarakat akan mencari makanan lainya atau mereka akan mati. Dalam
kasus manusia memanfaatkan hutan mangrove menunjukan bahwa manusia
tunduk terhadap kekuatan alam (Rachmad:30).

Disisi lain masyarakat memiliki ambisi untuk dapat menaklukan alam.
Masyarakat menyadari bahwa mereka akan sangat menderita jika alam menjadi
rusak sementara mereka masih menggantungkan hidup sepenuhnya terhadap alam.
Oleh karenanya mereka mengembangkan ilmu pengetahuannya untuk dapat
mengendalikan alam. Tindakan pengendalian alam dilakukan dengan alasan
bahwa kebutuhan hidup mereka harus dipenuhi dan masyarakt tidak mau bersaing
dengan sesama karena jumlah mereka yang semakin banyak. Dengan ilmu
pengetahuan, hutan bakau dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan hidup
masyarakat yang tidak terbatas, dan alam (hutan bakau) dipaksa untuk berdaptasi
melebihi kemampunnya. Pengrusakan inilah bentuk dominasi manusia terhadap
alam (Rachmad:50).


Masyarakat tidak akan pernah mengetahui rasio kebutuhan hidup mereka terhadap
daya dukung hutan bakau secara pasti. Makin lama jumlah masyarakat pesisir
makin betambah, dengan bertambahnya jumlah masyarakat akan berakibat pada
bertambahnya pembukaan lahan basah dan hutan mangrove yang diperuntukan

sebagai pemukiman tempat tinggal, lahan pertanian dan areal tambak sehingga
luasan hutan bakau penyedia makanan pun ikut berkurang.

Pembahasan tentang krisis pangan, kependudukan, dan lingkungan, sudah hangat
dibicarakan sejak tahun 1973 oleh Menteri Dr. Sumarlin dalam rangka
sambutannya terhadap Hari Lingkungan HidupDunia menunjuk adanya
problematik lingkungan sebagai prioritas utama. Wacana ini dikemukakan sebagai
perhatian atas pertambahan jumlah penduduk di setiap tahun semakin meledak
sementara tempat mereka untuk tinggal dan mencari makan semakin sedikit.
Fenomena ini membuat masyarakat mudah meluapkan konflik kepermukaan.
Dahulu, saat jumlah masyarakat masih sedikit diwilayah pesisir, sumberdaya alam
di wilayah ini bisa diakses oleh semua warga masyarakat. Masyarakat bisa
menggarap lahan tambak dan sawah dengan gotong royong secara bergiliran,
namun sekarang masyarakat kini sudah memenuhi wilayah pesisir (sampai

ketempat yang tidak layak ditinggali) untuk bersaing mendapatkan akses sumber
kehidupan mereka. Tidak sedikit hutan mangrove di lingkungan pesisir sudah
menjadi milik pribadi dari masyarakat yang memiliki modal. Dengan
meningkatnya jumlah warga di wilayah pesisir ditambah kurangnya kreativitas,
minimnya pendidikan, dan rendahnya kesadaran ramah lingkungan menambah
tingginya tingkat kepentingan dalam mengelola hutan mangrove secara berlebihan
yang menimbulkan kerusakan dan berdampak pada masalah kemiskinan (Herza
Yulianto:2009).

Munculnya masalah kemiskinan dan kerusakan hutan bakau nampaknya menjadi
dasar bagi pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan

masalah pengelolaan sumberdaya alam pesisir. Pada tahun 2007 pemerintah telah
mengeluarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada pasal 1 ayat 1 menyebutkan
“Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Pasal ini menjelaskan bahwa

pengelolaan hutan mangrove sebagai bagian dari wilayah pesisir harus
dimanajemen dengan mendasar serta pola pemanfaatannya yang berorientasi
“Selalu bisnis” dirubah menjadi “Selalu lestari”. Selain itu subjek pelaksana
pemberdayaan hutan mangrove bukanlah hanya tanggungjawab pemerintah
daerah saja. Pengawalan pemberdayaan hutan mangrove untuk tetap lestari
membutuhkan kerja sama atara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga
swadaya terkait, swasta, dan masyarakat setempat. Melanjutkan misi dari undangundang diatas Presiden SBY juga telah mencanangkan Program Ekonomi Hijau
pada tahun 2012 lalu. Tujuan besar dari program Ekonomi Hijau adalah
pelestarian lingkungan, penyediaan lapangan pekerjaan dan peningkatan
kesejahteraan. Pendekatan program ini menegaskan bahwa Indonesia harus
melakukan lompatan besar untuk meninggalkan pola ekonomi lama. Pola yang
lama hanya menargetkan keuntungan jangka pendek namun mewariskan berbagai
permasalahan lingkungan. Dalam konsep

program Ekonomi Hijau

ini

membutuhkan paradigma dan gaya hidup masyarakat yang merasa adil diantara
beberapa kelompok masyarakat. Masyarakat dituntut untuk mandiri dalam


membangun lingkungannya yang lestari sehingga kesejahteraan masyarakat akan
muncul dengan berlahan. Masyarakat bisa memulai dari hal kecil seperti
penggunaan energi alternatif ramah lingkungan dan menanam pohon.

