PENGARUH EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn) TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT DAN LIMFOSIT PADA MENCIT Balb/C YANG DIINFEKSI Klebsiella pneumoniae

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn) TERHADAP

JUMLAH LEUKOSIT DAN LIMFOSIT PADA MENCIT Balb/C YANG

DIINFEKSI Klebsiella pneumoniae

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

LINA MARDIANA ZULVA 20120310209

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

(3)

1

Effect of Piper betle Linn Leaves Extract to Leukocyte and Lymphocyte Count in Balb/C

Mice Infected with Klebsiella pneumoniae

Lina Mardiana Zulva1 Lilis Suryani2

1Medical Study Program, Faculty of Medicine and Health Science Muhammadiyah University of Yogyakarta,

2Microbiology Departement of Medicine and Health Science Faculty Muhammadiyah University of Yogyakarta

ABSTRACT

Klebsiella pneumoniae attack lung tissue and show lung swelling, fever, cough, thickening mucous, and sputum bloody. Piper betle Linn leaves has potential as antimicroba which has benefit to decrease risk from adverce effect and addictive of synthetic drug. Piper betle Linn contain of sterol which have bactericidal effect against several bacterial pathogens such as

Enterocococcus faecalis, C.koseri, C.fruendiand Klebsiella pnemoniae. This study aimed to determined the effect of Piper betle Linn leaves extract toward leukocyte count and lymphocyte percentage in Balb/C mice infected with Klebsiella pneumoniae.

This study was laboratory experiment with post test-only control group design. This study was conducted in microbiology laboratory of Muhammadiyah University of Yogyakarta for March-June 2015. The subjects of this study were 30 Balb/C mice which divided into 6 groups (n=5). They were C1: were not infected, C2: infected but did not given treatment, E1: given 100, E2: 200, E3: 400 mg/kgBW of Piper betle Linn leaves extract, and E4: given 3,25 mg of Erythromycin.

Result of research the highest average leukocyte count was 59,8000were not infected and the lowest of it was 26,4000were given 400 mg/kgBW of extract. The highest average lymphocyte percentage was 77,4600were not infectedand the lowest of it was 28,9800were given 3,25 mg of Erythromycin. Statistics analysis for leukocyte count and lymphocyte percentage gaveresult p>0.05.

This study proven that there was no significant effect of Piper betle Linn leaves extract toward leukocyte and lymphocyte count in Balb/C mice infected with Klebsiella pneumoniae. Keywords: Piper betle Linn, Klebsiella pneumoniae, Balb/C mice, leukocyte count, lymphocyte


(4)

Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) terhadap Jumlah Leukosit dan Limfosit pada Mencit Balb/C yang Diinfeksi Klebsiella pneumoniae

Lina Mardiana Zulva1 Lilis Suryani2

1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRAK

Klebsiella pneumoniae menyerang jaringan paru-paru (alveoli) yang menyebabkan edema paru, demam, batuk, serta dahak berdarah. Daun Piper betle Linn sebagai antimikroba memiliki keuntungan dalam menurunkan resiko efek samping dan ketergantungan terhadap obat sintetik. Kandungan sterol pada daun sirih menunjukkan aktivitas bakterisidal terhadap beberapa bakteri patogen Enterocococcus faecalis, C.koseri, C.fruendi dan Klebsiella pnemoniae. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun sirih terhadap peningkatan jumlah leukosit dan persentase limfosit pada mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae.

Desain penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dengan rancangan post test-only control group design. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Maret-Juni 2015.Subjek penelitian ini adalah mencit Balb/C sebanyak 30 ekor, yang terbagi menjadi 6 kelompok (n=5), kelompok C1: tidak diinfeksi, C2: diinfeksi Klebsiella pneumoniae tanpa diberi perlakuan, kelompok E1: diberi ekstrak daun sirih 100 mg/kgBB, E2: 200 mg/kgBB,E3: 400 mg/kgBB, E4: diberi eritromisin 3,25 mg.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah leukosit tertinggi sebesar 59,8000 pada mencit yang tidak diinfeksidan terendah sebesar 26,4000 pada mencit yang diberi ekstrak 400 mg/kgBB. Sedangkan rata-rata persentase limfosit tertinggi sebesar 77,4600 pada mencit yang tidak diinfeksidan terendah sebesar 28,9800 pada mencit yang diberi eritromisin 3,25 mg. Hasil analisa statistik terhadap peningkatan jumlah leukosit dan jumlah limfosit didapatkan p>0.05.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun Piper betle Linn tidak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah leukosit dan limfosit pada mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae.

Kata kunci : Piper betle Linn, Klebsiella pneumoniae, mencit Balb/C, jumlah leukosit, jumlah limfosit.


(5)

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Alam Indonesia sangat kaya dengan berbagai jenis tumbuhan yang berkhasiat, namun

pemanfaatan berbagai tanaman obat tersebut belum dilakukan secara optimal.Hal ini disebabkan

karena adanya anggapan bahwa pengobatan tradisional adalah pengobatan kuno dan ketinggalan

zaman.Penggunaan tanaman untuk pengobatan telah lama dikenal oleh masyarakat.Usaha

pengembangan tanaman untuk pengobatan perlu dilakukan mengingat bahwa tanaman mudah

diperoleh dan murah, tetapi penggunaan tanaman untuk pengobatan perlu ditunjang oleh data-data

penelitian dari tanaman tersebut sehingga khasiatnya secara ilmiah tidak diragukan lagi dan dapat

dipertanggungjawabkan. Hal ini tentu akan lebih mendorong penggunaan tanaman sebagai obat

secara meluas oleh masyarakat (Elya dan Soemiati, 2002)

Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama dalam

10 besar penyakit di puskesmas seluruh Yogyakarta.Menurut laporan bulanan data

kesakitanhingga bulan Oktober 2010 jumlah penderita ISPA mencapai 48.351 orang (20,8 % dari

seluruh penderita baru yang berkunjung ke puskesmas) dan jumlah penderita pneumonia sebanyak

747 orang (0,3%). Diperkirakan (nasional) 10 % dari jumlah balita akan menderita pneumonia

setiap tahunnya (Litbangkes, 2008). Pada tahun 2009 angkaprevalensi pneumonia pada balita di

kota Yogyakarta sebesar 2,31%,lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain dalam wilayah

provinsi Yogyakarta(Dinkes, 2010).

Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus,

Pneumococcus, Haemophylus Influenzae, Bordetella Pertussis, danCorynebacterium diphtheriae.

Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa atau kulit dan menembus


(6)

yang dimiliki, tetapi bila bakteri berkembang biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun

tersebut maka akan terjadi penyakit infeksi yang disertai dengan tanda-tanda inflamasi.

(Permenkes, 2011).

Terapi yang tepat harus mampu mencegah berkembangbiaknya bakteri lebih lanjut tanpa

membahayakan host. Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri.

Antibiotik bisa bersifat bakterisid (membunuh bakteri) atau bakteriostatik (mencegah

berkembangbiaknya bakteri).Pada kondisi immunocompromised (misalnya pada pasien

neutropenia) atau infeksi di lokasi yang terlindung (misalnya pada cairan cerebrospinal), maka

antibiotik bakterisid harus digunakan (Permenkes, 2011). Beberapa antibiotik yang sering

digunakan untuk pengobatan pneumonia yaitu antibiotik beta-laktam (Penisilin, Benzilpenisilin,

Fenoksimetilpenisilin, Ampisilin, Amoksisilin, Coamoksiklav, Penisilin antipseudomonas), Makrolida (Eritromisin, Azitromisin, Klaritromisin), Aminoglikosida (Streptomisin, Gentamisin, Amikasin,Kanamisin, Neomisin, dan Paramomisin) (Dartnell, 2003).

Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan

dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap

ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi

lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat, khususnya Streptococcus pneumoniae

(SP), Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Beberapa kuman resisten antibiotik sudah

banyak ditemukan di seluruh dunia, yaitu Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA),

Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella


(7)

Resistant Acinetobacter baumannii dan Multiresistant Mycobacterium tuberculosis

(Guzman-Blanco et al. 2000; Stevenson et al. 2005).

Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak

dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang tidak benar di fasilitas pelayanan

kesehatan. Selain itu, antibiotik yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik, obat

merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak paten (obat paten). Harga

antibiotik pun sangat beragam. Harga antibiotik dengan kandungan yang sama bisa berbeda hingga

100 kali lebih mahal dibanding generiknya. Apalagi untuk sediaan parenteral yang bisa 1000 kali

lebih mahal dari sediaan oral dengan kandungan yang sama. Peresepan antibiotik yang mahal,

dengan harga di luar batas kemampuan keuangan pasien akan berdampak pada tidak terbelinya

antibiotik oleh pasien, sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan terapi. Setepat apa pun

antibiotik yang diresepkan apabila jauh dari tingkat kemampuan keuangan pasien tentu tidak akan

bermanfaat (Permenkes, 2011).

Menurut Sastroamidjojo (1997), Indonesia memiliki jenis tanaman obat yang banyak

ragamnya. Jenis tanaman yang termasuk dalam kelompok tanaman obat mencapai lebih dari 1000

jenis, salah satunya yaitu sirih (Piper betle Linn). Daun sirih (Piper betleLinn) telah menjadi

sumber yang menjanjikan.Hal ini dapat terlihat dari potensi sirih sebagai antibiotik yang memiliki

keuntungan dalam hal keamanan, ketersediaan, serta menurunkan resiko dari efek samping dan

ketergantungan terhadap obat sintetik (Caburian, 2010). Daun sirih (Piper betle Linn)

menunjukkan adanya aktivitas antimikrobial melawan mikro-organisme dalam spektrum yang luas

(Jesonbabu, 2012).

Daun sirih dapat digunakan sebagai antibakteri karena mengandung 4,2% minyak atsiri


(8)

Cineol methil euganol, Caryophyllen (siskuiterpen), kavikol, kavibekol, estragol dan terpinen

(Sastroamidjojo, 1997).Hasil uji farmakologi menunjukkan bahwa infusa daun sirih dapat

menghambat pertumbuhan bakteri penyebab pneumonia dan Gaseus gangrene. Air rebusan daun

sirih dapat digunakan untuk mengobati batuk maupun berfungsi sebagai bakteriosid terutama

terhadap Haemophylus influenzae, Staphylococcus aureus dan Streptococcus haemoliticus

(Mursito, 2002).

