METODE PENELITIAN Analisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah dan keuangan daerah terhadap kinerja perekonomian daerah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah.

4. METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di kabupatenkota di Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap kinerja perekonomian daerah, unit analisisnya adalah 11 kabupatenkota di Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk menganalisis proses perencanaan dan pengganggaran unit analisisnya adalah Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Penentuan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh KPPOD tahun 2010 yang melakukan pemeringkatan secara nasional untuk semua kabupatenkota, kabupatenkota yang ada di Sulawesi Tengah, 8 kabupatenkota berada pada peringkat di atas 50 selain 3 kabupaten yang menduduki peringkat di atas 20. Selain itu, dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Donggala merupakan kabupaten tertua dan hanya memiliki pertumbuhan 7, sedangkan Kota Palu walaupun memiliki pertumbuhan di atas pertumbuhan Provinsi, tetapi memiliki Indeks TKED yang lebih rendah dari Kabupaten Donggala. Alasan lain dipilihnya Kabupaten Donggala dan Kota Palu disebabkan oleh perbedaan dalam pengelolaan keuangan daerah. Menurut PP No 58 Tahun 2005 yang dimaksud dengan pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Mardiasmo 2002 Anggaran sebagai alat penilaian kinerja Performance Measurement Tools, kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan efesiensi pelaksanaan anggaran. Waktu penelitian dilaksanakan mulai Juni 2012 sampai dengan Agustus 2012. Jenis, Sumber Data dan Metode Analisis Untuk menjawab tujuan penelitian melihat pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap kinerja perekonomian daerah dengan mempergunakan Analisis Regresi Berganda. Penelitian untuk melihat hubungan antara tata kelola ekonomi daerah dengan pertumbuhan, yang dilakukan oleh KPPOD dengan menggunakan korelasi antara indeks total TKED yang terdiri dari 9 indikator dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan sebelumnya oleh KPPOD, perbedaan tersebut pada metode yang digunakan. Dalam penelitian ini untuk melihat pola hubungan antara TKED dengan kinerja perekonomian daerah PDRB per kapita, perubahan pengangguran, perubahan kemiskinan dieksplorasi dengan korelasi Pearson dan Spearman dan dianalisis secara deskriptif baik dengan tabel maupun grafik. Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan mengungkap informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana. Analisis deskriptif yang dilakukan adalah untuk mengetahui keterkaitan delapan indikator tata kelola ekonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan pengangguran kabupaten dan kota di Propinsi Sulawesi Tengah. Dalam setiap indikator, terdapat variabel yang berbeda dengan skala pengukuran yang berbeda pula. Analisis deskriptif ini dilakukan dalam menganalisis variabel-variabel dengan skala pengukuran ordinal dan nominal dengan menggunakan tabulasi silang, boxplot serta scatter plot. Selanjutnya dari variabel TKED bersama-sama dengan variabel lain dianalisis menggunakan regresi berganda dengan metode ordinary least square OLS untuk mengetahui berapa pengaruh masing-masing variabel TKED terpilih tersebut terhadap kinerja perekonomian daerah. Pembentukan model dengan menggunakan data 2 tahun yaitu data tahun 2010 dan tahun 2011, penggunaan data tahun 2010 dan 2011 di sesuaikan dengan data TKED. Indikator TKED yang digunakan dalam penelitian ini hanya 8 indikator karena indikator PERDA tidak dianalisis dalam penelitian ini. Estimasi koefisien regresi dilakukan melalui metode Ordinary Least SquareOLS. Asumsi model OLS menurut Juanda 2009, yaitu: a Komponen sisaan ε i mempunyai nilai harapan sama dengan nol dan ragam konstan untuk semua pengamatan i. Eε i =0 danVarε i =σ² b Tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan εi sehingga Covεi, εj=0, untuki≠j. c Komponen sisaan menyebar normal. Dalam terminologi statistika, asumsi iii ini biasa diringkas dengan simbol εi ~ N0, σ² yang artinya komponen εi menyebar Normal, Bebas Stokastik, dan Identik, dengan nilai tengah sama dengan nol dan ragam konstan untuk i=1,2,...,n. Semua asumsi di atas jika terpenuhi, maka penaksir OLS dari koefisien regresi adalah penaksir tak bias linear terbaik atau Best Linear Unbiased Estimator BLUE. Untuk mencari model terbaik, terlebih dahulu dilakukan berbagai tahapan. Pertama- tama model yang dikaji diasumsikan terspesifikasi dengan benar. Model yang diasumsikan terspesifikasi dengan benar membuat pendugaan dan pengujian model relatif jadi jelas. Dalam realitas tidak pernah tahu bahwa spesifikasi yang dikaji pasti benar. Peneliti mengkaji lebih dari satu kemungkinan spesifikasi model dan mencari model yang terbaik. Dalam membuat model diharapkan unsur-unsur ketidakteraturan Y akan tercakup dalam dugaan atau dapat dijelaskan oleh nilai-nilai dari variabel X 1 ,X 2 …..,X n . Oleh karena itu, komponen sisaan diusahakan menjadi relatif kecil dibandingkan komponen dugaannya. Menurut Juanda 2009, komponen error, paling sedikit terdiri dari 4 komponen yaitu : 1. Kesalahan pengukuran dan proksi dari peubah respons Y maupun peubah penjelas X 1 , X 2 ,...., dan X p . 2. Asumsi bentuk fungsi f yang salah. Mungkin ada bentuk fungsi lainnya yang lebih cocok, linear maupun non-linear. 3. Omitted variabels. Peubah variable yang seharusnya dimasukkan ke dalam model, dikeluarkan karena alasan-alasan tertentu misalnya penyederhanaan, atau data sulit diperoleh dan lain-lain. 4. Pengaruh faktor-faktor lain yang belum terpikirkan atau tidak dapat diramalkan. Tahapan untuk menguji hipotesis dapat dijelaskan pada Gambar 7. Hipotesis- hipotesis utama yang akan diuji H dan diformulasikan ke dalam koefisien-koefisien para meter β sehingga dapat diuji secara statistik. Setiap penyusunan model ekonomi terdapat beberapa asumsi yang dapat mendasarinya. Asumsi-asumsi tentang error diperlakukan sebagai auxiliary hipotheses Juanda, 2009. Sebelum melakukan pengujian hipotesis utama H terlebih dahulu menguji asumsi- asumsi tentang error yang mendasari model ekonometrik tersebut Ai. Dalam melakukan pengujian asumsi dapat melalui pengkajian pola ε. Jika ε berpola sistematik terhadap Y tidak dimodelkan secara eksplisit melalui fungsi f dan pemilihan variabel penjelas X 1 , X 2 …X n . Paling sedikit terdapat satu komponen sistematik dalam komponen ε yang belum diungkapkan dalam fX 1 , X 2 …X n . Prosedur pemodelan memerlukan pertimbangan statistik yang digunakan untuk mengidentifikasi perlunya spesifikasi ulang dalam model. Sedangkan teori ekonomi digunakan untuk membantu arah re-spesifikasi model. Hal yang harus dipahami yaitu hasil statistik –uji menunjukkan hipotesis utama ditolak maka hal ini belum cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa hipotesis ini benar-benar ditolak, karena kerangka pengujian tersebut tergantung dari cara bagaimana dapat menformulasikan hipotesis tersebut ke dalam koefisien parameter. Jadi kurang layak kalau menyimpulkan penolakan hipotesis pada pengujian pertama terhadap hipotesis tersebut. Akan tetapi jika hipotesis tetap juga ditolak, paling tidak pada pengujian kedua terhadap hipotesis tersebut, maka barangkali tidak ada alternatif lain untuk menolak hipotesis tersebut. Demikian tahapan pemodelan ekonomi secara umum dengan menggunakan analisis regresi. Tahapan melakukan atau mencari model terbaik dapat dilihat pada Gambar 7 untuk mendapatkan model yang terbaik Juanda, 2009. Tahapan mencari model terbaik menggunakan tahapan dalam flowchart berikut Juanda, 2009 Gambar 8 Tahapan Model Empiris Juanda,2009 Main Hypotheses H Auxiliary Hypotheses Ai Deduction Test Main Hypotheses Data on Silent Variables Modify the treatment of the auxiliary hypotheses Modify the treatment of the auxiliary hypotheses Testable form of the Theory Y = Xβ + error Residual consistent With White Noise Errors Residual consistent With White Noise Errors Prediction Main Hypotheses Rejected Main Hypotheses Not Rejected Can ’t Test This Particular Spesification of The Main Hypotheses Data yang digunakan dalam menganalisis pengaruh TKED terhadap kinerja perekonomian adalah data sekunder dari survei tata kelola ekonomi daerah oleh KPPOD di kabupatenkota di provinsi Sulawesi Tengah yang dilakukan tahun 2011. Selain itu juga, digunakan data yang diperlukan untuk pembentukan model data-data tersebut adalah pertumbuhan PDRB perkapita tahun 2010-2011, jumlah pengangguran tahun 2010-2011, jumlah orang miskin tahun 2010-2011 di kabupatenkota di Sulawesi Tengah, Belanja Modal BM, Investasi yang diproksi dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto PMTB ditambah perubahan stok 2010-2011. Periode 2010-2011 digunakan karena data tersebut menyesuaikan dengan data yang digunakan oleh KPPOD yaitu data tahun 2010. Data tersebut diperoleh dari BPS Sulawesi Tengah 2010-2011 dan realisasi APBD KabupatenKota se Sulawesi Tengah tahun 2010-2011. Indikator TKED yang dikorelasikan dengan kinerja perekonomian daerah masing-masing mempunyai sub indikator yaitu: akses lahan terdiri dari 5 variabel, perizinan usaha 6 variabel, integritas PEMDA dan pelaku usaha 8 variabel, PPUS 4 variabel, integritas dan kapasitas bupatiwalikota 6 variabel, keamanan dan penyelesaian konflik 4 variabel, biaya transaksi 5 variabel, infrastruktur 5 variabel. Untuk menjawab Tujuan penelitian menganalisis adanya perbedaan proses perencanaan dan penganggaran diantara Kabupaten Donggala dengan Kota Palu digunakan uji Chi-Square dengan memakai data primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yaitu melalui kuesioner terhadap seluruh responden. Teknik wawancara langsung digunakan terhadap beberapa responden utama kunci untuk memperoleh data yang lebih rinci yang berkaitan dengan proses perencanaan pengganggaran APBD. Responden dipilih secara sengaja purposive non random sampling yaitu pejabat dan staf pemerintah daerah eksekutif dan legislatif yang terkait dalam penyusunan dan pengambilan keputusan penyusunan APBD. Dari pejabat dan staf pemerintah daerah eksekutif akan dipilih dari SKPD terkait dalam proses perencanaan penganggaran masing-masing kepala dan sekretaris SKPD. Dari legislatif akan diambil masing-masing setiap fraksi yang ada yaitu 1 orang dalam 1 fraksi sehingga dapat terwakili dari anggota DPRD di Kabupaten Donggala dan di Kota Palu. Selain itu, perwakilan dari akademisi yang mengetahui dan telah banyak terlibat langsung dalam proses perencanaan dan penganggaran APBD. Adapun responden tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Responden untuk kuesioner = 1 orangfraksi legislatif, setiap SKPD eksekutif serta dari Akademisi. Keseluruhan Responden untuk quesioner disimbolkan dengan n 1. Kesulitan terbesar dalam penyusunan APBD adalah menjaga tujuan perencanaan pembangunan secara konsisten agar dapat diwujudkan melalui penganggaran yang tepat, keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran, melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003- pasal 17 ayat 2 disebutkan bahwa RKPD sebagai pedoman penyusunan RAPBD. Atas dasar inilah seharusnya setiap APBD merupakan operasionalisasi dari dokumen perencanaan dan penganggaran untuk itu dalam wawancara lebih mendalam interview pada responden tentang perencanaan dan penganggaran. Untuk interview akan dipilih responden dari legislatif dan eksekutif yang jumlahnya lebih sedikit dari responden saat kuesioner dan mewakili baik dari legislatif maupun eksekutif terkait proses penganggaran dan perencanaan dan ditanyakan apakah ada kesesuaian, sinkronisasi, koordinasi, dan sinergi antara berbagai kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan dalam RPJMD dengan RPJMN. Lebih lanjut ditanyakan kepada responden apakah selama ini telah menerapkan anggaran berbasis kinerja dan Medium Term Expenditure Framework MTEF yang dapat menjamin kejelasan hubungan antara programkegiatan untuk jangka lebih dari 1 tahun serta perencanaan atau prioritas pencapaian sektor dengan anggaran atau resource constraint. Keseluruhan responden untuk interview disimbolkan dengan n 2., sehingga responden untuk quesioner lebih banyak dari responden saat interview, n 1 n 2 . Pengolahan data primer dilakukan berdasarkan hasil tabel kontingensi uji Chi-Square. Dari hasil uji Chi-Square akan terlihat dari masing-masing kriteria dari pertanyaan yang diajukan berkorelasi atau tidak antara kriteria tertentu dengan jawaban dari responden. Model Analisis Regresi Berganda Model utama yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara tata kelola ekonomi daerah dan PDRBKap, pengangguran dan kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Sulawesi Tengah adalah sebagai berikut: LnY it = fDkab, LnBM it , DkabLnBM, lama perbaikan listrik, manfaat PPUS, pelatihan pengajuan kredit, perbaikan PDAM............................... 1 LnU it = fDkab, LnBM, LnI, DkabLninvestasi, kondisi lampu jalan, lama perbaikan listrik, manfaat PPUS, pelatihan pengajuan kredit, perbaikan PDAM ........................................................................ 