PENGARUH SELF MANAGEMENT DIETARY COUNSELING TERHADAP SELF CARE DAN STATUS NUTRISI PASIEN HEMODIALISIS

(1)

Tesis

Disusun sebagai syarat untuk memenuhi memperoleh Magister Keperawatan Di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

HERMAWATI 20141050027

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

i Tesis

Disusun sebagai syarat untuk memenuhi memperoleh Magister Keperawatan Di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

HERMAWATI 20141050027

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

ii

PENGARUH SELF MANAGEMENT DIETARY COUNSELING TERHADAP SELF CARE DAN STATUS NUTRISI

PASIEN HEMODIALISIS

6 September 2016

Oleh : HERMAWATI NIM 20141050027

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 31 Agustus 2016 Dosen Penguji ;

DR. dr. Titiek Hidayati, M.Kes. (……….) Nur Chayati, SKep.Ns. M. Kep. (...) Azizah Khoriyati, MKep.Sp.Kep.MB (……….….)

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(4)

iii

NIM : 20141050027

Program Studi : Magister Keperawatan Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tesis saya yang berjudul “Pengaruh Self Management Dietary Counseling (SMDC) terhadap Self Caredan Status Nutrisi Pasien Hemodialisis”.

Saya bersedia menerima sanksi yang telah ditetapkan jika terbukti setelah melakukan tindakan plagiat.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta, September 2016


(5)

iv tangan dibawah ini,

Nama : Hermawati

NIM : 20141050027

Program Studi : Magister Keperawatan Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta hak bebas royalti non ekslusif atau karya ilmiah saya. Dengan hak bebas royalti non ekslusif ini Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berhak menyimpan, mengelola dalam bentuk data base, merawat dan mempulbikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti, pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Yogyakarta, September 2016 Yang Menyatakan,


(6)

v

KEPADA KEDUA ORANG TUAKU TERCINTA BAIK DI

SOLO MAUPUN DI PALEMBANG

SUAMIKU TERCINTA MOH.FARID ASKAR DAN

ANAK-ANAKKU TERSAYANG ;DHIRA, NASYWA & TAKA

TERUNTUK SPESIAL ;

PAKDE KU TERCINTA ...

PROF.DR. H.M.AMIEN RAIS, MA &

DRS.H. A. DAHLAN RAIS, MHum...

YANG SELALU MEMBERI

SUPPORT

BAIK MORIL

MAUPUN MATERIIL DAN SELALU

CARE

PADA

PERKEMBANGAN STUDIKU INI

.

SEMOGA ILMU YANG SAYA DAPAT BERMANFAAT BAGI BANGSA, NEGARA DAN AGAMA SERTA MENDAPAT BERKAH DUNIA DAN

AKHERAT... *AMIN*


(7)

vi

penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa selesainya penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. DR. Ahmad Nurmandi, MSc., selaku direktur pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Fitri Arofiati, SKep, Ns.,MAN, PhD selaku Ketua Program Studi Magister Keperawatan.

3. DR.dr. Titiek Hidayati, MKes., selaku pembimbing I, yang telah memberikan bimbingan, saran dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini.

4. Nur Chayati, SKep.Ns, MKep. selaku pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, saran dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini.

5. (Almrh) Yuni Permatasari Istanti, M, Kep., Ns., Sp. Kep. MB., CWCS, selaku advisor proposal tesis, yang telah memberikan bimbingan dan mengantarkan sampai tahap ujian proposal.

6. Suamiku M. Farid Askar, SE dan ketiga anakku Nadhira, Nasywa dan Tazakka, serta keluarga besarku yang senantiasa memberi semangat dan do‟a. 7. Keluarga besar STIKES „Aisyiyah Surakarta yang selalu memotivasi dan

pihak RSUD Dr. Moewardi Surakarta, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan studi pendahuluan hingga penelitian.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih kurang sempurna dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Yogyakarta, Agustus 2016


(8)

vii

HALAMAN PENGESAHAN... ii

PERNYATAAN ORISINILITAS……… iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……… iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I.PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C.Tujuan Penelitian ... 11

1. Tujuan Umum ... 11

2. Tujuan Khusus ... 11

D.Manfaat Penelitian ... 12

1. Pelayanan Kesehatan ... 12

2. Institusi Pendidikan... 12

3. Bagi Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 13

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A.Landasan Teori ... 18

B. Kerangka Teori ... 55

C.Kerangka Konsep ... 56

D.Hipotesis ... 57

BAB III.METODE PENELITIAN ...... 58

A.Desain Penelitian ... 58

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 59

C.Tempat dan Waktu Penelitian ... 62

D.Variabel Penelitian ... 63

E. Definisi Operasional ... 64

F. Instrumen Penelitian ... 67

G.Uji Validitas dan Reliabilitas ... 74


(9)

viii

A.Hasil Penelitian... 89

1. Gambaran lokasi penelitian ... 89

2. Hasil analisa data ... 89

B. Pembahasan ... 103

C.Keterbatasan Penelitian ... 124

D.Implikasi Hasil Penelitian ... 125

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 127

A.Kesimpulan ... 127

B. Saran ... 127 DAFTAR PUSTAKA


(10)

ix

Tabel 3.1. Definisi operasional... 63 Tabel 3.2. Interpretasi Status Nutrisi ... 73


(11)

x

Gambar 3.1. Rancangan Penelitian. ... 58


(12)

xi BMI : Body Mass Index

FFQ : Formulir Food Frequency GGK : Gagal Ginjal Kronik HD : Hemodialisis

IDWG : Inter Dialytic Weight Gain IMT : Indeks Massa Tubuh LES : Lupus Erimatosus Sistemik LFG : Laju Filtrasi Glomerulus LILA : Lingkar Lengan Atas MSG : Mono Sodium Glutamat PEM : Protein Energy Malnutrition P2B : Pusat Pengembangan Bahasa PERNEFRI: Persatuan Nefrologi Indonesia SMDC : Self Management Dietary Counseling TTV : Tanda-tanda Vital


(13)

xii Lampiran 2 : Kartu bimbingan tesis

Lampiran 3 : Surat Ijin Pra Penelitian Dari RSUD Dr. Moewardi Surakarta Lampiran 4 : Surat ijin uji validitas

Lampiran 5 : Surat ijin penelitian

Lampiran 6 : Lembar uji vlaiditas internal dari pakar Lampiran 7 : Lolos uji etik dari UMY

Lampiran 8 : Lolos uji etik dari RSUD Dr. Moewardi Surakarta Lampiran 9 : Penjelasan penelitian

Lampiran 10 : Informed consent

Lampiran 11 : Kuesioner data demografi

Lampiran 12 : Kusioner dukunga sosial bagi pasien hemodialisa Lampiran 13 : Kuesioner demografi

Lampiran 14 : Form data biologis Lampiran 15 : Kuesioner aktivitas fisik Lampiran 16 : Kuesioner food recall

Lampiran 17 : Instrumen Self Care Pasien yang Menjalani Hemodialisa Lampiran 18 : Instrumen MMSE

Lampiran 19 : Booklet konseling Lampiran 20 : Sertifikat konseling Lampiran 21 : Hasil uji normalitas data


(14)

xiii

Hermawati1, Titiek Hidayati2, Nur Chayati2

Abstrak

Latar belakang: Malnutrisi pada pasien hemodialisa dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Diperlukan suatu upaya berupa self management dietary counseling (SMDC) sehingga dapat meningkatkan self care pasien dalam mengelola diet nutrisi. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui pengaruh SMDC terhadap kemampuan self care & status nutrisi pada pasien hemodialisis. Metode penelitian: Desain penelitian quasy eksperiment dengan pre-test and post-test with control group pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Besar sampel 60 responden yang diperoleh melalui purposive random sampling yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok intervensi I (SMDC 1x seminggu), kelompok intervensi II ( SMDC 2x seminggu) serta kelompok kontrol (mendapatkan leaflet).

Hasil penelitian: Terdapat pengaruh signifikan terhadap peningkatan self care & status nutrisi pada follow up minggu ke 2 dan ke 4 dibandingkan pre intervensi dengan p value < 0,05 serta terdapat korelasi antara self care dan status nutrisi untuk follow up minggu ke 2 dan minggu ke 4 dengan nilai r + 0,323 berarti bahwa semakin baik self care akan meningkatkan status nutrisi.

Kesimpulan: Terdapat pengaruh dan perbedaan self care dan status nutrisi ke arah yang positif pada kelompok intervensi II (follow-up minggu ke 4) serta terdapat hubungan yang bermakna antara self care dan status nutrisi. SMDC sebaiknya dilakukan secara terus menerus dengan melibatkandokter, perawat dan ahli giziserta dilakukan dengan waktu lebih dari satu minggu.

Kata Kunci : Hemodialisa, self care, Self Management Dietary Counseling, status nutrisi.

1 Mahasiswa magister keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2 Dosen Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(15)

xiv Abstract

Background: Malnutrition in hemodialysis patients can cause severe morbidity and mortality. It takes a form of self-management effort dietary counseling (SMDC) so that it can improve patient self care in managing nutritional diet. The purpose of research is to determine the effect on the ability SMDC self care and nutritional status in hemodialysis patients.

Methods: The study design quasy experiment with pre-test and post-test with control group in hemodialysis patients in hospitals Dr. Moewardi Surakarta. The sample size of 60 respondents through purposive random sampling were divided into 3 groups: the intervention group I (SMDC 1x a week), the intervention group II (SMDC 2x a week) and control group (get leaflet).