Saat ini data mengenai aktivitas tanaman obat lebih banyak didukung oleh pengalaman,

belum sepenuhnya dibuktikan secara ilmiah. Guna pemeliharaan dan pengembangan tanaman obat

maka diperlukan adanya penggalian, penelitian, pengujian, dan pengembangan obat tradisional,

tidak terkecuali sirih yang cukup terkenal sebagai obat mujarab itu (Moeljatno, 2003).

Mekanisme yang ditimbulkan dari ekstrak daun sirih terhadap infeksi Klebsiella

pneumoniae adalah sebagai antibakteri dan meningkatkan fagosit, dengan efek imunomodulasi

yang terdapat pada daun sirih, maka tanaman ini dapat digunakan untuk meningkatkan imunitas

tubuh terhadap infeksi bakteri patogen fakultatif intraseluler yang salah satunya adalah Klebsiella

pneumonia (Jesonbabu, 2012). Oleh karena itu, penting dilakukan penelitian efektivitas ekstrak

daun sirih untuk mengobati mencit yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae. Dengan harapan ekstrak

daun sirih bisa digunakan sebagai obat alternatif untuk menyembuhkan penyakit pneumonia.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam kitab suci al-Qur’an surat Yunus, surat ke-10 ayat 57 yang berbunyi:

ِروُدصلا ِِ اَمِل ٌءاَفِشَو ْمُكِبَر ْنِم ٌةَظِعْوَم ْمُكْتَءاَج ْدَق ُسانلا اَه ي َأ اَي

َيِنِمْؤُمْلِل ٌةََْْرَو ىًدَُو

Yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 10/57).


(9)

Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas beserta penelitian-penelitian tersebut, penting dilakukan penelitian efektivitas ekstrak daun sirih sebagai imunomodulator untuk meningkatkan angka

leukosit darah pada hewan uji yang diinfeksi Klebsiella penumoniae. Dengan harapan ekstrak daun

sirih bisa digunakan sebagai obat alternatif untuk menyembuhkan penyakit penumonia.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) mempengaruhi jumlah leukosit pada mencit

Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae?

2. Apakah ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) mempengaruhi jumlah limfosit pada mencit

Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh ekstrak sirih (Piper betle Linn) terhadap status imunitas pada

mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh ekstrak sirih (Piper betle Linn) terhadap jumlah leukosit

pada mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae.

b. Untuk mengetahui pengaruh ekstrak sirih (Piper betle Linn) terhadap jumlah limfosit

pada mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan tentang manfaat ekstrak daun sirih (Piper betle


(10)

2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan herbal tentang pemanfaatan tanaman sirih sebagai

imunomodulator.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian mengenai manfaat dari ekstrak daun sirih yang telah dilakukan, yaitu :

1. Anang Hermawan, (2007) melakukan penelitian eksperimental di Surabaya dengan judul

Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Dan Escherichia coli Dengan Metode Difusi Disk. Didapatkan hasil bahwa ekstrak

daun sirih berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia

coli.

2. Achmad dan Ido Suryana, (2009) melakukan penelitian di Institut Pertanian Bogor (IPB)

dengan judul Pengujian Aktivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) Terhadap Rhizoctonia

sp. Secara In Vitro. Didapatkan hasil bahwa senyawa anti cendawan yang terdapat dalam

ekstrak daun sirih diduga mampu merusak jaringan dan mengakibatkan kerusakan struktur

hifa jamur.

3. Nining Haryuni, dkk, (2015) melakukan penelitian yang berjudul Aktivitas Antibakteri Jus

Daun Sirih (Piper betle Linn) Terhadap Bakteri Patogen Dan Kualitas Telur Selama Penyimpanan.Didapatkan hasil bahwa jus daun sirih dapat menghambat pertumbuhan

Salmonella, Escherichia coli dan juga BAL.

4. Suliantari, dkk, (2008) melakukan penelitian dengan judul Aktivitas Antibakteri Ekstrak Sirih

Hijau (Piper betle Linn) Terhadap Bakteri Patogen Pangan. Didapatkan hasil bahwa ekstrak

etanol sirih hijau mempunyai aktivitas sebagai bahan antibakteri terbaik dibandingkan ekstrak

air dan etil asetat baik terhadap bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif dengan


(11)

Perbedaan penelitian-penelitian tersebut dengan yang kami lakukan adalah penelitian ini

menggunakan berbagai dosis ekstrak daun sirih dan mencit Balb/C yang dijadikan hewan uji yang


(12)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka

1. Klebsiella pneumoniae

Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri gramnegatif (-), berbentuk batang pendek,

memiliki ukuran 0,5-0,5 x 1,2 µ. Bakteri ini memiliki kapsul, tetapi tidak membentuk spora.

Klebsiella pneumoniae tidak mampu bergerak karena tidak memiliki flagel tetapi mampu

memfermentasikan karbohidrat membentuk asam dan gas. Berdasarkan kebutuhannya akan

oksigen, Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri fakultatif anaerob. Klebsiella pneumoniae

dapat memfermentasikan laktosa. Spesies Klebsiella pneumoniae menunjukkan pertumbuhan

mucoid, kapsul polisakarida yang besar dan tidak motil.

Gambar 1. Bakteri Klebsiella pneumoniae (sumber: Anonim, 2009)

Klasifikasi Klebsiella

Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Gamma Proteobacteria

Orde : Enterobacteriales

Family : Enterobacteriaceae

Genus : Klebsiella


(13)

Klebsiella pneumoniae memiliki 2 jenis antigen pada permukaan sel mereka yakni

antigen O yang merupakan bagian terluar dinding sel lipopolisakarida, dan kedua antigen K

yang merupakan bagian terluar dari antigen O pada beberapa spesies, kecuali pada

Enterobacteriaceae. Selain itu Klebsiella pneumoniae juga memiliki enzim urease dan enzim

sitrat permiase serta enzim ESBL (Extended Spektrum Beta Lactamase) yang dapat

melumpuhkan kerja berbagai jenis antibiotik (Yinnon, 1996).

Klebsiella pneumoniae dapat menyebabkan pneumonia, yang menyerang jaringan

paru-paru (alveoli). Klebsiella pneumoniae yang menyebabkan penyakit paru-paru

memberikan penampakan berupa pembengkakan paru-paru sehingga lobus kiri dan kanan

paru-paru menjadi tidak sama, demam (panas-dingin), batuk-batuk (bronkhitis), penebalan

dinding mukosa dan dahak berdarah (Feldman, 1990).

Klebsiella pneumoniae bisa didapatkan dari darah, urin, cairan pleura, dan luka untuk

pewarnaan Gram. Klebsiella pneumoniae biasanyadikelilingi oleh kapsul yang muncul

sebagai ruang yang jelas. Pewarnaan Gram dan kultur dari dahak yang dibatukkan, induksi

sputum atau aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasilititas

memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara semikuantitatif atau

kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan ≥106 colony-forming units/ml dari sputum,

≥105– 106 colony-forming units/ml dari aspirasi endotracheal tube, ≥104– 105 colony-forming units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) , ≥103colony-forming units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102colony-forming units/ml dari vena kateter sentral . Dua set

kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak


(14)

memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila ditemukan sel

PMN > 25/lapangan pandang kecil (LPK) dan sel epitel < 10/LPK (Qureshi, 2012).

Beberapa jenis Klebsiella pneumoniaedapat diobati dengan antibiotik, khususnya

antibiotik yang mengandung cincin beta-laktam (Garau, 2001).Contoh antibiotik tersebut

adalah Ampicillin, Carbenicillin, Amoxicilline, dll. Dari hasil penelitian diketahui bahwa

Klebsiella pneumoniae memiliki sensitivitas 98,4% terhadap meropenem, 98,2% terhadap

imipenem, 92,5% terhadap kloramfenikol, 80% terhadap siprofloksasin, dan 2% terhadap

ampisilin. Strain baru dari Klebsiella pneumoniae kebal terhadap berbagai jenis antibiotik dan

sampai sekarang masih dilakukan penelitian untuk menemukan obat yang tepat untuk

menghambat aktivitas atau bahkan membunuh bakteri tersebut (Carlet, 2000).

2. Sirih (Piper betle Linn)

Sirih merupakan tanaman merambat yang mencapai ketinggian hingga 15 meter dan

mempunyai batang berwarna coklat kehijauan yang beruas-ruas sebagai tempat keluarnya

akar. Daun berbentuk jantung, tumbuh secara selang-seling, bertangkai dan memiliki daun

pelindung. Jika diremas, daun akan mengeluarkan aroma yang sedap. Bunga berupa bulir,

terdapat di ujung cabang dan berhadapan dengan daun.Buah sirih berbentuk bulat dan berbulu.

(Mursito, 2002)

Tata Nama Sirih (Piper betle Linn)

Divisi : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Ordo : Piperales

Family : Piperaceae


(15)

Spesies : Piper betle Linn (Sudarmo, 2005)

Kandungan kimia yang terdapat pada daun sirih terdiri dari minyak atsiri,

hidrosikavikol, kavikol, kavibetol, allylprokatekol, karvakrok, eugenol, p-cymene, cineole, catyofelen, kadimen estragol, terpenena, fenil propada, tannin, dan sebagainya. Karena

kelengkapan kandungan senyawa kimia yang bermanfaat inilah daun sirih memiliki manfat

yang sangat luas sebagai bahan obat (Astrini, 2001).

Minyak atsiri dari daun sirih mengandung seskuiterpen, pati, diatase, gula, zat samak

dan kavikol yang memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi danfungisida. Daun sirih juga

bersifat menahan perdarahan, menyembuhkan luka pada kulit, dan gangguan saluran

pencernaan. Selain itu sirih juga bersifat mengerutkan, mengeluarkan dahak, meluruhkan

ludah, hemostatik, dan menghentikan perdarahan(Sudarmo, 2005).

Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap dan mengandung aroma atau

wangi yang khas. Minyak atsiri dari daun sirih mengandung 30% fenoldan beberapa

derivatnya. Kavikol merupakan komponen paling banyak dalam minyak atsiri yang memberi

bau khas pada sirih.Persenyawaan fenol ini diketahuimemiliki aktivitas antibakteri dan

minyak atsiri dari daun sirih juga dapat digunakan sebagai antijamur dan antioksidan. Minyak

atsiri dari daun sirih terdiri dari kavikol, eugenol, dan sineol, dilihat dari strukturnya

senyawa-senyawa tersebut tidak atau kurang larut dalam pelarut polar, sehingga pada fraksinasi

digunakan pelarut nonpolar dan semi polar (Parwata, 2009).

Menurut Sastroamidjojo (1997), Indonesia memiliki jenis tanaman obat yang banyak

ragamnya. Jenis tanaman yang termasuk dalam kelompok tanaman obat mencapai lebih dari

1000 jenis, salah satunya yaitu sirih (Piper betle Linn). Daun sirih dapat digunakan untuk


(16)

rongga mulut, luka bekas cabut gigi, penghilang bau mulut, batuk dan serak, hidung berdarah,

keputihan, wasir, tetes mata, gangguan lambung, gatal-gatal, kepala pusing, jantung berdebar

dan trachoma (Syukur dan Hernani, 1999).

Daun sirih (Piper betleLinn) banyak digunakan di negara India, Taiwan dan

negara-negara Asia Tenggara. Di beberapa tempat digunakan sebagai pembersih mulut.Tanaman ini

banyak hidup di daerah lembab.Daun Piper betleLinn mengandung air (85-90%), protein

(3-3.5%), karbohidrat (0.5-6.1%), mineral (2.3-3.3%), lemak (0.4-1%), serat (2.3%), minyak

esensial (0.08-0.2%), tannin (0.1-1.3%), alkaloid (arakene). Serta beberapa vitamin seperti

vitamin C (0.005-0.01%), asam nikotinik (0.63-0.89mg/ 100gms), vitamin A

(1.9-2.9mg/100gms), thiamin (10-70μg/100gms), riboflavin (1.9-30μg/100gms) disamping itu juga terdapat beberapa mineral seperti kalsium (0.2-0.5%), besi (0.005-0.007%), iodin

(3.4μg/100gms), fosforus (0.05-0.6%), kalium (1.1-4.6%) (Guha, 2006). Daunnya juga mengandung senyawa rasa pahit sekitar (0.7-2.6%) (Bajpai, 2010). Daun sirih dapat

digunakan sebagai antibakteri karena mengandung 4,2% minyak atsiri yang sebagian besar

terdiri dari betephenol yang merupakan isomer Euganol allypyrocatechine, Cineol methil

euganol, Caryophyllen (siskuiterpen), kavikol, kavibekol, estragol dan terpinen

(Sastroamidjojo, 1997).

Gambar 2. Daun Sirih (sumber: Anonim, 2009)


(17)

Tanaman ini telah menjadi sumber yang menjanjikan. Hal ini dapat terlihat dari potensi

sirih sebagai antibiotik yang memiliki keuntungan dalam hal keamanan, ketersediaan, serta

menurunkan resiko dari efek samping dan ketergantungan (Caburian, 2010).Daun sirih (Piper

betle Linn) menunjukkan adanya aktivitas antimikrobial melawan mikroorganisme dalam

spektrum yang luas (Jesonbabu, 2012).

Sterol dalam ekstrak daun sirih dianggap menjadi molekul aktif yang berinteraksi

dengan dinding sel dan membran bakteri, membuat terjadinya kerusakan dalam struktur

primer dinding sel bakteri.Hal ini kemudian membuat terjadinya degradasi dari sel bakteri.

Bakteri gram positif lebih terpengaruh oleh ekstrak sirih akibat hanya memiliki satu lapis

dinding sel dan kurangnya bahan untuk melawan molekul besar (Chakraborty, 2011).

3. Eritromisin

Pengobatan yang sering dipakai untuk pneumonia adalah antibiotik beta-laktam yang

bekerja dengan cara menghambat sintesis peptidoglycan pada dinding sel bakteri.

Peptidoglycan merupakan lapisan yang terdiri dari untaian rantai peptide N

-acetylglucosamine (NAG) dan N-acetylmuramic (NAM) yang tersusun secara bergantian dan

dihubungkan dengan peptida yang lebih kecil sehingga terbentuk suatu anyaman yang kuat

berkat rangkaian proses yang diperantarai oleh berbagai enzim (trans-, carboxy-, dan

edopeptidase) (Dartnell, 2003).

Aktivitas antibiotik terhadap Pseudomonas, Klebsiella, dan Gram negatif lainnya.

Golongan ini dirusak oleh beta-laktamase. Selain itu obat golongan aminoglikosida juga

sering digunakan untuk terapi penyakit ini. Aminoglikosid menghambat sintesis protein

dengan 3 cara:


(18)

2. Agen-agen ini menginduksi salah baca mRNA, yang mengakibatkan penggabungan asam

amino yang salah ke dalam peptide sehingga menyebabkan suatu keadaan nonfungsi atau

toksik protein.

3. Agen-agen ini menyebabkan terjadinya pemecahan polisom menjadi monosom

non-fungsional.

Aminoglikosida bekerja secara sinergis dengan antibiotic beta-laktam karena kerja

beta-laktam pada sintensis dinding sel meningkatkan difusi aminoglikosida kedalam bakteri.

Semua aminoglikosida bersifat bakterid (Strand, 2005).Kelompok antibiotika makrolida

terdiri dari eritromisin dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan

diritromisin. Semua makrolida diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif

sitokrom-P450 menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari

klaritromisin dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta

kemih, terutama dalam bentuk inaktif (Elin, 2008).

Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa diare,

nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada eritromisin akibat

penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian

yang reversibel. Semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai

peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum (Iriantoro, 2007; Elin, 2008).

Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama dengan

penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti penisilin (Elin, 2008).

Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui

pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya


(19)

sedangkan masa paruhnya singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin

merupakan pilihan pertama khususnya pada infeksi paru-paru dengan Legionella

pneumophila dan Mycoplasna pneumonia. Eritromisin menyebabkan mual, muntah, dan

diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong selama maksimal 7 hari (Tjay,

2007; Elin, 2008).

4. Leukosit

Leukosit adalah bagian dari darah yang berwarna putih dan merupakan unit mobil dari

system pertahanan tubuh terhadap infeksi yang terdiri dari granuler dan agranuler. Granuler

meliputi: basofil, eosinofil, neutrofil batang, dan neutrofil segmen, sedangkan agranuler

meliputi: limfosit, monosit, dan sel plasma (Mescher, 2009). Rata-rata jumlah leukosit dalam

darah manusia normal adalah 5000-9000/mm3, bila jumlahnya lebih dari 10.000/mm3

keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari 5000/mm3 disebut leukopenia. (Effendi,

2003).

Lekosit dalam sirkulasi darah dan yang bermigrasi ke dalam eksudat peradangan

berasal dari sumsum tulang. Dalam keadaan normal, di dalam sumsum tulang dapat ditemukan

berbagai jenis leukosit imatur dan kumpulan leukosit matur yang disimpan sebagai cadangan

untuk dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah tiap jenis leukosit dalam sirkulasi darah

perifer sangat terbatas tetapi berubah sesuai kebutuhan jika timbul proses peradangan.

Artinya, dengan dimulainya respon peradangan, sinyal umpan balik pada sumsum tulang

mengubah laju produksi dan pelepasan satu jenis leukosit atau lebih ke dalam aliran darah.

(Wilson, 2006).

Pertahanan tubuh melawan infeksi adalah peran utama leukosit atau sel darah putih


(20)

1. Netrofil (50%-75% SDP total),

2. Eosinofil (1%-2%),

3. Basofil (0,5%-1%),

4. Monosit (6%),

5. Limfosit (25%-33%).

Netrofil, eosinofil dan basofil disebut granulosit, artinya sel dengan granula dalam

sitoplasmanya (Baldy, 2006). Netrofil matur normal memiliki nukleus bersegmen (dua sampai

lima lobus) dengan kromatin yang bergeser dan berkumpul, granula-granula neutrofilik yang

halus meyebar di seluruh sitoplasma (Price and Wilson, 2006).

Gambar 3. Neutrofil matur normal (sumber: Riswanto, 2009)

Neutrofil merupakan sistem pertahanan tubuh primer melawan infeksi bakteri, metode

pertahanannya adalah proses fagositosis. Inti sel-sel ini memiliki lobus yang tidak teratur atau

polimorf. Oleh karena itu, sel-sel ini disebut neutrofil polimorfonuklear (PMN). Dalam

sumsum tulang terdapat banyak neutrofil cadangan yang akan dikeluarkan bila timbul infeksi

dan cadangan ini akan dilepaskan ke sirkulasi (Wilson, 2006; Baldy, 2006).Eosinofil memiliki

inti ireguler yang mirip dengan neutrofil, tetapi granula sitoplasmanya berwarna merah cerah

jika diwarnai dengan eosin dan jauh lebih mencolok dari granula neutrofil yang berwarna


(21)

Gambar 4. Eosinofil normal (sumber: Riswanto, 2009)

Eosinofil merupakan jenis granulosit yang lain yang dapat ditemukan di dalam eksudat

peradangan, walaupun biasanya dalam jumlah yang relatif sedikit. Eosinofil memiliki

beberapa fungsi yang sama dengan neurofil misalnya, eosinofil berespon terhadap rangsangan

kemotaktik, eosinofil memfagositosis berbagai jenis partikel dan bahkan membunuh

mikroorganisme tertentu. Akan tetapi, hal yang berbeda adalah eosinofil berespon terhadap

stimulus kemotaktik khas tertentu yang timbul selama reaksi alergi dan eosinofil mengandung

zat-zat yang toksik terhadap parasit-parasit tertentu. Oleh karena itu, eosinofil cenderung

berkumpul dalam konsentrasi yang signifikan di tempat infestasi parasit dan reaksi-reaksi

alergi (Wilson, 2006). Jenis granulosit ketiga adalah basofil, sitoplasmanya dipenuhi oleh

granula besar yang berwarna biru gelap yang mengisi sel dan mengaburkan nukleus.

