ANALISIS YURIDIS PERTANGUNG JAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN ( SKSHH ) DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(1)

PENYALAHGUNAAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH ) DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh CIK MAMAT YS

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG 2013


(2)

Oleh CIK MAMAT Ys

Abstrak

Hutan merupakan karunia dan amanah tuhan yang maha esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan alam yang tidak ternilai harganya dan wajib disyukuri. Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional, hal ini disebabkan hutan bermanfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Secara nyata manfaat dari hutan ikutan seperti getah, rotan, madu, buah-buahan. Selain itu pula hutan juga mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi, memberikan manfaat terhadap kesehatan, memberikan rasa keindahan dan lain sebagainya.

Kedudukan hutan juga sebagai salah satu penentu system penyangga kehidupan, penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga mempunyai keterkaitan dengan internasional menjadi sangat penting dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang dasar 1945 menyatakan bahwa, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Mengingat pentingnya fungsi hutan bagi umat manusia maka perlu dilakukan upaya pengolahan hutan dan penanggulangan terhadap terjadinya tindak pidana dibidang kehutanan yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan, contohnya pencurian kayu, perambahan hutan pembalakan liar, pembakaran hutan dan eksploitasi hasil hutan secara terus menerus oleh oknum yang diberi izin oleh pemerintah. Untuk menjaga kelestarian hutan pemerintah melakukan berbagai upaya, baik dari sarana ekonomi, sosial budaya dan penegakan hukum untuk itu menanggulangi pelanggaran dibidang kehutanan, maka perlu diperlukan pengenaan sanksi pidana yang berat bagi pelanggaran hukum dibidang kehutanan. Rusaknya kawasan hutan terjadi karena perambahan, pencurian kayu dan eksploitasi yang berlebihan dengan menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) yang tidak sesuai.. walaupun telah banyak pelaku tindak pidana perambahan dan pencurian kayu yang ditangkap, diproses dan dijatuhi hukuman, tetapi perusakan dan eksploitasi hasil hutan khususnya penebangan pohon masih tetap saja terjadi. Karena berdalih mempunyai izin pengusahaan hutan dari pemerintah, selain itu keterlibatan oknum pemerintah dan petugas juga mewarnai terjadinya perusakan hutan. Keadaan ini perlu mendapat perhatian yang khusus dan intensif untuk menjaga kelestarian hutan.


(3)

diajukan oleh jaksa penuntut umum kepada majelis hakim pengadilan kalianda, menjatuhkan sanksi pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pemberian sanksi pidana terhadap terdakwa dilakukan dengan tujuan supaya terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang telah dilakukanya berdasarkan pasal 50 Ayat (3) huruf b Jo pasal 78 ayat (15) undang-undang nomor 41 tahun 1999 sebagaimana telah di ubah dengan undang-undang 19 tahun 2004 tentang kehutanan.


(4)

(5)

(6)

(7)

Halaman Persetujuan ... iii

Halaman Pengesahan ... iv

Riwayat Hidup ... v

Surat Pernyataan... vi

Motto ... vii

Persembahan ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Permasalahan ... 8

C.Tujuan dan Kegunaan Peneliti ... 9

D.Kerangka Teoritas dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penelitian ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A.Pengertian dan Unsur Tindak Pidana ... 17

B.Pertanggung Jawaban Pidana ... 34

C.Pengertian Hutan dan Jenis Hutan ... 39

D.Tindak Pidana Kehutanan ... 43

E. Kebebasan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana ... 45

III.METODE PENELITIAN ... 49

A.Jenis dan Tipe Penelitian ... 49

B.Pendekatan Masalah ... 49

C.Sumber dan Jenis Data ... 50

D.Penentuan Populasi dan Sampel ... 51

E. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 52

F. Analisis Data ... 53

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

A.Pertanggung Jawaban Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)... 55

B.Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Kepada Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) ... 69

V. PENUTUP ... 86

A.Kesimpulan ... 86

B.Saran ... 88 DAFRAT PUSKATA


(8)

Hutan merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan alam yang tidak ternilai harganya dan wajib disyukuri. Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional, hal ini disebabkan hutan bermanfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Secara nyata manfaat dari hutan adalah menghasilkan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta hutan ikutan seperti getah, rotan, madu, buah-buahan. Selain itu pula hutan juga mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi, memberikan manfaat terhadap kesehatan, memberikan rasa keindahan dan lain sebagainya.

Kedudukan hutan juga sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga mempunyai keterkaitan dengan internasional menjadi sangat penting dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dijadikan dasar bagi penyelenggaraan kehutanan yang dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung jawab.


(9)

Mengingat pentingnya fungsi hutan bagi umat manusia maka perlu dilakukan upaya pengelolaan hutan dan penanggulangan terhadap terjadinya tindak pidana dibidang kehutanan yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan, contohnya pencurian kayu, perambahan hutan, pembalakan liar, pembakaran hutan dan eksploitasi hasil hutan secara terus menerus oleh oknum yang diberi izin oleh pemerintah. Untuk menjaga kelestarian hutan pemerintah melakukan berbagai upaya, baik dari sarana ekonomi, sosial budaya dan penegakan hukum, untuk itu menanggulangi pelanggaran dibidang kehutanan, maka perlu dilakukan pengenaan sanksi pidana yang berat bagi pelanggaran hukum dibidang kehutanan.

Rusaknya kawasan hutan terjadi karena perambahan, pencurian kayu dan eksploitasi yang berlebihan dengan menggunakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang tidak sesuai. Walaupun telah banyak pelaku tindak pidana perambahan dan pencurian kayu yang ditangkap, diproses dan dijatuhi hukuman, tetapi perusakan dan eksploitasi hasil hutan khususnya penebangan pohon masih tetap saja terjadi, karena pelaku berdalih mempunyai izin pengusahaan hutan dari pemerintah, selain itu keterlibatan oknum pemerintah dan petugas juga mewarnai terjadinya perusakan hutan. Keadaan ini perlu mendapat perhatian yang khusus dan intensif untuk menjaga kelestarian hutan.

Pencurian kayu dan pengelolaan hasil hutan tanpa izin merupakan suatu perbuatan yang tercela, karena dapat merugikan bahkan membahayakan


(10)

kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Pencurian kayu tersebut apabila dibiarkan secara terus menerus akan berdampak pada rusaknya hutan. Kerusakan ini tentu dapat mengganggu fungsi hutan sebagai penyangga utama kelangsungan lingkungan makhluk hidup. Apabila hutan tersebut khususnya hutan lindung yang karena sifat alamnya diperuntukan bagi pengaturan tata air juga sebagai pencegah banjir, erosi, tanah longsor terjadi kerusakan maka makhluk hidup yang ada dimuka bumi ini secara perlahan akan musnah.

Berbagai motif pencurian kayu yang terjadi di hutan dewasa ini banyak sekali yang menjadi faktor penyebabnya. Faktor penyebab timbulnya kejahatan secara umum akan memperlihatkan banyaknya variasi serta bermacam-macam aspek yang mendukung sehingga terjadinya suatu kejahatan contohnya pada tindak pidana pencurian kayu dihutan, perambahan hutan dan penyalahgunaan Surat Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Hal semacam ini merupakan tantangan yang berat dalam upaya mengembalikan fungsi hutan tersebut, karena pada akhirnya pemerintah dan masyarakat yang harus memikul tanggungjawab pemulihan dan merasakan dampaknya.

Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan (Selanjutnya dapat juga disebut Undang-Undang Kehutanan), juncto Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan bertanggung jawab atas perlindungan hutan, penegakan


(11)

hukum dibidang kehutanan mengharapkan para pengusaha hutan dan warga masyarakat dan aparat yang terkait bersikap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi sebaliknya apabila ada pelanggaran hukum dibidang kehutanan ini maka pelanggar tersebut diproses berdasarkan hukum yang berlaku ditindak atau dikenakan sanksi pidana sesuai dengan kesalahannya.

Pelaku tindak pidana penyalahgunaan atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan Surat Keteragan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dapat diancam dengan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) dan (15) Undang-Undang Kehutanan. Ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Kehutanan menyatakan bahwa setiap orang dilarang mengangkut, menguasai dan memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Untuk merealisasikan ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h tersebut, maka dalam Pasal 78 Undang-Undang Kehutanan mengatur mengenai ketentuan sanksi hukumnya, yaitu dalam ayat (7) barangsiapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00,- (Sepuluh Milyar Rupiah). Sedangkan dalam ayat (15) menyatakan bahwa semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.