2 LnP it = f Dkab, LnBM, LnI, kondisi lampu jalan, lama perbaikan listrik, manfaat PPUS, pelatihan pengajuan kredit, perbaikan PDAM.....................................................................................3 Y it = PDRBKap pada tahun ke t untuk kabkota i juta Rupiah U it = jumlah pengangguran pada tahun ke t untuk kabkota i orang P it = jumlah orang miskin pada tahun ke t untuk kabkota i orang Dkab = 1 untuk kabupaten dan Dkab =0 untuk kota BM = Realisasi Belanja Modal pada tahun ke t untuk kabkota i juta Rupiah Investasi = PMTB + perubahan stock pada tahun ke t untuk kabkota i juta Rupiah Dkab BM = perkalian Dummy kab dengan nilai BM DkabInvestasi = perkalian Dummy kabkota dengan nilai Investasi X 1 = Indikator TKED akses lahan X 11 -X 15 = variabel dari X1 pada tahun ke t untuk kabkota i dalam X 11 = Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah X 12 =Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan X 13 = Persepsi tentang penggusuran lahan oleh Pemda X 14 = Frekuensi konflik X 15 = Persepsi tentang keseluruhan permasalahan lahan usaha X 2 = Indikator TKED perizinan usaha X 21 -X 26 = variabel dari X2 pada tahun ke t untuk kabkota i dalam X 21 = Persentase perusahaan yang memiliki TDP X 22 = Persepsi kemudahan perolehan TDP dan rata2 waktu perolehan TDP X 23 = Persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha X 24 = Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien, dan bebas pungli X 25 = Persentase keberadaan mekanisme pengaduan X 26 =Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap usahanya X3= Indikator TKED interaksi PEMDA dan pelaku usaha X 31 -X 38 = variabel dari X 3 pada tahun ke t untuk kabkota i dalam X 31 = Keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha X 32 = Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh pemda X 33 =Tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha daerah X 34 =Tingkat kebijakan pemda yang berorientasi untuk mendorong iklim investasi X 35 = Tingkat kebijakan non-diskriminatif pemda X 36 =Pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran dunia usaha X 37 =Tingkat kepastian hukum pemda terkait dunia usaha X 38 =Tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha X 4 = Indikator TKED program pemda untuk pengembangan usaha swasta X 41 -X 44 = sub variabel dari X 4 pada tahun ke t untuk kabkota i dalam X 41 = Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS X 42 = Tingkat partisipasi dalam PPUS X 43 = Tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha X 44 = Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan X 5 = Indikator TKED kapasitas integritas bupatiwalikota X 51 -X 56 = sub variabel dari X 5 pada tahun ke t untuk kabkota i dalam X 51 = Pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha X 52 = Profesionalisme birokrat daerah X 53 = Tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri X 54 = Ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya X 55 = Karakter kepemimpinan kepala daerah X 56 = Hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha. X 6 = Indikator TKED keamanan penyelesaian sengketa X 61 -X 64 = sub variabel dari X 6 pada tahun ke t untuk kabkota i dalam X 61 = Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha X 62 = Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi X 63 = Kualitas penanganan masalah demonstrasi buruh oleh polisi X 64 =Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan X 7 = Indikator TKED biaya transaksi X 71 -X 74 = variabel dari X 7 pada tahun ke t untuk kabkota i dalam X 71 = Tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan X 72 = Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda X 73 = Tingkat hambatan donasi terhadap Pemda X 74 = Tingkat pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi X 75 = Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan X 8 = Indikator TKED infrastruktur X 81 -X 85 = variabel dari X 8 pada tahun ke t untuk kabkota i dalam X 81 = Kualitas infrastuktur X 82 = Lama perbaikan X 83 = Pemakaian genset X 84 = Lama pemadaman listrik X 85 = Tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan t = tahun pengamatan i = kabupatenkota di provinsi sulawesi tengah Setelah itu, model tersebut dianalisis menggunakan kriteria-kriteria uji statistik dan uji ekonometrika agar memenuhi persyaratan metode analisis OLS dan terbebas dari masalah- masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Metode Pengujian Uji t-statistik Pengujian ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh masing-masing variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen pada tingkat signifikansi tertentu. Pengujian ini dilakukan dengan asumsi bahwa variabel- variabel lain tidak berubah. Menurut Gujarati 2003, dalam uji t-statistik ada 2 jenis kriteria pengujian, diantaranya: 1. Pengujian dua arah two tail test Pengujian dua arah digunakan ketika kita tidak memiliki dasar teori yang kuat mengenai bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. 2. Pengujian satu arah one tail test Pengujian satu arah digunakan ketika kita memiliki dasar teori yang kuat mengenai bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian satu arah one tail test dalam tingkat signifikansi, , dan derajat kebebasan degree of freedom, df, n-k, di mana n menunjukkan jumlah observasi dan k menunjukkan jumlah parameter termasuk konstanta. Pengujian satu arah digunakan karena penulis telah memiliki ekspektasi mengenai pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen berdasarkan pada teori dan studi empiris yang telah ada. Pada penelitian ini dilakukan uji t dua arah two tail test dengan hipotesis sebagai berikut : Hipotesis dari uji ini adalah : H0 :  = 0, Variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependennya. H1 :  0, Variabel independen mempengaruhi variabel dependennya. Langkah selanjutnya adalah membandingkan nilai t-stat dengan nilai t-tabelnya pada tingkat signifikansi tertentu. Nilai t-stat didapat dengan formula sebagai berikut: 2 2 2    se t    dimana: 2   : nilai estimasi parameter β 2 2  : nilai β 2 dalam hipotesis H 2  se : standard error β 2 Kriteria Pengujian : Jika: t-tabel  t-stat  t-tabel, maka hipotesis nol tidak dapat ditolak Jika: t-stat -t-tabel atau t-stat t-tabel, maka hipotesis nol ditolak Uji F-statistik Uji F-statistik digunakan untuk menguji signifikansi pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen dalam model. Hipotesis dari uji ini adalah : H0 : β = β 1 =β 2 =β 3 =0, variabel-variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependennya. H1 : Minimal ada satu β i  0, atau minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya. Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai F-hitung dengan nilai F- tabel dengan tingkat signifikansi tertentu. Hasil pengujian akan menunjukkan kesimpulan sebagai berikut : Kriteria Pengujian :  H0 diterima jika F-stat F tabel  H0 ditolak jika F-stat F-tabel Dengan demikian hasil uji F yang signifikan akan menunjukkan bahwa minimal satu dari variabel independen memiliki pengaruh terhadap variabel dependennya. Uji F-stat ini merupakan uji signifikansi satu arah one tail significance. Uji Koefisien Determinasi R 2 Merupakan suatu bilangan yang dinyatakan dalam bentuk persen, yang menunjukkan besarnya persentase variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi pada variabel independennya. R 2 diperoleh dengan rumus: Di mana RSS residual sum of squares adalah nilai total penjumlahan kuadrat dari variasi Y yang dijelaskan oleh variabel residual. Sedangkan TSS total sum of squares adalah total penjumlahan kuadrat dari variasi Y yang dijelaskan oleh nilai rata-ratanya. Besarnya nilai R 2 adalah 0 R 2 1, di mana semakin mendekati 1 berarti model tersebut dapat dikatakan baik karena semakin dekat hubungan antar variabel independen dengan variabel dependen, demikian sebaliknya. Pada penelitian ini juga akan digunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan dengan jumlah variabel dan jumlah observasinya adjusted R 2 , karena lebih menggambarkan tentang kemampuan yang sebenarnya dari variabel-variabel independennya untuk menjelaskan variabel tak bebasnya. Uji Multikolinearitas Masalah multikolinier ialah situasi di mana terjadinya korelasi antara satu atau lebih variabel independen dengan variabel independen lainnya. Bila terjadi multikonlinier sempurna dalam model, maka dapat mengakibatkan koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standar error koefisien regresi menjadi tidak terhingga. Jika berdasarkan hasil uji t-statistik ternyata variabel-variabel independen yang digunakan semuanya signifikan secara parsial dengan R 2 yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa model dalam penelitian ini tidak terdapat masalah multikolinear atau bebas dari multikolinieritas. Selain dengan cara sederhana seperti telah diterangkan sebelumnya, cara lain untuk mendekteksi adanya multikolinier adalah dengan melihat apakah nilai koefisien korelasi antar variabel independennya lebih besar dari 0,80, maka dapat dikatakan terjadi masalah multikolinieritas pada taraf yang serius. Hasil matriks korelasi parsial antar regresor Coefficient Correlation Matrix. Jika model mengandung masalah multikolinieritas ada 2 pilihan yang dapat kita lakukan yaitu membiarkan model tetap mengandung multikolinieritas atau akan memperbaiki model. Jika pilihan pertama, maka dapat dikatakan bahwa model yang mengandung masalah multikolinieritas tetap menghasilkan estimator yang BLUE karena masalah estimator yang BLUE tidak memerlukan asumsi tidak adanya korelasi antar variabel independen. Multikolinieritas hanya menyebabkan kesulitan dalam memperoleh estimator dengan standard error yang kecil. Masalah multikolinieritas juga timbul karena hanya memiliki         2 2 2 1 1 Y Yi u TSS RSS R i jumlah observasi yang sedikit. Adapun cara kedua yaitu melakukan perbaikan model dengan cara : 1. Menghilangkan variabel independen 2. Transformasi variabel 3. Penambahan data Untuk penelitian ini karena kabupatenkota yang diobservasi hanya sedikit sehingga dimasukan variabel lain selain variabel-variabel dalam TKED jika nantinya setelah diregresikan masih mengandung multikolinieritas, maka tidak mempunyai pilihan lain selain tetap membiarkan model mengandung multikolinieritas. Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi ada atau tidaknya serial korelasi dari error term yang terdapat dalam suatu model regresi. Gejala serial korelasi dalam konteks time series terjadi bila error term pada suatu periode tertentu berpengaruh kepada error term periode waktu berikutnya, atau dengan kata lain jika error term dari periode waktu berlainan saling berkorelasi. Ada dua metode yang biasanya digunakan untuk menguji serial korelasi ini yaitu dengan menggunakan uji Durbin-Watson atau dengan uji Breusch Godfrey LM Test. Beberapa uji stasistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson DW atau uji dengan Run Test. Uji DW hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu first order autocorrelation, dan mensyaratkan adanya intercept konstanta dalam model regresi dan tidak ada variabel lag di antara variabel independen.  Uji Durbin-Watson Pengujian ini dilakukan dengan melakukan pengujian Durbin-Watson. Hipotesis dalam uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut: H0 : tidak ada korelasi orde pertama H 1 : ada autokorelasi Batas Kritis pada Pengujian Durbin-Watson Nilai DW berdasarkan estimasi model regresi Kesimpulan 4 – d L DW-stat 4 H ditolak, terdapat serial korelasi negatif 4 – d U DW-stat 4 – d L Tidak ada kesimpulan D U DW-stat 4 – d U H diterima, tidak ada serial korelasi D L DW-stat d U Tidak ada kesimpulan 0 DW-stat d L H ditolak, terdapat serial korelasi positif Sumber : Damodar Gujarati, Basic Econometrics, McGraw Hill-Inc Uji Heteroskedasticity Pengujian White Heteroskedasticity bertujuan untuk mendeteksi apakah varians dari setiap unsur error term memiliki nilai yang konstan. Apabila terdapat heteroskedastisitas antara setiap observasi, berarti varians dari error terms tersebut tidak sama. Akibat dari adanya heteroskedastisitas ini adalah parameter yang dihasilkan dari regresi meskipun tetap tak bias dan konsisten tetapi parameter tadi tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil ataupun sampel besar. 5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah Seiring dengan tuntutan pemangku kepentingan terutama dari pemerintah daerah dalam hal efektifitas reformasi kebijakan yang harus dilakukan yang memiliki dampak perubahan rill terhadap kinerja ekonomi daerah, maka langkah perubahan terhadap tujuan dasar studi yang dilakukan oleh KPPOD tahun 2007 adalah mengubah daya tarik investasi studi yang telah dilakukan sebelumnya menjadi tata kelola ekonomi daerah. Studi tahun 2001-2005 menilai daya tarik investasi berdasarkan 6 faktor utama, yaitu : Kelembagaan, Sosial Politik Budaya, Perekonomian daerah, Tenaga kerja, Produktivitas. Kelembagaan memiliki bobot terkecil dibandingkan dengan keempat faktor lainnya yang mengindikasikan bahwa kondisi kelembagaan daerah di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2001 – tahun 2005 memfokuskan indikator pelaksanaan otonomi daerah sudah mulai membaik dan tidak lagi dipandang sebagai faktor yang terlalu penting oleh pelaku usaha dalam mempengaruhi daya saing investasi daerah. Konsep tata kelola ekonomi daerah menyoroti sejumlah kebijakan daerah terkait dunia usaha di kabupatenkota Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh KPPOD tahun 2007 dan 2010 lebih difokuskan untuk menilai kebijakan Pemda saja indikator kebijakan hingga lahirlah indeks tata kelola ekonomi daerah, yaitu: Akses lahan AL, Izin Usaha IU, Infrastruktur, Program Pengembangan Usaha Swasta PPUS, Perizinan Usaha PU, Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah KIP, Biaya Transaksi BT, Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha IPPU, Keamanan dan Penyelesaian Konflik Dunia Usaha KPK. Survei tata kelola ekonomi daerah ini menyajikan suatu gambaran yang sangat menarik mengenai dinamika pemerintahan daerah dan pengembangan iklim investasi di Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah yang telah berlangsung sejak tahun 2001. Survei yang sudah dilaksanakan ketujuh kalinya ini merupakan suatu program yang dilakukan KPPOD sejak tahun 2001 dengan dukungan The Asia Foundation. Cakupan wilayah survei bertambah dari tahun ke tahun, diawali dengan 90 kabupaten dan kota di tahun 2001, kemudian 134 kabupaten dan kota tahun 2002, dilanjutkan tahun 2003 meliputi 200 kabupaten dan