19
9. Panen
Tingkat kematangan buah yang sudah dapat dipanen berkisar antara 75- 85. Penentuan saat panen dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan
menggunakan kliper yang terbuat dari kayu dan yang kedua melalui umur buah. Kliper dibuat dengan ukuran tertentu sesuai dengan kebutuhan konsumen. Untuk
Pisang Barangan umumnya ukuran kliper 3,3 cm dan ini sebagai penentu dengan mencocokkan pada buah pisang di sisir kedua bagian tengah. Sedangkan jika
menggunakan umur buah maka buah tersebut dapat dipanen dan dinyatakan sudah tua setelah umur 11-12 minggu dari keluar bunga.
10. Pasca Panen
Pengangkutan dilakukan dengan hati-hati agar jangan terjadi gesekan yang menyebabkan kulit buah pisang memar. Setelah buah disisir sebaiknya
dicuci dan disusun bagian tandan di sebelah bawah. Setelah kering maka dapat dilakukan pengepakan.
Untuk melihat sejauh mana perbedaan budidaya pisang barangan sistem Double Row dengan sistem Konvensional secara ringkas di
kemukakan dalam tabel 4.
Tabel 4. Perbedaan Sistem Konvensional Dengan Sistem Double Row. No. Perbedaan
Konvensional Sistem Double Row
1 Jarak Tanam
3m x 3m 1m x 2m x 4m
2 Populasi
1.100-1.300 batang 2.000-2.200 batang
3 Sistem Penjarangan Anakan
Mama Mama-Anak-Cucu
4 Pemupukan
1 x 4 bulan 1 x 1 bulan
5 Pemupukan Daun
Tidak Ada Ada
6 Pensterilan Alat
Tidak Ada
Ada 7
Penyuntikan Ontong Tidak Ada
Ada 8
Pemasangan Pita Tidak Ada
Ada 9
Pemotongan Kuku Tidak Ada
Ada 10 Pemotongan Ontong
Tidak Ada Ada
Sumber: Koordinator Lapangan USAID-AMARTA.
Universitas Sumatera Utara
20
3 meter 3 meter
3 atau 4 meter
1 meter 1,75 atau 2 meter
Utara Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa perbedaan budidaya pisang barangan
antara sistem Double Row dengan konvensional yang paling berbeda adalah jarak tanam dimana Double Row 1 x 2 x 4m, konvensional 3 x 3m, jumlah populasi
Double Row 2.000-2.200 batang per hektar sedangkan konvensional 1.100-1.300 batang per hektarnya, sistem penjarakan anakan, pemupukan dan cara
pemeliharaan.
Gambar 1. Pola Jarak Tanam Pisang Barangan dengan Sistem Tanam Konvensional
Gambar 2. Pola Jarak Tanam Pisang Barangan dengan Sistem Double Row
Universitas Sumatera Utara
21
Landasan Teori
Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini disebabkan karena proses adopsi inovasi, sebenarnya adalah menyangkut
proses pengambilan keputusan, dan dalam proses ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Adopsi inovasi merupakan dimensi waktu. Pada penyuluhan
pertanian, banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja, tetapi untuk tahapan mereka mau menerima ide-ide tersebut diperlukan waktu yang
relatif lama. Suatu keputusan untuk melakukan perubahan dari semula hanya
mengetahui sampai sadar dan merubah sikapnya. Untuk melaksanakan suatu ide baru tersebut, biasanya juga merupakan hasil dari urutan-urutan kejadian dan
pengaruh tertentu berdasarkan dimensi waktu, dengan kata lain suatu perubahan sikap yang dilakukan oleh petani adalah merupakan proses yang memerlukan
waktu dimana tiap-tiap petani berbeda – beda satu sama lainnya. Adopsi dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide
atau alat teknologi baru yang disampaikan lewat pesan komunikasi. Adopsi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap sesuatu
inovasi sejak mengenal, menaruh minat, menilai sampai menerapkan inovasi tersebut Levis, 1996 .
Usaha yang dilakukan dalam memperkenalkan suatu teknologi baru inovasi kepada seseorang, maka sebelum orang tersebut mau menerapkannya,
terdapat suatu proses yang disebut proses adopsi. Pada proses ini terdapat tahapan-tahapan yang meliputi tahapan dari belum diketahui sesuatu oleh
seseorang sampai dengan diterapkannya inovasi tersebut. Proses penerimaan
Universitas Sumatera Utara
22 inovasi terdapat lima 5 tahapan yang dilalui sebelum seseorang bersedia
menerapkan suatu inovasi yang diperkenalkan kepadanya, yaitu: 1.
Sadar, adalah seorang belajar tentang ide baru, produk atau praktek baru. Dia hanya mempunyai pengetahuan umum mengenai ide baru tersebut, tidak
mengetahui kualitasnya dan pemanfaatannya secara khusus. 2.
Tertarik, adalah seorang tidak puas hanya mengetahui keberadaan ide baru itu, tapi ingin mendapatkan informasi yang lebih banyak dan lebih mendetail: apa
itu, apa yang dapat dikerjakan dan cara kerja ide baru tersebut, mendengar dan membaca informasi mengenai ide baru tersebut.
3. Penilaian, adalah seorang menilai semua informasi yang diketahuinya dan
memutuskan apakah ide baru itu baik untuknya. 4.
Mencoba, adalah seseorang sekali dia putuskan bahwa dia menyukai ide tersebut, dia akan mengadakan percobaan. Hal ini mungkin terlaksana dalam
kurun waktu yang lama dan dalam skala yang terbatas. 5.
Adopsi atau menerapkan, adalah tahap seseorang menyakini akan kebenaran atau keunggulan ide baru tersebut sehingga menerapkannya dan mungkin juga
mendorong penerapan orang lain, dan inovasi biasanya diadopsi dengan cepat karena:
- Memiliki keuntungan relatif tinggi bagi petani.
- Sesuai dengan nilai-nilai sosialadat setempat.
- Tidak rumit.
- Dapat dicoba dalam skala kecil.
- Mudah diamati Ginting, 2002 .
Universitas Sumatera Utara
23 Lamanya waktu yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat menerima
inovasi tidaklah sama, hal ini dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pengalaman pribadi, tekanan dalam kelompoknya serta sikap dan kondisi petani
pada saat inovasi tersebut diperkenalkan. Menurut para pakar sosiologi berdasarkan atas kerangka waktu penerimaannya, maka penerimaan inovasi dapat
digolongkan ke dalam lima macam kelompok masyarakat, yaitu: 1.
Kelompok Inovator adalah kelompok yang berpikir maju dan selalu mencari inovasi baru serta menerapkan inovasi tersebut dalam
usahataninya. 2.
Kelompok Penerap dini early adopters adalah kelompok petani yang cepat mengikuti inovator.
3. Kelompok Penerap mayoritas awal early majority adalak sekelompok
petani penerap menengah setelah melihat kelompok penerapan dini menerapkan inovasi itu.
4. Kelompok Penerap mayoritas akhir late mayority adalah kelompok
petani yang lambat dalam menerima suatu inovasi teknologi atau praktek-praktek baru .
5. Kelompok penentang laggard adalah sekelompok petani yang tidak
mau menerima inovasi Suhardiyono, 1992 . Penyebaran teknologi baru memiliki waktu untuk diterapkan oleh petani
disebabkan karena setiap hal atau pemikiran baru untuk dapat diterima oleh seseorang lebih dahulu mengalami
proses yaitu
proses adopsi
Van Den Ban dan Hawkins, 2000.
Universitas Sumatera Utara
24 Perubahan perilaku melalui penyuluhan pertanian pada diri petani pada
umumnya berjalan dengan lambat, hal ini disebabkan: 1.
Tingkat pengetahuan, kecakapan dan mental petani. 2.
Penyuluhan yang disampaikan hanya akan diterapkan apabila setelah para petani mendapat gambaran nyata atau berkeyakinan bahwa hal-hal yang
diterima dari penyuluhan akan berguna, memberikan keuntungan, peningkatan hasil bila dipraktekkan dan tidak menimbulkan kerugian
terhadap apa yang sedang dilakukan Kartasapoetra, 1994 . Pada dasarnya perilaku petani sangat dipengaruhi oleh pengetahuan,
kecakapan dan sikap mental petani itu sendiri. Hal ini pada umumnya karena tingkat kesejahteraan hidupnya dan keadaan lingkungan dimana mereka tinggal,
dapat dikatakan masih menyedihkan sehingga menyebabkan pengetahuan dan kecakapannya tetap berada dalam tingkatan rendah dan keadaan seperi ini tentu
akan menekan sikap dan mentalnya. Perubahan perilaku dapat dilakukan melalui:
1. Penarikan Minat
Teori mendidik yang tingkat intelegensinya masih rendah dan mental yang tertekan, hanya dapat dijalankan dengan cara mengajak untuk dapat melihat,
mendengar dan ikut melakukan sendiri dengan baik apa yang menjadi materi dalam penyuluhan tersebut.
2. Mudah dan Dapat Dipercaya
Apa yang disampaikan dalam penyuluhan pertanian objekmateri mudah dimengerti, berguna secara nyata dan menarik kepercayaan petani, bahwa
Universitas Sumatera Utara
25 benar sejak diperlihatkan, diperdengarkan diajarkan dapat dilakukan para
petani dan benar-benar dapat meningkatkan hasil dan kesejahteraannya. 3. Peragaan dan Disertai Dengan Sarana
Penyuluhan harus disertai dengan peragaan yang didukung dengan saranaalat-alat peragaan yang mudah didapat, murah dan mudah dikerjakan oleh
para petani apabila mereka berniat untuk mempraktekkannya. 4. Waktu dan Tempatnya Harus Tepat
Para penyuluh harus pandai memperhitungkan kapan petani bersantaiada di rumah, kapan biasanya mereka berkumpul dan dimana kebiasaan mereka
berkumpul dilakukan Sastraadmadja, 1993 . Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan diantara
keberhasilan agen pembaharuan mempengaruhi petani dalam menerima inovasi dengan kerja usaha yang ia lakukan dalam memperkenalkan suatu inovasi baru.
Semakin rajin penyuluh menawarkan inovasi atau mempromosikan inovasinya, maka proses adopsi akan semakin cepat Negara, 2000 .
Suatu paket teknologi pertanian akan tidak ada manfaatnya bagi petani di pedesaan jika teknologi tersebut tidak dikomunikasikan pada masyarakat
pedesaan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menciptakan struktur komunikasi informasi di pedesaan menjadi sangat kompleks sehingga
dapat dikatakan bahwa akan ada perubahan secara terus-menerus dalam cara kerja teknik kerja pada petani jika mereka melakukan komunikasi teknologi yang
baik dan tepat Negara, 2000 . Peran media komunikasi menjadi sangat penting terutama dalam proses
pendekatan dalam menyampaikan suatu maksud agar dapat diterima oleh
Universitas Sumatera Utara
26 masyarakat petani. Sukses atau gagalnya serta untung atau ruginya hasil-hasil
pertanian sangat dipengaruhi oleh adanya informasi yang diterima oleh para petani Ginting, 2002 .