Pewacanaan program pemberdayaan lingkungan semacam ini oleh Presiden
menunjukan bahwa permasalahan degradasi hutan bakau di lingkungan pesisir
sudah menjadimasalah nasional, tanpa terkecuali Provinsi Lampung yang terletak
di ujung pulau Sumatra ini. Provinsi Lampung memiliki banyak desa yang terletak
di wilayah pesisir. Seperti wilayah pesisir pada umumnya, pesisir Lampung
ditumbuhi hutan mangrove yang bermanfaat untuk menahan abrasi. Salah satunya
adalah Desa Pematang Pasir Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan.
Jika di wilayah pesisir Kabupaten Pesawaran dan pantai sepanjang jalan Negara
Kabupaten Lampung Selatan terkonsentrasi pada kegiatan pariwisata sedikit
berbeda dengan wilayah pesisir di Desa Pematang Pasir. Desa ini merupakan
salah satu desa di wilayah pantai timur Lampung Selatan yang padat dengan
masalah kegiatan reklamasi. Di desa ini masyarakat setempat “Memanfaatkan”
hutan bakau untuk menangkap udang, ikan kepiting dan lainnya, namun setelah
hutan bakau berkurang masyarakat setempat pun kesulitan untuk mencari hewan
tangkapan khas hutan bakau (Profile Desa:2011). Melihat jumalah penduduk yang
semakin banyak, munculah kreativitas masyarakat yang berlebihan untuk
mengeksplorasi hutan bakau di desa ini. Sehingga sepanjang garis pantai desa ini
dipenuhi oleh reklamasi untuk kegiatan pertambakan dan pertanian. Pembukaan
lahan mangrove yang tidak terkontrol mebuat abrasi laut mulai masuk ke areal
pertambakan dan pemukiman. Areal tambak yang sudah terkena abrasi dan rusak
tanggulnya membuat tidak digunakan lagi oleh masyarakat. Air dalam tambak

yang sudah bercampur langsung dengan air laut akan meningkatkan kadar garam
yang mengakibatkan udang mudah keracunan lalu mati. Tambak yang sudah rusak
membuat harga jualnya menjadi murah, lalu terbengkalai dan tidak jelas
peruntukannya. Sangat ironis, kegiatan “Pengrusakan”

ini dilakukan sudah

puluhan tahun dan mendapat dukungan dari pemerintah desa melalui “Surat Izin
Garap” meski sudah ada larangan dari petugas kehutanan.

Melihat dinamika hutan bakau yang terjadi di Desa Pematang Pasir maka perlu
diketahui apakah yang masyarakat lakuan terhadap hutan bakau adalah kegitan
pemanfatan yang wajar atau tergolong dalam pengrusakan.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka permasalahan yang akan
diteliti adalah:
1. Bagaimanakah pola pemanfaatan hutan bakau yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Pematang Pasir ?
2. Bagaimanakah pola pengrusakan hutan bakau yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Pematang Pasir ?
3. Bagaimanakah strategi perawatan hutan bakau di Desa Pematang Pasir ?

3.1. Tujuan dan Manfaat Penelitian
3.1.1. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka tujuan dari peneliatian ini adalah
mengetahui pemanfaatan hutan bakau dan sekaligus pengrusakan yang dilakukan
oleh masyarakat Desa Pematang Pasir.

3.1.2. Manfaat penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah khasanah ilmu
pengetahuan umum dan memberikan manfaat bagi keilmuan Sosilogi khususnya
Sosiologi Lingkungan, yakni konsep ideal keharmonisan hidup antara masyarakat
dengan lingkungannya. Secara akademis, nantinya penelitian ini bisa dijadikan
referensi bagi penelitian selanjutnya.

b.

Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penentu
kebijakan, pihak swasta, masyarakat dan pemerintah dalam rangka menyusun
program pembangunan ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan masyarakat pesisir
yang berorientasi pada kesinambungan kesejahteraan masyarakat serta kelestarian
lingkungan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove
2.1.1. Konsep Hutan Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi anatara kata Mangue (bahasa portugis)
yang berarti tumbuhan dan kata Grove (bahsa Inggris) yang berarti belukar atau
hutan kecil. Ada yang menyatakan mangrove dengan kata Mangal

yang

menunjukan komunitas suatu tumbuhan. Atau mangrove yang berasal dari kata
Mangro, yaitu nama umum untuk Rhizophora mangle di Suriname. Di Prancis
padanan yang digunakan untuk mangrove adalah kata Manglier (Phurnomobasuki
dalam Ghufran :2012). Untuk lebih jelas alagi mengenai devinisi hutan mangrove
dapat kita lihat pendapat menurut para ahli sebagai berikut:
a. Mangrove menurut Ghuffran (2012), hutan mangrove sering disebut
sebagai hutan bakau atau hutan payau (mangrove forest atau mangrove
swamp forest) sebuah ekosistem yang terus-menerus mengalami tekanan
pembangunan.
b. Mangrove menurut arief dalam Ghufran (2012), hutan mangrove dikenal
dengan istilah vloedbosh, kemudian dikenal dengan istilah “payau” karena
sifat habitatnya yang payau, yaitu daerah dengan kadar garam antara 0,5
ppt dan 30 ppt. Disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena terdapat
di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Berdasarkan jenis

pohonnya, yaitu bakau, maka kawasan mangrove juga disebut hutan
bakau.
c. Mangrove menurut Supriharyono dalam Ghufran (2012), kata mangrove
memiliki dua arti, pertama

sebagai komunitas, yaitu komunitas atau

masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap garam/salinitas dan
pasang surut air laut, dan kedua sebagai individu spesies.
d. Mangrove menurut Tomlinson dalam Ghufran (2012) adalah istilah umum
untuk kumpulan pohon yang hidup di daerah berlumpur, basah, dan
terletak di perairan pasang surut daerah tropis.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang devinisi mangrove, maka yang dimaksud
dengan mangrove dalam penelitian ini adalah kelompok tumbuhan berkayu yang
tumbuh di sekelilinh garis pantai dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap
salinitas payau dan harus hidup pada kondisi lingkungan yang demikian.
Penggunaan istilah hutan mangrove diganti dengan hutan bakau, mengingat
persepsi dan pengetahuan hutan mangrove oleh masyarakat Desa Pematang Pasir
adalah “Hutan Bakau”. Alternatif ini dilakukan dengan pertimbangan agar
penelitian ini tidak mengalami bias pembahasan.

