Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Terhadap Paradigma Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) Tahun 2014

(1)

PERSEPSI MAHASISWA FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TERHADAP

PARADIGMA ASUHAN KEFARMASIAN

(PHARMACEUTICAL CARE) TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH: NURUL AZIMAH

NIM 111524095

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERSEPSI MAHASISWA FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TERHADAP

PARADIGMA ASUHAN KEFARMASIAN

(PHARMACEUTICAL CARE) TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi Pada Fakultas Farmasi

Universitas SumateraUtara OLEH:

NURUL AZIMAH NIM 111524095

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERSEPSI MAHASISWA FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TERHADAP

PARADIGMA ASUHAN KEFARMASIAN

(PHARMACEUTICAL CARE) TAHUN 2014

OLEH: NURUL AZIMAH

NIM 111524095

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 5 Oktober 2015

Disetujui oleh:

Pembimbing I, PanitiaPenguji,

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. Dr.Wiryanto, M.Si., Apt.

NIP 197806032005012004 NIP 195110251980021001

Pembimbing II, Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt.

NIP 197806032005012004

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si.,M.Sc., Apt. Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt.

NIP 197803142005011002 NIP 195208241983031001

Poppy Anjelisa Z.Hasibuan, M.Si., Apt. NIP 197506102005012003

Medan, Oktober 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pejabat Dekan

Dr. Masfria, M.S., Apt. NIP 195707231986012001


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan

skripsi yang berjudul Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara Terhadap Paradigma Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) Tahun 2014. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Pejabat Dekan Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt., dan Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Wiryanto, M.Si., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., dan Ibu Dr. Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini, dan Ibu T. Ismanelly Hanum, S.Si., M.Si., Apt., selaku dosen penasehat akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dengan setulus hati dan penghargaan yang sebesar-besarnya untuk kedua orang tua, Ayahanda tercinta Ibrahim Daud dan Ibunda tersayang Siti Ramlah Husen, yang tiada pernah


(5)

v

ada hentinya berdo’a dan berkorban dengan tulus ikhlas bagi kesuksesan penulis, juga kepada kakak, abang, Teh Cut, dan kak heri yang selalu setia memberikan doa, dukungan dan semangat kepada penulis dari awal sampai skripsi ini selesai.

Ucapan terima kasih penulis juga untuk kak Niar, kak Wilda dan semua teman-teman mahasiswa Farmasi yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan, kritik dan saran kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi ini sampai selesai.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi kontribusi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi.

Medan, Oktober 2015 Penulis,

Nurul Azimah NIM 111524095


(6)

vi

PERSEPSI MAHASISWA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TERHADAP PARADIGMA ASUHAN

KEFARMASIAN (PHARMACEUTICAL CARE) TAHUN 2014

ABSTRAK

Pendahuluan: Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan asuhan

kefarmasian (pharmaceutical care) adalah suatu pelayanan langsung dan

bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian.

Metode: Jenis penelitian adalah non eksperimental dengan menggunakan metode survei. Pengumpulan data melalui kuesioner pada bulan Maret 2014 - Mei 2014, pengambilan sampel sebanyak 144 responden yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara jurusan Farmasi Klinis Komunitas semester 6, 8 dan 10. Persepsi mahasiswa terhadap paradigma asuhan kefarmasian ditinjau dari 4 faktor (usia, jenis kelamin, semester, dan Indeks Prestasi Kumulatif), yang dianalisis secara cross sectional. Untuk membandingkan tiap-tiap variabel dengan persepsi mahasiswa terhadap paradigma asuhan kefarmasian dilakukan analisis dengan uji Chi-square.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase responden dengan persepsi positif terhadap asuhan kefarmasian adalah 94,4% dan hanya 5,6% mahasiswa yang memiliki persepsi negatif. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari semua faktor yang di uji terhadap persepsi mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value yang lebih besar dari 0,05.

Kesimpulan: Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa mayoritas mahasiswa Fakultas Farmasi USU memiliki persepsi yang positif terhadap paradigma asuhan kefarmasian. Faktor usia, jenis kelamin, semester, dan Indeks Prestasi Kumulatif tidak berpengaruh terhadap persepsi mahasiswa.


(7)

vii

PHARMACY STUDENT PERCEPTION OF PHARMACEUTICAL CARE PARADIGM IN

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA 2014

ABSTRACT

Introduction: Based of Minister Health Regulation No. 35 of 2014 on pharmacist standard service in pharmacy, is a pharmaceutical care that is a direct service and responsible to the patient on pharmaceutical preparation with the aim to achieve and improve the quality of patient life.

Objective: The objective of this study is aims to determine the perception of students Pharmacy faculty, University of North Sumatra to the paradigm of pharmaceutical care.

Method: This type of research is non-experimental by using survey method. The data collection through questionnaires in March 2014 to May 2014, taking a sample of 144 respondents consisting of students of the Faculty of Pharmacy, University of North Sumatra, Clinical Pharmacy Department in semester 6, 8 and 10. The perception of students towards the paradigm of pharmaceutical care is determine with several variables (age, type sex, semester, and grade point average), which was analyzed by cross sectional. To compare each variables of students perception on pharmaceutical care paradigm is analyzed by Chi-square test.

Result: The results showed that the percentage of respondents with positive perceptions of pharmaceutical care was 94.4% and only 5.6% of students who have a negative perception. There was no significant effect of all factors tested against the perceptions of students. This is indicated by a p-value greater than 0.05.

Conclusion: The conclusion is the majority of students in of Pharmacy faculty USU have a positive perception of the pharmaceutical care paradigm. Age, gender, semester, and GPA had no effect on student perceptions.


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 5

1.6 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Persepsi ... 7

2.2 Pendidikan Tinggi Farmasi ... 9

2.3 Apoteker ... 10


(9)

ix

2.5 Perkembangan Bidang Kefarmasian ... 14

2.6 Aplikasi Asuhan Kefarmasian ... 16

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Jenis Penelitian ... 20

3.2 Sumber Data Penelitian ... 20

3.2.1 Populasi ... 20

3.2.2 Sampel ... 21

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

3.4 Teknik Pengambilan Data ... 22

3.4.1 Uji Validitas ... 22

3.4.2 Uji Reliabilitas ... 23

3.5 Definisi Operasional ... 23

3.6 Instrumen Penelitian ... 24

3.6.1 Kuesioner Data Demografi Responden ... 24

3.6.2 Kuesioner Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi USU Terhadap Paradigma Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) ... 24

3.7 Prosedur Penelitian ... 26

3.8 Analisis Data ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 27

4.1.1 Uji Validitas ... 27

4.1.2 Uji Reliabilitas ... 28


(10)

x

4.3 Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Terhadap Paradigma Asuhan

Kefarmasian ... 30

4.4 Pengaruh Faktor Perbedaan Usia, Jenis Kelamin, Semester, dan IPK Terhadap Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi USU ... 32

4.4.1 Faktor Usia ... 32

4.4.2 Faktor Jenis Kelamin ... 33

4.4.3 Faktor Semester ... 35

4.4.4 Faktor IPK ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil Uji validitas Kuesioner ... 27 4.2 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner ... 28

4.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan

Karakteristik Responden ... 29

4.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Persepsi Mahasiswa

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Terhadap Paradigma Asuhan Kefarmasian ... 31

4.5 Pengaruh Faktor Perbedaan Usia Terhadap Persepsi

Mahasiswa Fakultas Farmasi USU ... 33

4.6 Pengaruh Faktor Jenis Kelamin Terhadap Persepsi

Mahasiswa Fakultas Farmasi USU ... 34

4.7 Pengaruh Faktor Perbedaan Semester Terhadap Persepsi

Mahasiswa Fakultas Farmasi USU ... 35 4.8 Pengaruh Faktor IPK Terhadap Persepsi Mahasiswa Fakultas


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Skema Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat ... 4

2.1 Proses Persepsi ... 9

2.2 Proses Asuhan Kefarmasian ... 14

3.1 Skema Prosedur Penelitian ... 26

4.1 Diagram Distribusi Persentase Berdasarkan Karakteristik Responden ... 29

4.2 Distribusi Persentase Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Terhadap Paradigma Asuhan Kefarmasian ... 31

4.3 Diagram Perbandingan Persepsi Positif dan Negatif Berdasarkan Faktor Perbedaan Usia ... 33

4.4 Diagram Perbandingan Persepsi Positif dan Negatif Berdasarkan Faktor Jenis Kelamin ... 34

4.5 Diagram Perbandingan Persepsi Positif dan Negatif Berdasarkan Faktor Perbedaan Semester ... 36

4.6 Diagram Perbandingan Persepsi Positif dan Negatif Berdasarkan Faktor IPK ... 37


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 46

2 Data Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas kuesioner ... 48

3 Data Demografi Responden ... 54

4 Hasil Uji Perbandingan Persepsi Berdasarkan Perbedaan Demografi ... 56

5 Tabel r Statistik ... 58

6 Contoh Menghitung Validitas Secara Manual ... 59


(14)

vi

PERSEPSI MAHASISWA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TERHADAP PARADIGMA ASUHAN

KEFARMASIAN (PHARMACEUTICAL CARE) TAHUN 2014

ABSTRAK

Pendahuluan: Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan asuhan

kefarmasian (pharmaceutical care) adalah suatu pelayanan langsung dan

bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian.

