Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit Orang Lain

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Dr. Johannes Ibrahim, S.H., M.H., Kartu Kredit - Dilematis Antara Kontrak

dan Kejahatan, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

________, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan V, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985.

Tongat, Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif

Pembaharuan, UMM Pres, Malang, 2009.

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992.

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, ed.1, cet.4, Rajawali Pers, Jakarta, 2013. Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1995.

__________, Hukum Tentang Pembiayaan, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Thomas Suyanto, dkk, Lalu Lintas Pembayaran Dalam dan Luar Negeri, Jilid 1, Intermedia, Jakarta, 1988.

___________________, Kelembagaan Perbankan, Kerjasama Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas dan PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.


(2)

Simorangkir, Seluk-Beluk Bank Komersial, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1986.

Wijanarko, Perkembangan Penggunaan Credit Card di Indonesia.

Alidamar Dinau, Kartu Kredit Bukan Sekedar Status Simbul, Mandar Maju, Bandung, 1989.

Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan

Permasalahannya, Alumni, Bandung, 1981.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006).

Zaeni Asyhadie, S.H., M. Hum., Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya

di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.

Dury (et.al), Credit Card, Butterworths, London, 1984, hlm. 5, sebagaimana dikutip dalam buku Dr. Johannes Ibrahim, S.H.,M.H., Kartu Kredit -

Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, PT Refika Aditama,

Bandung, 2004.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, cet ke-1, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004.

P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Utrecht, Rangkaian Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya Pustaka Mas, 2000 Hamdan, Tindak Pidana, Pustaka bangsa press, Medan, 2005.

Subagyo, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, ed.2, cet.2, (Yogyakarta : Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, 2005).


(3)

Wahyono Hardjo, Kartu Kredit dalam Kaitannya dengan Sistem

Pembayaran, Pro Justitia Nomor 1 Tahun X Januari 1992.

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Bahan Penataran Dosen Hukum Dagang, UGM, Yogyakarta, 1996.

Sri Redjeki Hartono, Aspek Hukum Penggunaan Kartu Kredit, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994. Agus Rahardjo, Cybercrime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan

Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Ali Arifin, Tip Dan Trik Memiliki Kartu Kredit, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2002.

H. Hadiwidjaja, EC. R.A. Rivai Wirasasmita, Analisis Kredit (Dilengkapi Telaah Kasus), cetakan pertama, Pionir Jaya, Bandung, Maret 1991. Dr. Hj. Endang Purwaningsih, S.H.,M.Hum., Hukum Bisnis, Penerbit Ghalia

Indonesia, Bogor, 2010.

Abdulkadir Muhammad, Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan

dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2000.

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1983.

Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994. Marulak Pardede, 1955, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta.


(4)

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perkembangan Pembangunan Hukum

Nasional tentang Hukum Teknologi dan Informasi,

BPHN-Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1995/1996.

Ida Ayu Indah S.A., TESIS : Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card), Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar,

2011.

B. Undang-Undang

- Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Penjelasan Pasal 31 RUU KUHP 1999-2000.

- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1972 Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

- Putusan Mahkamah Agung No.771 K/Pid/2009 - Putusan Mahkamah Agung No. 2145 K/Pid/2006

C. Internet

- http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article &id=131&Itemid=131

- http://mediatorinvestor.wordpress.com/artikel/kejahatan-kartu-atm-kartu-kredit/


(5)

- http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article &id=131&Itemid=131,

- www.google.com, kartu kredit sebagai alat pembayaran

- http://www.pakarkartukredit.creditcard-revolution.com/sejarah-kartu-kredit/

- http://www.pakarkartukredit.creditcard-revolution.com/sejarah-kartu-kredit/

- http://jurnalsrigunting.com/2012/12/22/modus-operansi-penyalahgunaan-kartu-kredit/.


(6)

PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT

A. Ketentuan didalam dan diluar KUHP sebagai Dasar Penerapan Kejahatan Kartu Kredit

1. Ketentuan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Sebagai Dasar Penerapan Sanksi Terhadap Kejahatan Kartu Kredit

Indonesia termasuk Negara yang tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dalam merumuskan suat perunang-undangan yang mengatur aktivitas di cyberspace. Disaat kesulitan dalam menyusun perundang-undangan ini, penggunaan dan pemanfaatan dunia maya beserta pola kejahatan yang marak dilakukan, memunculkan pemikiran untuk menggunakan hukum positif yang ada (the existing law).

Penggunaan hukum positif yang ada untuk kejahatan atau perbuatan yang secara pragmatis memiliki perbedaan tentunya tidak membuat keberuntungan bagi berbagai pihak. Hukum positif yang ada memiliki paradigma sendiri yang melandasi pembuatan perundang-undangan sesuai dengan kondisi jamannya. Konsep ruang dan waktu yang melandasi hukum positif telah didobrak dengan perkembangan internet. Pendobrakan terhadap konsep ruang dan waktu ini seharusnya diikuti dengan pendobrakan terhadap sistem hukum yang mendasari pada konsep


(7)

itu. Meskipun demikian, membuat perundang-undangan (apalagi mengubah paradigma pemikiran dari para pembuatnya) tidaklah semudah membalik telapak tangan. Untuk hal itu membutuhkan proses dan proses itu tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya, sehingga harapan untuk memiliki perundang-undangan yang mengatur kegiatan di cyberspace masih membutuhkan waktu. Memberikan perlindungan kepada warga negara dengan harta bendanya merupakan kewajiban pemerintah. Meskipun undang-undang yang mengatur kegiatan di cyberspace belum ada, sedangkan sebagian warga negara yang ada telah menggunakan internet untuk berbagai keperluan, maka secara moril pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya tersebut. Perlindungan ini tentunya diberikan dengan memanfaatkan atau memberlakukan perundang-undangan yang ada dengan berbagai cara seperti penafsiran maupun analogi.61

Badan Pembinaan Hukum Nasional mencoba mengidentifikasikan bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan aktivitas di cyberspace termasuk didalamnya kejahatan kartu kredit dengan perundang-undangan pidana yang ada. Hasil identifikasi itu berupa pengkategorian perbuatan kejahatan cyber (cybercrime) ke dalam delik-delik Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut :62

61

Agus Rahardjo, Op.Cit., hal. 202-203.

62 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang

Hukum Teknologi dan Informasi, BPHN-Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1995/1996,


(8)

a. Joycomputing, diartikan sebagai perbuatan seseorang yang

menggunakan komputer secara tidak sah atau tanpa izin dan menggunakannya melampaui wewenang yang diberikan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana Pencurian (Pasal 362 KUHP).

Pasal 362 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (K.U.H.P. 35, 364, 366, 486).”

b. Hacking, diartikan sebagai suatu perbuatan penyambungan

dengan cara menambah terminal komputer baru pada sistem jaringan komputer tampa izin (dengan melawan hukum) dari pemilik sah jaringan komputer tersebut. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbuatan tanpa wewenang masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan atau tanpa haknya berjalan di atas tanah milik orang lain (Pasal 167 dan Pasal 551 KUHP).

Pasal 167 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa dengan melawan hak orang lain masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan, yang dipakai oleh orang lain, atau sedang ada disitu dengan tidak ada haknya, tidak


(9)

dengan segera pindah dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.

(2) Barangsiapa masuk dengan memecah atau memanjat, memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian dinas palsu, atau barangsiapa dengan tidak setahu yang berhak dan lain daripada lantaran keliru, masuk ke tempat yang tersebut tadi dan kedapatan disana pada waktu malam, dianggap sebagai sudah masuk dengan memaksa (K.U.H.P. 98).

(3) Jika ia mengeluarkan ancaman atau memakai daya upaya yang dapat menakutkan, maka dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan.

(4) Hukuman yang ditentukan dalam ayat (1) dan (3) dapat ditambah dengan sepertiganya, kalau kejahatan itu dilakukan, oleh dua orang bersama-sama atau lebih (K.U.H.P. 88, 168, 235, 363, 365, 429).”

Pasal 551 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa dengan tidak berhak berjalan atau berkendaraan di atas tanah kepunyaan orang lain, yang oleh yang berhak dilarang dimasuki dengan sudah diberi tanda larangan yang nyata bagi si pelanggar, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 225,-.”

c. The Trojan Horse, diartikan sebagai suatu prosedur untuk

menambah, mengurangi atau mengubah instruksi pada sebuah program tersebut selain menjalankan tugas yang sebenarnya juga akan melaksanakan tugas lain yang tidak sah. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana Penggelapan (Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP). Apabila kerugian yang ditimbulkan menyangkut keuangan Negara, tindakan ini dapat dikategorikan tindak pidana Korupsi.