Adopsi teknologi baru adalah merupakan proses yang terjadi dari petani untuk menerapkan teknologi tersebut pada usaha taninya. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor sosial-ekonomi petani yaitu: umur petani, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, luas lahan, dan jumlah tanggungan keluarga.
1. Umur Petani Makin tua umur produktif 22-55 tahun petani biasanya mempunyai
semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun
sebenarnya mereka masih belum berpengalaman soal adopsi inovasi. 2. Tingkat Pendidikan Petani
Pendidikan merupakan sarana belajar, selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap yang menguntungkan menuju penggunaan praktek pertanian
yang lebih modern. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi Soekartawi, 1986 .
3. Pengalaman Bertani Petani yang sudah lebih lama berusaha tani akan lebih mudah menerapkan
inovasi dibanding dengan membuat perbandingan dalam mengambil keputusan dibandingkan yang masih pemula dalam berusaha tani
Soekartawi, 1986 .
Universitas Sumatera Utara
27 4. Jumlah Tanggungan Keluarga
Petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak akan lebih sulit dalam menerapkan teknologi baru karena biaya untuk mencukupi
kebutuhan keluarga sangat tinggi, sehingga mereka sulit menerima resiko yang besar jika nantinya inovasi tersebut tidak berhasil Soekartawi, 1986 .
5. Luas Lahan Petani yang mempunyai lahan yang lebih luas akan lebih mudah
menerapkan inovasi dibanding dari pada petani yang berlahan sempit. Hal ini dikarenakan keefektifan dan efesiensi dalam penggunaan sarana produksi
saprodi Soekartawi, 1986 .
Kerangka pemikiran
Petani pisang barangan dalam melakukan budidaya pisang melakukan tahapan seperti, pembibitan, pengolahan lahan, atau persiapan lahan, penanaman,
pemberian pupuk, penyiangan, pengendalian hama penyakit, panen dan pasca panen. Penyuluh mempunyai peranan penting dalam memperkenalkan teknologi
pada petani karena dengan bantuan penyuluh maka inovasi akan lebih cepat diterima oleh petani.
Adopsi teknologi baru adalah merupakan proses yang terjadi dari petani untuk menerapkan teknologi tersebut pada usaha taninya. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor sosial-ekonomi petani, yaitu: umur petani, pendidikan petani, pengalaman bertani, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga.
Seorang petani dalam mengadopsi teknologi budidaya pisang barangan tidaklah sama, ada yang cepat, ada yang lambat bahkan ada yang menunda atau
Universitas Sumatera Utara
28 tidak menerima menolak , oleh karena itu tingkat adopsi dapat dikategorikan
rendah, sedang dan tinggi. Tingkat adopsi teknologi budidaya pisang barangan diukur dengan
pemanfaatan budidaya anjuran yang disarankan oleh penyuluh dari USAID- AMARTA. Tingkat adopsi teknologi budidaya pisang barangan dikategorikan
kedalam tiga tingkatan adopsi yaitu tingkat adopsi tinggi, tingkat adopsi sedang dan tingkat adopsi rendah. Dan dalam proses mengadopsi Teknologi Double Row,
petani menghadapi masalah-masalah dan dari masalah tersebut petani mencari upaya untuk menyelesaikan masalah- masalah yang dihadapinya.
Universitas Sumatera Utara
29 Secara ringkas uraian diatas dapat digambarkan pada skema kerangka
pemikiran berikut:
Keterangan: :
Ada hubungan
Gambar 3: Skema Kerangka Pemikiran
Teknologi Double Row
Petani Pisang Barangan
Usahatani Pisang Barangan
Tingkat Adopsi
Rendah Sedang
Tinggi Faktor Sosial-Ekonomi:
1.Umur Petani 2.Tingkat Pendidikan
3.Pengalaman Bertani 4.Luas Lahan
5.Jumlah Tanggungan Keluarga
Masalah-Masalah
Upaya untuk mengatasi masalah
Tahapan Teknologi Double Row:
1. Pengolahan Lahan
2. Pemilihan Bibit
3. Penjarangan Anakan
Mama-Anak-Cucu 4.
Penanaman 5.
Pemupukan 6.
Penyuntingan Ontong 7.
Pemeliharaan 8.
Pengendalian Hama dan Penyakit
9. Panen
10. Pasca Panen
Universitas Sumatera Utara
30
Hipotesis penelitian
Berdasarkan skema kerangka pemikiran maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian adalah sebagai berikut:
3. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi Double Row budidaya pisang
barangan di daerah penelitian tinggi. 4.
Ada hubungan faktor sosial-ekonomi petani meliputi: f.
Umur terhadap tingkat adopsi teknologi Double Row budidaya pisang barangan secara parsial di daerah penelitian.
g. Tingkat pendidikan terhadap tingkat adopsi teknologi Double Row
budidaya pisang barangan secara parsial di daerah penelitian. h.
Pengalaman bertani terhadap tingkat adopsi teknologi Double Row budidaya pisang barangan secara parsial di daerah penelitian.
i. Luas lahan terhadap tingkat adopsi teknologi Double Row budidaya
pisang barangan secara parsial di daerah penelitian. j.
Jumlah tanggungan keluarga terhadap tingkat adopsi teknologi Double Row budidaya pisang barangan secara parsial di daerah penelitian.
Universitas Sumatera Utara
31
METODE PENELITIAN
Metode Penentuan Lokasi Penelitian
Daerah penelitian ditentukan secara Purposive Sampling, yaitu penentuan secara sengaja di Desa Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Kabupaten
Deli Serdang dengan pertimbangan bahwa di desa tersebut adanya penyuluhan
tentang teknologi Double Row pada budidaya pisang barangan dan sebagai salah
satu wilayah sentra produksi pisang barangan di Kabupaten Deli Serdang dengan produksi sebesar 110.000 Kwintal dengan luas lahan yang menghasilkan seluas
800 Ha. Pemilihan desa tersebut sebagai tempat penelitian disebabkan oleh
kecamatan tersebut merupakan penghasil produksi Pisang barangan terbesar di Kabupaten Deli Serdang dan pada desa tersebut sedang dilaksanakan Program
Penyebaran Transfer Teknologi Double Row untuk komoditi Pisang Barangan, yang dilaksanakan oleh organisasi USAID United States Agency of international
Development dan DAI Development Alternative Incoorporation melalui program AMARTA Agribusiness Market and Support Activity.
Metode Penentuan Sampel
Populasi adalah petani yang mengusahakan usaha tani pisang barangan di Desa Talun Kenas yang berjumlah 75 KK. Metode penentuan sampel dilakukan
secara Simple Random Sampling, dimana sampel diambil secara acak yaitu sebanyak 30 KK.
Universitas Sumatera Utara
32
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang langsung diperoleh dari petani di
daerah penelitian, yang dilakukan melalui wawancara langsung dengan petani responden dengan menggunakan daftar pertanyaan kuisioner yang telah
dipersiapkan, sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap yang diperoleh dari instansidinas yang terkait dan dari literaturbuku-buku yang berhubungan
dengan penelitian dan untuk lebih jelas dapat dilihat Spesifikasi Pengumpulan Data Pada tabel 5:
Tabel 5: Spesifikasi Pengumpulan Data Petani Sampel Tahun 2009. No Jenis
Data Sumber
Metode Observasi Wawancara
1 Identitas Petani
Petani -
2 Luas
Lahan Petani
-
3 Tingkat Produktivitas tanaman pisang
Petani -
4 Teknologi Budidaya yang dianjurkan
PPLKorlap
5 Masalah-masalah
petani PetaniPPLKorlap
6 Upaya
mengatasi masalah
PetaniPPLKorlap
7 Monografi
Desa Kepala
Desa
Metode Analisis Data
Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah sebagai berikut:
Untuk tujuan 1 digunakan analisis deskriptif yaitu dengan membandingkan, apakah teknologi Double Row budidaya pisang barangan telah
sesuai atau tidak sesuai dengan teknologi yang dianjurkan oleh USAID- AMARTA.
Universitas Sumatera Utara
33 Tujuan 2 dianalisis dengan melihat tingkat adopsi petani terhadap paket
teknologi Double Row yang dianjurkan dengan menggunakan metode skoring
dalam tabel 6. Tabel 6: Paket Teknologi Double Row Dalam budidaya Pisang Barangan di
Desa Talun Kenas, Kecamatan STM. Hilir, Kabupaten Deli Serdang.
N O
Uraian Anjuran Pengukuran
Skor
1 Pengolahan
lahan
- lahan dibersihkan dari sisa-
sisa tanaman sebelumnya. -
Dilakukan pembajakan tanah dengan traktor.
- Tanah digemburkan dan
diratakan. 1. Mengikuti semua teknologi
sesuai dengan anjuran.
2. Melakukan dua diantaranya teknologi
sesuai dengan anjuran.
3. Melakukan salah satu teknologi sesuai dengan
anjuran. 4. Melakukan
Pengolahan lahan tidak sesuai dengan
anjuran. 4
3 2
1
2 Pemilihan
bibit
- bibit berasal dari kultur
jaringan. -
Jika tidak ada dari kultur jaringan, di ambil dari
anakan dari pohon induk yang sudah cukup tua dan
mempunyai batang dan buah yang masih bagus
- Bibit dari anakan ukurannya
60-70 cm seragam dan memiliki 2 helai daun atau
lebih. - tidak terinfeksi penyakit dan
disterilkan dengan bayclin dengan dosis 30 ccliter air.
1. Mengikuti semua teknologi sesuai
dengan anjuran. 2. Melakukan dua
diantaranya teknologi sesuai dengan
anjuran. 3. Melakukan salah satu
teknologi sesuai dengan anjuran.
4. Melakukan pemilihan bibit tidak sesuai
dengan anjuran.
4 3
2 1
3 Penanaman
- Jarak tanam 1m x 2m x 4m.
- bibit ditanam pada lubang
dengan ukuran 30x30x30cm -
Ditutup kembali dengan tanah galian.
1. Mengikuti semua teknologi sesuai
dengan anjuran. 2. Melakukan dua
diantaranya teknologi sesuai dengan
anjuran. 4
3
Universitas Sumatera Utara
34 3. Melakukan salah satu
teknologi sesuai dengan anjuran.
4. Melakukan penanaman tidak
sesuai dengan anjuran.
2 1
4 Penjarangan
anakan mama-anak-
cucu
- dalam satu rumpun hanya
dibiarkan maks.3 batang , yakni membentuk sebuah
rentetan 1 batang induk, 1 batang anak dan 1 batang
cucu
- penjarangan dilakukan setiap
7-8 minggu sekali. -
Cara memotong harus miring keluar supaya tidak merusak
tanaman utama. 1. Mengikuti semua teknologi
sesuai dengan anjuran.
2. Melakukan dua diantaranya teknologi sesuai
dengan anjuran.
3. Melakukan salah satu teknologi sesuai dengan
anjuran.
