Proses Terbentuknya Hukum Adat di Indone

(1)

PENGERTIAN DAN PROSES TERBENTUKNYA

HUKUM ADAT

Kelompok 1: 1. Devina Kara Parinding 1006708762

2. Muhammad Iqbal 1006709494

3. Ficky Faizal

UNIVERSITAS INDONESIA Jakarta, 25 Juni 2012


(2)

BAB I

1.1 Latar Belakang

Hukum adat adalah hukum yang ada sejak dahulu kala. Hukum ini adalah hukum yang tidak tertulis dan ada secara turun temurun. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang pengertian dan proses terbentuknya hukum adat. Yang mana akan diawali dengan pengertian hukum adat secara menyeluruh. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang bersifat memaksa kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan tentang proses terbentuknya hukum adat, yang mana hukum adat mulai ada atau terbentuk sejak jaman dahulu.

1.2 Tujuan

Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai tugas untuk mengisi nilai UTS. Selain itu, dibuatnya makalah ini juga untuk menambah pengetahuan kami tentang Hukum Adat serta proses terbentuknya. Dengan dibuatnya makalah ini, berguna juga untuk bahan belajar mata kuliah Hukum Adat kami.

1.3 Permasalahan

a. Apa itu Hukum Adat?

b. Kapan Proses terbentuknya Hukum Adat?


(3)

PEMBAHASAN

Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yaitu Hadazt, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah mengenal dan menggunakan istilah tersebut.

Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.

Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban, cara hidup yang modern sesorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adat-istiadat yang hidup dan berakar dalam masyarakat.

Pada mulanya, Hukum Adat disebut dengan sebutan Hukum Kebiasaan. Di beberapa peraturan undang – undang disebut hukum kebiasaan dan bukan hukum adat. Kebiasaan adalah segala sesuatu (perbuatan, tingkah laku, perilaku) yang diulang ulang di dalam menghadapi yang sama akan berbuat yang sama untuk waktu yang sama

1. Pengertian Hukum Adat

Terdapat berbagai macam pengertian yang dikemukakan oleh ahli-ahli mengenai Hukum adat. Beberapa diantaranya adalah pengertian Hukum Adat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Soepomo, S.H, Prof. Van Vallenhoven dan Prof. Mr. B Terhaar Bzn.

Menurut Prof. Dr. Soepomo, Hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang tidak melalui badan legislatif, yang meliputi peraturan-peraturan hidup yang ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Menurut Prof. Mr. B Terhaar Bzn, Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat


(4)

dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.

Dan menurut Prof. Van Vallenhoven, Hukum Adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi.

Dari pengertian Hukum Adat oleh ahli-ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis dan yang tidak dibentuk melalui badan legislatif, yang terbentuk dari keputusan-keputusan kepala adat, yang jika dilanggar maka akan dikenakan sanksi. Dengan begitu, hukum Adat adalah hukum yang memaksa.

 Asas-asas Hukum Adat

Hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia, yang bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak asas-asasnya, yaitu:

1. Asas Magis Religius

Asas magis religius adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain. Orang Indonesia pada dasarnya berpikir, merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) kepada tenaga-tenaga gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tubuhan besar dan kecil, benda-benda; dan semua tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan. Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kehidupan, dari keseluruhan hidup jasmaniah dan rokhaniah dan keseimbangan itulah yang senantiasa harus ada dan terjaga, dan apabila terganggu harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu berujud dalam beberapa upacara, pantangan atau ritual.


(5)

Asas Komunal berarti mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Asas komunal merupakan segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual. Dalam masyarakat semacam itu individualitas terdesak ke belakang. Masyarakat, desa, dusun yang senantiasa memegang peranan yang menentukan, yang pertimbangan dan putusannya tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan Desa adalah berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan hormat, dengan hikmat.

3. Asas Contant (Tunai)

Asas contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara contan itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan memang tidak tersangkut patu atau tidak bersebab akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti yuridis berdiri sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contan itu mempunyai arti logis satu sama lain. Contoh yang tepat dalam Hukum Adat tentang suatu perbuatan yang contant adalah: jual-beli lepas, perkawinan jujur, melepaskan hak atas tanah, adopsi dan lain-lain.