2.1.2. Zonasi Ekosistem Hutan Bakau
Bakau merupakan tipe tumbuhan tropik dan subtropik yang khas, tumbuh di
sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Hutan bakau banyak dijumpai di pesisir pantai yang terlindungi dari gempuran
ombak dan daerah landai. Hutan bakau tumbuh optimal di wilayah pesisir yang
memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung

lumpur, sedangkan diwilayah pesisir yang tidak memiliki muara sungai
pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Hutan bakau tidak atau sulit
tumbuh diwilayah yang terjal dan berombak besar yang berarus pasang surut kuat,
karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang
diperlukan sebagai substrat (media) bagi pertumbuhannnya (Dahuri:2003).
Ada lima faktor menurut Sukardjo dalam Ghufran (2012) yang mempengaruhi
zonasi hutan bakau di kawasan pantai tertentu yaitu:
1. Gelombang air laut yang menentukan frekwensi tergenang.
2. Salinitas, kadar garam yang berkaitan dengan hubungan osmosis hutan
bakau.
3. Substrata tau media tumbuh.
4. Pengaruh darat, seperti aliran air masuk dan rembasan air tawar.
5. Keterbukaa terhadap gelombang, yang menentukan jumlah substrat yang
dapat dimanfaatkan.

Meskipun tidak ada cara universal dalam menuntukan zonasi hutan bakau di suatu
kawasan, tetapi skema umum hutan bakau untuk penggunaan secara luas pada
daerah Indonesia dapat digunakan seperti konsep yang di berikan oleh
Supriharyono dalam Ghufran (2012), ia membagi zona hutan bakau berdasrkan
jenis pohon kedalam enam zona, yaitu: (1) zona perbatasan dengan daratan; (2)
zona semak-semak tumbuhan ceriops;(3) zona hutan Lacang;(4) zona hutan
Bakau;(5)zona Api-api yang menuju ke laut; dan (6) zona Pedada. Sementara
Watson dalam Ghufran (2012) membagi zona hutan hutan bakau berdasarkan
frekwensi air menjadi lima zona, yaitu:

1. Hutan yang paling dekat dengan laut ditumbuhi oleh Api-api dan Pedada.
Pedada tumbuh pada lumpur yang lembek dengan kandungan organic
yang tinggi. Sedangkan

Api-api tumbuh pada substrat yang liat agak

keras.
2. Hutan pada subtrat yang lebih tinggi biasanya ditumbuhi oleh Lacang.
Hutan ini tumbuh pada tanah liat yang cukup keras dan dicapai oleh
beberapa air pasang saja.
3. Ke arah dataran lagi hutan dikuasai oleh Bakau. bakau lebih banyak
dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam.
Pohon-pohon dapat tumbuh tinggi 35-40 m.
4. Hutan yang dikuasai oleh Nyirih kadang dijumpai tanpa jenis pohom
lainnya.
5. Hutan mangrove terakhir dikuasai oleh Nipah, zona ini adalah wilayah
peralihan antara hutan mangrove dan hutan daratan.

Pembagian hutan bakau juga di bedakan berdasrkan struktur ekosistemnya, yang
secara garis besar dibagi menjadi tiga formasi (Purnamabasuki dalam
Ghufran:2012), sebagai berikut:
1. Hutan Bakau Pantai, pada tipe ini pengaruh air laut lebih dominan dari air
sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut kedarat dimulai dari
pertumbuhan Pedada diikuti oleh komunitas campuran Pedada, Api-api,
Bakau, selanjutnya komunitas murni Bakau dan akhirnya komunitas
campuran Lacang.
2. Hutan Bakau Mura, pada tipe ini pengaruh air laut sama kuat dengan
pengaruh air sungai. Hutan bakau muara dicirikan Bakau ditepian alur di

ikuti komunitas campuran Bakau-Lacang dan diakhiri dengan komunitas
murni Nipah.
3. Mangrove Sungai, pada tipe ini pengaruh air sungai lebih dominan dari
pada air laut dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari
muara. Pada tipe ini hutan bakau banyak ber asosiasi dengn komunitas
tumbuhan daratan.

2.1.3. Fungsi dan Manfaat Utama Ekosistem Hutan Bakau
Setidaknya ada tiga fungsi utama ekosistem hutan bakau yang di kemukakan
Nontji dalam Ghufran (2012), yaitu:
1. Fungsi fisis, meliputi: pencegah abrasi, perlindungan terhadap angin,
pencegah intrusi garam, dan sebagai penghasil energi serta hara.
2. Fungsi biologis, meliputi: sebagai tempat bertelur dan tempat asuhan
berbagai biota.
3. Fungsi ekonomis, meliputi: sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar dan
arang), bahan bangunan(balok, atap, dan sebagainya), perikanan,
pertanian, makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah
tangga, tekstil, serat sintesis, penyamakan kulit, obat-obatan, dan lain-lain.

Ekosistem mangrove, selain memiliki fungsi ekologis yang di jelaskan di atas juga
memiliki manfaat ekonomi yang cukup besar. Ekosistem hutan bakau
memberikan kontribusi secara nyata bagi peningkatan pendapatan masyarakat,
devisa untuk daerah(desa/keluarahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi), dan
Negara. Produksi yang didapat dari ekosistem mangrove berupa kayu bakar,
bahan bangunan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan, minuman, peralatan

rumah tangga, lilin, madu, rekreasi, tempat pemancingan dan lain-lainnya
(Saenger et al dalam Ghufran:2012). Berikut akan disampaikan lebih rinci oleh
Ghufran (2012) mengenai manfaat ekonomi ekostem hutan bakau, sehingga dapat
digunakan sebagai pertimbangan konservasi tiap daerah:
1. Hasil Hutan
Flora atau tumbuhan yang ditemukan pada ekosistem hutan bakau
Indonesia sekitar 189 jenis dari 68 suku. Dari jumlah itu, 80 jenis
diantaranya adalah berupa pohon atau kayu. Pohon atau kayu pada hutan
bakau

menghasilkan

kayu

bernilai

ekonomi

tinggi,

yang

telah

dimanfaatkan sejak lama. Kayu dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi,
seperti pembuatan rumah, pelabuhan, dan sebagainya. Kayu juga
dimanfaatkan untuk bahan bakar/kayu bakar, termasuk produksi arang.
Saat ini, benih berbagai tumbuhan bakau pun menjadi tumbuhan bernilai
ekonomi

tinggi.