(10)

Pasal 372 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (K.U.H.P. 35, 43, 373, 376 s, 486).”

Pasal 374 KUHP berbunyi :

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubung dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah uang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun (K.U.H.P. 35, 43, 376 s, 415, 432, 486, 513).”

d. Data leakage, diartikan sebagai pembocoran data rahasia yang dilakukan dengan cara menulis data-data rahasia tersebut ke dalam kode-kode tertentu sehingga data dapat dibawa ke luar tanpa diketahui oleh pihak yang bertanggungjawab. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan Negara (Pasal 112, Pasal 113 dan Pasal 114 KUHP) dan tindak pidana membuka rahasia perusahaan atau kewajiban menyimpan rahasia profesi atau jabatan (Pasal 322 dan Pasal 323 KUHP)

Pasal 112 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan, atau mengabarkan atau menyampaikan surat, kabar dan keterangan tentang suatu hal kepada negara asing, sedang diketahuinya,


(11)

bahwa surat, kabar atau keterangan itu harus dirahasiakan karena kepentingan Negara, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.”

Pasal 113 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan, memberitahukan atau menyampaikan kepada orang lain yang tidak berhak mengetahui, segenapnya atau sebagian dari surat, peta bumi, rencana gambar atau benda rahasia yang berhubungan dengan pertahanan atau keselamatan Indonesia terhadap serangan Negara asing, yang disimoan olehnya atau yang diketahui olehnya aka nisi surat atau bentuk atau cara membuat benda-benda rahasia itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

(2) Jika yang bersalah menyimpannya surat-surat atau benda-benda yang dimaksud di atas atau mengetahuinya hal itu oleh karena jabatannya, maka hukumannya boleh ditambah dengan sepertiga.”

Pasal 114 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa, karena kesalahannya, menyebabkan surat atau benda rahasia, yang dimaksudkan dalam Pasal 113, yang mana ia wajib menjaga atau menyimpan, atau bentuknya atau caranya membuat, segenapnya atau sebagian, menjadi diketahui oleh orang banyak atau diperoleh atau diketahui oleh orang lain, yang tidak berhak mengetahui, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.”

Pasal 332 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia, yang menurut jabatannya atau pekerjannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, ia diwajibkan menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 9.000,-


(12)

(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang yang ditentukan, maka perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu. (K.U.H.P. 72 s, 112 s, 323, 528 s).” Pasal 323 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan hal ikhwal istimewa tentang sesuatu perusahaan perniagaan, kerajinan atau pertanian, tempat ia bekerja atau tempat dahulu ia bekerja, sedang ia diwajibkan merahasiakan hal ikhwal itu, dihukum penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 9.000,-.

(2) Penuntutan hanya dilakuakn atas pengaduan pengurus perusahaan itu. (K.U.H.P. 72 s, 322).”

e. Data diddling, diartikan sebagai suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, yaitu dengan mengubah input data atau output data. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP).

Pasal 263 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesutatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan mempergunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat


(13)

mendatangkan sesuatu kerugian. (K.U.H.P. 35, 52, 64-2, 276, 277, 416, 417, 486).”

f. Penyia-nyiaan data komputer, diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk merusak atau menghancurkan media disket dan media penyimpanan sejenis lainnya yang berisikan data atau program komputer, sehingga akibat perbuatan tersebut data atau program yang dimaksud menjadi tidak berfungsi lagi dan pekerjaan-pekerjaan yang melalui program komputer tidak dapat dilaksanakan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai perusakan barang (pasal 406 KUHP).

Pasal 406 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannnya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- (K.U.H.P. 231-235,407,411 s, 489).

(2) Hukuman serupa itu dikenakan juga kepada orang yang dengan sengaja dan dengan melawan hak membunuh, merusakkan membuat sehingga tidak dapat digunakan lagi atau menghilangkan binatang, yang sama sekali atau

sebagiannya kepunyaan orang lain

(K.U.H.P.170,179,231 s, 302, 407-2, 411 s, 472).”

Hal yang telah ditempuh oleh BPHN dalam batas pemikiran untuk menanggulangi kekosongan hukum. Kesulitan masih tetap


(14)

dirasakan khususnya mengenai perbedaan konsep ruang dan waktu dari perundang-undangan pidana dan sifat internet dalam penerapannnya. Khusus bagi cybercrime berkaitan dengan kejahatan kartu kredit, adalah masalah:

g. Carder, diartikan sebagai pengguna kartu kredit tanpa hak.

Untuk menjerat carder digunakan ketentuan pasal 378 dan pasal 379a KUHP.

Pasal 378 KUHP berbunyi:

“Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal atau tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun (K.U.H.P. 35, 43, 379 s, 486).”

Pasal 379a KUHP berbunyi :

“Barangsiapa membuat pencahariannya atau kebiasaannya membeli barang-barang dengan maksud supaya ia sendiri atau orang lain mendapatkan barang-barang itu dengan tidak melunaskan sama sekali pembayarannya, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun (K.U.H.P. 394 s).”


(15)

2. Penerapan Sanksi Terhadap Kejahatan Penggunaan Kartu Kredit Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008

Cakupan kejahatan dalam kategori cybercrime relatif luas, baik kejahatan konvensional yang menggunakan media komputer atau internet dan kejahatan-kejahatan baru yang menggunakan internet. Cybercrime bila dibandingkan dengan kejahatan konvensional memiliki beberapa keistimewaan dengan berbagai sifat-sifat khususnya, diantaranya penggunaan media digital seperti komputer yang terhubung ke seluruh penjuru dunia melalui suatu jaringan global yang disebut internet. Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 tersebut terdapat 5 (lima) pasal yang mengatur cybercrime, yaitu Pasal 47 sampai dengan 51.

Pasal 47 :

“Setiap orang dengan sengaja melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).”

Pasal 31 ayat (1) : mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik


(16)

dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

Pasal 31 ayat (2) : mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

Pasal 48 :

“Setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), Pasal 32 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah), Pasal 32 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).”

Pasal 32 ayat (1) mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi


(17)

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

Pasal 32 ayat (2) mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.

Pasal 32 ayat (3) : Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 49 :

“Setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).”

Pasal 33 mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.


(18)

Pasal 50 :

“Setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).”

Pasal 34 ayat (1) mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: (a.) perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; (b.) sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.

Pasal 51 : Ayat (1) :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Ayat (2) :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)


(19)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 35 mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Pasal 36 mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.

Menyikapi bahwa ketentuan hukum positif dalam KUHP dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik belum dapat mengakomodasi kebutuhan dalam menghadapi berbagai kasus kejahatan kartu kredit, tentunya upaya-upaya perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna kartu kredit perlu mendapat perhatian. Wujud perlindungan hukum pada dasarnya merupakan upaya penegakan hukum. Penegakan hukum secara konsepsional merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran nilai tahap akhir,


(20)

untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.63

Selanjutnya konkretisasi dari upaya penegakan hukum secara konsepsional dijabarkan bahwa manusia didalam pergaulan hidupnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud dalam pasangan-psanagna tertentu, misalnya pasangan nilai kepentingan umum dan kepentingan pribadi.

Didalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan dan dijabarkan secara lebih konkrit lagi, karena nilai-nilai tersebut lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran lebih konkrit diwujudkan dalam bentuk kaidah-kaidah hukum yang berisikan suruhan, larangan, dan kebolehan. Kaidah-kaidah itu menjadi pedoman atau patokan perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.64

Faktor-faktor yang patut dipertimbangkan dalam penegakan hukum adalah faktor hukumnya sendiri, faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk atau menerapkan hukum, factor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, factor masyarakat, yakni

63 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1983, hal. 2.

64


(21)

dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan dan faktor kebudayaan, yakni hukum sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.65

Upaya penegakan hukum tidak terlepas dari cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum, dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga msyarakat).

Dalam menegakkan hukum terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechttigkeit).

Unsur pertama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum

merupakan kehendak setiap orang, bagaimana hukum harus berlaku atau diterapkan dalam peristiwa konkrit. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dapat dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum.66

Unsur kedua adalah manfaat. Hukum adalah untuk manusia, maka

pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.

