27 mencakup sistem budaya dari kebudayaan masyarakat Jawa yang berisi tentang
permohonan keselamatan dari umat manusia kepada Sang Pencipta agar di dalam hidupnya terhindar dari kesengsaraan. Hal ini disadari oleh keyakinan bahwa anak
yang dianggap sukerta dengan kriteria tertentu diyakini sebagai anak yang membawa sesuker sehingga untuk membersihkan sesuker tersebut harus dengan
tradisi ruwatan agar anak terbebas dari mala petaka dan gangguan selama hidupnya.
3. Tinjauan tentang Identitas
a. Identitas
Pada umumnya identitas diartikan sebagai data yang berisi tentang diri pribadi. Identitas merupakan konsepsi yang diyakini tentang kedirian. Kemudian
harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial. Identitas dan identitas sosial berbentuk narasi atau menyerupai cerita. Mengeksplorasi identitas
berarti bertanya bagaimana melihat diri dan bagaimana orang lain melihat diri pribadi.
Identitas sepenuhnya merupakan kostruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi budaya dan akulturasi karena identitas berada di dalam
lingkungan sosial serta budaya. Tidak ada satupun kebudayaan yang dikenal yang tidak memiliki konsepsi tentang diri dan kedirian. Namun hal tentang identitas
dalam kebudayaan bervariasi dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Seperti pendapat Chris Barker 2004: 170
”Identitas adalah suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup”. Identitas
dipandang melalui ekspresi dari berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh orang lain dan kita sendiri.
Antara konteks tradisi dan pemahaman manusia modern ada sedikit perbedaan dalam pemaknaan identitas. Bagi konteks tradisi, identitas
berhubungan dengan posisi dan kedudukan sosial masyarakat. Namun bagi manusia modern identitas adalah proses terbentuknya narasi tentang diri dan
kedirian. Menurut Chris Barker 2004:1 38 “Dalam konteks tradisi, identitas diri
28 terutama adalah persoalan posisi sosial, sementara bagi manusia modern ini
adalah suatu proyek reflektif reflextife project yaitu proses dimana identitas diri dibangun oleh penataan reflektif narasi diri”. Seperti pendapat Giddens dalam
Chris Barker,2004: 1 71 bahwa ”Identitas diri terbangun dari kemampuan untuk
melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membangun suatu perasaan terus menerus tentang adanya kontinuitas biografis”. Dalam hal ini individu berusaha
mengkontruksi suatu narasi identitas dimana „diri‟ membentuk suatu lintasan
perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan. Jadi identitas diri bukan kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh individu. Identitas
merupakan diri sebagaimana yang dipahami secara reflektif oleh orang dalam konteks biografinya.
Menurut John Turner dalam jurnal James Piecowye bahwa ada tiga tingkatan definisi identitas :
1. supra-order-self compared to others of the same species;
2. intermediate level-social identity based on intergroup comparisons;
and 3.
subordinate level-self is defined as unique Tiga tingkatan definisi identitas memiliki makna. Pertama, Supra order
berarti tingkatan paling atas yang menjelaskan identitas adalah membandingkan individu satu dengan yang lain dari persamaan kelompok atau spesies. Kedua,
Intermediate level adalah tingkatan tengah yang menjelaskan identitas berdasar pada perbandingan dalam kelompok. Ketiga, subordinate level berarti tingkatan
paling bawah yang menjelaskan identitas adalah sesuatu yang unik atau berciri khas.
Dengan demikian dari berbagai penjelasan tentang identitas tersebut, identitas adalah suatu yang dapat dimaknai melalui perbedaan dan persamaan diri
yang terbangun melalui narasi tentang diri sesuai konteks dimana kita berada.
b. Identitas Sosial