Kajian Lingkungan Strategik Kebijakan Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005)

(1)

KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH

(Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan

Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005)

SRI HELEOSI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala penyataan dalam tesis saya yang berjudul KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005) adalah gagasan hasil penelitian saya sendiri dengan dibimbing oleh Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2006

Sri Heleosi


(3)

RINGKASAN

SRI HELEOSI. Kajian Lingkungan Strategik Kebijakan Pembangunan Daerah (Studi Kasus: Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005). Di bawah bimbingan: HADI S. ALIKODRA dan AWAL SUBANDAR.

Deforestasi telah menimbulkan dampak lingkungan yang nyata, seperti banjir, erosi tanah, krisis air dan pemanansan global. Laju deforestasi era tahun 1985-1997 mencapai 1,6 juta hektar per tahun dan meningkat menjadi 2,83 juta hektar per tahun pada 1997-2000. Tingginya laju deforestasi diduga karean pengelolaan hutan yang tidak tepat, over cutting, dan pembalakan liar. Penelitian ini bertujuan: (i) mengevaluasi prakiraan kerusakan lingkungan akibat kebijakan Pemerintah daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005, (ii) menghitung nilai ekonomi manfaat dan kerusakan lingkungan yang diperkirakan timbul akibat kebijakan Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005, dan (iii) melakukan analisis kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutnan thaun 2001-2005. Lokasi penelitian di Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian dilakukan pad abulan Mei 2006. Pendekatan penelitian pada level kebijakan ini menggunakan Kajian Lingkungan Strategik (KLS) dengan metode analisis yang digunakan adalah evaluasi dampak, valuasi ekonomi, analisis biaya manfaat, dan analisis kebijakan.

Dari hasil penelitian terungkap prakiraan dampak dari kebijakan sektor kehutanan, khususnya penebangan hutan menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif berupa pertumbuhan ekonomi daerah dalam bentuk penerimaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sedangkan dampak negatif yang diprakirakan timbul adalah gangguan fungsi hidrologi, peningkatan erosi tanah, penurunan kesuburan tanah, sedimentasi yang berdampak pada kualitas air sungai, penurunan keakearagaman hayati dan perubahan iklim mikro. Estimasi nilai penebangan hutan selama lima tahun sebesar Rp 14,023 trilyun, sedangkan manfaat yang diperoleh hanya sebesar Rp 6,516 trilyun. Hasil anaisis biaya manfaat kebijakan penebangan hutan menggunakan perhitungan Benefit Cost Ratio diperoleh nilai sebesar 0,46. Nilai ini menunjukkan bahwa kebijakan penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartenegara tahun 2001-2005 tidak layak secara ekonomi. Prioritas alternatif kebijakan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara adalah: (i) Pengelolaan Hutan Produksi berbasis Ekosistem (nilai bobot 0,424), (ii) Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi (nilai bobot 0,344), dan (iii) Moratorium Penebangan Hutan (nilai bobot 0,232). Kata kunci: kajian lingkungan strategik, kebijakan, penebangan hutan, dampak penebangan, valuasi ekonomi


(4)

ABSTRACT

SRI HELEOSI. Strategic Environmental Assessment of The Regional Development Policy (Case Study: Forestry Sector Development Policy of Kutai Kartanegara 2001-2005). Supervised by HADI S. ALIKODRA and AWAL SUBANDAR.

Forest degradation has generated environmental disaster, such as floods, land slide, water crisis, and global warming. The rate of Indonesian deforestation from 1985 to 1997 is 1.6 million hectare per year. This rate increased to 2.84 million hectare per year from 1997 to 2000. This increasing deforestation rate was influenced by unmanaged forests, over cutting, and illegal logging. This study evaluated forestry sector using strategic environmental assessment in Kutai Kartanegara District between 2001 and 2005. The aim of study is to predict environmental degradation and its impact of harvesting policy in the Strategic Environmental Assessment of The Regional Development Policy of Kutai Kartanegara 2001-2005 . This evaluation produced positive and negative impacts. Positive impact was the increasing of regional income, while the negative impacts were as follows: decreasing of water, sedimentation, and biodiversity depletion. The disadvantage of economic value was higher than the advantage that received by the local government. Quantitative result shows that harvesting policy is not feasible. Consequently, it needs alternative strategies as follows: (i) ecosystem based forest management, (ii) empowerment of institutional building of production forests, and (iii) moratorium of logging.

Key words: strategic environmental assessment, regional policy, harvesting, impact logging, valuation.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya


(6)

KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH

(Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan

Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005)

SRI HELEOSI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh gelar Magister Sains pada

program studi Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005)

Nama : Sri Heleosi

N I M : P052040331

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Dr. Ir. Awal Subandar, MSc

K e t u a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal ujian : 26 September 2006 Tanggal lulus :


(8)

PRAKATA

Bissmillahirromanirrahim,

Alhamdulillah dengan rahmat Allah SWT yang tak pernah putus, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA TAHUN 2001-2005 (Studi Kasus Sektor Kehutanan).

Untuk itu dari lubuk hati yang paling dalam ijinkanlah saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS dan Ir. Awal Subandar, MSc. PhD sebagai Komisi Pembimbing yang dengan tekun dan sabar memberikan arahan bagi penyempurnaan penelitian ini.

2. Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS sebagai penguji luar komisi atas segala masukan dan pemikiran guna penyempurnaan penelitian ini.

3. Kepada Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, serta jajaran staf yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam kelancaran studi.

4. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, beserta staf.

5. Jajaran staf Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Dinas Kehutanan, Bappeda, dan Bapedalda.

6. Ibunda tercinta, Malmazuhud (kakak) dan Fuadi Indra (adik) yang telah memberikan dukungan baik secara moril dan materil kepada penulis. Serta Ayahanda Fadhil (alm) yang semasa hidupnya sangat peduli pada pendidikan anak-anaknya.

7. Sahabat seperjuangan Chana, Kartini, Tata dan rekan-rekan satu angkatan atas segala dukungan dan bantuannya.

Bogor, September 2006


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Kerangka Pemikiran... 4

Perumusan Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 7

Manfaat Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA Kajian Lingkungan Strategik ... 8

Kebijakan ... 12

Daerah Aliran Sungai... 14

Dampak Penebangan Hutan ... 15

Pengelolaan Hutan Produksi... 17

Konsep Valuasi Ekonomi... 19

Analisis Biaya Manfaat ... 22

Proses Hirarki Analitik... 22

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

Teknik Penentuan Responden ... 26

Jenis dan Sumber Data ... 28

Analisa Data ... 29

KONDISI UMUM Kondisi Geografis ... 35

Demografi dan Sosial... 37

Perekonomian... 39

Kebijakan Sektor Kehutanan...40

HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Kerusakan Lingkungan... 40

Valuasi Nilai Kerusakan Lingkungan ... 44

Estimasi Analisis Biaya dan Manfaat ... 51

Analisis Kebijakan Sektor Kehutanan...54


(10)

KESIMPULAN

Kesimpulan ... 59 Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH

(Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan

Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005)

SRI HELEOSI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala penyataan dalam tesis saya yang berjudul KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005) adalah gagasan hasil penelitian saya sendiri dengan dibimbing oleh Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2006

Sri Heleosi


(13)

RINGKASAN

SRI HELEOSI. Kajian Lingkungan Strategik Kebijakan Pembangunan Daerah (Studi Kasus: Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005). Di bawah bimbingan: HADI S. ALIKODRA dan AWAL SUBANDAR.