Results: There was a significant influence on the increase in self-care and nutritional status at follow-up week to 2 to 4 compared to pre intervention with p value <0.05 and there is a correlation between self-care and nutritional status for follow-up week 2 and week 4 with the value of r + 0.323 means that the better self care will improve nutritional status.

Conclusion: There is a difference of influence and self-care and nutritional status in a positive direction in the intervention group II (follow-up week 4) and there is a significant relationship between self care and nutritional status. SMDC should be done continuously by involving doctors , nurses and nutritionists as well as performed with more than one week .

Keywords: Hemodialysis, self care, Self Management Dietary Counseling, nutritional status.

1 Master of nursing students University of Muhammadiyah Yogyakarta


(16)

(17)

(18)

xiii

PENGARUH SELF MANAGEMENT DIETARY COUNSELING TERHADAP SELF CARE DAN STATUS NUTRISI

PASIEN HEMODIALISIS

Hermawati1, Titiek Hidayati2, Nur Chayati2

Abstrak

Latar belakang: Malnutrisi pada pasien hemodialisa dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Diperlukan suatu upaya berupa self management dietary counseling (SMDC) sehingga dapat meningkatkan self care pasien dalam mengelola diet nutrisi. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui pengaruh SMDC terhadap kemampuan self care & status nutrisi pada pasien hemodialisis. Metode penelitian: Desain penelitian quasy eksperiment dengan pre-test and post-test with control group pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Besar sampel 60 responden yang diperoleh melalui purposive random sampling yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok intervensi I (SMDC 1x seminggu), kelompok intervensi II ( SMDC 2x seminggu) serta kelompok kontrol (mendapatkan leaflet).

Hasil penelitian: Terdapat pengaruh signifikan terhadap peningkatan self care & status nutrisi pada follow up minggu ke 2 dan ke 4 dibandingkan pre intervensi dengan p value < 0,05 serta terdapat korelasi antara self care dan status nutrisi untuk follow up minggu ke 2 dan minggu ke 4 dengan nilai r + 0,323 berarti bahwa semakin baik self care akan meningkatkan status nutrisi.

Kesimpulan: Terdapat pengaruh dan perbedaan self care dan status nutrisi ke arah yang positif pada kelompok intervensi II (follow-up minggu ke 4) serta terdapat hubungan yang bermakna antara self care dan status nutrisi. SMDC sebaiknya dilakukan secara terus menerus dengan melibatkandokter, perawat dan ahli giziserta dilakukan dengan waktu lebih dari satu minggu.

Kata Kunci : Hemodialisa, self care, Self Management Dietary Counseling, status nutrisi.

1 Mahasiswa magister keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2 Dosen Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(19)

xiv

EFFECT OF SELF MANAGEMENT DIETARY COUNSELING ON SELF CARE AND NUTRITION STATUS HAEMODIALYSIS PATIENT

Hermawati1, Titiek Hidayati2, Nur Chayati2

Abstract

Background: Malnutrition in hemodialysis patients can cause severe morbidity and mortality. It takes a form of self-management effort dietary counseling (SMDC) so that it can improve patient self care in managing nutritional diet. The purpose of research is to determine the effect on the ability SMDC self care and nutritional status in hemodialysis patients.

Methods: The study design quasy experiment with pre-test and post-test with control group in hemodialysis patients in hospitals Dr. Moewardi Surakarta. The sample size of 60 respondents through purposive random sampling were divided into 3 groups: the intervention group I (SMDC 1x a week), the intervention group II (SMDC 2x a week) and control group (get leaflet).

Results: There was a significant influence on the increase in self-care and nutritional status at follow-up week to 2 to 4 compared to pre intervention with p value <0.05 and there is a correlation between self-care and nutritional status for follow-up week 2 and week 4 with the value of r + 0.323 means that the better self care will improve nutritional status.

Conclusion: There is a difference of influence and self-care and nutritional status in a positive direction in the intervention group II (follow-up week 4) and there is a significant relationship between self care and nutritional status. SMDC should be done continuously by involving doctors , nurses and nutritionists as well as performed with more than one week .

Keywords: Hemodialysis, self care, Self Management Dietary Counseling, nutritional status.

1 Master of nursing students University of Muhammadiyah Yogyakarta


(20)

1

Gagal ginjal kronik termasuk penyakit gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit, sehingga yang berakibat terjadinya uremia (Smeltzer & Bare, 2008). Penyakit gagal ginjal kronik mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada suatu keadaan tertentu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Syamsiah, 2011).

Gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi jumlah pasiennya semakin meningkat, diperkirakan tahun 2025 di Asia Tenggara, Mediterania dan Timur Tengah serta Afrika mencapai lebih dari 380 juta orang, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan penduduk, peningkatan proses penuaan, urbanisasi, obesitas dan gaya hidup tidak sehat (Nurchayati, 2010). Dilaporkan dari USRDS (The United States Renal Data System) tahun 2013 menunjukkan angka prevalensi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani dalisis pada tahun 2013 di Amerika Serikat sebesar 1.924 per 1 juta penduduk, di Singapura sebesar 1.661 per 1 juta penduduk, dan di Jepang sebesar 2.309 per 1 juta penduduk per tahun (USRDS dalam Kusuma, 2013).

Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Indonesia pada tahun 2009 prevalensinya 12,5% atau 18 juta orang dewasa. Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal kronik yang cukup tinggi. Menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2008 diperkirakan ada 70


(21)

ribu pasien gagal ginjal di Indonesia, namun yang terdeteksi menderita gagal ginjal kronis tahap terminal dari mereka yang menjalani cuci darah atau hemodialisis hanya sekitar empat ribu atau lima ribu saja. Adapun penyebabnya adalah 29% akibat hipertensi, 23% karena nefropati diabetika, 17% akibat glomerulopati (Bali post dalam Nurchayati, 2010).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Sistem Pelaporan dan Pencatatan Rumah Sakit (SP2RS), diperoleh gambaran bahwa penyakit gagal ginjal kronik menduduki peringkat ke empat dari sepuluh penyakit tidak menular yang menjadi penyebab kematian terbanyak di Rumah Sakit di Indonesia sebesar 3,16% atau sekitar 3047 angka kematian, sedangkan menurut data Profil Kesehatan Indonesia (2006), gagal ginjal menempati urutan ke enam sebagai penyebab kematian pasien yang dirawat di rumah sakit di seluruh Indonesia, sebesar 2,99% (Depkes, 2008). Menurut data dinas kesehatan Jawa Tengah bahwa angka kejadian kasus gagal ginjal di Jawa Tengah tahun 2014-2015 yang paling tinggi adalah kota Surakarta dengan 1497 kasus (25.22%) (Dinkes Pemprop Jateng, 2014).

Salah satu terapi terhadap penderita gagal ginjal kronik adalah dialisis, diantaranya yaitu hemodialisis. Hemodialisis adalah terapi yang paling sering digunakan, di antara pasien dengan gagal ginjal kronik di Amerika Serikat dan Eropa 46%-98% menjalankan terapi hemodialisis, meskipun hemodialisis secara efektif dapat memberikan kontribusi yang efektif untuk memperpanjang hidup pasien, namun angka morbiditas dan mortalitasnya masih cukup tinggi, hanya 32%-33% pasien yang menjalani terapi hemodialisis bisa bertahan pada tahun kelima (Denhaerynck, Manhaeve, & Dobbels, 2013). Diperkirakan terdapat lebih


(22)

dari 100.000 pasien di Indonesia yang akhir-akhir ini menjalani terapi hemodialisis. Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut, misalnya pada pasien yang memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari sampai beberapa minggu) atau dapat digunakan dalam keadaan sakit kronis, yaitu pada pasien dengan gagal ginjal kronis yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen (Hidayati, 2012).

Hemodialisis bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme atau protein dan sebagai koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Di samping itu tindakan dialisis ini juga dapat menyebabkan komplikasi, diantaranya yaitu mempengaruhi status gizi (Moattari, Ebrahimi, Sharifi, 2012). Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis sering mengalami malnutrisi, inflamasi dan penurunan kualitas hidup sehingga memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Beberapa faktor penyebab malnutrisi pada pasien yang menjalani dialisis, salah satunya yaitu uremia, asupan protein dan kalori menurun, inflamasi kronik dan komorbid akut atau kronik (Kugler, Valminck & Harerich, 2005). Penderita gagal ginjal kronik tersebut akan mengalami penurunan berat badan, kehilangan simpanan energi termasuk jaringan lemak dan protein tubuh termasuk albumin serum, transferin dan protein viseral.

Dilaporkan bahwa 50-70% pasien yang menjalani hemodialisis mengalami malnutrisi (Moattari et.al., 2012). Adanya kecenderungan terjadinya malnutrisi pada pasien hemodialisis, maka penilaian status nutrisi merupakan komponen utama dalam evaluasi dan penatalaksanaan pasien, untuk meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


(23)

Penilaian status nutrisi dan komposisi tubuh menjadi bagian penting, oleh karena sering dijumpai pasien mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan malnutrisi. Pasien dengan malnutrisi akan mengalami gangguan fisiologis dimana akan mempengaruhi kualitas hidupnya. Banyak cara yang digunakan untuk melakukan pengkajian status nutrisi diantaranya pengkajian chemical, pengkajian struktur tubuh dan pengkajian kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan. Pengukuran status nutrisi termasuk albumin, Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar lengan atau pertengahan serta perubahan rambut dan kulit (Shokebumroong, 2014).

