PENGARUH SELF MANAGEMENT DIETARY COUNSELING TERHADAP SELF CARE DAN STATUS CAIRAN PADA PASIEN HEMODIALISA

(1)

TESIS

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Derajat Magister keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

FARADISA YUANITA FAHMI 20141050062

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

iv TESIS

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Derajat Magister keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

FARADISA YUANITA FAHMI 20141050062

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

iv

PENGARUH SELF MANAGEMENT DIETARY COUNSELING TERHADAP SELF CARE DAN STATUS CAIRAN

PADA PASIEN HEMODIALISA

Telah diujikan pada tanggal : 10 September 2016

Oleh :

FARADISA YUANITA FAHMI NIM 20141050062

Penguji

Dr. dr. Titiek Hidayati, M.Kes (...)

Nur Chayati, S.Kep., Ns., M.Kep (...)

Fitri Arofiati, S.Kep., Ns., MAN., Ph.D (...)

Mengetahui

Ketua Program Magister Keperawatan Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(4)

iv

Nama : Faradisa Yuanita Fahmi

NIM : 20141050062

Program Studi : Magister Keperawatan

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tesis saya yang berjudul “ Pengaruh Self Management Dietary Counseling Terhadap Self Care dan Status Cairan pada Pasien Hemodialisa”.

Saya bersedia menerima sanksi yang telah ditetapkan jika terbukti melakukan tindakan plagiat.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya.

Yogyakarta, September 2016


(5)

iv

Karya Tulis Ini Aku Persembahkan untuk

...

Ayah & ibundaku tercinta

yang tiada pernah henti memberiku semangat, do’a, dorongan, nasihat dan kasih sayang serta pengorbanan yang tak tergantikan hingga aku selalu kuat menjalani setiap rintangan yang ada didepanku. Ayah.... ibu... terimalah bukti kecil ini sebagai kado untuk membalas pengorbananmu

Suamiku tercinta...

terimakasih atas segala do’a untuk

keberhasilanku. Terimakasih atas pengorbananmu yang selalu menepiskan rasa lelahmu untuk menemaniku, mengantarkanku kemanapun demi terselsaikannya karya tulis ini.

Adex2Q tersayang (Faradisa Yufrida Fahma & Faradisa

Amelia Sukma

) yang tiada henti memberiku semangat dan dorongan demi terselesaikannya karya tulis ini.

Buah hatiku yang masih dalam kandungan...

, maafkan bunda... karena keegoisan bunda menyelesaikan karya tulis ini, kamu menjadi ikut bergadang tiap malam, ikut merasakan lelah disetiap perjalanan bunda. Semoga kelak menjadi anak yang kuat, sehat, berilmu, dan berguna bagi agama, nusa & bangsa. Aminnnn...

Sahabat

Sahabat Hebatku M.Kep Angkatan V

. Terima kasih atas segala dukungan dan bantuan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.


(6)

iv

karunia dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul Pengaruh Self Management Dietary Counseling (SMDC) terhadap kemampuan self care dan status cairan pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dengan terselesainya tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Fitri Arofiati, S.Kep., Ns., MAN., Ph. D Selaku ketua program studi Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2. Dr.dr Titiek Hidayati, M.Kes selaku dosen pembimbing I yang telah

memberikan waktunya untuk bimbingan, motivasi dan petunjuk dengan sabar dan telaten dalam pembuatan tesis ini

3. Nur Chayati, S.Kep., M.Kep selaku pembimbing II yang telah memberikan waktunya untuk bimbingan, motivasi dan petunjuk dengan sabar dan telaten dalam pembuatan tesis ini

4. Kepala RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penelitian hingga terselesainya tesis ini

5. Responden yang bekerjasama dalam terselesaikannya tesis ini

6. Bapak/ibu dosen Program Studi Magister keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang membekali ilmu sehingga terselesaikan tesis ini


(7)

iv

8. Seluruh anggota keluargaku terutama bapak ibu yang terhormat, suami tersayang dan anak – anak tercinta yang selalu memberikan doa dan semangat sehingga terselesaikan tesis ini

9. Seluruh sahabat yang memberikan dukungan semangat serta motivasi hingga terselesaikan tesis ini

10.Teman – teman angkatan V Program Studi Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yoyakarta yang selalu memberikan motivasi untuk terselesaikan tesis ini

Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif bagi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi ilmu keperawatan.

Yogyakarta Penulis


(8)

iv

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hemodialisa ... 15

B. Status Cairan ... 21

C. Selfcare ... 39


(9)

iv

G. Kerangka Teori ... 59

H. Kerangka Konsep ... 60

I. Hipotesa ... 61

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Dan Rancangan Penelitian ... 62

B. Populasi, Sampel & Sampling ... 64

C. Lokasi & Waktu Penelitian ... 67

D. Variabel Penelitian ... 68

E. Definisi Operasional ... 69

F. Instrumen Penelitian ... 66

G. Uji Validitas & Reabilitas ... 68

H. Cara Pengumpulan Data ... 71

I. Pengolahan Data Dan Metode Analisis Data ... 73

J. Etika Penelitian ... 75

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat ... 78

2. Analisis Bivariat ... 84

B. Pembahasan 1. Gambaran kemampuan self care ...... 90

2. Gambaran Status Cairan ... 95


(10)

iv

A. Kesimpulan ... 106 B. Saran ... 107 LAMPIRAN


(11)

iv

Tabel 3.2 Indikator Of Hydration Status ... 65 Tabel 3.3 Jenis Uji Statistik Analisis Bivariat ... 74 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik ... 79 Tabel 4.2 Frekuensi dan Homogenitas berdasarkan parameter biologi & nilai laboratorium ... 81 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Cairan ... 82 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Self Care ... 83 Tabel 4.5 Perbedaan Hasil Pengukuran Pengaruh SMDC Terhadap Self Care

dan Status Cairan ... 85 Tabel 4.6 Perbedaan hasil Pengukuran Antar Kelompok Pengaruh SMDC Terhadap Self Care dan Status Cairan ... 86 Tabel 4.7 Hasil Seleksi Uji Bivariat Uji Regresi Logistik Faktor – Faktor yang Memperngaruhi Kemampuan Self Care ... 88 Tabel 4.8 Hasil Pemodelan Multivariat Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Self Care dan Status Cairan ... 88


(12)

iv 59

Gambar 2.2 Kerangka Konsep ... 60 Gambar 3.1 Cara Pengumpulan Data ... 72


(13)

iv

Hb Hemoglobin

HD Hemodialisa

IDWG Interdyalitic Weigh Gain MSG Monosodium Glutamat RSUD Rumah Sakit Umum Daerah


(14)

iv

LAMPIRAN 3 Surat Pernyataan Informed Concents

LAMPIRAN 4 Penjelasan penelitian

LAMPIRAN 5 Kuisioner Self Care Pasien yang menjalani Hemodialisa dalam pengelolaan Diit Cairan & Nutrisi

LAMPIRAN 6 Lembar Pengkajian Status Cairan

LAMPIRAN 7 Kuisioner Mini Mental State Exam (MMSE)

LAMPIRAN 8 Kuisioner Dukungan Sosial


(15)

iv ABSTRAK

Latar Belakang: Prevalensi kejadian GGK yang menjalani hemodialisa setiap tahunnya masih terbilang tinggi. Self Management Dietary Counseling (SMDC) bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dan outcome clinic.

Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh Self Management Dietary Counseling (SMDC) terhadap kemampuan self care dan status cairan pada pasien hemodialisa.

Metode Penelitian : Desain penelitian quasy experiment, pretest – post test design. Sampel berjumlah 60 terdiri dari 3 kelompok. Pengambilan sampel dengan teknik random sampling. Analisa dengan menggunakan uji wilcoxone dan Mann Whitney.

Hasil Penelitian : kelompok yang diberi perlakuan pemberian (Self Management Dietary Counseling) SMDC mempunyai nilai p value <0,050, sedangkan kelompok yang tidak diberi perlakuan nilai p value >0,050

Kesimpulan : Self Management Dietary Counseling memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan kemampuan self care dan status cairan.

Rekomendasi dari penelitian ini adalah agar perawat menerapkan SMDC pada setiap pasien hemodialisa supaya mencegah terjadinya komplikasi yang diakibatkan oleh penumpukan cairan pada tubuh pasien serta membantu pasien untuk meningkatkan kemampuan self care.

Kata Kunci : SMDC, hemodialisa, self care, status cairan

¹Mahasiswa Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ²Dosen Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(16)

iv

Faradisa Yuanita Fahmi¹, Titiek Hidayati², Nur Chayati² Abstract

Background : Prevalence of CRF undergoing hemodialysis each year remains high . Self Management Dietary Counseling ( SMDC ) aims to improve patient knowledge and participate in medical decision making to improve patient compliance and outcomes clinic

Objective: To know the influence of Dietary Counseling Self Management ( SMDC ) on the ability of self care and fluid status in hemodialysis patients

Methods: The study design quasy experimental , pretest - post test design . Samples numbered 60 consists of three groups. Sampling by random sampling technique . Analysis using wilcoxone and Mann Whitney test .

Results: The group treated Award (Self Management Dietary Counseling ) SMDC has a p value < 0.050 , whereas the untreated group p value > 0,050

Conclusion : Self Management Dietary Counseling a significant effect on the increase in the ability of self care and fluid status .

Recommendations from this study is that nurses apply SMDC on each hemodialysis patients in order to prevent complications caused by accumulation of fluid in the patient's body as well as helping patients to improve self care .