kota, disusul 214 kabupaten dan kota di tahun 2004 dan 228 kabupaten dan kota tahun 2005, kemudian di 243 kabupaten dan kota 2007 dan yang tahun 2011 di 260 kabupaten dan kota di Indonesia. Survei ini merupakan survei terbesar untuk survei sejenis di Indonesia, dan merupakan satu dari berbagai survei tata kelola ekonomi terbesar di dunia. Tujuan dari survei ini adalah untuk mendorong kompetisi antar daerah dan untuk menekankan pentingnya iklim investasi daerah di era desentralisasi. Survei ini diharapkan dapat menjadi basis bagi pemerintah daerah kabupatenkota untuk memrioritaskan reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerahnya. Selain itu, survei ini juga diharapkan dapat menciptakan iklim kompetisi antar kabupatenkota yang sehat. Survei ini lebih memfokuskan pada tata kelola ekonomi daerah yang menitikberatkan indikator penelitian yang bersifat kebijakan dan implementasinya, berbeda dengan survei tahun-tahun sebelumnya yang menggabungkan faktor anugerah dengan faktor kebijakan. Survei ini juga fokus pada aspek-aspek tata kelola ekonomi yang merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten dan kota. Survei ini menggunakan sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha, yaitu: akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemerintah daerah dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah. Instrumen Penelitian KPPOD Survei ini menggunakan dua jenis instrumen penelitian, yaitu kuesioner terhadap pelaku usaha dan asosiasi usaha daerah serta lembar penilaian melalui analisa kualitatif terhadap peraturan daerah di mana berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintahan daerah, mulai dari peraturan daerah, peraturan, surat keputusan, dan surat edaran kepala daerah, yang terkait dengan dunia usaha dikumpulkan dan dikaji. Pelaku usaha yang menjadi responden survei adalah yang melakukan aktivitas usaha pada sektor usaha non-primer, yaitu jasa, industri pengolahan, dan pedagangan. Ketiga bidang ini merupakan sektor utama yang banyak bersinggungan dengan pemerintah. Pelaku usaha primer yang bergerak di bidang pertanian, kehutanan dan perikanan tidak dijadikan responden dalam survei ini dengan pertimbangan bahwa intervensi pemerintah yang dibutuhkan sektor tersebut sedikit berbeda dengan ketiga sektor yang dipilih. Acuan indeks TKED adalah kabupatenkota yang terbaik dan terburuk di wilayah survei. Sumber data utama TKED adalah survei perusahaan untuk memastikan bahwa hasilnya adalah kenyataan atau praktik yang dihadapi oleh pelaku usaha, bukan pandangan para ahli maupun peraturan yang berlaku. Sedangkan sebagai acuan kinerja TKED suatu daerah, digunakan kabupatenkota yang terbaik dan terburuk di wilayah survei untuk setiap variabel. Dengan demikian, kinerja TKED suatu daerah dibandingkan dengan daerah acuan yang dapat dicapai oleh daerah di provinsi lainnya yang disurvei. Karakteristik Responden dan Perusahaan Secara umum dilihat dari sisi ukuran perusahaan, sampel perusahaan terdiri dari 51 persen perusahaan kecil, 43 persen perusahaan menengah sedang dan 6 persen merupakan perusahaan besar. Sementara dilihat dari sektor usaha, sampel perusahaan terdiri dari 43 persen sektor usaha produksi, 21 persen sektor perdagangan, dan 36 persen sektor jasa. Survei KPPOD ini mewawancarai responden yang mengambil keputusan penting dalam perusahaan. Dari 12.391 perusahaan yang disurvei, 59 persen posisi mereka yang diwawancarai adalah pemilik usaha, disusul manajer 21 persen. Data ini menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh dalam survei ini merupakan cerminan pendapat pelaku usaha. Hal ini ditunjukkan oleh 80 persen perusahaan yang disurvei, posisi respondennya adalah mereka yang paham betul mengenai seluk beluk perusahaan, karena mereka adalah pemilik owners dan manajer. Sementara itu, dilihat dari tingkat pendidikan responden 20 persen responden berpendidikan minimal sarjana dan 6,9 persen berpendidikan akademi dan 39,1 persen berpendidikan SLTA. Data ini menunjukkan bahwa secara umum, informasi yang diperoleh dari responden cukup baik, karena tingkat pendidikan mereka sebagaian besar adalah SLTA ke atas 66 persen. Hanya sekitar 5,2 persen responden yang tidak tamat SD. Responden di kabupatenkota di Sulawesi Tengah sebanyak 458 responden dengan sektor usaha produksi, perdagangan dan jasa. Jumlah tenaga kerja dari semua responden tersebut minimal 5 orang dan maksimal 210 orang. Responden adalah mereka yang mempunyai usaha formal, jadi minimal harus mempunyai izin usaha dan pernah berhubungan dengan pemerintah daerah untuk pengurusan usahanya. Akses Lahan Lahan merupakan tempat yang digunakan untuk memulai aktivitas usaha yang dibutuhkan setiap jenis kegiatan usaha. Walaupun perkembangan teknologi dan jenis usaha tertentu misalnya jasa dokter tidak membutuhkan kehadiran lahan, namun sebagian besar aktivitas ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada lahan. Tingkat permintaan terhadap lahan semakin tinggi, sedangkan ketersediaan lahan yang terbatas telah menjadi permasalahan tersendiri. Permasalahan lahan tersebut dapat dikatakan sebagai masalah alami akses lahan. Sedangkan masalah administrasi pertanahan yang sering muncul seperti sengketa lahan karena adanya kepemilikan sertifikat ganda ataupun perubahan tanah ulayat. Prinsip- prinsip dasar yang dikembangkan pada indikator akses lahan dan kepastian usaha adalah tingkat kepastian hukum terhadap kepemilikan lahan, tingkat resiko penggusuran, lama pengurusan surat kepemilikan tanah, dan tingkat kemudahan perolehan lahan serta frekuensi terjadinya konflik mengenai kepemilikan atau perjanjian kerjasama penggunaan lahan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Ketentuan Pokok- Pokok Agraria UUPA. Pasal 2 UUPA ayat 2 dijabarkan mengenai hak negara yang merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat 3 UUD. Atas dasar tersebut, negara memiliki hak atas permukaan bumi tanah yang di antaranya adalah: 1. Hak milik HM adalah hak turun-temurun, kuat, dan penuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, tetapi tidak berarti bahwa hak milik tersebut merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat langsung dalam bidang sosial atau keagamaan. 2. Hak Guna Usaha HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, misalnya digunakan untuk perusahaan pertanian atau perkebunan, perikanan dan peternakan. 3. Hak Guna Bangunan HGB adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dengan jangka waktu tertentu. 4. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang, dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik. Dalam implementasinya, hak atas tanah dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat. Sertifikat tanah diperoleh melalui pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional BPN. Pendaftaran tanah sendiri meliputi dua hal, yaitu pendaftaran untuk tanah yang belum bersertifikat dan pendaftaran untuk pengalihan atau peningkatan hak. Pendaftaran tanah dimulai dari pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum dan dokumen. Gambaran Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota. Berikut adalah penjabaran detil mengenai pembagian urusan pemerintahan bidang pertanahan pemerintah kabupaten dan kota: 1. Izin Lokasi 2. Pengadaan tanah 3. Penyelesaian sengketa tanah garapan 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian 5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah 6. Penetapan tanah ulayat 7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong 8. Izin membuka tanah 9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten dan kota Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator akses lahan usaha dan kepastian berusaha ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1 Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah. 2 Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan. 3 Persepsi tentang penggusuran lahan oleh Pemda. 4 Persepsi tentang keseluruhan permasalahan lahan usaha. Perizinan Usaha Saat ini masalah perizinan usaha adalah salah satu masalah utama yang dihadapi seseorang ketika akan memulai usaha. Izin usaha merupakan bentuk pendaftaran perusahaan kepada pemerintah untuk mendapatkan formalitas status usaha. Formalitas usaha diperlukan agar perusahaan bersangkutan bisa mengakses modal dari lembaga keuangan formal dengan lebih mudah. Menurut laporan Doing Business dalam Bank Dunia 2010, untuk memulai sebuah usaha baru di Jakarta seorang pengusaha harus melewati sembilan prosedur, memerlukan 47 hari kerja, dan membutuhkan biaya sampai 22 persen dari pendapatan per kapita. Masalah-masalah ini dapat menghambat aktivitas komersial, mempersulit perkembangan perusahaan-perusahaan kecil, menghambat pendirian usaha-usaha baru, dan membuat para usahawan menghindari formalisasi. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah di perizinan usaha pada survei ini terdapat lima jenis indikator yang dijadikan dasar pengumpulan informasi seputar izin usaha seperti kemudahan pengurusan izin, biaya total pengurusan, dan waktu pengurusan. Berikut ini akan dijabarkan berbagai peraturan pusat yang mengatur secara detil kualitas pelayanan publik beberapa aturan izin yang menjadi kewenangan daerah yaitu: 1. Surat Izin Usaha Perdagangan SIUP Perusahaan “perdagangan” adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan kegiatan usaha di sektor Perdagangan yang bersifat tetap, berkelanjutan, didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 36M- DagPer92007. 2. Tanda Daftar Perusahaan TDP Pada tahapan selanjutnya, setelah mendapatkan SIUP. Dalam kurun waktu paling lama 3 tiga bulan setelah perusahaan beroperasi, perusahaan tersebut wajib segera mendaftarkan perusahannya. 3. Tanda Daftar Industri TDI Tanda Daftar Industri TDI adalah izin yang harus dimiliki oleh perusahaan yang melakukan kegiatan industri dengan nilai investasi seluruhnya antara Rp 5.000.000,00-Rp. 200.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan. Proses pengurusan ini membutuhkan waktu kurang lebih selama 14 hari kerja. 4. Izin Gangguan UUGHO Setiap kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan bahaya atau ancaman bagi masyarakat luas diwajibkan memiliki izin gangguan HO. Untuk perusahaan yang wajib memiliki amdal atau berada dalam kawasan industri yang telah memiliki AMDAL dikecualikan untuk memiliki HO. Sebagai syarat untuk memperoleh HO, terlebih dahulu harus memiliki IMB. 5. Izin Mendirikan Bangunan IMB Undang-undang Bangunan mempertegas kewajiban atas izin terhadap setiap aktifitas pembangunan konstruksi dengan berbagai fungsinya. Sedangkan untuk dasar hukum HO yang masih menggunakan peraturan pada masa penjajahan hingga saat ini belum ada pembaharuan lagi. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator perizinan usaha ada enam variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1 Persentase perusahaan yang memiliki TDP. 2 Persepsi kemudahan perolehan TDP dan rata-rata waktu perolehan TDP. 3 Persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha. 4 Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien, dan bebas pungutan liar. 5 Persentase keberadaan mekanisme pengaduan. 6 Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap usahanya. Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha Interaksi Pemda dengan pelaku usaha merupakan hal yang dapat dianggap membingungkan tingkatannya sampai sejauh mana tingkat intervensi kebijakan Pemda sebaiknya diberlakukan. Bentuk nyata konflik tingkat intervensi pemerintah ke dalam dunia swasta misalnya ditandai dengan perlu tidaknya Pemda mendirikan perusahaan daerah. Pemda yang mendirikan perusahaan daerah menilai bahwa peranan sektor swasta di daerahnya belum cukup besar sehingga diperlukan intervensi kebijakan pemerintah untuk menggerakkan roda perekonomian daerahnya. Di samping itu, seringkali yang menjadi fakta di lapangan adalah adanya ketidakprofesionalan pengelolaan perusahaan daerah tersebut sehingga menjadi sarat kolusi dan korupsi. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha ada tujuh variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1 Keberadaan forum komunikasi. 2 Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh Pemda. 3 Tingkat dukungan Pemda terhadap pelaku usaha daerah. 4 Tingkat kebijakan non-diskriminatif Pemda. 5 Tingkat kebijakan Pemda yang tidak merugikan pelaku usaha. 6 Tingkat konsistensi kebijakan Pemda terkait dunia usaha. 7 Tingkat hambatan interaksi Pemda dan pelaku usaha. Program Pengembangan Usaha Swasta Program pengembangan usaha swasta terutama ditujukan kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Permasalahan utama yang dihadapi kelompok usaha ini adalah keterbatasan modal, akses modal yang minim ke lembaga keuangan formal, dan kurangnya keahlian dalam bidang manajemen usaha. Bentuk usaha kecil ini merupakan bentuk usaha yang paling dominan yang terdapat di kabupaten dan kota di Indonesia. Program pengembangan usaha swasta oleh Pemda adalah pelayanan pengembangan bisnis yang disediakan Pemda dengan dukungan dana anggaran pendapatan belanja daerah. Kegiatan tersebut diadakan tanpa adanya pungutan dari Pemda kepada pelaku usaha. Meskipun demikian, pada prakteknya ada beberapa daerah yang melakukan kegiatan tersebut dengan melibatkan keikutsertaan pendanaan aktif dari pihak swasta. Ada lima kegiatan pengembangan bisnis yang diperlukan untuk pelaku usaha kecil dan menengah yang dijadikan acuan pada pertanyaan survei ini yaitu: 1 Pelatihan manajemen bisnis untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam hal administrasi keuangan, manajemen pemasaran, dan manajemen produksi yang baik. 2 Pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja untuk tenaga kerja yang telah lulus sekolah namun belum bekerja berupa pelatihan administrasi kantor, pengenalan dunia kerja, etika bekerja, kemampuan bahasa asing. 