Gambar 5. Basofil


(22)

Basofil memiliki banyak gambaran yang sama dengan sel-sel tertentu pada jaringan

ikat yang disebut sel mast atau basofil jaringan. Granula pada kedua jenis sel ini mengandung

berbagai enzim, heparin dan histamin. Basofil darah dan sel mast jaringan dirangsang untuk

melepaskan kandungan granulanya pada berbagai keadaan cedera, termasuk reaksi

imunologik. Sel mast merupakan sumber utama histamin pada awal reaksi peradangan akut

(Wilson, 2006).

Monosit merupakan suatu bentuk leukosit yang berbeda dari granulosit karena

morfologi intinya dan sifat sitoplasmanya yang relatif agranulosit. Monosit normal merupakan

sel besar dengan nukleus melipat atau melekuk mengandung kromatin halus menyerupai

benang dan sitoplasmanya berwarna biru keabu-abuan biasanya mengandung granula-granula

azurofilik yang halus (Price and Wilson, 2006).

Gambar 6. Monosit (sumber: Anonim, 2009)

Pada perjalanan reaksi peradangan akut, monosit mulai bermigrasi dalam waktu yang

kira-kira sama dengan neutrofil, tetapi jumlah monosit jauh lebih sedikit dan kecepatannya

lebih lambat. Oleh karena itu, pada jam-jam pertama peradangan, di dalam eksudat terdapat

sel-sel monosit dalam jumlah sedikit, namun seiring dengan semakin lamanya usia eksudat,


(23)

apabila bermigrasi ke jaringan dinamakan makrofag dan makrofag yang mengembara di

dalam jaringan ikat dikenal sebagai histiosit (Wilson, 2006).

Limfosit adalah leukosit mononuklear (monomorfonuklear) dalam darah yang

memiliki inti bulat dan oval yang dikelilingi oleh pinggiran sitoplasma sempit berwarna biru

yang mengandung sedikit granula.Sel-sel ini mencakup hampir separuh dari populasi leukosit

dalm darah tepi.Sebagian besar berukuran kecil, sekitar 10 μm, hampir seluruhnya terdiri dari

inti,dengan tepi yang tipis dari sitopalsma biru yang kadang-kadang mengandung

granulaazurofilik yang tersebar. Sebagian besar limfosit ditemukan dalam limfonodus,

limpa,sumsum tulang dan timus (Thomson,1997). Menurut Widmann (1995), sekitar 75-80%

limfosit yang terdapat dalam sirkulasi pada orang dewasa sehat adalah limfositT, sedangkan

10-15% adalah limfosit B.

Limfosit T, yaitu sel yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya imunitas

seluler dan respon imunologik, beredar lebih ekstensif daripada limfosit B. Limfosit B yang

dapat berubah menjadi sel yang memproduksi antibodi atas rangsangan yang sesuai, sebagian

besar tetap berada di dalam dan di sekitar folikelfolikel kelenjar limfe dan berumur beberapa

minggu hingga beberapa bulan (Widmann,1995).

Fungsi limfosit terutama berkaitan dengan mekanisme pertahanan imun, yaitu:

1. Imunitas selular. Hipersensitivits tertunda, reaktivitas tandur (graft) terhadap pejamu (host)

dan penolakan tandur.

2. Produksi antibodi humoral dan immunoglobulin. Setelah diproduksi dalam sumsum tulang,

sel-sel B ini menempati sentrum germinativum dan zona perifer dari limfonodus.


(24)

Gambar 7. Limfosit (sumber: Anonim, 2009)

Setelah proses aktivasi, sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi

reseptor antigen larut yang disebut antibodi. Sel T mempunyai subkelas menurut ekspresi

koreseptornya yaitu CD4 dan CD8. Sel T yang mempunyai CD8 berdiferensiasi menjadi

limfosit T sitotoksik (sel Tc) yang mempunyai fungsi mematikan sel pejamu yang terinfeksi

mikroorganisme. Sedangkan hasil diferensiasi sel T CD4 adalah sel Th1 dan sel Th2. Sel Th1

membantu perkembangan imunitas yang dimediasi sel. Sel Th2 membantu perkembangan

imunitas humoral. Jenis mekanisme efektor yang berkembang dari sistem imun alami dan

adaptif ditentukan dari bakteri yang menginfeksi, bakteri intraselular atau ekstraselular (IDAI,

2008).

Natural Killer cell (sel NK) adalah sel limfosit tanpa ciri-ciri limfoid sistem imun

spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi. Oleh karena itu, disebut juga sel non B non T atau

null cell. Sel NK merupakan limfosit dengan granula yang besar, oleh karena itu disebut juga

Large Granular Lymphocyte/LGL. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus


(25)

Gambar 8. Natural Killer cell (sumber:www.doctortipster.com, 2011)

5. Pneumonia

Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract (LRT)) akut,

biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007).Sebenarnya pneumonia bukan penyakit

tunggal.Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi, dengan

sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun

partikel.Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah

muncul pada anak, orang tua dan penderita penyakit kronis (Elin, 2008).

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri,

virus, jamur, dan protozoa. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. (Jeremy,

2007). Terdapatnya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan

tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan

berakibat timbulnya sakit. Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat melalui

berbagai cara:

a. Inhalasi langsung dari udara,


(26)

c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain,

d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992).

Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen.Kadang-kadang

terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia tergantung dari

interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu. Ketika bakteri dapat

mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi

kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitel

yang mengandung opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu akan terbentuk

antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag

alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan

komplemen (Supandi, 1992).

Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena bakteri yang tidak

berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae.Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak

bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktivitas fagositosisnya akan direkrut dengan

perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. (Miller, 1999).Hal ini akan

mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular, dan edema yang luas, dan hal ini merupakan

karakteristik pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan

edematus yang berasal dari alveolus ke alveolus menjadi pori-pori Khon (the pores of Khon).

Area edematus ini akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang

terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel leukosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara

histopatologi dinamakan red hepatization (Miller, 1999).

Gejala-gejala seseorang yang terinfeksi Klebsiella pneumoniae adalah napas cepat dan


(27)

pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari

1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun.

Pneumonia berat ditandai dengan adanya batuk atau (juga disertai) kesukaran bernapas, napas

sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam (severe chest indrawing) pada

anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Pada kelompok usia ini dikenal juga pneumonia

sangat berat, dengan gejala batuk, kesukaran bernapas disertai gejala sianosis sentral dan tidak

dapat minum.(Garau, 2001).

Sementara untuk anak dibawah 2 bulan, pnemonia berat ditandai dengan frekuensi

pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih atau (juga disertai) penarikan kuat pada

dinding dada sebelah bawah ke dalam, batuk-batuk, perubahan karakteristik dahak, suhu

tubuh lebih dari 38º C. Gejala yang lain, yaitu apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan suara

napas bronkhial, bronkhi dan leukosit lebih dari 10.000 atau kurang dari 4500/uL (Garau,

2001).

Pada pasien usia lanjut atau pasien dengan respon imun rendah, gejala pneumonia

tidak khas, yaitu berupa gejala non pernafasan seperti pusing, perburukan dari penyakit yang

sudah ada sebelumnya dan pingsan. Biasanya frekuensi napas bertambah cepat dan jarang


(28)

B. Kerangka Konsep

Keterangan :

= diteliti

= tidak diteliti

C. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pemberian ekstrak daun sirih mempengaruhi jumlah leukosit pada mencit Balb/C yang

diinfeksi Klebsiella pneumoniae.

2. Pemberian ekstrak daun sirih mempengaruhi jumlah limfosit pada mencit Balb/C yang

diinfeksi Klebsiella pneumoniae. Mencit Balb/C

Pneumoni pada mencit

Diinfeksi Klebsiella pneumoniae Ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) dosis 100, 200, 400

mg/kgBB/hari yang mengandung zat aktif berupa anti-bakteri, anti-inflamasi, dan berfungsi meningkatkan proliferasi limfosit dan leukosit.

Penurunan angka kuman pada paru mencit Balb/C

Jumlah leukosit dan limfosit pada mencit


(29)

BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.Penelitian ini berupa

perlakuan atau intervensi terhadap suatu variabel sehingga diharapkanterjadi pengaruh terhadap

variabel yang lain dengan rancangan penelitianthe post test-only control group design, yaitu

dengan melakukan pengukuran atau observasisetelah perlakuan diberikan (Notoatmojo,

2005).Pada penelitian ini menggunakan binatang percobaan sebagai obyek penelitian. Perlakuan

berupa pemberian larutan ekstrak daun sirih yang dibuat di Laboratorium Farmasi FKIK UMY,

pada mencit Balb/C yang diinfeksi dengan bakteri Klebsiella pneumoniae. Parameter pengukuran

variabel berupa jumlah leukosit dan limfosit.

B. Tempatdan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Maret – Juni 2015.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah mencit Balb/C. Strain yang dipilih adalah Balb/C

dikarenakan strain ini dapat menimbulkan imunitas selular apabila diinokulasikan dengan

Klebsiella penumoniae hidup. Mencit Balb/C juga suspectible terhadap infeksi Klebsiella

penumoniae serta memiliki kemiripan histologis dengan saluran pernafasan manusia.

2. Sampel Penelitian

a. Besar sampel


(30)

(t – 1) (r – 1) >= 15 (6 – 1) (r – 1) >= 15 (r – 1) >= 15/5 (r – 1) >= 3 r = 4

t = jumlah perlakuan

r = jumlah sampel per kelompok

Jumlah sampel per kelompok dihitung berdasarkan rumus tersebut dengan jumlah perlakuan

sebanyak enam kelompok. Dari hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel minimal adalah

empat. Untuk menghindari drop out maka ditetapkan jumlah sampel per kelompok sebanyak

lima. Sehingga jumlah total sampel yang digunakan adalah tiga puluh mencit.

b. Cara pengambilan sampel

Obyek penelitian ini adalah mencit yang diinfeksi dengan bakteri Klebsiella

pneunomiae sehingga terjangkit penyakit pneumonia dengan kriteria inklusi sebagai berikut

:

1) Mencit yang berumur 2,5 sampai 3 bulan dengan berat badan 20 sampai 25 gram.

2) Mencit dari galur murni Balb/C.

3) Mencit dengan jenis kelamin jantan.