Keywords : SMDC , hemodialysis , self care , fluid status

¹Nursing Student University of Muhammadiyah Yogyakarta


(17)

(18)

ABSTRAK

Latar Belakang: Prevalensi kejadian GGK yang menjalani hemodialisa setiap tahunnya masih terbilang tinggi. Self Management Dietary Counseling (SMDC) bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dan outcome clinic.

Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh Self Management Dietary Counseling (SMDC) terhadap kemampuan self care dan status cairan pada pasien hemodialisa.

Metode Penelitian : Desain penelitian quasy experiment, pretest – post test design. Sampel berjumlah 60 terdiri dari 3 kelompok. Pengambilan sampel dengan teknik random sampling. Analisa dengan menggunakan uji wilcoxone dan Mann Whitney.

Hasil Penelitian : kelompok yang diberi perlakuan pemberian (Self Management Dietary Counseling) SMDC mempunyai nilai p value <0,050, sedangkan kelompok yang tidak diberi perlakuan nilai p value >0,050

Kesimpulan : Self Management Dietary Counseling memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan kemampuan self care dan status cairan.

Rekomendasi dari penelitian ini adalah agar perawat menerapkan SMDC pada setiap pasien hemodialisa supaya mencegah terjadinya komplikasi yang diakibatkan oleh penumpukan cairan pada tubuh pasien serta membantu pasien untuk meningkatkan kemampuan self care.

Kata Kunci : SMDC, hemodialisa, self care, status cairan

¹Mahasiswa Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ²Dosen Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(19)

Faradisa Yuanita Fahmi¹, Titiek Hidayati², Nur Chayati² Abstract

Background : Prevalence of CRF undergoing hemodialysis each year remains high . Self Management Dietary Counseling ( SMDC ) aims to improve patient knowledge and participate in medical decision making to improve patient compliance and outcomes clinic

Objective: To know the influence of Dietary Counseling Self Management ( SMDC ) on the ability of self care and fluid status in hemodialysis patients

Methods: The study design quasy experimental , pretest - post test design . Samples numbered 60 consists of three groups. Sampling by random sampling technique . Analysis using wilcoxone and Mann Whitney test .

Results: The group treated Award (Self Management Dietary Counseling ) SMDC has a p value < 0.050 , whereas the untreated group p value > 0,050

Conclusion : Self Management Dietary Counseling a significant effect on the increase in the ability of self care and fluid status .

Recommendations from this study is that nurses apply SMDC on each hemodialysis patients in order to prevent complications caused by accumulation of fluid in the patient's body as well as helping patients to improve self care .

Keywords : SMDC , hemodialysis , self care , fluid status

¹Nursing Student University of Muhammadiyah Yogyakarta


(20)

1 A. Latar Belakang

Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorbsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, serta mengeksresikan kelebihannya sebagai kemih (Thomas, 2009). Ginjal apabila gagal menjalankan fungsinya, maka penderita memerlukan pengobatan dengan segera. Keadaan dimana ginjal lamban laun mulai tidak dapat melakukan fungsi dengan baik disebut dengan gagal ginjal (Sidabutar, 2006).

Salah satu terapi pengganti ginjal adalah hemodialisis. Tujuan hemodialisis adalah untuk memperbaiki komposisi cairan sehingga mencapai keseimbangan cairan yang diharapkan untuk mencegah kekurangan atau kelebihan cairan yang dapat menyebabkan efek yang signifikan terhadap komplikasi kardiovaskuler dalam jangka panjang (Wilson, 2012).

Kejadian prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika Serikat meningkat dan jumlah orang yang gagal ginjal yang dirawat dengan dialisis & transplantasi diproyeksikan meningakat dari 390.000 di tahun 1992, 651.000 dalam tahun 2010. Data menunjukkan bahwa setiap tahun, 200.000 orang Amerika menjalani hemodialisis karena gangguan ginjal kronis artinya 1140


(21)

dalam 1 juta orang Amerika adalah pasien dialisis. Di negara Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya (Neliya, 2012)

Di dunia, sekitar 2.622.000 orang telah menjalani pengobatan End – Stage Renal Disease (ESRD) pada akhir tahun 2010, sebanyak 2.029.000 orang (77%) diantaranya menjalani pengobatan dialisis dan 593.000 orang (23%) menjalani transplantasi ginjal sedangkan kasus gagal ginjal di Indonesia, setiap tahunnya masih terbilang tinggi karena masih banyak msyarakat Indonesia tidak menjaga pola makan dan kesehatan tubuhnya. Survei yang dilakukan PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) pada tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5 % bearti sekitar 18 juta orang dewasa di Indonesia menderita penyakit gagal ginjal kronik (Neliya, 2012).

Jumlah pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD. Dr. Moewardi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan catatan rekam medis tercatat pada tahun 2012 bulan November – Desember sebesar 324 pasien, tahun 2013 sebesar 25.262 pasien, tahun 2014 sampai dengan Mei 2015 sebanyak 25. 520 orang. Jumlah tersebut yang secara rutin menjalani hemodialisis sejumlah 228 (Rekam Medik RSUD Dr. Mowardi, 2015).

Peningkatan prevalensi kejadian yang terjadi pada pasien HD dapat disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah ketidaktepatan dalam melakukan terapi. Hal ini dibuktikan dengan wawancara dengan perawat di RSUD. Dr. Moewardi, didapatkan bahwa kebanyakan pasien kurang


(22)

termotivasi dalam menjalani diit cairan dan mereka menganggap dengan dilakukannya terapi hemodialisis sudah dapat mengatasi masalah yang dialaminya tanpa melakukan diit sehingga lebih dari 50% pasien mengalami gangguan dalam status cairan. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya edema & sesak pada pasien.

Pemantauan yang dilakukan oleh RS terkait dengan pengelolaan cairan itu sendiri yaitu dengan cara mencatat respon pasien pada lembar asessment yang dibuat oleh RS. Pemantauan yang termuat dalam lembar tersebut diantaranya adalah tekanan darah, pernafasan, edema dan nilai biochemical marker. Kegiatan ini dilakukan oleh perawat HD setiap kali pasien akan menjalani terapi, selama terapi dan setelah dilakukan terapi.

Status cairan harus dipantau secara berkala pada pasien yang menjalani hemodialisis. Berat badan kering pada pasien harus ditetapkan sebagai target untuk setiap perawatan. Parameter untuk menilai status cairan tersebut meliputi beberapa pemeriksaan seperti trend in body weight, residual renal function, blood pressure, neck veins, breathing, oedema, intradialytic & post dialysis problem (Charra, 2007 ; Jaeger and Metha, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Andayani & Khairunisa (2013) didapatkan hasil bahwa responden yang melakukan penatalaksanaan konsumsi cairan dengan tepat / sesuai dengan keadaan tubuh, maka akan memiliki status cairan yang baik. Hal ini sesuai dengan teori Marvell (2012) yang menyatakan bahwa seseorang yang mengonsumsi cairan dalam jumlah yang cukup akan memiliki status hidrasi baik sedangkan seseorang yang asupannya tidak sesuai kebutuhan akan


(23)

terganggu status hidrasinya. Status hidrasi tersebut bisa dilihat dari tampilan tubuh pasien seperti mukosa bibir, turgor kulit dan edema.

Penelitian yang hampir sama dengan judul management cairan dapat meningkatkan kualitas hidup yang dilakukan oleh Isroin (2013) didapatkan bahwa manajemen cairan dapat meningkatkan kualitas hidup yang dilihat dari lingkar lengan atas, kekuatan otot pada pasien hemodialisis. Manajemen cairan dapat menurunkan tekanan darah, IDWG, edema dan lingkar pergelangan kaki pasien hemodialisis (Feroze, Noori, Kovesdy & Martin, 2011). Penelitian tentang melemahnya kekuatan otot yang dilakukan oleh Dewangga (2010) pada pasien GGK didapatkan 40% pasien mengalami kelemahan otot. Hal itu disebabkan adanya ketidakseimbangan pada cairan & elektrolit yang mana cairan & elektrolit tersebut dibutuhkan oleh tubuh sebagai ion yang menghantarkan listrik dari jantung, otak maupun ginjal ke sel – sel otot.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Dimas (2009) didapatkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis yang memiliki tingkat kepatuhan diit rendah, persentase terkena edema lebih besar dari pada yang memiliki tingkat kepatuhan diit tinggi. Hal ini sama dengan penelitian tentang hubungan pengetahuan managemen cairan terhadap edema pada pasien GGK yang dilakukan oleh Marliana (2011) terhadap 54 responden didapakan hasil bahwa 31 responden mengalami edema pada ekstremitas. Hal tersebut disebabkan karena ketidaktahuan pasien akan penatalaksanaan diit. Pembatasan cairan seringkali sulit dilakukan oleh klien karena dalam kondisi normal, manusia


(24)

tidak dapat bertahan lebih lama tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan namun pada pasien dengan gagal ginjal kronik, cairan yang diminum harus diawasi dengan seksama karena rasa haus bukan lagi petunjuk yang dapat dipakai untuk mengetahui keadaan cairan tubuh. Asupan yang terlalu bebas dapat mengakibatkan beban sirkulasi yang berlebihan, edema dan intoksikasi air. Banyak juga penumpukan cairan terjadi di rongga perut yang membuat perut membuncit dan disebut asites. Kondisi ini akan membuat tekanan darah meningkat dan memperberat kerja jantung. Penumpukan cairan juga akan masuk ke paru - paru sehingga membuat pasien mengalami sesak nafas (Potter & Perry, 2008).

