56 pemilihan presiden.
59
Dalam pemilu 2004 misalnya, Partai Demokrat merupakan partai pemenang kedua setelah Golkar, namun Partai Demokrat berhasil memenangkan pemilihan
Presiden dengan mengusung SBY-JK. Tidak adanya dukungan mayoritas di DPR menyulitkan posisi DPR. Meskipun SBY berusaha untuk berkoalisi dengan partai-partai yang
lain, namun koalisi lebih didasarkan kepentingan dalam pembentukan kabinet dan tidak didasarkan atas kesamaann visi misi. Akibatnya, meskipun didukung oleh beberapa partai,
dalam prakteknya partai yang ada dalam koalisi tidak selalu mendukung kebijakan Presiden. Bahkan tidak menutup kemungkinan kebijakan Presiden tersandra oleh kepentingan partai-
partai politik pendukungnya. Separation of power, rapuhnya koalisi dan pemerintahan minoritas berpotensi
mengganggu keseimbangan hubungan antara legislatif dan eksekutif, dan berpotensi terjadinya deadlock. Hal ini tentunya berakibat pada terganggunya penyelenggaraan
pemerintahan terutama efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Sistem presidensiil berbasis separation of power yang tidak didukung oleh mayoritas di DPR juga bisa
menimbulkan pemerintahan yang terbelah divided government di mana presiden dan parlemen dikontrol oleh dua partai yang berbeda. Presiden Jokowi
–JK yang terpilih dalam pemilu Presiden tahun 2014 didukung oleh koalisi Indonesia Hebat sementara DPR dikuasai
oleh koalisi Merah Putih yang merupakan partai-partai pendukung capres Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014. Divided Government juga pernah terjadi di Amerika Serikat di mana
Obama yang didukung oleh Partai Demokrat, sementara Kongres dikuasai oleh Partai Republik sehingga sempat terjadi deadlock dalam penyusunan APBN sehingga terjadi
shutdown penyelenggaraan pemerintahan dalam dua minggu.
2. Tidak efisiennya penyelenggaraan pemilu
Adapnya pemilihan presiden secara langsung sebagai konsekuensi dari sistem pemerintahan presidensiil, pemilihan anggota legislatif pileg dan pemilihan kepala daerah
menjadikan beragamnya pemilu yang harus diselenggarakan. Dengan menerapkan sistem presidensiil dengan pemilihan presiden secara langsung dan pemilihan kepala daerah secara
langsung, maka terdapat 3 pemilu yang dilakukan yaitu pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah. Praktek dalam pemilu 2004, 2009 dan 2014
didahului dengan pemilihan anggota legislatif yaitu pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD. Tiga bulan setelah pemilihan anggota legislatif kemudian
dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan pemilihan Kepala Daerah
59
Jose Antonio Cheibub, Presidentialism, Parlementarusm and Democracy, New York: Cambridge University Press, 2007, hal. 7-8.
57 dilakukan oleh masing-masing daerah sesuai dengan akhir mas jabatan Kepala Daerah pada
daerah yang bersangkutan. Banyaknya pemilu yang harus diselenggarakan ini menjadikan pemilu tidak efisien,
baik bagi penyelenggara, bagi partai politik dan bagi masyarakat. Bagi penyelenggara pemilu, maka pelaksanaan pemilu menjadi lebih merepotkan baik dari segi waktu, tenaga dan biaya.
Dalam pemilu tahun 2009 misalnya, biaya yang digunakan untuk pileg sekitar 19 trilyun, sedangkan pada pileg 2014 sekitar 24,1 trilyun, anggaran pilpres sekitar 7,9 trilyun. Biaya
tersebut belum termasuk biaya pilkada yang menjadi tanggungjawab dari pemerintah daerah. Adanya beragam pemilu yang dilaksanakan dianggap terlalu banyak menyedot anggaran
negara, sehingga mengurangi anggaran pembangunan untuk masyarakat. Dari perspektif pemilih, beragam pemilu yang harus dihadiri juga mengakibatkan
pemborosan tenaga, biaya dan waktu. Jelas pemilih harus mengalokasikan waktunya untuk datang ke TPS, dan mungkin juga harus meninggalkan pekerjaan. Konsekuensinya,
kemungkinan tingkat partisipasi masyarakat akan menurun, terutama untuk pileg, karena masyarakat menganggap pilpres lebih penting.
Adanya beragam pemilu yang dilaksanakan juga menyebabkan pengeluaran partai lebih banyak. Partai politik harus menganggarkan dana kampanye pileg dan pilres dan
bahkan pilkada secara terpisah. Hal ini akan berkibat pada menurunkan kapabilitas partai
politik dalam memobilasi dukungan masyarakat. 2. Lemahnya sinkronisasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung memang paralel dengan sistem pemerintahan di tingkat nasional, yaitu sistem presidensiil di mana Presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat. Dengan pelaksanaan pilkada yang beragam pada masing-masing daerah dan sistem multi partai, maka pemenang pilkada dalam masing-masing daerah juga beragam.
Dari kondisi ini bisa melahirkan pemerintahan yang bertentangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam logika negara kesatuan, maka meskipun Kepala Daerah dipilih oleh rakyat
secara langsung, namun tetap menjadi unsur penyelenggaraan pemerintahan yang ada di daerah yang tidak terpisah dari kontrol pemerintah pusat. Sistem ini bisa menghasilkan
pemerintahan daerah yang tidak sinkron dengan pemerintah daerah, karena bisa jadi Kepala Daerah berasal dari partai oposisi yang bisa menyulitkan dalam penyelenggaraan kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Contoh yang terjadi pada masa SBY misalnya, ada Kepala Daerah yang tidak mendukung kebijakan Presiden misalnya kebijakan kenaikan harga
BBM maupun kebijakan Bantuan Langsung Tunai BLT. Padahal, kebijakan pemerintah pusat tidak akan berhasil kalau tidak didukung oleh Pemerintah Daerah.
58 3. Menurunnya Tingkat Partisipasi Masyarakat
Pemilu yang dilaksanakan secara bertahap secara terpisah akan menurunkan partisipasi masyarakat.
C. Peluang Dan Tantangan Pemilu Serentak dari Perspektif Yuridis dan Politis