Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Yayasan Kakak dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak T1 312009011 BAB II

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak

1. Pengertian Anak

Pengertian usia anak dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan kekerasan seksual terhadap anak, batas umur kedewasaan seksual yang ditetapkan secara legal menjadi sangat penting artinya bagi perlindungan anak. Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai anak.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5 menyebutkan pengertian anak adalah “manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang di dalam kandungan demi kepentingannya”. Dalam hal ini anak juga mempunyai hak asasi yang melekat pada dirinya yang harus dilindungi dan juga dihormati.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 menjelaskan bahwa anak adalah “seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Batas umur 21 tahun tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan


(2)

juga tidak mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menurut Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Dalam praktek terdapat kesulitan menentukan usia ini, karena tidak semua orang mempunyai akta kelahiran, sehingga ada kalanya menentukan usia ini dipergunakan surat keterangan lain seperti contohnya rapor atau surat keterangan lain dari Kepala Desa/ Lurah saja. Seharusnya setiap kasus yang menyangkut tentang anak mengacu pada asas hukum Les specialis derogat legi generale (peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang umum) yaitu dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun pada kenyataannya walaupun sudah ditetapkan undang-undang ini tetapi masih sering terjadi kerancuan mengenai batasan umur anak yang dipakai untuk menangani berbagai kasus sosial dalam masyarakat yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, sebaiknya penggunaan peraturan yang sudah ada disesuaikan dengan kasus yang akan dihadapi, sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda.

Menurut Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada


(3)

tanggal 20 November Tahun 1989 Pasal 1 mendefinisikan seorang anak adalah “setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.

Konvensi Hak Anak (KHA) adalah instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Anak dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, tertanggal 25 Agustus Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak. Oleh karena itu, Keppres Nomor 36 Tahun 1990 yang mengesahkan Konvensi Hak Anak tersebut secara yuridis telah mengikat Indonesia sebagai negara peserta dalam Konvensi Hak Anak.

Dari gambaran definisi di atas, terlihat sudah ada kesesuaian definisi anak yaitu antara instrumen internasional dan undang-undang di Indonesia. Konsekuensinya semua warga negara Indonesia yang masih dalam batas umur di atas berhak memperoleh standar perlindungan sesuai dengan Konvensi Hak Anak.

Pada umumnya Konvensi Hak Anak internasional menerima usia 18 tahun merupakan usia yang sesuai untuk menentukan masa dewasa. Menentukan usia yang baku untuk mendefinisikan masa kanak-kanak berpengaruh terhadap bagaimana anak yang menjadi korban diperlakukan oleh hukum. Dengan demikian membakukan usia 18 tahun sebagai usia tanggung jawab seksual secara internasional akan


(4)

memberi perlindungan yang lebih besar terhadap anak (sekaligus menyadari bahaya mengkriminalisasi anak). Definisi legal tentang anak juga akan berpengaruh terhadap pengadilan memperlakukan pelaku tindak kejahatan.

Berdasarkan pengertian usia anak diatas, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

2. Prinsip, dan Hak Anak

Prinsip-prinsip dasar hak anak berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November Tahun 1989 yang kemudian oleh Pemerintah Indonesia diratifikasi dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, adalah:

a. Non diskriminasi

Artinya anak-anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi rasial, agama, maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Mereka harus dibesarkan dalam semangat yang penuh pengertian, toleransi, dan persahabatan antarbangsa, perdamaian serta persaudaraan semesta dan dengan penuh kesadaran tenaga dan bakatnya harus di abdikan kepada


(5)

sesama manusia.1 Tidak ada pemisahan dan perlakuan berbeda pada anak, termasuk dalam kondisi dan situasi apapun.

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

Artinya bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.2

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan

Artinya terfokus pada hak-hak anak yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak dan keberlangsungan hidup anak untuk tetap bertahan dalam kehidupan ini.

d. Penghargaan terhadap pendapat anak

Artinya anak memiliki hak untuk terlibat dan dilibatkan dalam setiap hal yang berhubungan dengan kehidupan mereka. Pendapat anak patut didengar dan dipertimbangkan, karena anak juga butuh dihargai dalam menyampaikan pendapat.