Deforestasi telah menimbulkan dampak lingkungan yang nyata, seperti banjir, erosi tanah, krisis air dan pemanansan global. Laju deforestasi era tahun 1985-1997 mencapai 1,6 juta hektar per tahun dan meningkat menjadi 2,83 juta hektar per tahun pada 1997-2000. Tingginya laju deforestasi diduga karean pengelolaan hutan yang tidak tepat, over cutting, dan pembalakan liar. Penelitian ini bertujuan: (i) mengevaluasi prakiraan kerusakan lingkungan akibat kebijakan Pemerintah daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005, (ii) menghitung nilai ekonomi manfaat dan kerusakan lingkungan yang diperkirakan timbul akibat kebijakan Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005, dan (iii) melakukan analisis kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutnan thaun 2001-2005. Lokasi penelitian di Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian dilakukan pad abulan Mei 2006. Pendekatan penelitian pada level kebijakan ini menggunakan Kajian Lingkungan Strategik (KLS) dengan metode analisis yang digunakan adalah evaluasi dampak, valuasi ekonomi, analisis biaya manfaat, dan analisis kebijakan.

Dari hasil penelitian terungkap prakiraan dampak dari kebijakan sektor kehutanan, khususnya penebangan hutan menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif berupa pertumbuhan ekonomi daerah dalam bentuk penerimaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sedangkan dampak negatif yang diprakirakan timbul adalah gangguan fungsi hidrologi, peningkatan erosi tanah, penurunan kesuburan tanah, sedimentasi yang berdampak pada kualitas air sungai, penurunan keakearagaman hayati dan perubahan iklim mikro. Estimasi nilai penebangan hutan selama lima tahun sebesar Rp 14,023 trilyun, sedangkan manfaat yang diperoleh hanya sebesar Rp 6,516 trilyun. Hasil anaisis biaya manfaat kebijakan penebangan hutan menggunakan perhitungan Benefit Cost Ratio diperoleh nilai sebesar 0,46. Nilai ini menunjukkan bahwa kebijakan penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartenegara tahun 2001-2005 tidak layak secara ekonomi. Prioritas alternatif kebijakan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara adalah: (i) Pengelolaan Hutan Produksi berbasis Ekosistem (nilai bobot 0,424), (ii) Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi (nilai bobot 0,344), dan (iii) Moratorium Penebangan Hutan (nilai bobot 0,232). Kata kunci: kajian lingkungan strategik, kebijakan, penebangan hutan, dampak penebangan, valuasi ekonomi


(14)

ABSTRACT

SRI HELEOSI. Strategic Environmental Assessment of The Regional Development Policy (Case Study: Forestry Sector Development Policy of Kutai Kartanegara 2001-2005). Supervised by HADI S. ALIKODRA and AWAL SUBANDAR.

Forest degradation has generated environmental disaster, such as floods, land slide, water crisis, and global warming. The rate of Indonesian deforestation from 1985 to 1997 is 1.6 million hectare per year. This rate increased to 2.84 million hectare per year from 1997 to 2000. This increasing deforestation rate was influenced by unmanaged forests, over cutting, and illegal logging. This study evaluated forestry sector using strategic environmental assessment in Kutai Kartanegara District between 2001 and 2005. The aim of study is to predict environmental degradation and its impact of harvesting policy in the Strategic Environmental Assessment of The Regional Development Policy of Kutai Kartanegara 2001-2005 . This evaluation produced positive and negative impacts. Positive impact was the increasing of regional income, while the negative impacts were as follows: decreasing of water, sedimentation, and biodiversity depletion. The disadvantage of economic value was higher than the advantage that received by the local government. Quantitative result shows that harvesting policy is not feasible. Consequently, it needs alternative strategies as follows: (i) ecosystem based forest management, (ii) empowerment of institutional building of production forests, and (iii) moratorium of logging.

Key words: strategic environmental assessment, regional policy, harvesting, impact logging, valuation.


(15)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya


(16)

KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH

(Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan

Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005)

SRI HELEOSI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh gelar Magister Sains pada

program studi Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(17)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005)

Nama : Sri Heleosi

N I M : P052040331

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Dr. Ir. Awal Subandar, MSc

K e t u a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal ujian : 26 September 2006 Tanggal lulus :


(18)

PRAKATA

Bissmillahirromanirrahim,

Alhamdulillah dengan rahmat Allah SWT yang tak pernah putus, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA TAHUN 2001-2005 (Studi Kasus Sektor Kehutanan).

Untuk itu dari lubuk hati yang paling dalam ijinkanlah saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS dan Ir. Awal Subandar, MSc. PhD sebagai Komisi Pembimbing yang dengan tekun dan sabar memberikan arahan bagi penyempurnaan penelitian ini.

2. Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS sebagai penguji luar komisi atas segala masukan dan pemikiran guna penyempurnaan penelitian ini.

3. Kepada Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, serta jajaran staf yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam kelancaran studi.

4. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, beserta staf.

5. Jajaran staf Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Dinas Kehutanan, Bappeda, dan Bapedalda.

6. Ibunda tercinta, Malmazuhud (kakak) dan Fuadi Indra (adik) yang telah memberikan dukungan baik secara moril dan materil kepada penulis. Serta Ayahanda Fadhil (alm) yang semasa hidupnya sangat peduli pada pendidikan anak-anaknya.

7. Sahabat seperjuangan Chana, Kartini, Tata dan rekan-rekan satu angkatan atas segala dukungan dan bantuannya.

Bogor, September 2006


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Kerangka Pemikiran... 4

Perumusan Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 7

Manfaat Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA Kajian Lingkungan Strategik ... 8

Kebijakan ... 12

Daerah Aliran Sungai... 14

Dampak Penebangan Hutan ... 15

Pengelolaan Hutan Produksi... 17

Konsep Valuasi Ekonomi... 19

Analisis Biaya Manfaat ... 22

Proses Hirarki Analitik... 22

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

Teknik Penentuan Responden ... 26

Jenis dan Sumber Data ... 28

Analisa Data ... 29

KONDISI UMUM Kondisi Geografis ... 35

Demografi dan Sosial... 37

Perekonomian... 39

Kebijakan Sektor Kehutanan...40

HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Kerusakan Lingkungan... 40

Valuasi Nilai Kerusakan Lingkungan ... 44

Estimasi Analisis Biaya dan Manfaat ... 51

Analisis Kebijakan Sektor Kehutanan...54


(20)

KESIMPULAN

Kesimpulan ... 59 Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Skala banding secara berpasangan Model Saaty (1993) ... 25

2 Responden untuk analisis kebijakan sektor kehutanan ... 27

3 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ... 28

4 Penyebaran dan luas masing-masing kelas ketinggian Kabupaten Kutai Kartanegara...35

5 Banyaknya hari hujan dan curah hujan wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara selama 5 tahun (tahun 1997 s/d tahun 2001)... 37

6 Jumlah komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001...38

7 Produksi dan nilai ikan perikanan umum tahun 2000-2004... 40

8 Estimasi nilai dampak terhadap fungsi hidrologi... ....48

9 Estimasi nilai dampak erosi tanah...49

10 Estimasi nilai dampak hilangnya zat hara...49

11 Pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan tahun 2006...51

12 Pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan tahun 2001...51

13 Estimasinilai dampak sedimentasi terhadap kehilangan pendapatan nelayan...52

14 Estimasi nilai dampak penurunan hasil hutan non kayu...53

15 Perbandingan estimasi nilai manfaat dan biaya kerusakan lingkungan dari kebijakan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001-2005...55

16 Nilai pembobotan pada aspek (level 3) masing-masing kelompok aktor...58

17 Nilai gabungan pembobotan pada level aspek... ...58

18 Bobot masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif pengelolaan hutan berbasis ekosistem ...60


(22)

19 Bobot masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif penguatan peran

Kelembagaan hutan sistem TPTI...61 20 Bobot masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif moratorium

Penebangan hutan...61 21 Nilai bobot akhir masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif kebijakan penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005...62 22 Nilai bobot dan prioritas pendapat gabungan stakeholders terhadap

Kebijakan pembangunan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005...65 23 Keragaan nilai bobot dan prioritas kebijakan pembangunan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005 pada stakeholders...65