Keseimbangan status nutrisi dapat dikontrol oleh pasien, salah satunya dengan pengaturan diet nutrisi. Berdasarkan hasil literature review, beberapa penulis menunjukkan dalam risetnya bahwa keberhasilan dalam menjalankan hemodialisis didasarkan pada unsur-unsur yang beragam, antara lain adalah kepatuhan pasien dalam pengelolaan diet nutrisi. Kepatuhan terhadap pengelolaan diet nutrisi dengan baik maka diperlukan pengetahuan pasien yang baik tentang pengelolaan diet nutrisi pada pasien yang menjalani hemodialisis.

Keberhasilan dalam menjalankan hemodialisis didasarkan pada unsur-unsur tersebut di atas. Berdasarkan penelitian (Ghaddar, 2012) bahwa pada umumnya pasien yang menjalani hemodialisis mempunyai kesukaran dalam kepatuhan untuk mengontrol diet nutrisi yang direkomendasikan. Hasil dari penelitian lainnya menunjukkan hasil kepatuhan yang beragam, antara lain kepatuhan yang harus dilakukan tidak saja hanya dalam diet nutrisi dan


(24)

pembatasan cairan, tetapi juga rutin dalam menjalani hemodialisis, pengelolaan diri pasien serta pemberdayaan pasien (Denhaerynck et al, 2007).

Penyakit yang berhubungan dengan malnutrisi dan konsekuensi ektrimnya yaitu kaheksia, meliputi multifactorial wasting syndrome. Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, 70% sampai 75% mengalami deplesi nutrisi atau yang dapat diasumsikan sebagai kehilangan energi dan protein. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kejadian kehilangan energi dan protein, anoreksia dan hypophagia. Dilaporkan hampir 40% pasien yang menjalani hemodialisis mengalami anoreksia dan terjadi penurunan intake nutrisi dan energi (Molfino et.al, 2012).

Diet nutrisi pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena dapat menimbulkan dampak klinis yaitu berupa mual, muntah, mudah lelah dan gatal-gatal. Dapat terjadi asites dan atau edema, begitu juga dengan kekurangan masa otot dan lemak bisa terjadi atau tidak yang nantinya berkaitan erat dengan implementasi gizi karena berhubungan dengan jumlah cairan, natrium, lemak bawah kulit, dan otot. Tekanan darah bisa normal atau tinggi. Kenaikan Berat Badan (BB) yang cepat (melebihi 5%), edema, ronkhi basah dalam paru-paru, kelopak mata yang bengkak dan sesak nafas yang diakibatkan oleh gejala uremia (Smeltzer & Bare, 2008).

Beberapa pasien mengalami kesulitan dalam pengelolaan asupan nutrisi, namun mereka tidak mendapatkan pemahaman tentang bagaimana strategi yang dapat membantu mereka dalam pengelolaan diet nutrisi (Tovazzi & Mazzoni,


(25)

2012). Banyak pasien sudah mengerti bahwa kegagalan dalam diet dapat berakibat fatal, namun sekitar 50% pasien yang menjalani terapi hemodialisis tidak mematuhi pembatasan nutrisi yang telah direkomendasikan (Barnett, Li, & Si, 2007). Berdasarkan penelitian valsaraj et.al. (2014) yang melakukan penelitian pada 50 pasien yang mengalami hemodialisis di unit dialisis Kasturba hospital, dilaporkan bahwa semua pasien dalam penelitian ini mengalami kesulitan melakukan pembatasan nutrisi, hal ini dikarenakan informasi yang didapatkan kurang maksimal dan untuk itu diperlukan suatu konseling agar terjadi perubahan perilaku pada pasien dalam mengelola diet nutrisi.

Hasil wawancara dapat diketahui bahwa mereka merasa tidak puas khususnya apabila merasakan makanan diberi batasan garam. Penelitian oleh Ghaddar (2012) di hemodialysis centre in the South of Lebanon pada 122 pasien dewasa yang menjalani HD, bahwa rata-rata nilai kepatuhan terhadap diet 36% selama menjalani hemodialisis. Ketidakpatuhan terhadap diet fosfat lebih tinggi yaitu 74%. Ketidakpatuhan pasien yang menjalani HD terhadap diet fosfat yang direkomendasikan pada pasien HD sebagian besar akan mengakibatkan masalah medis, seperti osteodistrofi ginjal, terjadi kalsifikasi, hiperplasia paratiroid dan komplikasi kardiovaskuler. Didapatkan data kejadian hiperfosfatemia di Kairo sebesar 69.1%.

Alharbi & Enrione (2012) dalam penelitian pada 222 pasien hemodialisis, menyatakan bahwa terdapat 58.7% pasien tidak mematuhi diet dan pembatasan cairan, sehingga perlu mendapatkan konseling dan edukasi secara rutin dan berkelanjutan. Data dari rumah sakit Finland menunjukkan dari 106 pasien yang


(26)

dirawat di rumah sakit tersebut, lebih dari 50% tidak mendapatkan konseling tentang penyakit kronik yang dideritanya (Kaakinen, Kaarianinen & Kyngas, 2012). Konseling dengan pendekatan behavior-cognitive yang berasumsi setiap pribadi memiliki potensi untuk memilih dan mengarahkan ulang atau membentuk ulang nasibnya sendiri. Teori ini lebih menitikberatkan pada komunikasi yang efisien kepada pasien sehingga membantu pasien mengevaluasi setiap keputusannya dalam membuat keputusan baru yang lebih tepat (Lawrence, 2007).

Konseling perlu diterapkan pada konsep keperawatan untuk pasien-pasien yang mengalami penyakit kronis, seperti Diabetes Mellitus serta gagal ginjal dengan dialisis. Kondisi pasien dengan penyakit kronis sering mengalami keputusasaan dalam pengobatan, sehingga potensial terjadinya ketidakpatuhan dalam program yang dianjurkan (Kugler, Valminck, & Harerich, 2005). Berdasarkan pada fenomena di atas, maka dibuatlah suatu inovasi untuk mengembangkan kepatuhan menjadi suatu bentuk kemandirian terhadap pengelolaan diet pada pasien terutama yang mengalami penyakit kronik.

Inovasi tersebut berdasarkan suatu model behavior dalam bentuk framework yang berfokus pada self efficacy. Self Management Dietary Counseling (SMDC) merupakan intervensi yang digunakan sebagai terapi pendekatan behavior cognitive. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan kesehatan serta untuk meningkatkan kepatuhan dan outcome klinik. Beberapa negara telah banyak menerapkan SMDC tersebut untuk beberapa penyakit kronik. Seperti hasil penelitian Ghaddar (2012) di Lebanon pada pasien yang menjalani


(27)

hemodialisis, penelitian ini menunjukkan perubahan yang signifikan pada peningkatan pengetahuan pasien, kepatuhan, serta nilai biochemical clinic.

SMDC juga dilakukan pada pasien dengan penyakit kronik, yang pernah diteliti di California tahun 2002, yang memberikan laporan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan pasien yang memberikan perubahan yang signifikan terhadap prilaku kesehatan, status kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Peningkatan pengetahuan pasien dan kepatuhan akan memberikan efek pada peningkatan kemampuan self care sehingga hal ini akan meningkatkan kemandirian pasien dalam pengaturan diet pasien hemodialisis. Self care menurut Dorothea Orem adalah tindakan yang mengupayakan orang lain memiliki kemampuan untuk dikembangkan ataupun mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar dapat digunakan secara tepat untuk mempertahankan fungsi optimal. Gejala yang timbul akibat perubahan struktur dan fungsi ginjal akan berdampak secara langsung pada status fungsional pasien itu sendiri. Status fungsional yang rendah akan mempengaruhi kemampuan pasien untuk melakukan self care (Anita, 2012).

Penelitian yang dilakukan Britz dan Dunn (2010) menyebutkan sebagian pasien melaporkan bahwa mereka belum melaksanakan self care secara tepat seperti yang telah diajarkan misalnya mematuhi pengobatan yang diberikan serta mengenal secara dini gejala dan tanda. Ketidakmampuan melaksanakan self care ini mengakibatkan gejala yang dirasakan semakin berat dan menjadi penyebab pasien menjalani hospitalisasi. Upaya yang dilakukan untuk menekan timbulnya gejala penyakit yang buruk serta menghindari reshospitalisasi bagi pasien yaitu


(28)

dengan meningkatkan kemampuan self care tersebut (Britz & Dunn, 2010). Berdasarkan penelitian Moattari et.al (2012) yang menyatakan bahwa konseling memberikan kekuatan untuk meningkatkan self care, quality of Life, clinical signs dan nilai hemoglobin serta hemotokrit pada pasien yang menjalani hemodialisis.

Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan melalui wawancara di Unit Dialisis RSUD dr. Moewardi Surakarta yang dilakukan pada 22 Mei 2015. Diketahui bahwa berdasarkan data rekam medik didapatkan data pasien dengan gagal ginjal kronik dari tahun 2014 sampai dengan Mei 2015 adalah 25.520 orang, dari jumlah tersebut 8.857 yang mendapatkan replacement therapy dan yang secara rutin menjalani hemodialisis berjumlah 228 dengan frekuensi 2 kali per minggu. Lamanya pasien menjalani hemodialisa yaitu 4 sampai 5 jam.