65 Ibid., hal. 4-5.

66


(22)

Unsur ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan

bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Demikian pula halnya perlindungan hukum dalam transaksi kartu kredit, harus memperhatikan ketiga unsur diatas.

B. Penanggulangan Penyalahgunaan Kartu Kredit

Terhadap penanggulangan penyalahgunaan kartu kredit, Teori Politik criminal digunakan untuk mengkaji permasalahan ini, dalam hal ini merupakan kebijakan - kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan, dimana dalam hal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), Semuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy) yaitu usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.

Pidana yang dikenakan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di bidang perbankan, pada dasamya mengikuti ketentuan pidana yang diatur pada Pasal 10 KUHP, yaitu pengenaan pidana pokok, dan pidana tambahan. Pidana terhadap perbuatan kejahatan ataupun pelanggaran yang terjadi hanya mengenakan pidana berupa penjara, kurungan,dan denda. Sedangkan pidana tambahannya hampir selalu menyertai setiap pengenaan pidana pokok tersebut, baik berupa altenatif pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim.


(23)

Dengan digolongkannnya beberapa perbuatan pidana di bidang perbankan tersebut sebagai tindak pidana,, maka diharapkan akan dapat lebih terbentuk ketaatan yang tinggi terhadap ketentuan dalam Undang Undang. Adapun mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank, pada dasarnya berlaku ketentuan-ketentuan tentang sanksi dimaksud dalam Pasal 46 s/d Pasal 50 Undang Undang Pokok Perbankan No. 10 tahun 1998, sesuai dengan sifat ancaman pidana yang berlaku umum.

Hanya saja pengenaan pidana tersebut dapat pula mengenakan batas, maksimum pidananya terhadap kejahatan yang dilakukan, dengan mempertimbangkan sampai sejauh mana besar kecilnya pidana tersebut akan ditetapkan, bahan pertimbangannya dengan memperhatikan antara lain kerugian yang ditimbulkan.67

Pengenaan sanksi administratif biasanya diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang melakukan pengawasan, dan pembinaan, ketentuan sanksi seperti ini dapat kita lihat pada Pasal 52 Undang - Undang No. 10 Tahun 1998, yaitu berupa :

1. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu sebagai akibat tidak dipenuhinya ketentuan dalam Undang Undang ini.

67 Ida Ayu Indah S.A., TESIS : Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan

Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card), Program Pascasarjana Universitas


(24)

2. Penyampaian teguran-teguran secara tertulis. 3. Penurunan tingkat kesehatan bank.

4. Larangan turut serta dalam kliring.

5. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan.

6. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.

7. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan. Pengenaan sanksi administrasi tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada pengelola bank sesuai dengan ketentuan Pasal 53 UU no. 10 Tahun 1998, dapat juga dikenakan pula pada pihak terafiliasi, adapun bentuk sanksi administratif itu berupa :

a. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu sebagai akibat tidak dipenuhinya ketentuan dalam Undang-undang ini.

b. Penyampaian teguran-teguran tertulis.

c. Larangan untuk memberikan jasanya kepada perbankan. d. Penyampaian usul kepada instansi yang berwenang untuk


(25)

jasa bagi bank (antara lain terhadap konsultan, konsultan hukum, akuntan publik, dan penilai).

Terhadap dampak yang timbul dari penyalahgunaan kartu kredit, maka diupayakan adanya penanggulangannya, dimana secara umum adalah penanggulangan dengan cara preventif dan represif.68

1. Penanggulangan secara Preventif.

Penanggulangan secara preventif yaitu tindakan pencegahan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, pihak-pihak yang berwenang maupun masyarakat itu sendiri. Berbagai cara preventif yang dilakukan penerbit / pengelola dalam rangka menanggulangi penyalahgunaan kartu kredit, yang terdiri atas :

a. Menciptakan sistem pengawasan terhadap pedagang dan pemegang.

b. Mengevaluasi sistem ini secara berkala dan menyempurnakannya bila dianggap perlu.

c. Menciptakan sistem pengamanan terhadap kartu kredit secara teknis.

d. Melakukan pertukaran informasi antar penerbit / pengelola tentang hal-hal yang negatif mengenai

68 Ibid.


(26)

pedagang, pemegang, dan perkembangan modus operandi.

e. Memberikan penjelasan tentang prosedur pelaksanaan transaksi dengan menggunakan kartu kredit secara berkala kepada para pedagang

2. Penanggulangan secara Represif.

Tindakan represif berupa tindakan upaya paksa antara lain melakukan penangkapan terhadap para pelaku kejahatan, melakukan penggeledahan, penyitaan barang bukti, penahanan dan proses penyidikan, pelimpahan perkara ke kejaksaan, proses persidangan sampai hakim menjatuhkan putusan.

- Pada tahap penyelidikan, setelah menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, penyelidik mendatangi tempat kejadian perkara untuk melakukan pemeriksaan alat dan atau sarana yang berkaitan dengan teknologi informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana.

- Tahap penyidikan, penyidik dapat melakukan tindaan sebagai berikut :


(27)

a. Memanggil orang untuk didengar dan atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau bada usaha yang diduga melakukan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit.

c. Melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit.

d. Melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan untuk melakukan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. e. Meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam

penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit.

Setelah penyidikan dianggap telah selesai, penyidik segera melimpahkan berkas perkara, tersangka beserta barang bukti kepada Penuntut Umum.


(28)

C. Contoh Kasus Penyelesaian Perkara Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit

Contoh Kasus I :

1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 771 K/Pid/2009

A. POSISI KASUS

Kronologis

Bahwa Terdakwa MUHAMMAD ANSHORI bin .M.M.SUBAI bersama dengan IWAN SETIAWAN (DPO/melarikan diri) dan saksi HENDRA CHAERUDDIN bin CHAERUDDIN (disidangkan terpisah) bertempat di Jalan Cempaka III No.21- 22 Blok.14 Rt.05/08 Kuta Bumi Tangerang, mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, perbuatan tersebut Terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut :

Awalnya PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk melakukan kerja sama dengan PT. Bahana Sysfo Utama (PT. Intrex) berupa jaringan Pembayaran Elektrik terpadu. PT. Bahana Sysfo Utama menyewakan mesin-mesin EDC (Elektroik Data Capture) untuk transaksi dengan menggunakan Kartu Kredit milik Bank Mandiri dengan cara menggesekannya kedalam mesin EDC yang tersalur melalui jaringan NAC (Network Access Controle) milik Bank Mandiri. NAC adalah alat penghimpun data lalu lintas transaksi kartu kredit


(29)

dan untuk memonitoring transaksi kartu kredit yang menggunakan mesin EDC. Maka setiap transaksi Kartu Kredit yang diterima di mesin EDC terdata pada NAC. Pada saat itu PT. Bahana Sysfo Utama telah menugaskan Hendra sebagai staf Help Desk Technical Support (HDTS) dan profailing EDC menggantikan Iwan yang sudah diberhentikan sejak bulan Mei 2007. Saat bertugas mengawasi atau memonitor EDC dan jaringan NAC, tanpa seijin dan sepengetahuan Bank Mandiri Hendra telah mengambil data Kartu Kredit Bank Mandiri melalui TNMS dengan cara mengcopy file dari PC Server di ruangan Intrex, berupa angka-angka yang masih acak lalu di paste ke dalam Flashdisc miliknya dan selanjutnya diberikan kepada Iwan dengan imbalan uang sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) dari Iwan. Lalu ia menyuruh terdakwa (yang bekerja di toko miliknya) untuk mengedit/menyusun data yang masih acak tersebut dan diserahkan kembali kepadanya untuk dijual kepada SUBOWO PURNOMO als .ERWIN. Menurut pengakuan Terdakwa bahwa sejak ia bekerja di toko IWAN ia telah melakukan pengeditan banyak data yang sudah berlangsung selama 7 (tujuh) bulan yang mengakibatkan Bank Mandiri mengalami kerugian kurang lebih Rp.1.257.520.034,- (satu milyar dua ratus lima puluh tujuh juta lima ratus dua puluh ribu tiga puluh empat rupiah) ;

Dakwaan

Dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa Muhammad Anshori adalah :


(30)

Dakwaan Kesatu :

Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP mengenai pencurian, yang berbunyi :

“Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dihukum : pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih”.

Dakwaan Kedua :

Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHP mengenai memalsukan surat-surat, yang berbunyi :

“Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesutatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan mempergunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun”.