(12)

Peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan tersebut dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam menegakan hukum dan menjatuhkan hukum sanksi pidana bagi pelaku yang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tidak dilengkapi dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Penjatuhan sanksi pidana tersebut bertujuan dengan tepat dan proporsional dalam rangka upaya penanggulangan kejahatan dibidang kehutanan, maka petugas dalam penegakan hukum dan menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku harus mempertimbangkan berbagai aspek substansi sanksi pidana dari peraturan tersebut. Disini dapat lihat adannya proses sistem peradilan pidana dalam penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dalam sistem peradilan pidana penjatuhan sanksi dilakukan oleh Majelis Hakim yang mempunyai kebebasan dalam menjatuhkan sanksi pidana yaitu terdapat pada setiap keputusannya. Penjatuhan sanksi pidana oleh Majelis Hakim terkadang tidaklah memberikan suatu sifat yang preventif terhadap pengelolaan, pemanfaatan, pelestarian dan perlindungan hutan. Sebagai contoh Putusan Perkara Nomor 150/Pid.B/2007/PN.Kld, Majelis Hakim dalam memutuskan perkara tersebut menjatuhkan sanksi pidana penjara selama 1 (satu) Tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan kurungan 6 (enam) bulan.


(13)

Berdasarkan contoh pada perkara pidana diatas Majelis Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa masih dirasakan ringan, sehingga hal tersebut tidak membuat jera bagi palaku lain untuk melakukan tindak pidana, padahal dalam Pasal 78 ayat (6) Undang-Undang Kehutanan telah dengan jelas disebutkan bahwa pelaku dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00,- (sepuluh milyar rupiah)

Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana dibidang Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), merupakan salah satu upaya penanggulangan tindak pidana. Berdasarkan kenyataan yang ada untuk menanggulangi tindak pidana dibidang kehutanan, maka para pelaku harus dikenai atau dijatuhi sanksi yang berat supaya para pelaku menjadi jera atas perbuatannya, serta sebagai terapi agar perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan pihak lain. Pemberian sanksi pidana oleh Majelis Hakim yang diangap terlalu ringan akan memberikan dampak negatif yaitu munculnya pelaku-pelaku yang lain untuk melakukan pemalsuan dan penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dalam pengelolaan hasil hutan, karena penjatuhan sanksi yang relatif ringan. Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana mempunyai kebebasan dan pedoman pemidanaan, tidak hanya menegakkan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, selain itu pula mempertimbangkan tujuan dan kemanfaatan sosial pemidanaan tersebut.


(14)

Hakim dalam memutuskan perkara tersebut mempunyai kebebebasan untuk dapat menjatuhkan sanksi pidana yang terdapat dalam setiap keputusannya, namun kebenarannya ini tidak berarti bahwa hukum boleh menjatuhkan pidana menurut kehendaknya sendiri. Dalam rangka pengelolaan hutan perlu dilakukan upaya yang lebih intensif supaya pelestarian lingkungan hidup dapat terpelihara sampai pada generasi yang akan datang.

Penegakan hukum yang telah dilakukan oleh aparat memiliki berbagai hambatan baik dari segi peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, fasilitas (sarana dan prasarana) yang kurang mendukung, kurangnya kesadaran hukum masyarakat mengenai fungsi dan manfaat hutan bagi kelangsungan lingkungan hidup. Berbagai faktor penghambat tersebut, praktik penebangan liar ataul illegal logging dapat terus berlangsung karena ada tiga pihak yang terkait yaitu pelaku dilapangan, penadah kayu curian, dan oknum aparat yang menyalahi kewenangannya melindungi pelaku dengan memberikan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) palsu demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Berdasarkan uraian tersebut upaya hukum penanganan terhadap pelaku harus diproses secara dan dikenakan sanksi pidana dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Berdasarkan alasan-alasan diatas peneliti tertarik untuk menjelaskan secara rinci dan sistematis melalui penelitian dan analisis terutama mengenai pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan


(15)

Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penyalahgunaan SKSHH dengan melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul : Pertanggung Jawaban Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Pada Pengadilan Negeri Kalianda).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas maka dalam penelitian ini permasalahan yang dirumuskan dan di cari permasalahan nya secara ilmiah. Beberapa permasalahan adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pertanggung jawaban pelaku tindak pidana penyalahgunaan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH)? b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada

pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)?

2. Ruang Lingkup

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup bidang hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kehutanan, sedangkan ruang lingkup materi penelitian yang akan dikaji meliputi: a. Pertanggung jawaban pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat


(16)

b. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya hasil Hutan (SKSHH).

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk menganalisis pertanggung jawaban pelaku tindak pidana

penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). b. Untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim dan menjatuhkan

sanksi kepada pelaku tindak pidana penyalah gunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna secara teoritis maupun secara praktis. a. Secara teoritis

Penelitian ini berguna sebagai peningkatan kompetensi dalam kegiatan pengembangan ilmu atau proses pembelajaran, terutama dalam hal studi pustaka dan pengembangan kemampuan menulis, meneliti dan analisis permasalahan yang timbul pada upaya pertanggung jawaban dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap tindak pidana penyalah gunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).


(17)

b. Secara Praktis

1. Sebagai sumbangan pikiran dari peneliti bagi penegak hukum dan pemerintah dalam pengelolaan hasil hutan

2. Sumber bacaan bagi yang berminat pada kajian hukum pidana khususnya dibidang kehutanan.

3. Karya ilmiah ini dapat dimanfaatkan pihak lain sebagai bahan penyuluhan dan pengayaan dibidang kehutanan

D. Kerangka Teoritas dan Konseptual 1. Kerangka Teoritas

Teori yang dipakai untuk menjadi acuan dalam menjawab masalah dalam penelitian diatas dikaji secara hakiki berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Hal ini berarti teori pertanggung jawaban pidana digunakan dalam menganalisis bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku.

Perbuatan yang melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas perbuatannya pembuat, haruslah terbukti bersalah (schute hebben) terhadap tindak pidana yang dilakukan. Menjawab permasalahan yang timbul maka dapat dipakai sebagai acuan teori pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut


(18)

hukum pidana terdiri dari 3 (tiga) unsur : ( Andi Hamzah, azas-azas hukum pidana: 1994:130).

a. Pembuat, dapat dipertanggung jawabkan

- Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya. - Kelakuan yang sengaja

b. Kelakuan dengan sikap kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealfaan : culva, schute in enge zin)

c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat unsur (toerekenbaar heid).

Pertanggung jawaban pidana adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang dilakukan, sedangkan untuk dapat dipidananya seseorang harus ada kesalahan. Dalam hukum pidana ada dua macam kesalahan yaitu sengaja (dolus/opzet) dan kealpaan (culfa)

a. Kesengajaan (dolus / opzet)

Ada 3 (tiga) kesengajaan dalam hukum pidana yaitu:

1. Kesengajaan untuk mencapai sesuatu kesengajaan yang dimaksud / tujuan / dolus directus.

2. Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan melainkan disertai keinsyafan, bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (kesengajaan dengan kepastian)


(19)

3. Kesengajaan seperti sub diatas, tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian, bahwa suatu akibat akan terjadi (kesengajaan dengan kemungkinan)

b. Kurang Hati-hati (kealpaan / culfa)

Kurang hati-hati / kealpaan (culfa) arti dari alpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan yaitu kurang hati-hati, sehingga berakibat yang tidak disengaja terjadi. (Wirjono Projodikoro Azas-azas pidana Indonesia: 1981 : 61).

