Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
(2)
P EN GAN TAR ILMU
H U KU M TATA N EGARA
J ILID I
TID AK D IP ERJ U ALBELIKAN
Persem bahan
MAH KAMAH KON S TITU S I REP U B LIK IN D ON ES IA
(3)
P EN GAN TAR ILMU
H U KU M TATA N EGARA
J ILID I
Pen erbit
S e kre ta ria t Je n d e ral d an Ke p a n ite ra a n Ma h ka m a h Ko n s titu s i RI
J akarta, 20 0 6
H U KU M TATA N EGARA J ILID I
Asshiddiqie, J im ly
J akarta: Sekretariat J en deral dan Kepaniteraan MK RI Cetakan Pertam a, J uli 20 0 6
xvi + 38 1 hlm ; 14 x 21 cm
1. H ukum Tata Negara 2. Konstitusi
H ak cipta dilindungi oleh Un dang-undang
All right reserved
Hak Cipta @ J im ly Asshiddiqie
Ce ta ka n P e rta m a, J uli 20 0 6
Koreksi naskah:
Mucham ad Ali Safa’at dan Pan Moham ad Faiz Rancang Sam pul : Abiarsya
setting lay out : Ery SP, M. Azis H akim , Irvan A. In deks : Subhan H ariri
Penerbit:
S e kre ta ria t J e n d e ra l d a n Ke p a n ite ra a n Ma h ka m a h Ko n s titu s i RI
J l. Medan Merdeka Barat No. 7 J akarta Pusat 10 110 Telp. (0 21) 3520 173, 3520 78 7 Ext. 213
(4)
Pasca perubahan UUD 1945, Ilm u H ukum Tata Negara m en galam i perkem ban gan yang sangat pesat. Berbagai perubahan ketatan egaraan m en gharuskan ada-n ya peada-n gkajiaada-n yaada-n g lebih luas daada-n m eada-ndalam . Apalagi saat ini norm anorm a tersebut berada dalam proses kon -solidasi un tuk m enyesuaikan sistem aturan dan sistem kelem bagaan yan g telah ada dan dibuat sebelum peru-bahan UUD 1945.
Proses pelaksanaan norm a-norm a dasar dalam UUD 1945 dalam praktik m em butuhkan wawasan dan m edan pengalam an. Oleh karena itu diperlukan perspek-tif keilm uan yang m erupakan sublim asi dari pen galam an berbagai n egara sebagai keran gka dan altern atif pilihan pelaksan aan norm a-n orm a dasar dalam UUD 1945.
Berdasarkan pem ikiran tersebut, Sekretariat J en -deral dan Kepan iteraan MKRI m en erbitkan buku yan g m en jadi pin tu m asuk un tuk m em pelajari Ilm u H ukum Tata Negara in i. Buku karya Bapak Prof. Dr. J im ly Asshiddiqie, S.H . ini terdiri dari J ilid I dan J ilid II yang sesungguhn ya m erupakan satu kesatuan n askah. Dengan penerbitan buku in i diharapkan dapat ikut m endukung terwujudnya konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi.
Sekretariat J en deral dan Kepan iteraan MKRI m en gucapkan terim a kasih kepada Sdr. Mucham ad Ali Safa'at dan Sdr. Pan Moham m ad Faiz yang telah dengan tekun m em baca dan m en gedit n askah buku in i, Sdr. Ery Satria Pam un gkas, M. Azis H akim dan Irvan Aprialdi yan g telah m em ban tu m e-lay out buku in i, Sdr. Subhan
Akhirn ya, kam i sam paikan selam at m em baca dan sem oga m em bawa m anfaat bagi perkem bangan ketata-n egaraaketata-n di Iketata-ndoketata-n esia.
J akarta, J uli 20 0 6 Sekretaris J enderal Mahkamah Konstitusi RI
(5)
Bism ilahhirrahm anirrahim,
Buku in i saya persem bahkan sebagai bahan kaji-an bagi para m ahasiswa dkaji-an pem ula, para dosen , pem er-hati hukum , serta para pem in at pada um um nya yan g ter-tarik untuk m em pelajari seluk-beluk m engen ai hukum tata n egara sebagai ilm u pen getahuan hukum . Seben ar-n ya, baar-nyak buku yaar-n g sudah ditulis oleh para ahli m engenai hal in i sebelum nya. Akan tetapi, di sam ping tidak dim aksudkan sebagai buku teks yang bersifat m e-n yeluruh, pada um um e-n ya buku-buku tersebut ditulis pada kurun waktu sebelum reform asi. Oleh karen a itu, buku-buku teks yan g sam pai sekaran g m asih dipakai sebagai pegangan dalam perkuliahan hukum tata n egara di berbagai fakultas hukum di tan ah air kita dewasa in i sudah ban yak yang ketin ggalan zam an .
Buku-buku dim aksud dapat dikatakan ketin ggal-an zam ggal-an , karen a dua sebab utam a. Pertam a, dunia pa-da um um n ya di abad ke-21 sekarang ini telah berubah secara sangat m en dasar, sehin gga m en yebabkan struktur dan fun gsi-fungsi kekuasaan negara juga m en galam i per-ubahan yan g san gat significant apabila diban din gkan dengan m asa-m asa sebelum nya. Perubahan -perubahan m en dasar itu tidak hanya terjadi di lapangan perekon o-m ian global, tetapi juga di bidan g kebudayaan dan di bidan g sosial politik yang m au tidak m au telah pula m em pen garuhi form at dan fun gsi kekuasaan di ham pir sem ua n egara di dun ia.
Dikarenakan perubahan-perubahan yang bersifat global atau m on dial itu, hubun gan salin g pen garuh
n asionalism e sistem hukum dan kon stitusi juga sem akin tipis batasan-batasannya. Bahkan, karen a perkem bangan Uni Eropa yang sem akin m enguat tingkat kohesi dan in-tegrasin ya, m aka kedaulatan sistem hukum dan kon sti-tusi m asin g-m asin g n egara an ggotan ya juga sem akin cair. Apalagi, sebagai akibat kuat dan luasnya pen garuh gelom ban g liberalism e di ham pir sem ua n egara di dun ia, peran pem erintah dan negara pada um um nya terus m e-nerus dituntut untuk dikurangi m elalui kebijakan dem o-kratisasi, privatisasi, deregulasi, debiroo-kratisasi, dan pe-m ajuan hak asasi pe-m an usia di sepe-m ua sektor kehidupan . Akibatnya, form at organ isasi n egara dan fun gsi-fungsi kekuasaan negara juga dipaksa oleh keadaan untuk ber-ubah secara m endasar.
Kedua, setelah era reform asi, Negara Kesatuan Republik In don esia (NKRI) juga telah m en galam i per-ubahan yan g san gat m en dasar di ham pir sem ua aspek-n ya. Uaspek-ndaaspek-n g-Uaspek-n daaspek-n g Dasar Negara Republik Iaspek-n doaspek-nesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertin ggi dalam sistem hukum In donesia telah m en galam i per-ubahan secara besar-besaran. J um lah keten tuan yang tercakup dalam n askah UUD 1945 yang asli m encakup 71 butir keten tuan . Sekarang, setelah m engalam i em pat kali perubahan dalam satu ran gkaian proses perubahan dari tahun 1999 sam pai dengan tahun 20 0 2, butir ketentuan yang tercakup di dalam n ya m enjadi 199 butir. Dari ke-199 butir keten tuan itu, han ya 25 butir keten tuan yang berasal dari naskah asli yang disahkan oleh Panitia Persi-apan Kem erdekaan In donesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Selebihn ya, yaitu sebanyak 174 butir keten tuan , dapat dikatakan m erupakan ketentuan yang baru sam a sekali.
Ban yak pihak yang m erasa kecewa atau bahkan m enentang perubahan secara besar-besaran dan m en
(6)
da-politik yan g berusaha un tuk m en gubah atau bahkan m e-n gem balikae-n hasil perubahae-n yae-n g sudah ditetapkae-n itu ke n askah UUD 1945 yan g asli sebagaim an a disahkan pa-da tahun 1945. Nam un , terlepas pa-dari perbepa-daan -perbepa-da- -perbeda-an pen dapat y-perbeda-an g dem iki-perbeda-an , n askah Un d-perbeda-an g-Und-perbeda-ang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah berubah dan perubahannya itu sudah disahkan secara kon stitusion al. Oleh karen a itu, sekaran g bukan lagi sa-atn ya un tuk m en yatakan setuju atau tidak setuju. Akan tetapi, sekaran g adalah saatn ya un tuk m elaksan akan segala keten tuan UUD 1945 pasca perubahan itu secara konsekuen.
J ikapun perbedaan pen dapat yang terjadi dapat dikem bangkan dalam tataran ilm iah, m aka ten tunya per-bedaan-perbedaan itu justru dapat m em perkaya pers-pektif bagi perkem bangan ilm u hukum tata negara posi-tif di In don esia. Akan tetapi, para jurist dan para calon jurist di bidang hukum tata n egara harus pula m em a-ham i bahwa norm a hukum dasar sebagai hukum yang tertinggi sebagaim ana tertuan g dalam keten tuan UUD Negara Republik Indon esia Tahun 1945 adalah sah dan m engikat secara kon stitusion al sejak ditetapkan. Oleh karen a itu, sistem hukum dan ketatan egaraan In donesia pasca Perubahan UUD 1945 harus pula berubah secara m en dasar sesuai dengan tun tutan baru UUD 1945. Ber-sam aan dengan itu, buku-buku teks dan buku-buku pelajaran lainn ya yan g berkenaan den gan sistem hukum dan ketatan egaraan In donesia dewasa in i juga harus di-ubah dan disesuaikan secara besar-besaran pula. Oleh sebab itulah, buku ini dipersem bahkan dengan harapan agar dapat m em bantu para m ahasiswa, para dosen , dan para pem in at pada um um nya yang berusaha untuk m e-m ahae-m i segala seluk-beluk hukue-m tata n egara sebagai satu cabang ilm u pengetahuan hukum .
tar Ilm u H ukum Tata Negara, dan (ii) Pen gantar H ukum Tata Negara Indon esia. Buku pertam a adalah pen gantar bagi kajian hukum tata n egara pada um um n ya sebagai satu cabang ilm u pengetahuan hukum . Materi buku per-tam a in ilah yan g biasa disebut sebagai H ukum Tata Ne-gara Um um . Sedan gkan buku yan g kedua berken aan de-ngan m ateri H ukum Tata Negara Positif yang berlaku di In don esia. Oleh karen a banyaknya m ateri yan g pen ting, m aka pada Buku kedua in i juga diberi judul “Pen gan tar H ukum Tata Negara In donesia”, karena sifatnya han ya sebagai pengantar saja. Artinya, bagi m ereka yan g berm in at un tuk berm engkaji berm ateri terten tu secara lebih berm en -dalam lagi, perlu m em baca buku yan g tersen diri m e-n gee-n ai hal-hal dim aksud. Karee-n a luase-n ya pem bahasae-n dalam buku pertam a, m aka buku pertam a tersebut dibagi m enjadi dua J ilid. Buku in i adalah J ilid I yang khusus m em bahas m asalah bidan g Ilm u H ukum Tata Negara m ulai dari sisi defin isi, m etode, hingga pada pergeseran dalam orien tasin ya.
Nam un sebenarn ya, buku m engen ai apa saja yang berkenaan dengan buku H ukum Tata Negara, baik yang bersifat um um ataupun yang bersifat positif, san gat tera-sa m asih tera-san gat kuran g di In don esia. Terlebih lagi, buku-buku yan g sen gaja diabdikan un tuk m em bahas hukum tata negara sebagai ilm u pengetahuan di antara sedikit buku ten tan g hukum tata n egara, pada um um nya han ya m em bahas m engenai hukum tata n egara positif yang berlaku di In donesia. San gat sedikit yang secara khusus m em bahas teori um um ten tang hukum tata n egara. Oleh sebab itu, saya berusaha m en gisi kekoson gan tersebut dengan m en erbitkan buku ini sebagaim an a m estin ya.