Tuntutan

Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanggal 21 Juli 2008 menuntut terdakwa sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa Muhammad Anshori Bin H.M. Subai, bersalah melakukan tindak pidana "pencurian dalam keadaan memberatkan" sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP ;


(31)

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Muhammad Anshori Bin H.M.Subai dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan, dan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan ;

3. Menyatakan barang bukti berupa : a. 2 (dua) buah flashdisc ;

b. 1 (satu) buah CD berisi data kartu kredit ; agar dirampas untuk dimusnahkan ;

4. Menetapkan supaya Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000 (dua ribu rupiah) ;

Alasan Pengajuan Kasasi

Putusan pada Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat dalam perkara ini juga menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini dikarenakan bahwa pada tanggal 1 Desember 2008 Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut.

Berdasarkan akta tentang permohonan kasasi No.73 / Akta.Pid / 2008 / PN.Jkt.Pst. yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menerangkan alasan-alasan pengajuan kasasi tersebut, yakni:

1. Bahwa putusan dalam peradilan tingkat Banding dalam pertimbangan hukumnya, mempertimbangkan bahwa Terdakwa tidak terbukti


(32)

melakukan perbuatan "mengambil sesuatu barang" sebagaimana dimaksud unsur kedua dari Pasal 362 KUHP.

2. Bahwa peradilan tingkat banding dalam amar putusannya menetapkan terhadap barang bukti berupa 2 (dua) buah flashdisc dan 1 (satu) buah CD yang berisi nomor-nomor kartu kredit agar dirampas untuk dimusnahkan.

Amar Putusan

a. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 916 / Pid.B / 2008 / PN. JKT. PST, tanggal 31 Juli 2008 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa Muhammad Anshori bin. H.M.Subai terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pencurian dalam keadaan memberatkan" ;

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan ;

3. Menetapkan agar masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;

4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan ; 5. Memerintahkan agar barang bukti yang berupa :

- 2 (dua) buah Flashdisc ;

- (satu) buah CD berisi data kartu kredit; dirampas untuk dimusnahkan ;


(33)

6. Membebankan pula kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah) ;

b. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.249/PID/2008/PT.DKI, tanggal 24 Oktober 2008 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1. Menerima permintaan banding dari Pembanding : Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tersebut ;

2. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor.916/Pid.B/2008/PN.Jkt.Pst. tanggal 31 Juli 2008 yang dimintakan banding tersebut ;

c. Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 771 K/Pid/2009, tanggal 15 Desember 2010 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1. Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum Pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tersebut ;

2. Menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 241/PID/2008/PT.DKI tanggal 24 Oktober 2008 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.916/Pid.B/2008/PN. JKT. PST, tanggal 31 Juli 2008 ;


(34)

B. ANALISIS KASUS Pertimbangan Hakim

Hakim yang mengadili perkara ini dalam putusannya mempertimbangkan yang pokoknya menerangkan sebagai berikut :

1. Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, karena Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut ;

2. Melihat berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan dari keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa, ternyata Terdakwa adalah pegawai/bekerja pada Iwan Setiawan yang digaji Rp.1.500.000,- perbulan dengan tugas mengedit data - data dari Flasdisc untuk Iwan Setiawan kemudian di copy kedalam laptop, dan setelah selesai di edit kemudian menyerahkan hasil pekerjaannya kepada Iwan Setiawan ; dengan demikian perbuatan Terdakwa tidak memenuhi semua unsur dalam dakwaan Pertama maupun dakwaan Kedua ;

3. Pertimbangan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) dalam memberikan putusan dinilai sudah tepat dan benar sehingga diambil sebagai pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara a quo ;

4. Mahkamah Agung berdasarkan wewenang pengawasannya tidak melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dengan telah melampaui batas wewenangnya, oleh karena itu permohonan kasasi


(35)

Jaksa/Penuntut Umum/Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) harus dinyatakan tidak dapat diterima ;

5. Karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima dan Terdakwa tetap dibebaskan dari segala dakwaan, maka biaya perkara dibebankan kepada Negara ;

6. Memperhatikan Undang - Undang No. 48 Tahun 2009, Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 dan Undang - Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang – Undang No. 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang – Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ;

Analisis Putusan

Setelah membaca dan menganalisis kasus tersebut diatas, penulis tidak setuju dengan Putusan Mahkamah Agung yang sekaligus menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang dalam hal ini menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dalam dakwaan alternatif kesatu atau kedua. Mahkamah Agung dalam hal ini juga memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan.

Dikaitkan dengan konsep pertanggungjawaban pidana, bahwa untuk menentukan bahwa seseorang itu dapat atau tidak dimintakan


(36)

pertanggungjawaban kepadanya haruslah memenuhi unsur - unsur kesalahan sebagai berikut :

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab si pembuat; keadaan jiwa si pembuat harus normal.

b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.69

Berdasarkan fakta-fakta hukum didalam persidangan penulis melihat terdakwa telah memenuhi semua unsur-unsur tersebut diatas.

Pertama, terpenuhinya unsur “adanya kemampuan bertanggungjawab”, yang dalam hal ini keadaan jiwa si terdakwa adalah normal. Sebab sesuai dengan Pasal 44 KUHP bahwa seseorang yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepadanya adalah dikarenakan akal yang kurang sempurna atau karena sakit berubah akal.

Kedua, “Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa)”. Dalam hal ini si terdakwa secara sadar mengakui perbuatannya, bahwa selama bekerja di toko saksi (Iwan Setiawan) ia telah melakukan banyak pengeditan data yang sudah berlangsung selama 7 (tujuh) bulan yang atas perbuatannya itu Bank Mandiri

69


(37)

mengalami kerugian kurang lebih Rp 1.257.520.034,- (satu milyar dua ratus lima puluh tujuh juta lima ratus dua puluh ribu tiga puluh empat rupiah).

Ketiga, “tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf”. Sebagaimana berdasarkan fakta dan bukti-bukti yang ada selama persidangan maka dapat dilihat bahwa tidak ada satupun yang dapat dijadikan alasan bagi hakim untuk memaafkan/menghapuskan kesalahan dari dalam diri terdakwa.

Adapun alasan-alasan yang dapat menghapus kesalahan terdakwa antara lain70 :

a. Tidak mampu bertanggungjawab (diatur dalam pasal 44 KUHP). b. Daya Paksa (diatur dalam Pasal 48 KUHP).

c. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP).

d. Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP).

Dengan terpenuhinya semua unsur diatas dalam diri si terdakwa, maka terhadap putusan hakim mahkamah agung penulis berpendapat bahwa putusan tersebut adalah tidak tepat dan tidak memenuhi rasa keadilan.

70


(38)

Contoh Kasus II :

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2145 K/Pid/2006

A. POSISI KASUS

Kronologis

Bahwa pada hari Selasa tanggal 29 Nopember 2005 sekitar 20.00 Wib Terdakwa Lim Acong bersama-sama dengan temannya yang bernama Joni bertempat di Counter Hand Phone “Oke Sop” Hipermart Solo Grand Mall Jalan Slamet Riyadi Surakarta, dengan maksud secara melawan hukum dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsukan, seolah-olah benar dan tidak dipalsu. Perbuatan tersebut dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut :

Awalnya Terdakwa bersama temannya Joni datang dari Jakarta ke Solo dengan tujuan menggunakan kartu kredit palsu/fiktif. Setelah sampai di Solo Joni memberikan kepada terdakwa 1 (satu) lembar kartu kredit fisik yang luarnya tertulis HSBC atas nama Josep Tan bukan atas nama Terdakwa. Setelah menerima kartu kredit tersebut lalu mereka menuju ke Counter Hand Phone “Oke Sop” Hipermart Solo Grand Mall untuk membeli Hand Phone dan pada saat itu Joni berhasil membeli 1 (satu) buah Hand Phone merk Nokia 9500 dengan harga sekitar Rp.7.000.000,- (tujuh juta rupiah) dengan menggunakan kartu kredit Citibank Visa atas nama Ivan Gunawan. Setelah berhasil lalu mereka meninggalkan Counter Hand Phone tersebut. Setelah


(39)

berhasil mendapatkan Hand Phone merk Nokia 9500 dengan menggunakan kartu kredit Citibank Visa atas nama Ivan Gunawan lalu Terdakwa kembali lagi menuju Counter Hand Phone yang sama untuk membeli Hand Phone dengan menggunakan kartu kredit HSBC atas nama Josep Tan bukan atas namanya, namun pada saat ia menunjukkan kartu kredit tersebut kepada pelayan Counter, pelayan Counter tersebut merasa curiga terhadap keaslian kartu kredit itu maka pelayan Counter akan menanyakan terlebih dahulu kepada Cap Canter Lippo, namun belum sempat pelayan Counter menghubungi Cap canter Lippo Terdakwa sudah melarikan diri, tetapi akhirnya Terdakwa dapat ditangkap oleh petugas dan akhirnya diserahkan kepada pihak yang berwajib.