Di

berbagai

daerah

benih

tumbuhan

bakau

diperdagangkan untuk rehabilitasi dan penghijauan ekosistem hutan bakau
yang rusak.

2. Hasil Hutan non-Kayu
Selain kayu, di hutan bakau juga terdapat flora dan fauna yang merupakan
hasil hutan nonkayu. Jenis flora yang bernilai ekonomis atara lain berupa
nipah yang bunganya merupakan penghasil gula nira sedangkan daun dan
dahannya bermanfaat sebagai bahan bangunan, tumbuhan lain yang
berharga adalah anggrek.

Hasil hutan lainnya adalah madu, berbagai hewan buruan seperti ular,
burung dan telurnya, termasuk berbagai hewan yang dilindungi yang
dimanfaatkan bila berhasil dibudidayakan. Buah dan bunga dari tumbuhan
mangrove juga dimanfaatkan sebagai bahan pangan pengganti karbohidrat.

3. Ikan
Para ahli mengelompokan ikan di ekostem hutan bakau kedalam empat
kelompok, yaitu: (a) ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus
hidupnya berada di daerah ekosistem hutan bakau seperti ikan gelodok;(b)
ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan ekosistem
selama periode anakan tetapi pada saat dewasa cendrung bergerombol di
sepanjang pantai yang berdekatan dengan ekosistem hutan bakau, seperti
ikan belanak, kuwe, dan ikan kapas-kapas;(c) ikan pengunjung pada
periode pasang yaitu ikan yang berkunjung pada masa pasang untuk
mencari makan contoh, ikan gulamah, barakuda, tancak, dan lainnya;(d)
ikan pengunjung musiman yaitu ikan-ikan yang menggunakan ekosistem
hutan bakau sebagai tempat pemijah dan asuhan serta tempat perlindungan
musiman dari predator. Beberapa spesies ikan yang bernilai ekonomi
tinggi penghuni ekosistem hutan bakau diantaranya adalah kakap, belanak,
kuwe, tembang, teri, mujair, ikan hias, dan lainya.

4. Krustase
Ekostem hutan bakau juga merupakan habitat bagi fauna krustase.
Menurut Kartawinata dalam Ghufran (2012) tercatat ada 80 spesies
krustase yang hidup dalam ekosistem hutan hutan bakau, spesies penting

yang hidup atau terkait dengan ekosistem hutan bakau adalah udang dan
kepiting bakau.

5. Moluska
Ekosistem hutan bakau juga merupakan habitat bagi fauna moluska.
Menurut Kartawinata dalam Ghufran (2012) tercatat sekitar 65 spesies
moluska yang hidup di ekosistem hutan bakau, beberapa moluska penting
di ekosistem hutan bakau adalah kerang bakau, kerang hijau, kerang alang,
kerang darah dan lainnya.

6. Bahan pangan (nonikan)
Berbagai tumbuhan pada ekosistem hutan bakau juga merupakan bahan
pangan yang potensial, dan belum banyak dimanfaatkan. umunya baru
produksi gula nira dan minuman beralkohol dari bunga tumbuhan nipah.
Buah tanjang atau dikenal sebagai buah aibon telah digunakan sebagai
salah satu makanan pokok pada saat makanan lain seperti ubi dan dan sagu
tidak tersedia. Selain buah tanjang, beberapa tumbuhan bakau yang
buahnya dapat dikonsumsi adalah buah Api-api bisa dibuat keripik yang
rasanya mirip emping melinjo, buah Pedada cocok bisa dibuat permen
karena rasanya asam. Buah Pedada juga dapat dibuat sirup dan selai
sedangkan buah nipah cocok dibuat kolak.

7. Kawasan wisata
Ekosistem hutan bakau dengan tumbuhan yang rimbun dan mempunyai
berbagai biota merupakan salah satu tempat rekreasi atau wisata yang
nyaman. Untuk menjadikan ekosistem hutan bakau sebagai lingkungan

yang nyaman dan menarik bagi wisatawan, maka harus dilindungi dan
direhabilitasi agar terlihat asli dengan berbagai flora dan faunanya.

2.1.4. Kerusakan Hutan Bakau
Walaupun ekosetem hutan bakau tergolong sumberdaya yang dapat pulih, namun
bila mengalihkan fungsi atau konfersi dilakukan secara besar-besaran dan terus
menerus tanpa pertimbangan kelestariannya, maka kemampuan ekosistem tersebut
untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat tetapi juga tidak berlangsung,
karena beratnya tekanan akibat perubahan tersebut. Kerusakan ekosistem hutan
bakau berdampak besar baik, ekologi, ekonomi, maupun social. Ghufran (2012)
mengemukakan beberapa faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove di
Indonesia:
1. Konversi untuk pemukiman
Salah satu penyebab terbesar kerusakan ekosistem hutan bakau adalah
konversi untuk pemukiman. Penduduk Indonesia yang tinggal di radius
100 km dari garis pantai mencapai 96% dari total populasi. Hal ini karena
wilayah pesisir menyediakan ruang kemudahan bagi aktivitas ekonomi
seperti pasar, transportasi(pelabuhan, kapal), aksesibilitas dan rekreasi.
Wilayah pesisir memegang peranan penting dalam kelangsungan proses
kegiatan ekonomi di Indonesia. Karena itu ekosistem hutan bakau
merupakan salah satu area yang dikonservasi untuk pemukiman termasuk
pelabuhan dan sebagainya. Konversi hutan bakau untuk pemukiman
penduduk masih terus berlangsung di berbagai daerah di Indonesia, karena

itu konversi hutan bakau diduga menyumbang kerusakan besar ekosistem
ini, dan akan terus berlangsung di masa yang akan datang.