Hasil wawancara dengan kepala unit dialisis RSUD dr. Moewardi Surakarta dengan menggunakan panduan wawancara yang berkaitan dengan kemampuan self care dan status nutrisi pasien hemodialisis. Diketahui bahwa unit dialisis RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama ini belum melakukan konseling secara terstruktur, informasi yang berkaitan dengan pengelolaan diet nutrisi disampaikan melalui penyuluhan kesehatan yang dilakukan oleh perawat hemodialisis atau mahasiswa yang sedang melaksanakan praktek atau magang di ruang tersebut. Sekitar 50% pasien yang rutin menjalani hemodialisis tersebut kurang termotivasi dalam menjalani diet nutrisi sehingga mengalami anemia. Hasil wawancara dan kuesioner yang dibagikan, sekitar 75% pasien belum mempunyai kemampuan self care ketergantungan penuh (wholly compensatory) dalam mengelola diet nutrisi tersebut.


(29)

Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya pasien yang menggunakan MSG, mengkonsumsi mie instant, mengkonsomsi makanan yang mengandung kalium dan akan menjalankan program diet apabila ada pengawasan dari keluarga atau petugas kesehatan. Hasil pra penelitian juga diketahui bahwa status nutrisi berada pada malnutrisi sedang, hal ini dibuktikan dengan data hasil pemeriksaan laboratorium darah yang diperiksa secara rutin setiap 1 bulan sekali post hemodialisis dan setelah pasien diberikan transfusi. Diketahui juga bahwa 80% pasien yang menjalani hemodialisa mengalami nutrisi yang tidak adekuat. Hal ini diindikasikan dengan nilai albumin di bawah normal (<3,8 g%l), kulit kering dan rambut kusam, sedangkan untuk kontrol kalsium dan phospat pada pasien yang menjalani hemodialisis belum tercatat karena selama ini pasien hanya diperiksa Ca dan P satu kali pada saat pertama kali pasien dilakukan hemodialisa.

Hasil wawancara sekitar 75% pasien belum mempunyai kemampuan self care yang baik dalam mengelola diet nutrisi tersebut. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya pasien yang menggunakan MSG, mengkonsumsi mie instant, mengkonsomsi makanan yang mengandung kalium dan akan menjalankan program diet apabila ada pengawasan dari keluarga atau petugas kesehatan. Hasil pra penelitian juga diketahui bahwa unit dialisis RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama ini melakukan belum melakukan konseling secara terstruktur Berdasarkan pada permasalahan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh self management dietary counseling terhadap self care dan status nutrisi pada pasien hemodialisis.


(30)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dan berbagai fenomena yang muncul tentang kepatuhan pasien dalam melakukan pengelolaan nutrisi yang dapat mempengaruhi tingkat self care . Self care dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap status nutrisi pada pasien yang menjalani hemodialisis. “Apakah ada pengaruh SMDC terhadap kemampuan self care dan status nutrisi pada pasien yang mendapat perlakuan SMDC dibandingkan pada pasien yang tidak mendapatkan perlakuan SMDC?” .

C.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui pengaruh Self Management Dietary Counselling (SMDC) terhadap kemampuan self care dan status nutrisi pada pasien yang menjalani hemodialisis.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk ;

a. Mengetahui nilai rata-rata kemampuan self care dan status nutrisi sebelum dan sesudah dilakukan SMDC pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

b. Mengetahui perbedaan self care dan status nutrisi sebelum dan sesudah dilakukan SMDC pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

c. Mengetahui pengaruh SMDC terhadap self care dan status nutrisi pada pasien yang menjalani hemodialisis.


(31)

d. Mengetahui hubungan self care dengan status nutrisi pada pasien yang menjalani hemodialisis.

D.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ; 1. Pelayanan kesehatan :

a. Memberi masukan bagi rumah sakit khususnya lingkup pelayanan kesehatan untuk mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan kesehatan mengenai self care dan pentingnya pemantauan terhadap status nutrisi.

b. Memberi masukan bagi pemberi pelayanan kesehatan di rumah sakit untuk melakukan screening secara rutin terhadap perubahan status nutrisi yang dapat dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisis.

c. Memotivasi peran aktif perawat di unit dialisis untuk melaksanakan peran aktif sebagai pemberi konseling diet nutrisi bagi pasien yang menjalani hemodialisis sehingga dapat meningkatkan self care serta menjaga status nutrisi agar tetap normal.

2. Institusi Pendidikan

a. Memberikan informasi tentang aplikasi teori keperawatan Orem untuk meningkatkan self care dan status nutrisi pasien yang menjalani hemodialisis.

b. Memberikan informasi tentang pentingnya melaksanakan pengkajian secara komprehensif tentang status nutrisi pada pasien yang menjalani hemodialisis.


(32)

3. Bagi Penelitian

a. Mengembangkan ilmu counseling secara lebih terperinci, tidak hanya sebatas counseling secara umum, namun dapat berupa pendekatan analisis transaksional yang tepat bagi pasien yang menderita penyakit kronik.

b. Menjadi landasan yang bermanfaat dalam pengembangan penelitian-penelitian di bidang counseling, memberikan wacana serta guna menyempurnakan penelitian di masa yang akan datang.

E. Keaslian Penelitian

Adapun penelitian terkait dengan penelitian yang akan dlakukan ini yaitu :

1. Ghaddar S., 2012. Nutritional Education for the Management of Osteodystrophy (NEMO) in Patients on Haemodialysis : A Randomized Controlled Trial. Outcomes dari penelitian yaitu terjadi peningkatan patient knowledge (PK), pengetahuan, serta hasil biochemical marker khususnya albumim > 38.5g/l. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari intervensi yang diberikan yaitu Self Management Dietary Counseling (SMDC) yang berfokus pada pendekatan behavior cognitive.Perbedaan penelitian : penelitian ini tidak mengukur status nutrisi yang lengkap, status nutrisi yang diukur hanya biochemical marker yaitu albumin. Selain itu dalam penelitian ini tidak mengaplikasikan mengenai teori self care.

2. Hidayati S., 2012. Efektifitas Konseling Analisis Transaksional tentang Diet Cairan terhadap Penurunan Interdialytic Weight Gain (IDWG) Pasien Gagal

Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah


(33)

traksaksional berpengaruh terhadap penurunan interdialytic weight gain dengan nilai p=0,0003.

Perbedaan penelitian ; Penelitian ini tidak mengaplikasikan mengenai teori self care dan juga tidak mengukur nilai kepatuhan dan Patient Knowledge (PK).

3. Ramirez H.R.M., Sanabria L.C., Campos E.R., Herrera A.H., Manzano A.M.C. (2013). Review Article Multidsciplinary Strategies in the Management of Early Chronic Kidney Disease (CKD). Intervensi yang diberikan adalah CKD management plan yang berisikan educational process tentang faktor resiko dari CKD. Outcomes pada review article ini yaitu menurunnya faktor resiko CKD yang dapat diketahui dari hemodinamik, serum creatinin, Glomerulus Filtration Rate (GFR), albuminnuria, proteinuria, analisis sedimen urin.

Perbedaan penelitian; Penelitian ini juga melakukan intervensi management plan pada pasien CKD, tetapi penelitian ini tidak mengaplikasikan mengenai teori self care dan juga tidak mengukur nilai kepatuhan dan Patient Knowledge (PK) dan status nutrisi.

4. Moattari M., Ebrahimi M., Sharifi N., Rouzbeh J., 2012. The effect of empowerment on the self-efficacy, quality of life and clinical and laboratory

indicators of patients treated with hemodialysis: a randomized controlled

trial. Penelitian ini dilakukan pada 48 partisipan dengan metode RCT. Intervensi yang diberikan adalah counselling. Grup intervensi diberikan counselling lengkap selama 6 minggu dan kelompok kontrol diberikan


(34)

counselling selama 1,5-2 jam. Outcome penelitian ini yaitu terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan intervensi. Pada kelompok intervensi terdapat peningkatan self-efficacy scores, penurunan stress, pengambilan keputusan dan quality of life. Selain itu adanya perubahan pada tekanan darah, IDWG, Hb dan Ht. Perbedaan penelitian; Sama-sama memberikan intervensi counselling dengan tujuan terjadinya peningkatan kemampuan dalam pengambilan keputusan. Perbedaannya yaitu pada penelitian ini tidak mengukur patients knowledge(PK), kepatuhan serta status nutrisi.

5. Britz J. A., & Dunn K., 2010. Self-care and quality of life among patients with heart failure. Penelitian ini melibatkan 165 pasien gagal jantung dengan lama penelitian selama 26 minggu. Metode cross-sectional. Intervensi yang diberikan yaitu self care management dengan menggunakan instrument quesioner dibagi menjadi 3 subscales yaitu self-care maintenance, self care management, dan self care confidence. Hasil dari penelitian ini yaitu kemampuan self care mepunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap perkembangan quality of life. Perbedaan penelitian; Sama-sama memberikan intervensi self care management dengan tujuan terjadinya peningkatan kemampuan dalam self care maintenance, self care management dan self confidence. Perbedaannya yaitu pada penelitian ini tidak mengukur patients knowledge (PK), kepatuhan serta status nutrisi.