4. Melakukan penjarangan anakan tidak
sesuai dengan anjuran. 4
3 2
1
5 Pemupukan
- pemupukan dilakukan
dengan menggunakan pupuk
UREA=36grbatangbulan, KCL=42grbatangbulan,
dolomit=63grbatangbulan.
- Pemupukan daun dilakukan
2xminggu dengan Grow More = 1grliter air bila
kekurangan unsur hara mikro
- Sistem pemberian pupuk
ditabur secara melingkar dengan jarak 0-30cm
1. Mengikuti semua teknologi sesuai
dengan anjuran. 2. Melakukan dua
diantaranya teknologi sesuai dengan
anjuran. 3. Melakukan salah satu
teknologi sesuai dengan anjuran.
4. Melakukan pemupukan tidak
sesuai dengan anjuran.
4 3
2 1
6 Penyuntikan
Ontong
- penyuntikan dilakukan
dengan insektisida dengan dosis maks.0,02grontong
dilarutkan dalam air 20cc untuk setiap kebutuhan
ontong.
- Penyuntikan dilakukan pada
saat ontong sudah keluar dan posisi tegak lurus
keatas.
- Disuntik di 13 dari bagian
atas ontong. 1. Mengikuti semua teknologi
sesuai dengan anjuran.
2. Melakukan dua diantaranya teknologi sesuai
dengan anjuran.
3. Melakukan salah satu teknologi sesuai dengan
anjuran.
4. Melakukan penyuntikan ontong tidak
sesuai dengan anjuran. 4
3 2
1
Universitas Sumatera Utara
35
7 Pemeliharaan
- melakukan pemotongan
kuku. -
Melakukan pemotongan ontong ketika sisir pisang
yang terakhir sudah keluar dengan tangan.
- Melakukan pembersihan
tandan dari daun yang sudah kering.
- Melakukan pemotongan
daun yang kering dan sakit dengan menggunakan alat
yang sudah disterilkan dengan bayclin.
- Melakukan pembedahan
daun yang terkena serangan Sigatoka dengan alat yang
sudah disterilkan dengan bayclin
1. Mengikuti semua teknologi sesuai
dengan anjuran. 2. Melakukan dua
diantaranya teknologi sesuai dengan
anjuran. 3. Melakukan salah satu
teknologi sesuai dengan anjuran.
4. Melakukan pemeliharaan tidak sesuai
dengan anjuran. 4
3 2
1
8 Pengendalian
Hama dan Penyakit
- penyakit kerdil diatasi
dengan membongkar tanaman yang sakit dengan
menggunakan alat yang sudah disterilkan dengan
desinfektan, kemudian menggantinya dengan
tanaman yang baru.
- Penyakit layu Fusarium
dicegah dengan pemilihan bibit yang sehat, bila sudah
terserang maka tanaman yang sakit dibongkar dan
dibakar atau membunuhnya dengan menyuntikkan
Round Up dengan dosis 1cc5cm lingkar batang
pada ketingian 30cm dari tanah.
- Pengendalian terhadap
hama penggerek batang dilakukan dengan sanitasi
lahan dan tanaman yang sudah terserang dan tidak
memungkinkan untuk dibiarkan tumbuh maka
tanaman dipotong.
- Pengendalian ulat
penggulung daun dilakukan 1. Mengikuti semua teknologi
sesuai dengan anjuran.
2. Melakukan dua diantaranya teknologi sesuai
dengan anjuran.
3. Melakukan salah satu teknologi sesuai dengan
anjuran.
4. Melakukan pengendalian Hama dan
Penyakit tidak sesuai dengan anjuran.
4 3
2 1
Universitas Sumatera Utara
36 secara mekanis dengan
memangkas bagian daun yang terserang dan
dihancurkan.
- Pengendalian Sigatoka
dengan menjaga kesuburan tanah dan daun yang telah
terserang sigatoka dipotong dioperasi.
9 Panen
- dilakukan pemanenan
dengan tingkat kematangan antara 75-85
- Melakukan pemanenan
setelah umur 11-12 minggu dari keluar bunga
- penentuan saat panen ada 2
cara yaitu: dengan menggunakan kliper yang
terbuat dari kayu dengan ukuran 3,3cm dicocokkan
pada buah pisang di sisir kedua bagian tengah dan
melalui umur, buah pisang dapat dipanen setelah umur
11-12 minggu dari keluar bunga.
1. Mengikuti semua teknologi sesuai
dengan anjuran. 2. Melakukan dua
diantaranya teknologi sesuai dengan
anjuran. 3. Melakukan salah satu
teknologi sesuai dengan anjuran.
4. Melakukan pemanenan tidak
sesuai dengan Anjuran.
4 3
2 1
10 Pasca panen
- pengangkutan dilakukan
dengan hati-hati supaya tidak terjadi gesekan yang
menyebabkan kulit pisang memar.
- Setelah buah pisang disisir
sebaiknya dicuci dan disusun bagian tandan di
sebelah bawah
- Setelah kering dilakukan
pengepakan. 1. Mengikuti semua teknologi
sesuai dengan anjuran.
2. Melakukan dua diantaranya teknologi sesuai
dengan anjuran.
3. Melakukan salah satu teknologi sesuai dengan
anjuran.
4. Melakukan Pasca panen tidak sesuai dengan anjuran.
4 3
2 1
Sumber: Koordinator lapangan USAID-AMARTA. Penilaian skoring Paket Teknologi Double Row dalam budidaya Pisang
Barangan dengan kriteria penilaian sebagai berikut: 1. Mengikuti semua teknologi sesuai dengan anjuran, skor : 4.
2. Melakukan dua diantaranya teknologi sesuai dengan anjuran, skor : 3.
Universitas Sumatera Utara
37 3. Melakukan salah satu teknologi sesuai dengan anjuran, skor : 2.
4. Melakukan paket teknologi tertentu tidak sesuai dengan anjuran, skor : 1. Tingkat adopsi diukur berdasarkan kriteria diatas, maka skor tingkat
adopsi berada antara 10–40, sehingga dapat ditentukan kategori tingkat adopsi Teknologi Double Row dalam budidaya pisang barangan berdasarkan skor yaitu:
- 10–20 = tingkat adopsi rendah.
- 21–30 = tingkat adopsi sedang.
- 31–40 = tingkat adopsi tinggi.
Tujuan 3 dianalisis dengan menggunakan rumus Rank Spearman untuk masing-masing faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan petani
dalam mengadopsi teknologi Double Row dalam budidaya pisang barangan yang akan diuji dengan rumus dibawah ini.
r
s
= 1 - N
N d
n i
i
3
1 2
6
th =
2
1 2
s s
r n
r
t α = α ; db n – 2
dimana range r
s
= -1 ≤ 0 ≥ 1
Keterangan :
r
s
= rank spearman
di = selisih antara rangking nilai karakteristik petani dengan tingkat adopsi - N = jumlah petani yang mengadopsi teknologi Double Row
- db = derajat bebas
Universitas Sumatera Utara
38 Dengan kriteria sebagai berikut :
t-hitung
05 ,
t
...... Ho diterima, atau tolak H
1
. t-hitung
05 ,
t
....... Ho ditolak, atau terima H
1
Siegel, 1997.
H : Tidak ada hubungan tingkat adopsi petani terhadap teknologi Double Row
dengan faktor sosial ekonomi petani.
H
1:
Ada hubungan tingkat adopsi petani terhadap teknologi Double Row dengan faktor sosial ekonomi petani.
Tujuan 4 dan 5, dianalisis dengan metode deskriptif yakni dengan mengumpulkan informasi tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh petani dan
upaya-upaya yang dilakukan oleh petani untuk mengatasi masalah tersebut dalam mengadopsi teknologi Double Row dalam budidaya pisang barangan di daerah
penelitian.
Definisi dan Batasan Operasional
Kekeliruan dan kesalahpahaman sering terjadi, maka untuk menghindarinya diberikan beberapa definisi dan batasan operasional sebagai
berikut:
Definisi
1. Adopsi adalah penerapan suatu ide atau teknologi baru yang disampaikan
lewat pesan komunikasi penyuluhan. 2.
Inovasi adalah gagasan, tindakan, atau teknologi termasuk barang yang dianggap baru oleh seseorang. Inovasi dalam penelitian adalah sesuai
dengan anjuran.
Universitas Sumatera Utara
39 3.
Penyuluh adalah seseorang yang memperkenalkan inovasi baru bagi petani sehingga petani mengalami perubahan sikap, pengetahuan dan
keterampilan dalam usahataninya. 4.
Petani sampel adalah petani yang mengikuti pelatihan budidaya pisang barangan sistem tanam dua jalur atau Double Row dan mengadopsi
budidaya anjuran terhadap budidaya pisang barangan di daerah penelitian. 5.
Proses adopsi adalah penerapan inovasi pada skala besar setelah membandingkannya dengan metode lama.
6. Tingkat adopsi adalah tingkat penerapan teknologi pada usahatani pisang
barangan melalui skor penilaian komponen-komponen teknologi budidaya pisang barangan dengan parameter sebagai berikut:
- Skor 10 - 20 : Kriteria Rendah
- Skor 21 – 30 : Kriteria Sedang
- Skor 31 – 40 : Kriteria Tinggi
7. Faktor sosial meliputi:
a Umur : Usia petani sampel pada saat dilakukannya penelitian,
yang dinyatakan dalam satuan tahun. b
Tingkat pendidikan adalah lamanya petani dalam mengikuti pendidikan formal diukur berdasarkan pendidikan formal yang
pernah ditempuh seperti SD, SLTP, SMU dan S1. Tingkat pendidikan petani sampel diklasifikasikan atas 3 yaitu:
- Pendidikan rendah dikategorikan hanya tamat SD 6 tahun - Tingkat pendidikan sedang dikategorikan tamat SLTP dan SMU
9-12 tahun.
Universitas Sumatera Utara
40 - Tingkat pendidikan tinggi dikategorikan tamat Diploma dan
Sarjana 13-17 tahun. c
Pengalaman bertani adalah lamanya waktu sejak seorang petani mulai melakukan usahatani pisang barangan yang diukur dalam
satuan tahun. 8.
Faktor ekonomi meliputi: a
Luas lahan adalah banyaknya tanaman pisang barangan yang ditanami petani pada sebidang lahan yang diukur dalam satuan
hektar Ha. b
Jumlah tanggungan keluarga adalah sejumlah anggota keluarga yang menjadi beban tanggungan dalam keluarga petani pisang
barangan. 9.
Kegiatan penyuluhan adalah kegiatan yang dilakukan oleh PPL danatau Lembaga-lembaga swasta kepada petani ataupun kelompok tani dengan
menyampaikan suatu materi yang berhubungan dengan teknologi budidaya pisang barangan.
10. Tenaga kerja dalam keluarga adalah tenaga kerja yang bersumber dari
dalam keluarga maupun orang lain yang menjadi tanggungan. 11.
Tenaga kerja luar keluarga adalah tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga yang dikali dengan tingkat upah yang berlaku dalam satu hari.