2. Konversi untuk tambak
Meningkatnya harga udang windu di pasaran internasional membuka lahan
pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang dikonversi untuk
pertambakan adalah hutan bakau. Kawasan hutan bakau dianggap paling
cocok untuk lokasi pertambakan. Karena itu, potensi lahan untuk area
tambak dihitung berdasarkan luas lahan mangrove yang ada. Dari berbagai
setudi, kemudian diusulkan agar pembukaan lahan hutan bakau untuk
pertambakan tidak melebihi 30% dari hutan bakau yang tersedia. Tidak
lain tujuannya adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem kawasan
pantai. Namun kenyataanya konversi ekosistem hutan bakau untuk tambak
dilakukan dengan membabi buta dan hanya mempertimbangkan dari aspek
ekonomi saja tanpa mempertimbangkan faktor ekologinya. Karena itu,
pembukaan lahan untuk tambak telah menyebabkan kerusakan hutan
bakau yang sangat serius.

3. Pengambilan kayu
Tumbuhan mangrove yang berupa pohon kayu antara lain adalah bakau,
tanjang, api-api, pedada, nyirih, tengar dan buta-buta. Pohon-pohon di
ekosistem hutan bakau menghasilkan kayu yang berkualitas baik sehingga
dapat dimanfaatkan untuk konstruksi bangunan dan kebutuhan rumah
tangga (kayu bakar). Pengambilan kayu untuk bahan bangunan dan kayu
bakar menyumbang kerusakan ekosistem hutan bakau, pengambilan kayu

menyebabkan kegundulan, pada tahap selanjutnya terjadi abrasi pantai
oleh gelombang pasang yang lama-kelamaan merusak garis pantai.

4. Pencemaran
Pencemaran perairan, baik sungai, danau, perairan pesisir maupun laut
dapat menyebabkan kerusakan ekosisitem hutan bakau. Bahan polutan
yang masuk kedalam sungai dapat tersangkut ke pesisir sehingga dapat
menyebabkan kerusakan ekosistem hutan bakau. Pada umunya bahan
pencemar itu berasal dari kegiatan industry, pertanian, dan rumah tangga.
Selain itu pencemaran juga dapat berasal dari aktivitas lalulintas kapal
yang terlalu tinggi melewati kawasan hutan bakau.

2.2. Masyarakat Pesisir
2.2.1. Pengertian Kawasan Pesisir
Menurut Dahuri dalam Sulistyo (2006) hingga saat ini masih belum ada definisi
tentang wilayah pesisir yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum
di dunia bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan daratan dan lautan. Apa
bila ditinjau dari garis pantai (Coastline), maka wilayah pesisir mempunyai dua
macam batas (Boundaries) yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai (Long
Shore) dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai.

Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan
lautan yaitu batas kearah daratan meliputi wilayah-wilayah yang tergenang air
maupun yang tidak tergenang air yang masih terpengaruhi oleh proses-proses laut
seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi garam. Sementara batas kearah lautan

adalah daerah yang terpengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti
sendimentasi dan mengalirnya air tawar kelaut serta daerah-daerah laut yang
dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen: 2002). Definisi
tersebut memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan
ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan beragam didarat maupun di
laut serta saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga
mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan
secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap
ekosistem perairan pesisir (Dahuri dalam Sulityo:2000). Key dan Alder dalam
Sulityo (2006) batasan pesisir dapat ditentukan berdasarkan dua pendekatan,
yaitu:
a. Pendekatan ilmiah (Scientific definition)
Bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan
lautan dengan batasan ke daratan dan ke lautan ditentukan oleh pengaruh
daratan ke laut dan pengaruh laut ke daratan.
b. Pendekatan Kebijakan (Policy oriented definition)
Pada umumnya batsan wilayah pesisir merupakan wilayah adaministratif
baik ke darat maupun ke laut, maupun batasan yang ditentukan secara
politis.

Kawasan pesisir pada dasarnya merupakan batasan (Interface) antara kawasan laut
dan darat yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya baik
secara bio-geofisik maupun social-ekonomi yang menyediakan barang dan jasa
(Goods and

services)

bagi

komunitas

(Beneficiaries) (Nugroho dan Dahuri:2004).

pesisir

dan

pemanfaat

lainnya

Dengan demikian kawasan pesisir dapat diartikan sebagai kawasan peralihan
ekosistem darat dan laut yang saling mempengeruhi dimana kearah 12 mil dari
garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah laut untuk kabupaten kota
dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota dengan karakteristik kearah
darat dapat meliputi wilayah daratan baik kering mapun terendam air yang masih
mendapat pengaruh sifat-sifat laut. Sementara ke arah laut perairan pesisir
mencakup wilayah terluar dari wilayah paparan benua yang masih dipengaruhi
oleh proses-proses alamiah yang terjadi berasal dari darat.