Dan didalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa prinsip-prinsip hak anak adalah:

a. Hak untuk hidup

Anak-anak harus mempunyai akses pelayanan kesehatan dan dapat menikmati standar hidup yang layak, termasuk cukup makanan, air

1 Mulyana Kusumah, Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, 1986, hal.20

2 Abdul Rahman Saleh, Iur Adnan Buyung Nasution, Stewart Fenwick, Panduan Bantuan Hukum


(6)

bersih, dan tempat tinggal yang aman. Anak-anak juga mempunyai hak untuk memperoleh nama dan kewarganegaraan.

b. Hak untuk tumbuh dan berkembang

Anak-anak berhak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Mereka berhak memperoleh pendidikan (formal dan non formal) yang memadai. Anak-anak juga diberi kesempatan untuk bermain, berkreasi, dan beristirahat.

c. Hak untuk berpartisipasi

Anak-anak harus diberi kesempatan untuk menyuarakan pandangan dan ide-idenya terutama tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan anak.

d. Hak untuk memperoleh perlindungan

Anak-anak harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan seksual, kekerasan fisik atau mental, penangkapan atau penahanan yang sewenang-wenang, dan segala bentuk diskriminasi. Anak-anak yang tidak mempunyai orangtua dan anak-anak pengungsi juga berhak mendapat perlindungan.

Hak anak yang berhubungan dengan kekerasan seksual menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:


(7)

a. Hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4)

b. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8) c. Hak mendapat pengasuhan dari orang tua, wali, atau pihak lain

mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 ayat 1)

d. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 16 ayat 1)

e. Hak mendapatkan perlakuan secara manusiawi, memperoleh bantuan hukum, membela diri dan memperoleh keadilan dalam pengadilan (Pasal 17 ayat 1)

f. Hak untuk dirahasiakan identitasnya bagi anak yang menjadi korban/pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum (Pasal 17 ayat 2)

g. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya bagi anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana (Pasal 18).


(8)

3. Perlindungan Anak

Pengertian perlindungan anak menurut UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ada dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 butir 2 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sedangkan pengertian perlindungan anak menurut Arif Gosita adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.3

Penyelenggaraan perlindungan anak yang diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada prinsipnya harus mampu menjamin terwujudnya penyelenggaraan hak-hak anak terhadap:

a. Agama (Pasal 42)

Artinya setiap anak mendapat penyelenggaraan untuk beribadah menurut agamanya, jika anak tersebut belum dapat menentukan pilihannya, maka agama yang dipeluk anak adalah mengikuti agama orang tuanya.


(9)

b. Kesehatan (Pasal 44)

Untuk menjamin perlindungan hak anak di bidang kesehatan, maka pemerintah menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memdapatkan derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.

c. Pendidikan (Pasal 48)

Untuk menjamin perlindungan hak anak di bidang pendidikan, maka pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Khusus bagi anak yang mengalami cacat fisik dan atau mental, UU juga memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. Juga, untuk anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan khusus. Bagi anak kurang mampu, terlantar, dan bertempat tinggal di daerah terpencil pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan, bantuan cuma-cuma dan mendorong peran serta masyarakat.

d. Sosial (Pasal 55)

Untuk menjamin perlindungan anak di bidang sosial, maka pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga yang dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat.


