7. Proses Perencanaan Dan Penganggaran APBD Kota Palu dan Kabupaten Donggala
Ada dua landasan normatif yang menjadi acuan proses perencanaan dan penganggaran APBD secara nasional yaitu Uundang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional SPPN, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Implementasi kedua undang-undang tersebut belum sepenuhnya
dilaksanakan di Kabupaten Donggala maupun di Kota Palu. Gambaran pelaksanaannya dapat dilihat pada gambar 17
proses Output
Gambar 17 Alur Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Sejak rezim di negara ini berubah, paradigma pembangunan juga ikut berubah. Kini
masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama pembangunan. Sementara peran pemerintah tidak lagi sebagai pelaksana melainkan sebagai fasilitator dalam pembangunan. Dengan peran
dan posisi yang sangat sentral tersebut, rakyat berhak untuk terlibat, memberi masukan dan keputusan khususnya di perencanaan sampai pelaksanaan. Pemenuhan hak-hak dasar itu
terimplementasi dalam forum publik yang disebut Musyawarah Perencanaan Pembangunan MUSRENBANG, yang juga merupakan forum pendidikan warga agar menjadi bagian aktif
dari tata pemerintahan dan pembangunan. Musrenbang
Kelurahan
Musrenbang Kecamatan
Musrenbang KotaKabupaten
Penajaman Usulan kegiatan setiap
dinas
Rencana Anggaran SKPD
Pembahasan Rencana Anggaran
oleh Tim Asistensi Penetapan
RKPD Pengajuan RAPBD
kepada DPRD
Penyusunan dan Penetapan KUA dan
PPAS
Tahun fiskal dimulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember dengan formulasi anggaran yang terdiri dari dua komponen yaitu proses perencanaan yang bersifat bottom up dan proses
penganggaran yang bersifat top down. Dengan demikian, musrenbang dapat pula disebut sebagai model pembangunan yang partisipatif, karena secara konseptual pembangunan
partisipatif itu sering disebut sebagai model pembangunan yang menerapkan konsep partisipatif dengan melibatkan semua pihak dalam proses pembangunan.
Pelaksanaan musrenbang difasilitasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang targetnya adalah memberi ruang kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasi,
memaparkan masalah dan kebutuhannya dimulai dari tingkat kelurahandesa sampai pada tingkat provinsi. Dalam pelaksanaan musrenbang, ada tiga masalah yang dihadapi yaitu
masalah input, proses dan output. Berdasarkan temuan di lapangan yaitu di Kabupaten Donggala dan di Kota Palu, masalah input di Kota Palu adalah masih sangat minimnya
keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan musrenbang khususnya di tingkat kelurahandesa. Masalah ini diakibatkan minimnya sosialisasi akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam
proses pelaksanaan musrenbang karena kurang dipahaminya peran sentral masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kelurahandesa. Selain itu, di masyarakat sendiri
juga dihadapkan pada masalah kurangnya peran tokoh masyarakat khususnya di tingkat kelurahan. Jikapun pada kelurahan terdapat banyak potensi generasi mudanya, namun
kesempatan berkiprah dalam musrenbang jarang memberikan kesempatan pada mereka. Bappeda hanya mengundang para wakil masyarakat yang telah mereka kenal. Akibatnya
terjadi marginalisasi anggota masyarakat. Sosialisasi pra musrenbang pada setiap tingkat Rukun Warga dapat menemukan anggota masyarakat yang dapat dipercaya dan amanah
dalam mewakili masyarakat dalam musrenbang. Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri dapat direplikasi agar pelaksanaan musrenbang benar-
benar berjalan sebagaimana mestinya. Masalah lainnya adalah keterbatasan kemampuan untuk menggali akar masalah, merumuskan masalah prioritas, menyusun strategi pemecahan
masalah dan rencana aksi, serta rencana jangka menengah yang masih banyak di masyarakat. Bappeda Kota Palu seharusnya tidak mengalami kesulitan, karena sejak 2003 semua
kelurahan di Kecamatan yang ada di Kota Palu telah mempunyai Badan Keswadayaan Masyarakat melalui PNPM Perkotaan di mana para anggotanya terpilih langsung oleh
masyarakat sesuai kriteria jujur, amanah, dapat dipercaya dan mereka menjadi relawan tanpa pamrih. Masalahnya terletak pada minimnya peran pegawai Bappeda dan pegawai Kelurahan
untuk menjadi fasilitator pada musrenbang. Hal ini dapat diatasi melalui penggunaan aktivis Civil Society Organization dan Non Government Organization. Namun, aparat Bappeda ini
juga harus mampu melakukan fasilitasi setelah melalui pelatihan.
Temuan yang berbeda didapatkan di lapangan, dari sisi input proses Musrenbang yang dilakukan di Kabupaten Donggala sudah berjalan sesuai dengan standard operational
prosedure yang diharapkan dalam menggali aspirasi dan kebutuhan masyarakat pada tingkat desakelurahan. Saat musrenbang kecamatan, semua unsur perencana yang ada di Bappeda
bertindak sebagai fasilitator di kelurahandesa yang menampung aspirasi masyarakat sehingga saat musrenbang kabupaten yang ada hanyalah penajaman dari programkegiatan
yang telah disinkronkan dengan program kegiatan SKPD. Sebelum dilakukan musrenbang kabupaten, pihak Bappeda telah memperlihatkan draft hasil musrenbang kecamatan yang
menjadi kebutuhan dan menjadi prioritas untuk mendukung visi misi bupati. Saat pengajuan kebutuhan masyarakat telah berpedoman pada draft yang telah ada sehingga masukan dari
masyarakat sudah terarah. Hal ini ditunjang juga oleh peran DPRD daerah pemilihan yang pada musrenbang kecamatan, mereka menghadirinya. Pada saat reses, mereka juga telah
menjaring aspirasi masyarakat sehingga semua dapat sinkron dan apa yang menjadi kemauan masyarakat tetap dikawal anggota DPRD tersebut sampai pada saat musrenbang kabupaten.
Tetapi, masih ada kekurangan dari proses musrenbang di Kabupaten Donggala yang masih
diusahakan untuk dimaksimalkan yaitu keterwakilan tokoh di masyarakat. Para tokoh masyarakat ini diharapkan dapat menyampaikan aspirasi masyarakat yang masih sangat
minim. Hal ini disebabkan oleh kriteria pilihan tokoh masyarakat hanya bersifat subyektif hanya karena ditokohkan sesuai usia.
Masalah proses dalam musrenbang di Kota Palu, karena dibatasi oleh waktu pelaksanaan yang sangat singkat terkadang waktu pelaksanaan musrenbang ditempuh dengan
cara-cara di luar jalur atau koridor yang semestinya dilakukan. Misalnya mengadopsi secara utuh model perencanaan secara top down. Masyarakat hanya mendengarkan sejumlah
program yang telah didesain sebelumnya dari pihak SKPD terkait sehingga mengakibatkan model-model pembangunan yang partisipatif yang sesungguhnya menjadi substansi
musrenbang itu terabaikan. Pelaksanaan musrenbang sendiri terkesan hanya sekedar untuk memenuhi kepentingan pihak tertentu sehingga proses pelaksanaannya hanya formalitas saja.
Di sinilah mind set aparat harus diubah karena sebelum melakukan fasilitasi pra musrenbang, para aparat Bappeda ini harus terlatih memfasilitasi.
Waktu pelaksanaan yang sangat singkat mengakibatkan tidak terekamnya secara utuh akar permasalahan yang ada di masyarakat sehingga usulan warga dalam proses musrenbang
semakin mengecil saat sudah sampai di tingkat yang lebih tinggi, karena pada tingkat yang lebih tinggi akan berhadapan dengan sejumlah daftar belanja dari tiap SKPD yang urgensinya
terkadang masih dipertanyakan dan tidak mempunyai hubungan dengan kepentingan masyarakat. Jika semua masalah dalam pelaksanaan musrenbang itu masih ada, tidak akan
melahirkan sejumlah program dan kegiatan yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Dari akar permasalahan inilah sehingga musrenbang yang ada di Kota Palu sulit bersinergi
dengan pelaksanaan musrenbang di tingkat yang lebih tinggi yaitu di Provinsi Sulawesi Tengah, sehingga pemerintah provinsi sulit menghadapi Pemerintah KabupatenKota yang
masih banyak menghadapi persoalan-persoalan dasar dan sulit disinergikan akibat pertarungan kepentingan.
Hasil musrenbang desakelurahan, kecamatan tidak dimanfaatkan oleh SKPD terkait karena mereka telah memiliki programkegiatan sendiri. Kecenderungan lainnya adalah
masalah yang ada di masyarakat umumnya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga tidak terdistribusi dengan baik ke instansi tekhnis dan menjadi alasan dari SKPD mengapa usulan-
usulan masyarakat tersebut tidak dapat dilaksanakan. Masalah lainnya adalah kurangnya umpan balik kepada masyarakat tentang hasil musrenbang. Hal ini dikarenakan minimnya
sistem transparansi sehingga banyak usulan masyarakat tidak terpenuhi. Akibatnya, hal ini menjadikan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap urgensi pelaksanaan
musrenbang itu sendiri. Musrenbang terkesan hanya sebagai alat untuk melegitimasi bahwa penyusunan dokumen perencanaan telah dilaksanakan secara partisipatif dengan segenap
sistematika urutannya.
Dalam proses perencanaan di Kota Palu, yang memfasilitasi proses perencanaan di tingkat kelurahan dan kecamatan didominasi personil yang berasal dari lembaga swadaya
masyarakat. Personil BAPPEDA Kota Palu hanya menjalankan tugas-tugas administratif tanpa mempunyai kemampuan memfasilitasi. Bappeda Kota Palu memfasilitasi proses
perencanaan hanya pada tingkat Musrenbang Kota. Sebaliknya, di Kabupaten Donggala, proses fasilitasi perecanaan dilakukan oleh personil Bappeda Kabupaten Donggala sejak dari
musrenbang kelurahan, musrenbang kecamatan dan kabupaten.
Dalam proses perencanaan di Kota Palu, dokumen musrenbang tahun lalu seringkali terpisah dan belum dijadikan acuan bagi musrenbang berikutnya, utamanya usulan-usulan
yang belum terealisir. Di Kabupaten Donggala, dokumen musrenbang tahun sebelumnya dijadikan acuan bagi musrenbang berikutnya utamanya usulan-usulan yang belum terealisir
dikonfirmasikan ke tingkat kelurahan dan kecamatan lalu direalisasikan dalam rencana kerja satuan kerja pemerintah daerah. Dalam penyusunan Renja SKPD, di Kota Palu ada SKPD
tertentu yang tidak mempunyai dokumen renstra. Bilapun ada, renstra SKPD hanya disusun apa adanya berdasarkan daftar keinginan SKPD. Bahkan dalam penyusunan Renja SKPD,
RPJMD Kota Palu dan Renstra SKPD belum dijadikan acuan. Sebaliknya, di Kabupaten Donggala, ada rangkaian yang jelas dalam penyusunan dokumen perencanaan sejak dari
RPJMD Kabupaten Donggala, Renstra SKPD dan Renja SKPD.
Masalah output dalam musrenbang di Kota Palu, dari semua jenjang musrenbang masih sulit menghilangkan paradigma lama dari para penentu kebijakan. Musrenbang itu sendiri
masih sering disebut sebagai arena untuk berlomba menyusun daftar belanja dari tiap SKPD. Daftar belanja dari tiap SKPD tersebut disusun sebanyak mungkin tanpa mempertimbangkan
skala kebutuhan dari masyarakat. Akibatnya dapat diduga, program-program yang terlahir bukannya program yang berasal dari masyarakat, tetapi hanyalah program SKPD itu sendiri
yang setiap tahunnya tidak berubah termasuk besaran anggarannya. Hal ini menjadi temuan anggota DPRD dalam setiap pembahasan baik di tingkat sidang Komisi bersama SKPD
maupun di tingkat paripurna. Hal yang berbeda di dapatkan di Kabupaten Donggala dalam penajaman usulan kegiatan SKPD, rencana anggaran SKPD, sampai pada pembahasan
rencana anggaraan oleh tim asistensi telah berjalan dengan baik. Tim Asistensi Pembangunan Daerah yang terdiri dari Bappeda, Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah, serta
SKPD lainnya telah berfungsi baik, walaupun masih didominasi oleh peran Bappeda dan Dispenda dan Aset Daerah. Berjalan baiknya mekanisme perencanaan bottom up di
Kabupaten Donggala ditunjang oleh staf yang handal dari segi kemampuan administratif dan koordinatif serta fasilitasi dalam menjalankan visi misi bupati. Di samping itu, team work
yang sangat solid mencakup para pemangku kepentingan karena social capital yang ada antar SKPD berjalan dengan baik. Namun, masih ada juga aparat SKPD yang terkendala kesehatan
dan sikap mental yang masih berorientasi proyek sesaat. Adanya kontrak kerja antara bupati dan kepala SKPD bagi pencapaian kinerja yang efisien dan maksimal, walaupun sebagian
kecil Kepala SKPD masih lemah di sisi akademik, tetapi karena solidnya team work dan kuatnya peran Bappeda, maka hal ini dapat teratasi. Satu hal yang menjadi masalah dalam
melakukan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Bappeda yaitu sering terjadi dalam kegiatan SKPD masih dibiayai oleh dana APBD serta dibiayai juga oleh dana dekonsentrasi.
SKPD di Kabupaten Donggala dalam membuat rencana kerja SKPD telah berpedoman pada RENSTRA masing-masing SKPD yang merupakan penjabaran detail dari Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Donggala. Renstra tersebut disusun oleh masing-masing SKPD dengan alasan mereka yang paling mengetahui kondisi kabupatennya.
Hal ini menunjukkan pula bahwa pemangku kepentingan di masing-masing SKPD telah menjadikan RPJMD Kabupaten Donggala sebagai rujukan awal dalam penyusunan program
kegiatan SKPD sehingga Rencana Kerja SKPD tidak menyimpang dari RPJMD. Hal ini beralasan karena Bappeda selalu mensosialisasikan semangat perencanaan pada pemangku
kepentingan SKPD hingga di tingkat bawah. Karena adanya sosialisasi yang tiada henti, maka walaupun terjadi perpindahan vertikal berupa promosi jabatan maupun perpindahan
horizontal, pemerintah Kabupaten Donggala tidak akan kesulitan memulai dari awal. Di samping itu, Bappeda sebagai muara semua kegiatan perencanaan, pelaporan, administratif
dan monitoring dan evaluasi, maka semua dokumen perencanaan dengan mudah dapat diperoleh di Bappeda. Adapun pekerjaan yang tersisa di Bappeda Donggala saat ini hanyalah
mengupdate data-data tersebut dalam website Bappeda sendiri dan website Kabupaten Donggala sebagai wujud semangat transparansi dan akuntabilitas pemda. Hal ini terlihat
konkrit pada Kantor Pelayanan Terpadu. Walaupun secara struktural KPT hanya setingkat Kantor, namun Kantor Pelayanan Terpadu telah diberikan wewenang sepenuhnya oleh Bupati
untuk melaksanakan semua yang menjadi tupoksinya. Semua kewenangan adminstratif pelayanan dalam memungut pendapatanrestribusi daerah yang tadinya berada pada SKPD
tehnis telah berada di KPT. Hal ini karena pertama, adanya kepercayaan dan niat baik SKPD
tehnis untuk ikhlas menyerahkan tupoksi adminsitratif ini. Kedua, Bupati Donggala berkomitmen dan memerintah semua Kepala SKPD untuk menyerahkan kewenangan
adminstratif tadi. Ketiga, hubungan antara pemangku kepentingan di tiap SKPD dapatlah dikatakan berjalan harmonis karena kuatnya modal sosial dan seringnya mereka bertemu
dalam rapat-rapat koordinasi dalam gedung perkantoran pemerintah Donggala termasuk DPRD berada dalam satu lokasi yang sama serta forum SKPD telah berjalan rutin.
Konsekuensinya, SKPD tehnis tidak lagi menjadi lembaga pengumpul pendapatan dan retribusi daerah. SKPD tehnis justru lebih berkonsentrasi pada dua kewenangan utamanya
yaitu pengendalian dan pengawasan di lapangan. Namun, masih ada juga kekurangannya yaitu belum semua kewenangan tersebut dapat dilaksanakan oleh KPT, tetapi pada dasarnya
sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu kelebihan lainnya yang dimiliki oleh pemangku kepentingan di kantor ini adalah semua staf sudah diharuskan memperoleh
sertifikat pelayanan dasar terpadu yang diikuti oleh staf melalui pelatihan dan adanya ketentuan bahwa staf ini tidak akan dipindahkan dari KPT terkecuali karena alasan adanya
promosi jabatan.
Pada penelitian ini, selain mengamati proses pelaksanaan musrenbang, juga diamati dan dilakukan analisis terhadap prinsip-prinsip penyusunan anggaran. Dalam penyusunan
anggaran terdapat sejumlah prinsip yang harus diperhatikan agar anggaran yang disusun sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dalam pengelolaannya memperhatikan prinsip-
prinsip manajemen anggaran yang baik. Sesuai dengan PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka prinsip-prinsip yang harus dipenuhi meliputi:
a. Disiplin anggaran b. Prioritas anggaran
c. Efisiensi anggaran d. Efektifitas pengelolaan anggaran
e. Akuntabilitas anggaran f. Transparansi anggaran
Dari semua prinsip-prinsip tersebut setelah dilakukan pengolahan data dengan Chi-Square diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 7 Prioritas anggaran di Kabupaten Donggala dan Kota Palu
Daerah Jawaban responden
Total Responden Ya
Tidak Donggala
14 26
40 Palu
21 17
38 Pearson Chi-
Square 0,072 Asymp sig α= 5 2-sided Sumber: Data olahan
Pada Tabel 7, dari indikator prioritas anggaran. Pertanyaan yang diajukan adalah dalam mengalokasikan anggaran, apakah muncul alokasi baru di luar prioritas sehingga dapat
mengurangi alokasi pos anggaran lain yang telah direncanakan. Hasilnya dengan uji Chi- Square nilainya 0,072 yang berarti bahwa ada hubungan antara alokasi anggaran baru dengan
pos anggaran lainnya. Kabupaten Donggala 26 responden atau sekitar 65 persen responden menjawab tidak ada alokasi baru di luar prioritas, dibandingkan Kota Palu responden yang
menjawab tidak ada alokasi anggaran baru di luar prioritas hanya sebanyak 17 responden atau sekitar 44,7 persen.
Di lain pihak, setelah dilakukan wawancara yang lebih mendalam terhadap responden dari kalangan akademisi, diperoleh fakta bahwa di Kota Palu, dalam pelaksanaan
pengurangan pos anggaran memang dapat ditolerir hanya saja pengurangan itu untuk
kepentingan SKPD dan bukan untuk masyarakat. Inilah konsekuensi dari Kota Palu dengan beberapa aparat pemerintah Kota Palu khususnya kepala SKPD yang cenderung menghabis-
habiskan anggaran bagi perjalanan dinas terutama ke Jakarta dan keluar negeri, dll. Di tingkat bawahnya, beberapa staf SKPD cenderung memanfaatkan alokasi anggaran SKPD bagi
kebutuhan Bimbingan Teknis yang mengada-ada sebagai perjalanan dinas. Bila semua SKPD berbuat demikian, maka alokasi anggaran SKPD cenderung hanya digunakan untuk
mensejahterakan aparat Kota Palu daripada masyarakatnya.
Selanjutnya, responden di Kota Palu menjelaskan bahwa dalam tahun anggaran, masih ada Sisa Lebih Penggunaan Anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua program
dan kegiatan dapat terlaksana tepat pada waktunya sehingga masih menyisahkan anggaran lebih yang nantinya akan dikembalikan ke kas daerah. SILPA masih dapat dihindari jika
dalam penetapan alokasi anggaran menggunakan analisis manfaat biaya melalui studi kelayakan yang difasilitasi oleh para akademisi yang kredibel. Tetapi, kenyataannya di Kota
Palu dalam penetapan alokasi anggaran, prosedur yang dijalankan adalah SKPD menyusun rencana program kegiatan beserta estimasi anggarannya yang dibingkai dengan pagu
anggaran berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah yang telah ditetapkan oleh Bappeda, selanjutnya dituangkan dalan KUA dan PPAS kemudian dibahas di DPRD.
Dalam pembahasan anggaran, masih banyak kepala SKPD hanya diwakilkan saja oleh staf atau sekretaris.
Bappeda Kota Palu belum melaksanakan tupoksinya dengan efektif, karena selama ini fungsi koordinatif kurang berjalan baik. Bappeda tidak lebih menjalankan tugas-tugas
administratif layaknya Satuan Kerja Perangkat Daerah tekhnis lainnya. Di Kota Palu, Bappeda harus diberikan penyadaran kritis bahwa mereka harus menangani perencanaan dan
koordinasi. Selama ini Bappeda sama dengan SKPD lain yaitu sebagai pelaksana kegiatan. Dari perspektif perencanaan, Bappeda Kota Palu menjadi titik kritis dalam reformasi
birokrasi. Alasannya, Bappeda merupakan hulu segala macam program kegiatan SKPD tehnis. Bappeda inilah yang berperan dalam proses musrenbang, monitoring dan evaluasi
maupun fasilitator di lapangan. Selama ini, proses fasilitasi di lapangan termasuk pelaksanaan musrenbang dominan difasilitasi oleh para aktivis lembaga swadaya masyarakat.
Bappeda Kota Palu seharusnya lebih berkonsentrasi pada fungsi koordinatifnya melalui fasilitasi lintas SKPD. Bappeda Kota Palu sebagai critical point dalam pelaksanaan reformasi
birokrasi di bidang perencanaan. Bila ingin membumikan kembali perencanaan, saatnya sekarang mengaktualisasinya dengan memanfaatkan potensi yang ada di setiap aparat SKPD
yang dapat berkiprah dalam pembangunan Kota Palu dengan memberikan keleluasaan dan ruang bagi mereka berkiprah dan berkarya. Ketidakmampuan Bappeda dalam koordinasi
dengan SKPD serta tim kerja yang ada di Bappeda tidak berjalan maksimal sehingga sulit diharapkan adanya kesinambungan program antar SKPD. Selain itu, banyak ditemui SKPD
yang mengsubkontrakan pembuatan dokumen-dokumen perencanaan pada pihak tertentu akibat pertarungan kepentingan dan lebih disayangkan lagi pihak SKPD tidak ikut dalam tim
penyusunan tersebut sehingga dalam menjalankan tugasnya anggota SKPD tidak mengerti apa esensi dan tupoksinya.
Dari pengamatan dan diskusi di tingkat SKPD, sebenarnya Pemerintah Kota Palu mempunyai begitu banyak aparat di tingkat bawah khususnya staf bagian perencanaan dan
program yang potensial baik dari sisi kapasitas akademik, kemampuan analisis sekarang dan akan datang, usia muda, serta ide melimpah. Mereka inilah yang dapat difasilitasi oleh
Bappeda dalam penyusunan program terpadu sesuai misi visi Walikota. Di samping itu, sekretaris di setiap SKPD dapat dioptimalkan agar mereka tidak saja bertindak sebagai
administrator lembaga. Sementara, Kepala SKPD dapat lebih fokus kepada implementasi kebijakan. Masih terdapat kelemahan internal yaitu adanya Kepala SKPD yang hanya
mewakilkan kepada sekretaris dalam setiap rapat koordinasi, Rapat Dengar Pendapat dengan
DPRD Kota Palu. Sementara mereka hanya menghadiri acara seremonial dan sebagainya. Akibatnya, ketika berhadapan dalam pengambilan keputusan, mekanismenya menjadi lambat.
Kepala SKPD lebih berkonsentrasi pada tataran kebijakan bahkan termasuk sosialisasiupdate setiap informasi yang datangnya dari pusat.
Di Kota Palu, SKPD yang juga mempunyai masalah adalah Badan Perizinan dan Pelayanan Terpadu. Pemerintah Kota Palu harus bercermin dari kabupaten lain yang melalui
kekuasaan tunggal Walikota, perizinan terpadu terpusat pada BP2T sebagai layanan satu pintu. Selain komitmen Walikota, BP2T harus didukung oleh aparat yang cakap. Sayangnya,
bila aparatnya sudah cakap, justru pelayanannya terganggu karena mutasi horizontal. Jika promosi vertikal, tentu masyarakat awam akan paham karena aparat pemangku kepentingan
butuh juga promosi dan kenaikan pangkat sebagai reward. Di samping itu, anggaran bagi dukungan infrastruktur BP2T harus cukup dan peralatannya sesering mungkin harus
menjalani kalibrasi. Karena bukan tidak mungkin, kecamatan dan kelurahan dapat menjadi ujung tombak BP2T dengan menempatkan aparatnya di sana untuk mendekatkan layanan
dengan masyarakat di masa datang. Penguatan BP2T harus ada dan itu ditunjukkan oleh komitmen Walikota membackup sepenuhnya dari tindakan maupun regulasi yang tidak
tumpang tindih utamanya antar perwali. Keluhan masyarakat atas lambatnya pengurusan izin mendirikan bangunan seperti termuat pada salah satu media lokal Radar Sulteng, rabu, 8
agustus 2012 harus ditanggapi baik oleh pemerintah Kota Palu. Selama ini, untuk mengurus IMB, BP2T hanya pintu masuk pendaftaran, lalu menuju ke Dinas Penataan Ruang dan
Perumahan, Sekot dan Walikota untuk mendapat pengesahan. Kelemahannya, tidak ada skema pelayanan yang jelas serta transparansi pembiayaan yang harus dipenuhi warga karena
BP2T hanya menerima kwitansi pembayarannya saja dari instansi tehnis. Inilah buah pelimpahan yang tidak ikhlas dari pucuk pimpinan Kota Palu ke SKPDnya dan inilah
merupakan cerminan reformasi birokrasi di Kota Palu.
Sebahagian anggota DPRD telah melakukan evaluasi melalui prosedur kunjungan kerja lapangan yang biasa dilakukan saat reses, rapat mitra kerja SKPD, hearing SKPD dan rapat
kerja komisi sebagai langkah evaluasi. Dalam kunjungan kerja lapangan tersebut, anggota DPRD bertemu dengan konstituennya dan mengevaluasi sudah sejauhmana kebutuhan dari
masyarakat di daerah itu mendapat respon dari pemerintah. Dari hasil-hasil kunjungan dan rapat dengar pendapat tersebut, perlu ditindaklanjuti guna penguatan operasional dan kinerja
SKPD yang ada, baik dari aspek anggaran, struktur kelembagaan, SDM SKPD dan unsur- unsur pendukung dalam SKPD. Tetapi masih banyak SKPD yang belum melakukan tindak
lanjut secara konsisten atas temuan-temuan tersebut. untuk mempertanggungjawabkan kinerja keuangan daerah melalui publikasi laporan keuangan secara benar sesuai kriteria
akuntabilitas dan terbuka, tetapi keterbukaan itu dalam arti saat proses sidang DPRD yang diliput oleh media dan kadang-kadang diikuti oleh para peneliti yang mengambil topik
masalah penganggaran serta oleh masyarakat umum. Selain itu, terbuka dalam arti klarifikasi langsung pada SKPD pengelola. Selanjutnya, tindak lanjut atas pertanggungjawaban kinerja
keuangan tersebut dengan memberikan pernyataan sikap dan catatan-catatan dari anggota DPRD dan selanjutnya ditindaklanjuti oleh masing-masing SKPD.
Interaksi antara pemerintah Kota Palu dan masyarakat di tingkat akar rumput sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Akibatnya yang terjadi tidak ada transparansi, tidak
ada pengakuan terhadap peran masing-masing pihak. Tidak ada pengakuan atas hak dan kebutuhan masyarakat, atas pelanggaran terhadap aturan-aturan pemerintah maupun atas
ketidakpercayaan dan apatisme masyarakat. Pemerintah Kota Palu terkadang hanya bertindak ketika terjadi insiden di tengah masyarakat. Akibatnya, bukan tidak mungkin di masa datang
kota ini menjadi kota tanpa norma yang jelas karena buruknya layanan publik.
Masyarakat sipil tidak memiliki mandat yang memadai dan tidak efektif dalam menuntut hak-hak kaum miskin dan masyarakat yang terpinggirkan. Masyarakat sipil juga
tidak terbiasa untuk menyuarakan kepedulian secara bersama-sama. Warga tidak menyadari tentang hak-hak mereka dan tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi dengan wakil-wakil
mereka baik yang ada di DPRD maupun di kalangan masyarakat sipil atau dengan pemerintah Kota Palu. Padahal di tingkat grass root, ada Badan Keswadayaan Masyarakat
BKM, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Karang taruna, LSM, dan lain-lain sangat memadai. Diluncurkannya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan
oleh Presiden SBY pada akhir April 2007 merupakan salah satu keberhasilannya. Namun, keberhasilan pelaksanaan PNPM Perkotaan tidak diikuti oleh reformasi birokrasi di Kota
Palu. Sampai Maret 2013, SKPD pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan kelurahaan hanya setingkat kantor. Akibatnya koordinasi lintas SKPD dalam penanganan pemberdayaan
masyarakat terpadu harus melalui Walikota atau Sekretaris Kota, prosesnya menjadi panjang. Banyak ide terlahir dari SKPD ini, contohnya penanganan sampah organik bagi kompos di
beberapa kelurahan melalui optimalisasi kenderaan sampah jenis ”kaisar” atau ”viar” patut mendapat jempolan. Namun, karena, karena kantor ini hanya menyemaipembuka jalan satu
kegiatan yang dapat menghasil revenue generating bagi Kota Palu, dinas lain belumtanpa mendukungnya seperti penetapan harga kompos organik utamanya dari Dinas Perdagangan,
Perindustrian dan UMKM Kota Palu. Demikian pula standar uji labnya belum dilakukan karena kantor ini hanya mencari sendiri lembaga uji lab seperti ke Universitas Tadulako atau
Balai POM dan lembaga yang dapat memberikan ecolabeling.
Media tidak memiliki profesionalisme yang memadai dan tidak efektif dalam memanfaatkan peran independen mereka untuk mempengaruhi dan mengawasi kebijakan-
kebijakan pemerintah Kota Palu. Media juga memiliki akses informasi yang terbatas. Akses informasi diperoleh baik secara formal maupun informal. Bila website masing-masing SKPD
berjalan baik dan setiap saat diupdate, maka website ini dapat menjadi sumber utama setiap saat. Kata kunci reformasi birokrasi di Kota Palu terpulang pada pucuk pimpinan.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan ini masih ada SKPD yang dapat dijadikan contoh bagi SKPD lain, yaitu SKPD Rumah Sakit Anutapura. Dari hasil wawancara di Rumah Sakit
Anutapura memiliki kinerja yang baik dalam hal manajemen keuangan Rumah Sakit. Sejak lama RS. Anutapura merupakan sumber pendapatan bagi Kota Palu. RS ini diberikan
kewenangan untuk dapat menggunakan pendapatan internal RS tersebut untuk menerima, mengelola dan membiayai kebutuhannya sehingga dana extra budget selalu tersedia di
lingkungan SKPD ini. Bahkan SKPD lain yang memerlukan dana dapat menggunakan kelebihan dana tersebut, karena keterbatasan dana APBD. Hal ini ditunjang oleh team work
dan leadership yang baik dari Direktris Rumah Sakit ini. Sebagai RS yang telah mengalami uji gugus kendali mutu, akuntabilitas dan visi misi RS ini sangat baik. Sebagai contoh, bila
ada bimbingan teknis di luar Kota Palu, RS lebih memilih mendatang penatartenaga ahli yang dapat melatih lebih banyak staf RS daripada mengirim beberapa saja staf. Namun, di
sisi lain, karena RS berbasis pada modal sosial, RS ini harus terproteksi dari sikap mental oknum tertentu yang hanya akan menggunakannya sebagai komoditas politik. Perwali itulah
yang menjadi pegangan SKPD ini.
Dari hasil wawancara, penulis tidak dapat melakukan analisis yang lebih mendalam tentang kerangka pengeluaran jangka menengah di Kota Palu. Hal ini disebabkan karena
SKPD yang ada di lingkungan pemerintah Kota Palu sebagian besar tidak mempunyai rencana strategis SKPD. SKPD yang dapat menunjukkan bukti RENSTRA adalah SKPD
Pekerjaan Umum, SKPD Kesehatan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya penghargaan atas dokumen-dokumen perencanaan di daerah ini dan berakibat fatal pada programkegiatan
yang selama ini dilakukan karena tidak adanya pedoman dalam tiap programkegiatan tersebut. Di samping itu, Renstra SKPD belum dijadikan acuan bagi penyusunan rencana
kerja SKPD. Padahal, kesinambungan acuan dari RPJMD Kota Palu sebagai acuan
penyusunan Renstra SKPD, yang selanjutnya Renstra SKPD sebagai acuan bagi penyusunan Renja SKPD mutlak dilakukan.
Berbeda dengan Kota Palu, umumnya Kabupaten Donggala dalam penilaian kinerja anggaran yang dilakukan oleh Pemda selama ini dengan melakukan evaluasi tahunan dan
evaluasi 3-5 tahunan. Evaluasi tahunan dilakukan untuk menilai capaian kinerja kegiatan tahunan dan untuk mengetahui permasalahan tekhnis yang dialami. Evaluasi 3-5 tahunan
dilakukan untuk menilai keberhasilan program dan permasalahannya serta merevisi target apabila terjadi kendala-kendala yang dapat menghambat pencapaian target 5 tahunan.
Evaluasi dilakukan langsung ke masyarakat untuk mengetahui apakah pemda sudah optimal dalam mengalokasikan pengeluaran untuk penyediaan dan pelayanan jasa publik. Tim yang
melaksanakan survei adalah tim monev kabupaten yang dilaporkan pada saat evaluasi setiap tiga bulan sekali melalui rapat dengan semua SKPD. Selanjutnya, bila ada temuan
ditindaklanjuti oleh SKPD teknis terkait dengan melakukan instruksi kepada pelaksana teknis di lapangan kecamatandesa. Evaluasi yang dilakukan oleh DPRD saat masa reses di daerah
pemilihan masing-masing anggota DPRD dan dilaporkan ke Bupati. Untuk meningkatkan efektifitas anggaran, maka penetapan anggaran harus melalui pengkajian kebutuhan objektif
dan berorientasi output. Responden juga mengemukakan pendapatnya bahwa selain berorientasi output juga harus berorientasi outcome.
Peran DPRD di Kabupaten Donggala sudah berjalan baik sebagai salah satu saluran aspirasi masyarakat baik sebagai pelaksana fungsi legislasi maupun pengawasan pelaksanaan
pembangunan. Namun, individu anggota DPRD harus mutlak diberdayakan agar kemampuan mereka minimal sama dengan kemampuan para pemangku kepentingan di SKPD. Hal ini
beralasan agar para anggota DPRD ini memahami esensi program-program yang dibahas bersama SKPD baik di tingkat Rapat Paripurna, Rapat Dengar Pendapat, maupun
pembahasan di tingkat Komisi. Alasan lain adalah karena tingkat pendidikan anggota DPRD beragam dan mereka berasal dari anggota masyarakat dan partai berbeda, maka kemampuan
daya nalar, tata cara berdiskusi pasti berbeda pula. Akibatnya dalam setiap pembahasan KUAPPAS, program SKPD, kemampuan mereka membaca secara detail masih lemah.
Fenomena lain adalah masih adanya beberapa oknum anggota DPRD yang masih sering bernegosiasi dengan Kepala SKPD agar dapat memasukan rekanannya dalam pengerjaan
proyek di dinas tertentu ataupun perusahaannya dalam proyek. Akibatnya, program SKPD hanya fokus untuk menggolkan program yang akan dijalankan oleh rekanan SKPD tertentu.
Hal ini dapat teratasi dengan melihat kembali rujukan hasil musrenbang Kabupaten, Renstra dan Renja SKPD agar tidak menyimpang dari dokumen itu.
Proses perencanaan dan penganggaran yang baik adalah adanya sinkronisasi antara keduanya untuk itu di dalam renstra masing-masing SKPD harusnya mencerminkan program
dan kegiatan pertahun yang saling berkesinambungan. Alasannya, bukan hanya output yang dapat diharapkan,tetapi juga outcome atau manfaat dari program tersebut. Untuk melihat
kesinambungan program dari tiap-tiap SKPD di Kabupaten Donggala dengan menerapkan anggaran berbasis kinerja dan Medium Term Expenditure Framework yang dapat menjamin
kejelasan hubungan antara programkegiatan untuk jangka lebih dari 1 tahun, maka dilakukan analisis laporan RENSTRA Kabupaten 2009-2013 serta Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerinta Kabupaten.
Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Donggala dalam laporan rencana strategis SKPD ini memuat 2 tujuan dan 8 sasaran yang dijabarkan dalam programkegiatan selama 5
tahun dengan target pertahun yang terus meningkat dalam pencapaiannya. Di tahun 2010 dan 2011, dalam pelaporan pencapaian kinerjanya mencapai 100. Dari kewenangan yang
diberikan ke SKPD ini, sudah 10 kewenangan perizinan yang menjadi tupoksi SKPD ini yaitu izin lokasi, HOSITU, TDP, TDI, SIUP, IUI, pendaftaran usaha jasa makanan dan minuman,
reklame, izin trayek dan masih ada 3 kewenangan non perizinan.
Analisis secara keseluruhan masalah terhadap proses perencanaan dan penganggaran APBD di Kota Palu: pertama, dominasi struktural, meskipun ruang partisipasi untuk
masyarakat mulai terbuka sering kali hal ini ditafsirkan berbeda oleh birokrat. Jika didasarkan pada tangga-tangga partisipasi, maka persepsi birokrat masih berkisar pada tangga awal
partisipasi. Partisipasi masyarakat masih didudukkan dalam kerangka kepentingan pemerintah. Tujuan dan esensi sesungguhnya dari proses bottom up belum terlaksana.
Masyarakat diperlukan kehadirannya sebagai legitimasi bahwa partisipasi masyarakat telah terjadi. Pada forum perencanaan tingkat kelurahan dipimpin langsung oleh lurah dan
dihadirkan perwakilan RTRW. Materi usulan kegiatan telah disiapkan pihak kelurahan berdasarkan hasil usulan para Ketua RTRW baik secara formal maupun informal, sedangkan
peserta hanya membahas usulan-usulan tersebut. dari sisi peserta mayoritas berasal dari struktural dan dapat dikatakan bahwa peserta tidak representatif. Kedua, Sosialisasi minim.
Minimnya sosialisasi tentang adanya kegiatan perencanaan. Banyak warga yang tidak mengetahui waktu pelaksanaan musrenbang kelurahan. Ketiga, lemahnya infrastruktur
politik. Keberadaan partai politik di tingkat grass root hanya terasa menjelang pemilihan umum. Keberadaan partai politik dapat menjadi suatu media untuk menyampaikan aspirasi
masyarakat, karena partai politik menjadi perpanjangan tangan di parlemen. Selanjutnya masalah dalam proses penganggaraan: pertama, masalah struktural. Lemahnya implementasi
terhadap ketentuan yang ada. Masalah ini dapat dilihat dari tiga hal yaitu ketidaktaatan pada prinsip money follows function, tahapan yang tidak terstruktur, inkonsistensi terhadap siklus
anggaran. Money follows function mengandung arti bahwa seharusnya penganggaran dilakukan setelah perencanaan selesai dilakukan. Artinya RAPBD disusun berdasarkan
dokumen KUA yang dibuat berdasarkan kesepakatan antara legislatif dan eksekutif. Di Kota Palu KUA ditetapkan pada saat RAPBD selesai disusun, pembagian pagu anggaran
antardinas berdasarkan kontribusinya terhadap penerimaan daerah. Kedua, adalah masih menggunakan indikator besaran anggaran dinas berbanding lurus dengan kontribusinya bagi
PAD. Hal ini akan merugikan dinas-dinas seperti dinas sosial karena dinas ini mengemban misi untuk membantu masyarakat. Jika alokasi anggarannya kecil, maka sesungguhnya hal
ini bukanlah kebijakan yang tepat. Ketiga, lemahnya kapasitas SKPD dalam menyusun rencana anggaran SKPD. Seringkali rencana anggaran SKPD tidak diisi secara lengkap atau
tidak tepat dalam mengisi input, output, outcome, benefit dan impact. Dalam kaitannya dengan kapasitas lemahnya pemahaman anggota dewan akan fungsi budgeting, anggota
dewan juga lemah dalam mengkritisi RAPBD yang diajukan eksekutif.
Perencanaan dan penganggaran merupakan dua hal yang erat kaitannya. Agar perencanaan dan penganggaran bersifat realistik dan tepat sasaran, maka perlu didukung oleh
Peraturan Pemerintah yang menjabarkan konsep dan ketentuan lebih rinci mengenai kerangka rencana dan anggaran. Hal yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa perencana cenderung
mengabaikan dokumen-dokumen dalam perencanaan dan penganggaran serta tidak adanya
keterkaitan antar dokumen. Permasalahan berikutnya adalah masih sangat dirasakan “ego sektoral” antara para aparat pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan.
Masing-masing dinas dan instansi cenderung mengatakan tugas dan fungsinyalah yang terpenting dalam kegiatan pembangunan. Permasalahan tersebut menyebabkan koordinasi
dalam penyusunan rencana dan pelaksanaan pembangunan menjadi sulit dilakukan. Akibat selanjutnya adalah kurang optimalnya pelaksanaan proses pembangunan dan bahkan sasaran
yang dituju dapat tidak terlaksana sama sekali. pentingnya proses perencanaan dan penganggaran yang baik sangat mempengaruhi kondisi perekonomian daerah.
Kabupaten Donggala telah menerapkan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah SIPKD. Sistem ini dibangun dengan harapan dapat meningkatkan efektifitas
implementasi dari berbagai regulasi bidang pengelolaan keuangan, dibandingkan dengan Kota Palu yang belum menerapkan SIPKD. Kabupaten Donggala dari sisi TKED lebih baik,
dari sisi pengelolaan keuangan daerah juga lebih baik sehingga kedua hal ini sangat mempengaruhi kondisi perekonomian di Donggala. Baiknya proses perencanaan dan
penganggaran juga dapat dilihat bagaimana daerah mengalokasikan anggarannya. Untuk itu, perlu dibahas lebih lanjut bagaimana Kabupaten Donggala dan Kota Palu dalam pengelolaan
keuangannya baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Analisis Keuangan Daerah Kabupaten Donggala dan Kota Palu
Untuk menganalisis lebih dalam perbedaan antara Kabupaten Donggala dan Kota Palu, maka dilakukan pula analisis potensi daerah antara kedua daerah tersebut. Proses
pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak hanya
diukur dari tingginya pertumbuhan ekonomi tetapi juga diukur dari tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang dicapai tercermin dari tingginya rata-rata
pendapatan penduduk dan meratanya pembagian hasil pembangunan ekonomi. Semakin tinggi rata-rata pendapatan penduduk yang diimbangi dengan semakin meratanya distribusi
pendapatan antar berbagai kelompok penduduk menunjukkan semakin tingginya kemajuan suatu bangsa. Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi, pemerintah daerah mempunyai
peran yang besar dalam proses pembangunan. Desentralisasi fiskal diwujudkan dalam bentuk pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mencari sumber pendapatan dan
menentukan alokasi pengeluarannya sendiri, walaupun dalam pelaksanaanya masih menitikberatkan pada desentralisasi dari sisi pengeluaran. Adapun desentralisasi administrasi
diwujudkan dengan diberikannya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur urusan tata pemerintahannya sendiri.
Pada Gambar 18 memperlihatkan bahwa walaupun diimbangi dengan lebih baiknya penerimaan dana bagi hasil pajak, sumber penerimaan Kabupaten Donggala dan Kota Palu
tahun 2010 masih didominasi oleh sumber-sumber penerimaan dana alokasi umum dari total penerimaan di tahun 2010. Dominannya dana alokasi umum di kedua daerah ini disebabkan
oleh belum mandirinya kedua daerah tersebut dari sisi pendapatan asli daerah. Selain itu, belum maksimalnya usaha daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dengan
memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam. Dari hasil penelitian, mekanisme dana bagi hasil pajak akan menguntungkan daerah perkotaan yang berbasis sumber daya alam dan
industri. Baik Kota Palu maupun Kabupaten Donggala tidak dapat dikatakan sebagai daerah yang berbasis pada industri. Belum maksimalnya pendapatan daerah dari dana bagi hasil
selain belum berkembangnya kawasan industri juga dikarenakan belum optimalnya pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari
hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatn asli daerah yang sah. Peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan
meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik. Namun, yang terjadi adalah pendapatan asli daerah yang belum maksimal dan
peningkatan dana alokasi umum tidak diikuti dengan kenaikan anggaran belanja modal yang signifikan. Hal ini disebabkan karena dana alokasi umum tersebut banyak terpakai untuk
membiayai belanja pegawai terutama untuk perjalanan dinas yang lebih dominan.
Gambar 18 Sumber Penerimaan Kabupaten Donggala dan Kota Palu tahun 2010 juta Rp Sumber: Data Olahan
Pada gambar 19 memperlihatkan PAD Kabupaten Donggala hanya berkisar antara 1 sampai dengan 3 dan Kota Palu 7 sampai dengan 9. Perbedaan antara besarnya
pendapatan asli daerah antara daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota tidak terlepas dari adanya batasan antara sumber penerimaan pajak di kabupaten serta sumber
penerimaan pajak di kota. Kondisi ironis inilah yang membuktikan selama ini pelaksanaan otonomi daerah sangat menimbulkan ketergantungan daerah kepada pusat. Rendahnya
peranan PAD dalam APBD di daerah-daerah tersebut juga menunjukkan rendahnya kemampuan daerah dalam membiayai pengeluaran pembangunan.
50000 100000
150000 200000
250000 300000
350000 400000
PAD DBHSDA
DAK Dana
lainnya DBHP
DAU Kota Palu
49146 1662
26930 40113
20000 380493
Kab Donggala 13170
1407 51916
6901 17000
351935
d al
am ju
ta R
p
Kota Palu Kab Donggala
Gambar 19 Kontribusi PAD terhadap total penerimaan Kabupaten Donggala dan Kota Palu tahun 2001-2010
Sumber: Data Olahan Pada gambar 20 memperlihatkan perbedaan pendapatan asli daerah donggala dan
Kota Palu. Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan-kegiatannya. Hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini, Pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah dana alokasi umum yang pengalokasiannya menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang
selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dengan adanya transfer dana dari pusat ini, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih mengalokasikan pendapatan asli daerah
yang didapatnya untuk membiayai belanja modal di daerahnya. Sebelas kabupatenkota di Sulawesi Tengah, pendapatan asli daerah sangat kecil yang mencapai di bawah 10 dengan
proporsi tertinggi dicapai Kota Palu yang mencapai 9.48 terhadap total pendapatan dan proporsi terendah dicapai oleh Kabupaten Sigi sebesar 0.65 terhadap pendapatan total.
Rendahnya pendapatan asli daerah ini menunjukkan bahwa semua KabupatenKota di Sulawesi Tengah sangat tergantung pada dana perimbangan pusat. Rendahnya pendapatan
asli daerah dan begitu besarnya ketergantungan pada pemerintah pusat dan masih besarnya belanja pegawai di Kota Palu yang pada tahun 2010 mencapai 17.15 dan belanja barang
dan jasa yang mencapai 43.30 dari total belanja langsung. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Palu pendapatan asli daerahnya minim, ketergantungan besar pada pemerintah pusat,
lalu alokasi peruntukkannya hanya terfokus pada kegiatan yang memberikan efek ganda pada aparatur, bukan pada kegiatan yang bersentuhan langsung pada masyarakat banyak dan
belanja modal. Padahal, belanja modal mencakup belanja tanah, belanja peralatan dan mesin, belanja gedung dan bangunan, belanja jalan, irigasi, dan jaringan, belanja aset tetap lainnya,
serta belanja aset lainnya. Saat ini SKPD Badan Lingkungan Hidup dan Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Pemerintah Kelurahan Kota Palu masih
menyewa perumahan penduduk dalam setiap aktivitasnya. Pemerintah Kota Palu dapat mengalokasikan belanja modalnya dalam mata anggaran belanja gedung dan tanah agar tidak
lagi membiayai sewa gedung sehingga dapat mengalokasikan pembiayaan bagi pemeliharaan gedung.
0.00 2.00
4.00 6.00
8.00 10.00
12.00 14.00
PAD Kota Palu PAD Kab Donggala
Desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Menurut UU No. 33 Tahun 2004
sumber penerimaan yang digunakan untuk pendanaan pemerintah daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah: pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus,
dana bagi hasil, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.
Gambar 20 Perkembangan Alokasi Dana Alokasi Umum DAU KabupatenKota Tahun 2003
– 2011 jt Rp Sumber: Data Olahan
Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan dana alokasi umum dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan
fiskal tinggi akan mendapatkan dana alokasi umum dalam jumlah yang kecil. Pemberian dana alokasi umum ini diharapkan dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal, sehingga daerah
mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor
produktif sehingga dapat mendorong peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik serta dapat meningkatkan kontribusi
publik terhadap pendapatan asli daerah. Hal ini diharapkan agar kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, yang menyebabkan
tanggungan pemerintah untuk memberikan dana alokasi umum dapat lebih dikurangi.
Gambar 21 memperlihatkan alokasi dana alokasi umum di kabupatenkota tahun 2003 sampai dengan 2011 semua kabupatenkota yang ada di Sulawesi Tengah. Dari tahun ke
tahun selalu mengalami kenaikan kecuali untuk Kabupaten Donggala di tahun 2009 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Penurunan dana alokasi umum di Kabupaten
Donggala disebabkan karena pada tahun 2009 ada pemekaran daerah otonom baru yaitu pemekaran Kabupaten Sigi. Kabupaten Sigi merupakan pemekaran dari Kabupaten
Donggala. Dalam perhitungan dana alokasi umum memperhitungkan faktor banyaknya pegawai negeri sipil. Alokasi dana alokasi umum baik di Kabupaten Donggala maupun Kota
Palu, dari gambar tersebut terlihat masih mendominasi APBD dari tahun ke tahun. Naiknya DAU di tiap kabupatenkota memperlihatkan selain pendapatan asli daerah yang belum dapat
diharapkan untuk membiayai kebutuhan daerah. Hal ini juga disebabkan oleh minimnya penerimaan dari sumber pajak daerah dan pengelolaan sumberdaya alam yang belum
- 100,000
200,000 300,000
400,000 500,000
600,000 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
maksimal. Dana perimbangan dari pemerintah pusat berupa dana alokasi umum serta dana alokasi khusus. Dana alokasi umum adalah
“block grant” yang diberikan kepada semua pemerintah kabupatenkota untuk menutup kesenjangan antara kapasitas fiskal fiscal
capacity dengan kebutuhan fiskal fiscal needs. Pemerintah pusat diwajibkan mengalokasikan sekurang kurangnya 25 dari penerimaan domestik netto untuk dana alokasi
umum. Sedangkan dana alokasi khusus didesain untuk tujuan yang spesifik dan dialokasikan untuk pemerintah daerah secara spesifik pula. Baik Kabupaten Donggala maupun Kota Palu,
dana perimbangan dari pemerintah pusat masih dominan dalam struktur APBD di kedua daerah tersebut yang mencapai 80-90 persen dari penerimaan daerah.
Gambar 21 Perkembangan Alokasi Dana Alokasi Umum DAU dan Dana Alokasi Khusus DAK Kabupaten Donggala dan Kota Palu Tahun 2001
– 2010 jt Rp Sumber: Data Olahan
Dana alokasi umum yang banyak tidak diikuti oleh peningkatan alokasi belanja modal dalam bentuk aset tetap seperti infrastruktur, dan peralatan sangat penting untuk
meningkatkan produktivitas perekonomian karena semakin tinggi belanja modal semakin tinggi pula produktivitas perekonomian. Belanja modal merupakan jenis belanja langsung
yang berhubungan dengan program dan kegiatan selain belanja pegawai dan belanja barang dan jasa. Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya
menambah aset tetap. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menambah aset tetap misalnya membuat gedung, tanah, peralatan dan mesin maupun irigasi
dan jaringan, terbukti dapat memberikan efek yang besar dalam perekonomian. Semakin banyak belanja modal yang dilakukan pemerintah, semakin cepat perekonomian tumbuh
sehingga kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh PDRB per kapita dapat meningkat. Syarat fundamental bagi pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal
pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan akan memacu pertumbuhan ekonomi
daerah dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakatnya. Lebih disayangkan lagi dalam wawancara dengan beberapa SKPD, masih banyak pemangku
kepentingan yang salah menafsirkan arti dari belanja modal dalam hal ini banyak anggaran yang dikeluarkan bagi alokasi belanja ini yang tidak tepat sasaran karena bukan dibelanjakan
untuk objek pembangunan tetapi masih banyak yang dialokasikan ke subjek dalam hal ini untuk aparat SKPD sendiri contohnya pembelian perangkat elektronik untuk penunjang
100000 200000
300000 400000
500000 600000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Ju ta
R p
Donggala DAU Donggala DAK
Palu DAU Palu DAK
misalnya pembelian laptop bagi oknum-oknum tertentu. Perangkat ini akan berpindah tangan jika pemangku kepentingan akan dimutasi ke tempat lain.
Dana alokasi khusus penggunaannya diatur oleh Pemerintah Pusat dan hanya digunakan untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, infrastruktur jalan dan
jembatan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, prasarana pemerintah daerah, lingkungan hidup, kehutanan, sarana prasarana pedesaan, perdagangan, pertanian
serta perikanan dan kelautan yang semuanya itu termasuk dalam komponen belanja modal dan Pemerintah Daerah diwajibkan untuk mengalokasikan dana pendamping sebesar 10
dari nilai dana alokasi khusus yang diterimanya untuk mendanai kegiatan fisik. Kegiatan yang dibiayai oleh dana alokasi khusus hanya merupakan kegiatan lanjutan dari yang sudah
ada.
Kecilnya pengaruh dana alokasi khusus terhadap PDRB disebabkan oleh kecil sumbangsih dana alokasi khusus dalam pembentukan APBD. Di samping itu, dana alokasi
khusus turun menjelang triwulan keempat tahun berjalan akan tutup sehingga pemangku kepentingan tidak ingin direpotkan lagi dengan laporan pertanggung jawaban yang seringkali
menumpuk di akhir tahun. Di samping itu, pada petunjuk tehnis pelaksanaan dana alokasi khusus pada SKPD tertentu sering mengalami keterlambatan sehingga berpengaruh pada
pencairan dana pada termin berikut di SKPD lain. Studi INDEF 2011 menunjukkan jika belanja daerah dinaikkan 10 persen, maka hanya akan menyumbang sebesar 0,06 persen. Jika
dana alokasi umum dan dana alokasi khusus ditingkatkan 10 persen, maka donasi terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah lebih kecil lagi yaitu hanya 0,03 persen dan 0,02
persen.
Koefisien dana alokasi khusus yang sangat kecil tersebut dikarenakan dalam APDB kabupatenkota yang ada di Sulawesi Tengah masih didominasi oleh hampir 80 belanja
rutin dan sisanya untuk belanja modal. menurut Lewis 2001, hal ini terjadi karena dana alokasi umum yang menjadi sumber utama pendapatan daerah pada umumnya sebagian
besar akan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil.
Berdasarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 yang diubah menjadi Permendagri No 59 Tahun 2007 pasal 53 ayat 1 Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan
dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dan 12 duabelas bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan. 2 Nilai aset tetap berwujud
yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga belibangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaanpembangunan aset sampai aset tersebut siap
digunakan. 3 Kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi capitalization threshold sebagai dasar pembebanan belanja modal.
Sejak dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, anggaran Belanja Daerah dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan dari sisi besaran alokasi dana yang dibelanjakan. Belanja Daerah digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupatenkota
yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Anggaran Belanja Daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila terealisasi
dengan baik. Dengan demikian, secara ideal seharusnya Belanja Daerah dapat menjadi komponen yang cukup berperan dalam peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-
sumber daya ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Pada gilirannya, apabila kesejahteraan masyarakat telah meningkat, maka diharapkan akan berdampak kepada
perekonomian daerah secara luas.
Gambar 22 Prosentase Belanja Pegawai terhadap total Belanja di Kab Donggala dan Kota Palu tahun 2001-2009
Sumber: Data Olahan Kota Palu dengan PDRB perkapita Rp.18.133.245 dan pertumbuhan ekonomi 7,99 di
atas pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang hanya 7,79. Pengangguran di Kota Palu berkurang 8,1 pada tahun 2010, tetapi kemiskinan bertambah menjadi 11,3 di tahun yang
sama. Dalam pengelolaan keuangan daerah, dari sisi pengeluaran Kabupaten Donggala masih lebih baik dibandingkan dengan Kota Palu. Kabupaten Donggala dengan PDRB perkapita
Rp.13.145.543 dan pertumbuhan ekonomi yang hanya 7 pada tahun 2010, pengangguran berkurang 39,1 dan kemiskinan juga turun sebesar 42,9 di tahun yang sama. Komposisi
pengeluaran di Kabupaten Donggala walaupun masih didominasi oleh besarnya belanja pegawai, tetapi masih diimbangi oleh besaran belanja modal dan belanja barang dan jasa.