Sistem peradilan pidana merupakan proses pidana atau proses pemberian sanksi pidana bagi yang melanggar aturan hukum pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kesalahan yaitu suatu perbuatan yang melanggar norma (hukum) dimana tidak adanya unsur pemaaf dan pembenar. Sedangkan untuk dipidananya seseorang harus terdapat kesalahan pada orang tersebut artinya secara yuridis tidak ada alasan pemaaf seperti yang diatur dalam Pasal 44 dan 48 KUHP, maupun alasan pembenar seperti yang diisyaratkan Pasal 49, 50 dan 51 KUHP. Menurut D. Simon ( 1990: 40) “starfbaar feit” atau tindak pidana adalah:

a. Perbuatan manusia, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan, (positif atau negatif)

b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteid) c. Melawan hukum (on rechmatig)


(20)

d. Dilakukan dengan kesalahan (met shuld inverband stand)

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekening vatbaar persoon)

Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Kehutanan menyatakan bahwa Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan. Ketentuan pidana Pasal 50 ayat (3) huruf h, juga terdapat dalam Pasal 78 Undang-Undang Kehutanan yang mengatur mengenai ketentuan sanksi hukumnya pada ayat (6) barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000, 00 (sepuluh milyar rupiah). Sedangkan dalam ayat (14) menyatakan bahwa semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

2. Konseptual

Konseptual memberikan pengertian,memudahkan dan menjaga supaya tidak terjadinya kesimpangsiuran penafsiran terhadap judul penelitian ini, maka dikemukakan penjelasan batasan istilah yang dipakai, yaitu :

a. Analisis Yuridis adalah tipe kajian yang paling berbobot dari segi akademik dan teknik perundang-undangan karena kondisi objektif dan


(21)

nyata dilapangan dijadikan bahan analisis dan pembahasan. (Abdulkadir Muhammad : 2004 : 43)

b. Pertanggung jawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang dilakukan.

c. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa melanggar larangan tersebut.

d. Penjatuhan sanksi adalah tindakan hukum yang diberikan kepada seseorang yang telah melakukan sesuatu kajahatan atau pelanggaran. (Moelyatno: 1993 : 04)

e. Sanksi pidana adalah alat pemaksa dalam menegakan hukum. (R. Subekti : 1993 : 101)

f. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. (Undang-Undang Kehutanan )

g. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya serta jasa yang berasal dari hutan.

h. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah dokumen yang berisi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan sesuai dengan keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun volumenya dan dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang.


(22)

E. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini disusun secara keseluruhan dengan tujuan mempermudah dalam mempelajarinya, sehingga ditentukan sistematika penulisan. Maka tulisannya disusun ke dalam Lima (V) bab dengan sistematika Sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini berisikan latar belakang masalah dan ruang Lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teroris dan konseptual, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Pada bab ini diuraikan mengenai pengertian SKSHH, tindak pidana SKSHH, hak-hak Pelaku dalam sidang di Pengadilan. Sidang Pengadilan SKSHH dan macam-macam sanksi hukum yang Diberikan oleh hakim terhadap pelaku kejahatan SKSHH yang melakukan tindak Pidana.

Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini diuraikan mengenai jenis penelitian, pendekatan masalah, sumber dan jenis data SKSHH.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan


(23)

1. Kasus posisi perkara No. 150/Pid.B/2007/PN.Kld Atas nama terdakwah Mr. X.

2. Hak-hak terdakwa dalam sidang Pengadilan Kalianda dalam perkara No. 150/Pid.B/2007/PN.Kld

3. Putusan Pengadilan dalam perkara No. 150/Pid.B/2007/PN.Kld B. Faktor-faktor penghambat hak-hak terdakwa dalam sidang

Pengadilan.

Bab V Penutup Yang berisikan Kesimpulan dan Saran

Sebagai bab penutup penulisan tesis ini dikemukakan tentang bseberapa pokok kesimpulan dari bab-bab terdahulu, sehingga akan tampak jelas bentuk penulisan tesis ini, dan selanjutnya penulis memberikan saran-saran dalam penulisan tesis ini.


(24)

Sebelum diuraiakan Bab-bab selanjutnya, terlebih dahulu akan diuraikan garis besar pengertian tindak pidana. Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda disebut “strafbaar feit”, yang merupakan istilah resmi dalam “wetboek van strafrecht” atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia.

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana (Wirjono Projodikoro: 45:1969). Ilmu pengetahuan hukum, memberikan pengertian tindak pidana banyak dikenal dengan istilah lain diantaranya “delict”. Untuk terjemahan didalam bahasa disamping istilah tindak pidana, juga dipakai beberapa istilah yaitu (K. Wantjik Saleh: 45:1983) :

a. Perbuatan yang dapat dihukum, b. Perbuatan yang boleh dihukum, c. Peristiwa hukum,

d. Pelanggaran pidana, e. Perbuatan pidana, f. Tindak pidana.

Berdasarkan istilah tersebut, yang paling baik dan tepat untuk dipergunakan adalah istilah tindak pidana atau perbuatan pidana, karena kedua istilah ini dianggap mendukung pengertian yang tepat dan jelas sebagai suatu istilah hukum.


(25)

Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai istilah “tindak pidana” yang dalam pengertianya memang tidak mudah untuk memberikan perumusanya seperti juga untuk memberikan definisi terhadap hukum, dimana perumusan atau definisi tindak pidana telah banyak diciptakan oleh para sarjana hukum pidana.

Menurut Simon perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang atau lazim disebut dengan delict (Satochid Kartanegara : 74 : 2000). Menurut sifatnya perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan pidana ini juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan, dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti social. Tetapi tidak semua perbuatan yang melawan hukum itu disebut perbuatan pidana dan diberi sanksi pidana.

Mengenai perbuatan ini dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP disebutkan :”Suatu peristiwa pidana tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan pertentuan perundang-undangan pidana yang telah ada di KUHP.

Asas dari pasal 1 KUHP itu dipandang sebagai jaminan yang perlu sekali bagi keamanan hukum bagi para pencari keadilan (melindungi orang terhadap

perbuatan sewenang-wenang dari pihak hakim). Akibat-akibat tersebut ialah bahwa sesuatu tidak dapat dikenakan hukuman atas kekuatan hukum kebiasaan, asas ini juga menutup kemungkinan pemakaian undang-undang secara analogi,


(26)

sepanjang mengenai pertanyaan suatu perbuatan dapat dikenai hukuman. Jadi dalam hal ini Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas suatu perbuatan yang tidak dengan tegas disebut dan diuraikan dalam undang-undang. Adanya ketentuan pidana ini maka hak kemerdekaan diri pribadi orang terjamin. Asas “nullum delictum” ini sering juga disebut dengan asas “legalitas”. Rumusan asas ini dirumuskan oleh Von Feurbach seorang sarjana bangsa psycologishe Zwang yang berarti bahwa ancaman pidana mempunyai suatu akibat psykologis, dan ancaman pidana itulah yang dapat menakutkan seorang melakukan suatu perbutan pidana.

Karena mengetahui bahwa, ada pidana yang diancam atas dilakukannya sesuatu perbuatan pidana, maka pada diri seseorang akan ada tekanan jiwa. Tekanan jiwa inilah yang merupakan penghalang niat seorang untuk melakukan suatu perbuatan jahat. Selanjutnya dalam perang dunia ke II telah banyak terjadi perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan Negara, sedangkan tidak ada peraturan yang melarangnya dalam KUHP. Terdorong akan hal ini, maka oleh pembuat undang-undang sebagai pengecualiaannya telah meninggalkan asas nullum delictum yang kemudian mengadakan peraturan-peraturan mengenai “kejahatan perang”, untuk hal-hal yang merugikan Negara. Yang bagi Hindia Belanda dulu ditentukan dalam State Blad 1945 No. 135, dimana dalam Pasal 18 ditentukan dalam Pasal 1 KUHP untuk hal-hal yang mengenai ordonansi ini tidak berlaku lagi. Perlu dicatat disini bahwa terhadap asas nullum delictum ini ada yang berkeberatan, yangmana hal ini dikemukakan oleh Utrech, yaitu:


(27)

“Terhadap asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan kolektif. Jadi akibat asas ini bahwa yang dinamakan hukum hanyalah mereka yang secara tegas telah melanggar suatu peraturan perundang-undang yang telah ada. Kemungkinan seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakekatnya suatu kejahatan, tetapi oleh hukum tidak disebut pelanggaran ketertiban umum tidak dihukum. Asas nullum delictum itu menjadi suatu penghalang bagi hakim pidana menghukum seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak strafbaar, masih juga atrafaaring”(E. Utrech : 19: 1968)

Berdasarkan uraian di atas bahwa asas ini dilahirkan pada suatu Zaman “Aukflarung” yang mengenal puncak perkembangan anggapan individualistis terhadap hukum. Asas nullum dellictum ini memberi jaminan penuh bagi kemerdekaan pribadi individu, jadi bagi mereka yang mengutamakan kepentingan kolektif sangat sukar mempertahankan asas ini. Berlainan dengan yang mempunyai pandangan individualitas dapat menerima asas apa yang telah diuraikan oleh Utrecht. Menurut Roeslan Saleh dikatakan bahwa (Roeslan saleh : 56 : 1981) :