(10)

e. Perlindungan Khusus (Pasal 59)

Untuk menjamin perlindungan khusus terhadap anak, maka pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pelaksanaan perlindungan anak yang baik haruslah memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:4

a. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksananya perlindungan anak harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak, agar dapat bersikap dan bertindak secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan anak. Oleh sebab itu harus disebarluaskan, meratakan pengertian mengenai perlindungan anak serta pengertian-pengertian lain yang dapat mendukung dilaksanakannya perlindungan anak tersebut. Misalnya; pengertian tentang manusia, hak dan kewajiban asasi manusia, warganegara, dan lain-lain.

b. Perlindungan anak “harus dilakukan bersama” antara setiap warga negara, anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama, kepentingan


(11)

nasional untuk mencapai aspirasi bangsa Indonesia. Dengan demikian pengadaan penyuluhan mengenai perlindungan anak adalah mutlak agar setiap warga negara, anggota masyarakat sadar akan pentingnya perlindungan anak dan bersedia berpartisipasi secara aktif sesuai dengan kemampuan masing-masing.

c. “kerjasama dan koordinasi” diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat antara partisipan yang bersangkutan. Perlu kita jauhkan, menghindari berbagai macam konfrontasi yang tidak perlu dan mengembangkan komunikasi yang positif, edukatif, dan membangun (antar para partisipan) dalam pelaksanaan perlindungan anak.

d. Dalam rangka membuat kebijaksanaan dan rencana kerja yang dapat dilaksanakan perlu diusahakan inventarisasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak. Perlu diteliti masalah-masalah apa saja yang dapat merupakan faktor kriminogen atau faktor viktimogen dalam pelaksanaan perlindungan anak.

e. Dalam membuat ketentuan-ketentuan yang menyinggung dan mengatur perlindungan anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita harus mengutamakan perspektif yang diatur dan bukan yang mengatur. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan untuk mencegah akibat-akibat negatif yang tidak diinginkan. Janganlah dalam usaha melindungi anak, pihak anak malah tidak dapat perlindungan. Harus dicegah penyalahgunaan kekuasaan, mencari kesempatan menguntungkan diri sendiri, dalam situasi dan kondisi yang sulit bagi orang lain.

f. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan atau dinyatakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan anak setiap anggota masyarakat dengan kerja sama dari pemerintah, harus ikut serta menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan diperkenankannya perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung dalam berbagai bidang kehidupan. g. Dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak, pihak anak

harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri, dan kelak di kemudian hari dapat menjadi orang yang bisa berpartisipasi positif dan aktif dalam kegiatan perlindungan anak yang merupakan hak dan kewajiban


(12)

setiap anggota masyarakat. Sehubungan dengan usaha pemberian kemampuan pada anak untuk dapat ikut serta dalam kegiatan perlindungan anak, maka sebaiknya dipikirkan mengenai cara-cara pembinaan anak yang bersangkutan.

h. Perlindungan anak yang baik harus mempunyai dasar-dasar filosofis, etis, dan yuridis. Dasar tersebut merupakan pedoman pengkajian, evaluasi apakah ketentuan-ketentuan yang dibuat dan pelaksanaan yang direncanakan benar-benar rasional, positif, dapat dipertanggung jawabkan dan bermanfaat bagi yang bersangkutan. Dasar-dasar ini dapat diambil dan dikembangkan dari Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, ajaran dan pandangan yang positif dari agama atau nilai sosial yang tradisional atau modern.

i. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi pada yang bersangkutan, oleh karena adanya penimbulan penderitaan, kerugian oleh partisan tertentu. Perlindungan anak yang antara lain merupakan suatu kegiatan prevensi menimbulkan korban atau kejahatan janganlah sendiri malahan menimbulkan korban sendiri. Jadi perlindungan anak harus bersifat preventif.

j. Perlindungan anak harus didasarkan antara lain atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya. Perlindungan anak dibidang kesehatan, pendidikan dan pembinaan atau pembentukan kepribadian adalah didasarkan pada hak asasi anak yang umum. Hak asasi umum untuk orang dewasa dalam hukum positif berlaku juga untuk anak.