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran... ... . 5 2 Tahapan proses SEA ... 11 3 Kategori nilai ekonomi lingkungan hutan tropis... 21 4 Lokasi penelitian ... 27 5 Perkiraan jumlah tanah yang tererosi selama tahun 2001-2005...45 6 Persentase perbandingan nilai manfaat dan biaya lingkungan...56 7 Grafik hubungan aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya...59 8 Grafik hubungan kriteria kelestarian usaha, produksi maksimum

dan pertumbuhan ekonomi...63 9 Grafik hubungan kriteria kelestarian usaha, produksi maksimum

dan pertumbuhan ekonomi...63 10 Grafik hubungan kriteria akses terhadap sumberdaya hutan,

kesejahteraan masyarakat dan integrasi sosial budaya...64


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hierarki kebijakan sektor kehutanan...76 2 Hasil analisis AHP gabungan kelompok aktor terhadap alternatif prioritas...77 3 Hasil analisis AHP masing-masing kelompok aktor terhadap

alternatif prioritas... ...78 4 Pendapatan rata-rata nelayan Desa Sungai Meriam dan Desa Kutai Lama tahun 2006... .80


(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan hujan tropis Indonesia memiliki sumberdaya alam penting dengan kekayaan keanekaragaman hayati baik spesies maupun genetik yang tinggi. Tak kurang dari 10 persen spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12 persen binatang menyusui, 16 persen reptilia dan amphibia, 17 persen burung, 25 persen ikan dan 15 persen serangga, terdapat di hutan Indonesia (Bappenas 2003). Dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya, Indonesia termasuk salah satu dari tiga negara di dunia yang mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi, berada pada peringkat kedua setelah Brasil.

Hutan berperan sebagai mesin pemroses alami, gudang raksasa penyimpanan karbon serta stabilisator iklim dunia. Dalam skala lokal, hutan berfungsi sebagai penyedia air bersih, pemelihara kesuburan tanah, penahan erosi tanah, pencegah banjir dan pencegah intrusi air laut (Supriadi 2003). Hutan mempunyai peranan penting dalam menunjang pembangunan, karena hutan dapat memberikan manfaat besar bagi kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Hutan memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung bagi kehidupan (Salim 2003). Manfaat langsung merupakan manfaat yang dapat dirasakan secara langsung, seperti hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Sedangkan manfaat tidak langsung, seperti pengatur tata air, pencegah terjadinya erosi tanah, pemanfaatan untuk ekowisata, estetika, penghasil oksigen, dan pengatur iklim mikro.

Hutan memberikan manfaat ekonomi melalui produksi kayu, dimana terdapat sekitar 120 famili kayu berkualitas yang mendominasi perdagangan kayu internasional serta manfaat ekonomi dari hasil hutan non kayu (Sangat et al 2000). Selain manfaat ekonomi dan ekologi, hutan juga memberikan manfaat sosial dan budaya bagi kelompok masyarakat adat serta masyarakat lokal. Komunitas masyarakat lokal yang bertempat tinggal di sekitar kawasan hutan di dunia diperkirakan mencapai 70 juta jiwa (Lynch 1999).

Hasil hutan kayu bersumber dari hutan produksi, yang mempunyai fungsi utama sebagai penghasil kayu. Hutan produksi sebagai sumber utama penghasil


(26)

kayu memberikan devisa yang besar bagi negara dalam menopang perekonomian nasional. Sumbangan industri perkayuan terhadap penerimaan devisa selama sepuluh tahun terakhir rata-tata 20% per tahun (Kartodihardjo 1999).

Di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan luas hutan total 2.637.957 ha, memiliki 806.128 ha areal hutan produksi tetap dan 519.070 ha areal hutan produksi terbatas (Anonim 2001). Pengelolaan seluruh hutan produksi diberikan kepada perusahaan-perusahaan dalam bentuk konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kontribusi sektor kehutanan terhadap penerimaan daerah Kabupaten Kutai Kartanegera dalam bentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 5,58% (BPS 2003). Namun di sisi lain laju deforestasi sumberdaya hutan terus meningkat selama periode 1985-1997 pada tiga pulau besar meliputi Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mencapai ± 1,6 juta hektar per tahun (Baplan 2003) dan meningkat tajam menjadi 2,84 juta hektar per tahun pada periode 1997-2000 (Baplan 2005). Selama periode tiga tahun tersebut laju deforestasi mencapai ± 8,5 juta hektar. Kerusakan hutan tersebut disinyalir disebabkan antara lain oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, over cutting, dan illegal logging. Laju deforestasi berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah HPH yang aktif di seluruh Indonesia. Hal yang sama juga yang terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara, dimana pada tahun 2001 terdapat lima belas perusahaan HPH yang masih aktif dan pada tahun 2005 hanya tersisa lima HPH.

Kerusakan hutan telah menimbulkan dampak yang sangat nyata, yaitu fenomena banjir yang terjadi merata setiap tahunnya di seluruh tanah air dalam sepuluh tahun terakhir telah melumpuhkan perekonomian lokal, regional bahkan nasional yang menyebabkan kerugian trilyunan rupiah. Sebagai contoh, di Provinsi Riau luas hutan menyusut 80% dalam dua tahun sejak diberlakukan otonomi daerah yang mengakibatkan banjir yang sangat parah dengan kerugian Rp. 1,12 trilyun (Subandar 2004).

Melihat fenomena kondisi kehutanan tersebut maka perencanaan pembangunan daerah khususnya di sektor kehutanan harus mampu menjamin pemanfaatan sumberdaya yang optimal sesuai potensi, ketersediaan dan daya dukung, dan sustainability sehingga resiko pemanfaatan dapat ditekan seminimal


(27)

mungkin. Pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan daerah yang tidak tepat telah mengakibatkan kemunduran lingkungan. Mensinergikan aspek ekonomi dan lingkungan terutama pada tahap kebijakan mendesak untuk dilakukan, sehingga dapat mengeliminir dampak negatif dari suatu kebijakan atau perencanaan terhadap lingkungan. Dilihat dari kebijakan global (Agenda 21) hasil deklarasi Rio tahun 1992 telah direkomendasikan pengintegrasian aspek ekonomi dan lingkungan dalam perumusan kebijakan. Sebagai salah satu negara yang telah menandatangani deklarasi tersebut sudah seharusnya pemerintah mengakomodir kedua aspek tersebut dalam setiap kebijakan pembangunan.

Dari berbagai gambaran di atas, penelitian pada level kebijakan pembangunan daerah di sektor kehutanan yang mengintegrasikan aspek ekonomi dan lingkungan penting untuk dilakukan. Pendekatan metode Strategic Environment Assessment (SEA) dapat diterapkan dalam penelitian ini, yang dapat memprediksi kerusakan (dampak negatif) lingkungan akibat implementasi dari suatu kebijakan, rencana dan program secara komprehensif dan terintegratif. Metode ini telah digunakan oleh banyak negara di dunia, seperti di Taiwan pada sektor pariwisata (Kuo et al 2005) dan di Swedia pada sektor energi (Nilsson et al 2005) yang merupakan alat yang cukup efektif dalam mengidentifkasi dampak dari suatu kebijakan, karena dalam pengambilan keputusan telah mengintegrasikan aspek lingkungan. Di Indonesia SEA diadopsi dengan nama Kajian Lingkungan Strategik (KLS). Definisi KLS adalah suatu perumusan proses yang sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan yang diprakirakan timbul dari sebuah kebijakan, perencanaan atau program dan alternatif-alternatifnya, termasuk persiapan laporan secara tertulis terhadap temuan-temuan yang berguna untuk membuat keputusan publik yang bertanggung jawab (Therivel 1996).