Lahirnya buku in i tentunya juga atas dukungan dan keterlibatan dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan terim a kasih kepada seluruh pihak yan g telah
(7)
sebagai salah satu buku pedom an H ukum Tata Negara bagi siapapun . Syukur-syukur buku ini dapat pula dija-dikan sebagai buku pegangan bagi setiap m ahasiswa Fakultas H ukum dalam m em pelajari seluk-beluk ilm u hukum tata n egara.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati kita semua. Am iin .
J akarta, J uli 20 0 6
(8)
Dari Pen erbit ∼ v Kata Pengan tar ∼ vii Daftar Isi ∼ xiii
B AB I P EN D AH U LU AN
A. Latar Belakang ∼ 1
B. Ruan g Lingkup Pem bahasan ∼ 7 C. Pendekatan Pem bahasan ∼ 8
B AB II D IS IP LIN ILMU H U KU M TATA N EGARA
A. Negara sebagai Objek Ilm u Pen getahuan ∼ 11 B. Ilm u H ukum Tata Negara ∼ 15
1. Peristilahan ∼ 15
2. Definisi H ukum Tata Negara ∼ 23
3. H ukum Tata Negara Form il dan Materiel ∼ 37 4. H ukum Tata Negara Um um dan
H ukum Tata Negara Positif ∼ 39
5. H ukum Tata Negara Statis dan Dinam is ∼ 41 C. Keluarga Ilm u H ukum
Ken egaraan ∼ 42
1. Keluarga Ilm u H ukum Ken egaraan Pada Um um n ya ∼ 42
2. H ukum Tata Negara dan Ilm u Politik serta Ilm u Sosial Lain n ya ∼ 44
4. H ukum Tata Negara dan H ukum Adm inistrasi Negara ∼ 50 5. H ukum Tata Negara dan H ukum
Internasion al Publik ∼ 65
6. Kecenderun gan Hukum Tata Negara, H ukum Adm in istrasi Negara, dan H ukum Intern asional Publik ∼ 66 D. Objek dan Lingkup Kajian
H ukum Tata Negara ∼ 70 E. Objek Dan Lingkup Kajian
H ukum Adm inistrasi Negara ∼ 8 0
B AB III
KON S TITU S I S EB AGAI OB J EK KAJ IAN H U KU M TATA N EGARA
A. Sejarah Kon stitusi ∼ 8 9
1. Term in ologi Klasik: Con stitutio, Politeia, dan N om oi ∼ 8 9
2. Warisan Yunan i Kun o (Plato dan Aristoteles) ∼ 95
3. Warisan Cicero (Rom awi Kuno) ∼ 10 2 4. Warisan Islam : Kon stitusionalism e dan
Piagam ∼ 10 6
5. Gagasan Modern : Term inologi Konstitusi ∼ 113 B. Arti dan Pen gertian Kon stitusi ∼ 119
C. Nilai dan Sifat Konstitusi ∼ 135 1. Nilai Kon stitusi ∼ 135
2. Kon stitusi Form il dan Materiil ∼ 137 3. Luwes (Flexible) atau Kaku (R igid) ∼ 142 4. Kon stitusi Tertulis dan Tidak Tertulis ∼ 148 D. Tujuan dan H akikat Kon stitusi ∼ 149
(9)
A. Sum ber H ukum Tata Negara ∼ 151 1. Pengertian Sum ber H ukum ∼ 151 2. Sum ber H ukum Tata Negara ∼ 158 3. Contoh Sum ber H ukum Tata Negara
In ggris ∼ 18 2
4. Sum ber H ukum Prim er, Sekunder, dan Tertier ∼ 193
B. Sum ber H ukum Tata Negara Indon esia ∼ 197 1. Sum ber Materiel dan Form il ∼ 197 2. Peraturan Dasar dan Norm a Dasar ∼ 199 3. Peraturan Perun dan g-un dan gan ∼ 20 2 4. Kon ven si Ketatanegaraan ∼ 228 5. Traktat (Perjan jian ) ∼ 230 C. Kon ven si Ketatanegaraan ∼ 236
1. H akikat Kon ven si Ketatan egaraan ∼ 236 2. Pengakuan Hakim terhadap Kon ven si
(Judicial R ecognition) ∼ 249
3. Fungsi Kon ven si Ketatan egaraan ∼ 254 4. Beberapa Con toh Kon vensi di In don esia ∼ 256
B AB V
P EN AFS IRAN D ALAM H U KU M TATA N EGARA
A. Penafsiran dan An atom i Metode Tafsir ∼ 273
B. H erm en eutika H ukum ∼ 30 8
B AB VI
P RAKTIK H U KU M TATA N EGARA
A. Pergeseran Orien tasi Politis ke Tekn is ∼ 315 B. Lahan Praktik H ukum Tata Negara ∼ 323 C. Praktik Peradilan Tata Negara ∼ 332
2. Pengujian Kon stitution alitas Un dan g-Un dan g ∼ 335
3. Sen gketa Kewen angan Konstitusion al Lem baga Negara ∼ 336
4. Pem bubaran Partai Politik ∼ 338 5. Perselisihan H asil Pem ilu ∼ 339 6. Pem akzulan Presiden dan/ atau
Wakil Presiden ∼ 341 7. Kebutuhan akan Sarjan a
H ukum Tata Negara ∼ 342 Daftar Pustaka ∼ 349
Daftar Indeks ∼ 369 Ten tang Pen ulis ∼ 377
(10)
B AB I P EN D AH U LU AN
A. La ta r Be la ka n g
Terdapat tiga hal yan g m elatarbelakan gi pen u-lisan buku ini. Pertam a, dun ia pustaka di tanah air sa-n gat m iskisa-n desa-n gasa-n buku-buku yasa-n g berisi isa-n form asi yan g luas dan m en dalam den gan perspektif yan g bersifat altern atif. Inform asi dan hasil analisis kritis m engenai berbagai soal dalam bidang ilm u hukum tata negara dalam buku in i m erupakan alternatif pilihan terhadap sem ua buku dan karya yang sudah ada selam a ini. Ka-dan g-kaKa-dan g buku-buku yang tersedia hanyalah buku yan g berisi kum pulan peraturan perundan g-un dan gan di bidang politik dan ketatan egaraan dengan tam bahan kom entar dan catatan yang serba sum ir, tan pa keda-lam an an alisis dengan berbasis teori-teori yan g telah berkem ban g pesat di lin gkun gan n egara-negara m aju. Oleh karena itu, buku dengan kedalam an pengertian ten -tan g berbagai aspek ilm iah ten-tan g hukum tata n egara sungguh diperlukan.
Kedua, dari segi jum lahnya, buku-buku yang sedia di perpustakaan dan di toko buku juga san gat ter-batas. Oleh sebab itu, dibutuhkan lebih banyak buku untuk m en doron g pen ingkatan pen gkajian -pen gkajian yan g lebih in tensif oleh para m ahasiswa dan pem in at m asalah ketatan egaraan .
Budaya baca di kalangan m asyarakat kita san gat-lah lem ah, dan dem ikian pula budaya m en ulis juga sa-n gat terbatas, apalagi usa-n tuk m esa-njadi pesa-nulis buku-buku yan g berm utu. Men jadi pen ulis yan g baik saja pun sekaran g in i belum lah dapat dijadikan an dalan un tuk
hidup. Karen a tidak ada oran g yang m am pu hidup han ya dengan m en gan dalkan kem am puan m en ulis.
Oleh karen a itu, buku yan g berm utu juga m en jadi san gat kuran g jum lahn ya. Kata kun cin ya tidak lain adalah bahwa konsum en dan kon sum si buku di m asya-rakat kita m asih sangat tipis jum lahnya, sehingga tidak dapat m en ggerakkan roda in dustri buku un tuk dapat tum buh sehat. Untuk itu, sebagai seorang guru dalam pendidikan hukum yan g kebetulan m endapat keperca-yaan m en jadi Ketua Mahkam ah Kon stitusi, di tengah ke-sibukan kerja sehari-hari, saya m erasa bertanggung jawab secara m oral un tuk terus m en ulis buku un tuk kepen tin gan m ahasiswa dan m asyarakat pem in at lain -n ya.
Ketiga, perkem bangan ketatan egaraan In donesia sendiri sesudah terjadinya reform asi nasion al sejak ta-hun 1998 yan g kem udian diikuti oleh terjadin ya Peruba-han UUD 1945 secara san gat m en dasar sebanyak em pat kali, yaitu pada tahun 1999, 20 0 0 , 20 0 1, dan 20 0 2, telah m en gubah secara m en dasar pula cetak biru (blue-print) ketatanegaraan In don esia di m asa yan g akan datang. Oleh karen a itu, diperlukan banyak buku baru yang dapat m en ggam barkan perspektif-perspektif baru itu, tidak saja di dun ia teori, tetapi juga di bidan g hukum positif yang sekarang berlaku.
Sam pai sekarang, pem asyarakatan UUD 1945 pasca Perubahan Keem pat relatif m asih san gat terbatas. Padahal, isin ya telah m en galam i perubahan lebih dari 30 0 persen . Sebagai gam baran , sebelum diadakan Peru-bahan , n askah UUD 1945 berisi 71 butir keten tuan ayat atau pasal. Akan tetapi sekaran g, setelah m en galam i 4 (em pat) kali perubahan , keten tuan yan g terkandun g di dalam n ya m enjadi 199 butir. Dari rum usan keten tuan yang asli, hanya tersisa 25 butir saja yang sam a sekali tidak berubah. Sedan gkan selebihn ya, yaitu 174 butir, sam a sekali m erupakan butir-butir keten tuan baru dalam
(11)
UUD Negara Republik Indon esia Tahun 1945. Artin ya, m eskipun n am an ya m asih m en ggunakan nam a lam a de-n gade-n pede-n egasade-n kem bali dede-ngade-n de-n am a resm i “Ude-n dade-ng- dang-Un dang Dasar Negara Republik Indon esia Tahun 1945”, tetapi isin ya sudah lebih dari 30 0 persen baru. Un tung-lah bahwa pem bukaan n ya tidak m engalam i perubahan , dan n askah stan dar yan g dijadikan pegan gan dalam m elakukan perubahan itu adalah n askah UUD 1945 se-bagaim an a Dekrit Presiden 5 J uli 1959. Den gan dem i-kian, m eskipun isin ya sudah m en galam i perubahan lebih dari 30 0 persen , tetapi jiwan ya tetap jiwa proklam asi, dan orisin alitas ideologinya tetap terpelihara sesuai nas-kah aslin ya yang diwarisi dari tahun 1945.
Nam un , sebagai akibat dari perubahan yang san gat m en dasar dan bersifat besar-besaran itu, tidak ada jalan lain , harus ada upaya bersen gaja un tuk m en yebarluaskan pen gertian-pen gertian baru dalam UUD 1945, terutam a di kalangan para calon ahli hukum sendiri, yaitu para m ahasiswa hukum di seluruh tanah air. Un tuk itu, pen ulisan buku ini term asuk dalam ran gka kebutuhan yan g am at m en desak m en genai pem asyarakatan kesadaran akan kon stitusi “baru” In -don esia, yaitu UUD Negara Republik In -don esia Tahun 1945 pasca perubahan . Banyak kalan gan dosen dan bahkan ban yak pula para guru besar hukum tata n egara sen diri serta para ahli hukum pada um um nya yang belum sun gguh-sun gguh m em aham i pen gertian -pen ger-tian baru dalam substan si perubahan yang terjadi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta-hun 1945.