B. Kekerasan Terhadap Anak

1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan terhadap anak adalah penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak dan perlindungan agar anak dapat tumbuh sehat dan berkembang secara normal berdasarkan rasa kepercayaan yang dimilikinya.5


(13)

2. Jenis-Jenis Kekerasan Terhadap Anak

Jenis-jenis kekerasan terhadap anak dibagi menjadi 4 macam, yaitu:6 a. Kekerasan anak secara fisik

Artinya penyiksaan, pemukulan, dan penganiyaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung, atau daerah pantat. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.

b. Kekerasan anak secara psikis

Meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah, dan takut bertemu dengan orang lain. c. Kekerasan anak secara seksual

Dapat berupa perlakuan pra kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual) maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (perkosaan, eksploitasi seksual).

d. Kekerasan anak secara sosial

Dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan


(14)

perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki atau industri sepatu) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di dalam pasal 5 disebutkan bahwa yang termasuk dalam kategori kekerasan adalah:

a. Kekerasan fisik

Artinya adalah Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

b. Kekerasan psikis

Artinya adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

c. Kekerasan seksual

Yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah:

a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut

b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu


(15)

d. Penelantaraan rumah tangga

Artinya adalah penelantaraan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang seseorang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

C.Kekerasan Seksual Anak

1. Pengertian Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Definisi Kekerasan seksual terhadap anak adalah:

Hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara kandung, atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan, atau tekanan. Kegiatan-kegiatan yang mengandung kekerasan seksual tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Tindakan-tindakan dibawah ini juga termasuk kekerasan seksual, antara lain ekshibisme atau kelainan saat orang mendapatkan kepuasan dengan mempertontonkan alat kelaminnya kepada orang lain. Voyeurisme yang berarti seperti orang dewasa yang menonton seorang anak sedang telanjang atau menyuruh atau memaksa anak-anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain sedangkan pelaku tersebut menonton atau merekam kegiatan-kegiatan seksual tersebut. Para pelaku sering kali orang yang memiliki tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak tersebut. Dengan demikian sudah ada hubungan kepercayaan di antara mereka dan pada saat yang bersamaan adanya suatu kekuasaan.7

Pengertian lain mengenai kekerasan seksual adalah praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran agama islam. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki


(16)

kekuatan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya.8

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 8 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

2. Jenis Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Berikut ini penulis jabarkan tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak, yaitu sebagai berikut: 9

a. Pelecehan seksual

Artinya adalah tindakan yang menjurus kepada sesuatu yang berkonotasi seksual, misalnya komentar yang jorok, mencolek pantat atau anggota tubuh yang lain dan mengakibatkan respon yang negative seperti rasa malu, takut, dan sebagainya.

b. Pencabulan

Artinya adalah tindakan meraba, mencium, memasukkan alat kelamin pria ke dalam alat kelamin wanita tapi tidak terjadi penetrasi (sperma masuk ke dalam vagina).

8 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika

Aditama, Bandung, 2001, hal. 32

9


(17)

c. Perkosaan

Artinya adalah memasukkan alat kelamin pria ke dalam alat kelamin wanita dan sudah ada penetrasi dengan disertai ancaman dan kekerasan.

d. Sodomi

Artinya adalah memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam anus atau dubur.

D.Perlindungan Korban

Pengertian korban menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Pengertian korban menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yangdiakibatkan tindak pidana perdagangan orang.

Pengertian korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

1. Perlindungan Korban Tindak Pidana Secara Umum

Korban kejahatan ‘dapat’ hadir dalam proses peradilan pidana dengan dua kualitas yang berbeda. Pertama, korban hadir sebagai saksi. Fungsi korban untuk memberi kesaksian dalam rangka


(18)

pengungkapan kejahatan yang sedang dalam proses pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Kedua, korban hadir sebagai pihak yang dirugikan. Fungsi korban dalam hal ini adalah mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap pelaku kejahatan yang telah mengakibatkan atau menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi dirinya.10

Paradigma perlindungan korban dikonstruksikan oleh hukum dan perundang-undangan yang berlaku, yaitu KUHP dan KUHAP termasuk kebijakan instasional birokrasi penegak hukum. Oleh karena itu bentuk perlindungan korban pun telah dikonstruksikan dalam perundang-undangan. Dalam hal ini berarti bahwa realitas sosial perlindungan korban dimungkinkan mengalami pendegradasian karena adanya kekurangan atau hambatan dalam perundang-undangan, sehingga kurang mengakomodasi respon terhadap korban.

