Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Kekerasan terhadap Anak dalam Film “Elif” T1 362012086 BAB II

(1)

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Film

Film merupakan media unik yang berbeda dengan bentuk-bentuk kesenian lainnya seperti seni lukis, seni pahat, seni musik, seni patung, seni tari dan cabang seni lainnya. Ini disebabkan oleh film merupakan perpaduan antara berbagai seni yang pernah ada. Film sebagai salah satu media yang berkarakteristik massa, yang merupakan kombinasi antara gambar-gambar bergerak dan perkataan serta suara. Film juga diartikan sebagai rekaman segala macam gambar hidup atau bergerak, dengan atau tanpa suara, yang dibuat di atas pita seluloid, jalur pita magnetic, piringan audio visual, dan atau benda hasil teknik kimiawi atau elektronik lainnya yang mungkin ditemukan oleh kemajuan teknologi dalam segala bentuk jenis dan ukuran baik hitam maupun putih atau berwarna yang dapat disajikan dan atau dipertunjukkan kembali sebagai tontonan di atas layar proyeksi atau layar putih atau layar TV dengan menggunakan sarana-sarana mekanis dari segala macam bentuk peralatan proyeksi (Effendi 2003: 208). UU No 8 tahun 1992 pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya ( Tjasmadi, 2008 ; 7).

Pengertian di atas mengungkapkan bahwa film merupakan sebuah proses penggambaran budaya masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup. Sebagai sebuah proses, banyak aspek yang tertuang dalam sebuah film. Film juga identik sebagai sebuah hasil karya seni yang melibatkan sejumlah orang, modal serta manajemen. Dari proses pembuatannya, film merupakan komoditi untuk dikonsumsi masyarakat luas. Dilihat dari sudut pandang manapun, film merupakan acuan tentang berbagai hal. Film merupakan karya seni ciptaan manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan.


(2)

2.1.1. Film Sebagai Media Komunikasi

Dari awal pemunculan film sampai sekarang, banyak bermunculan cara – cara yang makin terampil dalam membuat, meramu segala unsur untuk membentuk sebuah film. Turner dalam ( Widiyaningrum, 2012 :17 ) menjelaskan bahwa film sebagai media komunikasi, tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi yang lain. Film hanya mengkonstruksi dan “menghadirkan kembali” gambaran dari realitas melalui kode – kode, konvensi – konvensi, mitos dan ideologi – ideologi dari kebudayaannya sebagai cara praktik signifikasi yang khusus.

Dalam pembuatan film, diperlukan proses pemikiran dan proses teknis. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang akan dikerjakan. Sedangkan proses teknis berupa ketrampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton. Oleh karena itu suatu film terutama film cerita dapat dikatakan sebagai wahana penyebaran nilai – nilai ( Effendy, 2003 : 16 ).

Sebagai media komunikasi, film memberikan pengaruh yang besar bagi penonton. Pengaruh yang diberikan tidak hanya pada saat menonton film namun dapat mempengaruhi penontonnya meskipun film telah selesai ditonton. Penonton biasanya menirukan adegan atau gaya yang ditampilkan oleh para aktor dari film yang ditonton. Dengan demikian kita dapat merasakan bahwa film mempunyai kekuatan serta pengaruh yang sangat besar, sumbernya terletak pada perasaan emosi penontonnya (Effendy, 2003: 208).

2.2. Representasi

Representasi didefinisikan sebagai pemakaian atau penggunaan tanda-tanda untuk menampilkan kembali sesuatu yang diserap oleh indera, atau yang dirasakan dalam bentuk fisik (Adji & Peni, 2010 : 03). Representasi juga dapat diartikan sebagai proses perekonstruksian dunia dan proses memaknainya, representasi merupakan penggambaran dari sebuah makna (Maluda, 2014 : 34). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, representasi diartikan sebagai gambaran atau perwakilan


(3)

(Dahlan & Barry, 1994: 574). Dengan demikian representasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kekerasan terhadap anak yang terdapat dalam film“Elif”.