“Suatu perbuatan pidana adalah yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melakukannya. Larangan ini merupakan dasar bagi adanya perbuatan pidana. Jadi dapat dikatakan bahwa asas ini adalah dasar “perbuatan pidana”. Tanpa adanya peraturan lebih dulu mengenai perbuatan apa yang dilarang, maka kita tidak akan tahu adanya perbuatan pidana”

Dari apa yang dikemukakan di atas, teryata bahwa hukum pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukkan dan diancam dengan sanksi pidana tertentu, bagi yang melanggar aturan tersebut. Juga dalam hal ini jangan dilupakan antara hukum dan manusia yang saling berkaitan karena tiada manusia maka tiada


(28)

hukum, sedangkan manusia itu sendiri senantiasa ingin hidup bebas. Dalam kenyataanya manusia tidak dapat menghindari untuk hidup dengan yang lainnya, maka dalam hal ini tidak dihindarkan atau dihiraukan terhadap kepentingan dari masyarakat itu. Dalam arti kata melindungi kepentingan kolektif maupun individu. Perbuatan pidana ini, maka dilihat disini beberapa definisi yang dikemukakan oleh para sarjana- sarjana ilmu hukum. Adapun definisi-definisi tersebut adalah sebagai berikut :

Menurut R. Soesilo mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana (R. Soesilo : 4 : 1984) .

Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan-larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (Moelyatno, Loc Cit).

Menurut Soedjono kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat (Soejdono :15 : 1977).


(29)

Wirjono Projodikoro menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Wirjono Projodikoro : 50) Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum (Simons : 127 : 1992).

Menurut J.E Jonkers, merumuskan peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan (J.E Jonkers : 135 :1987).

Seperti yang telah dikatakan pada kata “perbuatan” adalah sesuai dengan makna dari “feit” dari perbuatan bararti keadaan yang dibuat oleh seseorang, kalimat mana menunjukan baik kepada akibatnya (kejadian yang tertentu) maupun kepada yang menimbulkan akibat (tingkah laku seseorang). Jadi sama dengan makna daripada feit tadi. Istilah perbuatan sudah lazim dipakai dalam kata majemuk lainya. Baik dalam percakapan sehari-hari, misalnya perbuatan hukum. Sebelum penulis lebih jauh membicarakan mengenai suatu perbuatan pidana, serta unsur-unsurnya, selain daripada itu maka lebih dahulu kita melihat aliran dalam hukum pidana yang memberi makna suatu peristiwa pidana menurut alirannya.


(30)

“Dalam aliran klasik ini dapat juga disebut dengan monoisme, yang memberi makna peristiwa-peristiwa pidana maka disitu harus ada orang yang melakukan peristiwa pidana atau dengan kata lain jika ada peristiwa-peristiwa pidana maka disitu harus ada orang yang harus dipidana adalah sama dengan syarat-syarat orang dijatuhi pidana. Jadi seorang yang melakukan peristiwa pidana dan hendak dijatuhi pidana harus diperhatikan semua unsur dari peristiwa itu (A. Zainal Abidin : 34 : 1962).

Menurut aliran klasik ini unsur-unsur suatu peristiwa pidana dapat memenuhi rumusan delik, ada sifat melawan hukum, dan tidak ada alasan pembenar, ada kesalahan yang terdiri dari dolus dap culpa dan tidak ada alasan pemaaf dapat dipertanggung jawabkan. Menurut aliran Modern atau sering disebut dengan cara Dualistis adalah : “Aliran modern ini mulai sistematis dalam syarat pemidanaannya. Disini tidak sama elemen, atau unsur dimasukan kedalam feit (perbuatan), tetapi dipisah menjadi dua kelompok atau golongan, dimana kelompok yang lain dimasukan dalam diri si pembuat. Menurut aliran ini dalam suatu peristiwa pidana haruslah dipisahkan antara perbuatan dan pembuat, yang masing-masing mempunyai unsur sendiri. Unsur yang masuk perbuatan adalah memenuhi rumusan delik, melawan hukum (tidak ada alasan pembenaran), sedangkan unsur yang masuk pembuat adalah kesalahan, dolus atau culpa dan dapat dipertanggung jawabkan (tidak ada alasan pemaaf). Tujuan pembagian ini agar hakim tidak sulit dalam menjatuhkan pidana”. Kini penulis membicarakan


(31)

mengenai unsur-unsur dari suatu perbuatan yang melawan hukum (wederechtlijk) dan tidak ada alasan pembenar.

Mengapa disebut melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dapat ditinjau dari segi materil maupun segi formil. Dalam segi materil yaitu perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau patut dilakukan. Jadi perbuatan itu selain dari perbuatan itu dilarang dan di ancam dengan undang-undang, perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut. Jadi memidana orang yang tidak melawan hukum adalah tidak ada artinya, sedangkan dalam segi formil dikatakan bahwa, dengan memperhatikan apakah perbuatan yang dilakukan memang memenuhi rumusan delik yang tertentu. Tetapi sementara itu sukar menentukan kapankah perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bersifat melawan hokum, kapan pula tidak. Jadi apakah bila undang-undang telah melarang sesuatu perbuatan dan telah memenuhi larangan maka dengan sendirinya dapat dikatakan itu adalah melakukan hukum ? dalam hal ini ada yang berpendapat demikian adapula yang berpendapat lain. Yaitu pandangan segi materil, yang lama belum tentu semua perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, perbuatan senyatanya harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut. Pendapat pertama telah dikemukakan dalam ilmu hukum pidana disebut curang. Dengan pandangan yang formil tentang sifat melawan hukumnya perbuatan.


(32)

Perbedaan yang pokok antara dua pendapat tadi adalah, bahwa pendapat yang materil akan mengakui hal-hal yang meniadakan sifat melawan hukum dari perbuatan, menurut hukum yang tertulis. Pangkal pandangan ini adalah yang dinamakan hukum itu bukanlah undang-undang atau hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis. Pendapat yang mengagungkan undang, yang mengira bahwa segala sesuatu telah diatur oleh pembentuk undang-undang didalam undang-undang- undang-undang, telah beberapa lama ditinggalkan orang yang tidak menyetujui, bahwa undang-undang itu adalah sebagai pengikat dan hakim pun tidak rela untuk lebih lama menjadi penetap ketentuan undang-undang mana jatuh pada peristiwa yang diajukan kepadanya. Menurut pendapat Prof. Mr Roeslan Saleh : “Hakim ingin menjadi pencipta hukum pula. Menciptakan sesuatu yang baru, menentukan hal yang baru dan menyatakan pikirannya akan hal-hal yangtersembunyi di dalam undang-undang (Roeslan Saleh : 47).

Para ahli hukum diberbagai Negara mengemukakan bahwa adalah tidak benar, semua hukum terdapat dalam undang –undang. Diluar undang-undang pun masih terdapat apa yang dinamakan hukum. Pendapat dari penganut aliran formil maupun aliran materil adalah sebagai berikut :

1) Penganut Formil :

Simon dengan faham formalnya berpendirian bahwa “suatu tindak pidana hanyalah dapat di anggap tidak berlawanan hukum dan oleh karenanya dapat dilepaskan dan sanksinya, apabila di dalam undang-undang tersedia dasar-dasarnya yang, dapat melepaskan yang berbuat itu dari sanksi atas perbuatannya itu, jikalau tidak terdapat pengecualian didalam


(33)

undang-undang terhadap berlakunya sanksi atas tindak pidana itu maka menurut Simon, hakim tidak boleh tidak harus menghukum orang itu.

2). Penganut Materil

Misalnya menurut Van Hammel, berpendapat bahwa “Apabila hakim merasa ragu-ragu apakah tidak ada hal-hal yang dapat dibuktikan , bahwa perbuatan terdakwa sesungguhnya tidak melawan hukum, maka hakim berkewajiban menyelidiki hal itu, dan apabila ia telah mengadakan penyelidikan itu tetap tidak mempunyai kenyakinan bahwa terdakwa dengan perbuatannya itu melawan hukum, jadi menurutnya hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman (Tresna : 67-68 : 1959). Contoh, seorang bapak memukul anaknya yang sangat nakal dan seorang dokter atas pertimbangan medis dipaksa untuk menggugurkan kandungan seorang ibu untuk menolong seorang ibu tersebut.