Metode: Jenis penelitian adalah non eksperimental dengan menggunakan metode survei. Pengumpulan data melalui kuesioner pada bulan Maret 2014 - Mei 2014, pengambilan sampel sebanyak 144 responden yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara jurusan Farmasi Klinis Komunitas semester 6, 8 dan 10. Persepsi mahasiswa terhadap paradigma asuhan kefarmasian ditinjau dari 4 faktor (usia, jenis kelamin, semester, dan Indeks Prestasi Kumulatif), yang dianalisis secara cross sectional. Untuk membandingkan tiap-tiap variabel dengan persepsi mahasiswa terhadap paradigma asuhan kefarmasian dilakukan analisis dengan uji Chi-square.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase responden dengan persepsi positif terhadap asuhan kefarmasian adalah 94,4% dan hanya 5,6% mahasiswa yang memiliki persepsi negatif. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari semua faktor yang di uji terhadap persepsi mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value yang lebih besar dari 0,05.

Kesimpulan: Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa mayoritas mahasiswa Fakultas Farmasi USU memiliki persepsi yang positif terhadap paradigma asuhan kefarmasian. Faktor usia, jenis kelamin, semester, dan Indeks Prestasi Kumulatif tidak berpengaruh terhadap persepsi mahasiswa.


(15)

vii

PHARMACY STUDENT PERCEPTION OF PHARMACEUTICAL CARE PARADIGM IN

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA 2014

ABSTRACT

Introduction: Based of Minister Health Regulation No. 35 of 2014 on pharmacist standard service in pharmacy, is a pharmaceutical care that is a direct service and responsible to the patient on pharmaceutical preparation with the aim to achieve and improve the quality of patient life.

Objective: The objective of this study is aims to determine the perception of students Pharmacy faculty, University of North Sumatra to the paradigm of pharmaceutical care.

Method: This type of research is non-experimental by using survey method. The data collection through questionnaires in March 2014 to May 2014, taking a sample of 144 respondents consisting of students of the Faculty of Pharmacy, University of North Sumatra, Clinical Pharmacy Department in semester 6, 8 and 10. The perception of students towards the paradigm of pharmaceutical care is determine with several variables (age, type sex, semester, and grade point average), which was analyzed by cross sectional. To compare each variables of students perception on pharmaceutical care paradigm is analyzed by Chi-square test.

Result: The results showed that the percentage of respondents with positive perceptions of pharmaceutical care was 94.4% and only 5.6% of students who have a negative perception. There was no significant effect of all factors tested against the perceptions of students. This is indicated by a p-value greater than 0.05.

Conclusion: The conclusion is the majority of students in of Pharmacy faculty USU have a positive perception of the pharmaceutical care paradigm. Age, gender, semester, and GPA had no effect on student perceptions.


(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan asuhan

kefarmasian (pharmaceutical care) adalah suatu pelayanan langsung dan

bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, yang dimaksud dengan asuhan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat.

Apoteker merupakan tenaga kesehatan yang tepat dalam memberikan informasi kepada langganan pemakai obat tanpa resep maupun dengan resep. Informasi yang diberikan berdasarkan pengalaman dan penyakit yang diderita pemakai obat. Oleh karena itu apoteker harus menyadari, agar nasihatnya dapat efisien dan bertanggung jawab maka diperlukan latihan yang lebih luas dalam farmakologi dan kesehatan masyarakat (Anief, 2007).Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Menkes, RI., 2014).

Apoteker saat ini menyadari bahwa praktik kefarmasian telah berkembang selama bertahun-tahun sehingga tidak hanya mencakup penyiapan, peracikan, dan penyerahan obat kepada pasien, tetapi juga interaksi dengan pasien dan penyedia


(17)

2

layanan kesehatan lain di seluruh penyediaan asuhan kefarmasian. Pharmacist Practice Activity Classification (PPAC) yang disusun pada tahun1998 oleh

American Pharmaceutical Association menguraikan kegiatan apoteker, yang mencakup berbagai tugas yang melibatkan interaksi pasien, mendidik pasien, menyediakan informasi baik tertulis atau tidak tertulis, berdiskusi, mendemonstrasikan sesuatu, berhadapan langsung dengan pasien, dan melaksanakan konseling pasien (Rantucci, 2009).

Sebagai konsekuensi perubahan orientasi asuhan kefarmasian yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait obat (drug related problems). Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai dengan standar yang ada untuk menghindari terjadinya kesalahan pengobatan (Menkes, RI., 2014).

Menurut Trisnaningsih (2011), tumbuh kembangnya suatu organisasi banyak ditentukan oleh sumber daya manusianya yang berkualitas. Dengan demikian sumber daya manusia harus diperhatikan dengan baik termasuk faktor-faktor kompensasinya yang diharapkan bisa meningkatkan produktivitas. Kontribusi perguruan tinggi dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah sangat signifikan.


(18)

3

Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan manusia-manusia terdidik yang memiliki derajat kualitas tertentu. Dengan aktivitas pendidikan dan pengajaran, penelitian serta pengabdian masyarakat diharapkan menghasilkan berbagai jenis tenaga ahli yang memiliki kesadaran intelektual dan kemampuan profesional (Trisnaningsih, 2011).

Fakultas Farmasi diperlukan untuk memperluas program yang memberi latar belakang penuh bagi calon apoteker dalam bidang farmakoterapi dan toksikologi obat. Apoteker harus pula menyadari sepenuhnya bahwa nasihat pada konsumen mengenai obat baik dengan resep maupun tanpa resep harus diperhatikan dan apoteker harus memberi informasi mengenai risiko penggunaan obat tanpa pengawasan dokter (Anief, 2007). Mahasiswa Farmasi harus dididik dalam memegang tanggung jawab mengelola terapi obat sehingga mereka dapat memelihara dan mengembangkan posisinya dalam dunia kesehatan dan untuk itu harus ada kompensasi atas peran mereka dalam asuhan kefarmasian.

Persepsi merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima pancaindra (hal ini dinamakan sensasi), kemudian stimulus diantar ke otak dimana ia didekode serta diartikan dan selanjutnya mengakibatkan pengalaman yang disadari. Ada yang mengatakan bahwa persepsi merupakan stimulus yang ditangkap oleh pancaindra individu, lalu diorganisasikan dan kemudian diinterpretasikan, sehingga individu menyadari dan mengerti apa yang diindra itu, ada yang dengan singkat mengatakan: persepsi adalah memberikan makna pada stimulus indrawi (Maramis, 2006).Berdasarkan definisi persepsi diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi setiap orang atas suatu obyek atau peristiwa berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh dua faktor, yaitu


(19)

4

faktor dalam diri orang tersebut (aspek kognitif) dan faktor dunia luar (aspek stimulus visual). Persepsi seseorang dipengaruhi objek yang diterima panca indra orang tersebut dan oleh cara orang tersebut “menterjemahkan” objek tersebut (Sari, 2012).Begitu juga dengan persepsi mahasiswa akan mempengaruhi perilaku apoteker dimasa depan.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian.

1.2Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengevaluasi persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian

(pharmaceutical care) tahun 2014. Variabel terikat (dependent) adalah faktor yang dapat berubah karena perlakuan, sedangkan variabel bebas (independent) adalah faktor yang tidak terpengaruh oleh perlakuan atau faktor yang dapat mempengaruhi (Menkes, RI., 2012). Dalam hal ini persepsi mahasiswa merupakan variabel terikat. Variabel bebas dibagi menjadi empat variabel yaitu usia, jenis kelamin, semester, dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).

Adapun selengkapnya mengenai gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Skema Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat

Variabel Bebas:

1. Usia

2. Jenis kelamin 3. Semester

4. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)

Variabel Terikat:


(20)

5

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. apakah mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara memiliki

persepsi positif terhadap paradigma asuhan kefarmasian?

b. apakah faktor usia, jenis kelamin, semester dan IPK mempengaruhi persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian?

1.4Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara memiliki persepsi yang positif terhadap paradigma asuhan kefarmasian.

b. faktor usia, jenis kelamin, semester dan IPK mempengaruhi persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian.

1.5Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuai:

a. persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian.

b. faktor (usia, jenis kelamin, semester dan IPK)yang mempengaruhi persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian.


(21)

6

1.6Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

a. hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian sebagai dasar untuk langkah-langkah pembinaan ke depan dalam meningkatan persepsi positif mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian.

b. sebagai sumbangan ide dalam penyusunan kurikulum asuhan kefarmasian.

c. menambah wawasan khususnya bagi peneliti sendiri tentang asuhan


(22)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi

Pada dasarnya persepsi merupakan suatu proses yang terjadi di dalam pengamatan seseorang terhadap objek. Persepsi terhadap satu objek yang ada disekitar manusia pada dasarnya berbeda dengan lainnya karena sebagai makhluk individu setiap manusia memiliki pandangan yang berbeda sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pemahamannya. Semakin tinggi pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap suatu objek yang dipersepsikan maka semakin baik bentuk persepsi orang tersebut terhadap objek begitu pula sebaliknya (Lubis, 2008).