Konversi tenaga kerja adalah tenaga kerja pria dewasa 15 tahun = 1 HKP, sedangkan tenaga kerja wanita dewasa 15 tahun = 0,8 HKP.
12. Penerimaan adalah hasil usahatani produksi pisang barangan dikalikan
harga jual satuannya Rupiah Rp.
Universitas Sumatera Utara
41 13.
Produksi adalah seluruh hasil usahatani pisang barangan yang dapat dipanen dan dijual dalam satu musim tanam 10-11 bulan yang diukur
dengan satuan sisir. 14.
Produktifitas adalah rata-rata produksi pisang barangan per Ha yang satuannya Ton.
15. Biaya penyusutan adalah harga barang awal dikurangi harga barang akhir
dibagi umur ekonomis barang tersebut.
Batasan Operasional
1. Faktor sosial ekonomi yang diteliti adalah meliputi umur petani, tingkat
pendidikan, pengalaman bertani, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga terhadap tingkat adopsi petani dengan teknologi Double Row dalam
budidaya pisang barangan di daerah penelitian. 2.
Penelitian dilakukan di Desa Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang.
3. Sampel penelitian adalah petani pisang barangan yang mengikuti pelatihan
Teknologi Sistem Tanam Double Row dalam budidaya pisang barangan di daerah penelitian.
4. Waktu penelitian dilaksanakan Tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
42
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL
Deskripsi Daerah Penelitian Luas dan Letak Geografis Desa Talun Kenas
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Talun kenas yang terletak di Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang. Kecamatan STM Hilir memiliki
luas wilayah 190,50 Km
2
dengan jumlah penduduk 30.098 jiwa terdiri dari 7.257 KK. Kecamatan STM Hilir terdiri dari 15 desa dan 80 dusun, salah satu desanya
adalah Desa Talun Kenas yang merupakan daerah sentra produksi pisang barangan. Desa Talun Kenas memiliki luas desa sebesar 3.06 Km.
Adapun batas-batas geografis desa penelitian sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Sumbul
Sebelah Selatan
: Desa G. Rintih
Sebelah Timur : Desa Belumah
Sebelah Barat
: Desa Sumbul Kecamatan STM Hilir berada di dataran rendah dengan ketinggian 190
sd 500 m dpl, dimana sebelah Selatan berbatasan dengan dengan bukit kecil. Wilayah STM Hilir termasuk wilayah pedesaan dimana masih banyak terdapat
ladang atau sawah yang digunakan untuk bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kecamatan STM Hilir beriklim sedang, yang terdiri dari 2 iklimmusim,
yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim ini di pengaruhi oleh 2 angin yaitu angin laut dan angin gunung. Musim kemarau terjadi pada bulan
Januari-Agustus dan musim hujan terjadi biasanya pada bulan September- Desember.
Universitas Sumatera Utara
43
Keadaan Penduduk
Penduduk Desa penelitian berjumlah 2.644 jiwa dengan 637 KK, terdiri dari 1348 jiwa laki-laki dengan laki-laki dewasa sebanyak 899 jiwa dan laki-laki
anak-anak sebanyak 449 jiwa, dan jumlah penduduk yang berjenis perempuan sebanyak 1296 jiwa dengan perempuan dewasa 856 jiwa dan perempuan anak-
anak sebanyak 440 jiwa. Jumlah dan distribusi penduduk menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Distribusi Penduduk Desa Talun Kenas Menurut Kelompok Umur Tahun 2008
No. Golongan Umur
Jumlah orang Persentase
1 0-4 205
7,75 2 5-9
287
10,85
3 10-14 285
10,77
4 15-19 241
9,11
5 20-24 221
8,35
6 25-29 209
7,90
7 30-34 229
8,66
8 35-39 203
7,67
9 40-44 181
6,84
10 45-49 177
6,69
11 50-54 138
5,21
12 55-59 139
5,25
13 60+ 129
4,87
Jumlah 2.644 100
Sumber: Kabupaten Deli Serdang Dalam Angka 2008. Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa penduduk Desa Talun Kenas masih
tergolong usia produktif 22-55 tahun dengan 1.358 jiwa 51,36 yang produktif. Dimana usia tersebut petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin
tahu apa yang mereka belum ketahui, berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi.
Mata pencaharian utama penduduk di Desa Talun Kenas Kecamatan STM Hilir adalah bertani. Selain bertani penduduk juga ada yang bekerja sebagai
Universitas Sumatera Utara
44 pegawai, pedagang, karyawan dan lain-lain. Persentase mata pencaharian
penduduk di Desa Talun Kenas Kecamatan STM Hilir dapat dilihat dalam tabel 8.
Tabel 8: Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Desa Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Tahun 2007
No Jenis Pekerjaan
Jumlah Orang Persentase
1. Petani 975
73,52 2 Pedagang
175 13,19
3 Pegawai Negeri
86 6,48
4 Karyawan Perusahaan
Swasta 90 6,78
Jumlah
1326 100
Sumber: Kabupaten Deli Serdang Dalam Angka 2008. Mayoritas penduduk di Desa Talun Kenas Kecamtan STM Hilir
merupakan suku Batak Karo. Pada umumnya penduduk sudah saling mengenal satu sama lainnya. Keakraban penduduk dapat dilihat dari adanya gotong royong,
acara adat yang dilakukan, misalnya pelaksanaan acara perkawinan yang dilakukan sesaui adat istiadat.
Tabel 9: Banyaknya Penduduk Menurut Suku Bangsa Desa Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Tahun 2007.
No. Jenis Suku Bangsa
Jumlah Orang Persentase
1 Jawa 300
11,66 2 Karo
2186 85,03
3 Toba 23
0,89 4 Simalungun
62 2,41
Jumlah
2571 100
Sumber: Kabupaten Deli Serdang Dalam Angka 2008.
Sarana Dan Prasarana
Adapun sarana dan prasarana sosial ekonomi yang tersedia di Desa Talun Kenas Kecamatan STM Hilir dapat dilihat pada Tabel 10.
Universitas Sumatera Utara
45
Tabel 10: Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi yang Tersedia di Desa Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Tahun 2007.
No Jenis Sarana dan Prasarana
Jenis Jumlah Unit
1 Sarana Pendidikan Formal
SLTP 1 SMU
1 2
Sarana Kesehatan Dokter 2
BidanPerawat 7
3
Sarana Ibadah
Mesjid 1 LanggarSurau
1 Gereja
6 4
Sarana Ekonomi Pasar Mingguan
1
Jumlah Total 20
Sumber: Kabupaten Deli Serdang Dalam Angka 2008.
Karakteristik Petani Sampel
Karakteristik petani sampel yang dimaksud disini adalah karakteristik sosial ekonomi petani, yaitu: umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, luas
lahan, jumlah tanggungan keluarga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 11 dibawah ini:
Tabel 11. Karakteristik Petani Sampel Desa Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Tahun 2009
No. Uraian Range
Rataan
1 Umur Tahun
27-65 41.5
2 Tingkat Pendidikan
Tahun 0-17
9.53 3 Pengalaman
Bertani Tahun
3-23 7.10
4 Luas Lahan
Ha 0.2-1.4
0.71 5
Jumlah Tanggungan Jiwa 0-8
2.63 Sumber: Data diolah dari lampiran 1.
Umur
Tabel 11 menunjukkan bahwa umur petani sampel mempunyai range antara 27-65 tahun dengan rataan sebesar 41.5 tahun. Data ini menjelaskan bahwa
petani sampel masih berada dalam kategori usia produktif, sehingga masih besar potensi tenaga kerja yang dimiliki oleh petani sampel didalam mengelola
usahataninya. Meskipun petani pisang barangan di desa penelitian memiliki umur
Universitas Sumatera Utara
46 yang produktif, akan tetapi belum termotivasi untuk menerapkan teknologi
Double Row yang dianjurkan oleh USAID-AMARTA yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pisang barangan agar pendapatan petani meningkat.
Petani yang masih berumur muda maupun yang berumur tua belum mengadopsi sepenuhnya teknologi tersebut dikarenakan kurangnya sosialisasi dari AMARTA,
inovasi tersebut rumit untuk dimengerti, terlalu banyak makan waktu dan
kurangnya modal petani. Tingkat Pendidikan
Pendidikan formal merupakan salah satu faktor penting dalam mengelola usaha tani. Pendidikan formal juga sangat erat kaitannya dengan kemampuan
petani dalam hal menerima dan menerap teknologi, informasi untuk mengoptimalkan usahataninya. Tingkat pendidikan formal petani sampel
mempunyai range 0-17 dengan rataan 9.5 tahun. Artinya rata-rata tamat SMP, dengan demikian wawasan pengetahuan serta cara berpikir dan bertindak petani
sampel dalam mengelola usahataninya tergolong masih rendah.
Pengalaman Bertani
Faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan pengelolaan usahatani adalah lama bertani. Rataan lama bertani atau pengalaman bertani petani
adalah 7.10 7 tahun dengan range 3-23 tahun. Berdasarkan rataan tersebut pengalaman bertani petani sampel sudah cukup lama, sehingga dapat dikatakan
memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih baik dan hati-hati dalam menerapkan inovasi baru dalam usahatani pisang barangannya termasuk teknologi
Double Row ini.
Universitas Sumatera Utara
47
Jumlah Tanggungan
Rataan jumlah tanggungan keluarga adalah 2.63 orang dengan range 0-8 orang. Jumlah ini menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga petani sampel
tergolong kecil, sehingga untuk membantu dalam proses usahatani pisang barangan terutama dalam penyediaan tenaga kerja dalam keluarga, petani
menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga.
Luas Lahan
Rataan luas lahan petani pisang barangan adalah 0.71 Ha dengan Range 0.2-1.4 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa petani sampel termasuk petani yang
memiliki luas lahan yang masih tergolong sedang.
Universitas Sumatera Utara
48
HASIL DAN PEMBAHASAN
Budidaya Pisang Barangan Sistem Doubel Row
Berdasarkan observasi dilapangan dan dengan wawancara, penerapan teknologi Double Row yang dianjurkan oleh USAID-AMARTA masih sedang, ini
dikarenakan bahwa petani menilai teknologi tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar, rumit dimengerti dan terlalu banyak memakan waktu dan tenaga
kerja serta kurang mendapat informasi dari AMARTA. Budidaya pisang barangan didaerah penelitian masih bersifat tradisional yang biasa dilakukan, kegiatan
usahatani dalam setiap pelaksanaannya dilakukan dengan cara yang sudah turun- temurun. Hal ini terlihat dari penerapan teknologi Double Row yang dianjurkan
oleh USAID-AMARTA masih jauh dari yang diharapkan. Budidaya pisang barangan dengan sistem Double Row adalah teknologi
yang diterapkan pada budidaya pisang barangan dengan metode penanaman sistem dua jalur dan teknologi pemeliharaan yang dianjurkan oleh USAID-
AMARTA. Penanaman pisang barangan dengan sistem Double Row dapat meningkatkan kepadatan populasi hingga mencapai 2000-2200 batang per hektar.