Apakah orang-orang seperti itu harus saja di hukum seperti halnya si bapak atau dokter. Bukankah si bapak itu hendak mendidik anaknya atau dokter tadi melakukan abortus untuk menyelamatkan perempuan itu. Menurut perbuatan orang-orang itu di lihat dari sudut formil memang melanggar ketentuan undang-undang, tetapi perasaan keadilan tidak dapat menyalahkan perbuatan mereka itu. Tapi jika dilihat dari sudut materil, sangatlah sulit untuk menetapkan kapan adanya unsur melawan hukum itu, kapan sesuatu perbuatan dapat dibenarkan, bagaimanakah unsur melawan hukum harus dicari diluar undang-undang. Sebagai patokan dapat dikatakan bahwa hukum pidana ditunjukan kepada perbuatan-perbuatan yang sifatnya sedikit banyak tidak sesuai dengan kelaziman, yang


(34)

menyimpang dari apa yang lazim di lakukan orang normal pada suatu ketika akan merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.

Mengenai tidak ada alasan pembenar. Disebutkan dalam undang-undang ; misalnya mengenai daya paksa, sejauh itu dimasukan dalam alasan-alasan pembenar ini. Bukankah dalam hal ini apakah pembuat telah memilih jalan yang tepat masih juga berbeda pandangan orang. Tetapi ini hendaknya jangan dijadikan alasan untuk mengembangkan lagi ketidaksamaan hukum yaitu dengan memberikan tempat kepada sifat melawan hukum yaitu dengan memberikan tempat kepada sifat melawan hukum yang materiil, demikianlah mengenai perbedaan daripada sifat melawan hukum formil maupun materil yang didefinisikan oleh dua orang sarjana tadi. Dalam sifat melawan hukum dalam pandangan formil maupun materil, menurut Van Hattum dan Langmeyer, bahwa masyarakat adalah hidup, selalu bergerak, berhubung dengan itu rasa keadilan rakyat berubah-rubah pula. Bahwa rumusan delik itu hanyalah fragmen-fragmen yang dipisahkan dari hubungannya.

Membuat undang-undang tidak dapat berbuat lain dari pada secara skematis saja. Perbuatan-perbuatan yang masuk dalam rumusan delik adalah merupakan kumpulan perbuatan-perbuatan yang pada umumnya diancam dengan pidana. Karena urusannya fragmentaris dan skematis tadi maka didalamnya masuk perbuatan-perbuatan yang sebenarnya tidak semestinya, karena tidaklah merupakan perbuatan tercela atau tidak dibenarkan. Jadi perlu satu jalan yang


(35)

akan menyatakan bahwa suatu perbuatan yang memang masuk dalam suatu rumusan delik setelah dilihat tersendiri, berhubungan dengan suatu kejadian khusus, lalu tidaklah bersifat melawan hukum dan juga tidak dapat dipidana terhadap hal yang dikatakan terakhir, hakim tidak boleh berdiam diri dan menantikan sampai undang-undang yang membenarkan perbuatan itu. Yang jelas bahwa sifat melawan hukum itu adalah bertentangan dengan hukum positif yang sedang berlaku.

KUHP menggolongkan tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran. Penggolongan jenis-jenis delik yang ada dalam KUHP terdiri dari kejahatan (misdriven), disusun dalam Buku II KUHP , sedangkan pelanggaran (over tredingen), disusun dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas, risalah penjelasan undang-undang.

Kejahatan adalah “recht delicten” yaitu perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, dirasakan sebagai “onrecht” sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum (Moeljatno : 71).

Secara formal kejahatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh Negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Dengan patokan hukum pidana kejahatan. serta pelakunya relatif dapat diketahui yaitu mereka atau barang siapa yang


(36)

terkena rumusan kaidah hukum pidana memenuhi unsur-unsur delik, ia dianggap melakukan perbuatan yang dapat dihukum (Soedjono Dirjosisworo: 1982 : 12). Menurut Sue Titus Reid suatu perumusan tentang kejahatan maka perlu diperhatikan adalah antara lain :

1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja (omissi) dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum karena pikirannya melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk dapat bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu, disamping itu ada niat jahat (criminal intent mens rea).

2. Merupakan pelanggaran hukum pidana

3. Dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang di akui secara hukum.

4. Diberikan sanksi oleh Negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran (Soerjono Soekanto : 44).

Beberapa definisi kejahatan diatas pada dasarnya dapat diketahui kejahatan adalah suatu bentuk perbuatan dan tingkah laku yang melanggar hukum dan perundang-undang lain serta melanggar norma sosial sehingga masyarakat menentangnya. KUHP tidak memberikan definisi secara tegas tentang pengertian kejahatan namun dalam kaitannya dengan kejahatan dapat kita simpulkan bahwa semua perbuatan yang disebutkan dalam Buku ke II adalah kejahatan dan perbuatan lain secara tegas dinyatakan sebagai kejahatan dalam undang-undang tertentu diluar KUHP.


(37)

Pelanggaran adalah “west delicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya undang-undang yang menyatakan demikian (Moeljatno : 72). Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada kecendrungan mengikuti pandangan kuantitatif, beberapa ketentuan KUHP mengandung ukuran secara kuantitatif adalah :

1. Percobaan / pembantuan dalam pelanggaran tidak di pidana, sedangkan kejahatan dapat dipidana

2. Daluarsa bagi pelanggaran ditentukan lebih pendek di banding dengan kejahatan.

3. Kewenangan menuntut pelanggaran menjadi hapus apabila telah di bayar maksimum denda dan biaya perkara sebagai sistem penebusan.

4. Dalam hal terjadi perbarengan atas pelanggaran berlaku sistem pidana kumulasi murni yang tiap-tiap pelanggaran dijatuhi pidana sendiri-sendiri 5. dalam hal perampasan barang karena pelanggaran hanya boleh dilakukan

apabila tidak ditentukan dengan tegas oleh undang-undang (Bambang Poernomo : 97 : 1982).

Berdasarkan perbedaan diatas dapat diketahui bahwa kejahatan lebih berat ancaman hukumnya dibandingkan dengan pelanggaran, karena dilihat dari sifat dan hakekat dari perbuatan itu dalam masyarakat, dimana kejahatan mempunyai dampak yang lebih buruk dibandingkan pelanggaran. Berdasarkan beberapa pengertian dari pendapat sarjana diatas dapat diketahui bahwa tindak pidana merupakan suatu perbuatan atau kejadian tertentu yang di lakukan seseorang, beberapa orang atau badan hukum yang menimbulkan suatu akibat karena


(38)

melanggar peraturan perundang-undang yang ada. Atau dapat di artikan pula tindak pidana merupakan perbuatan yang di pandang merugikan masyarakat sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi hukum yang berupa pidana atau nestapa.

Unsur-unsur Tindak Pidana. Membahas tentang rumus-rumus dari pada tindak pidana, pertama-tama haruslah melihat pada rumusan tindak pidana baik secara umum maupun yang ada dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana. Perumusan ini dalam bahasa belanda dinamakan “delicts omischrijving”. Berdasarkan uraian-uraian tindak pidana di atas dapat ditemukan beberapa unsur yang terkandung dalam suatu tindak pidana. Unsur-unsur ini penting untuk dibuktikan melalui suatu proses sistem peradilan pidana, merupakan hal pemeriksaan persidangan. Apabila unsur-unsur itu salah satu diantaranya tidak terbukti, maka perbuatan itu bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan dan tersangka harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Untuk itu perlu di ketahui beberapa pendapat sarjana mengenai unsur- unsur tindak pidana yaitu:

Menurut Wirjono Projodikoro menyebutkan unsur-unsur tindak pidana mengharuskan adanya suatu (Wirjono Projodikoro : 46) :

a. Adanya dari tindak pidana

Misalnya perbuatan mencuri dirumuskan sebagai mengambil barang, ini rumusan secara formil yaitu benar-benar disebutkan wujud suatu gerakan tertentu dari badan seseorang manusia dan secara materiil menimbulkan suatu akibat yang disebutkan perbuataannya.