Persepsi adalah proses pengolahan informasi dari lingkungan yang berupa stimulus, yang diterima melalui alat indera dan diteruskan ke otak untuk diseleksi, diorganisasikan sehingga menimbulkan penafsiran atau penginterpretasian yang berupa penilaian dari penginderaan atau pengalaman sebelumnya. Persepsi merupakan hasil interaksi antara dunia luar individu (lingkungan) dengan pengalaman individu yang sudah diinternalisasi dengan sistem sensorik alat indera sebagai penghubung, dan diinterpretasikan oleh sistem syaraf di otak (Ardi, 2010). Feldman (2012), mendefinisikan persepsi sebagai kegiatan menyortir, menginterpretasikan, menganalisis, dan mengintegrasikan rangsangan yang dibawa oleh organ indera dan otak. Sensasi adalah aktivasi dari organ indra oleh sumber energi fisik. Sedangkan stimulus adalah setiap sumber energi fisik yang menghasilkan respon pada organ indera.


(23)

8

Dalam pengertian psikologi, persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan. Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran. Artinya, persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerimaan, yaitu alat indera. Pada umumnya, stimulus tersebut diteruskan oleh saraf otak sebagai pusat susunan saraf dan proses itu selanjutnya disebut sebagai proses stimulus. Jadi, persepsi dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dengan kata lain, persepsi merupakan proses memberikan makna pada stimuli yang ditangkap oleh inderawi. Dalam hal ini, stimulus mengenai inderawi individu itu kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderakannya itu (Kulsum, 2014).

Menurut Bimo (2014) dalam Niti (2013), persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut dengan proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi. Karena persepsi merupakan aktivitas yang

integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman


(24)

9

individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain. Persepsi itu bersifat individual.

Menurut Engel (1995) dalam Trimurthy (2008), persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan impresi sensorisnya supaya dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya. Secara skematis proses persepsi dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1 Proses persepsi

2.2 Pendidikan Tinggi Farmasi

Pendidikan tinggi adalah kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian (Menteri Pendidikan, RI., 2000).

Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi. Pada dasarnya, masing-masing pendidikan tinggi farmasi dapat menyusun kurikulumnya sendiri berdasarkan pedoman kurikulum inti yang ada. Program Studi Sarjana Fakultas Farmasi mensyaratkan 144 – 146 SKS termasuk skripsi/tugas akhir dan dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan selambat-lambatnya 12 (dua belas) semester yang harus ditempuh oleh setiap

Stimulus lingkungan

Perhatian dan seleksi

Pengorganisasian Penafsiran


(25)

10

mahasiswa untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi (Menteri Pendidikan, RI., 2000).

2.3 Apoteker

Apoteker adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan dibidang kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi kefarmasian. Sifat kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini memberinya otoritas dalam berbagai aspek obat atau proses kefarmasian yang tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan lainnya. Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang dikelompokkan profesi, telah diakui secara universal lingkup pekerjaannya meliputi semua aspek tentang obat, mulai penyediaan bahan baku obat dalam arti luas, membuat sediaan jadinya sampai dengan pelayanan kepada pemakai obat atau pasien (Rosdiana, 2011). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Menkes, RI., 2014).

Apoteker juga termasuk dalam kategori tenaga kesehatan, yakni sarjana farmasi yang lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Dalam melakukan pembangunan kesehatan tidak bisa dilepaskan peran apoteker, sebab apotekerlah yang dianggap mampu melakukan pengendalian, pengadaan, pengaturan, dan pengawasan terhadap obat-obatan (Iskandar, 1998).

Apoteker untuk pelayanan memberi edukasi kepada pasien tentang begaimana penggunaan obat secara tepat, memberikan konsultasi tentang efek samping obat dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, memberikan informasi tertulis mengenai obat yang digunakan pasien (selain etiket dan brosur),


(26)

11

membantu pasien dalam memilih obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter, mengambil langkah untuk menyesuaikan pengobatan pasien (jika diperlukan), dan menjawab pertanyaan pasien tentang obat-obatan yang mereka gunakan (Thoe, 2013).

2.4 Sejarah Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

Menurut Aslam (2003), profesi kefarmasian telah mengalami perubahan, khususnya dalam kurun waktu kira-kira 40 tahun terakhir, yaitu sejak tahun 1960-an. Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di Inggris, khususnya dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam 4 tahap:

1. Tahap tradisional (sebelum 1960-an)

Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan, membuat, dan mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Kegiatan ini melibatkan seni dan ilmu pembuatan bahan obat dari sumber alam atau sintetik menjadi sediaan atau produk yang sesuai untuk dipakai dalam mencegah, mendiagnosa atau mengobati penyakit.

Periode ini mulai goyah ketika pembuatan sediaan obat secara bertahap mulai dikerjakan oleh industri farmasi. Industri farmasi di dunia mulai tumbuh pada sekitar tahun 1940-an. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat dari instalasi farmasi ke industri, maka fungsi dan tugas apoteker berubah. Dengan demikian peranan profesi kefarmasian terlihat makin menyempit dan mengecil.

2. Tahap transisional

Masa transisi adalah masa perubahan yang cepat dari perkembangan fungsi dan peningkatan jenis-jenis pelayanan profesional yang dilakukan oleh


(27)

12

beberapa perintis dan sifatnya masih individual. Yang paling menonjol adalah kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit, meskipun masukan mereka masih terbatas. Banyak apoteker mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru dan mencoba menerapkannya. Akan tetapi tampaknya, perkembangannya masih cukup lambat.

3. Tahap masa kini (farmasi klinis)

Farmasi klinis lahir tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris dalam periode transisi. Istilah farmasi klinis digunakan untuk mendeskripsikan praktek kefarmasian berorientasi pelayanan kepada pasien lebih dari orientasi kepada produk. Merupakan suatu disiplin yang terkait dengan penerapan pengetahuan dan keahlian farmasi dalam membantu memaksimalkan efek obat dan meminimalkan toksisitas bagi pasien secara individual.

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (Menkes, RI., 2014).

Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, visite, pemantauan terapi obat (PTO), monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat (EPO), dispensing sediaan steril, dan pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD) (Menkes, RI., 2014).


(28)

13

Praktek farmasi berpusat pasien ini memerlukan suatu keterampilan yang tidak konvensional yang di ajarkan di fakultas farmasi. Istilah farmasi klinis dapat digunakan untuk mendeskripsikan seorang apoteker yang pekerjaan utamanya berinteraksi dengan tenaga kesehatan profesional lainnya (khususnya dokter dan perawat), mewawancara dan menilai kesesuaian kondisi kesehatan pasien terhadap pengobatannya, membuat rekomendasi terapeutik yang spesifik, memonitor tanggapan pasien terhadap terapi obat, menjaga keselamatan pasien (khususnya terhadap pengaruh efek obat yang tak dikehendaki), mengkonsultasi pasien, dan menyediakan informasi obat (Aslam, 2003).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan farmasi klinis mampu mengidentifikasi masalah penting yang terkait obat serta menurunkan kejadian, menyempurnakan pendidikan pasien serta kepatuhan, memperbaiki peresepan, menyempurnakan hasil klinis, meningkatkan efektivitas biaya, dan mempersingkat masa tinggal di rumah sakit (Aslam, 2003).

4. Tahap masa depan (abad ke-21) asuhan kefarmasian

Konsep perencanan asuhan kefarmasian telah dirangkai oleh banyak praktisi farmasi klinis. Meskipun definisi asuhan kefarmasian telah diterapkan secara berbeda dalam negara yang berbeda, gagasan dasar adalah apoteker bertanggung jawab terhadap hasil penggunaan obat oleh/untuk pasien sama seperti seorang dokter atau perawat bertanggung jawab terhadap pelayanan medis dan keperawatan yang mereka berikan. Dengan kata lain, praktek ini berorientasi pada pelayanan yang terpusat kepada pasien dan tanggung jawab farmasis terhadap morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan obat (Aslam, 2003).


(29)

14

Aslam (2003), secara skematis menggambarkan proses asuhan kefarmasian sebagai berikut:

Gambar 2.2 Proses asuhan kefarmasian

2.5 Perkembangan Bidang Kefarmasian

Menurut Sukandar (2012) dalam Wahyudi (2014), berbagai tuntutan yang ada di masyarakat menjadi tantangan untuk pengembangan dunia kefarmasian. Untuk mengakomodasi semua tuntutan tersebut diperlukan sistem pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhan tenaga farmasi dengan bekal ilmu pengetahuan keprofesian yang mutakhir.

Penentuan Hubungan Terapeutik

PENILAIAN:

- Menjamin bahwa

semua terapi obat terindikasi, efektif dan aman,

- Mengidentifikasi masalah terapi obat.

EVALUASI: - Pencatatan hasil

terapi yang sebenarnya,

- Evaluasi kemajuan untuk memenuhi sasaran terapi,

- Memperkirakan

kembali munculnya masalah baru. PERENCANAAN:

- Pemecahan masalah

terapi obat,

- Pencapaian sasaran

terapi,

- Pencegahan masalah terapi obat.