Lagi pula, di kalangan para sarjana hukum In do-n esia sejak dulu, terdapat pula kebiasaado-n buruk m edo-n ge-n ai cara berpikir politis tege-n tage-ng hukum . Para sarjage-n a hu-kum serin g berpikir m engen ai apa yan g ia ingin kan dengan suatu ketentuan hukum , bukan apa yang diin gin -kan oleh perum usan n orm a hukum itu sen diri. Orang
sering terjebak dalam kein gin an n ya sen diri m en genai apa yan g sem estin ya diatur, bukan apa yang dikehen daki oleh peraturan itu sendiri. Para sarjan a hukum kita cen -derung bersikap sebagai politisi hukum daripada ber-sikap sebagai jurist. Perhatian para sarjana hukum keba-n yakakeba-n tertuju kepada politik hukum (legal policy) dari-pada norm a hukum itu sen diri. Para sarjan a hukum , apalagi di kalangan aktivis di lapangan , para advokat, ataupun para dosen yan g terlibat aktif sebagai pen gam at, cen derung bertindak sebagai sarjan a patriotis yang in gin m em perjuangkan nilai agar dapat turut m em perbaiki hukum .
Kecenderun gan dem ikian biasan ya dibun gkus pula oleh alasan yan g bersifat pseudo-ilm iah, den gan m en dasarkan diri pada teori-teori ilm iah yan g secara salah kaprah dipergunakan. Misaln ya, dikatakan bahwa sarjana hukum tidak boleh berpikir dogm atis-positi-vistik, atau sarjan a hukum sudah seharusn ya m engu-tam akan perasaan keadilan yan g hidup dalam m asya-rakat, sehin gga tidak perlu terpaku kepada bun yi teks. Padahal, ukuran perasaan keadilan itu sangat relatif dan cen derun g m enyebabkan pen erapan hukum m en jadi sn gat dipesn garuhi oleh faktor-faktor kekuatasn politik m a-joritarian .
Apabila dipan dang dari segi kebutuhan akan pem baruan hukum di n egara kita yan g dewasa in i sedang berubah m enjadi lebih dem okratis dan berkeadilan , hal itu ten tu m erupakan fen om en a yang baik dan positif. Upaya m elakukan perom bakan m em erlukan sikap kritis dari ban yak kalan gan , terutam a dari kalan gan para ahli hukum sen diri. Nam un , kebiasaan sem acam itu jika tidak terkendali, justru dapat m en yebabkan terjadin ya destabilisasi dan disharm on i dalam diskursus publik (public discourse) yang pada giliran n ya m en yebabkan sem akin kacaun ya tertib hukum nasion al kita.
(12)
Dem ikian pula dalam m em aham i keten tuan un -dan g-un -dan g dasar, sarjan a hukum ban yak yan g tidak berusaha m em aham i apa yang terkan dun g di dalam UUD 1945, m elain kan m en gajukan pikiran n ya sen diri yan g seharusn ya ada dalam UUD 1945. Pikiran dan ha-rapann ya itulah yan g dijadikan bahan dalam m em aham i apa yan g diatur dalam pasal-pasal UUD 1945. Akibatn ya, yang berkem bang di antara para ahli hukum bukan lah pengertian -pengertian yan g terkan dun g di dalam rum usan -rum usan n askah UUD 1945, m elain kan apa yan g m ereka setuju atau yan g m ereka ingin un tuk dirum uskan dalam n askah UUD 1945.
H al in ilah seben arn ya yan g m em bedakan seorang ilm uwan hukum dari seorang politisi hukum . Norm a hu-kum bagi jurist dan ilm uwan hukum adalah apa adan ya (das sein), sedan gkan bagi para politisi hukum m e-rupakan n orm a yan g seharusn ya (das sollen). Para jurist lebih m engutam akan n orm a hukum yan g m en gikat atau ius con stitutum, sedan gkan para politisi hukum lebih m en ekan kan ius constituen dum atau hukum yan g dicita-citakan. Kebiasaan dem ikian itu pada gilirannya dapat sem akin m em persulit upaya kita un tuk m em asyarakatkan kesadaran dan m en yebarluaskan pen gertian -pengertian baru dalam Un dang-Undang Dasar 1945 pas-ca Perubahan Pertam a, Kedua, Ketiga, dan Perubahan Keem pat.
Keem pat, keadaan dun ia dewasa ini juga telah m en galam i perubahan yang san gat pesat dan m en dasar, apabila diban dingkan dengan keadaan di m asa-m asa lalu pada abad ke-20 . Kehidupan ken egaraan di seluruh du-n ia dewasa idu-ni juga berubah dedu-n gadu-n sadu-ngat fudu-n dam edu-ntal sehingga teori-teori dan kon sep-konsep hukum yang berlaku di m asa lalu juga banyak yang m en jadi tidak relevan lagi dengan kebutuhan zam an sekaran g. Dem i-kian pula haln ya den gan bidan g hukum tata n egara, ban yak sekali kon sep-konsep baru yang m un cul dan
pe-n gertiape-n -pepe-n gertiape-n lam a yape-ng sudah tidak cocok lagi un tuk dijadikan pegangan ilm iah.
Misalnya saja, teori m en genai susun an organisasi negara yang selam a berabad-abad dipaham i terdiri atas tiga kem un gkin an ben tuk, yaitu n egara kesatuan (un i-tary state atau eenheidsstaat), n egara serikat atau fede-ral (bondstaat), dan n egara kon federasi (confederation). Sekarang kita m en yaksikan terbentuknya wadah Un i Eropa (European Un ion) di antara negara-negara Eropa Bersatu yan g dari waktu ke waktu terus m en guat derajat in tegrasin ya m en jadi suatu kom un itas ken egaraan yan g sam a sekali tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu dari ketiga bentuk susun an organ isasi n egara tersebut di atas.
Kelim a, sebagai akibat dari gelom ban g globalisasi ekon om i dan kebudayaan um at m an usia, m eluas pula hubun gan salin g pengaruh m em pen garuhi m en genai pola-pola kehidupan bern egara dan aspek-aspek ketata-negaraan di berbagai n egara, sehin gga hukum tata ne-gara sebagai bidan g ilm u pengetahuan juga tidak lagi terkungkung dalam ruang-ruang nasionalism e norm a konstitusi m asing-m asin g negara. Para m ahasiswa hu-kum harus m enan gkap pula kecen derun gan baru dim ana hukum tata n egara sebagai bidan g hukum yan g bersifat intern al suatu negara m ulai m enyatu atau setidaknya saling pen garuh m em pen garuhi den gan bidan g kajian hukum in tern asional publik. H ukum tata negara m eluas dari sem pitnya orientasi selam a in i yang hanya bersifat intern al ke arah orientasi ekstern al, sehingga ilm u hu-kum tata negara di sam ping harus dipelajari sebagai bi-dan g ilm u hukum tata n egara positif, juga harus dipelajari sebagai bidang ilm u hukum tata negara um um .
H ukum tata n egara positif hanya berkisar kepada n orm a-n orm a hukum dasar yan g berlaku di satu n egara, sedan gkan hukum tata n egara um um m em pelajari juga fen om en a hukum tata n egara pada um um nya. H ukum
(13)
Tata Negara Positif hanya m em pelajari hukum yang berlaku di In donesia saja dewasa ini. Tetapi H ukum Tata Negara Um um m em pelajari gejala-gejala ilm iah hukum tata n egara pada um um n ya. Oleh karen a itu, judul yang dipilih un tuk buku ini bukan lah “Pengantar H ukum Tata Negara In donesia”, m elain kan “Pen gan tar Ilm u H ukum Tata Negara” saja.
B. Ru a n g Lin gk u p P e m b a h as a n
Buku in i dim aksudkan sebagai bacaan bagi m aha-siswa Strata-1 dan para pem ula yang ingin m engetahui m en gen ai garis besar ruang lin gkup ilm u pen getahuan hukum yang din am akan ilm u H ukum Tata Negara. Oleh karena itu buku in i diberi judul “Pengantar Ilm u H ukum Tata Negara”. Dari judul in i, pertam a dapat diketahui bahwa buku in i han yalah m erupakan bagian pen gantar untuk pengkajian yan g lebih m en dalam m engenai ilm u hukum tata n egara. Artin ya, yang dibahas dalam buku in i barulah kulit atau hal-hal yang belum m erupakan sub-stansi pokok ilm u hukum tata negara itu. Pada jilid I in i belum dibahas m en genai prin sip-prin sip dasar dalam hukum tata n egara seperti kon sep pem batasan ke-kuasaan dan im plikasinya terhadap struktur keke-kuasaan yan g biasan ya dibagi dalam caban g-cabang legislatif, eksekutif, dan yudisial, yang akan dibahas pada jilid II. Buku in i benar-benar baru bersifat pengan tar ke arah studi yang lebih m endalam m en genai m ateri ilm u hukum tata negara itu.
Kedua, dalam judul ini, juga tergam bar bahwa isi buku in i m erupakan pengan tar terhadap kajian ilm u hukum tata n egara yan g bersifat um um , yan g tidak ha-n ya terbatas kepada hukum tata ha-n egara positif, dalam ar-ti hukum tata negara In donesia yang dewasa ini sedang berlaku. Oleh karena itu, lin gkup pem bahasan dalam buku ini bersifat m engantarkan studi yang lebih luas dan
m en dalam m en gen ai berbagai aspek hukum tata n egara sebagai bidan g ilm u pengetahuan hukum . Di dalam n ya dapat saja tercakup pula aspek-aspek hukum tata n egara positif yang berlaku di Indonesia, tetapi hal itu bukanlah m en jadi m uatan utam an ya.
Sebagai buku Pen gan tar, m aka ten tulah tidak se-m ua aspek pengan tar itu akan diuraikan di sin i. Dalase-m buku in i, hanya diuraikan beberapa aspek pem bahasan yan g berken aan dengan (i) disiplin ilm u hukum tata n egara sebagai salah satu caban g ilm u pen getahuan hu-kum ken egaraan , (ii) gagasan um um tentan g konstitusi, (iii) sum ber-sum ber hukum tata n egara atau the law s of the con stitution, (iv) konven si ketatan egaraan atau the con v en tions of the con stitution, dan (v) m etode-m etode penafsiran yang diken al dalam hukum tata n egara; serta (vi) berbagai aspek m en genai praktik hukum tata n egara.
Dengan dem ikian, dalam buku in i, belum diuraikan m engenai persoalan -persoalan pokok yang biasa dibahas dalam ilm u hukum tata n egara, seperti ben tuk dan susun an organ isasi n egara, fun gsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial, sistem kepartaian dan pem ilihan um um , kewarganegaraan , dan sebagain ya. Pada saatn ya, hal-hal yan g dim aksud itu akan dibahas dalam J ilid II.
C. P e n d e ka ta n P e m b a h as a n
Dalam m en yusun buku in i, pen ulis san gat m e-n yadari bahwa bae-n yak buku-buku teks yae-n g biasa dipakai sehari-hari sebagai buku wajib oleh m ahasiswa dan dosen hukum di tan ah air kita, ban yak yang sudah ketin ggalan atau obsolete. Akan tetapi, saya sendiri tidak berm aksud m eniadakan atau m enafikan sum ban gan ya-ng telah diberikan oleh buku-buku tersebut sebelum nya. Buku-buku lam a itu m enurut saya m asih tetap berguna
(14)
dan bagi m ereka yan g m em ilikinya m asih tetap dapat m en ggunakann ya sebagai bahan perban din gan .
Misaln ya saja, di lingkungan Fakultas H ukum Un iversitas In don esia, buku karya Moham m ad Kusnardi dan H arm aily Ibrahim (keduan ya sudah alm arhum ) den gan judul “Pen gan tar H ukum Tata Negara In don esia” m asih terus dipakai sebagai buku pegangan m ahasiswa sam pai sekarang. Isinya jelas sudah san gat banyak ke-tin ggalan, tetapi tetap pen ke-tin g untuk dijadikan pegangan bagi dosen dan m ahasiswa. Bahkan , oleh sebab itu, buku in i juga ditulis dengan berpatokan pada apa yan g ditulis oleh Moh. Kusn ardi dan H arm aily Ibrahim tersebut. Dengan dem ikian, buku teks yang lam a in i tidak perlu se-luruhn ya dihapuskan , karen a ban yak bagian yang m asih tetap dapat dipakai sam pai sekarang.