Adapun komponen teknologi Double Row adalah sebagai berikut:
Pengolahan Lahan
Pada sistem Double Row, lahan yang mempunyai rumputan tebal dilakukan dengan pembabatan kemudian dibersihkan. Bila tanahnya padat
sebaiknya dilakukan pembajakan atau dengan traktor kemudian dilakukan penggaruan atau dilakukan pentraktoran dua kali dengan jalur yang berbeda
memotong. Lahan yang gembur tidak padat setelah dilakukan pembabatan dan pembersihan sudah siap untuk ditanam. Pada sistem Double Row pengolahan
Universitas Sumatera Utara
49 lahan dilakukan secara mekanik atau manual, karena pada sistem Double Row
penggunaan bahan kimiawi sangat diminimalisasi. Tetapi hasil wawancara dengan petani sampel, bahwa didalam
pengolahan lahan yang petani lakukan ádalah menyemprot lahan kemudian lahan dibersihkan lalu siap untuk ditanam dengan pisang barangan. Dari data yang
dikumpulkan ternyata terdapat hanya 13,334 petani sampel yang benar-benar melaksanakan sistem pengolahan lahan sesuai dengan anjuran, sedangkan 5015
KK melaksanakan 2 diantara anjuran, sementara 23,33 7 KK melakukan salah satu sesuai dengan anjuran dan 13,33 4 KK lagi melakukan pengolahan
lahan tetapi tidak sesuai dengan anjuran. Dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 12 dibawah ini:
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Petani yang Melakukan Pengolahan Lahan Sesuai Dengan Anjuran Teknologi Double Row.
Uraian Skor Anjuran
Total 1 2 3 4
Jumlah KK 4 7
15 4 30
Persentase 13,33 23,33 50 13,33 100
Sumber: Data diolah dari lampiran 2
Pemilihan Bibit
Pada sistem Double Row, bibit yang baik adalah berasal dari kultur jaringan, tetapi jika tidak ada maka dipergunakan dari anakan dari pohon induk
yang sudah cukup tua sudah tebang beberapa kali dalam satu rumpun dan mempunyai batang dan buah yang masih bagus. Bibit yang demikian pada
umumnya sudah terseleksi secara alamiah unggul. Anakan yang dijadikan bibit yang bersumber dari pohon induk dapat dikelompokkan menjadi anakan dewasa.
Anakan dewasa berdaun 2 helai dan anakan sedang berdaun 1 helai sudah siap ditanam di lapangan.
Universitas Sumatera Utara
50 Ukuran bibit yang berasal dari anakan berkisar antara 60-70 cm
seragam. Sebelum ditanam disterilkan dengan menggunakan Bayclin dosis 30 cc per liter air. Anakan muda sebaiknya disemaikan terlebih dahulu dengan
menggunakan polybag hingga tinggi anakan mencapai 60-70 cm baru ditanam di lapangan.
Tetapi kenyataannya dilapangan, sebagian petani mengambil bibit dari induk pohon yang tidak terkena penyakit tanpa mensterilkan bibit dengan bayclin
dan tinggi bibitnya tidak beraturan, misalnya tinggi bibitnya dari 20 – 40 cm. Dan petani langsung menanam bibit tersebut kelapangan tanpa media apapun. Dari
data yang dikumpulkan ternyata terdapat hanya 26,67 8 KK yang benar-benar melaksanakan pemilihan bibit sesuai dengan anjuran, 26,67 8 KK
melaksanakan 2 diantara anjuran, 30 9 KK melakukan salah satu sesuai dengan anjuran dan 16,67 5 KK lagi melakukan pemilihan bibit tetapi tidak
sesuai dengan anjuran. Dan untuk lebih jelas perbandingan jumlah dan persentase petani yang
melakukan pemilihan bibit sesuai dengan teknologi Double Row dapat dilihat pada tabel 13 dibawah ini:
Tabel 13: Jumlah dan Persentase Petani yang Melakukan Pemilihan Bibit Sesuai Dengan Teknologi Double Row.
Uraian Skor Anjuran
Total 1 2 3 4
Jumlah KK 5 9 8 8 30
Persentase 16,67 30 26,67
26,67 100
Sumber: Data diolah dari lampiran 2
Penanaman
Pada sistem Double Row bibit yang berasal dari perbanyakan kultur jaringan atau anakan yang sudah berada di dalam polybag, terlebih dahulu
Universitas Sumatera Utara
51 dikeluarkan dari polybag dengan hati-hati agar tanah jangan pecah. Bibit yang
sudah dikeluarkan dari polybag ditanam pada lubang yang sudah disediakan. Bibit yang berasal dari anakan setelah disterilkan dapat ditanam pada lubang yang
dipersiapkan. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30 cm x 30 cm atau disesuaikan dengan ukuran bibit, kemudian lubang ditutup kembali dengan tanah
galian. Sedangkan hasil wawancara dengan petani di daerah penelitian,
melakukan sistem penanaman pisang barangan secara langsung, dimana bibit yang diambil dari induk langsung ditanam dengan lubang tanam yang berbeda-
beda, misalnya 20 cm x 20 cm dan tergantung besar kecilnya bonggol bibit pisang barangan yang akan ditanam. Dari data yang dikumpulkan ternyata terdapat hanya
23,33 7 KK yang benar-benar melaksanakan penanaman sesuai dengan anjuran, 46,67 14 KK melaksanakan 2 diantara anjuran, 30 9 KK
melakukan salah satu sesuai dengan anjuran. Dan untuk lebih jelas perbandingan jumlah dan persentase petani yang
melakukan penanaman sesuai dengan anjuran teknologi Double Row dapat dilihat pada tabel 14 dibawah ini:
Tabel 14: Jumlah dan Persentase Petani yang Melakukan Penanaman Sesuai Dengan Teknologi Double Row.
Uraian Skor Anjuran
Total 1 2 3 4
Jumlah KK 0 9
14 7 30
Persentase 0 30
46,67 23,33
100
Sumber: Data diolah dari lampiran 2.
PengaturanPenjarangan Anakan
Pada sistem Double Row penyeleksian anakan dalam satu rumpun dilaksanakan 7-8 minggu sekali. Dalam satu rumpun hanya dibiarkan maksimum
Universitas Sumatera Utara
52 3 batang, yakni membentuk sebuah rentetan 1 batang mama induk, 1 batang
anak dan 1 batang cucu. Anakan yang berlebih dalam satu rumpun dikurangi dengan cara memotong miring keluar dengan menggunakan parang dan
pemotongan ini jangan sampai merusak tanaman utama Mama-Anak-Cucu. Jika anakan yang dikeluarkan dari rumpun masih mempunyai bonggol dan berukuran
60-70 cm bisa ditanam di lahan sedangkan yang masih kecil dimasukkan ke dalam polybag untuk dijadikan bahan bibit.
Gambar 4. Anakan yang dibiarkan Anakan yang dibuang. Setelah melakukan penelitian hasil diperoleh adalah petani tidak
melakukan penjarangan anakan karena petani merasa bahwa dengan tidak melakukan penjarangan anakan tidak berpengaruh tehadap produksi dan
menambah biaya serta tenaga kerja. Meskipun ada sebagian yang melakukan penjaragan anakan dengan sistem menginjak tunas pisang tersebut, itupun kalau
petani memiliki waktu luang. Dari data yang dikumpulkan ternyata terdapat hanya 10 3 KK yang benar-benar melaksanakan penjarangan anakan sesuai dengan
anjuran, 16,67 5 KK melaksanakan 2 diantara anjuran, 16,67 5 KK melakukan salah satu sesuai dengan anjuran dan 56,67 17 KK lagi melakukan
penjarangan anakan tetapi tidak sesuai dengan anjuran.
Universitas Sumatera Utara
53 Dan untuk lebih jelas perbandingan jumlah dan persentase petani yang
melakukan penjarangan anakan sesuai dengan anjuran teknologi Double Row dapat dilihat pada tabel 15 dibawah ini:
Tabel 15: Jumlah dan Persentase Petani yang Melakukan Penjarangan Anakan Sesuai Dengan Teknologi Double Row.
Uraian Skor Anjuran
Total 1 2 3 4
Jumlah KK 17 5 5 3 30
Persentase 56,67 16,67 16,67 10
100
Sumber: Data diolah dari lampiran 2
Pemupukan
Pemupukan pada sistem Double Row dilakukan 1 x 1 bulan. Pupuk yang diberikan adalah pupuk makro dan mikro. Pupuk makro diberikan melalui akar
dengan cara ditabur dan pupuk mikro diberikan melaui daun dengan cara disemprot. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea = 36 grbatangbulan, KCL
= 42 grbatangbulan dan Dolomit = 63 grbatangbulan. Metode pemberian pupuk sistem tabur melingkar dengan jarak 0-30 cm dari batang pada tanaman muda dan
setengah lingkaran pada tanaman yang sudah pernah ditebang. Bila tanaman terlihat kekurangan unsur hara mikro maka pemupukan ditambah dengan pupuk
daun seperti Growmore dengan dosis 1 grliter air dengan frekuensi 2 minggu sekali.
Gambar 5 . Pemupukan Daun dan Pemupukan dengan cara ditabur.
Universitas Sumatera Utara
54 Petani pisang barangan di daerah penelitian melakukan pemupukan tidak
sesuai dengan anjuran USAID-AMARTA, dikarenakan petani kekurangan modal untuk membeli pupuk sehingga petani melakukan pemupukan dalam waktu 1 x 3
bulan. Mahalnya harga pupuk dan ketersediaan pupuk yang terbatas membuat petani melakukan pemupukan sesuai dengan kemampuan mereka, dalam arti
kapan petani punya uang disitu mereka membeli pupuk. Dari data yang dikumpulkan ternyata tidak ada seorangpun petani yang melakukan pemupukan
sesuai dengan anjuran, sedangkan 33,33 10 KK melaksanakan 2 diantara anjuran, 56,67 17 KK melakukan salah satu sesuai dengan anjuran dan 10 3
KK melakukan pemupukan tetapi tidak sesuai dengan anjuran. Dan untuk lebih jelas perbandingan jumlah dan persentase petani yang
melakukan pemupukan sesuai dengan anjuran teknologi Double Row dapat dilihat pada tabel 16 dibawah ini:
Tabel 16: Jumlah dan Persentase Petani yang Melakukan Pemupukan Sesuai Dengan Anjuran Teknologi Double Row.
Uraian Skor Anjuran
Total 1 2 3 4
Jumlah KK
3 17 10 0 30
Persentase 10 56,67
33,33 0 100
Sumber: Data diolah dari lampiran 2
Penyuntikan Ontong.
Pada sistem Double Row penyuntikan dilakukan dengan insektisida dengan dosis maks.0,02grontong dilarutkan dalam air 20cc untuk setiap
kebutuhan ontong. Penyuntikan dilakukan pada saat ontong sudah keluar dan posisi tegak lurus keatas, disuntik di 13 dari bagian atas ontong.