4) Mencit aktif sebelum diinfeksi Klebsiella penumoniae.

5) Mencit sehat dan tidak ada kelainan anatomis.

Sedangkan untuk kriteria ekslusi antara lain, dalam pengambilan sampel mencit mati sebelum


(31)

D. Variabel Penelitian

1. Variabel tergantung: Status imunologi, dalam penelitian ini diukur dengan parameter sebagai

berikut :

a. Jumlah leukosit diperiksa dengan hemositometer.

b. Persentase limfosit dari sediaan apus darah tepi diperiksa dengan melihat dibawah

mikroskop cahaya dan dihitung persentasenya dalam 100 leukosit.

2. Variabel bebas: Pemberian larutan ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) dengan

dosis100mg/kgBB, 200mg/kgBB, 400mg/kgBB dan pemberian obat standar eritromisin

3,25mg.

3. Variabel terkendali:

a. Dapat dikendalikan:

1) Mencit Balb/C umur 2,5 sampai 3 bulan dengan berat badan rata-rata 20– 25 gram, 2) Kondisi kandang, pakan, dan minum sama.

3) Klebsiella penumoniae sebagai imunogen,yang diinfeksikan sebanyak 108

CFU.Klebsiella penumoniae yang digunakan yaitu dari isolat klinis yang didapatkan dari

Laboratorium Mikrobiologi FK UGM.

b. Tidak dapat dikendalikan: Variasi genetik dan metabolisme mencit.

E. Definisi Operasional

1. Ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) adalah larutan yang dibuat dari daun sirih (Piper betle

Linn) yang diberikan kepada kelompok perlakuan mencit Balb/C (yang diinfeksi Klebsiella

penumoniae) melalui sonde lambung dengan dosis 100mg/kg BB/hari, 200mg/kg BB/hari dan


(32)

2. Jumlah leukosit adalah leukosit dalam darah mencit Balb/C yang dihitung dengan

menggunakan alat hemositometer dan dilihat di bawah mikroskop cahaya, sel-sel leukosit

yang dihitung adalah yang mengendap pada 4 kotak besar bilik hitung Improved Neubaur

dengan rumus, hitung leukosit/mm3= jumlah sel yang dihitung dalam 4 kotak besar x

pengenceran (20) dibagi volume kotak besar (0,4mm3) dengansatuan jumlah leukosit/mm3.

3. Persentase limfosit adalah persentase jumlah limfosit dalam 100 leukosit yang dihitung

dengan cara membaca di bawah mikroskop, dari zona baca pada sediaan apus darah tepi

dengan ciri-ciri inti bulat atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran sitoplasma sempit berwarna

biru yang mengandung sedikit sedikit granula, dengan satuan persentase limfosit dalam persen

(%).

F. Instrumen Penelitian

1. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk pemeliharaan mencit : kandang mencit, ram kawat, alas kandang, tempat makanan,

tempat minuman, sikat.

b. Untuk perlakuan pada mencit : neraca analitik, mikropipet, vortex, kaca objek, sonde

lambung, spuit 1 cc steril, pipet volume, pipet pasteur, pipet eppendrof, petridish,

inkubator, ose.

c. Untuk pengambilan data : sarung tangan, pinset, spuit 3 ml, seperangkat alat bedah steril,

alat homogenisasi, mikroskop cahaya, alat hemositometer yang terdiri dari bilik hitung

Improved Neubaur dan pipet leukosit.


(33)

Bahan-bahan yang diperlukan yaitu : pakan ternak standar untuk mencit Balb/C, bakteri

Klebsiella pneumoniae yang didapatkan dari Laboratorium Mikrobiologi FK UGM, larutan

ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) yang dibuat di Laboratorium Farmasi FKIK UMY, sampel

berupa darah mencit yang diambil dari pembuluh darah retroorbital mencit dengan menggunakan

kapiler hematokrit dan darah dari ekor mencit.

Reagen yang digunakan adalah alkohol 70%, dan larutan Giemsa, antikoagulasi EDTA,

larutan pengencer Turk dan minyak imersi, kemudian media McConkey, NaCl fisiologis steril,

eter, dan heparin.

1) Pembuatan ekstrak daun sirih

Pembuatan ekstrak daun sirih yaitu dengan mengeringkan daun sirih kemudian dibuat

dalam bentuk serbuk, kemudian serbuk ditimbang sesuai kebutuhan dosis dan dimaserasi

dengan menggunakan pelarut metanol, selama 3 jam dan sebanyak 10 siklus, suhu dijaga pada

65 derajat celcius. Kemudian ekstrak disaring dengan menggunakan corong buchner untuk

mendapatkan filtratnya. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotary

evaporat sampai diperoleh ekstrak kental (Chakraborty and Shah, 2011).

2) Pembuatan suspensi bakteri Klebsiella penumoniae

Prosedur pembuatan suspensi bakteri Klebsiella penumoniae adalah Klebsiella

penumoniae ditanam dalam kaldu brain heart indusion (BHI) yang mengandung 100μg/ml ampisilin dan diinkubasikan dalam 37 derajat celcius selama 18 jam. Kemudian disentrifugasi

dengan kecepatan 10.000 rpm dalam 15 menit. Dicuci sebanyak dua kali dalam larutan NaCl

0,85%. Setelah pencucian kedua, diencerkan dengan NaCl 0,85% hingga mendapatkan volume


(34)

koloni dikonfirmasi dengan menggunakan metode spiral platedalam tryptic soy agar (TSA)


(35)

G. Alur Penelitian

H. Cara Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data meliputi langkah-langkah sebagai berikut :

1. Sampel diadaptasi selama 1 minggu di laboratorium dan diberi pakan standar.

2. Dilakukan pengelompokan dengan acak sederhana, 30 ekor mencit dibagi dalam 6 kelompok.

3. Kelompok E1-E4 diberi pakan standar dan larutan ekstrak daun sirih (Piper betleLinn) dengan

dosis 100 mg/kg BB/hari untuk E1, 200 mg/kg BB/hari untuk E2, 400 mg/kg BB/hari untuk

E3, dan larutan eritromisin 3,25 mg. Setelah 12 jam infeksi Klebsiella pneumoniae secara

intranasal pada hari ke-1, kemudian diberi perlakuan dengan dosis yang sudah ditetapkan Mencit Balb/C

Diinfeksi Klebsiella penumoniae Tidak diinfeksi

Pemberian eritromisin Pemberian ekstrak

daun sirih (Piper betle Linn) Tanpa pemberian

ekstrak daun sirih (Piper betle Linn)

100mg /kgBB

3,25mg /kgBB 400mg

/kgBB 200mg

/kgBB

E1 C2

C1 E2 E3 E4

Pemeriksaan jumlah leukosit dan limfosit darah pada mencit


(36)

selama 7 hari. Pada hari ke-7 semua mencit diambil darahnya melalui pembuluh darah

retroorbital untuk pemeriksaan jumlah leukosit dan darah dari ekor mencit untuk dihitung

persentase limfositnya.

4. Kelompok C2 diberi pakan standar selama 7 hari, dilakukan infeksi Klebsiella

pneumoniaesecara intranasal namun tidak diberi larutan ekstrak daun sirih maupun larutan

eritromisin dan kelompok C1 merupakan kontrol sehat tanpa perlakuan kemudian dilakukan

pemeriksaan yang sama seperti kelompok lainnya.

I. Prosedur Pemeriksaan

1. Prosedur pemeriksaan jumlah leukosit (Suryanto, 2006)

Pemeriksaan jumlah leukosit dilakukan dengan cara:

a. Darah mencit yang diambil dari retroorbital diberi antikoagulasi EDTA,

b. Dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit dengan menggunakan hemositometer yang

terdiri dari bilik hitung Improved Neubaur.

c. Bilik hitung dicari dengan mikroskop dalam posisi rata, dengan menggunakan

pembesaran kecil 10 x 10.

d. Cari 4 bidang kotak besar yang masing-masing luasnya 1 mm3 yaitu bidang pojok kanan

atas, kanan bawah, kiri atas dan kiri bawah (lihat gambar).

e. Hisap darah dengan pipet leukosit sampai tanda 0,5, bila lebih letakkan ujung pipet pada

bahan yang tidak meresap, misal kuku atau plastik, sampai darah tepat pada tanda 0,5,

f. Bersihkan ujung luar pipet tersebut dengan tissue,

g. Kemudian hisaplah larutan pengencer sampai tanda 11 (pengenceran 1:20),

h. Peganglah pipet leukosit tersebut sedemikian rupa sehingga kedua ujung pipet terletak


(37)

i. Kocoklah selama 3 menit, agar semua eritrosit lisis,

j. Pengisian bilik hitung : buanglah 4 tetes pertama dan letakkan ujung pipet pada bilik

hitung tepat batas kaca penutup. Isikan ke dalam bilik hitung tersebut dan biarkan selama

3 menit agar leukosit mengendap

k. Cara menghitung : hitunglah sel-sel leukosit pada ke-4 kotak besar bilik hitung. Pada

setiap kotak sel-sel yang menempel pada sisi kiri/bawah ikut dihitung sedangkan yang

menempel di sisi kanan/atas tidak dihitung.

l. Hitung leukosit mm3 = jumlah sel yang dihitung dalam 4 kotak besar x pengenceran (20)

dibagi volume kotak besar (0,4 mm3) dengan satuan jumlah leukosit/mm3.

Gambar 9. Bilik hitung Improved Neubaur (sumber: Kurniawan, 2012)

2. Prosedur pemeriksaan persentase dan gambaran morfologi limfosit (Suryanto, 2006)

Langkah-langkah dalam pemeriksaan hitungjenis leukosit pada sediaan apus darah tepi

dengan prosedur pembuatan preparat sebagai berikut :

a. Meneteskan darah pada garis tengah kaca objek kira-kira 1 cm dari ujung.

b. Dengan tangan kanan diletakkan kaca objek lain di sebelah kiri tetesan dan gerakkan ke

kanan sampai menyentuh tetes darah.

c. Darah akan menyebar pada sisi penggeser.