4. Asas Konkrit

Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang panjer.

Di dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan atau diberi ujud suatu benda, diberi tanda


(6)

yang kelihatan, baik langsung maupun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis).

Contoh: Panjer dalam maksud akan melakukan perjanjian jual beli atau memindahkan hak atas tanah.

2. Proses Terbentuknya

Proses terbentuknya hukum adat menurut Soerjono Soekanto dibagi menjadi 2 aspek yaitu:

A. Aspek Sosiologi

Pada prinsipnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan manusia lainnya karena manusia adalah makhluk sosial dan miliki naluri. Karena hidup manusia membutuhkan manusia lainnya maka setiap manusia akan berinteraksi dengan manusia lainnya, dari interaksi tersebut melahirkan pengalaman. Dari pengalaman ini akan dapat didapati sistem nilai yang dapat dianggap sebagai hal yang baik dan hal yang buruk. Dari Sistem nilai ini akan melahirkan suatu pola pikir / asumsi yang akan menimbulkan suatu sikap yaitu kecendrungan untuk berbuat atau tidak berbuat. Bila sikap ini telah mengarah kecendrungan untuk berbuat maka akan timbulah perilaku.

Interaksi – pengalaman – nilai – pola berpikir – sikap – perilaku – kebiasaan

 Kumpulan prilaku-prilaku yang terus berulang-ulang dapat dilahirkan / diabstraksikan menjadi norma yaitu suatu pedoman prilaku untuk bertindak. Norma-norma tersebut dapat dibagi menjadi

a. Norma Pribadi yaitu kepercayaan dan kesusilaan

b. Norma Antar Pribadi yaitu kesopanan dan hukum (sanksinya memaksa)

B. Aspek Yuridis

Aspek ini dilihat dari tingkat sanksinya. Bentuk konkret dari wujud prilaku adalah cara yang seragam dari sekumpulan manusia misalnya cara berjual beli, cara bagi waris, cara menikah, dsb. Bila ada penyimpangan ada sanksi namum lemah. Dari cara tersebut akan terciptanya suatu kebiasaan, dan sanksi atas penyimpangannya agak kuat dibanding sanksi cara/usage. Kebiasaan yang


(7)

berulang-ulang dalam masyarakat akan lahir standar kelakuan atau mores dimana sanksi atas penyimpangan sudah menjadi kuat. Dalam perkembangan standar kelakuan atau mores ini akan melahirkan Custom yang terdiri dari Adat Istiadat dan Hukum Adat, dan sanksinya pun sudah kuat sekali.

Interaksi – pengalaman – pola berpikir - nilai – sikap – perilaku – kebiasaan

 Unsur-unsur Hukum Adat :

Unsur-unsur hukum adat terdiri dari 2 unsur yaitu: 1. Unsur Adat Istiadat dalam masyarakat adat Contoh: Akibat Perkawinan

2. Unsur Agama

Contoh: Syarat Perkawinan.

 Teori-teori yang menjelaskan asal kedua unsur tersebut adalah : 1. Teori Receptio in Complexu (van den Berg)

Hukum suatu golongan masyarakat itu merupakan resepsi / penerimaan secara bulat dari agama yang dianut oleh golongan tersebut. Latar belakang terbentuknya teori ini adalah demi kepentingan Hindia – Belanda di Aceh yang sangat berperan adalah para ulama/Tengku sehingga apa yang dikatakan oleh ulama tersebut berdasarkan agamanya dijadikan hukum oleh masyarakat maka yang harus pertama kali ditundukkan adalah ulamanya terlebih dahulu.

2. Teori Receptio oleh Snouck Hurgronye dan Ter Haar. Hukum agama adalah bagian dari Hukum Adat. Apabila antara hukum Adat dan hukum Agama bertentangan, maka tergantung pada agama yang dipeluk masyarakat adat tersebut.