Lopez (2005) menyatakan bahwa asupan makanan juga akan menyebabkan kelebihan natrium dan air dan memberikan kontribusi untuk interdyalitic weight gain / IDWG. Penilaian rutin IDWG sangat penting bagi perawat dan pasien untuk menentukan jumlah cairan yang diperlukan selama dyalisis. Berat badan pasien adalah cara sederhana yang akurat untuk pengkajian tambahan cairan yang dibuktikan secara klinis dengan adanya edema, peningkatan tekanan vena jugularis, hipo/hipertensi dan sesak nafas. Tanda klinis tersebut menyebabkan gangguan kesehatan fisik dan mempengaruhi kualitas hidup pasien (Thomas, 2007).

Berdasarkan fenomena rendahnya motivasi pasien dalam melakukan diit cairan, maka dibuatlah suatu inovasi untuk mengembangkan kepatuhan menjadi bentuk kemandirian terhadap pengelolaan diit terutama pada pasien


(25)

gagal ginjal kronik. Inovasi tersebut berdasarkan suatu model behavior dalam bentuk framework yang berfokus pada self efficacy (Ghaddar, 2012).

Self management merupakan serangkaian teknis untuk mengubah perilaku, pikiran, dan perasaan yang meliputi pemantauan diri, reinforcement yang positif, perjanjian dengan diri sendiri, dan penguasaan terhadap rangsang. Menurut Welch (2003) yang dikutip oleh Lindberg (2010) menjelaskan bahwa manajemen diri untuk pasien pada pengobatan hemodialisis sebagai proses dari adaptasi perilaku sangat relevan, dengan premis yang mendasari adalah bahwa mengubah perilaku biasanya tidak terjadi sekaligus. Ketidakpatuhan dapat dilihat sebagai bentuk kurangnya manajemen diri, maka dari itu mendorong strategi berkelanjutan untuk manajemen diri merupakan tujuan penting bagi tim perawat ginjal (Ghaddar, 2012).

Self management dengan metode (Self Management Dietary Counseling) SMDC merupakan intervensi yang digunakan sebagai terapi pendekatan behavior cognitif. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengambilan keputusan kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan dan outcome clinic. SMDC ini telah banyak diterapkan pada beberapa negara dengan sasaran pada pasien kronik. Hasil penelitian Ghaddar (2012) yang dilakukan di Lebanon pada pasien hemodialisis, menunjukkan perubahan yang signifikan pada peningkatan pengetahuan, kepatuhan serta nilai biochemical clinic.


(26)

SMDC yang dilakukan di California pada tahun 2002 memberikan hasil bahwa terdapat peningkatan pengetahuan pasien yang memberikan perubahan yang signifikan terhadap perilaku kesehatan, status kesehatan dan pemanfaaatan pelayanan kesehatan. Peningkatan patient knowledge dan kepatuhan akan memberikan efek pada kemampuan self care sehingga hal ini akan meningkatkan kemandirian pasien dalam pengaturan diet pasien hemodialisis.

Penelitian menurut Holman (2013) menunjukkan dengan diberikannya konseling dapat meningkatkan pengetahuan dan kesehatan mental. Konseling dapat memperbaiki kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik sehingga dapat sebagai model dalam merawat pasien gagal ginjal kronik.

Konseling yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dilakukan di ruang HD secara menyeluruh ke semua pasien dengan bantuan pengeras suara, sehingga pasien tidak mempunyai kebebasan untuk mengeksplore permasalahan terkait pengelolaan diit kepada konselor. Ketidakbebasan tersebut disebabkan pasien merasa malu jika permasalahan yang dialaminya diketahui oleh banyak pasien.

Self care menurut Dorothea Orem adalah tindakan yang mengupayakan orang lain memiliki kemampuan untuk dikembangkan ataupun mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar dapat digunakan secara tepat untuk mempertahankan fungsi optimal. Gejala yang timbul akibat perubahan struktur dan fungsi ginjal akan berdampak secara langsung pada status


(27)

fungsional pasien itu sendiri. Status fungsional yang rendah akan mempengaruhi kemampuan pasien untuk melakukan self care (Anita, 2012).

Ketidakmampuan melaksanakan self care ini mengakibatkan gejala yang dirasakan semakin berat dan menjadi penyebab pasien menjalani hospitalisasi. Oleh sebab itu upaya yang dilakukan untuk menekan timbulnya gejala penyakit yang buruk serta menghindari rehospitalisasi bagi pasien yaitu meningkatkan kemampuan self care tersebut (Britz & Dunn, 2010 ; Discroll et al, 2009).

Fenomena tingginya prevalensi kejadian pasien yang menjalani hemodialisa dan rendahnya kepatuhan pasien dalam menjalani diit cairan, membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Alasan selain tingginya prevalensi kejadian HD dan rendahnya kepatuhan tersebut adalah, bahwa RS tersebut sudah terakreditasi A sehingga secara kualitas pelayanan lebih terstruktur di semua bagian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa oedema, Muscle strenght, blood pressure, breathing, neck veins, Intradialytic weight gain dan neck veins merupakan indikator untuk mengetahui status cairan pada pasien gagal ginjal kronik. Ketidaktepatan dalam pengelolaan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang menyebabkan gangguan kesehatan fisik. Kemampuan pasien menerapkan petunjuk pembatasan cairan dan memonitor keseimbangan cairan akan membantu pasien mempertahankan kesehatan fisik sehingga kualitas hidup


(28)

pasien akan meningkat. Masalah yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah Apakah ada pengaruh SMDC terhadap kemampuan self care dan status cairan pada pasien yang mendapat perlakuan SMDC dibandingkan pada pasien yang tidak mendapatkan perlakuan SMDC”.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui pengaruh (Self Management Dietary Counseling) SMDC terhadap kemampuan self care dan status cairan pada pasien yang menjalani hemodialisis.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran kemampuan self care dan status cairan pada kelompok intervensi 1x/minggu, intervensi 2x/minggu dan kelompok kontrol

b. Mengetahui pengaruh SMDC terhadap kemampuan self care dan status cairan pada kelompok intervensi 1x/minggu, intervensi 2x/minggu dan kelompok kontrol

c. Mengetahui perbedaan kemampuan self care dan status cairan antar kelompok intervensi 1x/minggu dengan kelompok intervensi 2x/minggu, kelompok intervensi 1x/minggu dengan kelompok kontrol, dan kelompok 2x/minggu dengan kelompok kontrol


(29)

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk membuat kebijakan tentang perawatan pasien yang menjalani hemodialisis dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan self care pasien

2. Bagi institusi pendidikan

a. Memberikan informasi tentang aplikasi teori keperawatan Orem untuk meningkatkan kemampuan self care dan status cairan pasien yang menjalani hemodialisis

b. Memberikan informasi tentang pentingnya melaksanakan pengkajian secara komprehensif tentang status cairan pada pasien yang menjalani hemodialisis.

3. Bagi penelitian

a. Mengembangkan intervensi keperawatan bagi pasien gagal ginjal yang tidak atau belum mempunyai kemampuan self care dalam pengelolaan diit cairan, untuk selalu diberikan counselling.

E. Keaslian Penelitian

1. Nutritional Education For The Management Of Osteostropy (NEMO) in Patients on Haemodialysis (Ghaddar, 2012).

A Randomised Controlled Trial. Penelitian pada 122 responden, penelitian dilakukan selama 2 bulan dengan metode RCT, dengan mean age (male) 16 tahun dan (female) 14 tahun. Intervensi yang diberikan


(30)

yaitu Group A menerima SMDC dan games, group B menerima hanya pendidikan kesehatan lewat games, group C tidak menerima intervensi apapun. Outcomes dari penelitian ini adalah Skore Patient Knowledge (PK) dengan nilai p = 0.02, hanya pada grup A, perubahan kepatuhan (PdnA) yang siginifikan pada grup A, dengan p = 0.01, dan hasil biochemical marker yang ketahui yaitu mean URR 12.97%, PTH 571, mean albumin 38.5g/l.

Perbedaan penelitian : penelitian ini membandingkannya tidak sama – sama konseling, tetapi pada kelompok A diberikan konseling dan kelompok B diberikan pendidikan kesehatan. Kelompok A & B sama – sama menggunakan games.

2. Related beetwen IDWG, Body weight and nutrion in hemodialysis patient (Ifudu, 2002). Penelitian pada 309 responden yang rutin menjalani hemodialisis selama 3 bulan. Analisa statistik pada penelitian ini menggunakan koefisien korelasi pearson (r) dan analisa regresi multivariate. Hasil penelitian ini adalah bahwa IDWG pasien hemodialisis sebanding dengan berat badan. IDWG berlebih pada pasien pria, tetapi tidak pada pasien yang lebih muda. Pembatasan cairan dan diet pada pasien hemodialisis harus individual sesuai dengan berat badan pasien. Penelitian tersebut tidak meliai kualitas hidup pasien, sedangkan pada penelitian ini IDWG dijadikan parameter dalam menilai kualitas hidup pasien dengan hemodialisis.


(31)

Perbedaan penelitian : penelitian ini hanya mengukur hubungan IDWG dengan nutrisi dan tidak memunculkan self care

3. Excessive fluid overload among haemodialysis patient, prevalence, individual characteristic and self regulation of fluid intake (Lindberg, 2010).