(39)

b. Adanya hubungan sebab musabab

Akibat dari perbuatan pelaku berapa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab musabab (causalitas) antara perbuatan si pelaku dan kerugian yang di timbulkan.

a. Adanya sifat melanggar hukum

Sifat melanggar hukum (onrechtmatigheid) ini, secara tegas disebutkan larangannya pada perumusan ketentuan hukum pidana (straafbepaling) b. Adanya kesalahan pelaku tindak pidana

Karena pelaku adalah seorang manusia, maka hubungan ini mengenai kebatinan yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana (schuld verband). Hanya hubungan batin ini perbuatan yang di langgar dan dapat di pertanggung jawabkan pada si pelaku.

c. Adanya Kesengajaan (opzet)

Seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja melawan dan melanggar hukum ini pantas mendapatkan hukuman pidana, hal ini harus di hubungkan dengan unsur-unsur diatas karena mempunyai kaitan yang erat satu sama lainnya,

Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah : a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. c. Keadaan tambah yang memberatkan pidana. d. Unsur melawan hukum yang objektif.


(40)

Menurut M. Bassar Sudrajat unsur-unsur yang terkandung dalam suatu delik adalah terdiri dari :

a. Unsur melawan hukum b. Unsur merugikan masyarakat c. Dilarang oleh aturan hukum pidana

d. Pelakunya dapat di ancam pidana (Adami Chazawi : 78 : 2002). Menurut pendapat Tresna tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni :

a. Perbuatan / rangkaian perbuatan

b. Yang bertentang dengan peratuarn perundang-undangan, c. Diadakan tindakan penghukuman (Ibid : 80),

Lebih lanjut Moeljatno membedakan unsur tindak pidana berdasarkan perbuatan dan pelaku dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :

a. Unsur Subjektif berupa ;

 Perbuatan manusia

 Mengandung unsur kesalahan b. Unsur objektif, berupa

 Bersifat melawan hukum

 Ada aturannya (Moelyatno : 64).

Berdasarkan pendapat para sarjana diatas, walaupun pendapat dari rumusan berbeda-beda namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya (pelaku). Dalam merumuskan perbuatan pidana perlu ditegaskan secara jelas hal-hal yang menjadi unsur-unsurnya. Seseorang hanya dapat


(41)

dipidana karena telah melakukan suatu tindak pidana, apabila jelas telah memenuhi unsur –unsur didalamnya yaitu unsur perbuatan, melawan hukum, kesalahan dan dapat di pertanggung jawabkan.

B. Pertanggung jawaban pidana

Pertanggung jawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain (WJS. Poerwadarminta : 619 : 1998).

Pertanggung jawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggung jawabkan oleh sipembuatnya dengan kata lain kesadaran jiwa orang yang dapat menilai, menentukan kehendaknya, tentang perbuatan tindak pidana yang dilakukan berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum yang tetap. Untuk adanya pertanggung jawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat di pertanggung jawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana (Roeslan Saleh : 80).

Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh sipembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataan memastikan siapa sipembuatnya tidak mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus sesuai dengan proses yang ada, yaitu sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP.


(42)

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia menentukan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatan tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana, dalam hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi : Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Meskipun demikian orang tersebut belum dapat dijatuhi pidana karena masih harus dibuktikan kesalahannya atau apakah dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya tersebut, demikian untuk dapatnya seseorang dijatuhi pidana harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana dalam hukum pidana.

Perbuatan pidana hanya untuk menunjukan pada dilarangnya suatu perbuatan oleh undang-undang. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada persoalan, apakah ia dalam melakukan perbuatannya ia mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang telah melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan, maka ia dapat dipidana. Berarti orang yang melakukan tindak pidana akan dapat dipidana apabila mempunyai kesalahan. Kesalahan ada 2 (dua) macam yaitu :

1. Kesengajaan (opzet/dolus)

Ada 3(tiga) kesengaajaan dalam hukum pidana yaitu :

 Kesengajaan yang bersifat tujuan untuk mencapai sesuatu tujuan (opzet als oogmerk).


(43)

 Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan melainkan disertai keinsyafan, bahwa suatu akibat pasti terjadi (opzet bijzekeheidsbewustzijn) atau kesengajaan secara keinsyafan.

 Kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian), bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzjn)

2. Kurang hati-hati (kealpaan/culpa)

Kurang hati-hati/kealpaan (culfa) arti dari alpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan yaitu kurang hati-hati, sehingga berakibat yang tidak disengaja terjadi (Wirjono Projodikoro).

Berdasarkan uraian di atas seseorang yang melakukan tindak pidana harus dibuktikan apakah kesalahan tersebut mengandung unsur kesengajaan (dolus/opzet) atau kealpaan (culfa). Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan akan menentukan berat ringannya pidana seseorang. Perbuatan pidana yang dilakukan secara sengaja ancaman pidananya akan lebih berat dari pada karena kealpaan. Untuk dapat dipidananya seseorang harus ada unsur mampu dipertanggung jawabkan oleh si pelaku, dimana si pelaku dapat menginsyafi atau secara sadar melakukan perbuatan tersebut.


(44)

Roeslan Saleh menyatakan bahwa orang yang mampu bertanggung jawab itu harus memenuhi 3 syarat yaitu (Roeslan Saleh) :

1. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu dapat dipandang patut pergaulan masyarakat.

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan.

Istilah pidana atau hukum yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidangnya yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam hukum, tetapi dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan moral, agama dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifat khas. Menurut Soedarto, menyatakan yang dimaksud pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan pada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi sasaran tertentu sedangkan menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief yang dikutip oleh Roeslan Saleh, menyatakan bahwa pidana reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara kepada perbuatan delik itu.

Beberapa definisi di atas dapatlah diartikan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri tersebut :


(45)

1. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan atas nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan pidana menurut undang-undang (Muladi dan Barda Nawawi arief : 4 : 1998).

Maka dalam hal pidana, fokusnya adalah pada kekuatan salah satu tindak pidana yang telah dilakukan oleh sipembuat atau pelaku dengan kata lain perbuatan itu mempunyai peranan yang sangat penting dan syarat yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana agar pelaku atau subjek tindak pidana dapat dimintakan pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukan . ciri atau unsur kesalahan yang dapat dijatuhi hukuman bagi pelaku kejahatan adalah :

1. Dapat dipertanggung jawabkannya perbuatan pembuat,

2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan yaitu adanya sengaja atau kesalahan,

3. Tidak adanya dasar pemidanaan yang menghapus dapat dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa : barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, karena Jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Menurut Pompe


(46)

yang dikutif oleh Andi Hamzah, Pasal tersebut merupakan pengertian yuridis bukan medis. Memang medikus yang memberikan keterangan kepada hakim yang memutuskan. Menurutnya dapat dipertanggung jawabkan (Toerekenbaarheid) itu berkaitan dengan kesalahan (Schuld). Orang dapat menyatakan dapat dipertanggung jawabkan itu sendiri merupakan kesalahan (Shuld) (Andi Hamzah : 147 : 1994).

C. Pengertian Hutan Dan Jenis Hutan

Berbagai sebutan dipakai terhadap hutan, tetapi pada umumnya pandangan umum tentang hutan itu adalah suatu tempat atau areal yang perlu dengan berbagai macam jenis pohon-pohon dan hewan liar yang terdapat didalamnya. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Menurut Dengler pengertian hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu kelembaban,cahaya angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan / pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertical) (Evers P.J : Vol.III : 1995).


(47)

Dari pengertian tersebut di atas, pada umumnya hutan itu merupakan suatu tempat atau areal yang penuh dengan berbagai macam jenis pohon-pohon dan hewan-hewan liar yang terdapat didalamnya. Pemeliharaan hutan dan pengamanan hutan merupakan dua hal yang sangat vital dalam pelestarian hutan. Hal ini dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan hutan. Perlindungan dan keamanan memang sangat diperlukan agar tetap dapat mempertahankan kelestarian hutan karena banyak ancaman terhadap upaya kelestarian hutan, antara lain yaitu :

a. Pengrusakan hutan akibat pencuri kayu, penebang tanpa izin. b. Pendudukan tanah hutan secara tidak sah atau liar.

c. Pengrusakan tanah hutan akibat adanya pengambilan batu, pasir, tanah dan bahan.

d. Kerusakan akibat pengembalaan ternak dalam hutan.

e. Kerusakan akibat gempa bumi, angin ribut, hama dan prnyakit, kebakaran hutan dan lain sebagainya (Pasal 6,7,8,9,11,12 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985).