(30)

15

Adapun tuntutan yang ada di masyarakat yang menjadi tantangan untuk pengembangan dunia kefarmasian yaitu:

a. Pharmaceutical care yaitu obat sampai ke tangan pasien dalam keadaan baik,efektif dan aman disertai informasi yang jelas sehingga penggunaannya tepat dan mencapai kesembuhan;

b. Timbulnya penyakit baru dan perubahan pola penyakit yang memerlukan

pencarian obat baru atau obat yang lebih unggul ditinjau dari efektivitas dan keamanannya;

c. Meningkatnya penyalahgunaan obat dan ketergantungan pada psikotropika merupakan tuntutan untuk dapat mengawasi penggunaan obat tersebut, mencari/mensintesis obat yang lebih aman dan mampu memberikan informasi tentang bahaya penyalahgunaan obat;

d. Apoteker sebagai partner dokter memacu farmasis untuk menguasai lebih mendalam ilmu farmakologi klinis dan farmakoterapi serta ilmu farmasi sosial dan komunikasi;

e. Apoteker sebagai penanggung jawab pengadaan obat di apotek, rumah sakit, pedagang besar farmasi, puskesmas dll, harus menguasai farmakoekonomi dan manajemen farmasi;

f. Tuntutan Apoteker untuk dapat berperan dalam perkembangan industri

farmasi, perkembangan drug delivery system, pengembangancara produksi dan metode kontrol kualitas;

g. Apoteker untuk menempati bidang pemerintahan yang berfungsi dalam


(31)

16

perkembangan farmasi veteriner, perkembangan medical devices (alat kesehatan, pereaksi diagnostik).

2.6 Aplikasi Asuhan Kefarmasian

Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk didalamnya mendapatkan makanan, pakaian, perumahan, dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lain yang diperlukan. Dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah diantaranya menyediakan sarana‐sarana pelayanan kesehatan salah satunya adalah apotek (Atmini, 2011). Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (Presiden, RI., 2009).

Tenaga kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya asuhan kefarmasian. Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu mengatur pekerjaan kefarmasian dalam suatu peraturan pemerintah (Presiden, RI., 2009).

Terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi masyarakat menjadi hal yang harus mendapatkan perhatian pemerintah sebagai salah satu upaya dalam pembangunan di bidang kesehatan. Instalasi farmasi rumah sakit berperan besar dalam tercapainya pelayanan kesehatan yang maksimal. Rumah sakit sebagai


(32)

17

salah satu sub-sistem dalam sistem pelayanan kesehatan, bertujuan untuk mengusahakan pelayanan kesehatan yang luas bagi setiap warga negara agar mendapatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, dan merupakan salah satu perwujudan dalam usaha untuk mencapai keadilan sosial (Kusumawida, 2009).

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Menkes, RI., 2014).

Menurut Pudjaningsih (2006), obat merupakan barang yang penting di rumah sakit karena obat dapat meningkatkan derajat kesehatan, meninggikan kepercayaan dan keterlibatan penuh dengan pelayanan kesehatan serta merupakan komoditas khusus yang mahal. Obat mempunyai dua sisi yang berbeda seperti mata uang, disatu sisi obat memberkahi tetapi disisi lain obat membebani dan mempunyai efek samping.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi asuhan kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) (Winanto, 2013).

Asuhan kefarmasian di apotek diselenggarakan oleh apoteker, dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja (Menkes, RI., 2014).


(33)

18

Usaha peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan oleh apoteker di apotek dengan mengaplikasikan konsep asuhan kefarmasian (pharmaceutical care). Pelaksanaan asuhan kefarmasian di Swedia sudah meliputi kegiatan untuk menganalisis Drug Related problems (DRPs) serta proses penyelesaian masalah tersebut. Di Indonesia, konsep ini meliputi tanggung jawab apoteker terhadap

outcome dari penggunaan obat pada pasien, misalnya dengan melakukan skrining resep, pemberian informasi obat yang lengkap, monitoring penggunaan obat dan kegiatan lain.Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Setiawan, 2010).

Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap outcomes pasien. Drug Related Problems yang terjadi meliputi indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, dosis salah (dosis subterapi atau dosis lebih), interaksi obat, pemilihan obat yang salah, reaksi obat yang merugikan, dan ketidakpatuhan pasien (Cipolle, 2012).

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal (Menkes, RI., 2014).

Asuhan kefarmasian adalah pelayanan yang berorientasi langsung dalam proses penggunaan obat, bertujuan menjamin keamanan, efektivitas dan kerasionalan penggunaan obat dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan fungsi dalam perawatan pasien. Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan


(34)

19

mengharuskan adanya perubahan paradigma pelayanan dari paradigma lama yang berorientasi pada produk obat, menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (Bertawati, 2013).

Tujuan asuhan kefarmasian ialah agar diperoleh pelayanan obat yang paripurna sehingga obat dapat tepat pasien, tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat kombinasi, tepat waktu dan tepat harga serta pasien mendapat pelayanan penyuluhan yang dianggap perlu oleh apoteker yang pada akhirnya didapat pengobatan pasien yang efektif, efisien, aman, rasional, bermutu dan terjangkau (Harianto, 2005).

Menurut sebuah penelitian terbaru, lebih dari 2 juta pasien yang dirawat di rumah sakit setiap tahun dengan reaksi obat yang merugikan, yang berhubungan dengan sekitar 100.000 kematian per tahun. Kesalahan pengobatan meningkatkan biaya perawatan kesehatan; account untuk pemanfaatan yang lebih tinggi di rumah sakit, panti jompo, dan kunjungan dokter, dan menciptakan resiko kesehatan bagi pasien. Pasien dengan kondisi kronis dan rejimen yang kompleks sangat rentan terhadap masalah terkait obat. Salah satu pendekatan untuk mencegah efek samping obat adalah untuk meningkatkan peran apoteker dalam pemantauan terapi obat. Filosofi asuhan kefarmasian membutuhkan apoteker untuk memberikan nasihat dan mendidik pasien tentang obat mereka dan memberikan pemantauan berkala. Beberapa studi terbaru melaporkan bahwa pelayanan farmasi dikaitkan dengan penurunan penggunaan obat resep, biaya yang lebih rendah, dan meningkatkan pengetahuan pasien tentang obat-obatan (Fischer, 2000).


(35)

20

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian noneksperimental dengan metode surveiyang bersifatcross sectional(Notoatmodjo, 2012).

3.2 Sumber Data Penelitian 3.2.1 Populasi

Populasi penelitian adalah semua mahasiswa program studi Sarjana Farmasi USU semester 6, 8, dan 10 Farmasi Klinis dan Komunitas (FKK). Berdasarkan informasi dari bagian akademik diperoleh populasi untuk penelitian sebanyak 225 orang.Agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasinya, maka sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria inklusi, maupun kriteria eksklusi (Notoatmodjo, 2012). Subjek yang dipilih adalah yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Menurut Menkes RI (2012), kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subjek agar dapat diikutsertakan dalam penelitian. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a. mahasiswa program studi Sarjana Farmasi USU semester 6, 8, dan 10

Farmasi Klinis dan Komunitas (FKK).

b. mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah asuhan kefarmasian. c. mahasiswa yang bersedia dijadikan responden.


(36)

21

Kriteria eksklusi disebut juga kriteria penolakan, adalah keadaan yang menyebabkan subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi tetapi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian dan subjek dalam hal ini adalah:

a. mahasiswa program studi Sarjana Farmasi USU bukan Farmasi Klinis dan Komunitas (FKK).

b. mahasiswa yang belum mengambil mata kuliah asuhan kefarmasian. c. mahasiswa yang tidak bersedia dijadikan responden.

3.2.2 Sampel

Sampel diambil secara purposiveyaitu pengambilan sampel yang

didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2012). Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus Slovin (Soewadji, 2012).

� = �

1 +��2

N = Populasi

n = Sampel

e = Tingkat kesalahan

Dengan tingkat kesalahan pengambilan sampel sebesar 5%, maka diperoleh besar sampel:

�= 225

1 + 225 (0,05)2


(37)

22

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2014 – Mei 2014 di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.4 Teknik Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan melalui kuesioner kepada responden. Uji validitas dan reliabilitas sebelumnyadilakukan terhadap kuesioner yang digunakan.

3.4.1 Uji Validitas

Menurut Soewadji (2012), validitas adalah persoalan yang berhubungan sejauh mana suatu alat ukur telah mengukur apa yang seharusnya diukur. Suatu alat pengukur dapat dikatakan valid apabila alat ukur tersebut telah digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas isi (content validity) adalah yang berkaitan dengan isi yang akan diuji atau diukur. Validitas isi digunakan untuk mengukur sejauh mana kemampuan atau kemajuan siswa dalam menerima pelajaran di sekolah.Untuk mengetahui apakah kuesioner yang telah disusun tersebut mampu mengukur apa yang hendak diukur, maka perlu diuji dengan uji korelasi antara skors (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skors total kuesioner tersebut (Notoatmodjo, 2012).