Persyaratan kepatuhan dan ketidakpatuhan akan digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam kaitannya dengan pengobatan yang disetujui saat mereka berhubungan dengan pilihan pasien. Tujuan keseluruhan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari aspek kelebihan cairan dan peraturan pembatasan cairan dari bio – psikososial dan perspektif kedokteran. Penelitian ini terdiri dari empat studi empiris (I – IV), menggunakan desain cross – sectional observational. Analisa statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis varians ANOVA. Responden 4.498 subjek pada tahun 2002 – 2006. Hasil menunjukkan bahwa ketidakpatuhan terhadap manajemen cairan adalah umum pada populasi hemodialisis di Swedia. Prevalensi ketidakpatuhan pembatasan cairan diperkirakan menjadi sekitar 30%, yang bearti bahwa tiga dari sepuluh pasien hemodialisis memiliki berat badan melebihi 3,5% dari berat badan kering antara sesi dialisis. Prevalensi ketidakpatuhan pada pembatasan cairan bermakna (χ² = 28,68 (df4), p <001) antara lima cross – sectional pengukuran dan ada kecenderungan untuk frekuensi lebih rendah pada pasien yang baru (Lindberg, 2010).


(32)

Perbedaan penelitian : dalam penelitian ini hanya mengukur kepatuhan pasien dalam melakukan pembatasa cairan.

4. Interdialytic weight gain as a marker of blood pressure, nutrition and survival ini hemodyalisis patients (Lopez, 2005). Penelitian observasi prospektif 5 tahun yang melibatkan 134 responden (70 laki – laki, 64 wanita) dengan usia 18 – 81 tahun. Awalnya data dikumpulkan selama 4 minggu meliputi presentasi IDWG, parameter gizi dan tekanan darah. Penelitian ini menggunakan uji T test, ANOVA, analisis regresi linier dan kurva survival Kaplan – Miner dibandingkan dengan uji log – rank. Hasil penelitian semakin besar presentase IDWG , semakin baik prognosis jangka panjang dari pasien. IDWG tinggi hanyalah refleksi dari status gizi yang baik, tetapi harus hati – hati

Perbedaan penelitian : penelitian ini menggambarkan IDWG pada status gizi. Penelitian ini juga tidak mengukur self care

5. Self-care and quality of life among patients with heart failure. Britz J. A., & Dunn K., 2010.

Penelitian ini melibatkan 165 pasien gagal jantung dengan lama penelitian selama 26 minggu. Metode yang digunakan adalah cross-sectional. Intervensi yang diberikan yaitu self care management dengan menggunakan instrument yaitu quesioner dengan 22 item pertanyaan. Qusioner dibagi menjadi 3 subscales yaitu self-care maintenance, self care management, dan self care confidence. Hasil dari penelitian ini yaitu


(33)

kemampuan self care mepunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap perkembangan quality of life.

Perbedaan penelitian: penelitian ini sama-sama memberikan intervensi self care management namun pada penelitian tersebut dilakukan pada pasien gagal jantung serta tidak mengukur status cairan.

6. Moattari M., Ebrahimi M., Sharifi N., Rouzbeh J., 2012. The effect of empowerment on the self-efficacy, quality of life and clinical and laboratory indicators of patients treated with hemodialysis: a randomized controlled trial. Penelitian ini dilakukan pada 48 partisipan dengan metode RCT. Intervensi yang diberikan adalah counselling, yang dibagi menjadi dua kelompok grup. Grup intervensi diberikan counselling lengkap selama 6 minggu dan kelompok kontrol diberikan counselling selama 1,5-2 jam. Outcome penelitian ini yaitu terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan intervensi. Pada kelompok intervensi terdapat peningkatan self-efficacy scores, penurunan stress, pengambilan keputusan dan quality of life. Selain itu adanya perubahan pada tekanan darah, IDWG, Hb dan Ht.

Perbedaan penelitian: Sama-sama memberikan intervensi counselling dengan tujuan terjadinya peningkatan kemampuan dalam pengambilan keputusan. Perbedaannya yaitu pada penelitian ini tidak mengukur status cairan.


(34)

15

A. Hemodialisis 1. Pengertian

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).

Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat. Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2006 ; Nursalam, 2006).


(35)

2. Tujuan

Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2009).

Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi elektrokimia. Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan dengan memindahkan zat terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi zat terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi. Molekul kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2 -microglobulin, dan albumin, dan zat terlarut yang terikat protein seperti p-cresol, lebih lambat berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-pori) di membran dengan bantuan proses konveksi yang ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan osmotik – sebuah proses


(36)

yang dinamakan ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009)). Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada perubahan dalam konsentrasi zat terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk membuang kelebihan cairan tubuh total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis pasien harus diperiksa agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan untuk masing-masing sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyatukan komponen peresepan dialisis yang terpisah namun berkaitan untuk mencapai laju dan jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat terlarut yang diinginkan. Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek gejala (symptoms) yang dikenal sebagai sindrom uremi (uremic syndrome), walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun organ tertentu merupakan penyebab dari akumulasi zat terlarut tertentu pada kasus uremia (Lindley, 2011).

3. Prinsip yang mendasari kerja hemodialisis

Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2006).


(37)

Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Lavey, 2011). Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Elizabeth, et all, 2011)).

4. Akses sirkulasi darah pasien

Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis, fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara (Barnett & Pinikaha, 2007).

Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau


(38)

menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart, 2011). Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis (Barnett & Pinikaha, 2007).

Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri atau vena dari materia gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis. Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula (Brunner & Suddart, 2008).

5. Penatalakasanaan pasien yang menjalani hemodialisis

Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal (Anita, 2012).

Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang


(39)

penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).

Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010).

6. Komplikasi

Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus. Masing – masing dari point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada,


(40)

gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa faktor. Hipotensi terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan. Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan berat cairan. Emboli udara terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak & Gallo, 2010 ). Nyeri dada dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat. Pruritus terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit (Smelzer, 2008)

Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi. (Brunner & Suddarth, 2008).

B. Status Cairan Pada Pasien Hemodialisis

Kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lama tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan namun pasien dengan hemodialisis mengontrol asupan cairan merupakan salah satu masalah yang utama karena ketidaktepatan dalam mengontrol asupan cairan akan menimbulkan beberapa


(41)

komplikasi.perburukan pada kondisi pasien. Tujuan penatalaksanaan cairan pada pasien yang menjalani hemodialisis adalah untuk dapat mempertahankan status cairan yang optimal (Barnet & Pinika, 2007).

Status cairan merupakan suatu keadaan atau kondisi pada pasien untuk menentukan kecukupan cairan dan terapi cairan selanjutnya. Status cairan pada pasien gagal ginjal kronik dapat dimanifestasikan dengan pemeriksaan edema, tekanan darah, kekuatan otot, lingkar lengan atas, nilai IDWG dan biochemical marker yang meliputi natrium, kalium, kalsium, magnesium, florida, bikarbonat dan fosfat (Istanti, 2011)

1. Edema a. Definisi

Edema didefinisikan sebagai akumulasi abnormal cairan di dalam ruang interstitial (celah di antara sel) atau jaringan tubuh yang menimbulkan pembengkakan. Pada kondisi yang normal secara umum cairan tubuh yang terdapat di luar sel akan disimpan di dalam dua ruangan yaitu pembuluh darah dan ruang – ruang interstitial. Apabila terdapat gangguan pada keseimbangan pengaturan cairan tubuh, maka cairan dapat berakumulasi berlebihan di dalam ruang interstitial (Isroin, Istanti & Soejono, 2013). Cairan edema diberi istilah transudat, memiliki berat jenis dan kadar protein rendah, jernih tidak berwarna atau jernih kekuningan dan merupakan cairan yang encer atau mirip gelatin bila mengandung di dalamnya sejumlah fibrinogen plasma (kamaludin & Rahayu, 2009).


(42)

b. Etiologi

Edema yang terlihat pada gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh berbagai hal. Ginjal sering tidak dapat mengeksresikan natrium yang masuk melalui makanan dengan cepat, sehingga natrium akan tertimbun dalam ruang ekstraseluler dan menarik air (Hidayati, 2012)

Jumlah cairan yang tidak seimbang dapat menyebabkan terjadinya edema paru ataupun hipertensi pada 2 – 3 orang pasien hemodialisis. Ketidakseimbangan cairan juga dapat menyebabkan terjadinya hipertrovi pada ventrikel kiri. Hasil rontgen dada pasien dengan edema akibat gagal ginjal biasanya menunjukkan adanya kongesti paru-paru sebelum pembesaran jantung terjadi secara signifikan. Namun biasanya tidak terdapat ortopnea. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronis juga dapat mengalami edema akibat retensi primer garam dan air (Lindberg, 2010).

c. Mekanisme terjadinya edema

Kondisi vena yang terbendung (kongesti), menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik intra vaskula (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskula oleh kerja pompa jantung) yang akhirnya menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (Isroin, 2013). Mekanisme edema disebabkan juga karena adanya obstruksi limfatik yang mana apabila terjadi gangguan aliran limfe pada suatu daerah


(43)

(obstruksi/penyumbatan), maka cairan tubuh yang berasal dari plasma darah dan hasil metabolisme yang masuk ke dalam saluran limfe akan tertimbun (Arnold, 2008).