Dari uraian di atas, pemeliharaan hutan dari ancam-ancaman pengrusakan diperlukan, sehingga mampu mrmberikan manfaat produksi, perlindungan, pengaturan tata air, pengaruh terhadap iklim dan sebagainya mrngingat fungsi hutan sangat berpengaruh bagi lingkungan. Sedangkan jenis-jenis hutan berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dapat dibedakan sebagai berikut :


(48)

1. Berdasarkan status pemilikannya, menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, hutan terdiri dari dua macam yaitu :

a. Hutan Negara, ialah semua hutan yang tumbuh di atas tanah yang bukan milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah yang diberikan kepada daerah swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi Hutan Marga, Hutan Daerah, Hutan swaparja dan lain sebagainya.

b. Hutan Hak, adalah hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah milik yang lazimnya disebut hutan rakyat dan dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri maupun bersama-sama orang lain atau Badan Hukum Hutan yang ditanam atas usaha sendiri di atas tanah yang di bebani hak lainnya, merupakan pula hutan milik dari orang / Badan Hukum yang bersangkutan.

2. Berdasarkan fungsinya menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, terdiri tiga macam yaitu ;

a. Hutan Konservasi, adalah kawasan hutan dengan cirri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragamaan tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

b. Hutan Lindung, adalah kawasan hutan yang mempunyai keadan alam sedemikian rupa sehingga pengaruhnya yang baik terhadap tanah alam sekelilingnya dan tata air perlu dipertahankan dan lindung. Apabila Hutan Lindung diganggu maka hutan ini akan kehilangan fungsinya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,


(49)

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah iritasi air laut dan memilahara kesuburan tanah.

c. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai pokok produksi hasil hutan. Hutan produksi ini adalah hutan yang baik keadaan alamnya maupun kemampuannya sehingga memberikan manfaat produksi kayu dan hasil hutan lainnya.

3. Berdasarkan bentuknya menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dibagi menjadi tiga :

a. Hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga. b. Hutan pelestarian alam, hutan yang dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

c. Taman baru, adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.

d. Hutan lainnya yang ada diluar kawasan hutan dan diluar hutan cadangan misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik atau yang dibebani hak lainnya.

Berdasarkan penggolongan berbagai jenis hutan dalam Pasal 5, 6 ayat (2) dan Pasal 7, di atas dimaksudkan agar dapat diketahui fungsi, peruntukan hutan


(50)

tersebut. Sehingga dapat dimanfaatkan sesuai dengan jenisnya baik itu untuk kepentingan produksi atau pemanfaatan hasil alam untuk kepentingan bersama maupun hutan yang dilindungi untuk menjaga keseimbangan ekosistem sekitarnya. Secara garis besar hutan tersebut dapat dibedakan menjadi beberapa kriteria yaitu berdasarkan status pemilikan,berdasarkan fungsi dan berdasarkan peruntukan. Walaupun terdapat perbedaan berbagai jenis hutan di atas prinsipnya hutan mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk menjaga ekosistem kehidupan, tata air dan mencegah terjadinya erosi.

D. Tindak Pidana Kehutanan

Pencurian kayu dan perambahan hutan merupakan suatu kegiatan membuka kawasan hutan dan menduduki kawasan tersebut secara ilegal tindakan ini dilakukan dengan cara membakar, menebang kawasan hutan. Tindakan ini merupakan tindak pidana karena melanggar ketentuan dalam Pasal 50 undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (2) Setiap orang dilarang :

(a) Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.

(b) Merambah kawasan hutan,

(c) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, (d) Membakar hutan,


(51)

(e) Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang,

(f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.

Pasal 78 mengatur tentang ketentuan pidananya yaitu barang siapa yang sengaja melanggar ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan diancam dengan pidana penjara paling banyak Rp. 5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah).

Sedangkan pengaturan mengenai pencurian kayu di hutan lindung munurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Perlindungan Hutan terdapat dalam : Pasal 6 Ayat (1) : Kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang

dikerjakanAtau diduduki tanpa izin mentri.

Pasal 7 Ayat (3) : Di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan dilarangMelakukan pemungutan hasil hutan dengan menggunakan Alat atau tidak sesuai dengan kondisi tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan Tanah dan tegakan.

Pasal 8 Ayat (2) : Siapapun dilarang melakukan penebangan dalam radius/Jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai, anak sungai yang terletak didalam kawasan hutan lainnya.


(52)

Pasal 9 Ayat (1) : Selain petugas-petugas kehutanan atau orang-orang yang Karena tugasnya atau kepentingannya berada Dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong, menebang dan membelah pohon didalam kawasan hutan.

(3) : Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. (4) : Setiap orang dilarang mengambil / memungut hasil

hutan lainnya tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

E. Kebebasan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana

Kebebasan Hakim atau pengadilan adalah “gebonden vrijheid” , yaitu kebebasan terikat/terbatas karena diberi batas oleh undang-undang yang berlaku dalam batas tertentu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat), cara pelaksanaan pidana (straf modus) dan kebebasan untuk menemukan hukum (rechtvinding) (Nanda Agung Sewantara : 51 : 1987 ).

Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim


(53)

sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat” (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).

Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektif hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya, dan kemudian

2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana dan akhirnya,

3. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat dipidana (Soedarto : 74 : 2000 ).

Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang di jadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutuskan oerkara yang di ajukan kepadanya dimana pertanggung jawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun kepada masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi putusan itu harus dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Bismar Siregar : 67).


(54)

Penjatuhan sanksi pidana memang bukan perkara yang mudah, hakim dituntut menguasai teknik-teknik tertentu yang menyangkut hal-hal yang bersifat kompleks untuk memperkecil terjadinya disparitas pidana. Keputusan yang di keluarkan hakim hendaknya merupakan keputusan yang bersifat proposional yaitu keputusan yang menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.

Keputusan yang proporsional tersebut dapat dicapai dengan memperhatikan tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Pedoman pemidanaan (statutory guidelines for sentencing), aturan pemidanaan yang berlaku serta kenyakinan hakim tersebut dalam menjatuhkan sanksi, sehingga terlihat faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dalam rangka mengurangi disparitas pidana (Muladi dan Barda Nawawi Arief : 67).

Adanya penjatuhan sanksi pidana oleh hakim secara langsung mengkongkritkan tugas sanksi tersebut, yaitu sebagai alat pemaksa agar norma dapat juga berfungsi sebagai alat preventif dan sebagai alat represif sehingga tujuan dari hukum pidana tersebut dapat dicapai secara efektif.


(55)

Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum normatif dan empiris, Hal ini dikarenakan penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer dalam mengkaji dan menelusuri norma-norma serta peraturan-peraturan yang mengatur tentang pertanggung jawaban tindak pidana penyalah gunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Tipe penelitian hukumnya adalah kajian komperehensif analitas terhadap bahan hukum sekunder. Hasil kajian dipaparkan secara lengkap, jelas, rinci dan sistematis mengenai pembahasan permasalahan.

B. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah penelitian yang digunakan adalah conten analysis dengan mengidenfikasikan dan menginventarisasi ketentuan-ketentuan normatif dan pelaksanaan dilapangan secara empiris. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara normatif dan empiris.

1) Pendekatan normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literature peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normative dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoratis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.


(56)

2) Pendekatan empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan pertanggung jawaban tindak pidana penyalah gunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).

C. Sumber dan Jenis Data

Penelitian ini tergolong penelitian normatif dan empiris, maka data yang diperlukan adalah data sekunder dan data primer

1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini yang dilakukan di Pengadilan Negeri Kalianda.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan terhadap bahan hukum yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat berupa :

1) Undang-undang Dasar 1945

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan,


(57)

6) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, 7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman RI,

8) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksaan KUHAP,

9) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan ilmu hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu buku-buku referensi, hasil-hasil penelitian dan data-data tertulis yang terkait dengan penelitian.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang merupakan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder baik yang diperoleh dari media cetak dan elektronik, kamus bahasa Indonesia, bahasa inggris, kamus hukum dan insklopedi yang berhubungan dengan penelitian.

D. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi adalah jumlah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian. Dalam hubungannya dengan permasalahan dalam penelitian maka yang diambil adalah pejabat terkait pada Pengadilan Negeri Kalianda, dan Polres Lampung Selatan.


(58)

2. Sampel adalah sebagian data yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu yang mewakili populasi. Sampel ditentukan secara Purposive Sampling yang berarti sampel yang diambil disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan dianggap telah mewakili permasalahan yang hendak dicapai responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan dalam penelitian ini

E. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan pengumpulan data digunakan cara dengan studi kepustakaan dan studi lapangan, yaitu sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan.