Sehubungan dengan upaya perlindungan korban melalui peradilan pidana selama ini banyak ditelantarkan. Masalah kejahatan senantiasa difokuskan pada apa yang dapat dilakukan pada penjahat dan kurang dipertanyakan apa yang dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang menggangap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban


(19)

adalah dengan menangkap si penjahat, seakan-akan penjahat adalah satu-satunya sumber kesulitan bagi korban.11

Perlindungan korban tidak hanya berjuang untuk mewujudkan the justice of law untuk new legislation process (Proses pembuatan undang-undang yang baru), tapi juga lebih dari itu adalah mengkaji

“in justice of law” yang dapat dipraktekkan para penegak hukum. Dengan demikian konsep perlindungan hukum dalam rangka perlindungan korban adalah bagaimana mewujudkan hukum sebagai alat perwujudan perlindungan. Para penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim tidak hanya menerapkan hukum karena ada suatu yang dilanggar, melainkan karena sesuatu yang “adil/ the just” yang perlu dilindungi dan diwujudkan.

Perlindungan hukum yang adil dipahami sebagai bahwa semua orang diberlakukan sama sebagai manusia lainnya. Hal ini mencakup dua hal, yaitu penyamaan semua orang di dalam hukum yang mendasari asas dan prinsip “equality before the law” (persamaan kedudukan di depan hukum) dalam penegakan hukum yaitu apakah para penegak hukum telah mewujudkannya, maupun kesamaan di dalam hukum/ equality in law, sebagai pedoman untuk menganalisis apakah isu ketentuan peraturan perundang-undangan telah mengatur persamaan di depan hukum. Konsep ini untuk mengejawantahkan perlindungan korban sebagai salah satu pihak dalam peradilan pidana,

11

Muliana W. Kusumah, Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, Bandung, 1981, hal.2


(20)

mampukah quality before the law maupun equality in law mampu direfleksikan dalam perlindungan hukum.12

Konsep perlindungan korban tersebut di atas memunculkan pertanyaan yaitu bagaimanakah bekerjanya lembaga dan pranata hukum khususnya dalam peradilan pidana terhadap perlindungan korban dalam kedua bentuk di atas. Mengingat bekerjanya peradilan pidana berada dalam dimensi sosial yang melibatkan masyarakat dan berbagai konstruksi sosial. Maka bekerjanya lembaga dan pranata hukum untuk bersungguh-sungguh melindungi korban harus diliat sebagai suatu proses sosial yang melibatkan masyarakat sebagai totalitas.

Paradigma di atas memberikan suatu kajian bahwa dalam kerangka perlindungan hukum untuk mewujudkan perlindungan korban dalam peradilan pidana, melibatkan paradigma moral atau akal budi tidak hanya habitat perundang-undangan/ pranata yang harus mengakomodasi, melainkan juga perilaku penegak hukum atau lembaga, dan didukung oleh masyarakat dengan berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, budaya, yang saling berinteraksi, pengaruh dan mempengaruhi, dan bersinergi.

Korban tindak pidana memiliki 2 bagian yaitu korban tindak pidana secara langsung (Direct victims) dan korban tindak pidana yang tidak langsung (indirect victims of crime). Yang dimaksud dengan korban langsung adalah korban yang langsung mengalami dan

12 C. Maya Indah, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Widya


(21)

merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana kejahatan. Korban langsung memiliki karakteristik, yaitu:

a. Korban adalah orang, baik secara individu atau secara kolektif b. Menderita kerugian, termasuk luka-luka fisik, mental,

penderitaan emosional, kehilangan pendapatan, penindasan terhadap hak-hak dasar manusia

c. Disebabkan oleh adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidan baik dalam taraf nasional maupun local levels

d. Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan. Korban tidak langsung yaitu korban dari turut campurnya seseorang dalam membentuk korban langsung atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak kejahatan, dalam hal ini adalah pihak ketiga, dan atau mereka yang menggantungkan hidupnya kepada korban langsung, seperti istri atau suami, anak, dan keluarga terdekat.13