3 Promosi produk lokal kepada investor melalui exhibition, trade fair promosi perdaganganinvestasipotensi ekonomi yang dilakukan di tingkat nasional, di kabupaten dan kota lain, dan di kabupaten dan kota sendiri. 4 Menghubungkan pelaku usaha kecil, sedang, besar untuk mempertemukan mata rantai kegiatan bisnis perusahaan daerah dengan perusahaan besar yang ada di daerah kabupaten dan kota, di daerah kabupaten dan kota lain, dan di tingkat nasional. 5 Pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi Usaha Kecil Menengah UKM untuk mengatasi satu dari beberapa hambatan besar bagi pelaku bisnis kecil dan menengah terhadap kredit formal yang disediakan bank umum yang ada di kabupaten dan kota. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur. Terlihat di sini bahwa Pemda memegang peranan kunci untuk mengembangkan UKM di daerahnya. Dengan mengidentifikasi dengan tepat permasalahan UKM, beberapa Pemda telah melakukan program penjaminan kredit bagi UKM dengan menempatkan jaminan pada bank nasional seperti di Kota Balikpapan. Pemohon aplikasi kredit dari pihak UKM tetap melalui prosedur formal sesuai ketentuan perbankan yang ditetapkan bank tersebut. Tanpa Pemerintah daerah campur tangan secara langsung menyalurkan kredit kepada UKM, namun dengan memberikan jaminan kredit sekaligus memberi pelatihan keprofesionalan pengaksesan modal formal oleh UKM merupakan suatu langkah yang inovatif. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator program pengembangan usaha swasta ada lima variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1 Tingkat kesadaran akan kehadiran program pengembangan usaha. 2 Tingkat partisipasi program pengembangan usaha. 3 Tingkat kepuasan terhadap program pengembangan usaha. 4 Tingkat manfaat program pengembangan usaha terhadap pelaku usaha. 5 Tingkat hambatan program pengembangan usaha terhadap kinerja perusahaan. Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Kinerja suatu pemerintahan, selain karena terlembaganya suatu sistem, dipengaruhi oleh pejabat pemerintah yang menjalankannya. Dalam suatu sistem yang sudah terlembaga dengan baik sangat mungkin memberikan batas rambu-rambu yang kuat untuk meminimalisir penyimpangan para pejabat pelaksananya. Namun dalam suatu sistem yang lemah, peran para pejabat yang melaksanakannya dapat sangat dominan mengabaikan sistem yang ada. Beberapa studi menunjukkan temuan tentang pentingnya peran Kepala Daerah BupatiWalikota dalam tata kelola pemerintahan. KPPOD 2005, menunjukkan bahwa integritas Kepala Daerah cukup penting pengaruhnya terhadap daya tarik investasi daerah. Meskipun belum sepenuhnya berjalan, namun kepatuhan para penyelenggara pemerintahan atas ketentuan tersebut dari tahun ke tahun semakin membaik yang memberikan harapan positif bagi berkurangnya praktek korupsi. Namun di sisi lain, publik mencatat banyaknya pejabat negara maupun pemerintah yang berurusan dengan aparat penegak hukum, utamanya Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berujung pada dijebloskannya para pejabat publik ke penjara. Pemilihan Kepala Daerah langsung dengan disertai keberimbangan informasi menjadi salah satu mekanisme kontrol masyarakat untuk menilai secara langsung kinerja pemimpin tertinggi di daerahnya masing-masing. Dalam hal Kapasitas Kepala Daerah juga diyakini mempengaruhi kemampuannya untuk memberikan pelayanan kepada dunia usaha. Mengenai hal ini terdapat peraturan perundangan yang mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi Kepala Daerah. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah ada enam variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1 Tingkat pemahaman Kepala Daerah terhadap masalah dunia usaha. 2 Tingkat profesionalisme birokrat daerah. 3 Tingkat korupsi Kepala Daerah. 4 Tingkat ketegasan Kepala Daerah terhadap korupsi birokratnya. 5 Tingkat kewibawaan Kepala Daerah. 6 Tingkat hambatan kapasitas dan integritas Kepala Daerah terhadap dunia usaha. Biaya Transaksi Biaya transaksi adalah pembayaran yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha yang dianggapnya sebagai beban biaya dalam menjalankan operasional perusahaannya baik yang resmi maupun tidak resmi. Biaya resmi meliputi pembayaran sejumlah nilai nominal tertentu dalam satuan rupiah oleh perusahaan kepada Pemda dengan disertai bukti tertulis yang jumlahnya sesuai antara yang tertera di bukti pembayaran tersebut dengan peraturan resmi yang ada. Pungutan resmi daerah meliputi pajak, retribusi, dan sumbangan pihak ketiga SP3 dengan definisi dan contoh sebagai berikut: 1. Pajak Daerah Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan dalam hal ini perusahaan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001. Contoh pajak daerah yaitu pajak penerangan jalan, pajak reklame, dan pajak restoran dan hotel. 2. Retribusi daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2001. Contoh retribusi daerah yaitu retribusi sewa tempat di pasar milik Pemda, retribusi kebersihan di pasar milik Pemda, retribusi parkir di tepi jalan umum yang disediakan oleh Pemda, dan retribusi sejenis lainnya. 3. Sumbangan Pihak Ketiga Sumbangan Pihak Ketiga yang resmi adalah sejumlah pembayaran yang diberikan oleh perusahaan kepada Pemda atas dasar adanya Peraturan Daerah atau Surat Keputusan BupatiWalikota. Contoh sumbangan pihak ketiga yaitu sumbangan wajib pengusaha sektor perkebunan, sumbangan wajib pengusaha sektor industri seperti nilai tertentu pada setiap unit hasil produksi: Rp 5,00 per kg buah sawit segar dan sumbangan wajib pengusaha sektor jasa. Keluhan yang sering dikemukakan oleh kalangan bisnis adalah tingginya pajak dan retribusi pengguna di daerah yang harus mereka bayar. Bentuknya bermacam-macam. Pemerintah daerah biasanya membebankan pajak listrik daerah, juga pajak hotel dan restoran. Di samping itu, mereka berhak menarik retribusi pengguna untuk sejumlah besar layanan peraturan daerah, bahkan ketika kadangkala tidak ada layanan yang sungguh-sungguh diberikan. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator biaya transaksi ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1 Tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan. 2 Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan. 3 Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda. 4 Tingkat pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi. Infrastruktur Daerah Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor input dan faktor output produksinya. Kehadirannya dapat menjadi faktor pendorong tingkat produktivitas di suatu daerah. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain, tentunya juga dari satu daerah ke daerah lain. Apabila akses transportasi yang baik tidak ada tentunya akan sulit bagi suatu perusahaan untuk melakukan aktivitas usahanya. Oleh karena itu, tak pelak lagi ketersediaan infrastruktur, terutama kualitas jalan yang baik, sangat diperlukan untuk kelancaran proses produksi. Infrastruktur yang dinilai pada survei ini mencakup penilaian persepsi terhadap sejumlah fasilitas infrastruktur seperti jalan kabupaten dan kota, kualitas lampu penerangan jalan, kualitas air Perusahaan Daerah Air Minum PDAM, kualitas listrik, dan kualitas telepon. Selain itu, dihitung pula lama waktu yang dibutuhkan di setiap kabupaten dan kota untuk memperbaiki kerusakan terhadap berbagai infrastruktur tersebut. Jenis-jenis infrastruktur tersebut dipilih berdasarkan yang paling memengaruhi keputusan berbisnis pelaku usaha dan atau dalam kewenangan Pemda. Misalnya lampu penerangan jalan sebenarnya tidak terdapat peraturan yang menyebutkan aktivitas perawatannya kepada Pemda, namun karena pajaknya dimasukkan sebagai pajak daerah, maka selayaknya Pemda memberikan perhatian terhadap kualitasnya. Di samping itu, tingkat kepemilikan genset oleh pelaku usaha juga digunakan sebagai salah satu indikator. Hal tersebut mencerminkan tingkat kewaspadaan akan padamnya aliran listrik di mana semakin tinggi tingkatan tersebut menggambarkan keadaan listrik yang tidak baik. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator kebijakan infrastruktur daerah ada lima variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1 Tingkat kualitas infrastruktur. 2 Lama perbaikan infrastruktur bila mengalami kerusakan. 3 Tingkat pemakaian generator. 4 Lamanya pemadaman listrik. 5 Tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan. Keamanan dan Penyelesaian Konflik Keamanan usaha merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan pelaku usaha ketika akan memulai usaha dan menjalankan usahanya. Pelaku usaha terkadang membayar biaya keamanan yang tinggi asalkan ia tetap dapat beroperasi di suatu daerah. Survei ini melakukan penilaian terutama terhadap tindakan aparat keamanan ketika menghadapi kejadian seperti demonstrasi buruh dan kejadian kriminalitas di tempat usaha. Struktur lembaga kepolisian Indonesia dipisahkan dari tentara nasional sejak tahun 1999. Hal ini berkaitan dengan sejumlah tuntutan pelayanan dari masyarakat akan keprofesionalan polisi dalam penanganan masalah keamanan dalam negeri. Pemda secara langsung tidak memiliki kewenangan untuk menangani masalah keamanan yang terjadi di daerahnya. Namun keterbatasan kewenangan ini bukan berarti adanya pembatasan usaha yang dapat dilakukan untuk menciptakan keadaan yang aman. Bentuk koordinasi antara aparat Dinas Ketertiban Umum Pemda dan pihak kepolisian dapat menjadi bentuk sinergi koordinasi yang dapat meningkatkan rasa aman bagi pelaku usaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa koordinasi antara lembaga negara dari berbagai tingkatan lebih penting untuk diimplementasikan dari pada sekedar mempersoalkan cakupan kewenangan. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator keamanan dan penyelesaian sengketa ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1 Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha. 2 Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi. 3 Kualitas penanganan masalah demonstrasi buruh oleh polisi. 4 Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan. Sembilan indikator tata kelola ekonomi daerah ini memiliki tiga karakteristik. Karakteristik pertama, merupakan indikator yang terkait dengan kebijakan daerah dan kelembagaan untuk implementasinya. Jadi faktor anugerah endowment tidak termasuk dalam kriteria ini. Karakteristik kedua, indikator-indikator ini merupakan kewenangan Pemda kabupatenkota. Sedangkan karakteristik ketiga adalah indikator yang sifatnya operasionalpraktis yang langsung berkaitan dengan aktivitas suatu usaha. Tujuan survei Tata kelola Ekonomi Daerah yang dilakukan oleh KPPOD ini adalah reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerah, dan menciptakan iklim investasi antar kabupatenkota yang sehat. Manfaat yang dapat dipetik bagi Pemerintah Daerah adalah sebagai alat pemantauan kinerja kabupatenkota, dan juga berguna dalam menentukan prioritas fasilitas dan dukungan bagi kabupatenkota dalam memperbaiki kinerjanya. 6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupatenkota di Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh komite pemantauan pelaksanaan otonomi daerah di tahun 2010. Dalam pemeringkatan tersebut, KPPOD menetapkan delapan indikator yang digunakan untuk menggambarkan tata kelola ekonomi daerah di 11 kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Ada sembilan indikator dalam TKED tetapi indikator peraturan daerah tidak dimasukan dalam penelitian ini sehingga hanya ada Delapan indikator yaitu Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha, Perizinan Usaha, Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha, Program Pengembangan Usaha Swasta, Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah, Biaya Transakasi, Infrastruktur Daerah, Keamanan dan Penyelesaian Konflik. Berdasarkan Tabel 2 pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah yang memiliki pelayanan akses lahan usaha yang terbaik adalah Kabupaten Buol dan Poso dengan skor yang sama yaitu 88,8 disusul pada peringkat kedua dan ketiga yaitu Kabupaten Banggai Kepulauan dengan skor 86,3 dan Kabupaten Donggala dengan skor 86. Sedangkan yang terburuk ditempati Kota Palu dengan skor 69. Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah di Kabupaten Buol dan Kabupaten Poso jauh lebih cepat dibanding Kota Palu. Lama pengurusan rata-rata status tanah di Kabupaten Buol dan Kabupaten Poso adalah 3 minggu, sedangkan di Kota Palu 4 minggu. Di samping itu, frekuensi konflik lebih sering terjadi di Kota Palu daripada di Kabupaten Poso. Sebesar 11 para pelaku usaha di Kota Palu menilai sering terjadi persoalankonflik mengenai kepemilikan lahan di daerahnya. Sementara di Kabupaten Poso, pelaku usaha yang menilai sering terjadi konflik kepemilikan lahan di daerahnya hanya 2. Kabupatenkota yang memiliki indikator infrastruktur daerah terbaik adalah Kabupaten Sigi skor 81, Kabupaten Parigi Moutong skor 77,4, dan Kabupaten Buol skor 76,2. Sedangkan Kabupaten Poso merupakan kabupaten terburuk di SulawesiTengah dalam indikator ini dengan skor 63,5. Di Kabupaten Sigi, lama perbaikan infrastruktur baik jalan maupun lampu penerangan relatif lebih singkat daripada kabupaten lainnya. Lama perbaikan jalan di Kabupaten Sigi rata-rata hanya 28 hari, sedangkan di Kabupaten Poso lebih dari satu bulan. Untuk pemadaman listrik di tempat berlangsungnya usaha, di Kabupaten Sigi hanya satu kali dalam seminggu, sedangkan di Kabupaten Poso mencapai sembilan kali dalam seminggu. Penempatan Kabupaten Poso sebagai kabupaten terburuk di bidang infrastruktur selain dilihat dari lama perbaikan, juga dapat dilihat dari tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan. relatif lebih buruk dibanding yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh 16 dari total responden menilai tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan adalah besar. Tabel 2. Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah di KabupatenKota di Sulawesi Tengah Tahun 2011 dalam Daerah Akses L ah an In fr astr u k tur Pe rizin an Usah a PERDA B iaya T ran sak si In te gr itasK ap asitas B u p at i Wal ik ot a In te rak si PE M DA Pe lak u Usah a PPU S Keam an an Pe n ye lesaian Kon flik T OT AL INDEK S PERINGK AT DI S ULAWES I T E NGAH Banggai 83,4 76,1 65,9 78,4 80,5 69,4 55,7 68,3 68,7 72,1 1 Parigi Moutong 78,6 77,4 58,3 87,7 72,2 67,3 59 66,6 67,5 71,3 2 Sigi 82,5 81 56,9 91,5 79,4 69.6 53,1 52,3 76,1 71,2 3 Toli-toli 82,6 74 65,3 82,7 80,3 69,8 58,1 50,2 67,7 69,1 4 Tojo Una- una 84,2 72,6 61,3 88,9 73 64,9 53,8 60,5 68,9 68,8 5 Donggala 86 74,9 61,6 86,9 80 59,7 61,3 40,9 71,3 68,3 6 Buol 88,8 76,2 68,2 87,9 87,1 50,1 66,4 14,9 73,2 66,8 7 Kota Palu 69 71 65,5 82,8 70,2 58,6 58,9 59 63,5 66,7 8 Banggai Kepulauan 86,3 73 62,8 86 88,7 42,4 54,3 18,2 71,6 63,5 9 Poso 88,8 63,5 65 84,9 82,1 51,9 54,6 37,2 72,4 62,9 10 Morowali 84 64,1 61,7 90,6 82 52,9 56,5 29,3 79,5 62 11 Sumber: KPPOD, 2011 Masih berkaitan dengan tabel 2, indikator pelayanan terbaik perizinan usaha peringkat satu, dua dan tiga ditempati oleh Kabupaten Buol skor 68,2, Kabupaten Banggai skor 65,9, dan Kota Palu skor 65,5. Sedangkan peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Sigi dengan skor 56,9. Tiga daerah terbaik tersebut telah menjalankan sistem pelayanan perizinan usaha yang sudah cukup baik bagi para pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari lebih dari 86 para pelaku usaha di ketiga daerah tersebut menilai bahwa tingkat kesulitan yang dihadapi pada saat mengurus tanda daftar industri adalah sangat mudah. Di Kabupaten Buol 92 dari total perusahaan yang disurvei di daerah tersebut menilai bahwa biaya tertentu yang dikeluarkan untuk mendapatkan tanda daftar industri tidak memberatkan. Kabupaten Sigi yang merupakan kabupaten dengan nilai skor terendah untuk indikator perizinan usaha 92 responden mengatakan bahwa tidak ada cara pengaduan tentang pelayanan pengaduan di kantor pelayanan perijinan di kabupatenSigi. Kabupatenkota yang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha adalah Kabupaten Banggai Kepulauan skor 88,7, Kabupaten Buol skor 87,1 dan Kabupaten Poso skor 82,1. Sedangkan Kota Palu dengan biaya transaksi termahal di Sulawesi Tengah dengan hanya memiliki skor sebesar 70,2. Total biaya yang dibayarkan oleh perusahaan, termasuk pajak dan retribusi, di Kabupaten Banggai Kepulauan pada tahun 2009 relatif lebih rendah dibanding kota Palu yakni sebesar Rp 2.173.913 tiap perusahaan. Sedangkan Kota Palu tertinggi di Sulawesi Tengah yakni sebesar Rp 6.451.613per perusahaan. Hal inilah yang merupakan salah satu penghambat utama bagi kinerja perusahaan di Kota Palu. Menurut laporan TKED, banyak pengusaha yang terpaksa memberikan biaya tambahan untuk keamanan. Pembayaran biaya informal oleh pelaku usaha kepada kepolisian di Kota Palu lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada Ormas dan preman untuk mendapat jaminan perlindungan usaha. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan. Pelaku usaha lebih banyak menyerahkan uang keamanan kepada aparat pemda dan preman daripada kepada kepolisian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Banggai Kepulauan memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha daripada Kota Palu. Indikator kapasitas dan integritas kepala daerah peringkat tiga terbaik ditempati oleh Kabupaten Toli-toli skor 69,8, Kabupaten Sigi skor 69,6, Kabupaten Banggai skor 69,4. Sedangkan untuk peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Buol dengan skor 50,1. Rendahnya skor di Kabupaten Buol tersebut karena kepala daerah Bupati dinilai tidak memahami masalah dunia usaha yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha lokal di daerah tersebut. Lebih dari 24 para pelaku usaha menilai tidak setuju jika Bupati mereka dinyatakan memahami permasalahan dunia usaha, bertindak profesional dan tegas dalam kasus korupsi birokratnya dan 77 responden menyatakan setuju dengan pernyataan bahwa tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri. 10 menyatakan tidak setuju jika kepala daerah dinyatakan figur disegani dan layak diteladani. Tiga besar kabupaten dan kota terbaik dalam indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha, yaitu Kabupaten Buol skor 66,4, Kabupaten Donggala skor 61,3 dan Kabupaten Parigi Moutong 59. Sedangkan yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Sigi dengan skor 53,1. Seluruh perusahaan yang menjadi responden sepakat menilai bahwa hal- hal yang berkaitan dengan interaksi Pemda dengan pelaku usaha menjadi hambatan kecil bagi kinerja perusahaan. Mereka menilai bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Buol berpengaruh besar terhadap kinerja perusahaan. Kabupaten Buol telah memiliki forum komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha walaupun masih belum sempurna, namun sudah cukup memberikan solusi kepada pelaku usaha dalam menghadapi permasalahan dunia usaha. Pemerintah daerah yang memiliki program pengembangan usaha swasta terbaik adalah Kabupaten Banggai skor 68,3, Kabupaten Parigi Moutong skor 66,6, Kabupaten Tojo Una-una 60,5. Untuk Indikator program pengembangan usaha swasta, Kabupaten Buol menempati peringkat terakhir dengan skor 14,9. Pada dasarnya, seluruh pelaku usaha mengetahui bahwa terdapat program yang disediakan oleh pemda dalam rangka mengembangkan bisnis. Pelaku usaha di Kabupaten Banggai menilai bahwa program- program tersebut memberikan manfaat yang relatif besar bagi perusahaan. Hal ini dilihat dari hanya 22 pelaku usaha di Kabupaten Banggai mengatakan program pengembangan usaha yang dilaksanakan pemda memiliki manfaat kecil bagi kinerja perusahaan mereka. Hal ini terjadi karena pemda telah dapat menyelenggarakan program pengembangan bisnis yang tepat dan sesuai bagi pengembangan usaha-usaha di kabupaten tersebut. Indikator jaminan keamanan dan penyelesaian sengketa terbaik adalah Kabupaten Morowali skor 79,5, peringkat kedua Kabupaten Sigi skor 76,1, dan peringkat ketiga Kabupaten Buol skor 73,2. Daerah yang terburuk dalam indikator ini adalah Kota Palu dengan nilai 63,5. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk dapat disebabkan oleh banyaknya kasus pencurian yang terjadi, kualitas penanganan masalah kriminal dan demostrasi buruh oleh polisi. Pelaku usaha mengatakan bahwa selama tahun 2009 rata-rata hanya satu kali kejadian pencurian di Kabupaten Morowali. Sementara di Kota Palu, pelaku usaha rata-rata mengatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut terdapat dua kali kejadian pencurian. Lebih dari 88 pelaku usaha di Kabupaten Morowali, menilai polisi telah mengambil tindakan tepat waktu dalam menangani kasus kriminal yang berhubungan dengan kegiatan usaha.Sedangkan pelaku usaha di Kota Palu yang menilai hal tersebut hanya 65. Tidak hanya itu, kualitas polisi dalam menangani kasus demonstrasi buruh pun jauh lebih baik di Kabupaten Morowali daripada di Kota Palu, sehingga pelaku usaha lokal Kabupaten Morowali merasa aman dan nyaman berusaha karena kualitas jaminan keamanan usaha yang sangat baik. Setelah mendapatkan nilai-nilai dari delapan indikator tersebut, selanjutnya adalah melihat nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah secara keseluruhan untuk menilai kabupaten dan kota yang memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan Tabel 1, dari 11 kabupatenkota yang ada di Sulawesi Tengah hanya 3 Kabupaten yang mempunyai indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah yang kondusif di atas 70 yaitu kabupaten Banggai skor 72,1 Kabupaten Parigi Moutong skor 71,3 serta Kabupaten Sigi dengan skor 71,2. Adapun Kabupaten Donggala dan Kota Palu memperoleh skor masing-masing 68,3 dan 66,7. Keterkaitan Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Kinerja Perekonomian Daerah Untuk mengetahui hubungan antara variabel tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB perkapita, pengangguran dan kemiskinan kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah dilakukan uji korelasi Pearson untuk data interval, uji korelasi Spearman untuk data ordinal dilengkapi dengan scatter plot. Hasil yang diperoleh setelah melakukan korelasi antara masing-masing sub indikator dalam TKED dengan kinerja perekonomian daerah PDRB perkapita, pengangguran, kemiskinan, diperoleh adanya hubungan sederhana antara variabel-variabel TKED dengan kinerja perekonomian daerah. Indikator dalam TKED yang mempunyai hubungan adalah indikator infrastruktur dan indikator program pengembangan usaha swasta. Indikator infrastruktur sub indikator yang mempunyai hubungan sederhana adalah lama perbaikan listrik, kondisi lampu jalan, waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM. Indikator PPUS sub indikator yang mempunyai hubungan sederhana dengan kinerja perekonomian daerah adalah manfaat PPUS terhadap pelaku usaha kecil, menengah dan besar, pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM. Hubungan sederhana masing-masing sub indikator tersebut dapat dijelaskan pada tabel 3. Tabel 3 Korelasi PDRBKap, Perubahan Pengangguran dan Perubahan Kemiskinan terhadap sub indikator TKED Indikator Kinerja Perekonomian Daerah Sub Indikator TKED Coeff Sig PDRBKappearson Lama perbaikan listrik -0,744 0,009 Perubahan Pengangguranspearman Kondisi lampu penerangan jalan Manfaat PPUS Pelatihan Pengkredit -0,751 -0,775 -0,657 0,008 0,005 0,028 Perubahan Kemiskinanpearson Waktu Perbaikan PDAM 0,748 0,008 . Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Sumber: Data Olahan Variabel dalam indikator Infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator kinerja perekonomian daerah adalah lama perbaikan listrik di sekitar usaha responden. Data yang digunakan pada variabel lama perbaikan infrastruktur bila mengalami kerusakan sun indikator lama perbaikan listrik di sekitar usaha responden adalah data dengan skala interval sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Pearson. Hasilnya menunjukkan bahwa lama perbaikan listrik berkorelasi negatif terhadap PDRB per kapita secara signifikan pada taraf 5 Gambar 9. Responden yang di survey oleh KPPOD adalah 51 perusahaan kecil, Data perusahaan kecil jumlah TK 1-10 orang di seluruh kabupatenkota di Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak 97.329 perusahaan BPS Sulawesi Tengah, hasil pendaftaran perusahaan sensus ekonomi 2006. Perusahaan dengan skala kecil akan mengalami hambatan dalam melaksanakan aktifitasnya jika lama perbaikan listrik lebih lama dan hal ini akan menganggu aktifitas perusahaan. Jika aktifitas perusahaan terganggu akan berakibat pada pendapatan dari perusahaan tersebut. Di era otonomi daerah, daerah otonom diberikan kewenangan untuk mengelola masalah tata kelola ekonomi daerah menjadi lebih baik dengan respon yang lebih cepat dari pihak PEMDA terutama dengan kebijakan-kebijakan dalam perbaikan infrastruktur. Dengan tata kelola ekonomi daerah yang baik, maka investasi ke daerah diharapkan akan lebih meningkat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di daerah juga membaik dan pendapatan masyarakatnya meningkat. Karena waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki listrik adalah salah satu sub variabel dalam variabel TKED, untuk melihat hubungannya dengan PDRB per kapita adalah dengan melalui variabel investasi, setelah dilakukan korelasi sederhana antara sub indikator lama perbaikan listrik dengan nilai indeks total dari TKED diperoleh hasil adanya hubungan keduanya lampiran 21. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lama perbaikan listrik merupakan proksi dari TKED. Kondisi lampu jalan yang baik berarti mencerminkan TKED yang baik, TKED yang baik akan membuat daya tarik bagi investor. 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 18000000 16000000 14000000 12000000 10000000 Q114bR4 P D R B H B Scatterplot of PDRB HB vs Q114bR4 Gambar 9 Hubungan lama perbaikan infrastruktur listrik dengan PDRB perkapita. Sumber: Data olahan Variabel lain dalam indikator infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator kinerja perekonomian daerah adalah kondisi lampu penerangan jalan. Data yang Scatterplot lama perbaikan infrastruktur listrik dengan PDRB Lama perbaikan infrastruktur listrik hari PDRB P er K a p ita J u ta digunakan pada variabel kualitas infrastruktur sub indikator kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa kondisi lampu jalan berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5 Gambar 10. Responden yang menjawab buruk tersebar di 5 Banggai Kepulauan, Morowali, Poso, Toli-Toli, Palu daerah penelitian dan responden yang menjawab baik berada di 6 daerah lainnya Banggai, Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Donggala. Sebanyak 23 responden di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Morowali menyatakan kondisi penerangan jalan di sekitar lokasi usaha mereka sangat buruk, sedangkan di Kota Palu, 10 responden menyatakan hal yang sama dengan responden di Banggai dan Morowali. Responden yang di survey oleh KPPOD di kabupatenkota di Sulawesi Tengah berjumlah 458 responden. Dari jumlah itu, 21 bekerja di sektor usaha perdagangan dan 36 di sektor usaha jasa, termasuk warung makan dan salon, yang beraktifitas sampai malam hari. Kondisi lampu penerangan jalan yang baik memungkinkan kegiatan usaha seperti ini untuk beraktifitas sampai malam hari karena pelanggan yang datang di malam hari akan lebih merasa aman. Kegiatan usaha seperti ini juga merangsang tumbuhnya kegiatan usaha jasa lainnya seperti ojek sepeda motor yang umumnya beroperasi disekitarnya. Peningkatan aktifitas tersebut akan berakibat pada meningkatnya volume penjualan dan selanjutnya memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak dan pada gilirannya akan mengurangi pengangguran. Gambar 10 Scatterplot kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden pada tahun 2009 dengan Pengangguran Sumber: Data olahan Variabel lainnya dalam indikator infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator perekonomian daerah adalah waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM. Data yang digunakan pada variabel kualitas infrastruktur sub indikator waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM adalah data dengan skala interval sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Pearson. Hasilnya menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM berkorelasi positif terhadap perubahan kemiskinan secara signifikan pada taraf 5 Gambar 11. Kondisi lampu penerangan Uji Spearman P-Value= Buruk 2 Baik 3 Per u b ah an _ p en g an g g u ran Air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, sehingga pemenuhannya memerlukan perhatian dan campur tangan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal 33. Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspek- aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan mempengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih Nugroho 2003. Indonesia memasukkan akses air minum layak bagi rumah tangga sebagai salah satu indikator MDGs, yang ditargetkan pada tahun 2015 mencapai 68,87. Sumber air minum yang layak meliputi air minum perpipaan dan air minum non-perpipaan terlindung yang berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran danatau terlindung dari kontaminasi lainnya. Sumber air minum layak meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Sumber air minum tak layak didefinisikan sebagai sumber air yang jarak antara sumber air dan tempat pembuangan kotoran kurang dari 10 meter dan atau tidak terlindung dari kontaminasi lainnya. Sumber tersebut antara lain mencakup sumur galian yang tak terlindung, mata air tak terlindung, air yang diangkut dengan tangkidrum kecil, dan air permukaan dari sungai, danau, kolam, dan saluran irigasidrainase. Air kemasan dianggap sebagai sumber air minum layak hanya jika rumah tangga yang bersangkutan menggunakannya untuk memasak dan menjaga kebersihan tubuh, dan di Indonesia penggunaan air kemasan tidak dikategorikan sebagai sumber air minum layak terkait aspek keberlanjutannya Bappenas, 2010. Responden dengan jenis usaha produksi misalnya tempat pembuatan tempe, keripik memerlukan air bersih untuk menjamin mutu dari produknya. Infrastruktur yang baik akan membuat kinerja perusahaan lebih efisien, pendapatan perusahaan akan meningkat dan selanjutnya perusahaan dapat merekrut tenaga kerja baru dan mengakibatkan akan berkurangnya kemiskinan. 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 10 -10 -20 -30 -40 -50 Q114bR3 k e m is k in a n Scatterplot of kemiskinan vs Q114bR3 Gambar 11 Hubungan waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM dengan Kemiskinan Sumber: Data olahan Selain indikator infrastruktur dalam TKED masih terdapat indikator lain yang mempunyai hubungan dengan kinerja perekonomian daerah indikator tersebut adalah program pengembangan usaha swasta. Pada variabel tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha yang dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar. Data yang digunakan pada variabel manfaat PPUS terhadap pelaku usaha yang dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa manfaat PPUS berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5 Gambar 12. Responden yang menjawab bermanfaat tersebar di 8 Banggai kepulauan, Banggai, Morowali, Poso, Toli-Toli, Buol, Palu, Sigi daerah penelitian dan responden yang menjawab sangat bermanfaat berada di 3 daerah lainnya Donggala, Parigi Moutong, Tojo Una-una. Semakin besar manfaat yang diperoleh dari program-program yang dilakukan oleh PPUS yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil-menengah dan besar, maka semakin kecil tingkat pengangguran di daerah tersebut. Sub indikator lain dalam PPUS yang mempunyai hubungan dengan kinerja perekonomian daerah adalah pelatihan pengajuan kredit bagi UKM. Data yang digunakan pada variabel pelatihan pengajuan kredit bagi UKM adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan pengajuan kredit berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5 gambar 13. Responden yang menjawab bermanfaat tersebar di 7 Banggai kepulauan, Banggai, Morowali, Poso, Toli-Toli, Buol, Palu daerah penelitian dan responden yang menjawab sangat bermanfaat berada di 4Donggala,Parigi Moutong, Tojo Una-una,Sigi daerah lainnya. Semakin sering pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dilakukan oleh PPUS dapat memberikan manfaat bagi pelaku usaha sehingga diharapkan tingkat pengangguran di daerah tersebut berkurang. Semakin banyak manfaat yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil sedang dan besar dengan adanya PPUS akan semakin banyak pelaku usaha yang dapat mempertemukan mata rantai kegiatan antara pelaku usaha kecil sedang dengan pelaku usaha yang lebih besar. Pelaku usaha dengan skala kecil akan dapat meningkatkan usahanya Scatterplot Kemiskinan dengan Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM Per u b a h a n K e m isk in a n Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM hari ke tingkat yang lebih besar. Dengan demikian akan menambah skala usahanya dan dapat meningkatkan penjualan sehingga akan menambah pendapatan dan selanjutnya akan mengurangi pengangguran. Untuk sub indikator pelatihan pengajuan kredit bagi UKM yang merupakan sub indikator dari PPUS yang juga mempunyai hubungan nyata dengan perubahan pengangguran. Sektor permodalan yang merupakan “jantung” kegiatan UKM merupakan hal yang krusial. Hal ini terlihat dari persepsi pelaku usaha yang menganggap bahwa PPUS berupa pelatihan pengajuan aplikasi kredit sangatlah penting dan bermanfaat. Dengan adanya pelatihan pengajuan kredit untuk UKM, maka pelaku usaha yang awalnya sangat sulit untuk mendapatkan tambahan permodalan, dengan adanya pelatihan pengajuan kredit bagi UKM yang difasilitasi oleh PPUS, maka pelaku usaha dapat meningkatkan skala usahanya karena telah mendapatkan tambahan modal. Dengan demikian, akan menambah hasil produksi dari usahanya dan selanjutnya akan menambah pendapatan dan pada akhirnya akan mengurangi pengangguran. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang diselenggarakan oleh PEMDA di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh PEMDA. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur. Dalam era otonomi daerah, diharapkan akan lebih banyak lagi kegiatan yang difasilitasi oleh PPUS sehingga pengangguran di kabupatenkota diharapkan akan berkurang. Gambar 12 Scatterplot manfaat PPUS dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar dengan Pengangguran Sumber: Data olahan Uji Spearman P-Value= Bermanfaat3 Sangat Bermanfaat4 P eru b ah an _ p en g an g g u ra n Gambar 13 Scatterplot pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dengan Pengangguran Sumber: Data olahan Indikator-indikator dalam tata kelola ekonomi daerah yang signifikan baik negatif maupun positif dengan indikator kinerja perekonomian daerah di atas mengambarkan korelasi antara variabel-variabel dan merupakan indikasi awal dari suatu fenomena. Indikator dalam tata kelola ekonomi daerah di suatu daerah boleh saja buruk tetapi indikator yang baik yang merupakan daya tarik bagi daerah tersebut. Hubungan Total Indeks TKED dengan PDRB per Kapita, Pengangguran dan Kemiskinan Tata Kelola Ekonomi Daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tengah telah dibuat indeks oleh KPPOD pada tahun 2011. Seluruh variabel tata kelola ekonomi daerah diagregasi menjadi sebuah indeks tata kelola ekonomi daerah. Pembuatan indeks ini melalui beberapa cara, yakni tahap normalisasi, perhitungan sub indeks dan perhitungan indeks melalui pembobotan tiap variabel. Selain itu, ada sembilan indikator yang dibuat sub-indeks, yaitu indikator akses lahan, izin usaha, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas pemimpin daerah, Biaya Transaksi, infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik dan peraturan daeah. Untuk analisis hubungan antara nilai total indeks dari 9 indikator TKED, indikator PERDA dimasukkan dalam analisis ini karena yang dipakai adalah nilai total indeks yang telah ada dalam hasil laporan KPPOD tahun 2010. Penelitian ini tidak hanya melihat korelasi dari masing-masing sub indikator dalam TKED tetapi juga perlu dilihat korelasi secara keseluran antara nilai total indeks TKED dengan kinerja perekonomian daerah, hasil dari korelasi tersebut terlihat pada Gambar 14,15 dan 16. Dari ketiga gambara tersebut menunjukkan bahwa indeks TKED tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan PDRB perkapita, Pengangguran dan Kemiskinan kabupatenkota di Provinsi Sulawesi Tengah. Dari sembilan indikator, tidak satupun indikator yang berhubungan signifikan dengan PDRB Perkapita. Demikian juga dengan Pengangguran dan Kemiskinan tidak berhubungan signifikan. Scatterplot PDRB Perkapita dengan 9 indeks TKED menunjukkan untuk PDRB Perkapita ada 2 indikator yang memiliki kemiringan slope yang cenderung landai yaitu indikator integritas dan kapasitas bupatiwalikota dan PPUS, untuk Pengangguran indikator TKED yang memiliki kemiringan Pelatihan pengajuan kredit Uji Spearman P-Value= Bermanfaat3 Sangat Bermanfaat 4 Per u b ah an _ p en g an g g u ran landai yaitu akses lahan, infrastruktur, biaya transaksi dan PPUS. Adapun untuk kemiskinan indikator TKED yang memiliki kemiringan landai adalah perizinan usaha, biaya transaksi, integritaskapasitas bupatiwalikota, PPUS dan keamanan dan penyelesaian konflik. Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berupa lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks. Pertanyaan yang menjadi variabel memiliki berbagai skala, baik nominal, ordinal maupun interval. Oleh karena itu, dalam melakukan analisisnya lebih tepat menggunakan analisis atau uji yang berbeda-beda, disesuaikan dengan skala masing-masing. Dengan demikian, akan terlihat variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan yang tepat. Gambar 14 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita. P D R B p e rk a 90 80 70 16000 12000 8000 80 72 64 68 64 60 90 85 80 90 80 70 70 60 50 16000 12000 8000 65 60 55 16000 12000 8000 60 40 20 80 72 64 A kses Lahan Infrastruktur P erizinan U saha P E RD A Biay a Transaksi IntegritasKapasitas BupatiWal Interaksi P E M D A P elaku U saha P P U S Keamanan P eny elesaian Konflik PDRB perkapita vs TKED Gambar 15 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan Pengangguran. Gambar 16 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan kemiskinan. Sumber: Data olahan p e n g a n g g u ra n 90 80 70 -20 -40 80 72 64 68 64 60 90 85 80 90 80 70 70 60 50 -20 -40 65 60 55 -20 -40 60 40 20 80 72 64 A kses Lahan Infrastruktur P erizinan U saha P E RD A Biay a Transaksi IntegritasKapasitas BupatiWal Interaksi P E M D A P elaku U saha P P U S Keamanan P eny elesaian Konflik Pengangguran vs TKED k e m is k in a n 90 80 70 -20 -40 80 72 64 68 64 60 90 85 80 90 80 70 70 60 50 -20 -40 65 60 55 -20 -40 60 40 20 80 72 64 A kses Lahan Infrastruktur P erizinan U saha P E RD A Biay a Transaksi IntegritasKapasitas BupatiWal Interaksi P E M D A P elaku U saha P P U S Keamanan P eny elesaian Konflik Kemiskinan vs TKED Analisis Terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Kemiskinan Data hasil regresi antara Pertumbuhan, pengangguran dan kemiskinan terhadap belanja belanja modal dan investasi serta indikator TKED merupakan hasil model yang terbaik setelah dilakukan berbagai macam uji dan memenuhi asumsi klasik lampiran 20. Dari hasil output untuk regresi antara Pertumbuhan terhadap belanja modal dan investasi, serta indikator TKED. Untuk mendapatkan model yang terbaik, maka dilakukan regresi dengan peubah bebas kualitatif dengan 2 kategori yang berinteraksi dengan peubah bebas lainnya. Metodenya adalah dengan menambahkan suatu peubah bebas baru yang merupakan perkalian antara 2 peubah bebas yang berinteraksi. Dalam model ini peubah bebas yang berinteraksi adalah belanja modal yang berinteraksi dengan dummy kabupaten dan investasi yang berinteraksi dengan dummy kabupaten. Tabel 4 Hasil estimasi parameter persamaan LnPDRBKap kabupatenkota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-Statistik Intersept 3.432486 0.0007 Dkab -0.248664 0.0004 LnBelanja Modal 0.194372 0.2359 DkabLnBelanja Modal 0.022140 0.0000 Lama perbaikan listrik -0.191878 0.0001 Manfaat PPUS 0.013075 0.6682 Pelatihan pengkredit -0.006126 0.8674 Perbaikan PDAM 0.012392 0.6561 R 2 = 0.743 F-Hitung= 4.712 DW= 2.058 Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011 Dari hasil estimasi output, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita kabupatenkota di Provinsi Sulawesi Tengah adalah Dkabupaten, DkabBM, serta varibel tata kelola ekonomi daerah yaitu lama perbaikan listrik. Dari hasil output regresi PDRB perkapita, koefisien variabel Dkabupaten sebesar - 0,248 yang berarti bahwa terdapat perbedaan PDRB perkapita antara di kabupaten dan kota. PDRB perkapita di kabupaten lebih kecil daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama. Pengaruh belanja modal terhadap PDRB perkapita di kabupaten sebesar 0,022 Tabel 4. Hasil pendugaan model ini sesuai fakta bahwa PDRBKap di Kabupaten Donggala lebih rendah dibandingkan PDRBKap di Kota Palu, tetapi persentase alokasi belanja modal di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu. Hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik daripada di Kota Palu dan hal ini juga ditunjang oleh proses perencanaan dan penganggaran Kabupaten Donggala yang lebih baik dibandingkan Kota Palu terutama dalam prioritas anggaran. Dalam hal ini, belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menambah aset tetap misalnya membuat gedung, perbaikan jalan maupun belanja tanah terbukti dapat memberikan efek yang besar dalam perekonomian. Semakin banyak belanja modal yang dilakukan pemerintah, semakin cepat perekonomian tumbuh sehingga kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Syarat fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan akan memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakatnya. Kecilnya pengaruh belanja modal terhadap PDRB perkapita mengindikasikan kurangnya perhatian pemerintah kabupatenkota akan pentingnya alokasi belanja modal. Lebih disayangkan lagi dalam wawancara dengan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah masih banyak pemangku kepentingan yang salah menafsirkan arti dari belanja modal dalam hal ini banyak anggaran yang dikeluarkan untuk alokasi belanja ini yang tidak tepat sasaran karena bukan dibelanjakan untuk objek pembangunan, tetapi masih banyak yang dialokasikan ke subjek dalam hal ini untuk aparat SKPD sendiri contohnya pembelian perangkat elektronik untuk penunjang misalnya pembelian laptop dan perangkat ini akan berpindah tangan jika pemangku kepentingan akan dimutasi ke tempat lain. Selanjutnya, variabel TKED lama perbaikan listrik berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita. Variabel ini juga signifikan terhadap pengangguran dan kemiskinan. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki infrastruktur termasuk perbaikan listrik dalam indikator yang ditetapkan oleh KPPOD, pelaku usaha yang menjadi responden survei adalah yang melakukan aktivitas usaha pada sektor usaha jasa, industri pengolahan, dan pedagangan. Untuk sektor perdagangan yang banyak adalah sektor perdagangan informal yang sangat membutuhkan listrik untuk menjalankan usahanya pada malam hari. Kondisi di Kota Palu, pelaku usaha jarang membuka usahanya baik formal maupun informal di malam hari dalam jangka waktu yang lama karena buruknya infrastruktur listrik berdampak pada kurangnya jaminan keamanan baik pada pelaku usaha maupun pada konsumen. Akibatnya banyak pelaku usaha hanya membuka sampai pada pukul 17.00. Di kabupaten Banggai, pelaku usaha hanya membuka usahanya sampai pada jarak 5 km dari pusat Kota. Akibatnya, pekerja termasuk penjaga toko yang mendapat shift waktu bekerja pada pukul 17.00 hingga 21.00 mengganggur bahkan ada pekerja yang harus kehilangan pekerjaan karena ketatnya persaingan, di bidang jasa perdagangan ini. Hal ini diperburuk oleh situasi di Sulawesi Tengah, kecenderungan lulusan perguruan tinggi menjadi PNS sangat besar karena tidak adanya alternatif lain seperti industri. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki instalasi listrik di sekitar tempat usaha responden selama di tahun 2009 paling lama di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 34 hari, di Kota Palu selama 14 hari dan di Kabupaten Donggala hanya 8 hari. Kota Palu sebagai ibukota Provinsi seharusnya sudah tidak lagi mengalami masalah listrik karena ketersediaan fasilitas listrik yang memadai. Namun, adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kelurahan Mpanau bukan merupakan solusi akhir karena PLTU membutuhkan input batubara yang berasal dari Kalimantan. Ini memerlukan perencanaan matang dalam pembelian batubara bagi penggunaan pada bulan mendatang. Ditambah perjalanan transportasi batubara via laut sering mengalami gangguan cuaca seperti gelombang tinggi di perairan Selat Makassar dan Laut Sulawesi. Dari tabel 5 dan 6 dapat dilihat hasil output faktor-faktor yang mempengaruhi pengangguran dan kemiskinan Tabel 5 Hasil estimasi parameter persamaan pengangguran kabupatenkota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-Statistik Intersept 2.598600 0.0203 Dkab -0.216567 0.0043 LnBelanja Modal 0.289217 0.0862 LnInvestasi 0.109321 0.0000 DkabLnInvestasi -0.159635 0.0004 Kondisi lampu jalan 0.029510 0.3747 Lama perbaikan listrik -0.348119 0.0002 Manfaat PPUS 0.056566 0.5311 Pelatihan pengkredit 0.018655 0.8101 Perbaikan PDAM -0.036247 0.2243 R 2 = 0.898 F-Hitung= 11.748 DW= 1.936 Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011 Tabel 6 Hasil estimasi parameter persamaan perubahan kemiskinan kabupatenkota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-Statistik Intersept 2.391691 0.0001 Dkab 0.103239 0.0876 LnBelanja Modal 0.342563 0.0026 LnInvestasi -0.030545 0.0186 Kondisi lampu jalan -0.072008 0.0934 Lama perbaikan listrik -0.223304 0.0000 Manfaat PPUS 0.269648 0.0000 Pelatihan pengkredit -0.018751 0.6935 Perbaikan PDAM 0.030439 0.0816 R 2 = 0.910 F-Hitung= 16.486 DW= 2.001 Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011 Dari hasil estimasi output, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap pengangguran adalah Dkab, belanja modal, investasi, Dkablninvestasi serta indikator tata kelola ekonomi daerah yaitu lama perbaikan listrik. Faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah Dkab, belanja modal, investasi, dan indikator TKED yaitu kondisilampu_jalan, lama perbaikan listrik, manfaat PPUS , lama perbaikan PDAM. Koefisien variabel Dkab yang negatif signifikan mengindikasikan bahwa pengangguran di kabupaten lebih rendah daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama. Pengaruh investasi di kabupaten terhadap pengangguran sebesar -0,050 -0,159 + 0,109 yang berarti bahwa pengaruh investasi di kabupaten lebih besar dibandingkan di kota sehingga pengaruhnya dalam menurunkan pengangguran di kabupaten lebih tinggi dibanding di kota, penurunan pengangguran di Kabupaten Donggala lebih rendah dibandingkan di Kota Palu, hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik dan dalam prioritas anggaran juga lebih baik walaupun investasi di Kabupaten Donggala masih kurang dibandingkan investasi di Kota Palu. Tabel 5. Pengangguran di kota lebih tinggi dibanding di kabupaten, hal ini disebabkan oleh adanya migrasi penduduk yang mencari kerja di kota. Dalam model pengangguran di atas variabel investasi, peningkatan investasi juga meningkatkan pengangguran hal ini disebabkan investasi yang ada adalah investasi padat modal. Variabel Dkabupaten yang signifikan terhadap kemiskinan sebesar 0,103 yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara kemiskinan di kabupaten dan kota. Kemiskinan di kabupaten lebih tinggi daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama tabel 6. Kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu tetapi karena alokasi Belanja Modal di Kabupaten Donggala lebih baik serta tata kelola ekonomi daerah juga lebih baik daripada di Kota Palu sehingga penurunan kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibanding di Kota Palu. Untuk variabel tata kelola ekonomi daerah yang mempunyai pengaruh signifikan dengan pengangguran dan kemiskinan. TKED yang signifikan terhadap pengangguran adalah lama perbaikan listrik, variabel TKED lainnya yang signifikan terhadap kemiskinan adalah manfaat PPUS yang menghubungkan pelaku usaha skala kecil-sedang dan besar. Variabel manfaat PPUS berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Semakin banyak interaksi antara pelaku usaha kecil sedang dan besar semakin banyak informasi dan hal-hal lain yang dapat diperoleh dari pelaku usaha yang telah sukses dan memberikan atau menyebarluaskan keberhasilannya kepada pelaku usaha lain yang masih membutuhkan dan memerlukan informasi guna kemajuan usahanya, maka akan semakin banyak hal-hal yang berguna yang dapat didapatkan sehingga dapat meningkatkan usahanya dan dapat meningkatkan pendapatannya. Kabupaten Banggai telah memiliki PPUS yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil-menengah dan pengusaha besar. Dengan demikian, antara pelaku usaha tersebut telah terjalin komunikasi horizontal dan saling bertukar informasi pengalaman dalam usaha. Di samping itu, antara UMKM dan pengusaha mapan dapat menekan biaya transaksi dan biaya informasi walaupun tidak dilakukan secara resmi dalam kawasan ekonomi khusus seperti pada zona industri. Konsekuensinya, daya serap tenaga kerja semakin besar sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat di Kabupaten Banggai. Data aktual Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa masih ada 9.98 penduduk miskin dari total penduduk Kota Palu. Pada tahun 2012, sesuai data yang bersumber dari Unit Penetapan Sasaran Penanggulangan Kemiskinan Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, penduduk miskin di Kota Palu berjumlah 74.165 jiwa tercakup dalam 15.196 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut, proporsi terbesar berada di Kecamatan Palu Barat yang mencapai 23.192 jiwa 31.27 disusul oleh Kecamatan Palu Selatan mencapai 20.440 jiwa 27.56, Palu Utara mencapai 17.793 jiwa serta Palu Timur mencapai 12.740 jiwa. Sampai tahun 2012, penduduk miskin yang tidak bekerja mencapai 51.542 jiwa yang proporsinyamencapai 69.50 dari penduduk miskin. Penganggur inilah dapat menjadi masalah utama Kota Palu seperti rawan konflik horizontal, rawan terjerumus dalam kejahatan, dan masalah sosial lainnya. Penduduk miskin yang bekerja di sektor bangunankonstruksi menempati posisi kedua setelah penduduk miskin penganggur yang mencapai 5.368 jiwa. Sedangkan penduduk miskin yang bekerja di sektor pertambanganpenggalian hanya mencapai 753 jiwa atau 1.02 dari penduduk miskin. Jadi tidak beralasan bagi Pemerintah Kota Palu untuk tidak segera menutup area pertambangan Poboya apalagi dipenuhi oleh pendatang dari luar Kota Palu. Masih ada 2.514 jiwa anak penduduk miskin yang tidak bersekolah dari 19.239 anak penduduk miskin. Ini seharus menjadi program utama bagi Dinas Pendidikan Kota Palu mendatanya dan menyekolahnya melalui Sistem Pendidikan Berbasis Partisipasi Masyarakat. Jumlah orang cacat pada masyarakat miskin mencapai 659 jiwa dengan proporsi terbanyak di Kecamatan Palu Barat yang mencapai 191 jiwa. Terdapat 6.770 rumah tangga atau 44.55 rumah tangga miskin menggunakan sumber air yang tidak terlindungi. Sisanya menggunakan air kemasan, air ledeng, sumber air terlindungi. Hambatan peningkatan mutu sumber daya manusia di KabupatenKota, terutama di daerah perdesaan dan pedalaman, adalah terbatasnya tenaga pendidik dan tenaga kesehatan yang berkualitas, belum meratanya penyebaran tenaga pendidik dan tenaga kesehatan, dan terbatasnya prasarana dan sarana transportasi. Akibatnya, Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Tengah tidak pernah berada di bawah peringkat 22 dari 33 provinsi di Indonesia. Variabel TKED lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan adalah rata- rata hari yang diperlukan untuk memperbaiki infrastruktur yang berada di sekitar wilayah usaha responden yang mengalami kerusakan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya di tahun 2009 air PDAM. Dari seluruh KabupatenKota yang ada di Sulawesi Tengah Kota Palu merupakan lokasi yang paling lama waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki kerusakan PDAM di sekitar lokasi usaha responden, selama 23 hari waktu dibutuhkan untuk hal ini, banyak masalah yang ada di Kota Palu terkait infrastruktur khususnya PDAM, sumber PDAM yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Palu yaitu yang bersumber dari PDAM uwe lino dan PDAM Poboya. Mata air yang ada di PDAM uwe lino sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota karena debitnya yang berkurang. Untuk itu, banyak masyarakat yang sampai membutuhkan PDAM poboya. Di lain pihak, PDAM Poboya itu sendiri mempunyai masalah yang sangat krusial bagi kesehatan karena mata airnya telah terkontaminasi oleh merkuri yang diakibatkan oleh adanya penambangan liar di sekitar mata air PDAM Poboya. Sedangkan PDAM uwe lino masih bermasalah dengan manajemen kepemilikan. Di masa lalu, PDAM uwe lino dimiliki oleh PDAM Kabupaten Donggala karena saat itu, ibukota Kabupaten Donggala berada di Palu. Setelah desentralisasi, ibukota Kabupaten Donggala pindah ke Banawa sekitar 37 km dari Kota Palu. Adanya kerusakan infrastruktur PDAM menyebabkan daya beli masyarakat semakin berkurang karena harus membeli air lainnya baik melalui truck PDAM Donggala maupun Kota Palu atau pada depot isi ulang bagi kebutuhan air minum. Saat ini, karena sumber PDAM di Poboya telah tercemar merkuri, kebutuhan masyarakat pada air minum semakin besar yang otomatis menambah pengeluaran rumah tangga. Ada kecenderungan penduduk Kota Palu tidak lagi mengkonsumsi air tanah kecuali melalui depot air isi ulang karena ketakutan pada publikasi hasil penelitian para ahli asing Jepang dan Universitas Tadulako yang menyatakan kadar merkuri di udara Kota Palu dan dalam tanah telah berada di atas ambang batas toleransi. Dari model pengangguran dan kemiskinan, dapat dikatakan bahwa kemiskinan di kabupaten lebih tinggi dibanding di kota, tetapi pengangguran lebih tinggi di kota dibanding di kabupaten. Walaupun kemiskinan lebih tinggi di kabupaten, tetapi karena tata kelola ekonomi daerah yang lebih baik sehingga penurunan kemiskinan lebih tinggi di kabupaten dibanding di kota, walaupun investasi di kota lebih banyak dibanding di kabupaten. Selain itu, pengangguran di KabupatenKota di Sulawesi Tengah diharapkan akan menurun melalui program-program yang bersentuhan langsung pada masyarakat miskin. Adapun program-program penanggulangan kemiskinan yang pernah dan sedang berjalan di kabupatenkota yaitu Inpres Daerah Tertinggal, Kredit Usaha Tani, Sulawesi Agriculture Area and Development Project, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Program Pengembangan Kecamatan, Jaringan Pengaman Sosial, Marine Coastal Resource Management Project, Central Sulawesi Integrated Agriculture and Developement Conservation Project , Community Action Plan, Program Pengurangan Subsidi dan terakhir adalah program PNPM-Perkotaan yang peluncurannya dilakukan di Kota Palu oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pada 30 April 2007. Program-program tersebut telah banyak sumbangsihnya dalam masalah pengentasan kemiskinan perkotaan maupun lebih ke kecamatan-kecamatan. Data BPS menunjukkan bahwa nilai ICOR Kota Palu tahun 2010 sebesar 0,35. Hal ini berarti bahwa untuk menambah PDRB rill sebanyak 1 unit, maka perlu penambahan barang modal baru sebesar 0,35 unit. Kecilnya nilai ICOR ini menunjukkan bahwa investasi yang ada di Kota Palu sangat kecil. Di lain pihak, kecilnya nilai ekspor terhadap total PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan Kota Palu yang nilainya sebesar 7,79 di tahun 2010 bukan merupakan pencapaian dari sumbangan investasi maupun ekspor yang besar, tetapi hanyalah dorongan konsumsi masyarakat semata yang nihil produktif, tak berkualitas dan tanpa dampak berganda kepada penduduk miskin, dengan meletakkan skala prioritas utama pada ekonomi sebagai pilar pembangunan. Laju pertumbuhan yang tinggi selama ini seharusnya diikuti oleh distribusi dan pemerataan. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kota Palu belum dapat dikatakan berjalan baik karena terjadi anomali pertumbuhan di Kota Palu karena didorong oleh tinggi permintaan yang selanjut mendorong peningkatan konsumsi sehingga sewaktu-waktu mendorong harga barang-barang tertentu khususnya menjelang idul fitri dan natal. Di sisi lain, hasil-hasil pertanian di daerah belakang Kota Palu tidak dipasarkan di kota ini melainkan langsung diantardaerahkan atau diantarpulaukan ke wilayah lain seperti Makassar dan Kalimantan Timur. Pengalaman ini terjadi pada Agustus 2012 sehingga tingkat inflasi di Kota Palu tertinggi di Indonesia yang mencapai 2.81 yang didorong oleh peningkatan besar pada harga ikan segar dan sayur-mayur Palu Ekspres: Senin, 24 September 2012. Konsekuensinya, hal ini akan mengurangi daya beli masyarakat dan mendorong peningkatan penduduk yang nyaris miskin. Tata kelola pemerintahan daerah sebagai salah satu bentuk intervensi Pemerintah Daerah di era desentralisasi fiskal, pada dasarnya merupakan support system yang menjamin penyelenggaraan administrasi dan perumusan kebijakan dilakukan dengan transparan dan akuntabel. PEMDA seyogyanya menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik, seperti berinteraksi secara intensif dengan para pelaku usaha dan stakeholders lainnya untuk dapat mengakomodir kebutuhan para pelaku usaha, serta mengambil kebijakan yang mendukung pengembangan sektor swasta. Kinerja Perekonomian Daerah dipengaruhi oleh indikator TKED melalui variabel investasi, hal ini dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya investasi di daerah selain TKED sangatlah banyak dan jika dihubungkan dengan indikator TKED hanyalah bahagian kecil dari faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di suatu daerah secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Santi 2012 yaitu keterkaitan antara TKED dengan investasi kabupatenkota di Jawa Timur. Hasil yang diperoleh adalah dengan banyaknya variabel yang berhubungan negatif secara nyata, tidak langsung dapat disimpulkan bahwa tata kelola yang buruk justru meningkatkan investasi, karena faktor penentu investor dalam menanamkan modal bukan hanya dari 1 unsur tata kelola saja, akan tetapi banyak unsur tata kelola yang lain. Korelasi antara variabel tata kelola dengan realisasi PMA dan PMDN pada dasarnya hanya hubungan sederhana dan merupakan deteksi awal fenomena. Pada kenyataannya, di satu kabupaten dapat saja terjadi satu unsur tata kelola memang buruk, namun tata kelola lainnya sangat baik. Unsur tata kelola yang baik ini yang lebih menarik investor. Data yang diperoleh dari financial times Ltd. 2013 yang mempengaruhi investasi antara lain: Potensi pertumbuhan pasar domestik; Kedekatan dengan pasar atau pelangan; Peraturan atau iklim usaha; Ketersediaan tenaga kerja terampil; Infrastruktur; Klaster industri; Kualitas hidup; Biaya yang murah; Sumberdaya alam. Selain itu investor cenderung melihat faktor- faktor yang berkaitan dengan bagaimana mereka akan dapat beroperasi di negara asing antara lain: Peraturan yang berkaitan dengan investor asing, standar pengobatan bagi investor asing, fungsi dan efisiensi pasar lokal, kebijakan perdagangan dan privatisasi, langkah-langkah dan fasilitasi bisnis seperti promosi investasi; insentif; perbaikan fasilitas dan langkah lainnya untuk mengurangi biaya dalam melakukan bisnis, pembatasan dalam hal laba atau keuntungan dalam bentuk deviden; royalty; bunga atau lainnya United Nations Conference on Trade and Development. World Investment Prospects Survey 2012 –2014. Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi investasi baik pada skala nasional maupun regional di Indonesia: pertama, faktor suku bunga. Baik suku bunga simpanan dan terutama suku bunga pinjaman sampai saat ini masih tinggi. Masih tingginya suku bunga pinjaman saat ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain inefisiensi perbankan di mana biaya overhead perbankan yang masih tinggi, masih tingginya resiko dalam pemberian kreditpinjaman dan lain-lain. Faktor kedua, pendapatan per kapita juga masih rendah. Sementara, untuk provinsi dan kabupatenkota saat ini juga rata-rata masih belum pulih dari krisis kecuali untuk kota kota besar. Faktor ketiga, tentang sarana dan prasarana serta utilitas harus diakui baik yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat maupun propinsi atau KabupatenKota kondisinya masih buruk. Banyak jalan yang berlubang karena kualitas yang jelek. Pasokan listrik yang terbatas. Hal tersebut merupakan contoh masih buruknya kondisi sarana dan prasarana serta utilitas. Faktor keempat, birokrasi dan perijinan juga belum memuaskan. Tentang birokrasi perijinan ini bisa kita simak dari laporan hasil penelitian yang dikeluarkan International Finance Corporation IFC dan Bank Dunia serta Bank Pembangunan Asia yang tertuang dalam laporan IFC dan Bank Dunia mengenai ”Doing Business 2012”, Indonesia menduduki peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan memulai usaha baru. Kemudahan untuk memulai usaha baru merosot sehingga investasi tidak meningkat secara signifikan. Sementara kinerja pertumbuhan ekspornya juga turun dibandingkan negara-negara kawasan ASEAN. Penurunan peringkat tersebut bukan berarti negatif bagi Indonesia, tetapi perbaikan yang terjadi di negara negara lain sangat signifikan, sementara Indonesia tidak. Sementara itu, negara tetangga terdekat kita, Singapura, menempati posisi pertama negara yang paling mudah untuk memulai usaha. Indonesia telah mengalami reformasi dalam hal kemudahan memulai usaha. Waktu yang diperlukan tadinya sangat panjang, yakni 151 hari. Namun, telah dipangkas menjadi 97 hari saat ini. Indonesia juga akan menerapkan pengarsipan secara elektronik untuk perpajakan. Untuk indikator kemudahan memulai usaha lainnya, Indonesia tidak mengalami perbaikan. Dalam hal mengurus izin, masih harus ditempuh 19 prosedur yang membutuhkan 224 hari. Perpajakan misalnya, ada 52 jenis pajak dengan waktu yang dibutuhkan576 jam. Kinerja pertumbuhan ekspor Indonesiapun telah mengalami penurunan yang cukup besar, yang secara tradisional sudah menjadi keunggulan komparatif Indonesia seperti mebel, kelapa sawit, karet, tekstil dan alas kaki. Faktor birokrasi dan perijinan ini bertambah buruk dengan pelaksanaan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut banyak daerah yang untuk kepentingan mencari Pendapatan Asli Daerah telah menciptakan peraturan daerah yang intinya memungut pajak dan retribusi daerah serta memperumit ijin investasi. Namun demikian, di tengah masih buruknya birokrasi perijinan ini, ada kabar baik dengan diterapkannya Kan tor Pelayanan Satu Atap atau ”One Stop Service” OSS di berbagai daerah untuk melayani investasi. Hanya masalahnya sampai saat ini interpretasi dari apa yang disebut sebagai OSS tersebut masih beragam di berbagai daerah. Ada yang sekedar semacam humas, ada yang memang satu atap tetapi meja yang dilalui masih cukup banyak. Tetapi ada daerah yang memang telah menerapkan OSS secara benar yaitu memang ijin investasi hanya lewat kantor OSS. Kelima, faktor kualitas sumberdaya manusia. Hal yang menarik dari kualitas sumberdaya manusia ini adalah sebenarnya tingkat pendidikan angkatan kerja Indonesia makin membaik tetapi ternyata tidak terserap oleh lapangan kerja. Hal ini dapat dilihat dari makin meningkatnya tingkat pendidikan dari para penganggur terbuka yaitu mereka yang sama sekali tidak bekerja di Indonesia. Tidak terserapnya angkatan kerja ini mengindikasikan ”mismatch” antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Keenam, UU dan peraturan ketenagakerjaan. Ada anggapan dari kalangan dunia usaha bahwa UU dan peraturan ketenagakerjaan ini terlalu membela tenaga kerja. Misalnya saja ada peraturan yang membuat PHK sangat sulit dilakukan. Demikian juga dalam hal kebijakan upah minimun ternyata telah banyak memberatkan dunia usaha. Akibat dari kondisi demikian, maka tampaknya hal ini menjadi bumerang bagi tenaga kerja sendiri. Ini mengindikasikan pengusaha atau investor memilih teknologi yang lebih padat modal karena berurusan dengan tenaga kerja semakin rumit dan tidak mengenakkan. Ketujuh, dalam hal stabilitas politik dan keamanan, tampaknya kondisi sekarang ini rata-rata pada skala nasional maupun daerah sudah lumayan. Hal ini terbukti, misalnya, pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah di berbagai daerah meskipun masih ada keributan di sana-sini tetapi tidak sampai membesar menjadi konflik dan kerusuhan yang cukup membahayakan stabilitas politik dan keamanan. Tampaknya masyarakat Indonesia sudah dewasa dalam berpolitik. Ini merupakan faktor yang penting dalam mendukung terealisasikannya investasi. Kedelapan, faktor sosial budaya. Dalam hal faktor sosial budaya tampaknya ada sebagian besar pengusaha Indonesia yang telah memanfaatkan dengan baik tetapi tampaknya banyak pengusaha pengusaha asing yang justru lebih jeli. McDonald misalnya sekarang mulai membuat berbagai masakan maupun rasa masakan yang mengadopsi budaya lokal. Rasa softdrinknya misalnya dibuat manis. Padahal di Amerika Serikat tempat asal perusahaan tersebut rasa softdrinknya tidak manis. McDonald juga telah membuat berbagai masakan tradisional misalnya McRendang Riptek, Vol.2, No.1, Tahun 2008. Kemudian Secara umum, iklim investasi khususnya di Sulawesi selatan dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi,seperti kestabilan politik, penegakan hukum, pertanahan, kriminalitas, aksi buruh dan mahasiswa, komitmen pemerintah, layanan perbankan, dukungan infrastruktur dan layanan birokrasi pemerintah. Kriminalitas dan penegakan hukum mendukung iklim investasi masih sangat lemah, khususnya ketegasan aparat dalam menindak kejahatan ekonomi seperti korupsi dan illegal logging. Intensitas demonstrasi buruh dan mahasiswa di Sulsel cukup mengganggu iklim investasi, namun masih dalam batas yang dapat ditoleransi. Birokrasi pengurusan pertanahan masih menjadi salah satu penghambat investasi. Layanan perbankan khususnya pengurusan kredit dinilai sangat birokratis dan prosedur berbelit. Layanan birokrasi dan komitmen pemerintah dinilai belum sesuai dengan harapan para pengusaha, khususnya dalam pengurusan perijinan dan penyediaan datainformasi yang diperlukan survey iklim investasi di Sulawesi Selatan, dalam Kajian Ekonomi Sulsel triwulan II 2007. Investasi di kabupatenkota yang ada di Sulawesi Tengah walaupun sudah mencapai 19 dalam komposisi Produk Domestik Regional Bruto Sulteng, tetapi investasi bukanlah yang berasal dari luar dan tidak bersifat jangka panjang. Investasi ini hanyalah merupakan alokasi anggaran pemerintahan pusat yang menjadi dana-dana atas nama publik yang dimanfaatkan oleh para pengusaha daerah. Ini tentu saja berbeda dengan penanaman modal dalam negeri dan penanaman asing langsung yang bersifat jangka panjang dan menyerap banyak lapangan kerja. Data PMA dan PMDN pun selama periode 2005-2012 sama sekali tidak tersedia baik dalam publikasi BPS Sulteng dan Bank Indonesia yang berasal dari BKPPMD Sulteng. Itulah sebabnya, BKPPMD Sulteng maupun urusan penanaman modal di Kabupatenkota yang masih tercantol pada Bappeda, belum terkualifikasi menurut penilaian BKPM Pusat Keputusan Kepala BKPMD Pusat Nomor 1032012. Jangankan terkualifikasi, Kabupaten Sigi dan Morowali malahan belum berbentuk dalam pelayanan terpadu satu pintu PTSP bidang penanaman modal. Rendahnya kontribusi investasi dalam PDRB kabupatenkota di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa masih rendahnya sektor riil dan modal yang digunakan oleh investor atau pengusaha di daerah ini masih sangat tergantung oleh modal dari pemerintah melalui dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Untuk itu, dalam menjawab tujuan kedua dari penelitian ini akan dibahas lebih mendalam bagaimana proses perencanaan dan penganggaran APBD khususnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Implikasi kebijakan untuk menciptakan iklim investasi yang baik di daerah, khususnya PEMDA Kota Palu lebih memperhatikan kebijakan-kebijakan PEMDA untuk menciptakan iklim investasi yang baik. Iklim investasi yang baik dapat dicerminkan dengan mempermudah dan mempercepat proses pengurusan administrasi bagi para pelaku usaha, waktu perbaikan infrastruktur penunjang dipercepat yaitu waktu perbaikan kerusakan listrik, waktu perbaikan PDAM, kondisi lampu jalan harus dalam keadaan baik. Jika infrastruktur ini semakin baik diharapkan akan lebih banyak lagi para pelaku usaha yang tertarik untuk berusaha di daerah. Kebijakan PEMDA dalam hal program pengembangan usaha swasta lebih ditingkatkan pada kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat bagi pelaku usaha khususnya yang dapat memberi informasi yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha baik kecil dan menengah dengan pelaku usaha yang lebih besar.

7. Proses Perencanaan Dan Penganggaran APBD Kota Palu dan Kabupaten Donggala