Contingent Valuation Method Contoh Agenda TOT OK

74 1970-an ketika Pemerintah Amerika Serikat mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumberdaya alam. Pendekatan ini disebut “ contingent”tergantung kondisi karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung dari hipotesis yang dibangun. Kondisi ini misalnya saja, seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya dsb. Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama yaitu dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua adalah dengan melalui teknik survey. Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan melalui simulasi komputer sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit. Pendekatan CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui pertama, keinginan membayar willingness to pay atau WTP dari sekelompok masyarakat, misalnya saja terhadap perbaikan kualitas lingkungan air, udara dsb dan yang kedua adalah keinginan menerima willingness to accept atau WTA dari kerusakan suatu lingkungan perairan. Di dalam operasionalnya untuk melakukan pendekatan CVM dilakukan lima tahapan kegiatan atau proses. Tahapan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: Tahap satu : membuat hipotesis pasar Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti biasanya harus terlebih dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. Misalnya saja bahwa pemerintah ingin memperbaiki kondisi pantai yang sudah tercemar. Dalam hal ini kita bisa membuat suatu kuesioner yang berisi informasi lengkap mengenai bagaimana kondisi pantai yang bagus misalnya saja dengan menunjukkan foto pantai yang tercemar dan tidak tercemar, bagaimana pemerintah akan memperoleh dana apakah dengan pajak, pembayaran langsung, dsb. Kuesioner ini bisa terlebih dahulu diuji pada kelompok kecil untuk mengetahui reaksi dari proyek yang akan dilakukan sebelum proyek tersebut betul-betul dilaksanakan. Tahap kedua : Mendapatkan nilai lelang bids Tahap berikutnya di dalam melakukan CVM adalah memperoleh nilai lelang. Ini dilakukan dengan melakukan survey baik melalui survey langsung dengan kuesioner, wawancara melalui telepon maupun lewat surat. Dari ketiga cara tersebut di atas survey langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari survey ini adalah untuk memperoleh nilai maksimum keinginan membayar WTP dari responden terhadap suatu proyek misalnya perbaikan lingkungan. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan teknik: • Pertanyaan berstruktur. Ini dilakukan dengan membuat kuesioner yang berstruktur sehingga akan diperoleh nilai WTP yang maksimum • Pertanyaan terbuka. Responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai moneter rupiah yang ingin dibayar untuk suatu proyek perbaikan lingkungan. • Model referendum. Responden diberikan suatu nilai rupiah, kemudian kepada mereka diberi pertanyaan setuju atau tidak. Tahap ketiga : Menghitung rataan WTP dan WTA Setelah survey dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan dari WTP dan WTA dari setiap individu. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang bid yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai “mean” rataan dan nilai “median” nilai tengah. Pada tahap ini harus diperhatikan kemungkinan timbulnya “outlier” nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-rata. Jadi misalnya, dari 100 responden, 99 responden hanya memberikan nilai maksimum lelang untuk WTP sebesar Rp 1 juta, sementara responden ke 100, misalnya memberikan nilai maksimum WTP sebesar Rp 10 juta. Maka didalam perhitungan statistika, nilai ini disebut sebagai outlier dan biasanya tidak dimasukkan kedalam perhitungan. Perlu juga diperhatikan bahwa perhitungan nilai rataan WTP dan WTA lebih mudah dilakukan untuk survey yang menggunakan pertanyaan yang berstruktur daripada pertanyaan yang model referendum Ya atau Tidak. 75 Tahap keempat : Memperkirakan kurva lelang bid curve Kurva lelang atau bid curve diperoleh dengan, misalnya, meregresikan WTPWTA sebagai variabel tidak bebas dependent variable dengan beberapa variabel bebas. Misalnya saja kita ingin memformulasikan bahwa WTP dari seorang individu akan dipengaruhi oleh pendapatan I, pendidikan E, umur A dan kualitas lingkungan Q, maka secara matematis bisa dituliskan sebagai: W i = f I, E, A, Q Persamaan di atas secara lebih eksplisit bisa dituliskan dalam fungsi logaritmik sehingga bisa diestimasi dengan metode regresi biasa, misalnya: lnW i = a + a 1 lnI i + a 2 lnE i + a 3 lnA i + a 4 lnQ i + e Dimana i menunjukkan indeks responden, W adalah variabel WTP. Sedangkan variabel lainnya sama dengan definisi di atas. Tahap kelima : Mengagregatkan data Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi dari data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga di dalam populasi N. Contingent Valuation Method meskipun diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk valuasi, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias. Bias ini terjadi jika timbul nilai yang overstate maupun understate secara sistematis dari nilai yang sebenarnya. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal yang utama yaitu : • Bias yang ditimbulkan dari strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika kita melakukan wawancara dan dalam kuesioner kita nyatakan bahwa untuk perbaikan lingkungan responden akan dipungut fee, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberi nilai understate dari nilai fee tersebut. Sebaliknya, jika kita nyatakan bahwa wawancara semata-mata hanya hipotesis belaka, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai overstate dari nilai yang sebenarnya. • Bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian design bias. Bias ini bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya saja jika responden ditawari bahwa untuk melindungi kawasan wisata alam dari pencemaran limbah oleh pengunjung, maka karcis masuk harus dinaikkan. Tentu saja responden akan memberikan nilai WTP yang lebih rendah daripada misalnya alat pembayaran dilakukan dengan cara lain misalnya melalui yayasan, trust fund, dsb. Teknik pengukuran berdasarkan bukti imputed willingness to pay Adakalanya penilaian ekonomi sumberdaya dilakukan dengan melalui penilai ex-ante, atau penilaian berdasarkan bukti yang sudah ada. Misalnya bukti kerusakan ekosistem berupa kehilangan mata pencaharian penduduk pesisir atau lainnya. Pendekatan ini sering disebut sebagai cost-based valuation karena pengukuran didasarkan atas biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat atas kerusakan lingkungan. Beberapa teknik yang umum digunakan dalam kategori ini adalah Replacement cost method, Shadow project, Preventive expenditure dan Relocation cost.

