8
B. Latar Belakang Masalah
Anak-anak merupakan masa depan, bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk masyarakat, bangsa dan
negaranya. Mereka adalah masa depan kemanusiaan. Dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
selalu dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat di dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hak Anak tahun 1989.
Anak-anak sebagai harapan dan penerus generasi bangsa, maka kesejahteraan anak harus ditingkatkan dan merupakan tanggung jawab
dari pemerintah, masyarakat, juga keluarga dan orang tua agar mereka dapat menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas. Terkait
tanggung jawab pemerintah, masyarakat juga keluarga dan orang tua tersebut, kesemuanya itu di atur di dalam UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, untuk tanggung jawab pemerintah di atur dalam pasal 21 hingga pasal 24, yang berbunyi:
Pasal 21 Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
9
budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik danatau mental.
Pasal 22 Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
memberikan dukungan
sarana dan
prasarana dalam
penyelenggaraan perlindungan anak. Pasal 23
1 Negara
dan pemerintah
menjamin perlindungan,
pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara
hukum bertanggung jawab terhadap anak. 2 Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak. Pasal 24
Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan
tingkat kecerdasan anak. Untuk tanggung jawab masyarakat di atur dalam pasal 25, yang
berbunyi: Pasal 25
Kewajiban dan
tanggung jawab
masyarakat terhadap
perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
10
Untuk tanggung jawab keluarga dan orang tua di atur dalam pasal 26, yang berbunyi:
Pasal 26 1 Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a.mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak b.menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya c.mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2 Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kekerasan seksual terhadap anak adalah persoalan yang serius, kompleks, dan universal. Dikatakan serius karena kasus kekerasan
seksual terhadap anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi. Kompleks karena persoalan kekerasan seksual terhadap anak
memiliki dimensi yang luas. Dikatakan universal karena persoalan kekerasan seksual terhadap anak terjadi di semua wilayah baik kota-kota
kecil ataupun juga di kota-kota besar, di ranah domestik juga privat pribadikeluarga.
11
Kekerasan seksual terhadap anak pada dasarnya merujuk kepada kekerasan yang bersifat fisik maupun psikologis. Disamping itu
permasalahan yang lebih penting adalah menyangkut persoalan teknis atau mekanisme yang terbaik bagi korban.
Saat ini tindak kekerasan seksual terhadap anak seakan terus menjadi hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Disadari
atau tidak kemajuan teknologi dan khususnya kemajuan teknologi media massa meskipun bukan merupakan faktor tunggal dan faktor
langsung penyebab munculnya tindak kekerasan seksual pada anak, akan tetapi media massa melalui berbagai produknya mampu memicu
masyarakat untuk melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak seperti pencabulan dan juga perkosaan. Media massa begitu berkuasa
dalam mengubah hidup publik apalagi di dalam hal merubah sikap, karakter, dan tingkah laku. Begitu kuatnya pengaruh media massa,
menyebabkan banyak orang beranggapan bahwa variabel ini cukup signifikan dalam memicu penyakit-penyakit sosial, seperti pornografi,
kriminalitas, dan tentunya kekerasan. Oleh sebab itu munculnya pornografi di media massa merupakan salah satu faktor pemicu
munculnya tindak kekerasan seksual terhadap anak. Terlepas dari dampak media massa khususnya pornografi yang
masih merupakan isu kontroversial, telah diakui bahwa kemajuan teknologi dengan media massanya baik media cetak maupun elektronik
dengan cepat membuka akses masyarakat terhadap berbagai jenis
12
informasi dari luar, termasuk segala jenis hiburan yang dengan mudah dapat dinikmati melalui siaran televisi, radio, vcd, internet, dan yang
terakhir kecanggihan perangkat telepon selulerpun menambah deretan kemudahan khalayak dalam menikmati segala informasi. Belum lagi
informasi dari berbagai jenis media cetak. Oleh sebab itu tidak dapat disangkal bahwa kemajuan teknologi dan media massa tidak hanya
membawa dampak yang positif saja akan tetapi juga membawa dampak negatif bagi masyarakat. Dan mungkin saja tindak kejahatan kekerasan
seksual terhadap anak adalah salah satu dampak negatif yang dibawa oleh media. Oleh sebab itu terlepas dari pornografi sebagai isu yang
masih sangat kontroversial bukankah dengan melihat semakin meningkatnya kasus kriminal kekerasan seksual terhadap anak, sudah
saatnya permasalahan tersebut harus segera diangkat menjadi agenda penting dalam pemerintahan.