H an ya saja, jika buku teks lam a in i dibaca tan pa dilen gkapi den gan buku baru, pem aham an pem bacan ya dapat tergelincir kepada kesalahan fatal. Ban yak sekali pengertian -pengertian baru yan g telah berubah secara fun dam en tal baik karen a pen garuh perubahan global, n asional, region al, m aupun perubahan yang bersifat lo-kal. Sem ua itu m em erlukan keterangan -keteran gan dan pen jelasan -pen jelasan baru yan g han ya dapat dibaca da-lam buku-buku yan g baru pula.
Di sam ping itu, pem bahasan dalam buku ini tidak dilakukan sem ata-m ata secara norm atif ataupun m enu-rut peraturan hukum positif, m elain kan m elalui kriptif-analitis. Pem bahasan dilakukan m elalui pen des-kripsian pen dapat ahli m en gen ai persoalan yan g dibahas dengan con toh-con toh yang dipraktikkan di berbagai ne-gara. Baru setelah itu, pem bahasan dikaitkan pula de-n gade-n pede-n galam ade-n praktik ketatade-negaraade-n di Ide-n dode-nesia.
(15)
B AB II
D IS IP LIN ILMU H U KU M TATA N EGARA
A. N e ga ra S e b a gai Ob je k Ilm u P e n ge ta h u a n
Negara m erupakan gejala kehidupan um at m a-n usia di sepaa-njaa-ng sejarah um at m aa-nusia. Koa-n sep a-n egara berkem ban g m ulai dari ben tukn ya yan g palin g sederhana sam pai ke yan g palin g kom pleks di zam an sekaran g. Sebagai ben tuk organ isasi kehidupan bersam a dalam m asyarakat, negara selalu m en jadi pusat perhatian dan obyek kajian bersam aan dengan berkem ban gn ya ilm u pengetahuan um at m an usia. Ban yak caban g ilm u pen ge-tahuan yang m enjadikan negara sebagai objek kajian n ya. Misaln ya, ilm u politik, ilm u negara, ilm u hukum ke-n egaraake-n , ilm u H ukum Tata Negara, H ukum Ad-m in istrasi Negara, dan ilAd-m u AdAd-m in istrasi PeAd-m erin tahan (Public Adm inistration), sem uan ya m en jadikan n egara sebagai pusat perhatiannya.
Nam un dem ikian , apa seben arnya yan g diartikan orang sebagai negara tentulah tidak m udah untuk di-defin isikan . Meskipun diakui m erupakan istilah yan g su-lit didefin isikan, O. H ood Phillips, Paul J ackson, dan Pa-tricia Leopold m en gartikan n egara atau state sebagai:
“An in dependen t political society occupy in g a defined territory , the m em bers of w hich are un ited together for the purpose of resisting extern al force an d the preser-vation of in tern al order”.1
Dikatakan pula oleh Phillips, J ackson , dan Leopold:
1
O. Hood Phillips, Paul Jackson and Patricia Leopold, Constitutional and Administrative Law, 8th edition, (London: Sweet and Maxwell, 2001), hal. 4.
“N o independent political society can be term ed as state un less it professes to exercise both these fun ction s; but n o m odern state of an y im portan ce con ten ts itself w ith this n arrow range of activ ity . As civ ilisation m becom es m ore com plex, population in creases and social conscience arises, the needs of the governed call for incresed atten tion ; taxes hav e to be liv ied to m eet these needs; justice m ust be adm inistered, com m erce regulated, educational facilities and m any other social services provided”.2
Selanjutn ya dikem ukakan juga oleh ketiga sarjana Inggris tersebut:
“A fully dev eloped m odern state is expected to deal w ith a vast m ass of social problem s, either by direct activ ity or by superv ision, or regulation. In order to carry out these fun ction s, the state m ust hav e agen ts or organ s through w hich to operate. The appoin tm en t or establishm en t of these agents or organs, the general nature of their fun ction s and pow ers, their relation s in ter an d betw een them an d the priv ate citizen , form a large part of the con stitution of a state”.3
Secara sederhana, oleh para sarjan a serin g diurai-kan adan ya 4 (em pat) un sur pokok dalam setiap n egara, 4
yaitu (i) a definite territory, (ii) population , (iii) a Gov ern m en t, dan (iv) Sov ereign ity. Nam un dem ikian , untuk m en guraikan pen gertian n egara dalam tataran yan g lebih filosofis, dapat pula m erujuk kepada pen dapat Hans Kelsen dalam bukunya “Gen eral Theory of Law and State”.5 yang m en guraikan pan dan gan n ya ten tang
2Ibid.
, hal. 4-5.
3Ibid.
, hal. 5.
4
A. Appadorai, The Substance of Politics, (India: Oxford University Press, 2005), hal. 11.
5
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1961), hal. 188-191.
(16)
n egara atau state a juristic entity dan state as a politi-cally organ ized society atau state as pow er. Elem en n egara m en urut Kelsen m en cakup: (i) The Territory of the State, seperti m en gen ai pem bentukan dan pem bu-baran n egara, serta m en gen ai pen gakuan atas n egara dan pem erintahan;6 (ii) Tim e Elem ent of the State, yaitu
wak-tu pem ben wak-tukan n egara yan g bersan gkutan; (iii) The People of the State, yaitu rakyat n egara yang bersang-kutan; (iv) The Com petence of the State as the M aterial Sphere of Validity of the N ational Legal Order, m isaln ya yan g berkaitan dengan pen gakuan in tern asion al; (v) Conflict of Law s, perten tangan antar tata hukum ; (vi) The so-called Fun dam ental R ights and Duties of the States, soal jam in an hak dan kebebasan asasi m an usia; dan (vii) The Pow er of the State, aspek-aspek m en genai kekuasaan n egara.7
Negara seben arn ya m erupakan kon struksi yang diciptakan oleh um at m anusia (hum an creation) ten tang pola hubun gan an tar m an usia dalam kehidupan berm a-syarakat yang diorgan isasikan sedem ikian rupa un tuk m aksud m em en uhi kepen tingan dan m encapai tujuan bersam a. Apabila perkum pulan orang berm asyarakat itu diorgan isasikan un tuk m en capai tujuan sebagai satu un it pem erintahan terten tu, m aka perkum pulan itu dapat dikatakan diorgan isasikan secara politik, dan disebut body politic atau n egara (state) sebagai a society politi-cally organized.8
Negara sebagai body politic itu oleh ilm u n egara dan ilm u politik sam a-sam a dijadikan sebagai objek
6
Pengakuan atas suatu negara meliputi persoalan recognition of a community as a state, pengakuan de facto atau de jure, pengakuan dengan kekuatan yang bersifat retroaktif, pengakuan melalui penerimaan oleh organisasi PBB, pengakuan terhadap pemerintahan dan pengakuan terhadap insurgents seba-gai a belligerent power. Ibid. hal. 221-231.
7 Ibid.
, hal. 207-267.
8
Appadorai, Op. Cit., hal. 3.
m a kajian n ya. Sem en tara, ilm u Hukum Tata Negara m en gkaji aspek hukum yang m em ben tuk dan yan g di-bentuk oleh organ isasi n egara itu. Ilm u politik m elihat n egara sebagai a political society den gan m em usatkan perhatian pada 2 (dua) bidang kajian, yaitu teori politik (political theory) dan organisasi politik (political organi-zation). Ilm u Politik sebagai bagian dari ilm u sosial lebih m em usatkan perhatian pada n egara sebagai realitas politik. Seperti dikatakan oleh M.G. Clarke:
“... politics can on ly be understood through the bahaviour of its participan ts an d that this behaviour is determ in ed by ‘social forces’: social, econom ic, racial factions, etc”.9
Ilm u politik han ya dapat dim en gerti m elalui perilaku para partisipann ya yan g diten tukan oleh kekuatan -kekuatan sosial, ekon om i, kelom pok-kelom pok rasial, dan sebagainya. Lebih lan jut, Clarke m en yatakan bahwa legalism e itu bersifat redundant dalam studi ilm u politik, tetapi bahwa the rules of the con stitution dan , lebih pen -tin g lagi, struktur-struktur institution al pem erin tahan n egara, bukan lah hal yan g relevan un tuk dipersoalkan dalam ilm u politik. Struktur kelem bagaan n egara itu, m enurut Clarke, tidak m em punyai pengaruh yan g berarti perilakulah yang m enjadi subjek utam a dalam ilm u po-litik.10 Oran g boleh m en erim a begitu saja pen dapat
Clarke ini dalam keran gka studi ilm u politik, tetapi di lingkungan negara-n egara yang sedang berkem bang, banyak studi ilm u sosial lain n ya yan g justru m en un juk-kan gejala yang sebaliknya, yaitu bahwa peranan institusi
9
Pengantar M.G. Clarke sebagai editor buku C.F. Strong, Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Forms, (London: Sidgwick & Jackson, 1973), hal.xvi.
10Ibid.
“What they are saying is not just that legalism is redundant in the study of politics, but that the rules of the constitution and, more important, the institutional structures of government, are irrelevant because they don’t significantly affect that behaviour which is the only subject worthy of study”.
(17)
ken egaraan itu justru san gat sign ifikan pen garuhn ya terhadap perilaku politik warga m asyarakat.
Bagi disiplin ilm u politik, pendapat Clarke itu tidak aneh. Bahkan, Robert Dahl dalam bukunya “ Pre-face to Dem ocratic Theory” (1956) juga m en yatakan bahwa bagi para ilm uwan sosial yang lebih pen ting adalah social n ot con stitution al.11 Ilm u politik lebih
m en gutakan dinam ika yang terjadi dalam m asyarakat daripada norm a-norm a yan g tertuang dalam konstitusi n egara. H al itu ten tun ya sangat berbeda dari ke-cen derun gan yan g terdapat dalam ilm u hukum , khu-susnya ilm u hukum tata n egara (constitutional law). Dalam studi ilm u hukum tata n egara (the study of the constitution atau constitutional law), yang lebih di-utam akan justru adalah n orm a hukum konstitusi yang biasan ya tertuang dalam naskah undang-undan g dasar. Di situlah letak perbedaan m en dasar an tara ilm u H ukum Tata Negara dari ilm u politik.
B. Ilm u H u k u m Ta ta N e ga ra 1. P e ris tila h a n
Ilm u H ukum Tata Negara adalah salah satu caban g ilm u hukum yan g secara khusus m en gkaji persoalan hukum dalam konteks kenegaraan. Kita m e-m asuki bidan g hukue-m tata n egara, e-m en urut Wirjon o Prodjodikoro, apabila kita m em bahas norm a-n orm a hu-kum yan g m engatur hubungan antara subjek huhu-kum oran g atau bukan oran g den gan sekelom pok orang atau badan hukum yan g berwujud n egara atau bagian dari n egara.12 Dalam bahasa Perancis, hukum tata negara
disebut Droit Con stitution nel atau dalam bahasa Inggris
11
Robert A. Dahl, Preface to Democratic Theory, (Chicago: University of Chicago Press, 1956), hal. 83.
12
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, cet. keenam, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hal. 2.
disebut Con stitution al Law. Dalam bahasa Belanda dan J erm an, hukum tata n egara disebut Staatsrecht, tetapi dalam bahasa J erm an sering juga dipakai istilah v erfas-sungsrecht (hukum tata n egara) sebagai lawan perkataan v erw altungsrecht (hukum adm inistrasi n egara).