2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak

Pidana Kekerasan Seksual

Diatur dalam pasal 81 ayat 1 dan 2 No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tentang hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yaitu:

Ayat 1 dimana dipidana dengan penjara maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun dan denda maksimal Rp 300.000.000,00 (Tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) bagi orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.


(22)

Ayat 2 berlaku ketentuan pidana ayat 1 bagi orang yang sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82 dipidana maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun dengan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 barang siapa dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Secara umum korban kekerasan seksual anak memiliki tanda-tanda khusus yang nyata seperti:14

a. Mengeluh tentang rasa sakit pada tubuhnya

b. Pembengkakan atau pendarahan maupun lecet di mulut kemaluan atau anus, infeksi saluran kencing serta penyakit seksual lainnya c. Membersihkan tubuh secara berlebih-lebihan atau bisa pula

sebaliknya, menjadi tidak peduli dengan kebersihan tubuhnya

Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual biasanya dilakukan dengan cara memetakan sesuai dengan kebutuhan korban. Korban kekerasan seksual yang menderita luka atau sakit,

14


(23)

membutuhkan pelayanan secara medis maka dapat dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit setempat. Jika korban kekerasan seksual mengalami gangguan secara psikologis maka korban seharusnya mendapat perlindungan dengan cara dapat dirujuk untuk dibawa kepada rumah sakit jiwa atau pskiater setempat, biasanya terdapat lembaga-lembaga yang secara terbuka mau menerima konseling, dan membantu korban memulihkan keadaan kejiwaannya atau mental yang mengalami tekanan akibat peristiwa-peristiwa seperti contohnya kekerasan seksual. Dan jika korban kekerasan seksual membutuhkan bantuan secara hukum, maka bentuk perlindungan terhadap korban yang seharusnya diberikan adalah adanya pendampingan untuk memproses secara hukum terkait kasus yang terjadi (adanya pendampingan di kepolisian, kejaksaan dan sidang di pengadilan), untuk bantuan secara hukum ini biasanya juga terdapat lembaga yang mau memberikan bantuan.

Anak sebagai sebagai korban kekerasan seksual memiliki hak-hak yang harus di tegakkan, dan hal itu sudah dituangkan dalam UU

Perlindungan Anak, sebagai berikut:

Pasal 8

“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.”


(24)

Pasal 17

2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18

“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.”

E.Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Adapun ketentuan tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) penulis ambil berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990 tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat, yang di kemukakan sebagai berikut:

1. Pengertian LSM

Pengertian LSM adalah organisasi/ lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak dibidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/ lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitik beratkan kepada pengabdian secara swadaya.


(25)

2. Asas LSM

Asas dari LSM adalah:

a. Lembaga Swadaya Masyarakat berasaskan Pancasila

b. Asas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah asas dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.

3. Maksud dan Tujuan LSM

Pembinaan terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai Mitra Pemerintah dalam rangka mengembangkan, mendayagunakan peranan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam pembangunan secara swadaya dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan bertujuan agar keberadaan serta kegiatannya bermanfaat bagi kepentingan masyarakat dan sejalan dengan pembangunan di daerah, dalam lingkup pembangunan nasional.

4. Sifat LSM

Sifat dari LSM adalah sebagai berikut:

a. Organisasi tersebut memiliki keleluasan untuk mengembangkan dirinya dan menentukan pimpinan atau pengurusnya

b. Organisasi bisa berdasarkan minat, hobby, profesi, atau orientasi tujuan yang sama


(26)

5. Fungsi LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat berfungsi sebagai :

a. Wahana partisipasi masyarakat guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat

b. Wahana partisipasi masyarakat dalam pembangunan c. Wahana pembangunan keswadayaan masyarakat

d. Wahana pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi/ lembaga.