Endotel kapiler merupakan suatu membran semi permeabel yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanya dapat melaluinya sedikit atau terbatas. Tekanan osmotic darah lebih besar dari pada limfe. Daya permeabilitas ini bergantung kepada substansi yang mengikat sel-sel endotel tersebut (Perry & Potter, 2011). Pada keadaan tertentu, misalnya akibat pengaruh toksin yang bekerja terhadap endotel, permeabilitas kapiler dapat bertambah. Akibatnya ialah protein plasma keluar kapiler, sehingga tekanan osmotik koloid darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotik cairan interstitium bertambah. Hal ini mengakibatkan makin banyak cairan yang meninggalkan kapiler dan menimbulkan edema (Lindley, 2011).

Menurunnya jumlah protein darah (hipoproteinemia) menimbulkan rendahnya daya ikat air protein plasma yang tersisa, sehingga cairan plasma merembes keluar vaskula sebagai cairan edema. Kondisi hipoproteinemia dapat diakibatkan kehilangan darah secara kronis oleh cacing Haemonchus contortus yang menghisap darah di dalam mukosa lambung kelenjar (abomasum) dan akibat kerusakan pada ginjal yang menimbulkan gejala albuminuria (proteinuria, protein darah albumin keluar bersama urin)


(44)

berkepanjangan. Hipoproteinemia ini biasanya mengakibatkan edema umum (Isroin, 2013 ; Hidayat, 2011).

Tekanan osmotik koloid dalam jaringan biasanya hanya kecil sekali, sehingga tidak dapat melawan tekanan osmotik yang terdapat dalam darah. Tetapi pada keadaan tertentu jumlah protein dalam jaringan dapat meninggi, misalnya jika permeabilitas kapiler bertambah. Dalam hal ini maka tekanan osmotik jaringan dapat menyebabkan edema (Perry & Potter, 2011). Filtrasi cairan plasma juga mendapat perlawanan dari tekanan jaringan (tissue tension). Tekanan ini berbeda-beda pada berbagai jaringan. Pada jaringan subcutis yang renggang seperti kelopak mata, tekanan sangat rendah, oleh karena itu pada tempat tersebut mudah timbul edema (Garthwaite, 2013)

Retensi natrium terjadi bila eksresi natrium dalam urin lebih kecil dari pada yang masuk (intake). Karena konsentrasi natrium meninggi maka akan terjadi hipertoni. Hipertoni menyebabkan air ditahan, sehingga jumlah cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan interstitium) bertambah. Akibatnya terjadi edema (Arifin, 2010 & Burhan, 2010).

d. Derajat edema

Derajat dari edema sendiri diklasifikasikan menjadi 4 yaitu derajat 1 jika edema menekan sedalam 1 - 3 mm akan kembali dengan cepat (3 detik). Derajat 2 jika menekan lebih dalam 4mm dan akan


(45)

kembali dalam waktu 5 detik. derajat 3 jika menekan lebih dalam 5 – 7 mm akan kemabli dalam waktu 7 detik, tampak bengkak dan derajat 4 jika menekan lebih dalam lagi 8mm akan kembali dalam waktu 7 menit, tampak sangat bengkak yang nyata (Isroin, 2013).

2. Tekanan darah

Peningkatan jumlah penderita gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisis dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan yang sangat cepat, hal ini berhubungan dengan adanya peningkatan jumlah tindakan hemodialisis dari tahun ke tahun. Pada penderita Gagal ginjal kronik hampir selalu dosertai dengan hipertensi, karena hipertensi dan penyakit ginjal kronik merupakan dua hal yang selalu berhubungn erat. Richard Bright seorang pionir Guy’s hospital menyampaikan bahwa penyakit ginjal telah lama dikenal sebagai penyebab hipertensi sekunder. Hipertensi terjadi pada 80% penderita Gagal ginjal kronik Guyton & Hall, 2007)

Kelebihan cairan pradialisis akan meningkatkan resistensi vaskuler dan pompa jantung. Pasien yang mengalami hipertensi intradialisis terjadi peningkatan nilai tahanan vaskuler perifer yang bermakna pada jam akhir dialisis. Jika terjadi kenaikan tekanan darah postdialysis mencerminkan kelebihan volume subklinis (Wuchang & Yao-ping 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Joseph menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah pada pasien hemodialisis disebabkan karena adanya peningkatan volume cairan, peningkatan sekresi renin, & asupan natrium. Akibat


(46)

peningkatan tekanan darah dalam jangka panjang dapat menyebabkan penebalan dinding ventrikel kiri (Yao-ping, 2012)

Tekanan darah melebihi 140/90 mmHg diklasifikasikan sebagai hipertensi. The National Heart, Lung and Blood institute mengklasifikasikan hipertensi dalam dua tingkatan. Tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg. Prehipertensi tekanan sistolik 120 – 139 mmHg, tekanan diastolik 80 – 89 mmHg. Tekanan darah tinggi tingkat pertama, tekanan sistolik 140 – 159 mmHg, tekanan diastolik 90 – 99, dan tekanan darah tinggi tingkat kedua tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 100 mmHg atau lebih (Williamm, 2008 ; Lazarus, 2009). 3. Kekuatan otot

Otot merupakan sistem organisasi tingkat tinggi dari material organik yang menggunakan energi kimia untuk menghasilkan kerja mekanik dibawah kontrol sistem persyarafan. Sel-sel otot dapat dirangsang secara kimiawi, listrik, dan mekanik untuk membangkitkan potensial aksi yang dihantarkan sepanjang membran sel. Kekuatan otot sendiri didefinisikan secara singkat sebagai kekuatan atau tenaga otot yang dihasilkan selama kontraksi maksimal (Isroin, 2013).

Pada dasarnya tubuh merupakan suatu jaringan listrik yang begitu kompleks. Yang mana didalamnya terdapat pembangkit seperti jantung, otak, ginjal serta sel – sel otot. Untuk bisa mengalirkan listrik diperlukan ion – ion yang akan mengantarkan perintah dari jantung, otak ataupun ginjal ke sel – sel otot. Ion – ion tersebut disebut dengan elektrolit. Jika


(47)

terjadi gangguan pada cairan & elektrolit maka aktivitas tersebut tidak adekuat dan begitu juga sebaliknya. Jika kekuatan otot tersebut baik, akan memperluas pembuluh darah & mempengaruhi masa otot yang dimanifestasikan dengan lingkar lengan (Hidayati, 2012). Hal ini sesuai dengan penelitian tentang managemen cairan yang dilakukan oleh Isroin (2013) didapatkan perbedaan kekuatan otot lengan sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan signifikan.

Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami pengurangan aktivitas dan mengalami pengurangan kapasitas fungsional. Permasalahan yang juga sering dikeluhkan pasien adalah kelemahan otot. Pasien dengan hemodialisis rutin mempunyai kekuatan otot yang lebih lemah dibandingkan dengan populasi normal. Kelemahan otot tersebut disebabkan adanya pengurangan aktivitas, atrofi otot, miopati otot, neuropati atau kombinasi diantaranya (Arnold, 2008).

Kekuatan otot juga dapat disebabkan oleh hipokalemi. Menurut Dawodu (2004), hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali. Hipokalemia yang lebih berat bisa menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi tidak normal, terutama pada penderita penyakit jantung.

4. Pernafasan

Sesak napas merupakan keluhan subyektif (keluhan yang dirasakan oleh pasien) berupa rasa tidak nyaman, nyeri atau sensasi berat, selama proses pernapasan. Pada sesak napas, frekuensi pernapasan meningkat di


(48)

atas 24 kali per menit. Sesak napas dapat digolongkan menjadi 2 kelompok besar berdasarkan penyebabnya, yaitu organik yaitu adanya kelainan pada organ tubuh dan non organik yaitu berupa gangguan psikis yang tidak disertai kelainan fisik. Sesak napas organik tidak hanya disebabkan oleh kelainan organ pernapasan, tetapi penyakit pada organ seperti jantung dan ginjal pun dapat menyebabkan terjadinya keluhan sesak napas (Hidayati & Wahyuni, 2012)

Sesak nafas yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis terjadi karena dua faktor. Faktor pertama adanya penumpukan cairan yang diakibatkan oleh rusaknya ginjal, sehingga cairan tersebut akan memutus saluran paru – paru dan membuat sesak nafas. Faktor kedua disebabkan karena anemia yang mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen ( Hudak & Gallo, 2010).

5. Interdialytic Weight Gain (IDWG)

Mayoritas klien yang menjalani terapi hemodialisis di Indonesia menjalani terapi 2 kali seminggu antara 4 – 5 jam pertindakan, itu artinya tubuh harus menanggung kelebihan cairan diantara dua waktu terapi (Sari, 2009). Pembatasan asupan cairan bergantung pada haluaran urine. Berasal dari insensible water loss ditambah dengan haluaran urin per 24 jam yang diperbolehkan untuk pasien dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani dialisis (Smeltzer & Bare, 2002).

Kondisi ketidaktepatan managemen cairan akan membuat tekanan darah meningkat dan memperberat kerja jantung. Penumpukan cairan juga


(49)

akan masuk ke paru – paru sehingga membuat pasien mengalami sesak nafas, karena itulah pasien perlu mengontrol dan membatasi jumlah asupan cairan yang masuk dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2002).

Penilaian umum mengenai berat badan bersih adalah penting untuk mempermudah perawat dan pasien dalam mengurangi kelebihan cairan selama pelaksanaan dialisis. 1 kg BB sebanding dengan 1 L cairan, artinya berat badan pasien adalah metode yang sederhana dan akurat untuk menilai pertambahan maupun pengurangan cairan (Morton & Fontaine, 2009)

a. Definisi

IDWG adalah peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik (Arnold, 2007).