Disamping dilakukan evaluasi dampak, pada metode KLS juga dilakukan penilaian analisis biaya manfaat dan perumusan alternatif-alternatif dari suatu kebijakan, rencana dan program. Secara umum pakar ekonomi sumberdaya menggunakan pendekatan konsep nilai ekonomi total suatu sumberdaya untuk penilaian analisis biaya manfaat. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam


(28)

mengalokasikan sumberdaya alam yang makin langka, sekaligus bermanfaat dalam menciptakan penilaian yang tepat dalam menentukan keberlanjutan sumberdaya itu sendiri (Suparmoko 2002). Untuk perumusan alternatif-alternatif kebijakan, rencana dan program dalam KLS melibatkan seluruh stakeholders. Dengan demikian studi KLS terhadap Rencana Strategis Pembangunan Daerah di sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara sangat relevan dilakukan.

Kerangka Pemikiran

Pendekatan metode KLS digunakan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi program pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan akibat pelaksanaan kebijakan pembangunan suatu daerah pada periode tertentu. Karena dalam setiap kebijakan selalu timbul biaya dan manfaat sebagai akibat implementasi kebijakan tersebut, maka untuk mengetahui apakah suatu kebijakan, rencana atau program layak untuk diimplementasikan diperlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau rasio. Untuk itu selanjutnya dapat dilakukan Cost Benefit Analysis (Analisis Biaya Manfaat), sehingga keputusan yang diambil adalah yang terbaik.

Kerangka pemikiran pendekatan masalah dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(29)

UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 41/1999 “ Kehutanan”

Dokumen Perencanaan Daerah

- Renstra - Propeda - Tata ruang

Sektor Kehutanan Hutan

1. Ekonomi 2. Ekologis 3. Sosial Budaya

Dampak/Kerusakan Lingkungan Valuasi

Dampak

Cost Benefit Analysis

Analisis Kebijakan di Sektor Kehutanan Stakeholders

PDRB

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian (dikembangkan dari konsep valuasi dampak lingkungan, Askary 2001 dan KLS, KLH 2004)

Perumusan Masalah

Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan kabupaten yang kaya akan sumberdaya alam, baik yang renewable (bisa diperbarui) maupun non renewable (tidak bisa diperbarui). Sumberdaya hutan yang bersifat renewable merupakan salah satu yang menjadi potensi unggulan sektor pembangunan Kab. Kutai Kartanegara tahun 2001-2005. Sebagai kabupaten yang relatif masih baru, Kutai Kartanegara sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan yang tertuang dalam Program Pembangunan Daerah (Propeda) dan Rencana Strategis (Renstra) tahun 2001-2005. Pogram-program pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif pada sumberdaya alam dan lingkungan, apabila tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan. Untuk mengantisipasi hal tersebut,


(30)

maka perlu dilakukan suatu kajian dampak pada level perencanaan agar dampak lingkungan yang ditimbulkan dapat diminimalisasi.

Dari perspektif ekosistem DAS (Daerah Aliran Sungai) yang secara umum terdiri atas hulu, tengah, dan hilir dimana dalam ekosistem tersebut terjadi interaksi antara faktor-faktor biotik (vegetasi) dan faktor-faktor fisik (tanah dan iklim) serta manusia dengan segala aktivitasnya. Interaksi tersebut dinyatakan dalam bentuk keseimbangan hidrologis. Kerusakan hutan di daerah hulu akan mengganggu keseimbangan eksosistem DAS yang berdampak pada daerah hilir seperti terjadinya banjir, sedimentasi, dan pencemaran air. Kebijakan di sektor kehutanan berupa eksploitasi hutan untuk keperluan industri kayu secara berlebih di hulu akan berdampak pada membesarnya kerugian ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat hilir.

Pemerintah sudah selayaknya memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi lokal tentang siapa yang menanggung biaya dan siapa yang menikmati manfaat agar tercipta distribusi pemanfaatan sumberdaya hutan yang lebih adil serta memperhatikan permasalahan hak masyarakat setempat. Selain itu pemilikan sumberdaya hutan masih banyak menjadi pemicu konflik sehingga merupakan syarat penting dalam merumuskan kebijakan yang efektif untuk melindungi dan mempertahankan fungsi hutan dalam kerangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Agar pemanfaatan sumberdaya hutan lestari, penting melakukan pendekatan kajian lingkungan strategik pada level kebijakan, yang mengevaluasi prakiraan kerusakan lingkungan sampai penilaian ekonomi dengan menggunakan valuasi ekonomi dan analisis biaya manfaat serta melibatkan partisipasi stakeholders. Estimasi nilai dampak kerusakan lingkungan melibatkan penilaian moneter untuk menggambarkan nilai sosial dari perbaikan kondisi lingkungan atau biaya sosial dari kerusakan lingkungan.

Berdasarkan uraian diatas maka, permasalahan pokok yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Seberapa besar kerusakan lingkungan sebagai akibat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005.


(31)

2. Berapa estimasi nilai ekonomi manfaat dan kerusakan lingkungan yang diperkirakan timbul dari kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005.

3. Apa alternatif kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005.

Tujuan Penelitian

Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi prakiraan dampak lingkungan baik secara fisik dan ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan perencanaan pembangunan suatu daerah di sektor kehutanan khususnya penebangan hutan, secara rinci tujuan adalah sebagai berikut :

1. Mengevaluasi kerusakan lingkungan akibat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005.

2. Mengestimasi nilai ekonomi manfaat dan kerusakan lingkungan yang diperkirakan timbul akibat kebijakan Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005.

3. Menentukan alternatif kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kutai Kartanegera di sektor kehutanan tahun 2001-2005.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai :

1. Rekomendasi bagi acuan kebijakan pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Kalimantan Timur maupun pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan.

2. Dasar untuk penelitian lanjutan dalam berbagai aspek yang relevan, pada sektor kehutanan di Kabupaten Kutai Kartanegara maupun di kawasan-kawasan hutan lainnya.

3. Pengkayaan kajian studi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.


(32)

TINJAUAN PUSTAKA Kajian Lingkungan Strategik

Menurut Therivel (1996) SEA adalah suatu proses yang sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program dan alternatif-alternatifnya, temuan-temuan digunakan dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya Sadler and Verheem (1996) dalam Chaker et al (2005) menyatakan SEA merupakan proses sistematis untuk mengevaluasi resiko lingkungan dari kebijakan, rencana dan program dan memastikan resiko lingkungan menjadi pertimbangan sejak awal dalam pengambilan keputusan, setara dengan pertimbangan ekonomi dan sosial. Sedangkan definisi menurut goverment UK, SEA adalah suatu bentuk proses identifikasi, penilaian dan partisipasi publik untuk memastikan bahwa resiko-resiko lingkungan yang timbul dari perencanaan dan program menjadi pertimbangan oleh pengambil keputusan dan monitoring (www.environment-agency.gov.)

Dalam beberapa definisi SEA tersebut tergambar bahwa konsep SEA digunakan pada level policy (kebijakan), plan (rencana), dan programme (program) atau PPP dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Studi dampak lingkungan atas PPP dengan pendekatan SEA memasukkan aspek lingkungan hidup dalam proses perencanaan pada tahap awal sehingga dapat sepenuhnya memprakirakan dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun global.

Di Indonesia, SEA diadopsi menjadi Kajian Lingkungan Strategik (KLS) oleh Kementerian Lingkungan Hidup, yang selanjutnya didefinisikan sebagai proses sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan yang diprakirakan akan muncul akibat pelaksanaan kebijakan, rencana atau program (KRP) yang dilakukan pada tahap awal dari proses pengambilan keputusan kegiatan pembangunan selain pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan sosial.

Kementerian Lingkungan Hidup (2004), menyatakan manfaat pelaksanaan KLS pada level kebijakan, perencanaan dan program adalah : (1) memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk tercapainya pembangunan yang


(33)

berkelanjutan, (2) meningkatkan efektivitas pelaksanaan AMDAL dan atau pengelolaan lingkungan hidup, dan (3) memungkinkan dilakukan identifikasi terjadinya dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif dan sinergistik, pada tahap awal proses pembangunan. Selanjutnya KLS diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya dampak lingkungan yang bersifat lintas batas (cross boundary environment effects).

