Teori Hukum Suatu pengantar yang disadur

Teori Hukum; suatu pengantar
“... practioners with a knowledge of legal theory are better equipped than those who lack it”
(Ian McLeod, Legal theory, Hal. 9)

Sebagai pengantar dalam memahami suatu disiplin ilmu tentulah pembahasan
mengenai definisi tak dapat di hindarkan. Permasalahannya, untuk memberikan definisi yang
singkat, sederhana dan definitf tetapi kompherensif tidaklah mudah. Terlebih hal ini
diaminkan dengan pernyataan Ian Gijssels yang menyatakan “teori hukum sebagai ilmu
pengetahuan yang baru, pada umumnya, menunjukkan profile yang tidak jelas”. Oleh karena
itu, ada baiknya untuk memulai pemahaman mengenai teori hukum dimulai dengan
pelacakan peristilahan yang biasanya digunakan diberbagai literatur.
Kata teori hukum adalah terjemahan “legal theory”, “rechtstheorie”. Hal ini bisa kita
temukan dalam penggunaannya yang digunakan oleh Friedmann (1970), Finch (1979),
Gijssels (1982). Selain itu, ada juga yang menyebutnya sebagai “jurisprudence” (Paton 1951,
Posner, 1990). Bahkan ada juga yang menyebutnya “legal philosophy” (Kelsen 1917), dan
“theory of justice” (Rawls 1972, baca selanjutnya Mcleod, 1992:2, Lily Rasjidi, 1990:1).
Jadi kata-kata ”legal theory”, “jurisprudence” dan “legal philoshopy” digunakan silih
berganti, “bercampur aduk”, dengan cara yang menunjukkan adanya tumpang tindih satu
sama lain. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena antara ketiganya memang ada kaitan
satu sama lain. sekalipun demikian, ketiganya dapat dibedakan (McLeod 1999:2,11).
Berbicara mengenai teori hukum berarti juga berbicara tentang ilmu hukum. Akan

tetapi perlulah dipahami bahwa teori hukum tidaklah sama dengan ilmu hukum. Mengapa
demikian? Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ilmu hukum, yang semula di kenal
dengan ajaran hukum (rechtsleer), sering disebut juga dogmatik hukum, mempelajari hukum
positif (ius contitutum). Adapun yang di maksud dengan hukum positif ialah suatu tatanan
kaidah yang menentukan bagaimana suatu kehidupan bersama atau masyarakat tertentu pada
suatu waktu diatur, dan bagaimana seyogyanya orang itu berperilaku satu sama lain, maupun
terhadap masyarakat, atau sebaliknya. singkatnya, hukum postif ialah hukum yang berlaku di
suatu tempat tertentu dan di waktu tertentu (sekarang). Sebagai lawan dari ius constitutum
adalah ius constituendum, yaitu hukum yang akan datang, yang dicita-citakan. Hukum postif
mengatur manusia tidak sebagai individu tetapi sebagai mahkluk sosial.
Sedangkan teori hukum berkenaan dengan ilmu hukum. Dengan perkataan lain, ilmu
hukum ialah objek teori hukum. Sebagai teori hukum yang obyeknya ilmu hukum, maka teori
hukum disebut sebagai meta teorinya ilmu hukum (baca juga bruggink, 1999:172). Teori
hukum berhubungan dengan hukum pada umumnya, bukan mengenai hukum disuatu tempat
dan disuatu waktu (hukum positif) seperti halnya ilmu hukum.

Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasam. Kata teori
dalam Teori hukum dapat diartikan sebagai kesatuan pandang, pendapat, dan pengertianpengertian yang berhubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga
memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji (Gijssels,1982:134)
Teori hukum digunakan untuk menyelesaikan masalah- masalah hukum positif

tertentu yang mendasar, misalnya schutznormtheorie, imputationtheorie, teori-teori tentang
saat terjadinya kata sepakat, resiko, mengikatnya perjanjian, kesesatan, dan sebagainya. Itu
semua berkaitan dengan masalah-masalah hukum postif, tetapi jawabannya tidak dicari atau
dikemukakan dalam hukum positif.
Beda yang nyata antara Teori hukum dan Ilmu hukum menurut Mcleod ialah bahwa
Teori hukum “is painted on a large canvas” (1998:2), yang berarti bahwa pertanyaanpertanyaan dan objek teori hukum lebih luas dan teoritis sifatnya daripada ilmu hukum.
Sebagai contoh konkret: Seorang ahli hukum praktik (dogmaticus) pidana akan menanyakan
“apakah pencurian itu?”, maka pertanyaan ini terjawab didalam hukum positif (pasal 362
KUHP) yaitu “mengambil barang orang lain dengan jalan melawan hukum”. Seorang ahli
teori hukum sebaliknya, lebih jauh lagi, menanyakan “apakah yang membuat larangan
mencuri merupakan (perbuatan melawan hukum) masalah hukum? Maka terhadap jawaban
dari pertanyaan tersebut tidak kita jumpai di dalam hukum positif.
Jadi, ilmu hukum berkenaan dengan hukum positif atau praktik hukum. Pertanyaanpertanyaan ilmu hukum hanya dapat dijawab oleh hukum positif. karena obyeknya
merupakan hukum postif atau praktik hukum, yang terdiri dari norma serta penyelesaian
masalah-masalah hukum konkret, maka ilmu hukum bersifat normatif (terdiri dari normanorma) dan mengandung nilai (bersifat preskriptif) serta bersifat prakatis-konkret (karena
merupakan pemecahan masalah konkret).
Tujuan mempelajari ilmu hukum pada dasarnya adalah menguasai the power of
solving legal problem. Kemampuan memecahkan masalah-masalah hukum ini meliputi
kemampuan untuk membuktikan peristiwa konkret (demonstrating of facts), merumuskan
masalah hukum, yaitu mengubah peristiwa hukum konkret menjadi peristiwa hukum (legal