IDWG adalah peningkatan berat badan antar hemodialisis yang paling utama dihasilkan oleh asupan garam dan cairan. IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah lebih dari 1,0 – 1,5 kg atau tidak lebih dari 3% dari berat kering (Istanti, 2011). Klasifikasi menurut Neumann (2013) IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak lebih dari 3% dari berat kering.

b. Pengukuran IDWG

IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan. IDWG diukur berdasarkan dry weight (berat badan


(50)

kering) pasien dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah berat badan tanpa kelebihan yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat terendah yang aman dicapai pasien setelah dilakukan dialisis (Kallenbach, 2005 ; Fielding, 2006)

Berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah hemodialisis. IDWG diukur dengan cara menghitung berat badan pasien setelah (post) HD pada periode hemodialisis pertama (pengukuran I). Periode hemodialisis kedua, berat badan pasien ditimbang lagi sebelum (pre) HD (pengukuran II), selanjutnya menghitung selisih antara pengukuran II dikurangi pengukuran I dibagi pengukuran II dikalikan 100%. Misalnya BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg,, BB pasien ke 2 adalah 58 kg, prosentase IDWG (58 – 54) : 58 X 100% = 6,8 % (Istanti, 2009)

c. Faktor – faktor yang mempengaruhi IDWG

IDWG dipengaruhi dari faktor dari pasien sendiri (internal) dan faktor eksternal seperti faktor fisik dan psikososial. Faktor – faktor yang berpengaruh pada kenaikan berat badan interdialitik adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, stress, self effiacy, dukungan keluarga, sosial, jumlah intake cairan

1) Usia

Peningkatan IDWG dapat terjadi pada setiap umur, hal ini berhubungan dengan kepatuhan pemasukan cairan. Sesuai dengan penelitian oleh Sapri (2004), tidak ada pengaruh antara umur


(51)

pasien dengan kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan pada pasien yang menjalani hemodialisis. Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Kimmel, (2000) menunjukkan bahwa umur merupakan faktor yang kuat terhadap tingkat kepatuhan pasien. Pasien berumur muda mempunyai tingkat kepatuhan yang rendah dibandingkan dengan pasien berumur tua.

2) Jenis Kelamin

IDWG berhubungan dengan perilaku patuh pasien dalam menjalani hemodialisis, baik laki – laki maupun perempuan mempunyai perilaku yang sama untuk terjadi peningkatan IDWG, hal ini dipengaruhi oleh kepatuhan pasien (Isroin, 2013).

Air total laki – laki membentuk 60% berat badannya, sedangkan air tubuh total perempuan membentuk 50% berat badannya. Laki – laki memiliki komposisi tubuh yang berbeda dengan perempuan. Jaringan otot laki – laki lebih banyak dibandingkan perempuan yang memiliki lebih banyak jaringan lemak (Marron, 2008). Lemak merupakan zat yang bebas air, maka makin sedikit lemak akan mengakibatkan makin tinggi presentase dari BB seseorang. Total air tubuh akan memberikan penambahan berat badan yang meningkat lebih cepat daripada penambahan yang disebabkan oleh kalori. Terkait dengan hal tersebut, pada pasien hemodialisis, penambahan BB diantara


(52)

dialisis pada laki – laki lebih tinggi dari pada perempuan (Charra, et al, 2007).

3) Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan sering dihubungkan dengan pengetahuan. Seseorang yang berpendidikan tinggi diasusmsikan lebih mudah menyerap informasi sehingga pemberian asuhan keperawatan dapat disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang mencerminkan tingkat kemampuan pemahaman & kemampuan menyerap edukasi selfcare (Sukandar, 2006).

Kemampuan melakukan perawatan mandiri selama hemodialisis terutama pengelolaan IDWG tidak hanya dipengaruhi oleh hasil interaksi antara pengetahuan, sikap & tindakan pasien terhadap pengelolaan cairan, diit, yang diperoleh melalui pemgalaman sendiri / orang lain dan sumber informasi lain seperti media (Sonier, 2010). Studi yang dilakukan oleh Barnett (2008) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak memberikan perbedaan terhadap kemampuan melakukan perawatan mandiri pada pasien hemodialisis.

4) Rasa Haus

Pasien dengan gagal ginjal kronik meskipun dengan kondisi hipervolemia, sering mengalami rasa haus yang berlebihan yang merupakan salah satu stimulus timbulnya sensasi haus (Black & Hawks, 2005). Merespon rasa haus normalnya adalah dengan


(53)

minum, tetapi pasien-pasien gagal ginjal kronik tidak diijinkan untuk berespon dengan cara yang normal terhadap rasa haus yang mereka rasakan. Rasa haus atau keinginan untuk minum disebabkan oleh berbagai faktor diantaraya masukan sodium, kadar sodium yang tinggi, penurunan kadar posatium, angiotensin II, peningkatan urea plasma, urea plasma yang mengalami peningkatan, hipovolemia post dialisis dan faktor psikologis (Istanti, 2009).

5) Depresi

Stress dapat mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit didalam tubuh. Stress meningkatkan kadar aldosteron dan glukokortikoid, menyebabkan retensi natrium dan garam. Respon stress dapat meningkatkan volume cairan akibatnya curah jantung, tekanan darah, dan perfusi jaringan menurun. Cairan merupakan salah satu stressor utama yang dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisis (Potter & Perry, 2006).

Penyesuaian diri terhadap kondisi sakit juga menimbulkan stress pada pasien, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien. Dampak psikologis pasien GGK yang menjalani HD dapat dimanifestasikan dalam serangkaian perubahan perilaku antara lain menjadi pasif, ketergantungan, merasa tidak aman, bingung dan menderita. Pasien merasa mengalami kehilangan kebebasan, harapan umur panjang dan


(54)

fungsi seksual sehingga dapat menimbulkan kemarahan yang akhirnya timbul suatu keadaan depresi. Menurut Istanti (2009) stress pada pasien HD dapat menyebabkan pasien berhenti memonitoring asupan cairan, bahkan ada juga yang berhenti melakukan terapi hemodialisis, kejadian ini secara langsung dapat berakibat pada IDWG.

6) Self Efficacy

Self Efficacy yaitu kekuatan yang berasal dari seseorang yang bisa mengeluarkan energi positif melalui kognitif, motivasional, afektif dan proses seleksi. Self Efficacy dapat mempengaruhi rasa percaya diri pasien dalam menjalani terapinya (hemodialisis). Self Efficacy yang tinggi dibutuhkan untuk memunculkan motivasi dari dalam diri agar dapat mematuhi terapi dan pengendalian cairan dengan baik, sehingga dapat mencegah peningkatan IDWG Bandura (2000) dalam (Istanti, 2009).

7) Dukungan sosial dan keluarga

Dukungan keluarga berhubungan erat dengan IDWG, sehingga keluarga diharapkan dapat memberikan dukungan dalam memonitor IDWG untuk mencegah komplikasi selama menjalani hemodialisis. Tindakan hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik dapat menimbulkan stress bagi pasien. Dukungan keluarga dan sosial sangat dibutuhkan untuk pasien. Dukungan keluarga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan berhubungan


(55)

dengan kepatuhan pasien untuk menjalankan terapi (Cahyaning, 2009)

6. Neck Veins

Jugularis venous pressure (JVP) atau tekanan vena jugularis adalah tekanan sistem vena yang dapat diamati secara tidak langsung. Pengukuran tekanan vena jugularis merupakan tindakan mengukur besarnya jarak pertemuan dua sudut antara pulsasi vena jugularis dan sudut sternum tepatnya di Angle of Louis yang berguna untuk mengetahui tentang fungsi jantung klien. Pengukuran system sirkulasi vena sendiri dapat dilakukan dengan metode non – invasif dengan menggunakan vena jugularis (externa dexter) sebagai pengganti sphygmomanometer dengan titik nol (zero point) di tengah atrium kanan. Titik ini kira – kira berada pada perpotongan antara garis tegak lurus dari angulus Ludovici ke bidang yang dibentuk kedua linea midaxilaris. vena jugularis tidak terlihat pada orang normal dengan posisi tegak. Ia baru terlihat dalam posisi berbaring di sepanjang permukaan musculus sternocleidomastoideus. Pada orang sehat, JVP maksimum 3 – 4 cm diatas sudut sternum.

Distensi vena jugularis disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan pengisian pada sisi kanan jantung. Distensi >2 cm pada klien dalam posisi duduk, dapat mengindikasikan kelebihan volume cairan. Naiknya JVP yang diikuti dengan suara jantung ketiga, merupakan tanda yang spesifik dari gagal jantung (De Laune, 2002)

Pengukuran JVP bertujuan untuk melihat adanya distensi vena jugularis, memperkirakan tekanan vena sentral (CVP), memberikan informasi


(56)

mengenai fungsi jantung, terutama ventrikel kanan, fungsi paru, dan merupakan komponen terpenting untuk menilai volume darah.

7. Biochemical Marker Cairan

Natrium (Na+) merupakan kation paling banyak dalam cairan ekstrasel. Na+ mempengaruhi keseimbanagan air, hantaran impuls saraf dan kontraksi otot. Ion natrium di dapat dari saluran pencernaan, makanan atau minuman masuk ke dalam cairan ekstrasel melalui proses difusi. Pengeluaran ion natrium melalui ginjal, pernapasan, saluran pencarnaan, dan kulit. Pengaturan konsentrasi ion di lakukan oleh ginjal (Hidayat, 2011).