(38)

e. Preparat dibiarkan kering di udara dan beri label.

f. Preparat yang telah kering difiksasi dengan methanol 90%, dikeringkan kembali.

g. Preparat diberi pewarnaan dengan larutan Giemsa dan didiamkan selama 20-25 menit.

h. Mencuci preparat dengan air mengalir dan preparat dikeringkan.

i. Preparat sediaan apus darah tepi yang sudah kering dibaca di bawah mikroskop cahaya

untuk dihitung persentase limfositnya dan hitung jenis leukosit lainnya.

J. Uji Validitas dan Reliabilitas

Kesahihan (validitas) dan keterandalan (reliabilitas) pada penelitian ini ditentukan oleh

ketepatan alat ukur, ketepatan cara pengukuran dan dosis bahan uji yang tepat.

K. Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun sirih (Piper betleLinn)

terhadapjumlah leukosit dan persentase limfosit pada mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella

pneumoniaemenggunakan analisis data statistik dengan bantuan software SPSS versi 15. Untuk uji

normalitas dan uji homogenitas menggunakan uji Shapiro-Wilk karena sampel yang digunakan

sedikit (<50) kemudian data tersebut diuji dengan uji parametrikOne Way ANOVA karena

distribusi data normal,untuk mengetahui perbedaan dari tiap-tiap kelompok tersebut dilakukan uji

Tukey HSDuntuk jumlah leukosit dan diberikan uji Kruskal Wallisserta uji Mann Whitneyuntuk

persentase limfosit karena distribusi data tidak normal.

L. Etika Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan mendapatkan persetujuan ethical clearence dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(39)

BAB IV. HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Dari perhitungan jumlah leukosit dan persentase limfosit mencit Balb/Cyang diinfeksi

Klebsiella pneumoniaediperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil analisis deskriptif rata-rata jumlah leukosit mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae dengan berbagai perlakuan

Nama Kelompok n Rata-rata + SD (mm3)

C1

C2

E1

E2

E3

E4

5

5

5

5

5

5

59,8000+24,98399 47,4000+11,32696 51,0000+21,15420 32,0000+11,06797 26,4000+12,77889 44,0000+27,21213

Keterangan : C1: tidak diberi perlakuan apapun (kontrol negatif); C2: diinfeksi Klebsiella pneumoniae (kontrol positif); E1: diinfeksi Klebsiella pneumoniae + diberi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn)100 mg/kgBB; E2: diinfeksi Klebsiella pneumoniae + diberi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn)200 mg/kgBB; E3: diinfeksi Klebsiella pneumoniae + diberi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn)400 mg/kgBB; E4: diinfeksi Klebsiella pneumoniae + diberi eritromisin 3,25 mg.

Pada tabel 1 didapatkan rata-rata jumlah leukosit tertinggi pada kelompok C1 yaitu mencit

Balb/C yang tidak diberi perlakuan apapun(kontrol negatif) dengan rata-rata jumlah leukosit

sebesar 59,8000. Jumlah leukosit terendah terdapat pada kelompok E3 yaitu mencit Balb/C yang diberi 400 mg/kgBB ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) dengan rata-rata jumlah leukosit sebesar

26,4000.

Dari hasil analisis deskriftif ini, terjadi penurunan jumlah leukosit pada semua kelompok


(40)

terdapat pada kelompok E3, yaitu kelompok yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae dan diberi

ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) 400 mg/kgBB. Sedangkan kelompok perlakuan yang

memiliki jumlah leukosit paling tinggi adalah kelompok E1 yaitu kelompok yang diinfeksi

Klebsiella pneumoniae dan diberi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn)100 mg/kgBB.

Hasil analisa statistika menggunakan One way ANOVAdiperoleh p>0,05, artinya

pemberian ekstrak daun sirih tidak mempengaruhi jumlah leukositpada mencit Balb/C yang

diinfeksi Klebsiella pneumoniae(Hipotesis 1 ditolak).

Tabel 2. Hasil analisis deskriptif rata-rata jumlah limfosit mencit Balb/C yang diinfeksi

Klebsiella pneumoniae dengan berbagai perlakuan

Nama Kelompok n Rata-rata + SD (mm3)

C1

C2

E1

E2

E3

E4

5

5

5

5

5

5

77,4600+10,28509 76,3800+15,99725 60,8400+36,53502 61,6600+35,67763 62,8600+36,89991 28,9800+39,71161

Keterangan : C1: tidak diberi perlakuan apapun (kontrol negatif); C2: diinfeksi Klebsiella pneumoniae (kontrol positif); E1: diinfeksi Klebsiella pneumoniae + diberi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn)100 mg/kgBB; E2: diinfeksi Klebsiella pneumoniae + diberi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn)200 mg/kgBB; E3: diinfeksi Klebsiella pneumoniae + diberi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn)400 mg/kgBB; E4: diinfeksi Klebsiella pneumoniae + diberi eritromisin 3,25 mg.

Pada tabel 2 didapatkan rata-rata jumlah limfosit tertinggi pada kelompok C1 yaitu mencit

Balb/C yang tidak diberi perlakuan apapun(kontrol negatif)dengan rata-rata jumlah limfosit


(41)

diinfeksi Klebsiella pneumoniae dan diberi eritromisin 3,25 mg, dengan rata-rata persentase

limfosit sebesar 28,98%.

Dari hasil analisis deskriftif ini, terjadi penurunan jumlah limfosit pada semua kelompok

perlakuan dibandingkan kelompok kontrol negatif (C1), jumlah limfosit yang paling menurun

terdapat pada kelompok E4, yaitu kelompok yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae dan diberi

eritromisin 3,25 mg. Sedangkan kelompok perlakuan yang memiliki jumlah limfosit paling tinggi

adalah kelompok E3 yaitu kelompok yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae dan diberi ekstrak daun

sirih (Piper betle Linn)400 mg/kgBB.

Hasil analisa statistika dengan ujiKruskal Wallisdiperoleh p>0,05, artinya pemberian

ekstrak daun sirih tidak mempengaruhi jumlah limfositpada mencit Balb/C yang diinfeksi

Klebsiella pneumoniae(Hipotesis 2 ditolak).

Tabel 3. Nilai p limfosit kelompok E1 – E4 terhadap kelompok C1 dengan menggunakan analisis statistik Mann-Whitney

Nama Kelompok n Nilai p terhadap kelompok C1

E1

E2

E3

E4

5

5

5

5

0,624

0,530

0,602

0,045

Hasil analisa statistika dengan uji Mann Whitney diperoleh nilai p<0,05 pada kelompok

E4, yaitu kelompok yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae dan diberi eritromisin 3,25 mg.

B. Pembahasan

Analisa data penelitian didahului dengan uji normalitas data untuk mengetahui apakah data


(42)

salah satu asumsi yaitu ragam dari populasi-populasi tersebut sama.Berdasarkan uji normalitas

dengan menggunakan Shapiro-Wilk karena sampel kurang dari 50 ekor mencit, didapatkan nilai

probabilitas adalah p>0.05, berartidata penelitian tersebut terdistribusi normal.Berdasarkan uji

statistik homogenitas dengan menggunakan Levene’s test, terlihat bahwa nilai probabilitas jumlah leukosit 0,475, karena didapatkan nilai p>0,05 berarti ragam semua perlakuan adalah sama

(homogen).

Berdasarkan hasil uji parametrik yaitu dengan uji analisis One Way ANOVApada

pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) terhadap peningkatan jumlah leukosit

menunjukkan hasil dengan nilai p=0,107 (p>0,05), artinya pemberian ekstrak daun sirih tidak

meningkatkan jumlah leukositpada mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae.Dari

hasil uji Tukey HSD dapat diketahui probabilitas jumlah leukosit dengan nilai p=0,103, hal ini

menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok (p>0,05).

Selanjutnya dilakukan uji Kruskal Wallispada pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle

Linn) terhadap peningkatan persentase limfosit menunjukkan hasil dengan nilai p=0,429 (p>0,05),

artinya pemberian ekstrak daun sirih tidak meningkatkan persentase limfositpada mencit Balb/C

yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae. Namun berdasarkan uji Mann Whitney terhadap

perbandingan kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan, didapatkan hasil terdapat 1

kelompok perlakuan yang menunjukkan pengaruh limfosit bermakna dibandingkan dengan

kelompok kontrol negatif, yaitu kelompok E4. Kelompok E4 yaitu kelompok yang diinfeksi

Klebsiella pneumoniae dan diberi eritromisin 3,25 mg dengan nilai p=0,045 (p<0,05). Namun nilai

bermakna tersebut dikarenakan terjadinya penurunan persentase limfosit yang signifikan bukan


(43)

Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi. Dalam proses inflamasi ada 3

hal yang terjadi, yaitu (1) peningkatan pasokan darah ke tempat benda asing, mikroorganisme atau

jaringan yang rusak, (2) peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel

endotel, (3) selanjutnya leukosit terutama fagosit polimorfonuklear bergerak ke luar pembuluh

darah menuju ke tempat benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang rusak(Iris, 2010).

Fagositosis yang efektif pada invasi kuman dini akan dapat mencegah timbulnya infeksi.

Dalam kerjanya, sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik.

Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut, kemotaksis, menangkap,

memakan, fagositosis, memusnahkan dan mencerna (Karnen, 2010). Sel polimorfonuklear

bergerak cepat dan sudah berada di tempat infeksi dalam 2-4 jam. Jaringan yang rusak atau mati

dapat pula melepas faktor kemotaksik. Aktivasi komplemen dan makrofag memberikan gambaran

respon selular yang berperan pada inflamasi akut (Iris, 2010).

Daun sirih mengandung 4,2 % minyak atsiri yang sebagian besar terdiri dari Chavicol

paraallyphenol(Sastroamidjojo, 1997).Minyak atsiri dari daun sirih mengandung 30% fenol,

persenyawaan fenol ini diketahui memiliki aktivitas antibakteri dan minyak atsiri dari daun sirih

juga dapat digunakan sebagai antijamur dan antioksidan (Parwata, 2009).