6. Molfino A., Chiappini M.G., Laviano, Amman T., Bollea M.R., Alegiani F., Fanelli F. R., Muscaritoli M., 2012. Effect of intensive nutritional counseling


(35)

and support on clinical outcomes of hemodialysis patients. Pada penelitian ini melibatkan 34 pasien yang menjalani hemodialisa yang difollow-up selama 2 tahun termasuk program pengkajian nutrisi. Konseling yang diberikan terdiri dari advice, diet yang harus dijalani, intervensi terhadap diet yang gagal. Mencatat nilai biochemical, antropometri dan parameter komposisi tubuh, morbiditas, mortalitas dicatat untuk semua pasien selama masa follow-up. Hasil dari penelitian ini dapat diketahui bahwa 41% pasien anoreksia, 59% pasien tidak mengalami anoreksia, pasien yang mengalami hypophagia mengalami penurunan fat-free mass. Nilai kolesterol, albumin, lymfosit dan IMT terdapat perbedaan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

7. Riegel, B., Jaarsma, T., Strömberg, A., 2012. A Middle-Range Theory of Self Care of Chronic Illness. Advances in Nursing Science. Penelitian ini berkaitan dengan kemampuan self care pasien yang mengalami penyakit kronik. Self care yang diukur terdiri dari self care maintenance, self care monitoring dan self care management. Perbedaan penelitian: penelitian ini mengaplikasikan teori self care pada pasien penyakit kronik. Konseling perlu diterapkan pada konsep keperawatan untuk pasien-pasien yang mengalami penyakit kronis. Kondisi pasien dengan penyakit kronis sering mengalami keputusasaan sehingga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan terhadap pengobatan. 8. Brogdon, 2013. A Self Care Educational Intervension To Improve Knowledge

of Dietary Phosporus Control in Patients Requiring Hemodialysis. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pengetahuan pasien tentang diet rendah fosfor untuk mempromosikan kepatuhan diet. Hasil dari penelitian ini


(36)

dievaluasi melalui pre tes dan post tes tentang pengetahuan pasien mengenai kandungan fosfor dalam makanan, dengan hasil yang menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan yang positif. Hasil pendidikan nutrisi akan diikuti dengan peningkatan pengetahuan, praktik tentang pengelolaan nutrisi dan peningkatan tentang panduan diet, sehingga hal ini dapat meningkatkan status kesehatan dan aktivitas kehidupan sehari-hari.


(37)

18 1. Gagal Ginjal Kronis

a. Pengertian

Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan menurunnya fungsi ginjal yang bersifat irreversible, dan memerlukan terapi pengganti ginjal yaitu berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Selain itu gagal ginjal kronik juga dapat diartikan dengan terjadinya kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi adanya kelainan patologis, adanya kelainan ginjal seperti kelainan dalam komposisi darah atau urin serta adanya kelainan pada tes pencitraan (imaging tests) serta laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/mnt/1.73 m2 (Nurchayati, 2010).

Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia atau terjadi retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer & Bare, 2008). Penyakit gagal ginjal kronik terjadi bila kedua ginjal sudah


(38)

tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Penyebab gagal ginjal kronik antara lain penyakit infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obstruktif (Prince & Wilson, 2005).

Gagal ginjal kronik juga didefinisikan sebagai penurunan dari fungsi jaringan ginjal secara progresif di mana massa di ginjal yang masih ada tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan internal tubuh. Gagal ginjal kronis juga diartikan sebagai bentuk kegagalan fungsi ginjal terutama di unit nefron yang berlangsung perlahan-lahan karena penyebab yang berlangsung lama, menetap dan mengakibatkan penumpukan sisa metabolit atau toksik uremik, hal ini menyebabkan ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan seperti biasanya sehingga menimbulkan gejala sakit (Black & Hawks, 2005). b. Etiologi

Penyebab utama gagal ginjal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Penyebab utama gagal ginjal kronik di Amerika Serikat diantaranya yaitu Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 merupakan penyebab terbesar gagal ginjal kronik sebesar 37% sedangkan tipe 1 7%. Hipertensi menempati urutan kedua sebesar 27%. Urutan ketiga penyebab gagal ginjal kronik adalah glomerulonefrtitis sebesar 10%, nefrtitis interstisialis 4%, dilanjutkan dengan nefritis interstisialis, kista, neoplasma serta penyakit lainnya yang masing-masing sebesar 2%.


(39)

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2014 menyebutkan bahwa penyebab gagal ginjal di Indonesia diantaranya adalah glomerulonefritis 46.39%, DM 18.65% sedangkan obstruksi dan infeksi sebesar 12.85% dan hipertensi 8.46% sedangkan penyebab lainnya 13,65% (Drakbar, 2008). Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui. Etiologi gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter seperti penyakit ginjal polikistik (Brunner & Suddarth, 2008).

c. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangannya proses yang terjadi sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.

Pada stadium paling dini pada penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), dimana basal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih normal atau dapat meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,


(40)

yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum sampai pada LFG sebesar 30%. Kerusakan ginjal dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal, produk akhir metabolik yang seharusnya dieksresikan ke dalam urin, menjadi tertimbun dalam darah. Kondisi seperti ini dinamakan sindrom uremia. Terjadinya uremia dapat mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk metabolik (sampah), maka gejala akan semakin berat (Brunner & Suddarth, 2008).

Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan seperti hipovolemi atau hipervolemi, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal, pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suharyanto dalam Hidayati, 2012).

d.Gambaran Klinis Gagal Ginjal Kronik

Gambaran klinis pada pasien dengan gagal ginjal kronik, yaitu (Sudoyo, 2014):

1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperuremia, Lupus Erimatosus Sistemik (LES) dan lain sebagainya, 2) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan


(41)

volume cairan,(volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma, 3) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodstrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium dan klorida). e. Stadium Gagal Ginjal Kronik

Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 (tiga) stadium, yaitu ( Brunner & Suddarth, 2008) :

1) stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal. Pada stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan test pemekatan kemih dan test Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) secara seksama, 2) stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal, pada stadium ini, 75% lebih jaringan yang berfungsi telah rusak, LFG besarnya 25% dari normal, kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari normal, gejala-gejala nokturia atau sering berkemih di malam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan), 3) stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia, sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh dan nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal.

f. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik

Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu tindakan konservatif dan dialisis atau transplantasi ginjal.


(42)

Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif, pengobatan antara lain : a) pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan cairan, b) pencegahan dan pengobatan komplikasi; hipertensi, hiperkalemia, anemia, asidosis, c) diet rendah fosfat.

2) Pengobatan hiperurisemia

Adapun jenis obat pilihan yang dapat mengobati hiperuremia pada penyakit gagal ginjal lanjut adalah alopurinol. Efek kerja obat ini mengurangi kadar asam urat dengan menghambat biosintesis sebagai asam urat total yang dihasilkan oleh tubuh (Guyton, 2007).

3) Dialisis

a) Hemodialisa (1) Definisi

Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari sampai beberapa minggu) atau pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium akhir atau End Stage Renal Desease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Sehelai membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu.

Pada penderita gagal ginjal kronik, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak


(43)

menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien. Pasien dengan gagal ginjal kronik yang mendapatkan replacement therapy harus menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya atau biasanya tiga kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi atau sampai mendapat ginjal pengganti atau baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan terapi dialisis yang kronis kalau terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia (Price & Wilson, 2006).

(2)Tujuan

Tujuan dilakukan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang bersifat toksik atau racun dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal (Hudak & Gallo, 2010).


(44)

(3) Komplikasi hemodialisis

Adapun komplikasi dialisis secara umum dapat mencakup hal-hal sebagai berikut (Price & Wilson, 2006) :

(a) hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan, (b) emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien, (c) nyeri dada dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh, (d) pruritus, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit, (e) gangguan keseimbangan dialisis, terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang, (f) kram otot, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel, (g) mual, muntah, merupakan peristiwa yang paling sering terjadi.

b).CAPD

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) merupakan salah satu cara dialisis lainnya, CAPD dilakukan dengan menggunakan permukaan peritoneum yang luasnya sekitar 22.000 cm2. Permukaan peritoneum berfungsi sebagai permukaan difusi (Price & Wilson, 2006).

3) Transplantasi Ginjal (TPG)

Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi pilihan bagi mayoritas pasien dengan penyakit renal tahap akhir hampir di seluruh dunia.


(45)

Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik.

2. Teori Self Care t-Dorothea E. Orem a. Pengertian Self Care

Individu akan berusaha berperilaku untuk dirinya sendiri dalam menemukan dan melaksanakan treatment pengobatan untuk memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Hal tersebut merupakan bagian yang natural dari manusia. Orem percaya bahwa manusia memiliki kemampuan dalam merawat dirinya sendiri (self care) dan perawat harus fokus terhadap dampak kemampuan tersebut (Alligood, 2014). Filosofi dari ilmu keperawatan adalah memandirikan dan membantu individu memenuhi kebutuhan dirinya (self care). Salah satu teori self care dalam ilmu keperawatan yang terkenal adalah teori self care Orem.

Orem dalam hal ini melihat individu sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari aspek fisik, psikologis, dan sosial dengan derajat kemampuan untuk merawat dirinya yang berbeda-beda sehingga tindakan perawat berupaya untuk memacu kemampuan tersebut. Individu juga memiliki kamampuan untuk terus berkembang dan belajar (Alligood, 2014). Orem mendefinisikan keperawatan sebagai seni di mana perawat memberikan bantuan khusus kepada individu dengan ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk perawatan mandiri serta


(46)

berpastisipasi secara intelegensi dalam perawatan medis yang diberikan oleh dokter.

Teori Orem mendeskripsikan peran dari perawat adalah menolong seseorang dalam ketidakmampuannya dalam melaksanakan self care. Tujuan utama sistem Orem ini adalah menemukan kebutuhan self care (Self care demand) pasien hingga pasien mampu untuk melaksanakannya (Alligood, 2014). Menurut Orem, asuhan keperawatan diberikan apabila pasien tidak mampu melakukannya, namun perawat tetap harus mengkaji mengapa klien tidak dapat memenuhinya, apa yang dapat perawat lakukan untuk meningkatkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan menilai sejauh mana klien mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri (Potter & Perry, 2005).