Dalam bahasa Belanda, un tuk perkataan hukum tata n egara juga biasa dipergunakan istilah staatsrecht atau hukum negara (state law ). Dalam istilah staatsrecht itu terkandung 2 (dua) pengertian, yaitu staatsrecht in ruim ere zin (dalam arti luas), dan staatsrecht in engere zin (dalam arti sem pit). Staatsrecht in engere zin atau H ukum Tata Negara dalam arti sem pit itulah yang biasa-n ya disebut H ukum Tata Negara atau Verfassungsrecht yan g dapat dibedakan antara pen gertian yan g luas dan yan g sem pit. H ukum Tata Negara dalam arti luas (in ruim ere zin) m en cakup H ukum Tata Negara (v erfas-sungsrecht) dalam arti sem pit dan H ukum Adm inistrasi Negara (v erw altungsrecht). 13
Prof. Dr. Djokosoeton o lebih m en yukai peng-gun aan v erfassungslehre daripada v erfassungsrecht. Dalam berbagai kuliahn ya yang dikum pulkan oleh salah seoran g m ahasiswan ya, yaitu H arun Alrasid, pada tahun 1959,14 dan diterbitkan pertam a kali pada tahun 198 2,
Djokosoeton o berusaha m engam bil jalan ten gah an tara Carl Schm itt yang m en ulis buku Verfassungslehre dan H erm an n H eller den gan bukun ya Staatslehre. Istilah yang tepat untuk H ukum Tata Negara sebagai ilm u (con -stitutional law) adalah Verfassungslehre atau teori kon s-titusi. Verfassungslehre in ilah yang n an tinya akan m en -jadi dasar untuk m em pelajari v erfassungsrecht,
13
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. kelima, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hal. 22.
14
Djokosoetono, Hukum Tata Negara, Himpunan oleh Harun Alrasid, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).
(18)
tam a m engenai hukum tata n egara dalam arti positif, yaitu hukum tata negara In donesia.
Istilah “H ukum Tata Negara” dapat dian ggap iden tik den gan pen gertian “H ukum Kon stitusi” yang m erupakan terjem ahan langsun g dari perkataan Con sti-tution al Law (Inggris), Droit Con stitution n el (Peran cis), Diritto Constitutionale (Italia), atau Verfassungsrecht (J erm an). Dari segi bahasa, istilah Con stitution al Law dalam bahasa Inggris m em an g biasa diterjem ahkan se-bagai “H ukum Kon stitusi”. Nam un, istilah “H ukum Tata Negara” itu sendiri jika diterjem ahkan ke dalam bahasa In ggris, n iscaya perkataan yan g dipakai adalah Con -stitutional Law.15 Oleh karen a itu, H ukum Tata Negara
dapat dikatakan iden tik atau disebut sebagai istilah lain belaka dari “H ukum Kon stitusi”.16
Di an tara para ahli hukum , ada pula yang ber-usaha m em bedakan kedua istilah in i dengan m e-n gae-nggap bahwa istilah H ukum Tata Negara itu lebih luas cakupan pen gertian nya dari pada istilah H ukum Kon stitusi. H ukum Kon stitusi dian ggap lebih sem pit karen a han ya m em bahas hukum dalam perspektif teks un dan g-un dan g dasar, sedan gkan H ukum Tata Negara tidak han ya terbatas pada un dan g-undan g dasar. Pem bedaan ini seben arnya terjadi karen a kesalahan dalam m engartikan perkataan kon stitusi (v erfassung) itu sendiri yan g seakan -akan diiden tikkan dengan undang-un dan g dasar (gerun dgesetz). Karen a kekeliruan
15 Lihat dan bandingkan Sri Soemantri, Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hal. 29. Lihat juga dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 95
16
Lihat dan bandingkan pula pendapat dari Bagir Manan yang membedakan antara Konstitusi (UUD) dengan Hukum Konstitusi (Hukum Tata Negara). Lihat Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), hal. 5.
sebut, H ukum Kon stitusi dipaham i lebih sem pit daripada H ukum Tata Negara.17
Perkataan “H ukum Tata Negara” berasal dari per-kataan “hukum ”, “tata”, dan “negara”, yan g di dalam n ya dibahas m en gen ai urusan pen ataan n egara. Tata yang terkait dengan kata “tertib” adalah order yan g biasa juga diterjem ahkan sebagai “tata tertib”. Tata n egara berarti sistem pen ataan n egara, yang berisi keten tuan m en genai struktur ken egaraan dan substan si n orm a ken egaraan . Dengan perkataan lain , ilm u H ukum Tata Negara dapat dikatakan m erupakan cabang ilm u hukum yang m em bahas m engen ai tatanan struktur ken egaraan , m ekan ism e hubun gan an tar struktur-struktur organ atau struktur kenegaraan, serta m ekan ism e hubun gan an tara struktur n egara dengan warga n egara.
H an ya saja, yan g dibahas dalam H ukum Tata Negara atau H ukum Kon stitusi itu sendiri hanya terbatas pada hal-hal yan g berken aan den gan aspek hukum n ya saja. Oleh karen a itu, lin gkup bahasan nya lebih sem pit daripada Teori Kon stitusi sebagaim an a yang dianjurkan untuk dipakai oleh Prof. Dr. Djokosoeton o, yaitu Verfas-sungslehre atau Theorie der Verfassung.18 Istilah Verfas-sungslehre itu, m en urut Djokosoetono lebih luas dari-pada Verfassungsrecht. Theorie der Verfassung lebih luas daripada Theorie der Verfassungsrecht. Un tuk ke-pen tin gan ilm u ke-pen getahuan, Djokosoeton o m en ganggap lebih tepat untuk m en ggun akan istilah “Teori Kon stitusi” daripada “H ukum Kon stitusi” ataupun “H ukum Tata Ne-gara”. Sebab yang dibahas di dalam n ya adalah persoalan kon stitusi dalam arti yan g luas dan tidak han ya terbatas kepada aspek hukum n ya, m aka yan g lebih pen tin g ada-lah Theorie der Verfassung atau Verfassunglehre (Teori Kon stitusi), bukan Theorie der Verfassungsrecht,
17Ibid.
, hal. 23.
18
(19)
orie der Constitution n el Recht (Teori H ukum Konstitusi atau Teori H ukum Tata Negara), ataupun Theorie der Gerun dgesetz (Teori Undang-Undan g Dasar). 19
Sejalan den gan penggun aan kata theorie dan lehre tersebut, dapat diban din gkan pula an tara staatsrecht den gan staatslehre. Dalam staatslehre di-bahas m en gen ai persoalan n egara dalam arti luas, sedan gkan staatsrecht han ya m en gkaji aspek hukum n ya saja, yaitu hukum negara (state law). Dapat disebut beberapa sarjana yang m em populerkan istilah staats-lehre in i, m isaln ya adalah H an s Kelsen dalam buku “Algem ein e Staatslehre” dan H erm an H eller dalam bukunya “Staatslehre”. Cakupan pen gertian n ya jelas le-bih luas daripada staatsrecht, seperti haln ya v er-fassunglehre lebih luas daripada v erfassungsrecht.
Kon stitusi atau v erfassung itu sendiri, m enurut Thom as Pain e dibuat oleh rakyat un tuk m em ben tuk pm erintahan , bukan sebaliknya ditetapkan oleh pepm e-rintah un tuk rakyat. Bahkan , lebih lan jut dikatakan oleh Pain e bahwa “A con stitution is a thin g anteceden t to a gov ern m ent and a gov ernm ent is only the creature of a constitution”. Konstitusi itu m en dahului pem erin tahan , karen a pem erin tahan itu justru dibentuk berdasarkan kon stitusi. Oleh karen a itu, kon stitusi lebih dulu ada daripada pem erin tahan .20
Pengertian bahwa kon stitusi m en dahului pem e-rintahan tetap berlaku, m eskipun dalam praktik banyak n egara sudah lebih dulu diproklam asikan baru undang-un dan g dasarn ya disahkan . Misaln ya, the Federal Con
19Ibid. 20
“A constitution is not the act of a government, but of a people constituting a government, and a government without a constitution is power without right”. Lihat “Rights of Man in the Complete Works of Thomas Paine”, p. 302-303 dalam Michael Allen and Brian Thompson, Cases and Materials on Constitutional and Administrative Law, 7th edition, (London: Oxford Univer-sity Press, 2003), hal. 1.
stitution of the United States of Am erica baru disahkan pada tan ggal 17 Septem ber 178 7, yaitu 11 tahun setelah deklarasi kem erdekaan Am erika Serikat dari Inggris pada tan ggal 4 J uli 1776. Bekas n egara federasi Un i Soviet m en gesahkan un dan g-un dang dasarnya (Konsti-tusi Federal) pada tahun 1924, setelah 2 tahun ber-dirin ya, yaitu pada 30 Desem ber 1922.21 Kerajaan Belan
-da yan g sekaran g juga baru m en gesahkan Gron dw et pada tanggal 2 Februari 18 14, yaitu setelah 2 bulan dan 11 hari sejak proklam asi kem erdekaann ya dari Perancis pada tanggal 21 Novem ber 18 13. Republik In don esia sen -diri yang sudah diproklam asikan sebagai n egara m erdeka dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945, baru m engesahkan Un dang-Un dan g Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam ilm u hukum tata negara juga berlaku doktrin “teori fiktie hukum ” (legal fiction theory) yang m en yatakan bahwa suatu n egara dian ggap telah m em i-liki konstitusi sejak n egara itu terben tuk. Terben tukn ya n egara itu terletak pada tin dakan yan g secara resm i m en yatakan n ya terben tuk, yaitu m elalui penyerahan kedaulatan (transfer of authority) dari n egara in duk seperti pen jajah kepada n egara jajahann ya, m elalui pern yataan deklarasi dan proklam asi, ataupun m elalui revolusi dan perebutan kekuasaan m elalui kudeta. Secara juridis form al, n egara yan g bersan gkutan atau pem erin -tahan tersebut dapat dinyatakan legal secara form al sejak terbentukn ya. Nam un, legalitas tersebut m asih bersifat form al dan sepihak. Oleh karen a itu, derajat legi-tim asin ya m asih tergan tun g kepada pengakuan pihak-pihak lain.
21
Menurut Andrei Y. Vyshinsky, Undang-Undang Dasar Soviet menggam-barkan perkembangan historis yang dijalani oleh negara Soviet. Lihat dalam Andrei Y. Vyshinsky, The Law of Soviet State, diterjemahkan dari the Russian oleh Rugh W. Babb, (New York: The Macmillan Company, 1961).
(20)
Istilah constitution22 dalam bahasa Inggris
se-padan dengan perkataan grondw et dalam bahasa Be-landa dan gerundgesetz dalam bahasa J erm an. Gron d dalam bahasa Belan da m em iliki m akn a yan g sam a dengan Gerund dalam bahasa J erm an yang berarti “dasar”. Sedangkan , w et atau gesetz biasa diartikan un dan g-un dan g. Oleh sebab itu, dalam bahasa In don esia, grondw et itu disebut dengan istilah undang-un dan g dasar. Nam undang-un , para ahli pada um um n ya sepakat bahwa pengertian kata konstitusi itu lebih luas daripada un dan g-un dan g dasar. Sarjan a Belan da seperti L.J . van Apeldoorn juga m enyatakan bahwa constitutie itu lebih luas daripada gron dw et. Men urut Apeldoorn , gron dw et itu hanya m em uat bagian tertulis saja dari con stitutie yan g cakupann ya m eliputi juga prin sip-prin sip dan n orm a-n orm a dasar yang tidak tertulis. Dem ikian pula di J erm an , v erfassung dalam arti kon stitusi dianggap lebih luas pengertiann ya daripada gerundgestz dalam arti un dan g-un dan g dasar.