Studi kepustakaan digunakan untuk memperoleh data skunder melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dengan cara membaca, menelaah, mencatat dan mengutip buku-buku dan beberapa ketentuan-ketentuan serta literatur lain yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan diteliti atau dibahas.

b. Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer, dilakukan dengan penelitian terhadap responden pada Pengadilan Negeri Kalianda, dengan melakukan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan secara terbuka sebagai pedoman terhadap pihak yang berhubungan dengan upaya pertanggungjawaban tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).


(59)

2. Prosedur Pengolahan Data

Dalam melaksanakan pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain :

a. Editing yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevasinya sebagai peneliti.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasikan jawaban para responden menurut jenisnya. Klasifikasi ini dilakukan dengan kode tertentu agar memudahkan dalam menganalisa data.

c. Sistematika data yaitu menyusun data sesuai dengan bidang telaah atau pokok bahasan dengan makna untuk memudahkan dalam menganalisa data.

F. Analisa Data

Data yang telah diperoleh, lalu diolah kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu dilakukan dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus yang merupakan jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan selanjutnya diberikan beberapa saran.


(60)

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan tesis ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Pertanggung jawaban pidana terhadap perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan terhadap terdakwa yang akan diproses melalui system peradilan pidana mulai dari penyidikan , penuntutan , sampai pada putusan didepan sidang pengadilan. Berdasarkan contoh perkara pidana SKSHH yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda menjatuhkan sanksi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, serta denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima pulah juta rupiah). Pemberian sanksi pidana terhadap terdakwa dilakukan dengan tujuan supaya terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang telah dilakukannya.

b. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan SKSHH dalam perkara Pidana Nomor 150/Pid.B/2007/PN. Kld, Majelis hakim Pengadilan Negeri Kalianda lebih cenderung memperhatikan pada pertimbangan yang bersifat yuridis normatif yaitu perbuatan terdakwa telah terbukti secara


(61)

sah dan menyakinkan melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) dan (15) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan , selain itu pula terdapat pula pertimbangan yang bersifat non yuridis yaitu faktor pertimbangan hakim diluar peraturan perundang-undangan sangat diperhatikan dalam pertimbangan hukum, contohnya akibat perbuatan terdakwa dapat merusak lingkungan hidup, merusak tatanan hukum khususnya mengenai perizinan pengelolaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dilakukan oleh pemerintah

c. Ada Unsur Barang siapa

Menimbang bahwa yang dimaksud dengan “Barang Siapa” adalah subjek hukum sebagai peangembangan/pendukung hak dan kewajiban, meliputi subjek hukum orang/pribadi (natuurlijke persoon) maupun badan hukum (rechtpersoon) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan.

Menimbang bahwa dalam perkara ini berdasarkan fakta-fakta hasil pemeriksaan dipersidangan dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa telah menunjuk kepada subjek hukum orang/pribadi yaitu terdakwa Mr. X yang setelah dicocokkan identitasnya dipersidangan sebagaimana ketentuan pasal 155 ayat (1) KUHAP, ternyata terdakwa membenarkan dan telah sesuai pula dengan identitas terdakwa dalam


(1)

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan tesis ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Pertanggung jawaban pidana terhadap perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan terhadap terdakwa yang akan diproses melalui system peradilan pidana mulai dari penyidikan , penuntutan , sampai pada putusan didepan sidang pengadilan. Berdasarkan contoh perkara pidana SKSHH yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda menjatuhkan sanksi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, serta denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima pulah juta rupiah). Pemberian sanksi pidana terhadap terdakwa dilakukan dengan tujuan supaya terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang telah dilakukannya.

b. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan SKSHH dalam perkara Pidana Nomor 150/Pid.B/2007/PN. Kld, Majelis hakim Pengadilan Negeri Kalianda lebih cenderung memperhatikan pada pertimbangan yang bersifat yuridis normatif yaitu perbuatan terdakwa telah terbukti secara


(2)

85

sah dan menyakinkan melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) dan (15) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan , selain itu pula terdapat pula pertimbangan yang bersifat non yuridis yaitu faktor pertimbangan hakim diluar peraturan perundang-undangan sangat diperhatikan dalam pertimbangan hukum, contohnya akibat perbuatan terdakwa dapat merusak lingkungan hidup, merusak tatanan hukum khususnya mengenai perizinan pengelolaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dilakukan oleh pemerintah

c. Ada Unsur Barang siapa

Menimbang bahwa yang dimaksud dengan “Barang Siapa” adalah subjek hukum sebagai peangembangan/pendukung hak dan kewajiban, meliputi subjek hukum orang/pribadi (natuurlijke persoon) maupun badan hukum (rechtpersoon) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan.

Menimbang bahwa dalam perkara ini berdasarkan fakta-fakta hasil pemeriksaan dipersidangan dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa telah menunjuk kepada subjek hukum orang/pribadi yaitu terdakwa Mr. X yang setelah dicocokkan identitasnya dipersidangan sebagaimana ketentuan pasal 155 ayat (1) KUHAP, ternyata terdakwa membenarkan dan telah sesuai pula dengan identitas terdakwa dalam


(3)

surat dakwaan penuntut umum, sehingga menurut hemat majelis unsur “barang siapa” ini telah terpenuhi menurut hukum;

d. Ada Unsur Dengan Sengaja

Menimbang bahwa pengertian unsur “dengan sengaja” merujuk pada konsep “kesengajaan” (opzettelijke) yang secara umum maknanya meliputi arti dari istilah “Menghendaki” (willen) dan “mengetahui” (wetens), dalam arti bahwa pelaku memang menghendaki terjadinya perbuatan tersebut dan mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum serta mengetahui pula akibat yang timbul dari perbuatan itu.

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka yang menjadi saran penulis adalah :

a. Hendaknya Hakim dalam memberikaan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan SKSHH, memberikan sanksi pidana yang berat terhadap terdakwa , dengan tujuan supaya dapat menimbulkan efek jera (contoh) kepada pelaku lain (baik perorangan atau badan usaha pengelolaan hasil hutan ) supaya tidak melakukan tindak pidana penyalahgunaan SKSHH.

b. Hendaknya perlu ditingkatkan kerjasama terpadu diantara pihak Pemerintah Daerah dengan aparat penegak hukum dalam mengawasi kegiatan usaha dibidang pengelolaan hasil hutan dalam rangka


(4)

87

memperkecil kemungkinan terjadinya tindak pidana kehutanan khususnya dibidang SKSHH.

c. Hendaknya Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan Surat Keterangan Sahnya hasil Hutan (SKSHH), memperhatikan standar maksimal penjatuhan sanksi pidana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang yang bersifat khusus, contohnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan.


(5)

GrafindoPersada, Jakarta, 1995

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek , Sinar Grafika Bandung, 1991.

Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan , Citra Aditya, Bandung, 2001

P.J. Evers, Preliminary Policy And Legal Questions About Recognizing Traditional Land Righ In Indonesia. Journal Of Human Ecologi, Ekonesia. Vol. III, 1995

Jonkers, J.E, Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, 1987.

Safitri, M, Hak Dan Akses Masyarakat Local Pada Sumberdaya Hutan, Kajian Peraturan Perundang- Undangan Indonesia. Journal Of Human Ecologi . Ekonesia Vol. III 1995. Moelyatno, Azas-Azas Hukum Pidana . Bintang Indonesia. Jakarta. 1993.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1993

Soesilo, R, Pokok-Pokok Hukum Pidana dan Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus , Politae, Bogor, 1984.

Saleh, Roslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Angkasa, Jakarta, 1984

H.S,Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Bandung, 2003.

Husin, Sanusi,Penuntut Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Unila. Bandar Lampung. 1997.

Soedarto, Hukum Pidana I, Fakultas hukum Universitas Diponogoro, Semarang 1990. D,Soedjono, Ilmu Kejiwaan Kejahatan, Karya Nusantara, Bandung, 1977.

Soekanto, Soerjono, Penelitian HukumNormatif Suatu Tinjauan singkat, Rajawali, Jakarta, 1985.


(6)

89

Jakarta, 1985 .

Simons, Kitab Pelajaran hukum Pidana, Pioner Jaya, Bandung, 1992.

Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980.

Poerwadarminta, WJS. Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998.

Projodikoro,Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco Jakarta, 1981. --- Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Eresco, Jakarta,1986.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana, Karya Anda, Surabaya, 1997.

Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan.