103
agar pesan yang disampaikan dalam komunikasi itu cepat diterima. Untuk mewujudkan hal itu sangat penting untuk diketahui bagaimanakah konteks situasi tuturnya. Konteks situasi tutur ini meliputi aspek-aspek situasional yang
membantu pemahaman pembaca O2 terhadap tuturan-tuturan atau maskud-maksud kartunis O1. Aspek-aspek situasional yang dimaksud adalah semua latar belakang pengetahuan backgroun of
knowledge yang dipahami oleh kartunis O1 dan pembaca O2 yang meliputi semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dengan tuturan yang bersangkutan Leech, 1993. Aspek-aspek situasional dalam sebuah komunikasi
dibentuk oleh berbagai faktor seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik pembicaraan, peristiwa, bentuk pesanamanat, kode, dan saluran Dardjowidjojo dalam Fatimah, 1988.
Berdasarkan teori diatas, aspek-aspek situasional itu juga dimanfaatkan dalam kartun-kartun editorial untuk menyampaikan pesan atau masud kartunis pada pembaca O2. Bentuk-bentuk komunikasi tertulis dengan
mengekspresikan gambar pada sebuah kartun mengandung kesatuan makna yang terangkum dalam butir-butir penentu linguistik atau lebih dikenal dengan istilah komponen tutur atau aspek-aspek situasi tutur. Aspek-aspek
situasi tutur yang berperan dalam komunikasi lisan dan tulisan sangat berbeda. Aspek-aspek situasi tutur ini merupakan aspek-aspek yang membangun kesatuan makna dalam sebuah wacana tutur kartun. Adapun aspek-aspek
situasi tutur yang berperan dalam kartun-kartun editorial adalah sebagai berikut.
1. Penutur dan Lawan Tutur
a. Penutur, Penulis, atau Kartunis O1
Komunikasi pada kartun editorial adalah komunikasi tertulis atau tidak berjumpa langsung antara penutur dan lawan tutur. Dalam komunikasi tertulis ini yang berperan sebagai penutur O1 adalah kartunis, sedangkan yang
berperan sebagai O2 adalah pembaca atau penikmat kartun. Untuk selanjutnya penulis atau kartunis sebagai penutur O1 dan pembaca O2 sebagai petutur.
Penulis sebagai penutur atau kartunis O1 pada kartun editorial adalah awak redaksi yang menuturkan pesan kepada para pembaca atau penikmat kartun editorial O2. Kartunis O1 yang menghasilkan kartun editorial
pada media-media cetak berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Akan tetapi para kartunis tersebut mempunyai pola dalam mengekspresikan sebuah hasil karya kartunnya, yaitu mengetengahkan peristiwa-
peristiwa pada kehidupan sehari-hari yang sedang hangat terjadi dan dibicarakan banyak orang yang secara umum mengkritik terhadap kejadian-kejadian yang merisaukan banyak orang. Seperti yang disampaikan oleh Jacob Oetama
“kartun editorial adalah kartun yang dijadikan sebagai komentar oleh kartunis, yakni komentar tentang sosok pribadi, kejadian atau permasalahan aktual yang sedang berlangsung, yang sedang menjadi pembicaraan, perhatian, dan
kerisauan orang banyak” Oetama dalam Sudarta, 2000:6.
Para kartunis ini, di dalam menyampaikan suatu permasalahan lebih berpihak kepada kelompok yang merasa dirugikan dan bersifat oposan. Pihak yang dimaksud bisa masyarakat, hingga pemerintah pada kasus tertentu.
Oleh karenanya kartun-kartun yang disampaikan akan menonjol sifat kritisnya meskipun tidak setiap kartun yang diterbitkan bernada kritik.
b. Lawan Tutur, Penikmat, atau Pembaca O2
Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa dalam komunikasi diperlukan adanya penutur dan lawan tutur. Partisipan kartun editorial adalah kartunis dan pembaca. Jika kartunis sebagai penutur O1, maka pembaca atau
penikmat kartun sebagai O2. Dengan demikian antara kartunis dan penikmat kartun memiliki hubungan sebagai komunikator yang memberi pesan dan komunikan yang menerima pesan. Pembaca atau penikmat kartun O2
adalah masyarakat yang beraneka ragam sosiokulturalnya. Ada yang berlatar belakang budaya Jawa, Sunda, Batak, Minang, Dayak, Bali, dan budaya asing Eropa, Amerika, Afrika. Akan tetapi dalam hal ini mayoritas pembaca O2
kartun editorial adalah berlatar belakang bahasa dan budaya timur Indonesia.
2. Konteks Tuturan