Chavicol bersifat sebagai desinfektan dan antijamur sehingga bisa digunakan sebagai

antiseptik. Sedang euganol dan methyl-euganol dapat digunakan untuk mengurangi sakit gigi,

selain itu di dalam daun sirih juga terdapat flavanoid, saponin, dan tannin. (Syukur dan Hernani,

1997).Menurut Mursito (2002) saponin dan tannin bersifat sebagai antiseptik pada luka

permukaan, bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan untuk infeksi pada kulit,

mukosa dan melawan infeksi pada luka.Flavanoid selain berfungsi sebagai bakteriostatik juga


(44)

Kartasapoetra (1992) menyatakan daun sirih antara lain mengandung kavikol dan kavibetol

yang merupakan turunan dari fenol yang mempunyai daya antibakteri lima kali lipat dari fenol

biasa terhadap Staphylococcus aureus.Cara kerja fenol dalam membunuh mikroorganisme yaitu

dengan cara mendenaturasi protein sel (Pelczar dan Chan, 1981). Dengan terdenaturasinya protein

sel, maka semua aktivitas metabolisme sel dikatalisis oleh enzim yang merupakan suatu protein

(Lawrence dan Block, 1968).

Sterol dalam ekstrak daun sirih dianggap menjadi molekul aktif yang berinteraksi dengan

dinding sel dan membran bakteri, membuat terjadinya kerusakan dalam struktur primer dinding

sel bakteri.Hal ini kemudian membuat terjadinya degradasi dari sel bakteri.Bakteri gram positif

lebih terpengaruh oleh ekstrak sirih karena hanya memiliki satu lapis dinding sel dan kurangnya

bahan untuk melawan molekul besar (Chakraborty, 2011).

Pada penelitian terdahulu, hasil uji farmakologi menunjukkan bahwa infusa daun sirih

dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab pneumonia dan Gaseus gangrene. Air rebusan

daun sirih dapat digunakan untuk mengobati batuk maupun berfungsi sebagai bakteriosid terutama

terhadap Haemophylus influenzae, Staphylococcus aureus dan Streptococcus haemoliticus

(Mursito, 2002). Namun, pada penelitian ini menunjukkan bahwa dengan diberikannya

ekstrak daun sirih pada mencit Balb/C yang diinfeksi bakteri Klebsiella pneumonia tidak memberi

pengaruh sistem imun selular pada mencit Balb/C.


(45)

(46)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) tidak mempengaruhi jumlah leukosit pada

mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae.

2. Pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) tidak mempengaruhi jumlah limfosit pada

mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lain untuk membuktikan efektivitas pemberian ekstrak daun

sirih (Piper betle Linn) terhadap jumlah leukosit dan persentase limfosit pada hewan uji

lain yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae karena mencit Balb/C mudah stres, mungkin

jika dilakukan penelitian dengan hewan lain yang tingkat stresnya lebih rendah

keberhasilan penelitiannya lebih besar.

2. Perlu dilakukan pengawasan terhadap kondisi sanitasi lingkungan, kondisi pakan dan air

minum, serta isolasi setiap kelompok untuk menjaga agar tidak terjadi kontaminasi.

3. Pada penelitian selanjutnya, perlu ditambah jumlah sampel dan dosis ekstrak daun sirih

(Piper betle Linn) dalam setiap kelompok perlakuan agar tingkat kevalidan lebih tinggi.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Lawati AM, Crouch ND, Elhag KM. (2000).Antibiotic consumption and the development of resistance among Gram-negative bacilli in intensive care units in Oman.Annals of Saudi medicine;20:325-7.

Astrini,W.S. (2001). Khasiat Serbaguna Daun Sirih. Dikutip dari:http://www.wikipedia.org. [10 Januari 2016].

Bajpai. (2010). Profiling of Piper Betle Linn. Cultivars by direct analysis in real time mass spectrometric technique. Biochemical Chromatography, 1283-1286.

Baldy, C. M. (2006). Gangguan Sel Darah Putih dan Sel Plasma. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (edisi 6). Jakarta: EGC.

Baratawidjaja, K. G. (2009). Imunologi Dasar. Ilmu Penyakit Dalam (edisi 5). Jakarta: Interna Publishing.

Bauer, L. (2008). Applied Clinical Pharmacokinetics (2nd ed). the McGraw-Hill Companies.

Baumgartner JC. Microbiology aspect of endodontic infections. CDA Journal [serial online] 2004;32(6):459-60:[internet]. Diakses : www.cda.org 16 Juni 2015.

Caburian, A. B. (2010). Characterization and Evaluation of Antimicrobial Activity of the Essential Oil from the Leaves of Piper betle L. E-International Scientific Research Journal, 2(1), 2-13.

Carlet J. (2000). Antibiotic management of severe infections incritically ill patients. Dalam: Dhainaut J-F,. PenyuntingThijs LG, Park G. Septic Shock, 1st ed. London. WBSaunders, p.445-60.

Chakraborty, D. (2011). Antimicrobial, antioxidative and antihemolytic activity of Piper betle leaf extracts. International Journalof Pharma Sciences and Research (IJPSR), 192-199.

Cole, S. a. (1998). Deciphering the biology of Mycobacterium tuberculosis from the complete genome sequence. Dalam Nature (hal. 393:537-544).

Dartnell, J. (2003). Therapeutic guidelines : antibiotic. 12th ed victoria : The.Guidelines Limited.

Datta, A. (2011). Antimicrobial Property of Piper betle Leaf against Clinical Isolates of Bacteria. International Journal of Pharma Sciences and Research (IJPSR), 2(3), 104-109.

Depkes RI. (2010). Laporan Subdit TB Depkes RI 2000-2010(TW-1). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


(48)

Dinkes. (2010). Profil Kesehatan Kota Yogyakarta Tahun 2009. 2010: Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.

Elya, B dan Soemiati, A. (2002). Uji Pendahuluan Efek Kombinasi Antijamur InfusDaun Sirih (Piper Betle L.), Kulit Buah Delima (Punica Granatum L.), danRimpang Kunyit (Curcuma Domestica Val.) Terhadap Jamur Candida.

Erguder, B. (2008). Honey prevent hepatic damage induced by obtruction of the common bile duct. World Journal Gastroenterol, 3729-3732.

Feldman. (1990). klebsiella pneumoniae bacteraemia at an urban general hospital. Journal Infect, 20:21-31.

Garau J. (2001).b-lactamase-mediated resistance in nosocomial respiratory tract infections. Dalam: Akalin HE. Penyunting Proceedings from the 3rd Net Care Meeting: Respiratory Tract Infections. Phuket-Thailand. p.37-45.

Garcia-Rodriguez JA, Jones RN. (2002). Antimicrobial resistance in Gram-negative isolates from European Intensive Care Units: data from the Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection (MYSTIC) Programme. J Chemotherapy;14):25-32.

Georgopapadakou NH. (2002).Antibiotic resistance in enterobacteria. Dalam: Lewis K, Salyers AA, Taber HW, Wax RG. Bacterial resistance to antimicrobials, 10thed. New York: Marcel Dekker, p.405-26.

Gittens MM. (2002). Pediatric Pneumonia. Clinical Pediatric Emergencies Medicine Journal, 200.

Guha, P. (2006). Betle Leaf : The Neglected Green Gold of India. Journal Human Ecology, 19(2), 87-83.

Histology, J. B. (2009). Anthony Mescher. McGraw Hill Professional.

Jesonbabu. (2012). Invitro antimicrobial potentialities of chloroform extracts of Ethanomedicinal plant against clinically isolated human pathogens. International Journal of Pharma Sciences and Research (IJPSR), 624-626.

Irmasari, A. (2002). Perbandingan Daya Antibakteri Antara Gerusan Daun Sirih Hitam, Sirih Jawa Dengan Oksitetrasiklin Terhadap Staphylococcus aureus Secara In Vitro. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya

Lawrence, C.A. and S.S. Block. (1968). Desinfection, Sterilization and Preservation. Lea and Febiger. Philadelphia.

Litbangkes. (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta: Laporan Nasional : Depkes.


(49)

Mescher, A. (2009). Junqueira's Basic Histology, 12th Edition: Text and Atlas, 12th Edition. McGraw Hill Professional.

Miller. (1999). Bacterial Pneumonia in Neonatus and Older Children. Pediatric Respiratory Medicine, 595-664.

Moeljanto, R.D. dan Mulyono. (2003). Khasiat dan Manfaat Daun Sirih, ObatMujarab.

Moruk, A. (2006). Madu Obat dan Suplemen. Bali: Pak Oles Centre.

Mursito, B. (2002). Ramuan Tradisional Untuk Penyakit Malaria. Jakarta: Penebar Swadaya

Muslich, A. (1999). Pengaruh Larutan Infusa Daun Sirih Terhadap PembentukanKolagen Pada Socket Gigi Marmot. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi EdisiKhusus VI. Vol: 2. Jakarta: FKG USAKTI.

Narayana LL.C Vaishani. Endodontic microbiologi.Journal Conserv Dent [serial online] 2010;13. 233-4: [internet]. Diakses: www.jcd org in 16 Juni 2015.

Niederman MS. (2003)Appropriate use of antimicrobial agents: Challenges and strategies for improvement.Crit Care Med;31(2):608-16.

Notoatmojo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Ketiga. Jakarta: Rineka Pustaka.

North, J. a. (2004). Immunity to Tuberculosis. Dalam Annual Review of Immunology (hal. 22:599-623).

Nurrokhman. (2006). Efek air rebusan daun sirih pada peningkatan kepekaan Staphylococcus aureus terhadap ampisilin in vitro. Jurnal kedokteran yarsi;14 (l): 024-028

Pelczar, M. J., dan E. S. Chan. (1988). Dasar-dasar Microbiologi. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

Permenkes RI. (2011). Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Nomor 2406/Menkes/Per/Xii. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Price, S. A. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Sudarmo, S. (2005). Pestisida Nabati, Pembuatan dan Pemanfaatannya. Yogyakarta:Kanisius.

Quast, T. (2006). Pathogenesis and clinical manifestations of pulmonary tuberculosis. Dalam Disease a month (hal. 53: 413-419).


(50)

Russel.D.G. (2007). Who Puts the tubercle in tuberculosis. Dalam Nature Reviews Microbiology (hal. 5:39-47).

Santoso.B. (1985). Farmakokinetik Klinik. Cermin Dunia Kedokteran, 37:8-12.

Sastroamidjojo, S. (1997). Obat Asli Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta.

Syukur, C. dan Hernani. (1999). Budidaya Tanaman Obat Tradisional. Jakarta: PT.Penebar Swadaya.