2.2.2. Karakteristik Masyarakat Kawasan Pesisir
Kawasan pesisir tidak hanya meliputi satu jenis aktivitas saja tetapi banyak
aktivitas yang dilaksanakan yang erat kaitannya dengan pemanfaatan di kawasan
ini. Menurut Bengen (2002) Secara umum kondisi aktivitas masyarakat pesisir
meliputi aktivitas ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat, ketergantungan
masyarakat terhadap kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang ada di
sekitarnya, pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya
alam, lembaga social aktivitas, ekonomi pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Bengen dalam Sulistyo (2006) menyatakan secara umum aktivitas masyarakat di
kawasan pesisir dapat berupa:
a. Kegiatan perikanan yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan laut
terbuka.
b. Kegiatan pariwisata dan rekreasi yang memanfaatkan lahan darat, lahan
air, dan objek di bawah air.

c. Kegiatan transportasi laut yang memanfaatkan lahan darat dan alokasi
ruang di laut untuk jalur pelayaran, kolam pelabuhan dan lain-lain.
d. Kegiatan indutri yang memanfaatkan lahan darat.
e. Kegiatan pertambangan yang memanfaatkan lahan darat dan laut.
f. Kegiatan pembangkit energi yang menggunakan lahan darat dan laut.
g. Kegiatan industri maritim yang memanfaatkan lahan darat dan laut,
pemukiman yang memanfaatkan lahan darat untuk perumahan dan fasilitas
pelayanan umum.
h. Kegiatan pertanian dan kehutanan yang memanfaatkan lahan darat.

Nugroho dan Dahuri (2004) menyatakan ekosistem wilayah pesisir dan laut
setidaknya memiliki lima karakteritik penting yang harus dipahami agar
pengelolaanya memenuhi kaidah-kaidah kesinambungan (Sustainability) yaitu:
a. Komponen hayati dan non-hayati membentuk suatu ekosistem yang
kompleks hasil dari berbagai proses ekologi dari ekosistem daratan dan
lautan seperti angin, gelombang, pasang-surut, suhu, dan lain-lain. Sebagai
akibatnya ekosistem pesisir dapat tahan atau sebaliknya sangat rentan
terhadap perubahan lingkungan seperti bencana alam atau kegiatan
manusia.
b. Karena ragam komponen ekologi dan keuntungan faktor lokasi biasanya
ditemukan

beragam

macam

pemanfaatan

untuk

kepentingan

pembanguanan seperti: tambak, perikanan, pertanian, pertambangan,
industri, pariwisata, dan pemukiman.
c. Pada umumnya dapat dilihat lebih dari satu kelompok masyarakat yang
memiliki keterampilan atau keahlian dan kesenangan berkerja yang

berbeda-beda: seperti nelayan, petani tambak, petani rumput laut,
kerajianan rumah tangga, dan lain-lain.
d. Secara ekologis maupun ekonomis pemanfaatan suatu wilayah pesisir
secara monokultur sangat rentan terhadap perubahan internal maupun
eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha.
e. Kawasan pesisir dan lautan umumnya masih merupakan sumber daya
milik bersama yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang,

isu ini

merupakan sumber utama konflik sehubungan dengan hak kepemilikan
lahan alokasi pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan laut.

2.3.

Pendekatan Etnosains

2.3.1. Pengertian Etnosains
Etnosains berasal dari kata Yunani yakni “Ethnos” yang berarti bangsa dan
“Scientia” yang berarti pengetahuan (Werner dan Fenton dalam sebuah website
Cha2n:2012). Etnosains adalah pengetahuan yang khas dimiliki oleh suatu
bangsa. Tujuan etosains, adalah melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh
masyarakat yang diteliti. Asumsi dasarnya adalah bahwa lingkungan bersifat
kultural, sebab lingkungan yang sama pada umumnya dapat dilihat dan dipahami
secara

berlainan

oleh

masyarakat

yang

berbeda

latar

belakang

kebudayaannya.(Heddy:1994). Dengan pendekatan ini diharapkan kita akan
mampu menebak prilaku masyarakat dalam berbagai aktivitas yang berkaitan
dengan lingkungan. Pengaruh pendapat masyarakat terhadap lingkungan
merupakan bagian dari mekanisme yang menghasilkan perilaku yang nyata dari
masyarakat itu sendiri dalam menciptakan perubahan dalam lingkungan mereka.

2.3.2. Pendekatan dalam Etnosains
Dalam studi etnosains terdapat dua pendekatan yang saling berkomparasi,
pendekatan tersebut ialah:

a.

Pendekatan Prosesual

Vayda dalam Yunita (1999) mengemukakan bahwa untuk membentuk suatu
proses, harus ada suatu peristiwa-periatiwa yang saling terkait satu sama lain
secara berkesinambungan yang diamini juga oleh Moore dalam Yunita(1999)
dengan pendapat tentang rangkaian peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan
manusia berakumulasi membentuk suatu proses. Dari pendapat para antropolog
ini kita dapat menjabarkan, bahwasannya ragkain peristiwa yang dapat diamati
dan melibatkan tindakan manusia dapat merupakan peristiwa yang menyumbang
pada

pengalihan,

penciptaan,

pemproduksian

atau

pentaransformasian

budaya(termasuk lingkungan di dalamnya). Kasus pembentukan pengetahuan
dikalangan para petambak merupakan salah satu kasus untuk menunjukan
bagaimana proses pembentukan itu berlangsung dari hari-ke hari, musim- ke
musim, melalui rangkain peristiwa tindakan para petambak dalam mensiasati
berbagai kesempatan, kendala dan ancaman merekayasa lingkungan bagi
kelangsungan hidup mereka.

b.

Pendekatan Ekologi

Bibit pendekatan ini telah ditanamkan sejak 1930 0leh Julian H. Steward dalam
esai yang berjudul “The Economics and Sosial Basis of Primitive Bonds”, dalam
esai inilah Steward pertama kali menyatakan tentang “interaksi budaya dan
lingkungan dapat dianalisis dalam kerangka sebab-akibat” melalui sebuah

perspektif ekologi budaya. Pendapat Steward di lanjutkan Murphy dalam Heddy
(1994) yang mengatakan titik perhatian dari perspektif ini adalah analisis struktur
sosial dan kebudayaan. Perhatian baru diarahkan pada lingkungan bilamana
lingkungan mempengaruhi atau menentukan tingkahlaku atau organisasi kerja.
Perspektif ini menegaskan bahwa penyesuaian berbagai masyarakat pada
lingkungannya memerlukan bentuk-bentuk perilaku tertentu, perilaku-perilaku ini
berfungsi sebagai proses adaptasi terhadap lingkungannya dan tunduk pada suatu
sistem seleksi. Sebagai contoh bentuk adaptasi masyarakat dan lingkungan adalah
perilaku penyesuaian kegiatan ekonomi paga petambak dan petani dipengaruhi
oleh situasi lingkungan yang berbeda.