Universitas Sumatera Utara
55 Gambar 6. Penyuntikan Ontong.
Penyuntikan ontong di daerah penelitian petani sama sekali tidak melakukannya, karena alat suntik tidak tersedia di daerah penelitian disamping itu
cara kerjanya sangat rumit dan petani merasa penyuntikan ontong tidak berpengaruh terhadap kualitas buah dan produksi. Dari data yang dikumpulkan
ternyata tidak ada seorangpun petani yang melakukan penyuntikan ontong sesuai dengan anjuran dan yang melakukan 2 diantara anjuran, sedangkan 6,67 2 KK
melakukan salah satu sesuai dengan anjuran dan 93,33 28 KK melakukan penyuntikkan ontong tetapi tidak sesuai dengan anjuran.
Dan untuk lebih jelas perbandingan jumlah dan persentase petani yang melakukan penyuntikan ontong sesuai dengan anjuran teknologi Double Row
dapat dilihat pada tabel 17 dibawah ini:
Tabel 17: Jumlah dan Persentase Petani yang Melakukan Penyuntikan Ontong Sesuai Dengan Anjuran Teknologi Double Row.
Uraian Skor Anjuran
Total 1 2 3 4
Jumlah KK 28 2 0 0 30
Persentase 93,33 6,67 0
100
Sumber: Data diolah dari lampiran 2.
Pemeliharaan
Usaha tani pisang barangan membutuhkan perawatan atau pemeliharaan yang intensif, terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara
56 1. Pembersihan Batang
Pembersihan batang dilakukan 1 x 2 bulan. Alat yang digunakan adalah pisau dan parang. Alat-alat yang digunakan harus benar-benar bersih, yaitu
direndam dengan larutan desinfektan. Batang pisang dibersihkan dari daun-daun yang kering ataupun daun-daun yang sudah sakit. Bagian daun yang sakit
dipotong untuk mengurangi serangan penyakit dan tetap menjaga jumlah daun minimal 6 helai.
Daun yang telah tua kering lebih dari 50 sudah dapat dipotong dan dibuang, karena dianggap tidak berfungsi lagi bagi tanaman. Metode pemotongan
pelepah relatif dekat dengan batang.
Gambar 7. Proses Pembersihan Batang. 2. Potong Kuku
Pemotongan kuku buah berfungsi untuk menjadikan buah mulus tidak terjadi goresan pada buah dan penyerapan unsur hara optimal oleh bakal buah.
Caranya memetik kuku buah dengan tangan pada saat buah masih muda, dilakukan 3 x 1 seminggu tutup buah dibawahnya belum jatuh dan dimulai dari
buah yang paling atas. Potong kuku dilakukan 3-5 hari setelah keluar buah.
Gambar 8. Proses Potong Kuku.
Universitas Sumatera Utara
57 3. Potong Ontong
Pemotongan ontong bertujuan untuk mengoptimalkan penyerapan unsur hara oleh bakal buah. Dilaksanakan pada saat buah sisir terakhir sejajar dengan
tanah atau 2 minggu setelah buah keluar. Dilakukan dengan tangan tanpa alat seperti pisau. Pada saat pemotongan ontong, buah yang tidak sempurna juga turut
dibuang dan ditinggalkan 1-2 buah dalam satu sisir yang terakhir. Secara umum petani di daerah penelitian tidak melakukan potong kuku
dan pemotongan ontong, karena petani tidak mempunyai waktu untuk melakukan potong kuku dan pemotongan ontong dan petani merasa pemotongan kuku dan
pemotongan ontong tidak berpengaruh terhadap besar kecilnya buah pisang yang akan di panen. Sedangkan pembersihan batang dari daun yang kering serta daun
yang terserang penyakit sebagian besar petani melakukanya meskipun belum dilakukan secara intensif.
Dari data yang dikumpulkan ada 43,33 13 KK yang melakukan pemeliharaan benar-benar sesuai dengan anjuran, 20 6 KK yang melakukan 2
diantara anjuran, 26,67 8 KK melakukan salah satu sesuai dengan anjuran dan 10 3 KK melakukan pemeliharaan tetapi tidak sesuai dengan anjuran. Untuk
lebih jelas perbandingan jumlah dan persentase petani yang melakukan pemeliharaan sesuai dengan anjuran teknologi Double Row dapat dilihat pada
tabel 18 dibawah ini:
Tabel 18: Jumlah dan Persentase Petani yang Melakukan Pemeliharaan Sesuai Dengan Anjuran Teknologi Double Row.
Uraian Skor Anjuran
Total 1 2 3 4
Jumlah KK
3 8 6 13 30
Persentase 10 26,67 20 43,33 100
Sumber: Data diolah dari lampiran 2
Universitas Sumatera Utara
58
Pengendalian Hama dan Penyakit
Tanaman yang terserang hama dan penyakit dibongkar dengan menggunakan alat yang lebih dahulu disterilkan dengan desinfektan dan diganti
dengan tanaman baru. Penyakit layu Fusarium dicegah dengan pemilihan bibit yang sehat, penggunaan alat yang steril dan menghindari mobilitas yang tinggi.
Bila sudah terserang maka tanaman yang sakit dibongkar dan dibakar atau bila tidak memungkinkan maka tanaman dibunuh dengan menyuntikkan Herbisida
sistemik seperti Round Up dengan dosis 1 cc per 5 cm lingkar batang pada ketinggian 30 cm dari tanah, maksimum penggunaan 15 cc per rumpun pisang.
Pengendalian terhadap penggerek batang dilakukan dengan sanitasi, karena hama ini hidup dan berkembang biak pada sampah-sampah yang
membusuk. Tanaman yang sudah terserang, bila sudah tidak memungkinkan untuk dibiarkan tumbuh maka tanaman dipotong dan bagian titik tumbuh di
congkel agar anakan cepat tumbuh. Pengendalian terhadap ulat penggulung daun yaitu secara mekanis dengan memangkas bagian-bagian daun yang terserang,
kemudian dihancurkan. Pengendalian terhadap Thrips dilakukan dengan penyuntikan ontong pisang dengan insektisida dengan dosis maksimum 0,02 gr
Bahan Aktif per ontong atau dengan pembungkusan tandan pisang dengan plastik warna biru atau putih.
Pemberongsongan adalah pembungkusan buah atau tandan dengan plastik. Setelah bagian bungaontong mekar maka dilakukan pemberongsongan.
Brongsong terbuat dari plastik berwarna biru atau putih. Kulit buah yang dibrongsong terlihat mulusbersih tanpa bintik. Pengendalian terhadap Sigatoka
Universitas Sumatera Utara
59 yaitu dengan menjaga kesuburan tanah dan daun-daun yang menunjukkan gejala,
dipotong dan dibakar. Petani pisang barangan di daerah penelitian tidak sepenuhnya melakukan
pengendalian hama dan penyakit, karena belum ada obat yang bisa mengobati pisang yang terkena penyaki khusunya penyakit Fusarium. Petani hanya
melakukan sistem sanitasi lahan dan membongkar tanaman yang terserang penyakit agar tidak menular ketanaman lainnya.
Dari data yang dikumpulkan ada 36,67 11 KK yang melakukan pengendalian hama dan penyakit yang benar sesuai dengan anjuran, 26,67 8
KK yang melakukan 2 diantara anjuran, 10 3 KK melakukan salah satu sesuai dengan anjuran dan 26,67 8 KK melakukan pengendalian hama dan penyakit
tetapi tidak sesuai dengan anjuran. Untuk lebih jelas perbandingan jumlah dan persentase petani yang
melakukan pengendalian hama dan penyakit sesuai dengan anjuran teknologi Double Row dapat dilihat pada tabel 19 dibawah ini:
Tabel 19: Jumlah dan Persentase Petani yang Melakukan Pengendalian Hama dan Penyakit Sesuai Dengan Anjuran Teknologi Double
Row.
Uraian Skor Anjuran
Total 1 2 3 4
Jumlah KK
8 3 8 11 30
Persentase 26,67 10 26,67
36,67 100
Sumber: Data diolah dari lampiran 2
Panen
Panen sudah dapat dilakukan apabila tingkat kematangan buah yang sudah berkisar antara 75-85. Penentuan saat panen dapat dilakukan dengan dua
cara, yakni dengan menggunakan kliper yang terbuat dari kayu dan yang kedua melalui umur buah. Kliper dibuat dengan ukuran tertentu sesuai dengan kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
60 konsumen. Untuk pisang barangan umumnya ukuran kliper 3,3 cm dan ini sebagai
penentu dengan mencocokkan pada buah pisang di sisir kedua bagian tengah. Sedangkan jika menggunakan umur buah maka buah tersebut dapat dipanen dan
dinyatakan sudah tua setelah umur 11-12 minggu dari keluar bunga. Pada sistem Double Row panen dapat dilakukan 3 x 2 tahun, karena adanya rentetan Mama-
Anak-Cucu. Dari hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa petani melakukan panen
tidak sesuai dengan anjuran, yaitu tingkat kematangan panen antara 75-85 dan umur pemanenan antara 11-12 minggu setelah keluar bunga. Dari data yang
dikumpulkan dapat dibuktikan bahwa tidak ada seorangpun petani yang melakukan pemanenan sesuai dengan anjuran, sedangkan 30 9 KK melakukan
2 diantara anjuran, 63,33 19 KK melakukan salah satu sesuai dengan anjuran dan hanya 6,67 2 KK melakukan pemanenan tetapi tidak sesuai dengan
anjuran. Untuk lebih jelas perbandingan jumlah dan persentase petani yang
melakukan pemanenan sesuai dengan anjuran teknologi Double Row dapat dilihat pada tabel 20 dibawah ini:
Tabel 20: Jumlah dan Persentase Petani yang Melakukan Pemanenan Sesuai Dengan Anjuran Teknologi Double Row.
Uraian Skor Anjuran
Total 1 2 3 4
Jumlah KK 2 19 9 0 30
Persentase 6,67 63,33 30
100
Sumber: Data diolah dari lampiran 2
Universitas Sumatera Utara
61
Pasca Panen
Pada sistem Double Row pasca panen dilakukan pengangkutan dengan hati-hati agar jangan terjadi gesekan yang menyebabkan kulit buah pisang
barangan memar. Kemudian buah pisang barangan disisir dan dicuci serta disusun rapi bagian tandan di sebelah bawah. Setelah kering maka dilakukan pengepakan.
Gambar 10. Pengemasan Pisang Barangan. Dari hasil wawancara terhadap petani sampel di daerah penelitian bahwa
kegiatan pasca panen tidak dilakukan pemotongan sisir pisang dan pengepakan pisang karena petani langsung menjual pisang kepada agen yang datang langsung
ke lahan petani. Dari data yang dikumpulkan ternyata hanya 6,67 2 KK yang melakukan pasca panen sesuai dengan anjuran, sedangkan 6,67 2 KK
melakukan 2 diantara anjuran, 70 21 KK melakukan salah satu sesuai dengan anjuran dan 16,67 5 KK melakukan pasca panen tetapi tidak sesuai dengan
anjuran. Untuk lebih jelas perbandingan jumlah dan persentase petani yang
melakukan pasca panen sesuai dengan anjuran teknologi Double Row dapat dilihat pada tabel 21 dibawah ini:
Tabel 21: Jumlah dan Persentase Petani yang Melakukan Pasca Panen Sesuai Dengan Anjuran Teknologi Double Row.