Dakwaan

Dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa Terdakwa Lim Acong adalah :

Dakwaan Kesatu :

Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHP mengenai memalsukan surat-surat, yang berbunyi :

“Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.”


(40)

Dakwaan Kedua :

Pasal 378 KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP mengenai penipuan, yang berbunyi :

“Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal atau tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.

Tuntutan

Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surakarta tanggal 19 April 2006 menuntut terdakwa sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa Lim Acong bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP ;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Lim Acong dengan pidana penjara 2 (dua) tahun dikurangi selama ditahan, dengan perintah Terdakwa tetap ditahan ;

3. Barang bukti berupa :

- 3 lembar kartu kredit palsu, yaitu kartu kredit Citi Bank Visa No.451780011998395, kartu kredit HSBC Visa No.


(41)

4564727005293970, kartu kredit HSBC Visa No. 44721111002156361.

- 1 (satu) lembar KTP (palsu) atas nama Ivan Gunawan ; dirampas untuk dimusnahkan.

- 1 (satu) lembar Sales Draft dari Lippo Bank.

- 1 (satu) lembar Nota pembelian; tetap terlampir dalam berkas perkara.

4. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;

Alasan Pengajuan Kasasi

Putusan pada Pengadilan Tinggi Semarang dalam perkara ini juga menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta. Hal ini dikarenakan bahwa pada tanggal 14 Agustus 2006 Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surakarta telah mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut.

Namun dalam kasus ini Pemohon Kasasi tidak mengajukan risalah kasasi sebagaimana telah dijelaskan dalam surat keterangan Panitera pada Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 11 September 2006 No. 51/Akta Pid.B/2005/PN.Ska. karena itu berdasarkan pasal 248 (1) dan (4) KUHAP (Undang-Undang No. 8 tahun 1981) maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi tersebut gugur dengan demikian permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima.


(42)

Amar Putusan

a. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No.51/PID.B/2006/PN.Ska. tanggal 19 April 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa Lim Acong, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana :”Turut serta menggunakan sural palsu” ;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Lim Acong, oleh karenanya dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;

3. Menetapkan, bahwa masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan, agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5. Membebankan pula kepada Terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;

6. Memerintahkan barang bukti berupa :

a. 3 (tiga) lembar kartu kredit palsu, yaitu kartu kredit City Bank Visa No.451780011008395, kartu kredit HSBC Visa No. 456472700523970 dan kartu kredit HSBC Visa No. 4472111100216361 ;

b. 1 (satu) lembar KTP (palsu) atas nama Ivan Gunawan ; dirampas untuk dimusnahkan;

c. 1 (satu) lembar sales draft dari Lippo Bank ;

d. 1 (satu) lembar nota pembelian ; tetap terlampir dalam berkas perkara;


(43)

b. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 126/PID/2006/PT.SMG tanggal 4 Juli 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1. Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum ;

2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 19 April 2006 Nomor:51/Pid.B/2006/PN.Ska. yang dimintakan banding tersebut ;

3. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);

c. Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 771 K/Pid/2009, tanggal 15 Desember 2010 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1. Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa Penuntut Umum Pada Kejaksaan Negeri Surakarta tersebut ;

2. Menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.126/PID/2006/PT.SMG tanggal 4 Juli 2006 dan putusan Pengadilan Negeri Surakarta No.51/PID.B/2006/PN.Ska. tanggal 19 April 2006 ;

4. Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi kepada Termohon Kasasi/Terdakwa sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).


(44)

B. ANALISIS KASUS Pertimbangan Hakim

Hakim yang mengadili perkara ini dalam putusannya mempertimbangkan yang pokoknya menerangkan sebagai berikut :

1. Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi No.51/Akta Pid.B/2005/PN.Ska. yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Surakarta, yang menerangkan, bahwa pada tanggal 14 Agustus 2006 Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surakarta telah mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Surakarta tersebut ;

2. Membaca surat-surat yang bersangkutan ;

3. Menimbang bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan kepada Pemohon Kasasi pada tanggal 26 Juli 2006 akan tetapi Pemohon Kasasi tidak mengajukan risalah kasasi sebagaimana dijelaskan dalam surat keterangan Panitera pada Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 11 September 2006 No. 51/Akta Pid.B/2005/PN.Ska. karena itu berdasarkan pasal 248 (1) dan (4) KUHAP (Undang-Undang No. 8 tahun 1981) maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi tersebut gugur dengan demikian permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima ;

4. Menimbang, bahwa karena permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima dan Terdakwa tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman, maka biaya perkara dibebankan kepada Terdakwa;


(45)

5. Memperhatikan Undang-Undang No.4 tahun 2004, Undang - Undang No.8 tahun 1981 dan Undang-Undang No.14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.5 tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ;

Analisis Putusan

Hakim Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum dikarenakan pemohon kasasi tidak mengajukan risalah kasasi maka dalam hal ini Putusan Mahkamah Agung sejalan dengan putusan hakim sebelumnya yaitu menyatakan terdakwa Lim Acong. terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut serta menggunakan surat palsu” dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 1 (satu) tahun.

Namun dengan demikian, dalam kasus ini penulis setuju dengan penerapan hukuman pidana yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa dalam Putusan Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Tinggi Semarang karena memang terdakwa telah memenuhi unsur-unsur kesalahan yang kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan konsep pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dengan terpenuhinya unsur kesalahan dalam diri si terdakwa, maka terhadap putusan hakim mahkamah agung penulis berpendapat bahwa putusan tersebut adalah tepat dan sesuai dengan rasa keadilan.


(46)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan yang dikemukakan sebelumnya maka terdapat beberapa poin penting yang dapat diambil penulis sebagai kesimpulan :

1. Pada umumnya terdapat berbagai bentuk penyalahgunaan kartu kredit yang dapat dilakukan oleh para pelaku dalam berbagai modus kejahatan diantaranya :

a. Modus Operandi Fraud Application (Menggunakan kartu asli yang diperoleh dengan aplikasi / data palsu)

b. Modus Operandi Non Received Card (Menggunakan kartu asli yang tidak diterima oleh pemegang kartu sesungguhnya)

c. Modus Operandi Lost/Stolen Card (Menggunakan kartu asli hasil curian / temuan)

d. Modus Operandi Altered Card (Menggunakan kartu asli yang diubah datanya)

e. Modus Operansi Totally Counterfeit (Menggunakan kartu kredit yang seluruhnya palsu)

f. Modus Operandi White Plastic Card (Menggunakan kartu kredit polos yang menggunakan data asli / valid)


(47)

g. Modus Operandi Record of Charge Pumping atau Multiple Imprint (Penggandaan Sales Draft)

h. Modus Operandi Alteref Amount (Mengubah / menambah nilai nominal pada sales draft)

i. Modus Operandi Mail Order / Telephone Order (Memesan barang melalui surat/telepon)

j. Modus Operandi Mengubah atau Merusak Program EDC

k. Modus Operandi Fictitious Merchant (Berpura-pura menjadi Pedagang)

2. Penerapan ketentuan hukum pidana yang ada di Indonesia dalam pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit orang lain :

a. Menurut KUHP :

- Pasal 363 ayat (1) ke - 4 KUHP - Pasal 378 KUHP

- Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP

Hal ini dapat dilihat melalui penerapan ketentuan hukuman pada contoh kasus perkara pidana yang penulis sertakan di pembahasan sebelumnya :

- Putusan Mahkamah Agung No. 771 K/Pid/2009 yang menolak permohonan kasasi Jaksa/Penuntut umum dimana terdakwa dijerat dengan Pasal 363 ayat (1) ke - 4 KUHP.


(48)

- Putusan Mahkamah Agung No. 2145 K/Pid/2006 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi sebelumnya dimana terdakwa dijerat dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP.

b. Menurut UU ITE Nomor 11 Tahun 2008

- Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51.