Pasien gagal ginjal, natrium perlu dibatasai karena natrium dipertahankan didalam tubuh walaupun faal ginjal menurun. Hal ini penting apabila terjadi hipertensi, oedema dan bendungan paru. Pemberian natrium harus dilakukan pada tahap yang ditolerir dengan tujuan untuk mempertahankan volume cairan ekstraseluler (Hidayat, 2009 ; Perry & Potter, 2011)

Kalium (K+) merupakan kation utama cairan intrasel, berfungsi sebagai excitability neuromuskuler dan kontraksi otot. Diperlukan untuk pembentukan glikogen, sintesa protein, pengaturan keseimbanagan asam basa, karena ion K+ dapat diubah menjadi ion hidrogen (H+) (Hidayat, 2009). Kalium dapat diperoleh melalui makanan seperti daging, buah-buahan dan sayur-sayuran. Kalium dapat dikeluarkan melalui ginjal, keringat dan saluran pencernaan. Pengaturan konsentrasi kalium


(57)

dipengaruhi oleh perubahan ion kalium dalam cairan ekstrasel. Kalium jarang meningkat pada gagal ginjal kronik, apabila terjadi hiperkalemi biasanya berkaitan dengan oliguri, kejadian katabolik, obat-obatan yang mengandung kalium, hiperkalemi dapat menimbulkan kegawatan bagi jantung (Hidayat 2008).

Kalsium merupakan ion yang paling banyak dalam tubuh, berguna untuk integritas kulit dan struktur sel, konduksi jantung, pembekuan darah, serta pembentukan tulang dan gigi. Kalsium dalam cairan ekstrasel diatur oleh kelenjar paratiroid dan tiroid. Hormon para tiroid mengabsorpsi kalisum melalui gastrointestinal, sekresi melalui ginjal. Hormon thirocalcitonin menghambat penyerapan Ca+ tulang. Kalsium diperoleh dari absorpsi usus dan resorpsi tulang dan di keluaran melalui ginjal, sedikit melalui keringat serta di simpan dalam tulang (Perry & Potter, 2011).

Magnesium (Mg2+) merupakan kation terbanyak kedua pada cairan intrasel. Sangat penting untuk aktivitas enzim, neurochemia, dan muscular excibility. Sumber magnesium didapat dari makanan seperti sayuran hijau, daging dan ikan (Hidayat, 2009). Klorida Terdapat pada cairan ekstrasel dan intrasel, berperan dalam pengaturan osmolaritas serum dan volume darah, regulasi asam basa, berperan dalam bufer pertukaran oksigen, dan karbon dioksida dalam sel darah merah. Klorida disekresi dan di absorpsi bersama natrium di ginjal dan pengaturan klorida oleh hormin aldosteron (Perry & Potter, 2011). Bikarbonat (HCO3) merupakan buffer


(58)

kimia utama dalam tubuh dan terdapat pada cairan ekstrasel dan intrasel dengan fungsi utama adalah regulasi keseimbangan asam basa. Biknat diatur oleh ginjal (Claire, 2012). Fosfat merupakan anion buffer dalam cairan intrasel dan ekstrasel. Berfungsi untuk meningkatkan kegiatan neuromuskular, metabolism karbohidrat, pengaturan asam basa. Pengaturan oleh hormone paratiroid (Perry & Potter, 2011).

C. Konsep Dasar Selfcare Orem 1. Definisi

Keperawatan mandiri (selfcare) menurut orem adalah suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit (Britz & dunn, 2010). Kemampuan melakukan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan individu dengan mempertahankan kesehatan dan kesempurnaan baik bio, psiko, sosial, dan spiritual. Perawatan diri mandiri tingkah laku yang dipelajari, dipengaruhi meta paradigma tentang individu, kesehatan, lingkungan, keperawatan (Alligood, 2008).

Konsep Orem telah memaparkan secara jelas, sesungguhnya setiap individu dengan keadaan dan usia tertentu sesuai dengan kondisi dasarnya memiliki naluri serta kemampuan tubuh untuk dapat merawat, melindungi, mengontrol, meminimalisir serta mengelola dampak negatif guna dapat


(59)

menjalankan hidup secara optimal untuk hidup dan sehat, pemulihan dari sakit atau trauma atau koping dan dampaknya (Nurhidayah, 2007).

2. Faktor Pendukung Dan Penghambat Pasien Penyakit Ginjal Kronik Dalam Memenuhi self care

Faktor pendukung dan penghambat yang muncul pada saat seseorang melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan dapat mempengaruhi hasil pencapaian kondisi tubuh secara optimal. Pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis perlu menganalisa dari pengalamannya agar dapat mengontrol faktor pendukung dan penghambat yang terjadi sebagai bentuk upaya dalam mempertahankan kondisi tubuh (Villar, Wellstred, Chandra & Roger, 2010 ; Noorzji,2011).

Setiap informan memiliki faktor pendukung dan penghambat yang berbeda. Namun memiliki tujuan pemenuhan kebutuhan tubuh yang sama. Kendala yang dialami oleh 5 informan bersumber dari kendala internal maupun eksternal tubuh. Faktor ekonomi, faktor mental serta faktor pengelolaan asupan cairan dan nutrisi pada pasien ginjal kronik diungkapkan informan dapat menimbulkan kendala yang dapat menghamba pasien untuk memaksimalkan kondisi tubuhnya (Farrington, 2009). Seluruh informan membutuhkan tercapainya kebutuhan secara holistic baik dari segi biologi, psikologi, sosiokultural, spiritual, pemanfaatan sumber fasilitas kesehatan, pelayanan kesehatan hingga ekonomi guna meminimalisir faktor pengahambat terjadinya defisit


(60)

perawatan diri. Latar belakang basic conditioning factor dapat menentukan tindakan yang akan dilakukan informan dalam mencapai kebutuhan tubuh secara optimal dengan cara berbeda (Orem, 2007)

Penelitian pengalaman self care pada pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan oleh Wahyuni dan Hidayati (2012) menyatakan bahwa Upaya dan strategi masing-masing informan dalam memenuhi kebutuhan dan pengoptimalan kondisi tubuh berbeda-beda sesuai dengan basic conditioning factor yang mampu dimodikasi sehingga informan dapat melakukan tindakan secara efektif dalam pemenuhan kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan teori self-care deficit yang menyebutkan bahwa Basic conditioning factor merupakan indikasi peristiwa yang terjadi kepada seseorang yang akan mengakibatkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan self-care secara berbeda. Seseorang yang terlibat dalam pemenuhan tindakan self-care secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kebutuhan yang diharapkan sesuai dengan self-care requisites. Dengan demikian basic conditioning factor yang dimodifikasi melalui self-care requisites dapat memaksimalkan kebutuhan therapeutik self-care demand (Dimas, 2009).

Ghaddar S (2012) mengembangkan sebuah model terkait karakteristik individu yang dikategorikan sebagai faktor prediktor kemampuan self care pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, yaitu :


(61)

a. Usia

Perbedaan tingkat kemampuan self care dapat disebabkan karena pengaruh usia, hal ini berhubungan dengan berbagai keterbatasan maupun kerusakan fungsi sensori yang dimiliki setiap individu. Penelitian yang dilakukan oleh De Geest et. al. (2004) dalam Anita (2012) yaitu terjadi penurunan kemampuan belajar dan mendemonstrasikan aktivitas self care pada pasien yang mengalami gangguan kronik sebagai akibat penurunan fungsi sensori. Selain itu bertambahnya usia berpengaruh terhadap perkembangan disfungsi organ sebagai akibat upaya tubuh untuk mempertahankan homeostasis.

Usia lanjut dibagi menjadi 3 (tiga) grup yaitu usia lanjut muda (60-74 tahun), usia lanjut (75-85 tahun) dan usia sangat lanjut (>85 tahun). Sedangkan Syamsiah N. (2011) mengklasifikan usia me jadi usia dewasa muda (21-40 tahun), usia dewasa menengah (40-65 tahun) dan usia lanjut (.65 tahun) Gerontologis dalam Karavidas, Lazaros, Tsiachris & Pyrgakis (2010). Siagian (2001 dalam Rohman 2007) menyatakan bahwa umur berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau maturitas, yang berarti bahwa semakin meningkat umur seseorang, akan semakin meningkat pula kedewasaannya atau kematangannya baik secara teknis, psikologis maupun spiritual, serta akan semakin mampu melaksanakan tugasnya. Umur yang semakin meningkat akan meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi, toleran


(62)

dan semakin terbuka terhadap pandangan orang lain termasuk pula keputusannya untuk mengikuti program-program terapi yang berdampak pada kesehatannya.

Azwar (2005) dalam Syamsiah (2011) menyatakan dua hipotesisnya terkait dengan usia dan pembentukan sikap dan perilaku. Hipotesis pertama mengenai adanya tahun-tahun tertentu dalam kehidupan dimana individu sangat rawan terhadap persuasi. Hipotesis ini menyatakan bahwa sikap akan terbentuk secara kuat dalam tahun-tahun ini dan stabil untuk jangka waktu lama. Hipotesis kedua beranggapan bahwa semakin lama (tua) individu akan semakin tahan terhadap persuasi. Dalam hipotesis ini dinyatakan bahwa orang akan lebih rawan terhadap persuasi sewaktu masih muda dan kemudian dengan bertambahnya usia akan semakin kuat dan kurang peka sehingga lebih stabil sampai usia tengah baya dimana orang mencapai puncak keteguhan sikapnya.