Waterer GW, Wunderink RG. (2001). Increasing threat of Gramnegative bacteria. Crit Care Med;29:N75-81.

WHO. (2006). Guidance for national tuberculosis programme on the management of tuberculosis in children. Diambil kembali dari World Health Organization: WHO/HTM/2006.371.

Yendriwati. Henny. (2008) Efek antibakteri sediaan daun sirih (piper betel L), Obat kumur minyak essensial dan povidone iodine 1% terhadap streptococcus mutans. Dentika Dental journal;13(2):103-203.


(1)

diinfeksi Klebsiella pneumoniae dan diberi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) 400 mg/kgBB. Sedangkan kelompok perlakuan yang memiliki jumlah leukosit paling tinggi adalah kelompok E1 yaitu kelompok yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae dan diberi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) 100 mg/kgBB.

Hasil statistika menggunakan One way ANOVA menunjukkan nilai p=0,107 (p>0,05), artinya perbedaan derajat dosis pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) tidak mempengaruhi jumlah leukosit.

Tabel 2. Hasil analisis deskriptif rata-rata persentase limfosit mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae dengan berbagai perlakuan

Nama Kelompok

N

Rata-rata + SD (mm3) C1

C2 E1 E2 E3 E4

5 5 5 5 5 5

77,4600+10,28509 76,3800+15,99725 60,8400+36,53502 61,6600+35,67763 62,8600+36,89991 28,9800+39,71161

Dari hasil analisis deskriftif ini, terjadi penurunan persentase limfosit pada semua kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol negatif (C1), persentase limfosit yang paling menurun terdapat pada kelompok E4, yaitu kelompok yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae dan diberi eritromisin 3,25 mg. Sedangkan kelompok perlakuan yang memiliki persentase limfosit paling tinggi adalah kelompok E3 yaitu kelompok yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae dan diberi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) 400 mg/kgBB.

Hasil statistika menggunakan Kruskal Wallis menunjukkan nilai p=0,429 (p>0,05), artinya perbedaan derajat dosis pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) tidak mempengaruhi persentase limfosit.

Apabila setiap kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, maka hasil statistiknya sebagai berikut:

Tabel 3. Nilai p limfosit kelompok E1 – E4 terhadap kelompok C1 dengan


(2)

menggunakan analisis statistik Mann-Whitney

Nama Kelompok

n

Nilai p terhadap kelompok C1 E1

E2 E3 E4

5 5 5 5

0,624 0,530 0,602 0,045

Pada tabel 3, terdapat satu kelompok perlakuan yang menunjukkan pengaruh limfosit bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, yaitu kelompok E4. Kelompok E4 yaitu kelompok yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae dan diberi eritromisin 3,25 mg dengan nilai p=0,045 (p<0,05). Namun nilai bermakna tersebut dikarenakan terjadi penurunan persentase limfosit yang signifikan bukan peningkatan persentase limfosit seperti yang diharapkan dan sesuai teori.

Diskusi

Berdasarkan hasil uji One way ANOVA terhadap perbandingan derajat dosis pemberian ekstrak daun sirih (Piper

betle Linn) dengan jumlah leukosit menunjukkan hasil dengan nilai p=0,107 (p>0,05), artinya perbedaan derajat dosis pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) tidak mempengaruhi jumlah leukosit.

Selanjutnya dilakukan uji Kruskal Wallis terhadap perbandingan derajat dosis pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) dengan persentase limfosit, hasil uji tersebut menunjukkan hasil dengan nilai p=0,429 (p>0,05), artinya perbedaan derajat dosis pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) tidak mempengaruhi persentase limfosit. Namun berdasarkan uji Mann Whitney terhadap perbandingan kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan, didapatkan hasil terdapat satu kelompok perlakuan yang menunjukkan pengaruh limfosit bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, yaitu kelompok E4 dengan nilai p=0,045 (p<0,05). Namun nilai bermakna tersebut dikarenakan terjadi penurunan persentase limfosit yang signifikan bukan


(3)

peningkatan persentase limfosit seperti yang diharapkan dan sesuai teori.

Strain baru dari Klebsiella pneumoniae kebal terhadap berbagai jenis antibiotic dan sampai sekarang masih dilakukan penelitian untuk menemukan obat yang tepat untuk menghambat aktivitas atau bahkan membunuh bakteri tersebut5. Selain itu Klebsiella pneumoniae juga memiliki enzim urease dan enzim sitrat permiase serta enzim ESBL (Extended Spektrum Beta Lactamase) yang dapat melumpuhkan kerja berbagai jenis antibiotic6.

Daun sirih mengandung 4,2 % minyak atsiri yang sebagian besar terdiri dari Chavicol para allyphenol turunan dari Chavica betel. Isomer Euganol allypyrocatechine, Cineol methyl euganol dan Caryophyllen, kavikol, kavibekol, estragol, terpinen7.

Minyak atsiri dari daun sirih mengandung 30% fenol dan beberapa derivatnya. Persenyawaan fenol ini diketahui memiliki aktivitas antibakteri

dan minyak atsiri dari daun sirih juga dapat digunakan sebagai antijamur dan antioksidan. Minyak atsiri dari daun sirih terdiri dari kavikol, eugenol, dan sineol8.

Karvakol bersifat sebagai desinfektan dan antijamur sehingga bisa digunakan sebagai antiseptik, euganol dan methyl-euganol dapat digunakan untuk mengurangi sakit gigi9.

Selain itu di dalam daun sirih juga terdapat flavanoid, saponin, dan tannin. Saponin dan tannin bersifat sebagai antiseptic pada luka permukaan, bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan untuk infeksi pada kulit, mukosa dan melawan infeksi pada luka10. Flavanoid selain berfungsi sebagai bakteriostatik juga berfungsi sebagai anti inflamasi. Daun sirih antara lain mengandung kavikol dan kavibetol yang merupakan turunan dari fenol yang mempunyai daya antibakteri lima kali lipat dari fenol biasa terhadap Staphylococcus aureus11.


(4)

Cara kerja fenol dalam membunuh mikroorganisme yaitu dengan cara mendenaturasi protein sel. Dengan terdenaturasinya protein sel, maka semua aktivitas metabolism sel dikatalisis oleh enzim yang merupakan suatu protein.

Kelemahan pada penelitian ini adalah tidak dilakukannya tes darah pada mencit sebelum diberikan perlakuan terapi untuk menentukan terjadi tidaknya proses infeksi setelah diberikan infeksi bakteri Klebsiella pneumoniae secara intranasal. Selain itu pada tahap pembuatan ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) terjadi beberapa proses yang tidak memenuhi standar seperti pada tahap pengeringan daun yang terpapar sinar matahari langsung sehingga ada kemungkinan senyawa aktif yang diperlukan untuk antibiotik ini dikhawatirkan habis terbakar sinar matahari langsung. Disamping itu, tingkat stres hewan uji dalam penelitian ini berarti mencit Balb/C juga mempengaruhi respon imun sehingga jumlah leukosit dan persentase limfosit tidak berespon sesuai

harapan. Maka dari itu perlu untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) terhadap hewan uji yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae.

Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) tidak meningkatkan jumlah leukositpada mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae. 2. Pemberian ekstrak daun sirih (Piper

betle Linn) tidak meningkatkan persentase limfosit pada mencit Balb/C yang diinfeksi Klebsiella pneumoniae.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lain untuk membuktikan efektivitas pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) terhadap jumlah leukosit dan persentase limfosit pada hewan uji lain yang diinfeksi Klebsiella


(5)

pneumoniae karena mencit Balb/C mudah stres, mungkin jika dilakukan penelitian dengan hewan lain yang tingkat stresnya lebih rendah keberhasilan penelitiannya lebih besar. 2. Perlu dilakukan pengawasan terhadap

kondisi sanitasi lingkungan, kondisi pakan dan air minum, serta isolasi setiap kelompok untuk menjaga agar tidak terjadi kontaminasi.

3. Pada penelitian selanjutnya, perlu ditambah jumlah sampel dan dosis ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) dalam setiap kelompok perlakuan agar tingkat kevalidan lebih tinggi.

4. Perlu adanya standar diagnosis pasti agar tidak terjadi penginfeksian ulang pada mencit.

Daftar pustaka

1. Elya, B danSoemiati, A. (2002). Uji Pendahuluan Efek Kombinasi Antijamur Infus Daun Sirih (Piper Betle L.), Kulit Buah Delima (Punica Granatum L.), dan Rimpang Kunyit

(Curcuma Domestica Val.) Terhadap Jamur Candida.

2. Dartnell, J. (2003). Therapeutic guidelines : antibiotic. 12th ed victoria : The. Guidelines Limited. 3. Caburian, A. B. (2010).

Characterization and Evaluation of Antimicrobial Activity of the Essential Oil from the Leaves of Piper betle L. E-International Scientific Research Journal, 2(1), 2-13.

4. Chakraborty D. (2011). Antimicrobial, antioxidative and antihemolytic activity of Piper betle leaf extracts. Int. J. Pharm. Pharm.Sci, 192-199. 5. Carlet J. (2000). Antibiotic

management of severe infections incritically ill patients. Dalam: Dhainaut J-F,.Penyunting Thijs LG, Park G. Septic Shock, 1st ed. London. WBSaunders, p.445-60.

6. Yinnon. (1996). community versus nosocomial infection. Klebsiella bacteraemia, 89:933-41.


(6)

7. Sastroamidjojo, S. (1997). ObatAsli Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta. 8. arwata, O., Rita, W.S., dan Yoga, R.

(2009). Isolasi Dan Uji Antiradikal BebasMinyak Atsiri Pada Daun Sirih (Piper Betle Linn) Secara Spektroskopi UltraViolet-Tampak. Jurnal Kimia 3 (1), Januari 2009 : 7-13 Bali: Jurusan KimiaFMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran. 9. Syukur, C. dan Hernani. (1999).

Budidaya Tanaman Obat Tradisional. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

10. Mursito, B. (2002). Ramuan Tradisional Untuk Penyakit Malaria. Jakarta: Penebar Swadaya.

11. Kartasapoetra,G. (1992). Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat, Rineka Cipta, Jakarta. 25-26.