Uji validitas dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabeluntuk tingkat signifikansi 5 persen dari degree of freedom (df)= n-2, dalam hal ini n adalah jumlah sample. Jika r hitung > r tabel maka pertanyaan atau indikator tersebut dinyatakan valid, begitu juga sebaliknya bila r hitung < r tabel maka pertanyaan atau indikator tersebut dinyatakan tidak valid (Ghozali, 2002).


(38)

23

3.4.2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Teknik yang dipakai untuk menguji kuesioner penelitian

adalah teknik alpha Cronbach yaitu dengan menguji instrumen kepada

sekelompok responden pada satu kali pengukuran, juga pada taraf 95% (Rinza, 2009).

Alpha Cronbach merupakan koefisien internal yang paling sering digunakan untuk analisis reliabilitas. Makin tinggi alpha Cronbach, makin baik (konsisten) alat ukur (Murti, 2011).Suatu variabel dinyatakan reliabel jika memberikan nilai alpha Cronbach ≥ 0,60 (Tanjungsari, 2012).

a. Jika nilai alpha Cronbach> 0,60 maka pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut adalah “reliabel”.

b. Jika nilai alpha Cronbach< 0,60 maka pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut adalah “tidak reliabel”.

3.5 Definisi Operasional

a. Persepsi merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima pancaindra (hal ini dinamakan sensasi), kemudian stimulus diantar keotak dimana ia didekode serta diartikan dan selanjutnya mengakibatkan pengalaman yang disadari. Ada yang mengatakan bahwa persepsi merupakan stimulus yang ditangkap oleh pancaindra individu, lalu diorganisasikan dan kemudian diinterpretasikan, sehingga individu menyadari dan mengerti apa yang diindra itu, ada yang dengan singkat


(39)

24

mengatakan: persepsi adalah memberikan makna pada stimulus indrawi (Maramis, 2006).

b. Paradigma dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang

berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/ atau masalah yang dihadapi (Ahimsa, 2009).

c. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) merupakan angka yang menunjukkan

prestasi atau kemajuan belajar mahasiswa secara kumulatif mulai dari semester pertama sampai semester paling akhir yang ditempuh, dan dihitung akhir setiap semester (Dewi, 2009).

3.6 Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat pengumpul data berupa kuesioner. Kuesioner terdiri dari dua bagian, yaitu data demografi respondendan persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi USU terhadap paradigma asuhan kefarmasian.

3.6.1 Kuesioner Data Demografi Responden

Kuesioner data demografi responden meliputi nomor identitas responden, usia, jenis kelamin, semesterdan IPK. Data demografi responden bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden.

3.6.2 Kuesioner Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi USU Terhadap Paradigma Asuhan Kefarmasian (pharmaceutical care)

Kuesioner ini terdiri dari 13 pertanyaan. Cara penilaian untuk tiap pertanyaan dengan memberikan bobot pada masing-masing pertanyaan berdasarkan skala likert:


(40)

25 a. jawaban sangat setuju diberi bobot 5 b. jawaban setuju diberi bobot 4

c. jawaban ragu-ragu diberi bobot 3 d. jawaban tidak setuju diberi bobot 2

e. jawaban sangat tidak setuju diberi bobot 1

Penggunaan format tipe likert masih memberikan kemungkinan untuk mendapatkan angka persentase jawaban yang positif atau negatif untuk butir tertentu. Caranya dengan menggabungkan jawaban-jawaban pada akhir skala. Dengan demikian, jawaban 1 terdiri dari 1 dan 2, jawaban 2 terdiri dari jawaban 3, sedangkan jawaban 3 terdiri dari 4 dan 5. Dari skala 5 titik diringkas menjadi skala 3 titik, skor 1 untuk jawaban negatif (tak setuju) skor 2 untuk jawaban ragu-ragu dan skor 3 untuk jawaban positif (setuju) (Supranto, 2011).Persepsi mahasiswa terhadap paradigma asuhan kefarmasian dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. persepsi positif apabila nilai yang diperoleh responden >47 b. persepsi ragu-ragu apabila nilai yang diperoleh responden 30 – 47 c. persepsi negatif apabila nilai yang diperoleh responden <30

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa format tipe likert masih memberikan kemungkinan untuk mendapatkan angka persentase jawaban yang positif atau negatif, makapersepsi ragu-ragu dianggap negatif terhadap paradigma asuhan kefarmasian sehingga persepsi mahasiswa dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. persepsi positif apabila nilai yang diperoleh responden >47 b. persepsi negatif apabila nilai yang diperoleh responden ≤47


(41)

26

3.7 Prosedur Penelitian

Gambar 3.1 Skema Prosedur Penelitian

3.8 Analisis Data

Data yang diperoleh dari kuesioner, diolah dengan program SPSS18. Data deskriptif disajikan dalam bentuk tabeldan hubungan antar variabel dianalisis dengan membandingkan variabel bebas dengan variabel terikat.

Meminta izin dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara untuk penelitian

Menyiapkan lembar kuesioner yang akan diisi oleh mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Mengumpulkan data persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang mengisi kuesioner

Menganalisis data persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) dengan menggunakan program SPSS 18


(42)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan tentang hasil dan pembahasan penelitian mengenai persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian melalui proses pengumpulan data yang dilakukan pada bulan Maret 2014 - Mei 2014 terhadap 144 orang mahasiswa di Universitas Sumatera Utara.

4.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner 4.1.1 Uji Validitas

Hasil uji validitas kuesioner terhadap 20 responden dengan 13 pertanyaan disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil uji validitas kuesioner

Pertanyaan Nilai Korelasi p-value signifikan Keterangan

1 0,516 0,020 Valid

2 0,668 0,001 Valid

3 0,596 0,006 Valid

4 0,595 0,006 Valid

5 0,752 0,000 Valid

6 0,600 0,005 Valid

7 0,695 0,001 Valid

8 0,626 0,003 Valid

9 0,435 0,044 Valid

10 0,826 0,000 Valid

11 0,726 0,000 Valid

12 0,607 0,005 Valid

13 0,838 0,000 Valid

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa nilai korelasi item pertanyaan tertinggi pada item pertanyaan nomor 13 sebesar 0,838 dan terendah pada item pertanyaan nomor 9 sebesar 0,435. Dari ke-13 item pertanyaan tersebut nilai p


(43)

-28

value yang di dapatkan lebih kecil dari kriteria kesalahan 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ke-13 item pertanyaan adalah valid sebagai alat ukur.

4.1.2 Uji Reliabilitas

Hasil uji reliabilitas alpha Cronbach’s terhadap 20 responden dengan 13 pertanyaan memiliki nilai yang lebih tinggi dari kriteria reliabel (0,06), dimana nilai yang didapat sebesar 0,868. Maka dapat disimpulkan bahwa seluruh item pertanyaan memiliki reliabilitas yang baik atau memiliki konsistensi yang baik sebagai alat ukur. Hasil uji reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil uji reliabilitas kuesioner

Cronbach's Alpha N of Items

.868 13

Instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi jika nilai koefisien yang diperoleh >0,60 (Ghozali, 2002).

4.2 Deskripsi Karakteristik Responden

Deskripsi karakteristik responden mencakup usia, jenis kelamin, semester dan IPK.

Semua responden yang mengisi kuesioner memenuhi kriteria inklusi dan dari 144 responden yang terkumpul dapat diketahui bahwa mayoritas responden berumur 21-22 tahun (54,9%),mayoritas responden jenis kelamin perempuan (77,1%), mayoritas responden semester 6 (54,2%), dan mayoritas IPK dari responden berada pada rentang 2,51-3,00 (47,2%). Hasil karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 4.3.


(44)

29

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik responden (n=144).

Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%)

Usia 19-20 tahun 21-22 tahun 23-24 tahun 51 79 14 35,4 54,9 9,7 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 33 111 22,9 77,1 Semester 6 8 10 78 45 21 54,2 31,3 14,6 IPK 2,00-2,50 2,51-3,00 >3,00 38 68 38 26,4 47,2 26,4

Gambar 4.1Diagram distribusi persentase berdasarkan karakteristik responden.

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% Karakteristik Responden

Usia 19-20 Tahun Usia 21-22 Tahun Usia 23-24 Tahun Jenis kelamin Laki-laki Jenis kelamin Perempuan Semester 6 Semester 8 Semester 10 IPK 2,00-2,50 IPK 2,51-3,00 IPK >3,00


(45)

30

4.3 Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Terhadap Paradigma Asuhan Kefarmasian

Persepsi merupakan perlakuan yang melibatkan penafsiran melalui proses pemikiran tentang apa yang dilihat, didengar, dialami atau dibaca (pengalaman), sehingga persepsi sering mempengaruhi tingkah laku, percakapan serta perasaan seseorang (Febriani, 2014).Satu hal yang perlu dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena pada dasarnya kepribadian yang memberikan ciri khas pada perilaku dan pola penyesuaian diri tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain, karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya dan pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian (Kulsum, 2014).