Teori Orem mengidentifikasi dua set ilmu keperawatan yaitu nursing practice science dan foundational sciences. Termasuk di dalam nursing practice science yaitu 1) wholly compensatory dimana perawat membantu penuh ketidakmampuan total pasien dalam melakukan aktivitas self care; 2) partialy compensatory dimana perawat membantu ketidakmampuan sebagian pasien dalam melakukan aktifitas self care; 3) supporting educative dimana perawat membantu pasien untuk membuat keputusan dan memiliki kemampuan dan pengetahuan (Alligood, 2014).

Area hemodialisis merupakan salah satu area praktik keperawatan untuk mengaplikasikan teori self care Orem ini di mana aplikasi ini akan sesuai karena penting sekali untuk pasien agar dapat aktif terlibat dalam


(47)

perawatan dirinya. Tujuan utama praktek keperawatan adalah untuk membantu pasien menyiapkan diri untuk berperan serta secara adekuat dalam perawatan dirinya dengan cara meningkatkan outcome pasien dan kualitas hidup. Sebagai perawat, kita dapat melakukan hal tersebut dengan membentuk hubungan saling percaya antara perawat dan pasien, menyediakan dukungan dan pendidikan kesehatan, memperbolehkan pasien mengontrol beberapa situasi dengan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan mendorong pasien untuk aktif berpartisipasi dalam treatment hemodialisis.

Self care dalam hal ini merupakan istilah yang lebih luas dari hanya sekedar seperti self care behaviors, self care performance, self care ability, self care activity, self care compliance, self care skills dan self care practice.Self care adalah suatu proses kognitif yang aktif di mana seseorang berupaya untuk mempertahankan kesehatan atau mengatasi penyakitnya (Anita, 2012). Self care meliputi gabungan antara self care behavior dan self care ability. Self care adalah sebuah proses pengambilan keputusan secara naturalistik terhadap pemilihan tingkah laku untuk mempertahankan stabilitas fisiologis (self care maintenance) dan respon terhadap gejala yang dialami (self management) (Ramirez, Campos, Herrera, 2013).

Kemampuan self care pasien dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dari individu itu sendiri yang dikenal dengan basic conditioning factors, yang meliputi : usia, jenis kelmain, tingkat perkembangan, status kesehatan, orientasi sosio kultural, sistem pelayanan kesehatan, sistem


(48)

keluarga, pola hidup, faktor lingkungan seperti faktor fisik atau biologis, dan ketersediaan serta adekuatnya sumber daya. Basic conditioning factor ini menggambarkan pengaruh nilai yang dimiliki pasien tentang kebutuhan perawatan diri terhadap kemampuan yang dimilikinya (Alligood, 2014). b. Dimensi Self-Care

Riegel, Jaarsma, & Strömberg (2012) membagi self care ke dalam 3 (tiga) dimensi yaitu:

1) Self care Maintenance. Aktivitas yang dinilai dalam self maintenance pasien dengan gagal ginjal kronik meliputi: 1) terapi pengobatan sesuai indikasi, 2) mengelola diit nutrisi, yang terdiri protein, kalium, natrium, fosfat, 3) memonitor perubahan yang terjadi pada tubuh seperti hemodinamik & perawatan kulit, 4) teratur dalam melaksanakan hemodialisa sesuai dengan yang dianjurkan petugas kesehatan.

2) Self Care Management

Self care management meliputi upaya untuk mempertahankan kesehatan atau gaya hidup sehat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam dimensi ini meliputi; 1) meningkatnya kepatuhan dalam pengaturan diit, 2) kemampuan mengenal dan mengevaluasi perubahan status nutrisi yang terjadi, 3) meningkatnya pengetahuan dengan dapat mengambil keputusan untuk penanganan dan mengevaluasi respon tindakan serta mampu mendapatkan akses informasi secara mandiri, 4) mempunyai rasa percaya diri pada kemampuan untuk menggunakan support services.


(49)

3) Self Care Confidence

Dimensi self care confidence ini menentukan bagaimana kepercayaan diri pasien dalam mengikuti semua petunjuk tentang self care, yang meliputi; 1) kepercayaan diri terhadap perasaan bebas dari gejala penyakit, 2) kepercayaan diri mengikuti petunjuk pengobatan, 3) kepercayaan diri mengenal secara dini perubahan kesehatan yang dialami, 4) kepercayaan diri melakukan sesuatu untuk mengatasi gejala penyakit, 5) kepercayaan diri mengevaluasi keberhasilan tindakan yang telah dilakukan.

3. Faktor Prediktor Self Care Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

Riegel, Jaarsma, & Strömberg (2012), mengembangkan sebuah model terkait karakteristik individu yang dikategorikan sebagai faktor prediktor self care pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, yaitu: a. Usia

Usia merupakan faktor prediktor penting pada self care. Bertambahnaya usia sering dihubungkan dengan berbagai keterbatasan maupun kerusakan fungsi sensori. Kondisi seperti ini ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh De Geest et. al. (2004) dalam Anita (2012) yaitu terjadi penurunan kemampuan belajar dan mendemonstrasikan aktivitas self care pada pasien yang mengalami gangguan kronik sebagai akibat penurunan fungsi sensori. Selain itu bertambahnya usia berpengaruh terhadap perkembangan disfungsi organ sebagai akibat upaya tubuh untuk mempertahankan homeostasis.


(50)

Gerontologis dalam Karavidas, Lazaros, & Pyrgakis (2010) membagi usia lanjut menjadi 3 (tiga) grup yaitu usia lanjut muda (60-74 tahun), usia lanjut (75-85 tahun) dan usia sangat lanjut (>85 tahun). Sedangkan Syamsiah (2011) mengklasifikan usia menjadi usia dewasa muda (21-40 tahun), usia dewasa menengah (40-65 tahun) dan usia lanjut (.65 tahun). Seiring bertambahnya usia maka hal itu akan berpengaruh secara langsung terhadap perubahan struktur jantung, dimana terjadi peningkatan penebalan dinding ventrikel kiri yang disebabkan karena hipertensi atau karena penyebab lain yaitu peningkatan afterload (Anita, 2012).

Azwar (2005) dalam Syamsiah (2011) menyatakan dua hipotesisnya terkait dengan usia dan pembentukan sikap dan perilaku. Hipotesis pertama mengenai adanya tahun-tahun tertentu dalam kehidupan dimana individu sangat rawan terhadap persuasi. Hipotesis ini menyatakan bahwa sikap akan terbentuk secara kuat dalam tahun-tahun ini dan stabil untuk jangka waktu lama. Hipotesis kedua beranggapan bahwa semakin lama (tua) individu akan semakin tahan terhadap persuasi. Dalam hipotesis ini dinyatakan bahwa orang akan lebih rawan terhadap persuasi sewaktu masih muda dan kemudian dengan bertambahnya usia akan semakin kuat dan kurang peka sehingga lebih stabil sampai usia tengah baya dimana orang mencapai puncak keteguhan sikapnya.


(51)

Siagian (2001 dalam Rohman 2007) menyatakan bahwa umur berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau maturitas, yang berarti bahwa semakin meningkat umur seseorang, akan semakin meningkat pula kedewasaannya atau kematangannya baik secara teknis, psikologis maupun spiritual, serta akan semakin mampu melaksanakan tugasnya. Umur yang semakin meningkat akan meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi, toleran dan semakin terbuka terhadap pandangan orang lain termasuk pula keputusannya untuk mengikuti program-program terapi yang berdampak pada kesehatannya.

Berdasarkan hasil penelitian the Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study (DOPPS), usia muda menjadi prediktor peluang untuk ketidakpatuhan yang lebih tinggi dibandingkan usia yang lebih tua terutama untuk melewatkankan sesi hemodialisis, memperpendek waktu dialysis, Inter Dialytic Weight Gain (IDWG) berlebihan dan hiperphospatemia (Kamerrer, 2007). Penelitian klasik lama oleh Levinson telah mengidentifikasi fase-fase perkembangan dewasa awal dan tengah berikut ini (Levinson et al, 1978 dalam Perry & Potter, 2005) yaitu 1) awal transisi dewasa (usia 21 sampai 30), ketika seseorang berpisah dari keluarga dan merasakan kebebasan, 2) memasuki dunia kedewasaan (usia 31 sampai 40), ketika seseorang menyiapkan dan mencoba karier dan gaya hidup, 3) masa transisi (usia 41 sampai 50), ketika seseorang secara besar-besaran memodifikasi aktivitas


(52)

kehidupannya dan memikirkan tujuan masa depan, 4) masa tenang dan tahun keberhasilan (usia 51 sampai 60), ketika seseorang mengalami stabilitas yang lebih besar, waktu untuk pengaruh maksimal, membimbing diri sendiri dan menilai diri sendiri.

b. Perbedaan Jenis Kelamin

Beberapa studi yang memperlihatkan adanya perbedaan yang berkaitan dengan gender dalam hal cara berfungsinya intelek cenderung terlalu melebih-lebihkan hasil temuan mereka. Hasil dari studi yang tidak memperlihatkan perbedaan gender biasanya tidak diterbitkan atau hasil temuannya kurang diperhatikan (Gage & Berliener, 1992 dalam Rohman, 2007). Sejauh mana hasil pembelajaran itu dipengaruhi oleh perbedaan gender hingga kini masih terus dipertanyakan dan dikaji.