2.4. Sikap Masyarakat untuk Alam
Banyaka kalangan yang menyatakan, bahwa kehidupan masyarakat sangat
dipengaruhi oleh alam. Alam memberikan apapun yang masyarakat butuhkan dari
tempat tinggal sampai kebutuhan untuk bernafas. Namun kini masyarakat sudah
menunjukan ciri modernnya. Yakni masyarakat yang mulai menunjukan tanda
yang berbeda dari masyarakat sebelumnya, sebuah masyarakat yang berproses
menuju kemajuan disertai pola pikir yang rasional dan kompetitif. Tapi fenomena
ketimpangan pembangunan yang berbeda di tiap daerah juga mempengaruhi pola
sikap masyarakat terhadap alam. Oleh karena itu Rahmad K.Dwi Susilo (2008)
membedakan sikap masyarakat menjadi dua macam yaitu:
a. Antroposentrisme
Antroposentrisme menyatakan bahwa, tumbuhan disediakan untuk hewan
dan hean disediakan untuk manusia selain itu manusia lebih terhormat

karena selain memiliki badan manusia juga memiliki jiwa yang
memungkinkan untuk berfikir. Sehingga manusia dipandang sebagai pihak
yang memiliki kebebasan untuk menterjamahkan kepentingannya terhadap
alam. dalam kenyataan sikap ini muncul dalam bentuk pengerusakan,
pencemaran, eksploitasi dan lain-lain.

b. Ekosentrisme
Sikap

ekosentrisme

ialah

sikap

perjuangan

menyelamatkan

dan

keperdulian terhadap lingkungan yang tidak hanya mengutamakan
penghormatan atas spesies tapi perhatian setara atas seluruh kehidupan.
Dalam masyarakat, sikap ini muncul sebagai tindakan pelestarian,
penghijauan dan penanaman, dan perawatan alam.

2.5. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Menghadapi pertambahan penduduk dan penggunaan serta pengembangan pola
pengolahan yang tepat untuk konstelasi masyarakat, maka kita harus
meningkatkan kemampuan kita dalam hal pengelolaan kebijaksaaan di bidang
sumberdaya alam. Kini Indonesia memiliki masalah pokok paling mendesak,
masalah tersebut adalah masalah pertambahan penduduk. Keadaan demikian
segera menghadapkan bangsa kita terhadap masalah pangan (penyediaan pangan
untuk penduduk dengan mempertahankan tingkat konsumsi yang wajar, yaitu
jumlah yang memadai dan mutu gizi yang terpelihara), masalah pemukiman dan
masalah ruang hidup dalam lingkungan Indonesia (M.T.Zen:1981). Dihadapkan
dengan masalah pertambahan penduduk yang begitu mendesak, maka dapat
dipahami bila pikiran segera diarahkan kepada transmigrasi masal dan kebijakan

keluarga berencana. Memang transmigrasi misal dan keluarga berencana harus
merupakan unsur pokok dalam strategi kebijaksanaan mulai dari sekarang untuk
jangka panjang. Sambil kedua masalah digarap serius kita juga harus menempuh
cara-cara lain mengatasai masalah kerusakan lingkungan. Menyadarkan peran
masyarakat untuk merefitalisasi lingkungannya adalah salah satu kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah yang tertuang dalam Undang-undang no 27 tahun 2007
pasal 60 ayat2 menerangkan tentang Kewajiban Masyarakat dalam Mengelola
Sumberdaya Alam Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yakni:
Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
berkewajiban:
a.
b.
c.
d.
e.

Memberikan informasi berkenaan `dengan Pengelolaan Wilayah
Pesisirdan Pulau-Pulau Kecil;
Menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil;
Menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau
perusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
Memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
Melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.

Memahami isi utama dalam aturan ini, masyarakat akan semakin tinggi rasa
memiliki atas lingkungan alamnya bukan sekedar sebagai tempat tinggal
melainkan lebih kepada lingkungan hidupnya. Masyarakat paham bahwa apa yang
mereka lakukan terhadap alam akan dikembalikan dampaknya kepada
masyarakatnya oleh lingkungan alam itu sendiri. Minimnya pengertauhan akan
pendidikan dan kretivitas mengkonservasi lingkungan menjadikan masyarakat
buta akan apa yang akan mereka lakukan terhadap lingkungannya.

2.6. Hubungan Masyarakat dan Lingkungan
2.6.1. Pentingnya Penyelarasan Hubungan Masyarakat Dan Lingkungan
Keselarasan hidup antara kehidupan masyarakat dan lingkungan sudah lama
terjalin. Tidak diketahui secara jelas sejak kapan masyarakat mulai melakukan
hubungan dengan lingkungan. Namun bagi Indonesia kepedulian terhadap
lingkungan sudah terjadi sejak dahulu. Adanya pandangan sebaiknya masyarakat
menyelaraskan dengan alam sekitarnya membuktikan betapa budaya sudah
mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan dengan lingkungan alam
(Koentjaraningrat:1969). Hal ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan
kemampuan lingkungan menyediakan berbagai sumberdaya energy, lahan, hewan,
tumbuhan yang bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Gejala ini tidak berhenti begitu saja pada titik pemenuhan kebutuhan logistic,
lingkungan juga memberikan corak identitas budaya pada masyarakat, oleh Julian
H.Steward (1936) ketika Ia menerbitkan bukunya yang berjudul “The Economice
and Social Primitive Bonds”, ia memberikan pernyataan yang utuh. Konsep yang
diberikan lewat bukunya ini adalah bagaimana interaksi budaya dan lingkungan
bisa dianalisis dalam kerangka sebab-akibat (in causal term). Masyarakat tidak
akan melakukan pemanfaatan secara nyata jikalau lingkungan tidak menunjukan
kemampuan daya dukungnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemaknaan
hidup masyarakat terhadap alamnya juga dapat dipengaruhi oleh bagaimana alam
menyediakan kebutuhan hidup masyarakat. Ketersediaan bahan makanan yang
berlimpah (segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan) di alam akan disyukuri sebagai
berkah dan disertai penghargaan upacara adat kesukuan. Contoh lain tentang
psykologi masyarakat, lingkungan yang hijau cendrung memiliki masyarakat yang