3. Teori Receptio A Contrario oleh Hazairin. Hukum Adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam pergaulan hidup masyarakat jika hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.


(8)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Jadi, hukum adat menurut pandangan para tokoh walaupun berbeda, tetapi maksud para tokoh seperti Van Vollenhoven, Ter Haar itu sama. Mereka memandang hukum adat itu sebagai tingkah laku manusia yang mempunyai sanksi dalam keputusan - keputusan yang bertujuan untuk mendapatkan keadilan dalam tingkah laku manusia yang harus ditemukan dan diberlakukan dalam hukum adat Indonesia dan hukum adat pun mempunyai kaitan dengan hukum agama, walaupun hukum agama tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap hukum adat


(9)

karena terdapat perbedaan antara hukum adat dan hukum agama. Masyarakat hukum adat itu diakui oleh UUD 1945 dan masyarakat hukum adat ada sebelum Negara ini berdiri,

B. Saran

Walaupun hukum agama tidak berpengaruh terhadap hukum adat, tetapi kita harus seimbang dalam menjalankan keduanya begitupun dengan hukum barat karena hukum Indonesia saat ini memakai ketiga hukum itu sesuai dengan pasal 11 aturan peralihan UUD 1945. Maka ketiga hukum itu harus kita jaga dan pelihara agar tidak terjadi ketidakadilan dalam pelakanaannya oleh hakim. Selain itu, jika hakim tidak dapat memecahkan masalah karena tidak ada UU yang mengaturnya, maka hakim wajib menggali dan menemukannya dalam hukum adat.


(10)

DAFTAR PUSTAKA

1. C.Van Vollenhoven. 1987. Penentuan Hukum Adat. Jakarta; Djambatan.

2. Prof. Sudiyat Iman, S.H. 1991. Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta; Liberty.


(1)

Asas Komunal berarti mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Asas komunal merupakan segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual. Dalam masyarakat semacam itu individualitas terdesak ke belakang. Masyarakat, desa, dusun yang senantiasa memegang peranan yang menentukan, yang pertimbangan dan putusannya tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan Desa adalah berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan hormat, dengan hikmat.

3. Asas Contant (Tunai)

Asas contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara contan itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan memang tidak tersangkut patu atau tidak bersebab akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti yuridis berdiri sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contan itu mempunyai arti logis satu sama lain. Contoh yang tepat dalam Hukum Adat tentang suatu perbuatan yang contant adalah: jual-beli lepas, perkawinan jujur, melepaskan hak atas tanah, adopsi dan lain-lain.

4. Asas Konkrit

Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang panjer.

Di dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan atau diberi ujud suatu benda, diberi tanda


(2)

yang kelihatan, baik langsung maupun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis).

Contoh: Panjer dalam maksud akan melakukan perjanjian jual beli atau memindahkan hak atas tanah.

2. Proses Terbentuknya

Proses terbentuknya hukum adat menurut Soerjono Soekanto dibagi menjadi 2 aspek yaitu:

A. Aspek Sosiologi

Pada prinsipnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan manusia lainnya karena manusia adalah makhluk sosial dan miliki naluri. Karena hidup manusia membutuhkan manusia lainnya maka setiap manusia akan berinteraksi dengan manusia lainnya, dari interaksi tersebut melahirkan pengalaman. Dari pengalaman ini akan dapat didapati sistem nilai yang dapat dianggap sebagai hal yang baik dan hal yang buruk. Dari Sistem nilai ini akan melahirkan suatu pola pikir / asumsi yang akan menimbulkan suatu sikap yaitu kecendrungan untuk berbuat atau tidak berbuat. Bila sikap ini telah mengarah kecendrungan untuk berbuat maka akan timbulah perilaku.