6. Hak dan Kewajiban LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat berhak:

a. Melaksanakan kegiatan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara

b. Mempertahankan hak hidupnya sesuai dengan tujuan yang ditetapkan organisasi/ lembaga

c. Mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga baik didalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan bidang kegiatannya yang dimiliki, tanpa ikatan yang dapat merugikan kepentingan nasional.

Lembaga Swadaya Masyarakat berkewajiban:

a. Menghayati, mengamalkan dan mengamankan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945


(27)

c. Tidak melaksanakan kegiatan politik praktis yang menjadi fungsi organisasi sosial politik

d. Memberitahukan keberadaannya kepada Menteri Dalam Negeri, Gubernur KDH Tingkat I, Bupati/ Walikota madya KDH Tingkat II, serta Menteri Tekhnis/ Pimpinan Lembaga Non Departemen dan jajarannya di daerah sesuai dengan domisili dan lokasi kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat.

7. Bentuk Kelembagaan LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat dapat berbentuk : a. Yayasan

b. Organisasi atau lembaga lainnya.

8. Dana dan Sumber Daya

a. Dalam melaksanakan kegiatannya Lembaga Swadaya Masyarakat mempunyai sumber keuangan atas prinsip kemampuan sendiri.

b. Lembaga Swadaya Masyarakat dapat menerima bantuan dari pihak ketiga baik dalam negeri maupun dari luar negeri, tanpa ikatan yang dapat merugikan kepentingan nasional.

c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang menerima bantuan dari luar negeri berupa dana, tenaga ahli, peralatan dan jasa harus melalui prosedure dan ketentuan peraturan


(28)

perundang-undangan yang berlaku serta digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat Bangsa Indonesia sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan nasional.

Terkait peran LSM dalam perlindungan anak di dalam UU Perlindungan Anak hal itu di atur dalam pasal 72 ayat 1 dan 2, yang berbunyi demikian:

Pasal 72

(1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak.

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.

Kesimpulannya adalah LSM merupakan salah satu bagian dari masyarakat, berarti LSM mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak.


(1)

membutuhkan pelayanan secara medis maka dapat dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit setempat. Jika korban kekerasan seksual mengalami gangguan secara psikologis maka korban seharusnya mendapat perlindungan dengan cara dapat dirujuk untuk dibawa kepada rumah sakit jiwa atau pskiater setempat, biasanya terdapat lembaga-lembaga yang secara terbuka mau menerima konseling, dan membantu korban memulihkan keadaan kejiwaannya atau mental yang mengalami tekanan akibat peristiwa-peristiwa seperti contohnya kekerasan seksual. Dan jika korban kekerasan seksual membutuhkan bantuan secara hukum, maka bentuk perlindungan terhadap korban yang seharusnya diberikan adalah adanya pendampingan untuk memproses secara hukum terkait kasus yang terjadi (adanya pendampingan di kepolisian, kejaksaan dan sidang di pengadilan), untuk bantuan secara hukum ini biasanya juga terdapat lembaga yang mau memberikan bantuan.

Anak sebagai sebagai korban kekerasan seksual memiliki hak-hak yang harus di tegakkan, dan hal itu sudah dituangkan dalam UU Perlindungan Anak, sebagai berikut:

Pasal 8

“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.”


(2)

Pasal 17

2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18

“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.”

E.Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Adapun ketentuan tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) penulis ambil berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990 tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat, yang di kemukakan sebagai berikut:

1. Pengertian LSM

Pengertian LSM adalah organisasi/ lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak dibidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/ lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitik beratkan kepada pengabdian secara swadaya.


(3)

2. Asas LSM

Asas dari LSM adalah:

a. Lembaga Swadaya Masyarakat berasaskan Pancasila

b. Asas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah asas dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.