Laki-laki dan perempuan sudah pasti berbeda. Berbeda dalam cara berespon, bertindak, dan bekerja di dalam situasi yang mempengaruhi setiap segi kehidupan. Misalnya dalam hubungan antar manusia, intuisi perempuan cenderung ditampakkan dengan nada suara dan air muka yang lembut, sedangkan laki-laki cenderung tidak peka terhadap tanda-tanda komunikasi tersebut. Perempuan cenderung mengalami kesulitan dalam hal navigasi seperti untuk menemukan jalan, sedangkan laki-laki lebih kuat pengenalan arahnya. Sementara itu, dalam bidang kognitif, perempuan lebih unggul di bidang bahasa dan verbalisasi, sedangkan laki-laki menunjukkan kelebihannya dalam kemampuan mengenali ruang dan matematika.


(53)

Laki-laki dan perempuan memperlihatkan budaya sosial yang berbeda satu sama lain. Mereka menggunakan simbol, sistem kepercayaan, dan cara-cara yang berbeda untuk mengekspresikan dirinya. Johnson (2000) dalam Rohman (2007) misalnya mencontohkan bahwa perempuan cenderung mampu untuk menjadi pendengar yang baik dan dapat langsung menangkap fokus permasalahan dalam diskusi dan tidak terfokus pada diri sendiri. Mereka cenderung lebih banyak menjawab, dan lebih peka terhadap orang lain. Sementara laki-laki disisi lain lebih pandai memimpin diskusi. Sikap inipun baik untuk digunakan dalam mengambil keputusan terhadap dirinya termasuk permasalah kesehatan untuk dirinya. Riset menunjukkan jenis kelamin perempuan memiliki prediktor yang kuat untuk ketidakpatuhan terutama untuk IDWG berlebihan (Saran et. al. 2003 dalam Kamerrer, 2007).

c. Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan kualitas pribadi seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin besar kemampuannya untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilannya (Siagian, 2001 dalam Rohman, 2007). Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien berperan dalam kepatuhan, tetapi memahami instruksi pengobatan dan pentingnya perawatan mungkin lebih penting daripada tingkat pendidikan pasien (Krueger et al, 2005 dalam Kamerrer, 2007).


(54)

d. Lamanya HD

Periode sakit dapat mempengaruhi kepatuhan. Beberapa penyakit yang tergolong penyakit kronik, banyak mengalami masalah kepatuhan. Pengaruh sakit yang lama, belum lagi perubahan pola hidup yang kompleks serta komplikasi-komplikasi yang sering muncul sebagai dampak sakit yang lama mempengaruhi bukan hanya pada fisik pasien, namun lebih jauh emosional, psikologis dan sosial pasien. Hasil riset pada pasien hemodialisis memperlihatkan perbedaan kepatuhan pada pasien yang sakit kurang dari 1 tahun dengan yang lebih dari 1 tahun. Semakin lama sakit yang diderita, maka resiko terjadi penurunan tingkat kepatuhan semakin tinggi (Kamerrer, 2007).

e. Kebiasaan Merokok

Merokok merupakan masalah kesehatan yang utama di banyak negara berkembang (termasuk Indonesia). Rokok mengandung lebih dari 4000 jenis bahan kimia yang di antaranya bersifat karsinogenik atau mempengaruhi sistem vaskular. Penelitian menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor prediktor kuat untuk ketidakpatuhan. Leggat et. al. (1998 dalam Kamerrer, 2007) adalah orang pertama yang mempertimbangkan bahwa merokok sebagai prediktor potensial dari ketidakpatuhan. Kutner et. al. (2002 dalam Kamerrer, 2007) juga menunjukkan bahwa merokok saat ini memiliki hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan.


(55)

f. Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang sebab dari hasil dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada prilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan kelangsungan hidupnya.

Penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan tidak berarti meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diresepkan, yang paling penting, seseorang harus memiliki sumber daya dan motivasi untuk mematuhi protokol pengobatan (Morgan, 2000, dalam Kamerrer, 2007).

g. Motivasi

Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah- laku, dan di dalam perbuatanya itu mempunyai tujuan tertentu. Beberapa Pengertian motivasi yaitu menurut Wexley & Yukl (1987) dalam Syamsiah (2011) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif.

Menurut Morgan dalam Hidayati (2012), motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek- aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah; 1) Keadaan yang mendorong tingkah laku ( motivating


(56)

states ), 2)Tingkah laku yang di dorong oleh keadaan tersebut ( motivated behavior), 3) Tujuan dari pada tingkah laku tersebut (goals or ends of such behavior), dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan sejumlah proses - proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela yang diarahkan ke tujuan tertentu, baik yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi. Penelitian membuktikan bahwa motivasi yang kuat memiliki hubungan yang kuat dengan kepatuhan (Kamerrer, 2007).

h. Akses Pelayanan Kesehatan

Faktor akses pelayanan kesehatan meliputi : fasilitas unit hemodialisis, kemudahan mencapai pelayanan kesehatan (termasuk didalamnya biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu pelayanan dan keterampilan petugas (Kamerrer, 2007).

i. Persepsi pasien terhadap pelayanan keperawatan

Perawat merupakan salah satu petugas kesehatan yang berinteraksi paling lama dengan pasien hemodialisis, mulai dari persiapan, pre hemodialisis, intra hemodialisis sampai post dialisis. Riset membuktikan bahwa keberadaan tenaga-tenaga perawat yang terlatih dan professional dan kualitas interaksi perawat dengan pasien memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat kepatuhan pasien hemodialisis. Perawat harus bisa memberikan kesan yang mendalam pada interaksi dengan pasien, peduli dengan masalah-masalah pasien pada saat pasien di rumah.


(57)

Berbagai penelitian telah menguatkan bahwa peran perawat sebagai edukator mampu meningkatkan kepatuhan pasien secara signifikan. Hasil studi menunjukkan keberadaan staf 10 % jam staf terlatih mampu menurunkan kemungkinan melewatkan sesi dialysis dari pasien (OR=0,84, P=0,02). Setiap kenaikan 10 % Staf terlatih, mampu menurunkan 11 % melewatkan sesi dialysis (OR=0,89, P=0,06) (Saran et al, 2003 dalam Kamerrer, 2007) sehingga baik persentase waktu kehadiran seorang perawat terlatih maupun jumlah staf terlatih tampaknya memiliki efek pada kepatuhan pasien. Sebenarnya waktu yang didedikasikan perawat untuk konseling pasien, sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepatuhan pasien. J. Dukungan keluarga

Keluarga merupakan faktor eksternal yang memiliki hubungan paling kuat dengan pasien. Keberadaan keluarga mampu memberikan motivasi yang sangat bermakna pada pasien disaat pasien memiliki berbagai permasalahan perubahan pola kehidupan yang demikian rumit, menjenuhkan dengan segala macam program kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Kugler & Maes (2005) membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara dukungan keluarga dengan meningkatnya angka kepatuhan pasien hemodialisis dengan r = 0,584 and p = 0,003. k. Penghasilan

Penghasilan sering dikaitkan dengan status sosial ekonomi seseorang. Bagi banyak pasien dewasa yang hidup dalam kondisi sosial ekonomi rendah serta tidak memiliki pendapatan tambahan selain gaji, akan


(58)

mengalami kesulitan dalam beberapa aspek self care. Misalnya berhubungan dengan kepatuhan terhadap diet rendah garam, dan mengikuti program terapi sesuai anjuran (Moser & Watkins, 2008). Self care yang kurang akan menyebabkan pasien menjalani hospitalisasi dan ini akan berefek terhadap pembiayaan selama pasien diraat di rumah sakit.

4. Self Management Dietary Counseling (SMDC) a. Definisi Self Management

Self management dikonseptualisasikan sebagai intervensi yang digunakan untuk membawa hasil tertentu. Intervensi ini terdiri dari; program manajemen diri, dan strategi yang digunakan oleh perawat kesehatan profesional dalam praktek klinis. Self management disebut sebagai hasil biasanya menggambarkan sikap pasien, keterampilan, dan perilaku.

Misalnya pasien memiliki pengetahuan atau kondisinya dan atau manajemen yang terdiri dari mengadopsi rencana perawatan self management yang telah disepakati dan dinegosiasikan dalam kemitraan dengan tim kesehatan yang profesional. Seperti share secara aktif dalam pengambilan keputusan dengan tim kesehatan profesional lainnya; memantau dan mengelola tanda dan gejala atau kondisinya pasien; mengelola dampak dari kondisi fisik, emosional, pekerjaan dan fungsi sosial ; mengadopsi gaya hidup yang dapat mengurangi faktor risiko dan meningkatkan kesehatan dengan berfokus pada pencegahan dan intervensi dini ; dan memiliki akses pelayanan kesehatan, dan mempunyai rasa percaya


(59)

diri pada kemampuan untuk menggunakan support services (Ministry of health, 2011).

Ghaddar (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis sering berhadapan dengan banyak perubahan, seperti regimen yang komplek yang harus mereka ikuti dan rendahnya persepsi mereka terhadap efek dari terapi yang dijalani. Hasilnya sering kita temukan pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis yang mempunyai kesulitan dalam mematuhi nutrisi yang direkomendasikan. Penelitian menunjukkan rendahnya kepatuhan untuk menjalani diet, hal ini dapat diketahui dengan mengukur status nutrisi pasien. Ketidakpatuhan terhadap diet yang direkomendasikan akan menimbulkan problem medis, diantaranya renal osteodystrophy, organ calcification dan chronic parathyroid hyperplasia dan komplikasi pada cardiovasculer (Black & Hawks, 2009).