Representasi merupakan konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia, seperti dialog, tulisan, video, film, fotografi. Representasi berarti memproduksi makna dengan menggunakan bahasa untuk menyampaikan sesuatu yang bermakna atau untuk mewakili sesuatu dengan penuh arti kepada orang lain. Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negoisasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru (Fachruddin, 2011: 21). Istilah representasi sendiri merujuk pada bagaimana seseorang atau kelompok, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam sebuah pemberitaan. Mengingat akan hal ini maka ada 2 hal penting yang perhatikan dalam representasi. Pertama, apakah seseorang, kelompok atau gagasan tertentu ditampilkan sebagaimana mestinya dan yang kedua adalah bagaimana representasi tersebut ditampilkan melalui kata, kalimat, aksentuasi, foto dan lainnya ( Eriyanto, 2001 : 113 ).

2.2.1. Representasi Dalam Media Massa

Kata representasi merujuk kepada penggambaran. Namun demikian kata itu tidak hanya sekadar tentang penampilan di permukaan tapi juga menyangkut tentang makna yang dikonstruksi di baliknya. Jadi, representasi itu menyangkut pada proses pembuatan makna. Melalui media massa kita diberikan representasi tentang dunia dan bagaimana cara kita nantinya akan memahami dunia ( Maluda, 2014 :34 ). Adakalanya representasi dibuat dengan suatu tujuan tertentu sehingga tanpa disadari bentuk - bentuk representasi tersebut dianggap sebagai suatu „kebenaran‟ dalam realitas ( Burton, 2007 : 269 ).

2.2.2. Level Representasi

Fiske ( dalam Eriyanto, 2001 : 114 ), mengungkapkan bahwa persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana suatu realitas ditampilkan. Dalam menampilkan suatu peristiwa, objek , gagasan, seseorang ataupun kelompok, ada beberapa proses yang dihadapi :


(4)

 Level pertama yakni peristiwa yang ditandakan ( encode ) sebagai realitas. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana sebuah peristiwa dikonstruksi sebagai realitas oleh media. Dalam bahasa gambar ( terutama televisi ) hal ini pada umumnya dapat berupa pakaian, lingkungan, ucapan, serta ekspresi.

 Level kedua yakni bagaimana realitas itu digambarkan. Dalam media ( terutama televisi ) hal ini digambarkan melalui pemakaian kata, kalimat atau proposisi tertentu yang membawa makna tertentu ketika diterima oleh khalayak.

 Pada level ketiga yakni bagaimana sebuah peristiwa atau realitas dikonvesi ke dalam kode - kode yang dapat diterima secara logis, bagaimana kode–kode representasi dihubungkan dan diorganisassikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan yang dominan yang ada dalam masyarakat.

Ketiga level yang menjadi persoalan utama dalam representasi tersebut lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut :


(5)

Tabel 2.2.2

Persoalan Utama Dalam Representasi Level

Pertama

Realitas

( Dalam bahasa tertulis seperti dokumen, wawancara, transkip dan lainnya, sedangkan dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerak – gerik, ekspresi, intonasi, ucapan dan tekanan

suara). Level

Kedua

Representasi

( Elemen – elemen pada level pertama ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tertulis seperti kata, proposdisi, kalimat, caption, foto, grafik dan lainnya, sedangkan dalam televisi seperti kamera,

tata cahaya, editing, musik latar dan sebagiannya). Level

Ketiga

Ideologi

Semua elemen diorganisasikan ke dalam koherensi dan ideologi – ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriaki,

ras , kelas, materialisme, kapitalisme dan sebagiannya. Sumber : Eriyanto, 2001, Hal 116.

Representasi sendiri terdiri dari duakomponen yang penting yakni konsep dalam pemikiran dan bahasa, dimana kedua komponen ini saling berelasi. Konsep yang kita miliki dalam pikiran kita membuat kita mengetahui makna dari hal tersebut, namun makna tidak dapat dikomunikasikan tanpa bahasa, oleh karena itu representasi menggunakan pendekatan konstruksionis yang berargumen bahwa makna dikonstruksi melalui bahasa, sehingga konsep ( dalam pemikiran ) dan tanda ( bahasa ) menjadi bagian penting yang digunakan dalam proses konstruksi atau produksi makna ( Hall, 2003 : 17). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa representasi adalah proses memproduksi makna dari konsep yang ada di pikiran kita melalui bahasa.