Oleh karen a itu, sam pai sekaran g, dalam bahasa J erm an , dibedakan antara istilah gerundrecht (hak dasar), v erfassung, dan gerundgezet. Kem udian dalam bahasa Belanda juga dibedakan antara grond-recht (hak dasar), constitutie, dan grondw et. Dem ikian pula dalam bahasa Perancis, dibedakan antara Droit Constitution n el dan Loi Con stitutionn el. Istilah yan g pertam a identik de-n gade-n pede-ngertiade-n kode-n stitusi, sedade-n g yade-n g kedua adalah
22 Sebagai perbandingan, di dalam Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Constitution diartikan sebagai “The fundamental and organic law of a nation or state that establishes the institutions and apparatus of government, defines the scope of governmental sovereign powers, and guarantees indiv-idual civil rights and civil liberties”. Sedangkan, di dalam Oxford Dictionary of Law, Fifth Edition, Constitution diartikan “The rules and practices that determine the composition and functions of the organs of central and local government in as state and regulate the relationship between the individual and the state”.
un dan g-un dan g dasar dalam arti kon stitusi yan g ter-tuang dalam n askah tertulis.23 Untuk pen gertian kon
-stitusi dalam arti un dan g-un dan g dasar, sebelum di-pakain ya istilah grondw et, di Belanda pernah dipakai juga istilah staatsregeling. Atas prakarsa Gijsbert Karel van H ogen dorp pada tahun 18 13, istilah grondw et dipa-kai un tuk m en ggan tikan istilah staatsregeling.24
Oleh sebab itu, di n egeri Belan da, seperti di-katakan oleh Sri Soem an tri, istilah gron dw et itu baru digun akan pada tahun 18 13.25 Artinya, yan g dapat
diiden tikkan den gan Un dan g-Un dan g Dasar n egara jajahan H in dia Belan da adalah Indische Staatsregeling. Oleh sebab itu, den gan terben tuknya negara Republik In -don esia berdasarkan UUD 1945 pada tahun 1945, sudah seharusn ya undang-undang dasar zam an H india Belanda in i dian ggap tidak lagi m em pun yai kekuatan hukum m e-n gikat. Kalaupue-n berbagai peraturae-n perue-ndae-ng- perundang-un dan gan yan g diwarisi dari zam an H in dia Belan da itu m asih diberlakukan berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945, m aka daya ikatnya tidak lagi berdasarkan ke-ten tuan Indische Staatsregeling, m elain kan karen a UUD 1945 sen diri tetap m em berlakukan n ya ke dalam wilayah n egara Republik In don esia yan g m erdeka dan berdaulat berdasarkan undang-undang dasar yang baru, sem ata-m ata untuk ata-m en gatasi kekoson gan hukuata-m ( rechts-v acuum) yan g dapat tim bul karen a situasi perubahan transisional sebagai negara yang baru m erdeka.
Sem ua produk hukum m asa lalu, sepan jang m e-m an g e-m asih diperlukan haruslah dilihat sebagai produk hukum In donesia sendiri yan g m em ang diperlukan un -tuk n egara hukum Indonesia. Seperti haln ya di zam an
23
Dalam bahasa Italia disebut Diritto Constitutionale; sedangkan dalam bahasa Arab disebut Masturiyah, Dustuur, atau Qanun Asasi.
24
Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 1-2.
(21)
kem erdekaan sekarang ini, cukup banyak produk pe-raturan perundan g-un dan gan yan g sebagian atau seluruh m aterin ya berasal dari contoh-contoh praktik hukum di n egara-n egara lain yan g din ilai patut un tuk dicon toh.26 Atas dasar alasan in ilah, m aka pem berlakuan
produk-produk hukum pen inggalan zam an H in dia Belan da dapat diben arkan, m eskipun hal itu tetap tidak m enutup keharusan untuk m elakukan upaya pem baruan besar-besaran terhadap produk-produk hukum m asa lalu itu disesuaikan dengan kehen dak perubahan zam an .
Apalagi, In don esia dewasa in i berada dalam alam m odern yan g san gat diten tukan oleh (i) perkem bangan ilm u pengetahuan dan teknologi m odern, (ii) sistem de-m okrasi yan g terus tude-m buh, dengan (iii) tun tutan sistede-m ekonom i pasar yang sem akin kuat, serta (iv) diiringi pula oleh pengaruh globalisasi dan gejolak kedaerahan yang san gat kuat. Sem ua in i m em erlukan respons sistem hukum dan kon stitusi yang dapat m en jalan kan fungsi kontrol dan sekaligus fungsi pendorong ke arah pem -baruan terus m enerus m enuju kem ajuan ban gsa yang sem akin cerdas, dam ai, sejahtera, dem okratis, dan ber-keadilan .
2 . D e fin is i H u ku m Ta ta N e ga ra
Di antara para ahli hukum , dapat dikatakan tidak terdapat rum usan yan g sam a ten tan g defin isi hukum dan dem ikian pula dengan definisi hukum tata negara seba-gai hukum dan sebaseba-gai caban g ilm u pengetahuan hu-kum . Perbedaan -perbedaan itu sebagian disebabkan oleh faktor-faktor perbedaan pan dan gan di antara para ahli hukum itu sen diri, dan sebagian lagi dapat disebabkan oleh perbedaan sistem yang dian ut oleh n egara yan g
26
Sebagian besar dari hal tersebut seringkali kita temukan pada peraturan perundang-undangan dalam ranah hukum perdata dan pidana baik itu dalam praktik maupun ilmu hukumnya masing-masing.
dikan objek pen elitian oleh sarjana hukum itu m asing-m asing. Misalnya, di negara-n egara yang asing-m enganut tradisi com m on law ten tu berbeda dari apa yan g diprak-tikkan di lin gkun gan n egara-n egara yang m en ganut tra-disi civ il law .
Bahkan , dalam perkem ban gan praktik selam a berabad-abad, di an tara n egara-n egara yan g m engan ut tradisi hukum yang sam a pun dapat tim bul perbedaan-perbedaan karena latar belakang sejarah an tara satu n egara den gan n egara lain yang juga berbeda-beda. Misalnya, m eskipun sam a-sam a m en ganut tradisi com -m on law, antara Inggris dan Am erika Serikat jelas m em -pun yai sejarah hukum yan g berbeda, sehingga kon sep-kon sep hukum dan sep-kon stitusi yan g dipraktikkan di kedua negara ini juga banyak sekali yang tidak sam a. Apalagi, di In ggris sen diri tidak terdapat n askah kon stitusi yang bersifat tertulis dalam satu naskah UUD, sedangkan Am erika Serikat m em iliki naskah UUD tertulis yang dapat dikatakan sebagai n egara m odern pertam a yan g m em ilikin ya.
Berbagai pandan gan para sarjan a m en gen ai de-fin isi hukum tata negara itu dapat dikem ukakan an tara lain sebagai berikut:
a. Christian van Vollen hoven
Men urut van Vollen hoven , hukum tata n egara m en gatur sem ua m asyarakat hukum atasan dan m asya-rakat hukum bawahan m en urut tin gkatan -tingkatan n ya, yang m asin g-m asin g m en entukan wilayah atau lingkun galingkun rakyatlingkun ya selingkundiriselingkun diri, dalingkun m elingkunelingkun tukalingkun badalingkun -badan dalam lingkungan m asyarakat hukum yang ber-san gkutan beserta fun gsin ya m asin g-m asin g, serta m
(22)
e-n ee-n tukae-n pula susue-n ae-n dae-n kewee-n ae-n gae-n badae-n-badae-n yan g dim aksud. 27
Sebagai m urid Oppen heim , van Vollen hoven juga m ewarisi pan dan gan gurun ya itu yang m em bedakan an -tara hukum tata n egara dan hukum adm in istrasi negara. Pem bedaan itu digam barkan n ya dengan perum pam aan dalam hukum tata n egara, m elihat n egara dalam keadaan diam (in rust), sedan gkan dalam hukum adm inistrasi n egara, m elihat n egara dalam keadaan bergerak (in bew eging).28
b. Paul Scholten
Men urut Paul Scholten , hukum tata n egara itu tidak lain adalah het recht dat regelt de staatsorgan i-satie, atau hukum yan g m engatur m engenai tata or-gan isasi n egara. Den or-gan rum usan dem ikian , Scholten han ya m en ekan kan perbedaan an tara organ isasi n egara dari organ isasi n on -n egara, seperti gereja dan lain -lain . Scholten sengaja m em bedakan an tara hukum tata n egara dalam arti sem pit sebagai hukum organisasi negara di satu pihak dengan hukum gereja dan hukum perkum -pulan perdata di pihak lain den gan ken yataan bahwa kedua jen is hukum yan g terakhir itu tidak m em ancarkan otoritas yan g berdiri sendiri, m elain kan suatu otoritas
27
Christian van Vollenhoven, Staatsrecht Overzee, (Leiden: Stenfert Kroese, 1934), hal. 30, “Het staatsrecht heeft vooreerst alle hogere en lagere rechtsgemeenschappen met hun hierarchie te tekenen, dan van elke diergemeenshappen het grond en personengebied te omschrijven en ver-volgens aan te geven, over welke organen de verschillende overheidsfuncties verdeeld zijn bij elke dier gemeenshappen (samenstelling en bevoegdheid dier organen ter regelen)”. Lihat Prof. Mr. J. Oppenheim, “Nederlandsch Administratiefrecht”, 1912, dan “Omtrek van het Administratiefrecht” dalam
Verhandelingen voor Gedragen in de Koninklijke Academie van Wetenshappen.
28
Djokosoetono, Op. Cit., hal. 47-48.
yan g berasal dari n egara.29 J ika yan g diatur adalah
orga-n isasi orga-n egara, m aka hukum yaorga-n g m eorga-n gaturorga-n ya itulah yan g disebut sebagai hukum tata negara (constitutional law). Men gen ai hubun gan an tara organ isasi n egara de-n gade-n warga de-negara, seperti m ede-n gede-n ai soal hak asasi m an usia, belum dipertim ban gkan oleh Paul Scholten . c. van der Pot
Men urut van der Pot, hukum tata n egara adalah peraturan-peraturan yang m enen tukan badan-badan yan g diperlukan beserta kewen an gan nya m asing-m asing, hubun gann ya satu sam a lain , serta hubun gann ya dengan in dividu warga n egara dalam kegiatan n ya.30 Pan dangan
van der Pot in i m en cakup pen gertian yan g luas, di sam ping m en cakup soalsoal hak asasi m an usia, juga m en -jangkau pula berbagai aspek kegiatan n egara dan warga n egara yang dalam defin isi sebelum n ya dian ggap sebagai objek kajian hukum adm in istrasi n egara.
d. J .H .A. Logem an n
Mirip den gan pen dapat Paul Scholten , m en urut J .H .A. Logem ann , hukum tata n egara adalah hukum yan g m en gatur organisasi n egara. Negara adalah organ i-sasi jabatan-jabatan .31 J abatan m erupakan pen gertian
yuridis dari fungsi, sedangkan fun gsi m erupakan pen
29 Lihat Asser-Scholten, “Algemeen Deel”, cetakan kedua, 1934, hal. 42
dalam J.H.A. Logemann, Over de Theorie van Eeen Stellig Staatsrecht
(1948), diterjemahkan menjadi Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1975), hal. 88.
30 van der Pot, Handboek van het Nederlands Staatsrecht, (Zwolle: W.E.J.
Tjeenk Willink, 1968), hal. 5, “Die regelen stellen de nodige organen in, regelen de bevoegdheden dier organen, hun orderlinge verhouding, hun ver-houding tot de individuen (en zijn werkzaarm hed)”. Lihat juga dalam Kus-nardi dan Ibrahim, Op.Cit., hal. 25.
31
“Het staatsrecht als het recht dat betrekking heeft op de staat –die gezags-organisatie– blijkt dus functie, dat is staatsrechtelijk gesproken het ambt, als kernbegrip, als bouwsteen te hebben”. Logemann, Op. Cit., hal. 81.
(23)
tian yan g bersifat sosiologis. Karen a negara m erupakan organ isasi yan g terdiri atas fungsi-fun gsi dalam hubu-n gahubu-nhubu-n ya satu dehubu-n gahubu-n yahubu-n g laihubu-n m aupuhubu-n dalam keseluru-han n ya, m aka dalam pengertian juridis, n egara m erupa-kan organisasi jabatan. H ukum tata n egara m eliputi baik persoonsleer m aupun gebiedsleer, dan m erupakan suatu kategori historis, bukan kategori sistem atis. Artin ya, hu-kum tata n egara itu han ya bersan gkut-paut den gan geja-la historis n egara. 32
e. van Apeldoorn
H ukum tata negara (v erfassungsrecht) dise-butkan oleh van Apeldoorn sebagai staatsrecht dalam arti yang sem pit. Sedan gkan dalam arti yan g luas, staatsrecht m eliputi pula pen gertian hukum adm inistrasi n egara (v erw altungsrecht atau adm inistratiefsrecht). Seben arn ya, van Apeldoorn sen diri dalam karya-karyanya tidak ban yak m em bahas soal-soal yang berken aan den gan hukum tata n egara (v er-fassungsrecht), kecuali m en gen ai tugas-tugas dan ke-wen an gan atau kewajiban dan hak-hak alat-alat per-lengkapan negara. Dalam berbagai bukunya, van Apel-doorn m alah tidak m enyinggun g sam a sekali m en gen ai pen tin gn ya persoalan kewargan egaraan dan hak asasi m an usia. 33
f. Mac-Iver
H ukum Tata Negara (constitutional law) adalah hukum yan g m en gatur n egara, sedangkan hukum yang oleh n egara dipergunakan un tuk m en gatur sesuatu selain negara disebut sebagai hukum biasa (ordinary law). Menurut Mac Iver:
32Ibid.