Prinsip-prinsip pokok yang harus menjadi pertimbangan dalam melakukan Kajian Lingkungan Strategik, menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004) : 1. Menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan proses dan kaidah-kaidah

pembangunan berkelanjutan.

2. Dilakukan terhadap kebijakan, rencana atau program (KRP) secara terpisah atau kombinasi dari ketiganya. Analisis pertimbangan-pertimbangan lingkungan harus diintegrasikan secara penuh dan pada tahap awal dari proses perumusan KRP.

3. Diaplikasikan pada tingkat konsep dan bukan pada aktivitas fisik (lokasi dan rancang bangun) tertentu yang lazimnya menjadi domain studi AMDAL. 4. Salah satu aspek kajian dalam melaksanakan KLS adalah melakukan evaluasi

dan membandingkan dampak lingkungan dari berbagai alternatif pilihan KRP yang menjadi kajian.

5. Dalam suatu proses pengambilan keputusan pembangunan, KLS seharusnya menjadi bagian dari pertanggungjawaban publik.

6. Pendekatan pelaksanaan ekosistemik yang berlandaskan pada prinsip-prinsip eko-efisiensi dan pembangunan berwawasan lingkungan.

7. Pelibatan seluruh stakeholders yang meliputi instansi pemerintah terkait, legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat termasuk lembaga adat, dan sektor swasta terkait. Teknis pelaksanaannya dilakukan secara partisipatif, antara lain, melalui focused group discussion (FGD) dan multi criteria decision making (contoh: metode Proses Hirarki Analitik).

8. Tidak menghambat pelaksanaan investasi di daerah.

9. Fokus pada dampak tidak langsung, dampak kumulatif, dan dampak sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional, dan global.


(34)

Pendekatan KLS pada kajiannya berbeda pada setiap negara, baik dari metodologi maupun implikasinya, beberapa pendekatan menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004) adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan KLS secara formal (formal SEA), menyerupai metodologi AMDAL dengan memasukkan pertimbangan dan disusun dalam sebuah laporan untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Bahkan pada beberapa negara diimplementasi dalam peraturan, seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Selandia Baru

2. Penilaian Lingkungan (Environmental Appraisal), umumnya dibatasi isu-isu yang berkaitan dengan badan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan, tidak dilengkapi laporan implikasi lingkungan, kurang sistematis, dan umumnya tidak disertai diskusi dengan instansi lain maupun masyarakat. 3. Penilaian Analisis Biaya Manfaat (Cost benefit Appraisal), difokuskan untuk

mengurangi biaya (ekonomi dan lingkungan) dan meningkatkan keuntungan atas kegiatan-kegiatan yang strategik, dilakukan secara komprehensif dan dapat digunakan sebagai bahan dalam penyusunan formal SEA.

4. Pendekatan Proyek yang dimodifikasi (Modified Project SEA), menggunakan metodologi AMDAL dan digunakan untuk kajian terhadap program sebagai dasar penyusunan rencana proyek.

5. Pendekatan yang lebih mengarah pada rasionalisasi KRP, dimana prinsip-prinsip kajian lingkungan cenderung dirancang dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan rencana-rencana melalui identifikasi kebutuhan dan pilihan untuk pembangunan yang berkelanjutan.

6. Pendekatan ekosistemik, menekankan pentingnya penempatkan obyek kajian dalam konteks keterkaitan dengan sistem lain yang lebih besar.

Pendekatan kajian dengan menggunakan metode KLS dalam tahapan proses akan menggunakan beberapa tools, untuk evaluasi dampak ekologi metode dapat diadopsi dari hasil proyek AMDAL (Wathern 1999 dalam Finnveden et al 2003), nilai (value) dampak secara monetasi menggunakan metode valuasi ekonomi, dan partisipasi stakeholders dengan multi-attribute analysis (MAA) termasuk didalamnya multi-criteria dan multi-objective. Metode MMA yang banyak digunakan adalah ‘Analytical Hierarchy Process’ (Saaty and Vargas 1994 dalam


(35)

Finnveden et al 2003 ) dan ‘Value-Focused Thinking’ (Keeney 1992 dalam Finnveden et al 2003). Adapun tahapan proses SEA dan berbagai metode yang dapat digunakan dalam analisis dapat dilihat pada Gambar 2.

Metode dan Alat Analisis

Definisi tujuan

Perumusan Alternatif

Analisis skenario

Analisis Lingkungan ƒ Deskripsi sistem studi ƒ Identifikasi dan kuantifikasi

beban lingkungan (emisi, pengerukan sumberdaya, penggunaan lahan) ƒ Analisis perubahan

lingkungan

Valuasi Penilaian lingkungan

Muti kriteria analisis Valuasi ekonomi Survei

Valuasi massa, energi, atau kawasan Studi lanjutan

Inventarisasi analisis jaringan kehidupan (LCA inventory analysis)

Environmental extended IOA

Ceklist

Analisis resiko kecelakaan (Risk assessment accident) Karakteristik jaringan kehidupan

Karakteristik lokasi jaringan kehidupan

Analisis resiko dasar (risk assessment substances) Pemodelan kualitas udara

Backcasting

Kesimpulan, review, tindak lanjut pengukuran/pemantauan Tahapan proses SEA

Gambar 2. Tahapan Proses SEA dan Metode yang digunakan (Finnveden et al 2003)

Dari berbagai metode yang digunakan, tergambar bahwa tiga prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek ekonomi, sosial dan ekologi telah terintegrasi dalam konsep KLS. Konsep pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan tiga pilar kehidupan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi dalam satu hubungan yang sinergis, oleh karena itu makna keberlanjutan didefinisikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sistem sosial dan keberlanjutan ekologis. Menurut Serageldin (1993) dalam konsep pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi


(36)

kesempatan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya pula.

Kebij akan

Kebijakan (policy) menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Kebijakan dalam makna tersebut merupakan suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana. Pedoman tersebut dapat berbentuk sangat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit dan sebagainya. Kebijakan mengandung makna rasional, sebuah manifestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan serta juga harus dipahami dalam konteks historis. Parsons (2005) menyebutkan sesuai konsep publik yang bersifat dinamis, makna kebijakan senantiasa berubah karena adanya perubahan-perubahan dalam praktik kebijakan.

Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Disebutkan juga bahwa analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi karena masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teori semacam ini seringkali gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil kebijakan mengendalikan dan memanipulasi proses-proses kebijakan. Akan tetapi analisis kebijakan menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah, juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan meliputi baik evaluasi maupun anjuran kebijakan (Dunn 2003).

Selanjutnya Dunn (2003) menyatakan bahwa masalah-masalah kebijakan (policy problem) merupakan nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat diidentifikasi untuk kemudian diperbaiki atau dicapai melalui tindakan publik. Pengetahuan mengenai masalah apa yang memerlukan


(37)

pemecahan membutuhkan informasi tentang nilai yang pencapaian nilai-nilai dan merupakan penyelesaian terhadap suatu masalah. Informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah adalah sangat penting dalam mengidentifikasi masa depan kebijakan.

Proses penetapan suatu kebijakan dapat dikaji dari aspek input dan output. Faktor-faktor input terdiri dari persepsi, organisasi, tuntutan, dukungan, dan keluhan. Sedangkan unsur kebijakan antara lain adalah regulasi, distribusi, redistribusi, kapitalisasi dan nilai-nilai etika. Outputnya antara lain adalah aplikasi, penegakan hukum, interpretasi, evaluasi, legitimasi, penyesuaian, dan penarikan diri atau pengingkaran (Parsons 2005).

Mulai tahun 2001 pembangunan ekonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru. Secara formal ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 pada tahun 2001. Intinya kedua UU tersebut memuat pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Tahun 2004 kedua UU tersebut telah direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004. Secara substansial yuridis, kedua UU tersebut merubah sistem kebijakan pembangunan daerah yang selama ini sentralistik menjadi desentralistik. Begitu pula dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, implikasi UU tersebut munculnya kewenangan yang cukup besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah.

Kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara dengan konsep GERBANG DAYAKU, meletakkan pemberdayaan masyarakat sebagai komponen utama dalam pembangunan. Secara yuridis formal dijabarkan dalam Perencanaan Pembangunan Lima Tahunan dalam bentuk Program Pembangunan Daerah (Propeda) yang menjadi program makro pembangunan Kabupaten Kutai Kartanegara. Program pembangunan yang tertuang dalam Propeda tersebut selanjutnya dijabarkan kedalam Perencanaan Strategis (Renstra).

Melalui program GERBANG DAYAKU kebijakan pembangunan kehutanan salah satunya diarahkan untuk menjamin kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman hasil hutan bagi pembangunan industri. Dalam hal ini kebijakan sektor kehutanan khususnya penebangan hutan adalah satu program untuk


(38)

penyediaan bahan baku industri kayu, yang diharapkan dipenuhi dari hutan alam produksi seluas 2.474.674 ha di Kabupaten Kutai Kartanegara (Anonim 2001). Pengelolaan areal hutan produksi seluas tersebut dikelola oleh perusahaan yang diberikan hak konsesi pengelolaan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang pada tahun 2001 berjumlah sebanyak 20 HPH.

Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya tanah, air, dan vegetasi serta manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam dengan segala interaksinya yang berfungsi untuk menampung dan menyimpan air hujan kemudian menyalurkan ke laut melalui suangai utama. Interaksi tersebut digambarkan dalam bentuk keseimbangan masukan dan keluaran yang mencirikan keadaan hidrologis DAS. Kualitas ekosistem DAS dapat dilihat dari output ekosistem tersebut dan secara fisik antara lain dapat diukur dari besarnya erosi, sedimentasi, aliran permukaan, fluktuasi debit dan produktivitas lahan.

Secara umum DAS dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase tinggi, kemiringan lereng yang tinggi (>15%) dengan jenis vegetasi tegakan hutan (Asdak 2002). Bagian hilir DAS dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase kecil, kemiringan lereng kecil (<8%), sebagian diantaranya merupakan daerah banjir, dan didominasi jenis vegetasi tanaman pertanian. Bagian tengah DAS merupakan daerah transisi di antara DAS hulu dan DAS hilir. Ketiga bagian DAS ini mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Ekosistem DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS (Asdak 2002). Bagian DAS hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi. Hubungan antara masukan dan keluaran dari DAS yang bersangkutan dapat digunakan untuk menganalisis dampak suatu kegiatan pada lingkungan, terutama pengaruhnya di daerah hilir.

Secara tidak langsung DAS dapat dipandang sebagai suatu ekosistem yang menghasilkan produk berupa barang dan jasa. Barang yang dihasilkan oleh


(39)

merupakan produk ekonomis dari DAS yang tidak dapat diukur. Oleh karenanya dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya keseimbangan antara kepentingan ekosistem dengan kepentingan ekonomi sehingga bisa memberikan manfaat secara berkelanjutan

Dam pak Penebangan Hut an

UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya dalam penjabaran UU tersebut hutan dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu (i) hutan produksi, (ii) hutan konservasi, dan (iii) hutan lindung. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok dalam memproduksi hasil hutan. Sedangkan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Salah satu bentuk pemanfaatan fungsi hutan produksi secara langsung adalah pemungutan hasil hutan berupa kayu. Pemungutan hasil hutan berupa kayu pada hutan alam produksi di Indonesia telah mulai pada awal tahun 1970-an, dan menjadi primadona sumber devisa negara kedua setelah migas era tahun 1980 hingga tahun 1990-an akhir. Namun disisi lain kegiatan penebangan hutan ini juga berdampak terhadap deforestasi yang akhirnya menimbulkan degradasi lingkungan secara luas. Soerianegara (1990) menyebutkan bahwa penebangan hutan alam akan berdampak terhadap enam hal yaitu, (i) iklim, (ii) geomorfologi, (iii) keadaan tanah, (iv) kondisi perairan (sungai), (v) keanekaragaman flora dan fauna, dan (vi) sosial ekonomi. Eksploitasi hutan menyebabkan perubahan-perubahan dari komposisi jenis, spesies-spesies dominan, dan perubahan-perubahan pada ekosistem hutan yang bersangkutan (Prastowo dan Kusnaryono 1992, Retnowati 1995).

Pemanenan kayu dari hutan tropis telah memberikan keuntungan sosial ekonomi bagi manusia, tapi pada saat yang sama menimbulkan masalah. Penebangan hutan akan mengakibatkan perubahan kondisi biologis dan habitat


(40)

dari hutan awal yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai macam spesies yang secara ekonomi mungkin lebih penting daripada kayu dapat hilang. Perubahan habitat dapat menghasilkan perubahan populasi fauna, gulma, kecepatan pertumbuhan yang lambat dari pohon-pohon yang secara ekonomis penting pada tegakan sisa, perubahan mikro fauna dan mikro flora dalam tanah (Kartawinata 1977). Dampak yang sama akibat penebangan hutan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) juga ditemukan pada hasil penelitian Retnowati (1995), dimana terjadi perubahan struktur vegetasi, komposisi jenis, dan perubahan iklim mikro. Lebih spesifik dampak penebangan terhadap vegetasi, menunjukkan terjadi penurunan jumlah regenerasi vegetasi jenis meranti merah dan keruing serta ukuran pola penyebaran setelah 34 tahun penebangan pada hutan dipterocarpaceae dataran rendah di Malaysia (Manokaram 1998).

Dampak yang sangat penting terhadap satwa liar adalah disebabkan karena perubahan penyetaraan dan kelimpahan makanan, terjadi perubahan fungsi komunitas vegetasi, berubahnya iklim mikro, dan berkurangnya tempat berkembangbiak atau tempat berlindung (Retnowati 1995). Kegiatan TPTI pada hutan alam produksi telah mengubah fungsi komunitas vegetasi yang merupakan habitat Primata (Retnowati 1995, Laidlaw 1998). Pengaruh eksploitasi hutan terhadap primata dapat disebabkan 3 hal (Marsh et al. 1987); pertama, suara yang ditimbulkan alat-alat berat (traktor, truk, gergaji mesin) dan rusaknya habitat dapat menimbulkan stress dan mengubah perilaku. Kedua, rusaknya pohon-pohon penghasil buah dan rusaknya pohon atau cabang yang dipergunakan untuk berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Ketiga, setelah penebangan, regenerasi pohon sangat lambat, seringkali kondisi semula tidak dapat terbentuk. Rusa dan babi hutan dapat beradaptasi dengan kegiatan penebangan hutan, karena di daerah bekas tebangan banyak ditemui tembusan rumput hijau, banyak pohon-pohon yang tumbang kemudian dihancurkan mikroorganisme. Akibatnya, binatang buas seperti harimau loreng Sumatera banyak berkeliaran di daerah pengusahaan hutan untuk mencari makanannya (Alikodra 1992).

Keberadaan hutan pada suatu DAS dapat mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi, sehingga dapat menghasilkan kualitas air yang tinggi. Luas hutan dan perlakuan pengelolaannya, secara langsung akan mempengaruhi kuantitas dan


(41)

kualitas air yang dihasilkan (Manan 1995). Penebangan hutan menyebabkan hilangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air, karena hilangnya tajuk pohon dan serasah. Terbukanya permukaaan tanah pada areal tebangan mengakibatkan tetesan air hujan yang besar langsung jatuh ke permukaan tanah dan menyebabkan tanah tererosi. Tingginya aliran permukaan membawa butiran-butiran tanah yang tererosi mengalir ke aliran sungai dan menjadi sedimen.

Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi yang masuk ke badan perairan. Keberadaan sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya dan transfer oksigen dari atmosfer ke perairan, juga menghambat daya lihat organisme perairan. Sedimen juga menyebabkan hilangnya tempat memijah yang sesuai bagi ikan, karena sedimen menutupi substrat, sehingga organisme yang membutuhkan substrat sebagai tempat hidupnya dan sebagai tempat berlindung menjadi terganggu (Effendi 2000).

Pada umumnya pengaruh dari kegiatan penebangan hutan terhadap tanah adalah tanah menjadi kurus dan berkurangnya daya menahan air (sehingga limpasan permukaaan dan erosi meningkat), lebih sering terjadi banjir, dan kekeringan (Soerianegara 1990). Peralatan berat yang melintasi sekitar 50% areal tebangan menyebabkan kenaikan kerapatan isi tanah, penurunan kecepatan infiltrasi, kenaikan limpasan permukaan dan kandungan lempung. Memburuknya sifat-sifat fisik tanah, berpengaruh buruk pula pada fungsi hidrologis. Alat-alat berat menyebabkan tanah menjadi padat, struktur tanah memburuk dan aerasi tanah menurun (Hamzah 1975, Elias 2002). Banjir besar yang terjadi di Sumatera Utara di penghujung 2001 dan awal 2002 dengan kerugian ratusan milyar rupiah disebabkan oleh pengrusakan hutan yang besar-besaran karena pemberian Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu oleh Pemda di Era Otda (Alikodra dan Syaukani 2004).

Pengelolaan Hutan Produksi

Prinsip kelestarian hutan diindikasikan oleh 3 (tiga) fungsi pokok yang saling terkait dan tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu:


(42)

1. Fungsi ekologis, sebagai suatu sistem penyangga kehidupan antara lain pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. 2. Fungsi ekonomis, sebagai sumber yang menghasilkan barang dan jasa baik

yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu, maupun yang tidak terukur seperti jasa ekoturisme.

3. Fungsi sosial, sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian masyarakat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan, serta untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sistem TPTI adalah salah satu sistem silvikultur yang merupakan subsistem dari sistem pengelolaan hutan lestari yang diterapkan pada hutan alam daratan. Praktik pengusahaan hutan secara komersial yang mulai marak tahun 1980-an dengan sistem TPTI mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan yang mengatur tidak cukup memadai dalam pelaksanaan pengelolaan hutan secara lestari (Reksosudarmo 2003), sehingga menyebabkan kerusakan hutan alam produksi. Kegagalan kebijakan tersebut, dibedakan atas dua, yaitu: (i) kebijakan yang mengabaikan kelestarian sumberdaya hutan dan (ii) kebijakan yang ditujukan untuk pengelolaan hutan lestari tidak diterapkan dengan baik, bahkan tidak diterapkan sama sekali.

Pengabaian peran kelembagaan dalam pengelolaan hutan alam produksi, termasuk institusi dan organisasi yang bertanggung jawab merupakan salah satu penyebab kerusakan alam produksi (Kartodihardjo 2003). Selanjutnya disebutkan bahwa penguatan peran kelembagaan pengelolaan hutan yang mampu mengidentifikasi permasalahan spesifik wilayah adalah faktor penting untuk mewujudkan peningkatan kinerja penyelenggaraan kehutanan, termasuk pengelolaan hutan alam poduksi.

Kelembagaan atau institusi adalah aturan main, norma-norma, larangan-larangan, kontrak, dan sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat (Douglass North 1990 dan Garry Rodgers 1994 dalam Nugroho 2006). Selanjutnya Kasper dan Streit (1998) menyatakan bahwa


(43)

kelembagaan merupakan aturan main yang mengatur hubungan antar manusia untuk menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan, sehingga perilaku manusia dalam memaksimumkan kesejahteraan individualnya lebih dapat diprediksi.

Kelembagaan berperan sebagai berikut: (i) menentukan kesempatan-kesempatan ekonomi individu dan hasil akhir interaksi antar individu/organisasi terhadap kinerja ekonomi dan pengelolaan sumberdaya agar tidak saling merugikan melalui aksi bersama (collective action), dan (ii) mengatur interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi hak kepemilikan (proverty rights), batas yurisdiksi (jurisdiction boundary) dan aturan representasi (rules of representation). Dalam kelembagaan selalu disertai sanksi-sanksi baik formal dan informal yang disepakati dan penegakannya (Kasper dan Streit 1998).

Konsep Valuasi Ekonomi

Dalam setiap kegiatan pembangunan sebagai implementasi suatu kebijakan pembangunan selalu timbulnya biaya dan manfaat yang merupakan dampak negatif dan positif akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak layak diperlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio yang dinyatakan dalam rupiah. Tanpa pemberian nilai dalam rupiah akan sulit untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak dilaksanakan (Suparmoko 2002).

Nilai (value) merupakan persepsi seseorang; yaitu harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasaan, dan kesenangan merupakan istilah lainnya yang dapat diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson 1987).


(44)

Nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh oleh individu atau masyarakat, tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik maupun privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian manfaat fungsi ekologis pada hakekatnya juga mempunyai nilai ekonomi, karena jika fungsi ekologis tersebut terganggu maka akan menimbulkan kerugian berupa bencana atau kerusakan.

Valuasi ekonomi dengan menggunakan nilai uang sebagai indikasi penerimaan dan kehilangan manfaat atau kesejahteraan akibat kerusakan lingkungan (Pearce dan Turner 1993). Dalam hal ini diperlukan pemahaman nilai macam apa saja yang dapat diberikan kepada suatu sumberdaya alam dan lingkungan sebelum pemberian nilai dalam bentuk moneter. Konsep nilai bermacam-macam, sebab menyangkut berbagai macam tujuan yang berkaitan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan itu sendiri. Dalam berbagai literatur pada dasarnya nilai lingkungan terdiri atas: (1) nilai atas dasar penggunaan (use value), dan (2) nilai yang terkandung di dalamnya atau tanpa penggunaan (non-use value). Nilai atas dasar penggunaan menunjukkan kemampuan lingkungan apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan nilai yang terkandung dalam lingkungan adalah nilai yang menempel pada lingkungan tersebut. Berdasarkan penggunaannya nilai tersebut dibedakan lagi atas nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value), dan nilai atas dasar pilihan penggunaan (option use value). Selanjutnya nilai atas dasar tanpa penggunaan dibedakan menjadi nilai warisan (bequest value) dan nilai karena keberadaannya (existence value). Komponen-komponen nilai penggunaan tersebut disajikan pada Gambar 3.

Secara matematis untuk menentukan nilai lingkungan secara keseluruhan atau nilai total (Total Economic Value = TEV) merupakan penjumlahan nilai dari penggunaan langsung, nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaannya (Suparmoko 2002). Persamaannya adalah sebagai berikut :


(45)

Dimana :

NET = nilai ekonomi total (total economic value) NP = nilai penggunaan (use value)

NNP = nilai non-penggunaan (non-use value) NPL = nilai penggunaan langsung (direct use value)

NPTL = nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) NP = nilai pilihan masa depan (option value)

NK = nilai keberadaan (existence value) NW = nilai warisan (bequest value)

Nilai Ekonomi Total (NET)

Nilai Penggunaan Nilai Non-penggunaan

Nilai Penggunaan Tidak Langsung

Nilai Nilai Nilai Pilihan Keberadaan Lain-lain Nilai Penggunaan

Langsung

Keuntungan yang bersifat fungsional

Nilai masa depan langsung maupun tidak langsung

Nilai pengetahuan dari keadaan

yang lestari Hasil yang dapat

dikonsumsi secara langsung

• Makanan • Biomassa • Rekreasi • Kesehatan

• Fungsi ekologis • Pengendali banjir • Perlindungan

badai

•Habitat •Spesies langka • Biodiversity

• Konservasi habitat

Gambar 3. Komponen-komponen Nilai Ekonomi Total (Askary 2004 diadaptasi dari The United Nations University & The World Bank 1995)


(46)

Analisis Biaya Manfaat

Analisis biaya manfaat atau Cost Benefit Analysis adalah suatu alat untuk menyusun suatu kebijakan yang memungkinkan pengambilan keputusan memilih diantara berbagai alternatif dalam pengelolaan atau pemanfaatan suatu sumberdaya, dengan mempertimbangkan semua biaya dan manfaat yang timbul dalam masyarakat baik yang memiliki hubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan kebijakan tersebut, baik internal maupun eksternal dan baik terukur secara langsung atau tidak.