Pada Gambar 22 memperlihatkan belanja pegawai sepanjang tahun 2001 sampai dengan tahun 2009 paling tinggi terjadi di tahun 2002 yang mencapai 70 dari total belanja,
kemudian berangsur-angsur turun di tahun berikutnya dan mengalami kenaikan kembali sejak tahun 2007 sampai 2009. Namun, kenaikan tersebut hanya mencapai 50 dari total belanja di
tahun 2009. Dibandingkan dengan total belanja pegawai terhadap total belanja di Kota Palu, mengalami fluktuasi sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2007, tetapi di tahun 2008 ke
tahun 2009 kenaikan cukup tinggi yang pada tahun 2009 total belanja pegawai mencapai 70 dari total belanja. Proporsi belanja barang dan jasa terhadap total belanja di Kabupaten
Donggala dan Kota Palu hanya mencapai 17 dari total belanja untuk Kabupaten Donggala dan 15 dari total belanja untuk Kota Palu. Proporsi belanja modal di Kabupaten Donggala
di tahun 2001 mencapai 35 dari total belanja dibandingkan dengan Kota Palu yang hanya mencapai 20 dari total belanja. Selanjutnya belanja modal di Kabupaten Donggala turun
menjadi 24 di tahun 2002 dan belanja modal di Kota Palu di tahun yang sama mencapai 15 dari total belanja. Selanjutnya di tahun 2005 Kabupaten Donggala mengalami
pergantian pejabat bupati yang pada tahun tersebut mengalami skandal korupsi dana APBD yang mengakibatkan kerugian besar di kabupaten tersebut. tahun 2006 belanja modal di
Kabupaten Donggala mengalami penurunan tetapi naik kembali sebesar 30 di tahun 2007. Dibandingkan dengan Kota Palu, proporsi belanja modal terhadap belanja total di tahun 2007
hanya mencapai 29 dan terendah terjadi di tahun 2009 yang hanya mencapai 15 dari total belanja. Dengan mengaitkan antara teori belanja modal dan potensi daerah dari sisi
pengeluaran Kabupaten Donggala lebih baik dari Kota Palu.
10 20
30 40
50 60
70
D al
am p
e rsen
tahun
Belanja Pegawai Kab Donggala
Belanja Pegawai Kota Palu
Data kab.donggala tahun 2005 tidak tersedia
Banyak pihak menyampaikan bahwa berkurangnya proporsi belanja modal diakibatkan oleh banyaknya alokasi APBD untuk membiayai belanja pegawai, terutama untuk alokasi
belanja PNSD bagi tenaga pendidik yang dipandang lebih mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun demikian,
apabila ditinjau dari sisi kewajiban pemda dalam peraturan perundangan bahwa Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya dengan prioritas kepada pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib, maka sebenarnya belanja untuk guru sebenarnya mendukung pencapaian tujuan tersebut.
Pembebanan gaji guru bersifat wajib dalam rangka menjamin kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat dalam bidang pendidikan. Jika melihat hal ini,
seharusnya belanja modal dari kabupatenkota di Sulawesi Tengah khususnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu dapat lebih besar dari 30 gambar 23.
Gambar 23 Prosentase Belanja Modal terhadap total Belanja di Kab Donggala dan Kota Palu tahun 2001-2009
Sumber: Data Olahan Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa antara permasalahan pertama dalam
penelitian ini yaitu masalah tata kelola ekonomi daerah yang mempengaruhi kinerja perekonomian daerah kabupatenkota di provinsi Sulawesi Tengah berhubungan erat dengan
masalah kedua dalam penelitian ini yaitu proses perencanaan dan penganggaran APBD khususnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Keterkaitan kedua permasalahan ini dapat
dilihat dari hasil penelitian KPPOD Kabupaten Donggala berada pada urutan keenam serta Kota Palu urutan ke delapan dari 11 kabupatenkota di Sulawesi Tengah. Peringkat
Kabupaten Donggala yang masih lebih baik dari Kota Palu tersebut tidak terlepas dari Tata Kelola Ekonomi Daerah yang baik di daerah tersebut serta perilaku pemerintah dalam
penerapan dan pelaksanaan proses perencanaan dan penganggaran sampai terbentuknya APBD serta bagaimana proses di tiap SKPD dalam merencanakan sampai dengan
pengalokasian anggaran dalam bentuk program dan kegiatan SKPD, khususnya dalam prioritas anggaran. Dari hasil yang diuraikan dapat dikatakan Kabupaten Donggala lebih baik
dibanding Kota Palu sehingga hal ini mempengaruhi hasil yang didapatkan oleh KPPOD.
Dari uraian ini, dapatlah dikatakan bahwa hipotesis pertama yaitu Tata kelola ekonomi daerah yang baik berpengaruh positif terhadap kinerja perekonomian daerah. Hal ini dapat
dibuktikan Kabupaten Donggala yang mempunyai nilai indeks TKED yang lebih baik dari
5 10
15 20
25 30
35 40
D al
am p
e rsen
tahun
Belanja Modal Kab Donggala Belanja Modal Kota Palu
Data kab.donggala tahun 2005 tidak tersedia
Kota Palu juga memiliki indikator perekonomian yang lebih baik dibanding Kota Palu. Hipotesis kedua yaitu tata kelola ekonomi daerah diduga mempengaruhi kinerja
perekonomian daerah. Variabel tata kelola ekonomi daerah yang mempengaruhi perekonomian daerah yaitu indikator kebijakan infrastruktur daerah sub indikator lama
perbaikan infrastruktur listrik yang mempengaruhi PDRB, sub indikator lain dalam infrastruktur yang mempengaruhi kinerja perekonomian yaitu kondisi lampu penerangan
jalan di sekitar usaha responden pada tahun 2009 mempengaruhi pengangguran. Dalam indikator infrastruktur lainnya yang mempengaruhi kinerja perekonomian yaitu rata-rata hari
yang diperlukan untuk memperbaiki infrastruktur yang berada di sekitar wilayah usaha responden yang mengalami kerusakan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya di tahun
2009 air PDAM mempengaruhi kemiskinan. Indikator program pengembangan usaha swasta sub indikator manfaat PPUS dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan
besar mempengaruhi pengangguran, sub indikator lain dalam PPUS yang berpengaruh terhadap pengangguran adalah pelatihan pengajuan kredit bagi UKM.
Hipotesis ketiga yaitu indikator akses lahan, infrastruktur, kapasitas dan integritas bupati, interaksi PEMDA dan pelaku usaha, PPUS, keamanan berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan Perizinan usaha, biaya transaksi berpengaruh negatif terhadap kinerja perekonomian daerah. Dari hasil yang didapatkan ternyata hanya indikator
infrastruktur dan PPUS yang berpengaruh terhadap kinerja perekonomian. Indikator infrastruktur berpengaruh negatif terhadap PDRB dan pengangguran serta berpengaruh
positif terhadap kemiskinan. Adapun indikator PPUS berpengaruh negatif terhadap pengangguran.
Hipotesis keempat yaitu alokasi belanja modal diduga meningkatkan kinerja perekonomian. Peningkatan belanja modal diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah. Hipotesis kelima proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Donggala lebih
baik daripada di Kota Palu. Kabupaten Donggala yang menjalankan proses perencanaan dan penganggaran yang lebih baik dari Kota Palu memiliki indikator perekonomian yang lebih
baik dari Kota Palu.
Implikasi kebijakan dalam proses perencanaan dan penganggaran yang dapat dilakukan bagi PEMDA Kota Palu dalam pengalokasian APBD harus lebih memperhatikan alokasi
belanja modal agar lebih ditingkatkan dari alokasi belanja modal sebelumnya. Peningkatan alokasi belanja modal tersebut diharapkan akan lebih memperhatikan pada program-program
yang berhubungan dengan masyarakat miskin agar penurunan kemiskinan dan pengangguran lebih tinggi.
8. Simpulan dan Saran Simpulan