Dari Tabel 4.4 dibawahdapat diketahui bahwa jumlah responden yang memiliki persepsi negatif sebanyak 8 orang (5,6%) dan responden yang memiliki persepsi positifsebanyak 136 orang (94,4%). Berdasarkan jumlah tersebut dapat dikatakan jumlah responden yang memiliki persepsi positif lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki persepsi negatif. Dari total 13 pernyataan dalam kuesioner persepsi terdapat 71 responden dengan persepsi negatif pada pernyataan nomor 13. Dimana kuesioner nomor 13 menanyakan pada responden “apakah anda setuju dengan praktek pharmaceutical care yang berlangsung pada saat ini”, sehingga dapat disimpulkan bahwa 49,3% responden tidak setuju dengan praktek asuhan kefarmasian yang berlangsung saat ini.Sedangkan pada pernyataan nomor 6 dalam kuesioner tidak terdapat satupun


(46)

31

responden dengan persepsi negatif.Pernyataan nomor 6 yaitu “apoteker harus menindaklanjuti (follow-up) hasil terapi dari pasien yang ditanganinya”. Kuesioner persepsi dapat dilihat pada lampiran 1. Objek persepsi dapat berada di luar individu yang mempersepsi dan juga dapat berada dalam diri individu. Dalam mempersepsi, individu mempunyai kemampuan, perasaan, harapan, dan pengalaman tertentu yang berbeda satu dengan yang lain, juga akan menghasilkan persepsi yang berbeda (Kulsum, 2014). Hasil distribusi frekuensi dan persentase persepsi dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi dan persentase persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian (n=144).

Persepsi Mahasiswa Frekuensi Persentase(%)

Positif Negatif

136 8

94,4 5,6

Gambar 4.2Distribusi persentase persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara terhadap paradigma asuhan kefarmasian.

Persepsi yang positif akan mempengaruhi rasa puas seseorang dalam bentuk sikap dan perilakunya terhadap suatu kegiatan pelayanan kesehatan, begitu juga sebaliknya persepsi negatif akan ditunjukkan melalui kinerjanya (Febriani,

0,00% 20,00% 40,00% 60,00% 80,00% 100,00%

Persepsi

Positif Negatif


(47)

32

2014).Persepsi yang negatif atau disebut juga dengan prasangka merupakan suatu kekeliruan persepsi yang muncul karena kondisi rendahnya pemahaman (Kulsum, 2014).

4.4 Pengaruh Faktor Perbedaan Usia, Jenis Kelamin, Semester, dan IPK Terhadap Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi USU

4.4.1 Faktor Usia

Mead dalam Kulsum (2014) mengatakan, individu mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi. Ada tiga tahap dalam proses sosialisasi ini, yaitu:

a. tahap bermain (play stage), dalam tahap ini individu mengandaikan dirinya sebagai orang orang lain. Dalam perkembangan ini proses pemahaman diri sebagai peran pengandaian kurang mapan.

b. tahap permainan (game stage), yang menuntut individu memerankan peran secara utuh. Kesadaran menempati posisi membawa konsekuensi, yakni keharusan untuk memenuhi semua hak dan kewajiban yang dibebankan pada posisi itu. Pada tahap ini kepribadian yang kokoh mulai terbentuk.

c. tahap orang lain pada umumnya (generalized others), pada tahap ini menuntut individu yang sudah beranjak dewasa untuk memiliki kemampuan berpikir dalam melakukan suatu tindakan atau mengambil keputusan.

Hasil uji pengaruh faktor perbedaan usia terhadap persepsi menunjukkan bahwa responden dengan persepsi positif lebih dominan dibanding responden dengan persepsi negatif. Semakin bertambahnya usia, reponden cenderung memiliki persepsi yang positif. Hasil uji pengaruh faktor perbedaan usia terhadap persepsi dapat dilihat pada Tabel 4.5.


(48)

33

Tabel 4.5 Pengaruh faktor perbedaan usia terhadap persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi USU.

Persepsi Usia P

19-20 (n=51) 21-22 (n=79) 23-24 (n=14)

Positif 88,2% (45) 97,5% (77) 100% (14)

0,051

Negatif 11,8% (6) 2,5% (2) 0% (0)

Hasil analisis hubungan menggunakan uji chi-square dengan nilai p-value

sebesar 0,051 (p > 0,05),hal ini dapat dikatakan bahwausia hampir memberikan pengaruh yang signifikan terhadap persepsi mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Perbandingan persepsi positif dan negatif berdasarkan faktor perbedaan usialebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Diagram perbandingan persepsi positif dan negatif berdasarkan faktor perbedaan usia.

4.4.2 Faktor Jenis Kelamin

Teori sosialisasi berdasarkan jenis kelamin menjelaskan bahwa sebuah perilaku ditentukan oleh proses sosialisasi di mana individu dibentuk oleh norma budaya dan nilai-nilai yang diharapkan pada suatu jenis kelamin tertentu (Zelenzy, 2000). Tabel 4.6 menunjukkan bahwa pada kelompok responden

laki-0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 90,00% 100,00%

19-20 21-22 23-24

Usia

Positif Negatif


(49)

34

laki, persentase responden dengan persepsi positif lebih tinggi (97,0%) dibanding responden perempuan (93,7%).

Hasil analisis hubungan menggunakan uji chi-square dengan nilai p-value

sebesar 0,471 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan persepsi mahasiswa terhadap paradigma asuhan kefarmasian. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Suci (2011), dimana usia dan jenis kelamin tidak selamanya menjadi faktor yang benar-benar mempengaruhi suatu persepsi dan tindakan.Hasil uji pengaruh faktor jenis kelamin terhadap persepsi dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Pengaruh faktor jenis kelamin terhadap persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi USU.

Persepsi Jenis Kelamin P

Laki-laki (n=33) Perempuan (n=111)

Positif 97,0% (32) 93,7% (104)

0,471

Negatif 3,0% (1) 6,3% (7)

Perbandingan persepsi positif dan negatif berdasarkan faktor jenis kelaminlebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4 Diagram perbandingan persepsi positif dan negatif berdasarkan faktor jenis kelamin.

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 90,00% 100,00%

Laki-Laki Perempuan

Jenis Kelamin

Positif Negatif


(50)

35

4.4.3 Faktor Semester

Persepsi yang positif atau negatif bukan merupakan suatu tanggapan yang dibawa sejak lahir tetapi merupakan sesuatu yang dipelajari. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Wahyudi (2014), yang mengatakan bahwa kurikulum yang mengatur jadwal mata kuliah pada setiap semester dapat mempengaruhi persepsi mahasiswa dalam mempertimbangkan dan menentukan suatu pilihan. Faktor perbedaan lingkungan juga memberikan pengaruh terhadap terbentuknya suatu persepsi.

Pada Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa persentase persepsi responden mengalami peningkatan seiring dengan tingkatan semester. Akan tetapi, hasil analisis hubungan menggunakan uji chi-square dengan nilai p-value yang diperoleh sebesar 0,364 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara semester dengan persepsi mahasiswa terhadap paradigma asuhan kefarmasian. Hasil uji pengaruh faktor perbedaan semester terhadap persepsi dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Pengaruh faktor perbedaan semester terhadap persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi USU.

Persepsi Semester P

6 (n=78) 8 (n=45) 10 (n=21)

Positif 92,3% (72) 95,6% (43) 100% (21)

0,364

Negatif 7,7% (6) 4,4% (2) 0% (0)

Perbandingan persepsi positif dan negatif berdasarkan faktor perbedaan semesterlebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.5.


(51)

36

Gambar 4.5 Diagram perbandingan persepsi positif dan negatif berdasarkan faktor perbedaan semester.

4.4.4 Faktor IPK

Prestasi belajar adalah hasil akhir yang dicapai siswa dalam proses belajar dan pembelajaran yang diinterprestasikan ke dalam angka. Tinggi rendahnya pencapaian prestasi belajar siswa merupakan tolak ukur keberhasilan bagi mahasiswa dan dosen dalam proses belajar dan pembelajaran yang dijalaninya. Faktor-faktor yang berhubungan erat dengan keberhasilan proses belajar mahasiswa yaitu faktor-faktor yang apabila difungsikan sebagaimana mestinya dapat menjadi faktor untuk meningkatkan prestasi belajar. Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar juga dipengaruhi oleh dua yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Bangun, 2008).

Hasil analisis hubungan menggunakan uji chi-square dengan nilai p-value

sebesar 0,058 (p > 0,05), hal ini dapat dikatakan bahwa IPK hampir memberikan pengaruh yang signifikan terhadap persepsi mahasiswa Universitas Sumatera

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 90,00% 100,00%

6 8 10

Semester

Positif Negatif


(52)

37

Utara. Hasil uji pengaruh faktor IPK terhadap persepsi dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Pengaruh faktor IPK terhadap persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi USU.

Persepsi

IPK

P 2,00-2,50

(n=38)

2,51-3,00 (n=68)

>3,00 (n=38)

Positif 97,4% (37) 97,1% (66) 86,8% (33)

0,058

Negatif 2,6% (1) 2,9% (2) 13,2% (5)

Perbandingan persepsi positif dan negatif berdasarkan faktor IPKlebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Diagram perbandingan persepsi positif dan negatif berdasarkan faktor IPK.