B. Saran

1. Mengingat maraknya modus-modus operandi dan berbagai kejahatan lain yang mungkin dapat ditimbulkan dari adanya usaha penerbitan kartu kredit, maka oleh karena itu dipandang perlu bagi pemerintah / pejabat yang berwenang di bidang tersebut untuk dapat menciptakan suatu sistem perlindungan yang kuat bagi para pengguna kartu kredit dan meminimalisir berbagai bentuk kemungkinan yang dapat menimbulkan celah bagi para pelaku untuk melakukan kejahatan terhadap penyalahgunaan kartu kredit orang lain, sehingga masyarakat yang dalam hal ini bertindak sebagai pemegang kartu kredit (card holder) dapat dengan aman dan nyaman dalam melakukan transaksi dan menikmati berbagai fasilitas dan layanan kartu kredit.

2. Bagi para aparatur penegak hukum kiranya agar lebih giat menggali penemuan-penemuan hukum baik yang ada didalam maupun diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai referensi dalam


(49)

penerapan ketentuan dan penjatuhan putusan hukuman pidana, agar para pelaku terhadap kejahatan penyalahgunaan kartu kredit dapat dijerat dan dijatuhi hukuman sesuai dan setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya.


(50)

A. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Kartu Kredit

1. Pengertian Kartu Kredit

Secara umum, pengertian kartu kredit adalah suatu kartu yang umumnya dibuat dari bahan plastik, dengan dibubuhkan identitas dari pemegang dan penerbitnya, yang memberikan hak terhadap siapa kartu kredit diisukan untuk menandatangani tanda pelunasan pembayaran harga dari jasa atau barang yang dibeli di tempat-tempat tertentu, seperti toko, hotel, restoran, penjualan tiket pengangkutan dan lain-lain. Selanjutnya membebankan kewajiban kepada pihak penerbit kartu kredit untuk melunasi harga barang atau jasa tersebut ketika ditagih oleh pihak penjual barang atau jasa. Kemudian kepada pihak penerbitnya diberikan hak untuk menagih kembali pelunasan harga tersebut dari pihak pemegang kartu kredit plus biaya-biaya lainnya, seperti bunga, biaya tahunan, uang pangkal, denda dan sebagainya.41

Kartu kredit yang lebih dikenal dengan credit card umumnya dibuat dari sebuah kartu plastik yang ukurannya sama dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Kartu ini diterbitkan oleh suatu badan usaha (umumnya bank) untuk dipergunakan oleh pemegangnya (card

41 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 174


(51)

holder) sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai kepada toko-toko,

usaha-usaha lainnya yang ditunjuk (bisa dengan kerja sama) oleh penerbit kartu kredit. Penerbitan kartu kredit merupakan pemberian fasilitas kredit oleh suatu bank penerbit kepada pemegang kartu tanpa melalui prosedur yang berbelit, dan tidak berdasarkan akta autentik, namun cukup dengan akta dibawah tangan, serta tidak mutlak harus ada jaminan dari pemegang kartu.

Namun demikian, penerbit kartu kredit tidak akan sembarangan memberikan kartu kredit ini kepada seseorang, melainkan hanya diberikan kepada seseorang yang memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya adalah bonafide pemegang kartu kredit sangat diperlukan agar pemakaian kartu tidak melampaui jumlah jaminan (deposit) yang ada pada bank penerbit.42

Dalam perkembangan penggunaan kartu plastik ini, sekilas dibahas oleh Dury (et.al) bahwa Edward Bellamy, seorang pengacara Amerika yang beralih profesi menjadi wartawan, menulis sebuah buku pada tahun 1887 dan diterbitkan setahun kemudian dengan judul Looking Backward yang menjadi salah satu buku terlaris pada masanya. Dalam buku tersebut Bellamy mengambil lokasi di Boston, Amerika Serikat untuk tahun 2000. Dalam percakapan disebutkan bahwa pada tahun 2000, yaitu seratus tiga belas tahun setelah penulisan buku dimaksud, uang sebagai alat pembayaran saat itu akan tergeser oleh kartu kredit, dimana pemegangnya dapat memenuhi seluruh kebutuhannya dengan menggunakan kartu dimaksud. Prediksi dari Bellamy membuktikan kebenarannya dan dimulai pada

42


(52)

tahun 1950 atau sekitar 63 tahun kemudian terdapat suatu kejadian di kota New York, dimana seorang wiraswastawan terkenal mengundang mitra bisnisnya untuk bersantap bersama dalam melakukan negosiasi bisnis. Setelah selesai dan akan melakukan pembayaran, wiraswastawan tersebut terkejut karena dompetnya tertinggal. Dengan perasaan malu ia memberikan kartu identitas kepada restoran yang bersangkutan sebagai jaminan untuk dapat ditagih di kantornya keesokan harinya. Kejadian tidak terduga dalam kasus di restoran yang kemudian dikenal dengan nama Frank Mc Namara, mengilhaminya untuk menciptakan mekanisme pembayaran dengan menggunakan kartu. Metode pembayaran tersebut dinilai lebih praktis dibandingkan dengan menggunakan uang tunai. Kartu plastik pertama yang dikeluarkan olehnya adalah Dinners Club.43

Keberhasilannya diikuti oleh berbagai industri penerbit lainnya, terutama dalam dekade tahun 1970-an dengan berbagai merek yang sangat populer, diantaranya Visacard yang dikeluarkan oleh Visa International dan Mastercard oleh Mastercard International.

Penggunaan kartu kredit di Indonesia mulai marak setelah deregulasi perbankan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988, dimana bisnis kartu kredit digolongkan sebagai kelompok usaha jasa pembiayaan. Penerbit kartu kredit internasional yang mengembangkan jaringan di Indonesia, Visacard International dan Mastercard International bekerjasama dengan bank-bank nasional dalam

43 Dury (et.al), Credit Card, Butterworths, London, 1984, hlm. 5, sebagaimana dikutip dalam buku Dr. Johannes Ibrahim, S.H.,M.H., Kartu Kredit - Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, PT Refika Aditama, Bandung, 2004 hal.13


(53)

merebut pangsa pasar. Perkembangan yang pesat diikuti pula oleh penerbit lainnya, yaitu Amexcard, BCA Card, Procard, dan beberapa kartu lainnya yang diterbitkan oleh bank-bank.

2. Sejarah dan Perkembangan Kartu Kredit

Sejarah memang tidak mungkin kita lupakan. Maka apabila kita melihat sejenak kilas balik dalam sejarah, bentuk transaksi yang paling tua adalah bentuk tukar menukar atau barter. Model transaksi barter ini sudah ada sejak zaman dahulu. Karena model transaksi inilah yang paling simpel untuk dilakukan. Tanpa perlu suatu alat bayar apapun. Kemudian ketika manusia mengenal alat bayar dalam bentuk uang, maka mulailah berkembanng transaksi jual beli.

Akan tetapi, ternyata uang sebagai alat bayar pun tidak cukup aman bagi pemegangnya. Hal ini dikarenakan baik karena tidak praktis, ataupun karena sering terjadi perampokan atau kehilangan tanpa tersedia upaya pengamanan yang berarti. Maka kemudian berkembanglah bentuk-bentuk alat bayar lain. Misalnya penggunaan cek. Tetapi bentuk alat bayar cek tersebut juga ternyata tidak cukup

comfortable bagi pemegang maupun penerimanya.

Karena itu, kemudian berkembanglah alat bayar lain yang berbentuk kartu plastik, yang secara populer disebut kartu kredit. Walaupun eksistensi kartu kredit tidak dimaksudkan untuk menghapus secara total sistem pembayaran dengan menggunakan uang cash ataupun cek, tetapi terutama untuk kegiatan pembayaran yang day to day dengan jumlah pembayaran tingkat menengah, maka keberadaan kartu kredit sesungguhnya dapat menggeser peranan uang cash ataupun cek.


(54)

Untuk pembayaran yang bukan tingkat menengah, memang penggunaan kartu kredit masih belum populer. Karena, untuk transaksi kecil orang cenderung menggunakan uang cash, sementara untuk transaksi yang besar pilihannya jatuh pada alat bayar cek ataupun surat-surat berharga lainnya.44

Setelah Perang Dunia II, perdagangan antar pulau berkembang sangat pesat, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika. Sejalan dengan perkembangan perdagangan, dunia perbankan juga mengalami perkembangan karena bank merupakan sarana yang utama dalam menyediakan fasilitas modal. Untuk dapat memperlancar arus perdagangan tersebut, maka dipergunakan pula bentuk lain selain uang tunai sebagai alat pembayaran yaitu cek, karena dirasa lebih aman dan praktis.