Konsep representasi dalam penelitian ini yaitu bagaimana dalam film

“Elif” menunjukkan pandangan dan memberi gambaran mengenai kekerasan pada anak yang diproduksi dan dikonstruksi. Alat-alat representasi dalam film ini yaitu Elif sebagai korban kekerasan, serta pemeran lainnya sebagai tokoh pelaku kekerasan dalam film ini, aksesoris yang digunakan baik dari


(6)

penampilan, kostum, tata rias, lingkungan, tingkah laku, cara bicara, gerak tubuh, ekspresi, suara, kamera, cahaya, editing, musik, dialog yang menandai adanya kekerasan terhadap anak dalam film ini.

2.3.Semiotika Komunikasi.

Tanda merupakan basis dari seluruh proses komunikasi. Dengan perantaraan tanda – tanda, banyak hal yang bisa kita komunikasikan ( Sobur, 2009 : 15 ). Semiotika biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda – danda, yang pada dasarnya merupakan studi atas kode – kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang idenentitias tertentu sebagai tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna ( Budiman, 2011 : 3 ).

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Keberadaannya mampu menggantikan sesuatu yang lain, dapat dipikirkan, atau dibayangkan. Semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Ada kecenderungan bahwa manusia selalu mencari arti atau berusaha memahami segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dan dianggapnya sebagai tanda. Pemaknaan terhadap dunia tanda pada tingkat yang paling rendah adalah pemaknaan secara lugas, yakni menginterpretasikan berdasarkan asal makna tanda tersebut ( Sobur, 2009 : 15 ).

2.3.1. Semiotika Model John Fiske

“Semiotik Dalam Film” Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan, sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik (Fiske, 2006:9). Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain yang membentuk sebuah sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartley, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga


(7)

bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode–kode (Budiman, 2011 : 61) Menurut James Monaco ( dalam Budiman, 2011 :63 ), mengatakan bahwa film tidak mempunyai gramatika, untuk itu ia menawarkan kritik bahwa teknik yang digunakan dalam film dan gramatika pada sifat kebahasaannya adalah tidak sama. Tidak cukup menggunakan kajian linguistik untuk menganalisa sebuah film, karena film terdiri dari kode – kode yang beraneka ragam. Penerapan Semiotik pada film, berarti perlu memperhatikan aspek medium film yang berfungsi sebagai tanda, dalam hal ini pengambilan kamera ( Shot ) dan kerja kamera (camera work), Efek kamera, efek suara, intonasi, kata , kalimat, intonasi, gerak tubuh dan lainnya. Dengan cara ini, peneliti mengamati tanda- tanda yang mengandung makna sebagai bentuk kekerasan terhadap anak dalam film “ Elif “ yang hendak diteliti.

2.3.2. Semiotika Dalam Film

Film merupakan transformasi dari gambaran-gambaran kehidupan manusia. Kehidupan manusia penuh dengan simbol yang mempunyai makna dan arti berbeda, dan lewat simbol tersebut film memberikan makna yang lain lewat bahasa visualnya. Film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang khas, yang dikomunikasikan dengan kemahiran mengekspresikan image yang ditampilkan dalam film yang kemudian menghasilkan makna tertentu yang sesuai konteksnya. Tidaklah mengherankan bahwa film merupakan bidang kajian penerapan semiotika, film dibangun dengan tanda – tanda tersebut termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Film menjadi media yang menarik untuk dijadikan bahan kajian yang mempelajari berbagai hal di dalamnya. Film memberikan

makna – makna sehingga film dapat dijadikan media untuk

mengkonstruksikan pandangan seseorang terhadap suatu kejadian di masyarakat.

Film memiliki dua unsur utama di dalamnya yaitu gambar dan dialog. Film disini dapat disebut sebagai citra ( image ) berbentuk visual bergerak dan suara dalam dialog di dalamnya. Citra menurut Barthes merupakan amanat ikonik ( iconic massage ) yang dapat dilihat berupa adegan ( Scenee ) yang


(8)

terekam. Kode – kode dalam film terbentuk dari kondisi sosial budaya dimana film itu dibuat, serta sebaliknya kode tersebut dapat berpengaruh pada masyarakatnya ketika seseorang melihat film, ia memahami gerakan, aksen, dialog, dan lainya, kemudian disesuaikan dengan karakter untuk memperoleh posisi dalam struktur kelas atau dengan mengkonstruksikan apa yang dilihat dalam film dengan lingkungannya ( Sobur 2009 : 127 ).