Berdasarkanhasil uji hubungan perbedaan usia, jenis kelamin, semester, dan IPK terhadap persepsi mahasiswa Fakultas Farmasi USU dengan uji Chi-squaretersebutdapat disimpulkan bahwa yang paling berpengaruh adalah proses berfikir dari mahasiswa itu sendiri. Dari tabel dan gambar di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi positif terhadap paradigma asuhan

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 90,00% 100,00%

2,00-2,50 2,51-3,00 >3,00

IPK

Positif Negatif


(53)

38

kefarmasian lebih dominan, dan hanya sebagian kecil responden dengan persepsi negatif.

Menurut Kulsum (2014), ada beberapa hal yang mempengaruhi persepsi individu yaitu:

a. keadaan stimulus

b. situasi atau keadaan sosial yang melatarbelakangi stimulus c. keadaan orang yang mempersepsi.

Menurut Kulsum (2014), persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penginterpretasian stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang terintegrasi (terpadu) dalam diri individu. Maka seluruh pribadi dan seluruh yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam proses persepsi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa persepsi itu sekalipun stimulusnya sama, kerangka acuan tidak sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antara individu satu dengan individu yang lain tidak sama. Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa persepsi itu memang bersifat individual.Satu hal yang perlu diperhatikan dari persepsi adalah bahwa persepsi dapat sangat berbeda dengan kenyataan yang ada (Asmita, 2008). Keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil persepsi terdiri dari dua sumber, yaitu yang berhubungan dengan segi kejasmanian, dan yang berhubungan dengan segi psikologis (Kulsum, 2014).

Persepsi pada hakikatnya merupakan proses penilaian seseorang terhadap objek tertentu. Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin tinggi status yang dimilikinya, akan mempengaruhi cara berfikirnya (Kulsum, 2014). Hal ini


(54)

39

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pasek (2013), yang berjudul hubungan persepsi dan tingkat pengetahuan penderita tuberkulosis dengan kepatuhan pengobatan di wilayah kerja Puskesmas Buleleng I, dimana hasil yang didapat menunjukkan adanya hubungan persepsi dan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan di wilayah kerja Puskesmas Buleleng I. Semakin tinggi tingkat pendidikan pasien, maka semakin baik penerimaan informasi tentang pengobatan sehingga pasien akan patuh dalam pengobatan penyakitnya. Persepsi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan penderita TB.


(55)

40

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian dan analisis yang telah di kemukakan, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. mayoritas mahasiswa Fakultas Farmasi USU memiliki persepsi yang positif terhadap paradigma asuhan kefarmasian, yaitu sebanyak 94,4% dan hanya 5,6% mahasiswa yang memiliki persepsi negatif.

b. hasil uji pengaruh faktorperbedaan usia, jenis kelamin, semester, dan IPK terhadap persepsitidak menunjukkan pengaruh yang signifikan,dimana nilai

p-value>0,05.

5.2Saran

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yang apabila diatasi pada penelitian selanjutnya maka dapat memperbaiki hasil penelitian. Beberapa keterbatasan dan saran yang dapat diberikan adalah:

a. variabel bebas yang digunakan untuk mengetahui persepsi mahasiswa dalam penelitian ini lebih mengarah ke faktor individu responden, disarankan untuk peneliti selanjutnya untuk menambah variabel-variabel bebas dari faktor-faktor eksternal seperti lingkungan tempat tinggal.

b. penelitian ini menggunakan sampel yang terbatas, yaitu mahasiswa Fakultas Farmasi USU konsentrasi Farmasi Klinis Komunitas yang telah mengambil mata kuliah asuhan kefarmasian. Oleh karena itu, disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian dalam lingkup yang lebih luas


(56)

41

misalnya pada mahasiswa Farmasi jurusan sainsdan mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker.


(57)

42

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa, H.S., dan Putra. (2009). Paradigma Ilmu Sosial-Budaya. MakalahKuliah Umum. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Hal. 2.

Anief, M. (2007). Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 153.

Ardi, Muhammad dan Aryani, L. (2010). Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Dengan Minat Berorganisasi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Suska. Jurnal psikologi. Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Hal. 157.

Aslam, M., Tan, C.K., dan Prayitno, A. (2003). Farmasi Klinis. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Hal. 4-12.

Asmita, P. (2008). Analisis Pengaruh Persepsi Pasien Tentang Mutu Pelayanan Dokter Terhadap Loyalitas Pasien Di Poliklinik Umum Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang Tahun 2008. Tesis. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Atmini, K.D., Gandjar, I.G., dan Purnomo, A. (2011).Analisis Aplikasi Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Kota Yogyakarta. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. 1(1): 49-50.

Bangun, D. (2008). Hubungan Persepsi Siswa Tentang Perhatian Orang Tua, Kelengkapan Fasilitas Belajar, Dan Penggunaan Waktu Belajar Di Rumah Dengan Prestasi Belajar Ekonomi. Jurnal Ekonomi & Pendidikan. 5(1): 90-91.

Bertawati, (2013). Profil Pelayanan Kefarmasian Dan Kepuasan Konsumen

Apotek Di Kecamatan Adiwerna Kota Tegal. Jurnal Ilmiah Mahasiswa

Universitas Surabaya. 2(2): 1.

Cipolle, R.J., Strand, L.M., dan Morley, P.C. (2012). Pharmaceutical Care Practice: The Patient-Centered Approach to Medication Management Services. 3rd Edition. New York. Mc Graw-Hill. Hal. 142.

Dewi, A. (2009). Perbedaan Prestasi Belajar Mahasiswa Yang Menggunakan

Sistem KBK Dan Non-KBK. Karya Tulis Ilmiah. Surakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Febriani, T. (2014). Pengaruh Persepsi Mahasiswa Terhadap Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Dan Dukungan Penerapannya Di Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat.


(58)

43

Feldman, R.S. (2012). Pengantar Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika. Hal. 119.

Fischer, L.R., Scott, L.M., Boonstra, D.M., dkk. (2000). Pharmaceutical Care

For Patients With Chronic Conditions. Journal of the American

Pharmaceutical Association 40(2): 174.

Ghozali, I. (2002). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: BP Universitas Diponegoro. Hal. 133.

Harianto, Lestari, I. dan Laswety B. (2005). Evaluasi Pelaksanaan Prosedur Pelayanan Obat Pelengkap Oral Di Ruang Rawat Irna B Perjan rs dr. Cipto Mangunkusumo.Jakarta.Majalah Ilmu Kefarmasian. 2(3): Halaman 165 Iskandar, D. (1998). RumahSakit, Tenaga Kesehatan, dan Pasien. Jakarta: Sinar

Grafika. Hal. 41.

Kulsum, U.,dan Jauhar, M. (2014). Pengantar Psikologi Sosial. Jakarta: Prestasi Pustaka. Hal. 76-81, 85 dan 165.

Kusumawida, A. (2009). Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Jalan Askes Dan Jamkesmas Terhadap pelayanan Farmasi diinstalasi farmasi RSUD Panembahan Senopati Bantul. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.

Lubis, S.C. (2008). Persepsi Pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) Terhadap Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Haji Medan.

Skripsi. Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU.

Maramis, W.F. (2006). Ilmu Perilaku Dalam Pelayanan Kesehatan. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 15-16.

Menkes RI. (2012). Panduan Penyusunan Proposal, Protokol Dan Laporan Akhir Penelitian. Jakarta: Badan Penelitin Dan Pengembangan Kesehatan.

Menkes RI. (2014). Keputusan MenteriKesehatan RI No. 35 tentang Standar PelayananKefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Menkes RI. (2014). Keputusan MenteriKesehatan RI No. 58 tentang Standar PelayananKefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Menteri Pendidikan RI. (2000). Keputusan Menteri Pendidikan Republik

Indonesia Nomor 232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Jakarta: Departemen Pendidikan RI.


(59)

44

Murti, B. (2011). Validitas Dan Reliabilitas Pengukuran. Matrikulasi Program Studi Doktoral. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Niti, M.A.A. (2013). Hubungan Antara Latar BelakangPendidikan Mahasiswa dan PersepsiMahasiswa tentang ProfesionalismeDosen Terhadap Prestasi

AkademikMahasiswa Pendidikan TeknikInformatika. Kumpulan Artikel

Mahasiswa Pendidikan Teknik Informatik (KARMAPATI). 2(6): 690.

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 35 dan 164.

Pasek, M.S. (2013). Hubungan Persepsi Dan Tingkat Pengetahuan Penderita Tuberkulosis Dengan Kepatuhan Pengobatan Di Wilayah Kerja Puskesmas Buleleng I. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga. 1(1): 21.

Presiden RI. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Lembar Negara Republik Indonesia.

Pudjaningsih, D. dan Santoso, B. (2006). Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat Di Farmasi Rumah Sakit. Logika. 3(1): 17.

Rantucci, M.J. (2009). Komunikasi Apoteker-Pasien Panduan Konseling Pasien. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal. 1.

Rinza, D. (2009). Pengaruh Iur Biaya Pelayanan Kesehatan Terhadap Kepuasan Pasien Askes di Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik.