Pemerkosaan, pelecehan seksual, perlakuan tidak adil dan semena-
mena masih menjadi ‘agenda’ kekerasan yang belum diungkap, karena keterbatasan anak akan informasi atas hak-hak mereka,
ketakutan dan ketidakberdayaan anak-anak yang seringkali dianggap sebagai minoritas. Ketidakberdayaan anak sebagai korban tindak
kekerasan seksual banyak kita jumpai dalam berbagai kasus. Bahkan jikalau suatu kasus tindak kekerasan seksual terhadap anak telah
berhasil dibawa kepada jalur hukum, ketidakberdayaan anak-anak sebagai korban seringkali dijumpai. Disini, dimata hukum seringkali
13
posisi anak-anak berada di posisi yang lemah. Banyak sekali kasus kekerasan seksual terhadap anak misalnya pelecehan seksual,
perkosaan, dan eksploitasi komersial terhadap anak yang lepas begitu saja dari hukum dengan dalil tidak adanya saksi dan kurangnya bukti,
padahal ada banyak pasal yang dapat digunakan untuk menjerat para pelaku tindak kekerasan seksual dengan tujuan agar para pelaku ini
tidak mengulang tindakan serupa dan pelaku mempertanggungjawabkan tindakan yang telah dilakukan. Ada beberapa pasal yang berhubungan
dengan kekerasan seksual antara lain:
Pasal 81 dan pasal 82 UUPA Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 Tahun 2003, tentang
perkosaan dan pencabulan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda
paling banyak Rp. 30.000.000,- dan paling sedikit Rp. 60.000.000,-
Pasal 285 KUHP tentang perkosaan dengan ancaman
hukuman penjara paling lama 12 tahun
Pasal 286 KUHP tentang persetubuhan diluar pernikahan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya, diancam hukuman penjara paling lama 9 tahun
14
Pasal 287 KUHP tentang persetubuhan dengan anak
dibawah umur 15 tahun, dengan ancaman hukuman paling lama 9 tahun
Pasal 289 KUHP tentang perbuatan cabul diancaman dengan
ancaman hukuman paling lama 9 tahun
Pasal 290 KUHP tentang pencabulan dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun
Pasal 294 KUHP, tentang pencabulan pada anak dengan
ancaman hukuman paling lama 7 tahun Kekerasan seksual anak memiliki arti yaitu sebagai hubungan
atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara kandung, atau orang tua
dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Ada 4 bentuk yang termasuk dalam
kategori kekerasan seksual adalah pelecehan seksual, perkosaan, pencabulan, sodomi.
4
Dari data yang ada, kekerasan seksual di kota Solo tahun 2011 terjadi sebanyak 18 kasus. Untuk kategori pelecehan seksual terjadi
sebanyak 7 kasus, untuk kasus perkosaan sebanyak 5 kasus, sedangkan untuk pencabulan sebanyak 1 kasus, yang terakhir yaitu sodomi
sebanyak 5 kasus. Jadi, dari 4 kategori kekerasan seksual, kategori pelecehan seksual merupakan yang tertinggi atau sering terjadi,
4
Tim Yayasan Kakak, Aku Ingin Jadi Matahari, Yayasan Kakak, Surakarta, 2011, hal.3
15
sedangkan kategori pencabulan merupakan yang paling sedikit atau jarang terjadi untuk tahun 2011. Untuk 18 kasus kekerasan seksual yang
terjadi sepanjang tahun 2011, sebanyak 13 kasus dilanjutkan ke proses hukum, untuk 7 kasus korban bersedia didampingi oleh Yayasan
KAKAK sedangkan 6 kasus korban tidak bersedia didampingi, sedangkan untuk 5 kasus tidak dilanjutkan ke proses hukum.
5
Cara kerja yayasan KAKAK dalam melakukan penjangkauan
kepada korban kekerasan seksual adalah dengan cara memperoleh informasi kasus di media massa koran atau TV, rujukan dari lembaga
lain, pengaduan keluarga atau masyarakat, rujukan dari kepolisian dan lain-lain. Selanjutnya pendamping Yayasan KAKAK melakukan
pendekatan kepada anak dan keluarga korban dengan cara melihat kebutuhan korban. Setelah dapat dilihat apa kebutuhan korban tersebut
pendamping melakukan pendampingan sesuai kebutuhan korban. Untuk pendampingan hukum: pendampingan mulai dari proses di kepolisian,
kejaksaan dan sidang di pengadilan. Bila membutuhkan pelayanan medis, pendamping merujuk ke puskesmas atau ke rumah sakit, bila
membutuhkan penanganan psikologis, merujuk ke Rumah Sakit Jiwa Daerah atau LK3 lembaga Konsultasi Ketahanan Keluarga dari Dinas
Sosial. Sejak Indonesia ikut meratifikasi KHA Konvensi Hak Anak
maka sejak itulah Indonesia mengakui bahwa anak memiliki beberapa
5
Sumber data sekunder:Yayasan Kakak
16
hak yang terdapat didalamnya. Khususnya masalah kekerasan seksual pada anak terdapat poin yang menjelaskan, yakni mengenai pelanggaran
bagi siapapun melakukan aktivitas yang mengarah pada aktivitas kekerasan seksual pada anak. Kemudian dengan ikut sertanya Indonesia
meratifikasi KHA melalui Keppres No.36 Tahun 1990 berarti Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan pelarangan bagi siapapun yang
memiliki aktivitas kekerasan seksual terhadap Anak. Selanjutnya pada tahun 2002 Indonesia mengesahkan Undang-Undang nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
C. Perumusan Masalah