, hal. 88.
33
Lihat “Inleiding tot de Studie van het Nederlandsrecht”, diterjemahkan menjadi Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1968), hal. 240.
“... w ithin the sphere of the State, there are tw o kinds of law . There is the law w hich gov erns the state and there is the law by m ean s of w hich the state governs. The form er is con stitution al law , the latter w e m ay for the sake of distinction call ordin ary law”.34
Bagin ya, hanya ada dua golon gan hukum , yaitu hukum tata n egara atau constitutional law dan hukum yan g bukan hukum tata negara, yaitu yan g disebutn ya sebagai ordinary law. H ukum Tata Negara ( Constitu-tion al Law) m erupakan hukum yan g m em erin tah n e-gara, sedan gkan H ukum Biasa (Ordinary Law) dipakai oleh n egara untuk m em erintah.35
g. Wade an d Phillips
Dalam bukun ya “Constitutional Law ” yang terbit pada tahun 1939, Wade an d Phillips m erum uskan “Constitutional law is ... body of rules w hich prescribes (a) the structure, (b) the fun ctions of the organ s of central and local gov ernm ent”. Dalam buku yang sam a terbitan tahun 1960 , dinyatakan:
“In the gen erally accepted of the term it m ean s the rules w hich regulate the structure of the principal organs of gov ern m en t an d their relation ship to each other, an d determ ine their principal functions”.36
Dalam kedua rum usan tersebut, Wade an d Phillips, yang bukunya terken al sebagai buku teks yang sangat luas dipakai di Inggris, m en en tukan bahwa hu-kum tata n egara m en gatur alat-alat perlengkapan n
34
MacIver, R.M., The Modern State, First Edition, (London: Oxford University Press, 1955), hal. 250.
35
Lihat Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hal. 9.
36
Bandingkan Wade and Phillips, Constitutional Law, edisi tahun 1939, hal. 4, dan edisi tahun 1960 hal 3.
(1)
filsafat, 10 0 , 154, 157,
30 8 , 311, 312
form eele
, 37
G
G. Marshall, 252
G.S. Dipon olo, 150 , 241
Gadam er, 30 8
Georg J ellin eck, 42
George J ellin ek, 266
Gereja, 18 3
gerundgestz
, 21
Gijsbert Karel van
H ogen dorp, 22, 120
Glanvill, 91, 92, 361
Gregoire, 92
Gregory Leyh, 30 8
H
H .L.A. H art, 32, 199
H am id S. Attam im i, 20 1,
221
Hans Kelsen , 12, 19, 62,
121, 122, 129, 130 , 152,
163, 20 0 , 20 1, 20 2,
327
H arlow, 8 3, 8 4, 353
H arm aily Ibrahim , 9, 16,
33, 34, 54, 55, 74, 111,
141, 211, 257, 268 ,
354, 359
H arun Alrasid, 16, 49,
120 , 352
H erm an H eller, 19, 123,
138
Herm an n H eller, 16,
124, 125, 138
H in dia Belan da, 22
H oft, 275, 28 0 , 291, 293,
297, 354
H ukum Dagang., 63
H ukum Eropa, 69
H ukum Gereja, 90
H ukum Intern asional,
46, 65, 66, 68 , 159,
166, 18 2, 230
H ukum Pajak, 8 5
H ukum Perdata, 52, 63,
358
H ukum Tata Usaha, 42,
53, 58 , 8 5, 354
hum an creation
, 13
H um an Rights, 71, 18 6,
18 7, 190 , 350
I
ijm a
, 153
ijtihad
, 153
ilm u fiqh, 155, 157, 311
Ilm u H ukum , 7, 15, 27,
36, 39, 41, 42, 44, 46,
75, 157, 18 1, 30 8 , 359
Ilm u Politik, 14, 17, 44,
351
ilm u sosial, 14, 45, 46
Ilm u Sosial, 44, 46
Ilm u” H ukum Tata
Negara, 47
Indepen den ce, 71
Inggris, 115, 140
inhoud
, 37, 38 , 39
Islam , 10 6, 10 7, 10 9, 110 ,
112, 113, 153, 154, 311,
312, 350 , 351, 353,
354, 355, 360
Ism ail Sun y, 126, 145,
234, 238 , 241, 256,
264, 266, 267, 268
Italia, 17, 22, 119, 274
ius constituen dum
, 5
ius constitutum
, 5
Ivo D. Duchacek, 116
J
J .H .A. Logem ann, 26,
37, 60 , 70
J am es II, 18 5
J am es VII, 18 5
J erm an, 16, 17, 21, 46,
51, 69, 114, 119, 133,
137, 138 , 166, 176,
310 , 322
J erzy Wroblewski, 30 4
J ohn Alder, 53, 54, 71,
76, 77, 155, 156, 157,
162, 163, 165, 166,
167, 177
Judicial Precedent
, 18 8
J udiciary, 71, 72, 76, 353
juridis, 20 , 27, 123, 124,
139, 152
jurisprudence
, 176, 290 ,
30 4
jurist
, 4, 5, 48 , 317
J ustifikasi, 28 8 , 30 3
K
K.C. Wheare, 145, 238 ,
243, 254, 256, 273,
320
Kan ada, 176, 251, 252
Karl Loewen stein , 135
Katharine, 8 1, 8 2
Kem al Ataturk, 113
Kerajaan Inggris, 112,
155, 263, 264, 265
Khalifatu al-Rasyidin ,
110
KNIP, 228 , 241, 257, 265
Kon stitusi Weim ar, 133
KPI, 174
KPK, 20 4, 329
KPPU, 174, 20 4
KPU, 174, 20 4, 226, 341
KPUD, 341
Kran enburg, van der
Pot, 63
Kristen, 112
K-TUN, 8 7
L
L.J . van Apeldoorn , 21
legal fiction theory
, 20
Leon Duguit, 121, 122
lex
, 91, 10 2
Literlijk
, 290
llm u Negara, 50
(2)
Lord Bin gham , 191
Lord Nicholls, 191
Lord Wilberforce, 18 7
LSM, 337
M
M.G. Clarke, 14
Mac Iver, 27
MacCorm ick, 20 0 , 30 4,
361
Madinah, 10 6, 10 7, 10 8 ,
10 9, 350
Magna Charta
, 92, 161,
18 3, 18 4
Mahfud M.D, 146, 355
Mahkam ah Agun g, 8 7,
118 , 119, 174, 177, 18 1,
20 4, 215, 222, 224,
225, 226, 251, 252,
322, 332, 333, 339,
355, 363, 365
Mahkam ah Kon stitusi,
174, 215, 310 , 318 ,
321, 322, 329, 330 ,
331, 332, 333, 334,
335, 336, 338 , 339,
340 , 342, 343, 344,
345, 349, 358 , 366,
367, 368
Majid Khadduri, 10 7
m aterieele
, 37
Maurice Duverger, 30
Maurice H auriou, 150
Meinhard Schroder, 51
Mekkah, 10 6, 10 8
Michael Allen, 19, 70 ,
161, 247
M ichael J. Allen
, 70
Michael T. Molan , 30 ,
31, 71, 237
Moh. Kusn ardi, 9, 16,
33, 34, 37, 54, 55, 74,
111, 135, 141, 211, 257,
268
Montgom ery Watt, 10 7
Muhajirin, 10 8
Mukm inin , 10 8
Muslim in, 58 , 10 8 , 357
N
Nabi Muham m ad SAW,
311
Nasion al Assem bly, 298
Nicholson, 10 7
norm w issen schaft
, 47
O
O. H ood Phillips, 11, 31,
71, 72, 199, 239, 243,
244, 254
obsolete
., 8
Oppen heim , 25, 51, 53,
55, 56
Orde Baru, 18 0 , 218 ,
221, 223, 260 , 319
ordinary law
, 27, 28 ,
118
P
Padm o Wahyon o, 126,
135, 20 1
Pahlawan Am pera, 213
Pan casila, 130 , 151, 197,
198 , 20 1, 20 2, 319
Paton George
Whitecross, 29, 156
Patricia Leopold, 11, 31,
71, 199, 239, 242, 244,
246, 254, 357
Patrick Gordon Walker,
261
Paul J ackson , 11, 31, 71,
199, 239, 242, 244,
246, 254
Paul Scholten, 25, 26
penyelidikan hukum , 59
Perancis, 15, 17, 20 , 21,
30 , 53, 92, 119, 121,
135, 138 , 141, 166, 176,
277, 30 1, 322
Peraturan Pem erintah
(PP), 215, 219, 224
PERMA, 174, 20 4, 226
Peter Leylan d, 8 3, 8 4
Phillips, 11, 29, 32, 72,
10 7, 115, 199, 239,
242, 244, 245, 246,
247, 250 , 251, 357,
362
Piagam Madinah, 10 6,
10 7, 10 8 , 10 9, 111, 112,
359
Pierre Gregoire
Tholosan o, 92
Pitlo, 28 5, 291, 292,
30 0 , 30 1
Plato, 95, 97, 98
PMK, 174, 20 4, 226,
335, 340 , 366
Politea
, 91
politeia
, 8 9, 93, 94, 95
PPNS, 324, 328
Prof. Dr. Djokosoetono,
16, 18
Prof. Dr. J ahn el Ilm ar,
67, 68
PTUN, 8 7
Q
qiy as
, 154, 155
Quraisy, 10 8
R
R aja Dy onisius II
, 98
Raja Edward, 18 3
Rawlings, 8 3, 8 4, 353
R echt
, 19, 34, 37, 48 , 51,
53
regelen daad
, 20 8 , 324
Rengers H ora Siccam a,
48 , 49
Rom awi, 90 , 93, 10 0 ,
10 1, 10 2, 10 3, 10 4, 10 5
RUU, 114, 28 4, 28 5
(3)
S
Sabien Lust, 8 0
Scholten , 25, 26, 28 1,
294
Scotlan d, 18 5, 18 6, 18 7
Sir Ivor J en n in gs, 243,
245, 252, 264
Sir J ohn Don aldson , 246
Skotlan dia, 18 5
society
, 11, 12, 13, 14, 8 4,
10 0 , 319, 331, 337,
346
Soeharto, 18 0 , 213, 315
Soekarno, 18 0 , 234, 259,
268 , 315
Sri Soem antri, 17, 22,
119, 120 , 126, 135, 144,
171
staat in bew eging
, 35,
41, 51, 56, 318
staat in rust
, 35, 41, 51,
55, 56
staatslehre
, 19, 42, 43
Staatsrecht
, 16, 25, 26,
37, 60 , 62, 64, 70 , 8 0 ,
124, 349, 354, 355,
360
Staatsw issenschaft
, 43
status quo
, 99
Statute Law
, 190
Stellinga, 61, 62, 63
stelselm atigheid
, 37
Stoic, 10 3
struktural
, 66, 328 , 333
Struycken , 141, 267
Sudikn o, 28 5, 291, 292,
30 0 , 30 1
Sum m ers, 30 4
Sutan dyo, 290 , 30 4
Syahrir, 229, 258
syari’at, 154
T
TAP, 20 4, 224
Terry Woods, 8 3, 8 4,
355
The Com m on Law
, 18 8
the law of torts
, 31
theorie
, 19, 42, 48 , 59,
60 , 62, 63, 20 2
Thom as Pain e, 19, 94,
20 0
Tim ur Tengah, 10 6
TLN-RI, 20 5
Tuhan , 66, 10 1, 10 4
Turki Usm ani, 113
U
Ulpian , 10 2
Um ar ibn Khattab, 110
Undang-Un dang
Merton , 92
Uni Eropa, 6, 68 , 69, 79
Uni Soviet, 20
Universitas Salzburg, 67,
68
Universitas Vienn a, 67,
68
Utrecht, 157, 230 , 232,
28 0 , 28 1, 28 2, 290 ,
292, 293, 294, 297,
350 , 360
Utsm an ibn Affan , 110
V
van Apeldoorn , 27, 157
van der Pot, 26
Van der Pot, 360
van Vollen hoven, 24, 25,
37, 55, 56
Vegting, 63, 64, 65, 362
Vegtin g. Kran enburg, 63
v erfassung
, 17, 19, 21,
119, 124, 126, 127, 134,
137, 138 , 139
v erfassungslehre
, 16, 35
Verfassungslehre
, 16,
18 , 124, 126, 128 , 358
v erfassungsrecht
, 16, 19,
27, 35, 43, 44, 47, 8 6
Verfassungsrecht
, 16, 17,
18 , 41, 51, 68
Verw altungsrechtlehre
,
42
Visser’t, 275, 278 , 28 2,
28 3, 28 4, 291, 292,
294, 297, 299, 354
Visser’t H oft, 275, 278 ,
28 2, 291, 294, 297,
299
v orm
, 37, 39, 126, 128
W
W.L. Newm an, 95
Wade, 28 , 268 , 360
Wade an d Phillips, 28 ,
268
W et
, 34
William Eskrige, 30 5
w ilsov ereen-stem m ing
,
38
Wirjono Prodjodikoro,
15, 28 , 45, 52, 233
Y
Yahudi, 10 8
Yastrib, 10 6
Yunan i, 8 9, 90 , 91, 94,
98 , 10 0 , 10 1, 10 2, 10 3,
10 5
Z
Zainal Abidin Ahm ad,
10 7
(4)
TEN TAN G P EN U LIS
N am a
Le n gk ap
:
Prof. Dr. J im ly Asshiddiqie, S.H .