2.4. Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan dapat diartikan sebagai hal yang bersifat keras atau perbuatan seseorang maupun kelompok yang menyebabkan cideranya seseorang atau menyebabkan kematian. Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis serta kekerasan seksual ( Saraswati, 2006 : 485 ). Dengan demikian apabila menghubungkan antara kekerasan dengan anak – anak sebagai objeknya maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan tindakan yang bersifat keras yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap anak – anak sebagai korban. Kekerasan yang dilakukan dapat berupa kekerasan fisik, psikis serta kekerasan seksual.

Lebih lanjut, Saraswati ( 2006 ) menjelaskan bentuk – bentuk kekerasan sebagai berikut :

2.4.1. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah suatu tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau cacat secara fisik terhadap seseorang. Kekerasan fisik dapat berbentuk menampar, menjambak, mendorong. Bentuk kekerasan seperti ini biasanya menyebabkan luka ringan bagi korbannya sehingga disebut dengan kekerasan fisik ringan, sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan fisik berat adalah kekerasan fisik yang dapat menimbulkan kematian seperti memukul dengan benda keras, menendang, melakukan percobaan pembunuhan dengna senjata terhadap seseorang.

2.4.2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah suatu tindakan yang menyebabkan ketakutan, hilangnnya rasa percaya diri, hilangnnya kemampuan untuk bertindak, menimbulkan rasa tidak berdaya serta memberikan tekanan psikis yang berat


(9)

terhadap sesorang. Kekerasan ini mencakup penyiksaan secara emosional serta verbal terhadap korban, yang berujung pada kerusakan mental dari korban. Kekerasan seperti ini dapat berupa pengekangan yang berlebihan, over protektif, perkataan yang terlalu kasar dan lainnya.

2.4.3. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual dapat berupa tindak pemaksaan terhadap seseorang untuk melakukan hubungan seks. Bentuk kekerasan ini adalah pemerkosaan, melakukan hubungan seks dengan fantasi – fantasi yang berujung pada perlakuan kasar terhadap pasangan, serta merugikan patner dari suatu hubungan seks.

2.4.4. Kekerasan Sosial

Kekerasan sosial terhadap anak yaitu penelantaran dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuh kembang anak. (Abdullah 2010 : 66) .

2.5. Penelitian Terdahulu.

Pokok bahasan mengenai kekerasan dalam film bahkan kekerasan terhadap anak dalam film merupakan hal yang sering diteliti atau didalami. Sekalipun telah banyak penelitian mengenai kekerasan dalam media terutama terhadap anak, namun bagi peneliti hal ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelitian pada tema atau topik tersebut.

Kedua penelitian terdahulu tersebut memberikan gambaran serta pemahaman konsep yang cukup jelas bagi peneliti mengenai hal – hal yang berhubungan dengan kekerasan terhadap anak dalam film, sehingga penelitih lebih mengenal dan memahami bentuk – bentuk kekerasan terhadap anak dalam media, khususnya dalam film.

Media semakin berkembang, hal-hal yang disajikan oleh media terutama film, turut mengalami perubahan. Sekalipun dengan tema yang sama, namun apabila diteliti pada waktu yang berbeda, tentunya akan ditemukan pula hal – hal yang berbeda. Dengan demikian penulis melampirkan beberapa penelitian sebelumnya


(10)

yang juga membahas tentang kekerasan dalam film pada umumnya serta kekerasan terhadap anak dalam film

2.5.1. Representasi Kekerasan Terhadap Anak ( Analisis Semiotika Dalam Film Alangkah Lucunya Negeri Ini ).

Penelitian ini dilakukan oleh Vetriani Maluda pada tahun 2014. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak ditonjolkan dalam film ini. Selain kekerasan fisik ada juga ancaman – ancaman terhadap anak – anak yang dilakukan oleh Bang Jarot.

2.5.2. Representasi Kekerasan Anak Di Media ( Studi Semiotika Kekerasan Pada Anak Yang Direpresentasikan Dalam Film Slumdog Millionaire ).