a. Replacement Cost

Pendekatan replacement cost adalah pendekatan yang dibangun berdasarkan pemikiran bahwa biaya yang dikeluarkan untuk mengganti aset produktif yang rusak akibat dampak 76 lingkungan yang kurang baik dapat digunakan sebagai perkiraan minimum dari manfaat yang diperoleh untuk memelihara maupun memperbaiki lingkungan. Kelebihan pendekatan ini antara lain bisa digunakan untuk menilai manfaat kegunaan tidak langsung indirect use benefit pada kondisi dimana data biofisik sulit diperoleh. Namun demikian pendekatan ini bisa saja menimbulkan overstate penilaian yang berlebih atas willingness to pay jika yang tersedia hanya indikator-indikator fisik semata.

b. Shadow Project

Shadow project pada dasarnya metode yang sama dengan replacement cost. Hanya dalam pendekatan ini investasi di bidang lain digunakan sebagai acuan atau tolok ukur dari turunnya produktifitas akibat kerusakan lingkungan. Misalnya jika produksi perikanan turun akibat man- grove yang dikonversi menjadi kebutuhan lain, maka pada prinsipnya investasi alternatif misalnya dengan membuka tambak, bisa menggantikan untuk mengukur produksi yang turun tersebut.

c. Preventive Expenditure

Preventive Expenditure atau sering juga disebut Defensive Expenditure secara umum merujuk pada metode yang menggunakan pengukuran biaya yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya degradasi lingkungan. Metode ini berguna untuk mengukur indirect use value dimana teknologi pencegahan kerusakan lingkungan sudah tersedia.

d. Relocation Cost

Relocation Cost sebenarnya merupakan variasi lain dari teknik replacement cost. Metode ini dibangun dengan pemikiran bahwa individu yang merasa terancam dengan kondisi lingkungan yang memburuk akan bermigrasi relokasi ke tempat lain. Biaya relokasi ini bisa menjadi acuan untuk mengukur hilangnya manfaat benefit akibat menurunnya kualitas lingkungan. Pendekatan ini berguna bagi penilaian yang melibatkan relokasi masal seperti pembangunan waduk. Namun kelemahan pendekatan ini antara lain bisa menimbulkan understate karena bisa saja manfaat yang diperoleh di lokasi baru jauh lebih rendah dari lokasi asal.

e. Benefit Transfer

Masalah utama yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia dalam menilai dampak lingkungan adalah sedikitnya data yang tersedia dan biaya untuk melakukan penelitian secara komprehensif. Menghadapi permasalahan ini salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan menilai perkiraan benefit dari tempat lain dimana sumberdaya tersedia kemudian benefit tersebut di transfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan. Metode ini kemudian disebut dengan metode benefit transfer. Secara prinsip diakui pendekatan ini perlu dilakukan secara hati-hati karena banyaknya kelemahan yang terkandung di dalamnya. Ini dikarenakan belum adanya protokol kesepakatan untuk menggunakan metode ini, tidak seperti halnya metode CVM yang telah diadopsi dengan protokol yang sama. Berbagai pertimbangan perlu dipikirkan secara matang sebelum teknik ini dilaksanakan. Pertimbangan ini menyangkut biaya dan manfaat dengan mengadopsi teknik benefit transfer tersebut serta desain dan koleksi data untuk keperluan studi ditempat lain data asal. Krupnick 1993 menulis secara lebih detail kapan dan dalam situasi yang bagaimana ben- efit transfer bisa dilakukan dan kapan tidak. Ia menyebutkan misalnya, benefit transfer sulit dilakukan untuk sumberdaya alam wetland seperti mangrove dan sejenisnya karena nilai yang diperoleh akan sangat tergantung pada tempat dan karakteristik populasi. Krupnick menyatakan bahwa benefit transfer bisa saja dilakukan jika sumberdaya alam tersebut memiliki ekosistem yang sama baik dari segi tempat maupun karakteristik pasar market character- istic.