Sejalan dengan pesatnya perkembangan penggunaan cek sebagai alat pembayaran, timbul pula bermacam-macam manipulasi cek termasuk banyaknya cek kosong. Karena kekhawatiran di kalangan pedagang-pedagang di Amerika Serikat dan Eropa serta adanya keengganan untuk mempergunakan uang tunai dan cek, maka muncul gagasan dari kalangan pengusaha bank untuk menciptakan suatu alat pembayaran yang dirasa lebih praktis yaitu kartu kredit.

Pembayaran dengan menggunakan kartu kredit mulai dikenal pada awal tahun 1920-an di Amerika Serikat dimana pada saat itu kartu kredit hanya dapat dipergunakan untuk berbelanja di toko yang menerbitkan kartu kredit tersebut.45

44 Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 216.

45


(55)

Di USA, kartu kredit pertama sekali dipergunakan dalam dekade 1920-an, yang diberikan oleh Department-department Store besar kepada para pelanggannya. Tujuannya, untuk mengidentifikasi pelanggannya yang ingin berbelanja tetapi dengan pembayaran bulanan. Karena itu, kartu kredit seperti ini berbentuk kartu pembayaran lunas (charge card), yang dibayar bulanan setelah ditagih, dan tanpa kewajiban membayar bunga. Jadi para pihaknya hanya dua pihak saja, yaitu pihak pertama toko sebagai penerbit, sedangkan pihak kedua adalah pelanggan sebagai pemegang kartu kredit.46

Kemudian, di USA diawal dasawarsa 1950-an, Dinner’s Club mulai memperkenalkan kartu kredit tiga pihak yang mempunyai hubungan hukum segitiga antara penerbit, pemegang kartu kredit dan penjual barang/jasa, yang dibeli dengan memakai kartu kredit (tersebut).

Setelah Dinner’s Club, lembaga-lembaga lain yang menerbitkan kartu kredit adalah American Express Company dalam tahun 1958 dan Hilton Credit

Corporation dalam tahun 1959.

Selanjutnya, di akhir dasawarsa 1950-an itu juga, Bank of America menjadi pionir dengan memperkenalkan kartu kredit “antar bank”, yang kemudian berkembang menjadi apa yang sekarang dikenal dengan kartu kredit “VISA”. Demikian juga yang dilakukan oleh Chase Manhattan Bank. Dan, dalam tahun 1951, The First National Bank Long Island telah juga mengeluarkan kartu kreditnya. Demikian juga Barclays Bank di Inggris telah memperkenalkan kartu

46


(56)

kredit di tahun 1966. Dalam hal kartu kredit seperti VISA tersebut misalnya, bukan hanya dipergunakan oleh satu bank saja, tetapi dipergunakan secara keroyokan oleh beberapa bank dengan sistem franchise. Fungsi bank-bank tersebut dapat berupa (1) penerbit kartu kredit, atau dapat juga berupa (2) bank perantara bayar (Collection Bank) yakni yang bertugas untuk menerima slip penjualan dari penjual barang / jasa, dan membayarnya kepada penjual tersebut, dan meneruskan slip penjualan tersebut kepada bank penerbit untuk mendapat pembayaran kembali. Dan (3) dapat juga suatu bank bertindak sekaligus sebagai bank penerbit dan bank perantara bayar.47

Dari benua Amerika, kartu kredit berkembang pula sampai ke Inggris dan benua Eropa lain, yaitu yang dikeluarkan oleh Euro Cheque dan oleh Chargex. Di Eropa pun pasaran-pasaran kartu kredit cukup menonjol disamping alat pembayaran lain seperti cek. Dari benua Eropa dan Amerika, kartu kredit terus berkembang terus ke Asia terutama di Jepang yaitu dengan dikeluarkannya kartu kredit oleh Bank Sumitomo.

Di Indonesia tidak ketinggalan pula. Meskipun sudah sejak tahun 1964 Hotel Indonesia menerima pembayaran dengan kartu kredit, tetapi baru pada tahun 1970-an transaksi dengan menggunakan kartu kredit sebagai alat pembayaran mulai kelihatan menonjol. Kartu kredit yang pertama kali muncul di Indonesia adalah kartu kredit yang diterbitkan oleh American Exprees dan Dinners Club. Sedangkan bank nasional pertama yang menerbitkan kartu kredit adalah Bank BCA, namun kartu ini hanya dapat digunakan oleh nasabah BCA

47


(57)

saja (bersifat internal). Bank nasional yang pertama kali menerbitkan kartu kredit bekerja sama dengan Internasional adalah Bank Duta.48

Kejahatan merupakan perbuatan antisosial, tidak hanya terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang, tetapi ada juga dalam masyarakat yang sudah maju (dengan peralatan teknologi yang lebih canggih). Kejahatan tidak hanya di dunia nyata (real) tetapi ada juga di dunia maya (virtual) dengan bentuk yang berbeda dengan wajah kejahatan yang konvensional karena telah diperhalus sedemikian rupa. Keberadaan suatu kejahatan identik dengan keberadaan manusia itu sendiri, meskipun ada kemungkinan bentuk atau tipe kejahatan dari tiap-tiap masyarakat berbeda.49

Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia saat ini sudah memasuki banyak bidang dan aspek kehidupan. Salah satu contohnya adalah dalam bidang perdagangan dimana sekarang dapat dilakukan bukan hanya secara langsung tetapi melalui media internet/komputer atau yang lebih sering disebut sebagai

E-Commerce. Berbelanja lewat internet akan menggunakan kartu kredit dalam

melakukan transaksi pembayaran, dengan kata lain fungsi kartu kredit dewasa ini sangat penting dan banyak memberikan kemudahan bagi pemakainya. Semakin berkembangnya Teknologi Informasi dan E-Commerce tersebut juga melahirkan kejahatan - kejahatan baru di masyarakat, salah satu diantaranya adalah : penyalahgunaan kartu kredit (Credit Card Fraud).

48 http://www.pakarkartukredit.creditcard-revolution.com/sejarah-kartu-kredit/

49 Agus Rahardjo, Cybercrime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 31


(58)

Kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan bank yang meminjami nasabah sejumlah uang dana tanpa harus memiliki dana atau tabungan di bank tersebut.50

Nasabah akan dikenakan iuran tahunan yang besarnya ditetapkan bank. Berbeda dengan charge card, dana yang bisa nasabah pergunakan baik untuk menarik uang tunai maupun berbelanja terbatas pada plafon pagu kredit (jumlah maksimal kredit yang diberikan) yang disetujui. Kelebihan kartu kredit ini, nasabah tidak harus membayar penuh jumlah tagihan ketika jatuh tempo. Nasabah boleh menyicil dengan jumlah minimal tertentu. Sisanya, termasuk bunga, ditagih kepada nasabah bulan berikutnya.

B. Prosedur Penerbitan dan Mekanisme Penggunaan Kartu Kredit

Kartu kredit sekarang sudah amat populer dan dikenal oleh masyarakat banyak, karena begitu banyaknya badan usaha yang melakukan pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit.

Kartu kredit yang lebih dikenal dengan Credit Card umumnya dibuat dari sebuah kartu plastik yang ukurannya sama dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) kartu ini diterbitkan oleh suatu badan usaha (umumnya bank) untuk dipergunakan oleh pemegangnya

(card holder) sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai kepada toko-toko,

50 Ali Arifin, Tip Dan Trik Memiliki Kartu Kredit, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2002, hal. 9


(59)

usaha-usaha lainnya yang ditunjuk (bisa dengan kerja sama) oleh penerbit kartu kredit. 51

Perkataan “kredit” telah lazim digunakan pada praktik perbankan dalam pemberian berbagai fasilitas yang berkaitan dengan pinjaman. Kata yang sama dijumpai pula dalam penerbitan kartu yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan, baik Bank atau Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), secara mandiri ataupun bekerjasama. Pengertian “kredit” dalam penggunaan yang semakin meluas perlu untuk ditelusuri, sejauhmana relevansi penggunaannya dalam praktik bisnis umumnya dan perbankan khususnya.

Kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi “credere” yang berarti percaya atau “credo” atau “credium” yang berarti saya percaya.

Black’s Law Dictionary memberi pengertian bahwa kredit adalah :

“The ability of a businessman to borrow money, or obtain goods on

time, in consequence of the favourable opinion held by the particular lender, as to his solvency and reliability.” 52

Artinya :

“Kemampuan seorang pelaku usaha untuk meminjamkan uang, atau memperoleh barang-barang secara tepat waktu, sebagai akibat dari argumentasi yang tepat dari pemberi pinjaman, seperti halnya keandalan dan kemampuan membayarnya.”

51 Zaeni Asyhadie, S.H., M. Hum., Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 125

52


(60)

Kredit terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut : 53

1. Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak Bank atas prestasi

yang diberikannya kepada debitur yang akan dilunasinya sesuai jangka waktu yang diperjanjikan;

2. Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian kredit

dan pelunasannya dan jangka waktu tersebut sebelumya terlebih dahulu telah disepakati bersama antara pihak Bank dan debitur; 3. Prestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi dan kontra

prestasi pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan perjanjian pembelian kredit antara Bank dengan debitur berupa uang dan bunga atau imbalan;

4. Risiko, yaitu adanya risiko yang mungkin terjadi selama jangka

waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya wan prestasi dari debitur, maka diadakan pengikatan jaminan atau agunan.

Empat hal dari unsur-unsur kredit, yaitu Kepercayaan, Waktu, Prestasi, dan Risiko, keseluruhannya merupakan hal yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Pemberian kredit tidak dapat dilakukan tanpa adanya kepercayaan. Dengan kepercayaan yang diberikan oleh pihak Bank, dijanjikan periode waktu tertentu yang disepakati bersama untuk penggunaan atau pelunasannya. Sebagai objek dari perjanjian kredit Bank, adanya prestasi yang secara timbal-balik

53 Ibid.


(61)

diberikan oleh masing-masing pihak, dimana Bank memberikan fasilitas kredit yang penarikannya disesuaikan dengan kebutuhan debitur dan sebaliknya debitur harus membayar berupa bunga atau imbalan. Dan terakhir bahwa, pemberian kredit tidak luput dari unsur risiko, dapat terjadi karena kondisi atau kebijaksanaan pemerintah berpengaruh terhadap aktifitas debitur ataupun debitur nakal alias tidak beritikad baik untuk memberikan kontra prestasi dengan membayar bunga atau imbalan.

H. Hadiwidjaja menyebutkan unsur-unsur kredit itu dalam 6 pokok bahasan yang penting, yaitu 54 :

1. Adanya orang/badan yang memiliki uang, barang atau jasa, dan bersedia untuk meminjamkannya kepada pihak lain. Orang ini disebut Kreditur;

2. Adanya orang/badan sebagai pihak yang memerlukan/meminjam uang, barang atau jasa. Orang ini disebut Debitur;

3. Adanya kepercayaan kreditur terhadap debitur;

4. Adanya janji dan kesanggupan membayar dari debitur kepada kreditur. Hal inilah yang nantinya akan dituangkan didalam perjanjian secara tertulis;

5. Adanya perbedaan waktu, yaitu perbedaan antara saat penyerahan uang, barang atau jasa, oleh kreditur dengan saat pembayaran kembali oleh debitur; dan,

54 H. Hadiwidjaja, EC. R.A. Rivai Wirasasmita, ANALISIS KREDIT (Dilengkapi Telaah Kasus), cetakan pertama, Pionir Jaya, Bandung, Maret 1991, hal. 4


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, kasih karunia dan pertolongan-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Setiap tantangan dan kesulitan yang dihadapi dari awal Penulisan sampai kepada akhirnya dapat dilalui oleh Penulis hanya karena kebaikan-Nya semata yang menunjukkan kebesaran dan keagungan-Nya yang tidak terlampaui oleh pikiran manusia.

Skripsi yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT

ORANG LAIN” ini dijadikan sebagai karya ilmiah yang kiranya dapat dipergunakan sebagai sumber pengetahuan dalam dunia pendidikan khususnya pengetahuan dalam bidang hukum pidana yang mengatur tentang penggunaan kartu kredit di Indonesia. Penulisan skripsi ini juga merupakan salah satu syarat bagi Penulis untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Besar harapan Penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan ilmu pengetahuan bagi para pembaca, terutama bagi Penulis sendiri.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat Penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu :


(2)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH. M.H. DFH dan Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan mendukung penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran sehingga skripsi ini selesai.

4. Ibu Liza Erwina, S.H., M.H., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya, selalu sabar dalam membimbing dan mengarahkan serta memberi banyak motivasi dan masukan yang sangat berharga bagi penulis sehingga penulis dengan penuh semangat dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberi bimbingan dan perhatian selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan memberikan banyak ilmu kepada Penulis, secara khusus Bapak/Ibu Dosen Departemen Hukum Pidana yang memberikan banyak ilmu di bidang Hukum Pidana;


(3)

8. Kedua Orangtua yang penulis banggakan, Drs. Manotar Sihombing dan Rospita Butarbutar, S.Pd, terima kasih untuk semua doa, kasih sayang, serta dukungan baik moral maupun materil yang sudah diberikan sepanjang kehidupan penulis.

9. Keluarga besar penulis yang selalu mendukung penulis selama penulisan skripsi ini, khususnya buat abang dan adik-adik penulis, Tohom Dian Pratama Sihombing, S.P., Luzerna Putri Sihombing, Bellina Murniasi Sihombing, terima kasih untuk motivasi dan semangatnya.

10.Sahabat-sahabat penulis, Pemuda/i GPI Tanjung Gusta terutama Maju Sinaga, Diana Sitanggang, Novita Sitohang, terima kasih buat motivasi dan kesabaran kalian mendengar cerita penulis.

11.Sahabat-sahabat penulis selama kuliah, Enny Zega, Giovani Manalu, Yenni Girsang, Wika Tyas, Christina Waruwu, Yona Siadari, Natasa Siahaan. Terima kasih atas dukungan kalian semua.

12.Keluarga Mahasiswa Kristen (KMK) UP FH USU, Kelompok Kecil Kak Evi Novian Purba, Esra Stephani Purba, Rebekka Dosma Sinaga, telah menjadi keluarga bagi penulis selama kuliah dan memberi pengetahuan berorganisasi.

13.Rekan-rekan mahasiswa stambuk 2009 terutama Grup G (di awal) dan Grup B (di akhir) stambuk 2009 yang selalu bersama dalam menjalankan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

14.Seluruh pihak yang telah mendoakan dan membantu serta memberi semangat pada penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas segalanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan, wawasan serta bahan-bahan literatur yang Penulis dapatkan. Oleh karena itu Penulis mengharapkan segala kritik dan saran dari pembaca.

Sekian dan terima kasih.

Medan, Februari 2016

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 8

2. Pengertian Tindak Pidana ... 13

3. Pengertian Kartu Kredit ... 18

F. Metode Penelitian ... 23

G. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT .. 27

A. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Kartu Kredit ... 27

1. Pengertian Kartu Kredit ... 27

2. Sejarah Dan Perkembangan Kartu Kredit ... 30

B. Prosedur Penerbitan dan Mekanisme Penggunaan Kartu Kredit.. 35

Aplikasi Permohonan Kartu Kredit ... 45

C. Modus Operandi Penyalahgunaan Kartu Kredit ... 48

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT ... 55

A. Ketentuan didalam dan diluar KUHP sebagai Dasar Penerapan Kejahatan Kartu Kredit ... 55


(6)

1. Ketentuan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Sebagai Dasar Penerapan Sanksi Terhadap Kejahatan

Kartu Kredit ... 55

2. Penerapan Sanksi Terhadap Kejahatan Penggunaan Kartu Kredit Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 ... 64

B. Penanggulangan Penyalahgunaan Kartu Kredit ... 71

C. Contoh Kasus Penyelesaian Perkara Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit ... 77

1. Contoh Kasus I (Putusan Mahkamah Agung No.771 K/Pid/2009) ... 77

A. Posisi Kasus ... 77

B. Analisis Kasus ... 83

2. Contoh Kasus II (Putusan Mahkamah Agung No. 2145 K./Pid/2006) ... 87

A. Posisi Kasus ... 87

B. Analisis Kasus ... 93

BAB IV PENUTUP ... 95

A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 97