Penelitian ini dilakukan oleh Diyah Ayu Iswari pada tahun 2010. Melalui penelitiannya ditemukan kekerasan terhadap anak-anak gelandangan di India yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, warga sipil, sesama anak gelandangan, preman juga saudara. Dimana kehidupan anak-anak gelandangan sangat memprihatinkan, dari umur yang sangat belia harus hidup sendiri dan menerima perlakukan yang tidak manusiawi tanpa adanya perlindungan dari Negara. Salah satu penderitaan yang mereka terima ialah mengalami kekerasan dari kekerasan simbolik hingga kekerasan fisik.

2.6. Kerangka Pikir

Semiotika adalah studi mengenai tanda dan cara tanda-tanda tersebut bekerja, kedua kata tersebut memiliki definisi yang sama, walaupun penggunaan salah satunya biasanya menunjukan mengenai pemikiran penggunanya. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana kekerasan digambarkan serta bentuk dari kekerasan itu sendiri dalam film “Elif”. Maka dari itu, peneliti menggunakan model John Fiske sebagai pisau analisis.

Semiotik yang dikaji oleh John Fiske antara lain membahas pertandaan dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, dan bagaimana makna dibangun dalam teks media, atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna dalam suatu objek yang peneliti akan teliti.


(11)

Dari peta John Fiske di atas diadaptasi bahwa sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri (objek), dan ini dipahami oleh seseorang, dan ini memiliki efek di benak penggunanya (interpretant). Fiske berpendapat bahwa realitas adalah produk yang dibuat oleh manusia. Dari ungkapan tersebut diketahui bahwa Fiske berpandangan apa yang ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah merupakan realitas sosial.

Dengan demikian maka kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :


(12)

Bagan 2.5. Kerangka Pikir.

Film Elif

Semiotika Model Jhon Fiske

Level Realitas

Level Representasi

Level Ideologi

Representasi Kekerasan Dalam Film Elif ( Fisik, Psikis, Seksual &


(13)

(1)

terekam. Kode – kode dalam film terbentuk dari kondisi sosial budaya dimana film itu dibuat, serta sebaliknya kode tersebut dapat berpengaruh pada masyarakatnya ketika seseorang melihat film, ia memahami gerakan, aksen, dialog, dan lainya, kemudian disesuaikan dengan karakter untuk memperoleh posisi dalam struktur kelas atau dengan mengkonstruksikan apa yang dilihat dalam film dengan lingkungannya ( Sobur 2009 : 127 ).

2.4. Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan dapat diartikan sebagai hal yang bersifat keras atau perbuatan seseorang maupun kelompok yang menyebabkan cideranya seseorang atau menyebabkan kematian. Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis serta kekerasan seksual ( Saraswati, 2006 : 485 ). Dengan demikian apabila menghubungkan antara kekerasan dengan anak – anak sebagai objeknya maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan tindakan yang bersifat keras yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap anak – anak sebagai korban. Kekerasan yang dilakukan dapat berupa kekerasan fisik, psikis serta kekerasan seksual.

Lebih lanjut, Saraswati ( 2006 ) menjelaskan bentuk – bentuk kekerasan sebagai berikut :

2.4.1. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah suatu tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau cacat secara fisik terhadap seseorang. Kekerasan fisik dapat berbentuk menampar, menjambak, mendorong. Bentuk kekerasan seperti ini biasanya menyebabkan luka ringan bagi korbannya sehingga disebut dengan kekerasan fisik ringan, sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan fisik berat adalah kekerasan fisik yang dapat menimbulkan kematian seperti memukul dengan benda keras, menendang, melakukan percobaan pembunuhan dengna senjata terhadap seseorang.

2.4.2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah suatu tindakan yang menyebabkan ketakutan, hilangnnya rasa percaya diri, hilangnnya kemampuan untuk bertindak,


(2)

terhadap sesorang. Kekerasan ini mencakup penyiksaan secara emosional serta verbal terhadap korban, yang berujung pada kerusakan mental dari korban. Kekerasan seperti ini dapat berupa pengekangan yang berlebihan, over protektif, perkataan yang terlalu kasar dan lainnya.