Uraian Skor Anjuran
Total 1 2 3 4
Jumlah KK 5 21 2 2 30
Persentase 16,67 70 6,67 6,67 100
Sumber: Data diolah dari lampiran 2
Universitas Sumatera Utara
62 Dari uraian diatas dapat dikemukakan secara ringkas kegiatan teknologi
Double Row dengan jumlah petani yang menerapkan sesuai dengan anjuran
Tabel 22. Persentase Petani yang Menerapkan Teknologi Double Row Sesuai Dengan Anjuran di Desa Talun Kenas Kec.STM Hilir Kab.Deli
Serdang.
N o
. Kegiatan Anjuran
Persentase Petani yang
Menerapkan Sesuai Anjuran
1 Pengolahan
Lahan -
Lahan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman sebelumnya.
- Dilakukan pembajakan tanah dengan traktor. - Tanah digemburkan dan diratakan.
13,33 4 KK
2 Pemilihan
Bibit - Bibit berasal dari kultur jaringan atau anakan dari
pohon induk yang sudah cukup tua dan mempunyai batang dan buah yang masih bagus
dengan ukuran 60-70 cm seragam dan memiliki 2 helai daun atau lebih.
- Tidak terinfeksi penyakit dan disterilkan dengan bayclin dengan dosis 30ccliter air.
26,67 8 KK
3 Penanaman
- Jarak tanam 1m x 2m x 4m.
- Bibit ditanam pada lubang dengan ukuran
30x30x30cm -
Ditutup kembali dengan tanah galian. 23,33 7 KK
4 Penjarangan
Anakan Mama-
Anak-Cucu -
Dalam satu rumpun dibiarkan maks.3 batang, membentuk sebuah rentetan 1 batang induk, anak
dan cucu
- penjarangan dilakukan setiap 7-8 minggu sekali.
- Cara memotong harus miring keluar supaya tidak
merusak tanaman utama. 10 3 KK
5 Pemupukan
- Pemupukan dilakukan dengan UREA =
36grbatangbln, KCL = 42grbatangbln, Dolomit = 63grbatangbln.
- Pemupukan daun dilakukan 2 minggu sekali
dengan dosis Grow More = 1grliter air bila kekurangan unsur hara mikro
- Pupuk ditabur secara melingkar dengan jarak 0-
30cm Tidak sesuai
6
Penyuntikan Ontong
- Penyuntikan dilakukan dengan insektisida
dengan dosis maks.0,02grontong dilarutkan dalam air 20cc untuk setiap kebutuhan ontong.
- Penyuntikan dilakukan pada saat ontong sudah
keluar dan posisi tegak lurus keatas. - Disuntik di 13 dari bagian atas ontong.
Tidak sesuai
7 Pemeliharaan -
Melakukan pemotongan kuku. 43,33 13 KK
Universitas Sumatera Utara
63 -
Melakukan pemotongan ontong ketika sisir pisang yang terakhir sudah keluar dengan tangan.
- Melakukan pembersihan tandan dari daun yang
sudah kering. -
Melakukan pemotongan daun yang kering dan sakit dengan menggunakan alat yang sudah
disterilkan dengan bayclin.
- Melakukan pembedahan daun yang terkena serangan Sigatoka dengan alat yang sudah
disterilkan dengan bayclin
8
Pengendalian Hama dan
Penyakit -
Penyakit kerdil diatasi dengan membongkar tanaman yang sakit dengan menggunakan alat
yang sudah disterilkan dengan desinfektan, kemudian menggantinya dengan tanaman yang
baru.
- Penyakit layu Fusarium dicegah dengan
pemilihan bibit yang sehat, bila sudah terserang maka tanaman yang sakit dibongkar dan dibakar
atau membunuhnya dengan menyuntikkan Round Up dengan dosis 1cc5cm lingkar batang
pada ketingian 30cm dari tanah.
- Pengendalian terhadap hama penggerek batang
dilakukan dengan sanitasi lahan. -
Pengendalian ulat penggulung daun dilakukan secara mekanis dengan memangkas bagian daun
yang terserang.
- Pengendalian Sigatoka dengan menjaga
kesuburan tanah dan daun yang telah terserang sigatoka dipotong dioperasi.
36,67 11 KK
9 Panen
- Dilakukan pemanenan dengan tingkat
kematangan antara 75-85 -
Melakukan pemanenan setelah umur 11-12 minggu dari keluar bunga
- penentuan saat panen ada 2 cara yaitu: dengan
menggunakan kliper yang terbuat dari kayu dengan ukuran 3,3cm dicocokkan pada buah
pisang di sisir kedua bagian tengah dan melalui umur, buah pisang dapat dipanen setelah umur
11-12 minggu dari keluar bunga. Tidak sesuai
1 Pasca Panen
- pengangkutan dilakukan dengan hati-hati supaya
tidak terjadi gesekan yang menyebabkan kulit pisang memar.
- Setelah buah pisang disisir sebaiknya dicuci dan
disusun bagian tandan di sebelah bawah - Setelah kering dilakukan Pengepakan.
6,67 2 KK
Universitas Sumatera Utara
64 Dari tabel 22 diatas dapat disimpulkan bahwa teknologi Double Row
yang diadopsi petani tidak sesuai dengan anjuran. Ini dapat dilihat dari hasil
persentase petani yang mengadopsi teknologi Double Row sesuai anjuran yang paling tinggi hanya 43,33 13KK yaitu di kegiatan pemeliharan, pengolahan
lahan 13,33 4KK, pemilihan bibit 26,67 8KK, penanaman 23,33 7KK, penjarangan anakan 10 3KK, pengendalian hama dan penyakit 36,67
11KK, pasca panen 6,67 2KK bahkan pemupukan, penyuntikan ontong dan panen tidak sesuai dengan anjuran. Ini menunjukkan bahwa teknologi Double
Row yang diadopsi oleh petani tidak sesuai dengan anjuran. Untuk melihat gambaran jumlah dan persentase petani sampel
berdasarkan kriteria tingkat adopsi dapat dilihat pada tabel 23 dibawah berikut:
Tabel 23. Kriteria Penilaian Tingkat Adopsi Teknologi Double Row Pada Usahatani Pisang Barangan Berdasarkan Skor dan Jumlah
Sampel yang Mengadopsi.
Kriteria Tingkat Adopsi Jumlah KK
Persentase Rendah
7 23,33
Sedang 19 63,33
Tinggi 4 13,33
Jumlah 30 100
Sumber: data diolah dari lampiran 2. Dari tabel 23 diatas dapat dikemukakan dari 30 KK petani sampel
terdapat 7 orang 23,33 yang tingkat adopsinya rendah, 19 orang 63,33 yang tingkat adopsinya sedang dan 4 orang 13,33 yang tingkat adopsinya
tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa identifikasi masalah 1 yang menyatakan teknologi Double Row yang diadopsi petani telah sesuai dengan
anjuran USAID-AMARTA ditolak. Hal ini dapat dijelaskan karena petani yang
menerapkan Teknologi Double Row yang dianjurkan oleh USAID-AMARTA masih 13,33, selebihnya belum menerapkan teknologi Double Row sesuai
Universitas Sumatera Utara
65 dengan anjuran. Ini disebabkan adanya kegiatan-kegiatan yang rumit dilakukan
oleh petani seperti penyuntikan ontong dan penjarangan anakan yang sering tidak dilakukan petani serta kelemahan teknologi Double Row anjuran USAID-
AMARTA ini adalah tidak tersedianya alat-alat yang digunakan didaerah penelitian, padahal menurut M. Ginting suatu inovasi atau teknologi dapat
diadopsi dengan cepat bila; tidak rumit, mudah diamati, dapat dicoba dalam skala kecil, sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat dan memiliki keuntungan tinggi
bagi petani.
Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row.
Adopsi merupakan suatu proses mental yang terjadi pada diri sesorang pada saat menerima suatu ide, inovasi atau teknologi baru yang disampikan
berupa pesan komunikasi. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dilapangan, adopsi teknologi yang dianjurkan oleh USAID-AMARTA sudah
relatif baik bagi petani yang benar-benar melaksanakan teknologi tersebut dalam usaha taninya. Gambaran dari tingkat adopsi petani terhadap teknologi Double
Row pada usahatani pisang barangan dapat dilihat pada tabel 24 dibawah ini:
Tabel 24. Skor Tingkat Adopsi Teknologi Double Row Pada Usahatani Pisang Barangan.
No Teknologi Double
Row Skor
Harapan Skor Rata-Rata
yang Tercapai Persentase
Ketercapaian
1 Pengolahan Lahan
4 2,63
65,83 2 Pemilihan
Bibit 4
2,63 65,83
3 Penanaman 4
2,93 73,33
4 Penjaragan Anakan
4 1,80
45 5 Pemupukan
4 2,23
55,83 6 Penyuntikan
Ontong 4
1,07 26,66
7 Pemeliharaan 4
2,97 74,16
8 Pengendalian Hama
dan Penyakit 4 2,73
68,33 9
Panen 4
2,23 55,83
10 Pasca Panen
4 2,03
50,83
Rata-Rata 4
2,32 58,16
Sumber: Data diolah dari lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
66 Dari tabel 24 diatas dapat dilihat bahwa belum seluruhnya teknologi
Double Row pada usahatani pisang barangan diterapkan oleh petani, dimana rata- rata persentase ketercapaian dalam penerapan teknologi Double Row masih
58,16, dan skor paket teknologi yang paling tinggi rata-rata tercapai adalah pemeliharaan 2,97 sedangkan yang terendah adalah pada penyuntikan ontong
dengan rata-rata yang tercapai 1,07. Jumlah skor rata-rata yang tercapai adalah 2,32 dengan persentase ketercapaian 58,16 . Data ini menunjukkan bahwa
tingkat adopsi petani terhadap teknologi Double Row pada usahatani pisang barangan di daerah penelitian dapat dikategorikan sedang. Dengan demikian
hipotesis 1 yang menyatakan bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi
Double Row pada usahatani pisang barangan di daerah penelitian tinggi ditolak.
Hal ini disebabkan karena didaerah penelitian masih menggunakan sistem budidaya yang tradisional, selain harga pupuk yang mahal dan langka,
modal yang tidak cukup, rumit dan susah untuk dimengerti oleh petani, kurangnya peran penyuluh maupun pihak yang terkait dalam mensosialisasikan teknologi
tersebut serta kurangnya pendampingan USAID-AMARTA terhadap petani sehingga komponen teknologi Double Row yang dianjurkan oleh USAID-
AMARTA tidak terlaksana dengan baik.
Hubungan Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani Terhadap Tingkat Adopsi Petani Dalam Teknologi Double Row.