Berdasarkan hasil penelitian DOPPS (Dialysis Outcomes dan Practise Pattern Study), usia muda menjadi prediktor peluang untuk ketidakpatuhan yang lebih tinggi dibandingkan usia yang lebih tua terutama untuk melewatkankan sesi hemodialisis, memperpendek waktu dialysis, IDWG berlebihan dan hiperphospatemia (Kamerrer, 2007). Penelitian klasik lama oleh Levinson dalam Berk, (2007) telah mengidentifikasi fase-fase perkembangan dewasa awal dan tengah berikut ini (Perry & Potter, 2005) :


(63)

1) Awal transisi dewasa (usia 18 sampai 20), ketika seseorang berpisah dari keluarga dan merasakan kebebasan.

2) Memasuki dunia kedewasaan (usia 21 sampai 27), ketika seseorang menyiapkan dan mencoba karier dan gaya hidup.

3) Masa transisi (usia 28 sampai 32), ketika seseorang secara besar-besaran memodifikasi aktivitas kehidupannya dan memikirkan tujuan masa depan.

4) Masa tenang (usia 33 sampai 39), ketika seseorang mengalami stabilitas yang lebih besar.

5) Tahun keberhasilan (usia 40 sampai 65) waktu untuk pengaruh maksimal, membimbing diri sendiri dan menilai diri sendiri.

b. Jenis kelamin

Beberapa studi yang memperlihatkan adanya perbedaan yang berkaitan dengan gender dalam hal cara berfungsinya intelek cenderung terlalu melebih-lebihkan hasil temuan mereka. Hasil dari studi yang tidak memperlihatkan perbedaan gender biasanya tidak diterbitkan atau hasil temuannya kurang diperhatikan (Gage & Berliener, 1992 dalam Rohman, 2007). Oleh karena itu, mengenai sejauh mana hasil pembelajaran itu dipengaruhi oleh perbedaan gender hingga kini masih terus dipertanyakan dan dikaji. Laki-laki dan perempuan sudah pasti berbeda. Berbeda dalam cara berespon, bertindak, dan bekerja di dalam situasi yang mempengaruhi setiap segi kehidupan. Misalnya dalam hubungan antar manusia, intuisi


(1)

Ite m

Test NilaiMak

s

Nilai 1

2

Orientasi

Sekarang (tahun), (Musim) (bulan) danhariapa? Kita beradadiman? (Negara), (propinsi), (kota), (rumahsakit), (lantai/kamar)?

5 5

---

3 Registrasi

Sebutkan 3 buahnamabenda( jeruk, uang, mawar), tiapbenda 1 detik, pasiendisuruhmengulangiketiganamabendatadi. Nilai 1 untuktiapnamabenda yang benar. Ulangisampai pasiendapatmenyebutkandenganbenardancatatjumlahpengul angan

3

---

AtensidanKalkulasi

4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuktiapjawaban yang benar. Hentikansetelah 5 jawaban.

Ataudisuruhmengejaterbalik kata “ WAHYU” (nilaidiberipadahuruf yang

benarsebelum

kesalahan; misalnyauyahw=2 nilai)

5 ---

Mengingatkembali/Recall

5 Pasiendisuruhmenyebutkembali 3 namabenda di atas. 5 --- Bahasa

6

7

8

Pasiendimintamenyebutkannamabenda yang ditunjukkan ( pensil, arloji)

Pasiendimintamengulangrangkaian kata :” tanpakalaudanatautetapi

Pasiendimintamelakukanperintah: “

Ambilkertasinidengantangankanan, lipatlahmenjadi duadanletakkan di lantai”

2 1 3 --- --- --- 9 Pasiendimintamembacadanmelakukan

perintah “Angkatlahtangankirianda 1 ---

10 Pasiendimintamenulissebuahkalimat (spontan 1 ---

11 Pasiendimintamenirugambar di bawahini 1 ---


(2)

Pedoman Skor kognitif global (secara umum): Nilai: 24 -30: normal

Nilai: 17-23 : probable gangguan kognitif Nilai:0-16:definite gangguan kognitif

Catatan: dalam membuat penilaian fungsi kognitif harus diperhatikan tingkat pendidikan dan usia responden

Alat bantu periksa:

Siapkan kertas kosong, pinsil, arloji, tulisan yang harus dibaca dan gambar yang harus ditiru / disalin

Contoh :

Dikutip dari: Kolegium Psikiatri Indonesia. Program pendidikan dokter spesialis psikiatri. Modul psikiatri geriatri. Jakarta (Indonesia): Kolegium Psikiatri Indonesia; 2008.

DUKUNGAN SOSIAL BAGI PASIEN GAGAL GINJAL YANG MENJALANI HEMODIALISA

Petunjuk : Pernyataan berikut ini menyangkut hubungan anda dengan keluarga ataupun teman anda terhadap kondisi sakit yang anda alami. Berikan pendapat anda atas pernyataan di bawah ini dengan memberikan tanda (√) pada pilihan jawaban yang tersedia, dengan keterangan sebagai berikut :

Selalu (S) : Apabila anda selalu mendapat dukungan dari keluarga dan teman setiap saat anda perlukan.


(3)

Sering (S) : Apabila anda mendapat dukungan dari keluarga dan teman hanya saat-saat tertentu saja.

Jarang (J) : Apabila anda kadang mendapat dukungan dan kadang tidak mendapat dukungan dari keluarga dan teman.

Tidak Pernah (TP) : Apabila anda tidak pernah mendapat dukungan dari keluarga dan teman

No Pernyataan

Jawaban S S J TP

4 3 2 1

1 Seseorang akan menolong saya saat saya kesulitan untuk berjalan

2 Seseorang mengantarkan saya ke rumah sakit atau dokter saat kondisi saya memburuk

3 Seseorang akan memberikan saran pada saya untuk melakukan sesuatu pada saat saya putus asa

4 Saya dapat merasakan kasih sayang keluarga ataupun teman saya saat mereka memberikan perhatian pada saya

5 Seseorang tetap menunjukkan rasa sayang dan perhatian mereka pada saya

6 Seseorang tetap meluangkan waktunya untuk menemani saya saat di rumah

7 Seseorang tetap mendengarkan saya bicara walaupun membosankan

8 Keluarga saya membantu menyiapkan makanan untuk saya sesuai diet seperti rendah garam

9 Keluarga ataupun teman sangat memperhatikan jenis makanan yang saya makan apabila sedang makan bersama di luar negeri.

10 Keluarga ataupun teman melarang saya merokok 11 Keluarga ataupun teman saya tidak mengijinkan saya

minum alkohol ataupun minuman-minuman instan atau minuman penguat tenaga pada saat lagi berkumpul bersama

12 Seseorang akan melakukan sesuatu yang membuat saya merasa nyaman, seperti menemani saya menonton TV, mendengarkan musik atau mengatur posisi tidur saya.

13 Keluarga ataupun teman saya berusaha memahami masalah penyakit saya


(4)

14 Seseorang akan selalu membantu memenuhi semua kebutuhan saat saya terbaring lemah di atas tempat tidur

15 Seseorang selalu ada bagi saya untuk memberikan penjelasan sesuatu hal yang belum saya pahami tentang penyakit saya

16 Seseorang akan berusaha membuat saya tidak terlarut memikirkan kondisi sakit ini

17 Seseorang akan melakukan sesuatu yang menyenangkan bagi saya, seperti mengajak ngobrol, melakukan hobby yang sama secara bersama-sama 18 Seseorang akan ada bagi saya kapan pun saya perlu

bantuan

19 Pada saat saya merasa takut dan cemas, seseorang akan ada disamping saya untuk menenangkan

Medical Outcomes Study (MOS) Social Support Survey

Skore;

Dukungan sosial baik ; jika jumlah skor jawaban di atas nilai mean/median

Dukungan sosial tidak baik ; jika jumlah skor jawaban di bawah nilai mean/median

KUESIONER DEPRESI PASIEN HEMODIALISA

Petunjuk Pengisian : Di bawah ini terdapat pernyataan yang mungkin sesuai dengan pengalaman Bapak/Ibu /Saudara dalam menghadapi situasi hidup sehari-hari. Berikan pendapat anda atas pernyataan di bawah ini dengan memberikan tanda (√) di setiap kotak kosong di samping pernyataan yang paling sesuai dengan keadaan diri anda selama satu minggu terakhir ini.


(5)

Sering Kadang-kadang

Jarang

Tidak pernah

2. Saya dapat tertawa dan melihat sisi yang menyenangkan dari setiap hal: Sesering yang Saya bisa

Saat ini, tidak begitu sering Kadang-kadang

Tidak pernah 3. Saya merasa gembira ;

Tidak pernah

Jarang

Kadang-kadang

Selalu

4. Saya merasa seolah-olah Saya tidak bersemangat ; Hampir setiap saat Sangat sering

Kadang-kadang bisa Tidak pernah

5. Saya kehilangan minat terhadap penampilan Saya ; Saya selalu tidak peduli Saya tidak peduli

Saya agak tidak peduli Saya sangat peduli


(6)

Selalu seperti biasanya Agak berkurang daripada biasanya Kurang dari biasanya

Tidak pernah sama sekali

7. Saya dapat menikmati membaca buku, mendengarkan radio atau menonton ;

Televisi

Sering

Kadang-kadang Jarang

Sangat jarang

(The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS))

Skor;

0-7 = normal

8-10 = ringan

11-14 = sedang