problem identifications), menetapkan atau memecahkan masalah-masalah hukum (legal
problem solving), dan akhirnya mengambil putusan (decision making). Jadi, peristiwa konkret
yang harus diselesaikan itu harus dibuktikan terlebih dahulu, harus dinyatakan terbukti atau
dikonstatasi. Kemudian peristiwa konkret yang telah dibuktikan atau dikonstatasi harus
dikualifikasi atau diidentifikasi menjadi peristiwa hukum, harus diterjemahkan dalam bahasa
hukum dan akhirnya harus diambil kesimpulan.
Adapun tujuan mempelajari teori hukum adalah pengendapan atau pendalaman
metodologis pada dasar dan latar belakang dalam mempelajari hukum dalm arti yang luas.
Agar memperoleh pengetahuan yang lebih baik dan uraian yang lebih jelas tentang bahanbahan yuridis (Gijssels, 1982;117). Dikarenakan tujuan memperlajari teori hukum demikian,
pengendapan metodologis, sehingga problematik atau permasalahan teori hukum ialah
“bagaimana (caranya) hakim, pembentuk undang-undang, dan ilmuwan bekerja? Metode
apakah yang digunakan oleh hakim, pembentuk undang-undang, dan ilmuwan?

Lalu apakah manfaat mempelajari teori hukum? Dengan pengendapan secara
metodologis dalam mempelajari ilmu hukum akan diperoleh pengetahuan yang lebih baik,
uraian yang lebih jelas, serta wawasan yang lebih luas. Praktisi hukum (dogmaticus) dengan
pengetahuan teori hukum lebih siap (“equiped”) daripada mereka yangtidak dilengkapi
dengan pengetahuan tentang teori hukum.
Dengan bekal teori hukum, sarjana hukum, terutama yang bekerja dibidang
profesinya, akan diperluas dan diperdalam wawasannya mengenai hukum.

Dalam mempraktekkan hukum: menemukan hukum, menerapkan, dan menjatuhkan
putusan; kemudian dengan mengatur kegiatan kehidupan masyarakat dengan membentuk
kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum, manusia melakukan apa yang disebut oleh
Van Apeldoorn, ialah rechtskunst atau “seni hukum” ( 1954:316). Praktek hukum merupakan
olah seni hukum. Seni hukum ialah cara khas atau kiat yang didorong oleh pilihan antara
yang baik dan yang buruk dalam mengolah, menggarap, melaksanakan, menemukan atau
menerapkan hukum, sehingga menghasilkan karya di bidang hukum yang bermutu atau
mempunyai wibawa dalam bentuk putusan atau undang-undang. Seni hukum atau rechtskunst
meliputi peradilan atau pemecahan konflik dan pembentukan undang-undang.
Disamping berolah seni hukum, manusia mengamati dan mengumpulkan kaidahkaidah atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku di dalam masyarakat serta penyelesaian
konflik yang berlaku di dalam masyarakat (hasil “berolah seni”), mensistematiskannya,
menafsirkannya, dan menjelaskannya, yang hasilnya merupakan ilmu. Dalam hal ini ia
“berolah ilmu”, mengumpulkan pengetahuan mendalami ilmu dan menciptakan teori-teori.
Dulu ilmu hukum dikenal dengan nama rechtleer atau ajaran hukum. Ilmu hukum
yang kita pelajari selama ini merupakan ilmu (hukum) peradilan (rechtspraakwetenschap),
yaitu bahwa dalam kita mempelajari ilmu hukum ibaratnya kita menggunakan kacamata
hakim, melakukan pendekatan seperti seorang hakim yang memeriksa perkara. Dalam kita
mempelajari ilmu hukum pada umumnya kita dihadapkan pada masalah hukum atau konflik
konkret untuk dicari penyelesaiannya dengan mencari hukumnya, seperti apa yang dilakukan
oleh hakim. Pertanyaan yang dihadapi hakim ialah: “bagaimana saya harus memecahkan

peristiwa atau konflik konkret yang saya hadapi ini? Apakah dasar hukumnya? (Noll dalam
v. Valden, 1988:21). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, seperti yang telah dikemukakan
diatas maka hakim atau sarjana hukum harus menguasai “the power of solving legal
problems”. Untuk itu ia harus mampu membuktikan terlebih dahulu peristiwa konkretnya
(demonstrating of facts), kemudian harus merumuskan atau mengindentifikasi peristiwa atau
masalah hukumnya dari peristiwa konkret yang telah dibuktikan (legal problem
identification), menyeleksi masalah-masalah hukumnya (legal problem solving) dan akhirnya
mengambil keputusan (decision making).