Tingkat adopsi petani terhadap suatu teknologi selalu dihubungkan oleh faktor sosial ekonomi petani sendiri meliputi umur, tingkat pendidikan,
pengalaman bertani, luas lahan dan jumlah tanggungan keluarga. Oleh karena itu untuk mengetahui bagaimana hubungan masing-masing faktor sosial ekonomi
petani terhadap tingkat adopsi petani dalam teknologi Double Row pada usahatani
Universitas Sumatera Utara
67 pisang barangan maka digunakan pengujian dengan analisis Korelasi Rank
Spearman.
Hubungan Umur Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row Pada Usahatani Pisang Barangan
Secara teori umur diasumsikan dapat mempengaruhi produktivitas seseorang dalam bekerja. Petani yang berada dalam usia produktif lebih
cenderung mencari inovasi yang baru yang dapat meningkatkan produktivitas usaha taninya. Namun kenyataan dilapangan tidak selalu terjadi demikian.
Bagaimana hubungan umur dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi Double Row dapat dijelaskan pada tabel 25a berikut:
Tabel 25a. Hubungan Umur Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row di Desa Talun Kenas
Uraian Range Rataan
Umur Tahun 27-65 42
Tingkat Adopsi Skor
13-33 23.27
r
s
0.182 1.701
0.979
t
tabel
t
hitung
Sumber: Data diolah dari lampiran 3, 4, 5. Untuk melihat hubungan umur dengan tingkat adopsi teknologi Double
Row maka diuji dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh
r
s
= 0.182 dan t
hitung
= 0.979. Data ini menunjukkan bahwa t
hitung
t
tabel
. α = 0.05 = 1.701. Hal ini berarti H
diterima dan H
1
ditolak, artinya tidak ada hubungan umur dengan tingkat adopsi teknologi Double Row pada usahatani
pisang barangan. Jadi, dapat disimpulkan hipotesis 2 yang menyatakan ada hubungan antara umur dengan tingkat adopsi teknologi Double Row pada
usahatani pisang barangan ditolak. Hal ini disebabkan didaerah penelitian
teknologi Double Row ini masih baru bagi para petani, sehingga petani yang
Universitas Sumatera Utara
68 berumur produktif maupun yang tidak produktif masih tetap memiliki potensi dan
kesempatan yang sama untuk mengelola usahataninya dan untuk memahami teknologi Double Row itu sendiri.
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row
Tingkat pendidikan formal yang dimiliki oleh petani akan memperlihatkan tingkat pengetahuan serta wawasannya, dimana pada akhirnya akan
mempengaruhi petani dalam menerapkan teknologi tepat guna yang digunakan dalam mengelola usahataninya. Dalam penelitian ini diduga bahwa tingkat
pendidikan petani memiliki hubungan dengan tingkat adopsi teknologi, dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin tinggi
tingkat adopsi petani terhadap teknologi baru. Gambaran hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat adopsi teknologi Double Row dapat dilihat pada Tabel
25b.
Tabel 25b. Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Tek nologi Double Row
Uraian Range
Rataan Tingkat Pendidikan Tahun
0-17 9.53
Tingkat Adopsi Skor 13-33 23.27
r
s
0.178 1.701
0.957
t
tabel
t
hitung
Sumber : Data diolah dari lampiran 3, 4, 5. Untuk melihat hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat adopsi
teknologi Double Row maka diuji dengan uji Korelasi Rank Spearman. Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai
r
s
= 0.178 dan nilai t
hitung
= 0.957. Data ini menunjukkan t
hitung
t
tabel
α = 0.05 = 1.701. Hal ini berarti H diterima dan H
1
ditolak, artinya tidak ada hubungan tingkat pendidikan terhadap
Universitas Sumatera Utara
69 tingkat adopsi petani dalam teknologi Double Row. Jadi, dapat disimpulkan
hipotesis 2 yang menyatakan ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan
tingkat adopsi teknologi Double Row ditolak. Hal ini disebabkan karena tingkat
pendidikan yang diperoleh petani adalah pendidikan formal yang sama sekali tidak berkaitan dengan usaha taninya. Tabel 11 memperlihatkan bahwa tingkat
pendidikan rata-rata para petani sampel adalah tamatan SLTP, dimana wawasan dan pengetahuan petani masih rendah.
Hubungan Pengalaman Bertani Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row Pada Usahatani Pisang Barangan
Pengalaman petani dalam mengelola usahatani berbeda-beda. Oleh karena itu pengalaman dalam berusaha tani umumnya dapat berhubungan dengan
tingkat adopsi petani terhadap penerapan teknologi Double Row pada ushatani pisang barangan. Dapat diasumsikan bahwa pengalaman bertani memiliki
hubungan dengan tingkat adopsi teknologi Double Row. Artinya semakin tinggi pengalaman petani dalam berusahatani pisang barangan maka akan semakin tinggi
adopsi petani terhadap teknologi Double Row yang dianjurkan. Gambaran hubungan pengalaman bertani dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi
Double Row dapat dilihat pada Tabel 25c.
Tabel 25c. Hubungan Pengalaman Bertani Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row.
Uraian Range
Rataan Pengalaman Bertani Tahun
3-23 7.10
Tingkat Adopsi Skor
13-33 23.27
r
s
-0.200 1.701
1.080
t
tabel
t
hitung
Sumber : Data diolah dari lampiran 3, 4, 5.
Universitas Sumatera Utara
70 Untuk melihat hubungan pengalaman bertani dengan tingkat adopsi
teknologi Double Row maka diuji dengan uji Korelasi Rank Spearman. Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai
r
s
= -0,200 dan nilai t
hitung
= 1.080. Data ini menunjukkan t
hitung
t
tabel
α = 0.05 = 1.701. Hal ini berarti H diterima dan H
1
ditolak, artinya tidak ada hubungan pengalaman bertani dengan tingkat adopsi teknologi Double Row. Jadi, dapat disimpulkan hipotesis 2 yang
menyatakan ada hubungan antara pengalaman bertani dengan tingkat adopsi
teknologi Double Row ditolak. Hal ini disebabkan karena petani sampel di daerah
penelitian yang pengalaman bertaninya cukup lama tidak berusaha menerapkan teknologi Double Row tersebut dalam usahataninya disamping karena memang
teknologi Double Row ini masih baru sehingga petani masih takut menerapkan teknologi ini.
Disamping itu petani yang pengalaman bertaninya sudah lama dan melakukan cara budidaya yang tradisional yang turun-temurun, tidak mau
menerima teknologi Double Row karena petani sudah cukup banyak mengetahui tentang budidaya pisang barangan itu sendiri serta masalah-masalah yang dihadapi
oleh petani dalam usahataninya. Artinya petani yang sudah lama berusahatani pisang barangan tidak mudah menerima suatu inovasi baru yang diperkenalkan.
Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row Pada Usahatani Pisang
Barangan
Dalam penelitian ini diduga bahwa jumlah tanggungan keluarga petani memiliki hubungan dengan tingkat adopsi teknologi Double Row pada usahatani
pisang barangan. Hal ini berarti semakin banyak jumlah tanggungan maka akan
semakin tinggi adopsi teknologi Double Row yang dilakukan petani tersebut.
Universitas Sumatera Utara
71 Dugaan ini didasari pada asumsi bahwa semakin banyak jumlah tanggungan
keluarga, akan mendorong petani untuk melakukan banyak kegiatan terutama dalam upaya mencari dan menambah pendapatan keluarga. Gambaran hubungan
jumlah tanggungan keluarga dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi Double Row pada usahatani pisang barangan dapat dilihat pada Tabel 25d.
Tabel 25d. Hubungan Jumlah Tanggungan Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row
Uraian Range Rataan
Jumlah Tanggungan orang 0-8 2.63
Tingkat Adopsi Skor
13-33 23.27
r
s
-0.278 1.701
1.53
t
tabel
t
hitung
Sumber : Data diolah dari lampiran 3, 4, 5. Untuk melihat hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan tingkat
adopsi petani terhadap teknologi budidaya Double Row pada usahatani pisang barangan maka diuji dengan uji Korelasi Rank Spearman. Berdasarkan hasil
analisis statistik diperoleh nilai
r
s
= -0,278 dan nilai t
hitung
= 1,53. Data ini menunjukkan t
hitung
t
tabel
α = 0.05 = 1,701. Hal ini berarti H diterima dan H
1
ditolak, artinya tidak ada hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi Double Row pada usahatani pisang barangan.
Jadi, dapat disimpulkan hipotesis 2 yang menyatakan ada hubungan antara jumlah tanggungan keluarga dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi Double
Row pada usahatani pisang barangan ditolak. Hal ini disebabkan karena jumlah
tanggungan keluarga tidak ikut serta digunakan dalam tenaga kerja dalam keluarga, anak dalam keluarga masih sebagian besar usia sekolah, jadi tidak
terlibat dalam usahatani sehingga sebagian besar kegiatan usahatani hanya dikerjakan oleh para orang tua dan tenaga kerja dari luar keluarga.
Universitas Sumatera Utara
72
Hubungan Luas Lahan Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row
Semakin luas lahan yang diusahakan oleh petani maka harapan untuk memperoleh produksi dan produktivitas usahatani pisang barangan akan semakin
tinggi, dengan demikian petani berharap tingkat pendapatan akan semakin besar dengan memperluas usahataninya tersebut. Luas lahan yang dikelola oleh petani
mempunyai hubungan dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi budidaya yang akan diterapkan dalam berusaha tani. Gambaran hubungan luas lahan petani
dengan tingkat adopsi Teknologi Doble Row pada usahatani pisang barangan dapat dilihat pada Tabel 25e.
Tabel 25e. Hubungan Luas Lahan Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row Pada Usahatani Pisang Barangan
Uraian Range Rataan
Luas Lahan Ha 0.2-1.4 0.71
Tingkat Adopsi Skor
13-33 23.27
r
s
-0.051 1.701
0.270
t
tabel
t
hitung
Sumber : Data diolah dari lampiran 3, 4, 5. Untuk melihat hubungan luas lahan dengan tingkat adopsi petani terhadap
teknologi Double Row maka diuji dengan uji Korelasi Rank Spearman. Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai
r
s
= -0.051 dan nilai t
hitung
= 0.270. Data ini menunjukkan t
hitung
t
tabel
α = 0.05 = 1,701. Hal ini berarti H diterima dan H
1
ditolak, artinya tidak ada hubungan luas lahan dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi Double Row pada usahtani pisang barangan.
Jadi, dapat disimpulkan hipotesis 2 yang menyatakan ada hubungan antara luas
lahan dengan tingkat adopsi teknologi Double Row ditolak. Hal ini disebabkan
dengan luas lahan yang luas belum tentu pasti mengadopsi teknologi baru dalam
Universitas Sumatera Utara
73 hal ini teknologi Double Row dengan baik karena butuh biaya yang besar untuk
membeli sarana produksi yang lebih besar, artinya sangat diperlukan modal yang besar juga. Dan juga disebabkan bahwa teknologi Double Row ini masih sangat
baru bagi para petani di daerah penelitian. Masalah-Masalah yang Dihadapi Petani dalam Usahatani Pisang Barangan.
1. Kurangnya Pemahaman Petani Petani kurang memahami cara menerapkan teknologi Double Row karena