Metode inovasi untuk mengembangkan kepatuhan terhadap terapi diet pasien adalah melalui peningkatan pengetahuan melalui konseling yang dikemas melalui behaviour modelling yang diidentifikasi sebagai suatu framework yang berfokus pada beliefs dan self efficacy. Self management Counseling adalah intervensi yang bersifat individual yang menggunakan terapi pendekatan behaviour cognitive. Tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga dalam kesehatan terutama yang berhubungan dengan keputusan sehingga dapat meningkatkan kepatuhan dan meningkatkan clinical outcomes (Richard, 2006). Dapat digambarkan


(60)

bahwa Self care pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa yaitu sebagai suatu proses dimana pasien berpartisipasi secara aktif dalam melakukan managemen baik secara mandiri maupun dengan bantuan keluarga maupun petugas kesehatan (Ghaddar, 2012).

Self care dapat diukur dengan menggunakan teori dari Orem. Instrument yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan self care pasien dengan mengacu pada pengertian self care itu sendiri. Teori self care yang sudah dikemas menjadi self care management terdiri dari dimensi yang berisikan penilaian terhadap patient knowledge, kepatuhan (adherence). Instrument ini terdiri dari 22 pertanyaan dan dinilai dengan menggunakan skala Likert yang disesuaikan dengan masing-masing dimensi. Skor tinggi yang dicapai melalui pengukuran ini menunjukkan bahwa kemampuan self care sangat baik.

Hasil uji kuesioner yang dilakukan oleh Ghaddar (2012) terhadap 122 pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, didapatkan adanya peningkatan yang signifikan pada serum level phospat dan peningkatan skore patient knowledge. Sedangkan pada penelitian Moattari et al. (2012) bahwa post self management counselling pada pasien gagal gijal kronik yang menjalani hemodialisis, terdapat perbedaan yang signifikan diantara kelompok eksperimen dan kontrol, yaitu pada kelompok eksperimen didapatkan peningkatan self efficacy scores, penurunan stres, kemampuan dalam pengambilan keputusan dan terdapat peningkatan quality of life.


(61)

b. Counseling (Konseling) 1) Definisi konseling gizi

Konseling gizi adalah suatu bentuk pendekatan yang digunakan dalam asuhan gizi untuk menolong individu dan keluarga memperoleh pengertian yang lebih baik tentang dirinya serta permasalahan yang dihadapi. Setelah melakukan konseling, diharapkan individu dan keluarga mampu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah gizinya termasuk perubahan pola makan serta memecahkan masalah terkait gizi ke arah kebiasaan hidup sehat. Konseling nutrisi atau gizi adalah serangkaian kegiatan sebagai proses komunikasi dua arah untuk menanamkan dan meningkatkan pengertian, sikap, serta perilaku sehingga membantu klien atau pasien mengenali dan mengatasi masalah gizi melalui pengaturan makanan dan minuman (Persatuan ahli gizi Indonesia, 2016).

Perawat memiliki keahlian dalam hal teori, ilmiah, dan keterampilan klinis sehingga dapat mempengaruhi dan memfasilitasi kesehatan terhadap masyarakat melalui suatu edukasi untuk merubah perilaku pasien dan keluarga (Carison, 2010). Perawat mempunyai andil yang cukup besar dalam hal perubahan perilaku kesehatan pada pasien, misalnya kegemukan, pemakaian alkohol, merokok, dan bahkan pada program diet. Pada pasien dengan gagal ginjal kronik perlu pengaturan diet yang seksama guna mencegah berbagai komplikasi yang dapat ditimbulkan, hal tersebut tidak terlepas dari peran perawat yang


(62)

mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan yang berkelanjutan terhadap pasien. Konseling tidak hanya diterapkan pada pasien gagal ginjal kronik, tetapi telah banyak dilakukan pada penyakit-penyakit kronik lainnya. seperti pada pasien dengan diabetes mellitus, gagal jantung dan pada kasus Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).

Program konseling untuk pasien yang menjalani hemodialisa sangat membantu untuk memberikan penjelasan yang lebih baik terhadap penyakit yang diderita. Konseling sebagai langkah awal sebagai tindakan preventif, konseling mempunyai peran yang besar dalam membantu perbaikan fungsi ginjal dan meningkatkan kesejateraan pasien hemodialisa (Mansour, Youssef & Yaseen, 2014). Sedangkan pada penelitian Ghaddar (2012), yang meneliti mengenai efek konseling terhadap kepatuhan diet pada pasien yang menjalani hemodialisa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan konseling mempunyai korelasi dengan kepatuhan terhadap pembatasan diet fosfor.

Konseling mencerminkan hubungan perawat, pasien, komunikasi teraupetik, dan pelayanan yang berorientasi pada masalah (Tamsuri, 2007). Konseling dapat dipandang sebagai salah satu bentuk pelayanan keperawatan, yakni memberi petunjuk pada pasien untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan meningkatkan derajat kesehatannya. Konseling dalam layanan keperawatan belum banyak dilaksanakan, meskipun konseling keperawatan merupakan pekerjaan


(1)

FORM BIODATA BIOLOGIS & EVALUASI RESPONDEN

Nama Responden :

Usia :

Jenis Kelamin :

No Data Pemeriksaan Hasil Minggu I Hasil Minggu II Hasil Minggu III Hasil Minggu IV 1 Data Antropometri

- BB - TB - *BMI

Male ; 20-25 kg/m2 Female;19-24 kg/m2 - MAC

Male; 23-29 cm Female; 22-28 cm 2 Data Klinis

- Berat badan

*Penurunan (defisiensi energi, defisiensi cairan)

*Peningkatan (kelebihan asupan zat gizi)

- Rambut *Soften hair

*not dry or rough hair *not having split ends Kulit

*Kering dan bersisik *Hiperkeratosis folikularis (menyerupai bulu roma beridir) *Lesi eksematosa

*Petekia

*Sebora nasolabialis (berminyak, bersisik di daerah antara hidung dan bibir atas) pada bagian yang terkena matahari

*Kulit lebih gelap dan mengelupas *Penyembuhan luka yang lambat Darah Rutin;

-Hb

* Nilai normal ;

Laki-laki ; 14-17.5 mg/dl Wanita ; 13-15.5 mg/dl

-Leukosit *4.5-11.0x103/µL - Trombosit Lampiran


(2)

*150-500x103/µL - Hitung Jenis Leukosit *Eusinofil; 1-2% *Basofil; 0-1% *Neutrofil; 54-62% *Limfosit; 25-33% *Monosit; 3-7% Urin Rutin -Warna  pH

 Berat jenis  Protein  Reduksi  Keton  Urobilin  Bilirubin - Sedimen

3 Biochemical Marker Albumin

* Nilai normal ; 3.5 – 5.5 mg/dl Fungsi ginjal;

Creatinin

* Nilai normal ; 1-2 mg/dl Ureum

* Nilai normal ; 15-40 mg/dl Elektrolit

Ca

* Nilai normal ; 8.5-10.5 mmol/L K

* Nilai normal ; 3.7 – 5.4 mmol/L Na

* Nilai normal ; 135 – 145mmol/L Clorida

*98-106 mmol/L

Surakarta, ...2016


(3)

TAHAPAN PERUBAHAN BERDASARAKAN MODEL TRANSTEORETIKAL

Tahapan 1; Prekontemplasi

 Pada tahap ini klien belum menyadari adanya permasalahan ataupun kebutuhan untuk melakukan perubahan.

(Oleh karena itu memerlukan informasi dan umpan balik untuk menimbulkan kesadaran akan adanya masalah dan kemungkinan untuk berubah. Nasehat mengenai perubahan pola makan tidak akan berhasil bila dilakukan pada tahap ini).

Tahapan 2; Kontemplasi

 Sudah timbul kesadaran akan adanya masalah. (Namun masih dalam tahap keragu-raguan. Menimbang-nimbang antara alasan untuk berubah ataupun tidak. Konselor mendisukusikan keuntungan dan kerugian perubahan pola makan.

Tahapan 3; Preparasi

 Jendela kesempatan untuk melangkah maju atau kembali ke tahap kontemplasi. (pasien perlu bantuan dalam menentukan strategi atau goal perubahan yang dapat diterima, dapat dicapai dan layak).

Tahapan 4; Aksi

 Pasien mulai melakukan perubahan. (Goalnya adalah dihasilkannya perubahan perilaku sesuai masalah).

Tahapan 5; Pemeliharaan

 Pemeliharaan perubahan perilaku yang telah dicapai perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan.


(4)

 Saat terjadi kekambuhan, proses perubahan perlu diawali kembali. Tahapan ini bertujuan untuk kembalinya upaya aksi.


(5)

JADWAL PENELITIAN

No Kegiatan Bulan

Okt „14 Jan „15- Jan

„16

Maret

„16

April „16 Mei Juni Juli

1 Pengajuan judul tesis 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

2 Pembuatan proposal 3 Ujian proposal 4 Perbaikan proposal 5 Pengurusan ijin dan uji

etik

6 Uji coba instrument dan pengumpulan data 7 Analisa data

8 Penyusunan laporan 9 Ujian hasil penelitian


(6)

10 Perbaikan tesis 11 Sidang tesis 12 Perbaikan tesis 13 Penyerahan tesis 14 Publikasi