Interaksi – pengalaman – nilai – pola berpikir – sikap – perilaku – kebiasaan

 Kumpulan prilaku-prilaku yang terus berulang-ulang dapat dilahirkan / diabstraksikan menjadi norma yaitu suatu pedoman prilaku untuk bertindak. Norma-norma tersebut dapat dibagi menjadi

a. Norma Pribadi yaitu kepercayaan dan kesusilaan

b. Norma Antar Pribadi yaitu kesopanan dan hukum (sanksinya memaksa)

B. Aspek Yuridis

Aspek ini dilihat dari tingkat sanksinya. Bentuk konkret dari wujud prilaku adalah cara yang seragam dari sekumpulan manusia misalnya cara berjual beli, cara bagi waris, cara menikah, dsb. Bila ada penyimpangan ada sanksi namum lemah. Dari cara tersebut akan terciptanya suatu kebiasaan, dan sanksi atas penyimpangannya agak kuat dibanding sanksi cara/usage. Kebiasaan yang


(3)

berulang-ulang dalam masyarakat akan lahir standar kelakuan atau mores dimana sanksi atas penyimpangan sudah menjadi kuat. Dalam perkembangan standar kelakuan atau mores ini akan melahirkan Custom yang terdiri dari Adat Istiadat dan Hukum Adat, dan sanksinya pun sudah kuat sekali.

Interaksi – pengalaman – pola berpikir - nilai – sikap – perilaku – kebiasaan  Unsur-unsur Hukum Adat :

Unsur-unsur hukum adat terdiri dari 2 unsur yaitu: 1. Unsur Adat Istiadat dalam masyarakat adat Contoh: Akibat Perkawinan

2. Unsur Agama

Contoh: Syarat Perkawinan.

 Teori-teori yang menjelaskan asal kedua unsur tersebut adalah : 1. Teori Receptio in Complexu (van den Berg)

Hukum suatu golongan masyarakat itu merupakan resepsi / penerimaan secara bulat dari agama yang dianut oleh golongan tersebut. Latar belakang terbentuknya teori ini adalah demi kepentingan Hindia – Belanda di Aceh yang sangat berperan adalah para ulama/Tengku sehingga apa yang dikatakan oleh ulama tersebut berdasarkan agamanya dijadikan hukum oleh masyarakat maka yang harus pertama kali ditundukkan adalah ulamanya terlebih dahulu.

2. Teori Receptio oleh Snouck Hurgronye dan Ter Haar. Hukum agama adalah bagian dari Hukum Adat. Apabila antara hukum Adat dan hukum Agama bertentangan, maka tergantung pada agama yang dipeluk masyarakat adat tersebut.

3. Teori Receptio A Contrario oleh Hazairin. Hukum Adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam pergaulan hidup masyarakat jika hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.


(4)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Jadi, hukum adat menurut pandangan para tokoh walaupun berbeda, tetapi maksud para tokoh seperti Van Vollenhoven, Ter Haar itu sama. Mereka memandang hukum adat itu sebagai tingkah laku manusia yang mempunyai sanksi dalam keputusan - keputusan yang bertujuan untuk mendapatkan keadilan dalam tingkah laku manusia yang harus ditemukan dan diberlakukan dalam hukum adat Indonesia dan hukum adat pun mempunyai kaitan dengan hukum agama, walaupun hukum agama tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap hukum adat


(5)

karena terdapat perbedaan antara hukum adat dan hukum agama. Masyarakat hukum adat itu diakui oleh UUD 1945 dan masyarakat hukum adat ada sebelum Negara ini berdiri,

B. Saran

Walaupun hukum agama tidak berpengaruh terhadap hukum adat, tetapi kita harus seimbang dalam menjalankan keduanya begitupun dengan hukum barat karena hukum Indonesia saat ini memakai ketiga hukum itu sesuai dengan pasal 11 aturan peralihan UUD 1945. Maka ketiga hukum itu harus kita jaga dan pelihara agar tidak terjadi ketidakadilan dalam pelakanaannya oleh hakim. Selain itu, jika hakim tidak dapat memecahkan masalah karena tidak ada UU yang mengaturnya, maka hakim wajib menggali dan menemukannya dalam hukum adat.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. C.Van Vollenhoven. 1987. Penentuan Hukum Adat. Jakarta; Djambatan.

2. Prof. Sudiyat Iman, S.H. 1991. Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta; Liberty.