relatif kondusif psykologinya (memiliki tenggangrasa yang tinggi) berbeda
dengan masyarakat yang tinggal di lingkungan pemukiman yang padat dan
gersang, hubungan yang seperti ini oleh Julian H. Stward devinisikan sebagai
“Ekologi budaya”.

2.6.2. Pengaruh Lingkungan
Dinamika kepndudukan memiliki masalah yang kompleks, yang muncul biasanya
adalah masalah pangan, pengangguran, hambatan pengembangan industri,
pengembangan sumberdaya alam, pendidikan, kesempatan kerja dan teknologi
pertanian. Sepintas masalah-masalah ini muncul sendiri-sendiri secara terpisah,
namun menurut M.T.Zen (1979) jika diselidiki secara mendalam semua gejala
dalam masyarakat saling kait-mengkait dan berasal dari satu masalah pokok yaitu
benturan lingkungan. Ia menyimpulakan, apapun yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap lingkungan hidupnya (merusak atau melestarikan alam) dampaknya akan
kembali ke masyarakat. Keputusan masyarakat untuk merubah atau melestarikan
akan merubah ciri fisik alam yang menjadi dasar cara pemanfaatan dan efek dari
pemanfaatan akan mempengaruhi pola-pola kegiatan ekonomi dan karakter
masyarakat secara umumnnya.

2.6.3. Kecendrungan Manusia Terhadap Lingkungan
Manusia seperti hewan pada umunya, ia memiliki insting alami untuk bertahan
hidup meneruskan keberlangsungan hidup, atau untuk menghadapi seleksi alam.
hanya satu yang akan dilakukan manusia terhadap lingkungan alamnya yakni
beradaptasi, Vadya dan Rappaport (1968) menerangkan bahwa pemanfaatan dan

perilaku manusia terhadap lingkungan juga merupakan bentuk dari adaptasi.
Tujuan dari adaptasi adalah merekayasa lingkungannya untuk keberlangsungan
hidupnya. Dalam hal ini terkadang manusia terlihat lemah, mereka terlalu yakin
terhadap kemampuan mereka menunjukan kemutlakan dan alam sebagai
pelayannya. Hal ini justru menunjukan ketidak mampuan manusia menebak
akibat-akibat (bencana alam) yang sama sebelum akaibat tersebut terjadi. Hal ini
adalah akibat lupa bahwa proses seleksi alam mungkin sudah berlangsung tepat di
depan hadapan mereka tanpa mereka ketahui.

Masyarakat sangat berperan terhadap peningkatan degradasi lingkungan alam.
masyarakat tidak akan pernah mengetahui rasio kebutuhan hidup terhadap daya
dukung lingkungan secara pasti. Makin lama jumlah masyarakat semakin
bertambah mengikuti deret hitung, dengan bertambahnya jumlah penduduk akan
berakibat pada bertambahnya pembukaan lahan yang diperuntukan sebagai
perkebunan dan tempat tinggal. Vadya menerangkan bahwa tingkat pertumbuhan
masyarakat akan berbanding terbalik dengan jumalah luasan lingkungan yang
lestari, menurunnya lingkungan akan memunculkan kekacauan alam. Dengan
jumlah lahan yang terbatas dan jumlah kebutuhan masyarakat yang meningkat
menjadikan masyarakat semakin sensitif dan agresif untuk melakukan persaingan
perebutan lahan ketimbang harus membuka lahan baru dan menebang pohon
dihutan yang masih perawan. Persaingan inilah yang menjadi adaptasi masyarakat
terhadap lingkungan alamnya yang kacau.

2.7. Sumberdaya Alam dan kegiatan Ekonomi
a. Model masukan keluaran. Analisis masukan keluaran diciptakan oleh Wassily
Leontief dalam Maynard M. Hufschmidt (1996) dalam Rahmad K. Dwi Susilo
(2009) pendapatan dinyatakan dalam kenyataan bahwa dalam sistem ekonomi
modern kegaiatan produksi satu berhubungan dengan yang lain. Masingmasing memproduksikan prilaku ganda: yang pertama, sebagai pemasok yang
menjual hasilnya pada industri lain dan pada pembeli akhir, kedua, sebagai
pembeli masukan yang membeli hasil kegiatan memproduksi yang lain juga
keterampilan kerja, jasa modal, SDA, lahan, keahlian dan lain-lain. Kegiatan
berperan ini saling memenuhi kebutuhan baik untuk meningkatkan nilai
barang atau membah jumlah barang hingga menghasilkan nilai ekonomis yang
bermuara pada kekayaan.

b. Kesejahteraan manusia hanya dapat dicapai apabila ada keseimbangan antara
subsistem

dalam

ekosistem

(manusia

dan

lingkungan).

Sehingga

Kesejahteraan Manusia yang mengandung didalam dirinya keharusan adanya
kelangsungan hidup mahluk hidup lain dalam hubungan yang serasi dengan
kehidupan manusia. Soemartono dalam Rahmad K. Dwi Susilo (2009)

c. Antara pembangunan dan lingkungan hidup tidaklah bertentangan, yang
bertentangan kalau setiap pembangunan yang