Ala m a t
Ru m a h
:
J l. Widya Chan dra III No. 7,
J akarta Selatan.
Telp.: 0 21-5227925.
H P : 0 8 11-10 0 120 .
Em ail :
jim ly21@hotm ail.com
Ala m a t
Ka n to r
:
Mahkam ah
Kon stitusi
Republik
Indonesia
J l. Medan Merdeka Barat No.
6-7, J akarta Pusat.
Telp/ Faks.: 0 21-35220 8 7.
Em ail :
jim ly@m ahkam ahkon stitusi.go.id
P e n d id ika n :
1.
Fakultas H ukum Un iversitas In donesia, J akarta,
198 2 (Sarjana H ukum ).
2.
Fakultas Pasca Sarjan a Un iversitas Indon esia, J
akar-ta, 198 4 (Magister H ukum ).
3.
Fakultas Pasca Sarjana Un iversitas Indonesia J
akar-ta (198 6-1990 ), dan Van Vollen hoven In stitute, serakar-ta
Rechts-faculteit, Un iversiteit Leiden , program
doctor
by research
dalam ilm u hukum (1990 ).
4.
Post-Graduate Sum m er Refreshm ent Course on
Le-gal Theories, H arvard Law School, Cam bridge,
Massachussett, 1994.
5.
Dan berbagai
short courses
lain di dalam dan luar
n egeri.
P e n gab d ia n d a la m Tu gas P e m e rin ta h a n d a n
J a b a ta n P u b lik lain n ya :
1.
Pengajar Fakultas H ukum Un iversitas Indon esia
se-jak tahun 198 1 sam pai sekarang. Sese-jak tahun 1998
diangkat sebagai Guru Besar H ukum Tata Negara,
dan sejak 16 Agustus 20 0 3 berhen ti sem en tara
seba-gai Pegawai Negeri Sipil (PNS) selam a m en duduki
jabatan H akim Kon stitusi, sehin gga berubah status
m enjadi Guru Besar Luar Biasa.
2.
An ggota Tim Ahli Dewan Perwakilan Rakyat
Repu-blik In don esia, 198 8 -1993.
3.
An ggota Kelom pok Kerja Dewan Pertahan an dan
Ke-am anan Nasion al (Wan hankKe-am n as), 198 5-1995.
4.
Sekretaris Dewan Pen egakan Keam an an dan Sistem
H ukum (DPKSH ), 1999.
5.
Ketua Bidan g H ukum Tim Nasion al Reform asi
Nasi-on al Men uju Masyarakat Madan i, 1998 -1999, dan
Penanggun gjawab Pan el Ahli Reform asi Kon stitusi
(bersam a Prof. Dr. Bagir Manan, SH ), Sekretariat
Negara RI, J akarta, 1998 -1999.
6.
Anggota Tim Nasion al Indon esia Menghadapi
Tan-tan gan Globalisasi, 1996-1998 .
7.
Anggota Tim Ahli Pan itia Ad H oc I (PAH I), Badan
Pekerja Majelis Perm usyawaratan Rakyat Republik
In don esia dalam ran gka Perubahan Undang-Un dan g
Dasar 1945 (20 0 1).
(5)
8 .
Sen ior Scien tist bidan g H ukum BPP Tekn ologi, J
a-karta, 1990 -1997.
9.
Staf Ahli Men teri Pen didikan dan Kebudayaan
Repu-blik In don esia, J akarta, 1993-1998 .
10 .
Anggota Tim Pengkajian Reform asi Kebijakan
Pen-didikan Nasion al Departem en Pen Pen-didikan dan
Ke-budayaan , J akarta, 1994-1997.
11.
Asisten Wakil Presiden Republik In don esia bidan g
Kesejahteraan Rakyat dan Pengen tasan Kem iskinan ,
1998 -1999 (Asisten Wakil Presiden B.J . H abibie
yang kem udian m enjadi Presiden RI sejak Presiden
Soeharto m engundurkan diri pada bulan Mei 1998 ).
12.
Diangkat dalam jabatan akadem is Guru Besar dalam
Ilm u H ukum Tata Negara Fakultas H ukum Un
iver-sitas Indon esia, J akarta, 1998 .
13.
Koordin ator dan Penan ggun gjawab Program Pasca
Sarjana Bidan g Ilm u H ukum dan Masalah Ken
egara-an , Fakultas H ukum Un iversitas In donesia, J akarta,
20 0 0 -20 0 4.
14.
An ggota Senat Akadem ik Un iversitas In don esia,
20 0 1-sekaran g.
15.
Penasehat Ahli Sekretariat J en deral MPR-RI, 20 0
2-20 0 3.
16.
Penasehat Ahli Menteri Perin dustrian dan
Perda-gan Perda-gan Republik In don esia, 20 0 2-20 0 3.
17.
An ggota tim ahli berbagai ran can gan un
dang-un dan g di bidan g hukum dan politik, Departem en
Dalam Negeri, Departem en Kehakim an dan H AM,
serta Departem en Perindustrian dan Perdagangan,
sejak tahun 1997-20 0 3.
18 .
Pengajar pada berbagai Diklatpim Tin gkat I dan
Tingkat II Lem baga Adm inistrasi Negara (LAN)
sejak tahun 1997-sekaran g.
19.
Pengajar pada kursus KSA dan KRA LEMH ANNAS
(Lem baga Pertahanan dan Keam an an Nasion al)
se-jak 20 0 2-sekarang.
20 .
Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas H ukum
ber-bagai Universitas Negeri dan Swasta di J akarta,
Yogyakarta, Surabaya, dan Palem bang.
P u b likas i Ilm ia h :
1.
Gagasan Kedaulatan dalam Konstitusi dan
Pelak-sanaan n y a di Indonesia
, J akarta: Ichtiar Baru-van
H oeve, 1994.
2.
Pem baruan H ukum Pidana di In don esia
, Ban dun g:
Angkasa, 1995.
3.
Pergum ulan Peran Pem erintah dan Parlem en
da-lam Sejarah
, J akarta: UI-Press, 1996.
4.
Agenda Pem bangunan H ukum di Abad Globalisasi
,
J akarta: Balai Pustaka, 1997.
5.
Undang-Un dang Dasar 1945: Konstitusi N egara
Kesejahteraan dan R ealitas M asa Depan
, J akarta:
Un iversitas Indon esia, 1998 .
6.
Reform asi B.J. H abibie: Aspek Sosial, Buday a dan
H ukum
, Bandung: Angkasa, 1999. Edisi bahasa
Ing-geris
H abibie’s R eform : Socio-Cultural Aspect and
the Legal Sy stem
, Ban dun g: An gkasa, 1999.
7.
Islam dan Kedaulatan R aky at
, J akarta: Gem a
In san i Press, 1997.
8 .
Teori dan Aliran Pen afsiran dalam H uk um Tata
N egara
, J akarta: In H ilco, 1998 .
9.
Pengantar Pem ikiran Perubahan Undang-Un dang
Dasar N egara Kesatuan R epublik Indonesia Tahun
1945
, J akarta: The H abibie Cen ter, 20 0 1.
10 .
Konsolidasi N askah UUD 1945 Pasca Perubahan
Keem pat
, J akarta: PSH TN FH UI, 20 0 2.
11.
M ahkam ah Konstitusi: Kom pilasi Ketentuan UUD,
UU, dan Peraturan ten tang Mahk am ah Konstitusi
di 78 N egara
, J akarta: PSH TN-FH -UI, 20 0 3.
12.
Form at Kelem bagaan N egara dan Pergeseran
Ke-kuasaan dalam UUD 1945
, Yogyakarta: FH
-UII-Press, 20 0 4.
(6)
13.
Konstitusi dan Kon stitusionalism e Indonesia
, J
akar-ta: MKRI-PSH TN FH UI, 20 0 4.
14.
M em orabilia Dew an Pertim bangan Agung
Repu-blik Indonesia
, J akarta: Kon stitusi Press, 20 0 5.
15.
H ukum Tata N egara dan Pilar-pilar Dem okrasi
,
J akarta: Konstitusi Press, (cetakan pertam a 20 0 4,
cetakan kedua 20 0 5).
16.
M odel-m odel Pengujian Konstitusional di Berbagai
N egara
, J akarta: Kon stitusi Press (cetakan pertam a
April 20 0 5, cetakan kedua Mei 20 0 5).
17.
Kem erdekaan Berserikat, Pem bubaran Partai
Politik, dan Mahkam ah Konstitusi
, J akarta:
Konsti-tusi Press (cetakan pertam a J uli 20 0 5).
18 .
Kem erdekaan Berserikat, Pem bubaran Partai
Poli-tik, dan Mahkam ah Konstitusi
, J akarta: Setjen dan
Kepan iteraan MKRI (cetakan pertam a Novem ber
20 0 5).
19.
Konstitusi dan Kon stitusionalism e Indonesia
, J
akar-ta: Konstitusi Press (cetakan pertam a J uli 20 0 5).
20 .
Konstitusi dan Kon stitusionalism e Indonesia
, J
akar-ta: Setjen dan Kepan iteraan MKRI (cetakan pertam a
Novem ber 20 0 5).
21.
H ukum Acara Pen gujian Un dang-Undang
, J akarta:
Yarsif Watam pon e (cetakan pertam a Novem ber
20 0 5).
22.
H ukum Acara Pen gujian Un dang-Undang
, J akarta:
Setjen dan Kepan iteraan MKRI (cetakan pertam a
Novem ber 20 0 5).
23.
Sengk eta Kew enangan Antarlem baga N egara
, J
a-karta: Kon stitusi Press (cetakan pertam a Oktober
20 0 5).
24.
Sengk eta Kew enangan Antarlem baga N egara
,
J
a-karta: Kon stitusi Press (cetakan kedua Februari
20 0 6).
25.
Teori H ans Kelsen Tentang H ukum
, J akarta:
Kons-titusi Press (bekerjasam a den gan PT Syaam il Cipta
Media, Ban dun g), 20 0 6.
26.