Tesis. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

Rosdiana, N. (2011). Apotek Tanpa Pelayanan Apoteker. Gorontalo: Jurnal Health & Sport. 3(2): 317.

Sari, L.P. (2012). Pengaruh Muatan Etika dalam Pendidikan Akuntansi Terhadap PersepsiEtika Mahasiswa(Studi pada Mahasiswa Jurusan Akuntansi

Universitas Brawijaya MalangAngkatan 2009). Skripsi. Malang:

Universitas Brawijaya.

Setiawan, D., Hasanmihardja, M., dan Mahatir, A. (2010). Pengaruh Pelayanan Kefarmasian Terhadap Kepuasan Konsumen Apotek Di Kabupaten Tegal.

Jurnal Farmasi Indonesia. 5(2): 101.

Soewadji, J. (2012). Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Mitra Wacana Media. Hal. 23,134 dan 173-181.

Suci, A. (2011). Hubungan Usia Dan Jenis Kelamin Terhadap Persepsi Sakit Pada Penggunaan Alat Ortodontik Lepasan Di RSGMP Kandea Universitas Hasanuddin. Skripsi. Makassar: Fakultas Kedokteran Gigi.


(60)

45

Supranto, J. (2011). Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 91.

Tanjungsari, R. (2012). Analisis Pengaruh Variabel Kontijensi Tugas, Teknologi, Individual Dan Lingkungan Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sarana Pendukung Pendidikan. Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.

Thoe, D.A. (2013). Opini Apoteker dan Pasien Terhadap Peran Apoteker Dalam

Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Merauke. Jurnal Ilmiah

Mahasiswa Universitas Surabaya 2(1): 13.

Trisnaningsih, S. (2011). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Dosen Akuntansi. Jawa Timur:Jurnal Akuntansi & Auditting. 8(1): 83-85.

Trimurthy, I. (2008). Analisis Hubungan Persepsi Pasien Tentang Mutu Pelayanan Dengan Minat Pemanfaatan Ulang Pelayanan Rawat Jalan Puskesmas Pandanaran Kota Semarang. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Wahyudi, K. (2014). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa

Farmasi Di Indonesia Terhadap Pilihan Karir Di Bidang Kefarmasian.

Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi USU.

Winanto, A., Wijianto, B., dan Iswahyudi. (2013). Persepsi Konsumen Terhadap Pelayanan Apotek Di Kota Ranai Kecamatan Bunguran Timur Kabupaten Natuna.Skripsi. Pontianak: Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. Zelenzy, L., Chua, P.,dan Alrich, C. (2000). Elaborating on Gender Differences In


(61)

46

LAMPIRAN Lampiran 1. Kuesioner penelitian

KUESIONER

PERSEPSI MAHASISWA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA TERHADAP PARADIGMA ASUHAN

KEFARMASIAN(

PHARMACEUTICAL CARE

)

TAHUN 2014

Survey ini adalah survey untuk penulisan skripsi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (USU), oleh karena itu saya sebagai peneliti akan sangat berterimakasih jika Saudara/Saudari bersedia mengisi dan menjawab setiap pertanyaan dengan sukarela.

I. Karakteristik Responden

Beri tanda (√ ) pada pilihan yang sesuai

No responden :

Umur : Tahun

Jenis kelamin : Laki – laki Perempuan

Semester : 6 8 10

IPK :

II. Kuesioner Persepsi Tentang Asuhan Kefarmasian

Pilihlah salah satu jawaban yang menurut Saudara/Saudari paling tepat dengan memberikan tanda silang ( √ ) pada kolom yang sesuai.

Keterangan : SS : Sangat Setuju S : Setuju

RR : Ragu-ragu TS : Tidak Setuju

STS : Sangat Tidak Setuju

No. Pertanyaan SS S RR TS STS

1. Apoteker harus menerapkan pharmaceutical care

2. Dalam praktek pharmaceutical care, farmakoterapi merupakan salah satu ilmu yang harus dikuasai oleh apoteker

3. Apoteker menghadirkan pharmaceutical care secara langsung kepada pasien dengan konsekuensi apoteker harus hadir disetiap tempat praktek pelayanan kefarmasian


(62)

47

4. Memberikan konseling/informasi tentang cara pemakaian dan efek obat yang mungkin tejadi kepada pasien merupakan kewajiban seorang farmasis

5. Identifikasi Drug Related Problems merupakan tugas utama bagi apoteker dalam praktek pharmaceutical care

6. Apoteker harus menindaklanjuti (follow-up) hasil terapi dari pasien yang ditanganinya

7. Apoteker harus memperhatian keluhan pasien

8. Apoteker harus membuat dokumentasi atas seluruh pelayanan pharmaceutical care

9. Pharmaceutical care penting di terapkan dalam pengelolaan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan

10. Seorang apoteker boleh menggantikan obat-obat yang diresepkan oleh dokter atas keinginan dan persetujuan dari pasien

11. Apoteker akan dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan menerapkan pharmaceutical care

12. Pharmaceutical care dapat di wujudkan secara utuh di Indonesia dalam waktu 10 tahun kedepan

13. Apakah anda setuju dengan praktek pharmaceutical care yang berlangsung pada saat ini


(1)

Lampiran 6. (Lanjutan)

r =

[ ][

131 16316

]

754

r =

98 , 1461

754


(2)

Lampiran 7. Contoh menghitung reliabilitas secara manual Menghitung Reliabilitas Secara Manual

Responden Item Pertanyaan Jumlah Jumlah

Kuadran

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

1 4 5 5 5 5 4 4 5 5 2 3 4 3 54 2916

2 5 5 4 5 4 4 4 4 3 4 3 3 4 52 2704

3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 50 2500

4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 65 4225

5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 5 5 4 5 56 3136

6 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 55 3025

7 5 5 4 5 4 4 4 4 4 5 5 4 5 58 3364

8 5 4 5 4 4 5 4 4 5 5 5 3 5 58 3364

9 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 64 4096

10 5 4 4 4 3 4 4 4 4 2 3 3 2 46 2116

11 5 5 4 5 4 5 4 5 4 4 5 4 4 58 3364

12 5 5 5 4 5 5 5 5 5 4 5 5 4 62 3844

13 4 5 4 5 4 5 4 4 4 2 4 3 2 50 2500

14 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 65 4225

15 5 5 5 5 4 4 5 4 5 2 5 4 2 55 3025

16 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 5 63 3969

17 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 52 2704


(3)

Responden Item Pertanyaan Jumlah Jumlah Kuadran

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

19 3 4 4 3 4 4 3 4 4 1 4 4 1 43 1849

20 5 4 4 4 4 4 4 4 5 1 4 3 1 47 2209

Jumlah 93 93 87 90 85 89 86 88 89 69 86 77 70 1102 61536 Jumlah


(4)

Lampiran 7. (Lanjutan) Rumus Reliabilitas:

�� = � �

� −1� �1− �2 ��2� CA = Koefisien Cronbach's Alpha

K = banyaknya pertanyaan dalam butir σb2 (Sigma b kuadrat) = varians butir σt2 (Sigma t kuadrat ) = varians total

Cara mencari σ b2 (Varian tiap butir) 2 =

�����ℎ���������������� – (����� ℎ ���� �����)2 �

1. σ b2 = 0,3275 20 20 ) 93 ( 439 2 = −

2. σ b

2 = 0,2275

20 20 ) 93 ( 437 2 = −

3. σ b 2 = 2275 , 0 20 20 ) 87 ( 383 2 = −

4. σ b 2 = 35 , 0 20 20 ) 90 ( 412 2 = −

5. σ b 2 = 2875 , 0 20 20 ) 85 ( 367 2 = −


(5)

6. σ b

2 = 0,2475

20 20 ) 89 ( 401 2 = −

7. σ b 2 = 31 , 0 20 20 ) 86 ( 376 2 = −

8. σ b 2 = 24 , 0 20 20 ) 88 ( 392 2 = −

9. σ b 2 = 3475 , 0 20 20 ) 89 ( 403 2 = −

10. σ b 2 = 2475 , 2 20 20 ) 69 ( 283 2 = −

11.σ b 2 = 09 , 2 20 20 ) 86 ( 328 2 − = −

12.σ b 2 = 5275 , 0 20 20 ) 77 ( 307 2 = −

13.σ b2 = 2,15

20 20 ) 70 ( 288 2 = −

jadi, σ b2 (Varian tiap butir) ialah :

= 0,3275 + 0,2275 + 0,2275 + 0,35 + 0,2875 + 0,2475 + 0,31 + 0,24 + 0,3475 + 2,2475 + (-2,09) + 0,5275 + 2,15

= 5,4

Lampiran 7. (Lanjutan)

Cara mencari σ 2


(6)

��2 =

�����ℎ������� – (����� ℎ )2

σ t 2 =

79 , 40 20

20 ) 1102 ( 61536

2

= −

koefisien Cronbach’s alpha

�� = � �

� −1� �1− ��2 ��2� CA =

  

 −1 20

20

   

 

− 79 , 40

4 , 5 1 =

[

1,053

]

[

0,8676

]

= 0,914