3. Maksud dan Tujuan LSM

Pembinaan terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai Mitra Pemerintah dalam rangka mengembangkan, mendayagunakan peranan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam pembangunan secara swadaya dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan bertujuan agar keberadaan serta kegiatannya bermanfaat bagi kepentingan masyarakat dan sejalan dengan pembangunan di daerah, dalam lingkup pembangunan nasional.

4. Sifat LSM

Sifat dari LSM adalah sebagai berikut:

a. Organisasi tersebut memiliki keleluasan untuk mengembangkan dirinya dan menentukan pimpinan atau pengurusnya

b. Organisasi bisa berdasarkan minat, hobby, profesi, atau orientasi tujuan yang sama


(4)

5. Fungsi LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat berfungsi sebagai :

a. Wahana partisipasi masyarakat guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat

b. Wahana partisipasi masyarakat dalam pembangunan c. Wahana pembangunan keswadayaan masyarakat

d. Wahana pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi/ lembaga.

6. Hak dan Kewajiban LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat berhak:

a. Melaksanakan kegiatan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara

b. Mempertahankan hak hidupnya sesuai dengan tujuan yang ditetapkan organisasi/ lembaga

c. Mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga baik didalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan bidang kegiatannya yang dimiliki, tanpa ikatan yang dapat merugikan kepentingan nasional.

Lembaga Swadaya Masyarakat berkewajiban:

a. Menghayati, mengamalkan dan mengamankan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945


(5)

c. Tidak melaksanakan kegiatan politik praktis yang menjadi fungsi organisasi sosial politik

d. Memberitahukan keberadaannya kepada Menteri Dalam Negeri, Gubernur KDH Tingkat I, Bupati/ Walikota madya KDH Tingkat II, serta Menteri Tekhnis/ Pimpinan Lembaga Non Departemen dan jajarannya di daerah sesuai dengan domisili dan lokasi kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat.

7. Bentuk Kelembagaan LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat dapat berbentuk : a. Yayasan

b. Organisasi atau lembaga lainnya.

8. Dana dan Sumber Daya

a. Dalam melaksanakan kegiatannya Lembaga Swadaya Masyarakat mempunyai sumber keuangan atas prinsip kemampuan sendiri.

b. Lembaga Swadaya Masyarakat dapat menerima bantuan dari pihak ketiga baik dalam negeri maupun dari luar negeri, tanpa ikatan yang dapat merugikan kepentingan nasional.

c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang menerima bantuan dari luar negeri berupa dana, tenaga ahli, peralatan dan jasa harus melalui prosedure dan ketentuan peraturan


(6)

perundang-undangan yang berlaku serta digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat Bangsa Indonesia sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan nasional.

Terkait peran LSM dalam perlindungan anak di dalam UU Perlindungan Anak hal itu di atur dalam pasal 72 ayat 1 dan 2, yang berbunyi demikian:

Pasal 72

(1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak.

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.

Kesimpulannya adalah LSM merupakan salah satu bagian dari masyarakat, berarti LSM mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak.


Dokumen yang terkait

PERAN YAYASAN KAKAK DAN STAKEHOLDERS DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI KOTA SURAKARTAPERAN YAYASAN KAKAK DAN STAKEHOLDERS DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI KOTA SURAKARTA.

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Kekerasan terhadap Anak dalam Film “Elif” T1 362012086 BAB I

0 1 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Kekerasan terhadap Anak dalam Film “Elif” T1 362012086 BAB II

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Kekerasan terhadap Anak dalam Film “Elif” T1 362012086 BAB IV

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Kekerasan terhadap Anak dalam Film “Elif” T1 362012086 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Iklan Layanan Masyarakat “Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak” T1 362010035 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Iklan Layanan Masyarakat “Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak” T1 362010035 BAB II

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Yayasan Kakak dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Yayasan Kakak dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak T1 312009011 BAB I

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Yayasan Kakak dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak T1 312009011 BAB IV

0 0 2