2.4.3. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual dapat berupa tindak pemaksaan terhadap seseorang untuk melakukan hubungan seks. Bentuk kekerasan ini adalah pemerkosaan, melakukan hubungan seks dengan fantasi – fantasi yang berujung pada perlakuan kasar terhadap pasangan, serta merugikan patner dari suatu hubungan seks.

2.4.4. Kekerasan Sosial

Kekerasan sosial terhadap anak yaitu penelantaran dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuh kembang anak. (Abdullah 2010 : 66) .

2.5. Penelitian Terdahulu.

Pokok bahasan mengenai kekerasan dalam film bahkan kekerasan terhadap anak dalam film merupakan hal yang sering diteliti atau didalami. Sekalipun telah banyak penelitian mengenai kekerasan dalam media terutama terhadap anak, namun bagi peneliti hal ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelitian pada tema atau topik tersebut.

Kedua penelitian terdahulu tersebut memberikan gambaran serta pemahaman konsep yang cukup jelas bagi peneliti mengenai hal – hal yang berhubungan dengan kekerasan terhadap anak dalam film, sehingga penelitih lebih mengenal dan memahami bentuk – bentuk kekerasan terhadap anak dalam media, khususnya dalam film.

Media semakin berkembang, hal-hal yang disajikan oleh media terutama film, turut mengalami perubahan. Sekalipun dengan tema yang sama, namun apabila diteliti pada waktu yang berbeda, tentunya akan ditemukan pula hal – hal yang berbeda. Dengan demikian penulis melampirkan beberapa penelitian sebelumnya


(3)

yang juga membahas tentang kekerasan dalam film pada umumnya serta kekerasan terhadap anak dalam film

2.5.1. Representasi Kekerasan Terhadap Anak ( Analisis Semiotika Dalam Film Alangkah Lucunya Negeri Ini ).

Penelitian ini dilakukan oleh Vetriani Maluda pada tahun 2014. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak ditonjolkan dalam film ini. Selain kekerasan fisik ada juga ancaman – ancaman terhadap anak – anak yang dilakukan oleh Bang Jarot.

2.5.2. Representasi Kekerasan Anak Di Media ( Studi Semiotika Kekerasan Pada Anak Yang Direpresentasikan Dalam Film Slumdog Millionaire ).

Penelitian ini dilakukan oleh Diyah Ayu Iswari pada tahun 2010. Melalui penelitiannya ditemukan kekerasan terhadap anak-anak gelandangan di India yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, warga sipil, sesama anak gelandangan, preman juga saudara. Dimana kehidupan anak-anak gelandangan sangat memprihatinkan, dari umur yang sangat belia harus hidup sendiri dan menerima perlakukan yang tidak manusiawi tanpa adanya perlindungan dari Negara. Salah satu penderitaan yang mereka terima ialah mengalami kekerasan dari kekerasan simbolik hingga kekerasan fisik.

2.6. Kerangka Pikir

Semiotika adalah studi mengenai tanda dan cara tanda-tanda tersebut bekerja, kedua kata tersebut memiliki definisi yang sama, walaupun penggunaan salah satunya biasanya menunjukan mengenai pemikiran penggunanya. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana kekerasan digambarkan serta bentuk dari kekerasan itu sendiri dalam film “Elif”. Maka dari itu, peneliti menggunakan model John Fiske sebagai pisau analisis.

Semiotik yang dikaji oleh John Fiske antara lain membahas pertandaan dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, dan bagaimana makna dibangun dalam teks media, atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna dalam suatu objek yang peneliti akan teliti.


(4)

Dari peta John Fiske di atas diadaptasi bahwa sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri (objek), dan ini dipahami oleh seseorang, dan ini memiliki efek di benak penggunanya (interpretant). Fiske berpendapat bahwa realitas adalah produk yang dibuat oleh manusia. Dari ungkapan tersebut diketahui bahwa Fiske berpandangan apa yang ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah merupakan realitas sosial.

Dengan demikian maka kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :


(5)

Bagan 2.5. Kerangka Pikir.

Film Elif

Semiotika Model Jhon Fiske

Level Realitas

Level Representasi

Level Ideologi

Representasi Kekerasan Dalam Film Elif ( Fisik, Psikis, Seksual &


(6)