Metode analisis biaya manfaat sebagai suatu metode dalam analisis publik memiliki beberapa keunggulan dan keterbatasan (Dunn 2003). Keunggulannya adalah meliputi :

1. Biaya maupun manfaat dinyatakan dalam satuan ukuran yang sama (uang) 2. Memungkinkan untuk melihat manfaat dan biaya pada masyarakat secara

keseluruhan.

3. Memungkinkan analisis yang dapat membandingkan program secara luas dalam lapangan yang berbeda.

Sedangkan keterbatasannya adalah :

1. Tekanan yang terlalu eksklusif pada efisiensi ekonomi yang dapat berarti bahwa kriteria keadilan menjadi tidak berarti atau tidak dapat diterapkan. 2. Nilai uang tidak cukup untuk mengukur daya tanggap (responsiveness),

karena adanya variasi pendapatan antar masyarakat.

3. Saat harga pasar tidak tersedia bagi suatu barang yang cukup dianggap penting, analisis ini sering menggunakan harga bayangan berdasarkan pendekatan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) yang terkadang bersifat sangat subyektif.

Proses Hirarki Analitik

Proses Hirarki Analitik merupakan salah satu metode dalam sistem pengambilan keputusan. Menurut Eriyatno (2003), sistem pengambilan keputusan dimaksudkan untuk memaparkan secara terinci elemen-elemen sistem sehingga dapat menunjang manajer dalam pengambilan keputusannya. Marimin (2004) menyebutkan terdapat empat karakteristik utama dalam sistem pengambilan


(47)

keputusan , yaitu: (1) menggabungkan data dan model menjadi satu bagian, (2) dirancang untuk membantu para manager (pengambil keputusan dari masalah yang bersifat semi terstruktur atau tidak terstruktur), (3) lebih cenderung dipandang sebagai penunjang penilai manager dan sama sekali bukan untuk menggantikannya, dan (4) tehnik yang dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas dari pengambil keputusan.

Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L., Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an (Saaty 1993). Proses hirarki analitis pada dasarnya dirancang untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur untuk sampai pada satu skala preferensi diantara berbagai alternative. Analisis ini diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah yang memerlukan pendapat (judgement), atau pada situasi yang kompleks atau tidak berkerangka, pada situasi yang kompleks atau tidak berkerangka, pada situasi data atau informasi statistik sangat minim atau tidak sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasarkan oleh persepsi, pengalaman dan instuisi.

Proses hirarki analitis adalah sebuah hirarki dengan input utamanya adalah persepsi manusia. Suatu masalah yang tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok manusia yang kemudian diatur menjadi hirarki. Dalam penerapannya suatu tujuan yang bersifat umum dijabarkan kedalam sub-sub tujuan, dilakukan dalam beberapa tahap sehingga diperoleh tujuan operasional. Proses hirarki analitis dikembangkan untuk memecahkan masalah kompleks dengan aspek atau criteria yang diambil cukup banyak. Kompleksitas disebabkan oleh struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi pengambilan keputusan serta ketidakpastian tersedianya data statistik yang akurat. Proses hirarki analitis mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi obyektif dan multi criteria, berdasarkan perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki (Saaty 1993).

Tahapan dalam penerapan PHA adalah sebagai berikut (Ma’arif dan Tanjung 2003) ; (1) Identifikasi sistem, (2) Penyusunan hirarki , (3) Penilaian


(48)

kriteria dan alternatif, (4) Penentuan prioritas relatif, (5) Pengujian konsistensi, dan (6) Sintesa prioritas alternatif. Pengujian konsistensi dapat memiliki dua makna, yaitu: (a) obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansinya, (b) tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

Tahap paling penting dari PHA adalah tahap penilaian pasangan (judgement) antar faktor pada suatu tingkat hirarki. Penilaian ini dilakukan dengan memberikan bobot numerik atau verbal berdasarkan perbandingan berpasangan antar faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Selanjutnya melakukan analisis untuk menentukan faktor mana yang paling tinggi atau paling rendah peranannya terhadap level atas di mana faktor tersebut berada. Penilaian diperoleh melalui partisipan yang akan mengevaluasi setiap himpunan faktor secara berpasangan satu dengan yang menyatakan kepentingan faktor tersebut pada tingkat yang lebih tinggi pada hirarki yang dibentuk.

Keberhasilan penggunaan PHA tergantung pada bagaimana penggunaan hirarki yang tepat dan problema yang tidak teratur untuk sampai pada pengambilan keputusan, karena PHA mampu menkonversi faktor-faktor yang tak dapat diukur (intangible) ke dalam aturan yang biasa dibandingkan. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala PHA yang disarankan oleh Saaty (1993) pada Tabel 1.

Menurut Saaty (1993), ada beberapa konsep dari PHA dalam kerangka manfaat dan biaya, yaitu :

1. PHA berbeda dengan BCA yang konvensional, karena PHA mampu mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur ke dalam aturan yang biasa yang memungkinkan untuk perbandingan dan evaluasi.

2. PHA dapat juga digunakan untuk memecahkan masalah dalam pengambilan keputusan manfaat biaya yang kompleks dan pengalokasian yang melibatkan sumberdaya.

3. Tujuan PHA dalam pengalokasian sumberdaya adalah untuk menangani kriteria yang berkaitan dengan evaluasi manfaat dari berbagai alternatif, dan untuk menangani kriteria yang berkaitan dengan biaya.


(49)

Tabel 1. Skala Banding Secara Berpasangan Model Saaty (1993)

Tingkat

Kepentingan Definisi Penjelasan

1 Kedua elemennya sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar pada sifat itu

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lain

Pengalaman dan petimbangan sedikit menyokong satu elemen atas lainnya

5 Elemen yang satu esensial atau sifat lebih pentingnya menonjol

dibanding elemen yang lainnya

Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya (sifat sangat penting yang menonjol)

Satu elemen dengan kuat sokong, dominansinya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan 9 Satu elemen mutlak lebih penting

dibanding elemen lainnya

Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara di antara dua pertimbangan yang berdekatan

Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan

Nilai Kebalikan

Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan nilai i


(50)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di DAS Mahakam bagian hilir, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian di DAS Mahakam bagian hilir dilakukan di Sub DAS Mahakam Hilir, Desa Sungai Meriam dan Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur . Sedangkan untuk daerah hulu DAS (Sub DAS Mahakam Hulu dan DAS Belayan) hanya berdasarkan data sekunder jumlah HPH yang melakukan eskploitasi hutan di daerah hulu. DAS bagian hulu dan bagian hilir dijadikan lokasi penelitian dengan asumsi bahwa :

1. Aktivitas di daerah hulu akan berdampak terhadap daerah hilir (Asdak 2002). 2. Desa Sungai Meriam dan Desa Kutai Lama merupakan desa yang berada di

daerah hilir Sungai Mahakam.

3. Nelayan di Desa Sungai Meriam dan Desa Kutai Lama adalah nelayan melakukan penangkapan ikan di muara Sungai Mahakam yang terkena dampak negatif akibat sedimentasi yang mengurangi jumlah tangkapan.

Penelitian lapang dilakukan selama bulan Mei 2006. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Teknik Penentuan Responden

Unit responden dalam penelitian ini adalah nelayan Desa Sungai Meriam dan Desa Kutai Lama yang terkena dampak sedimentasi di daerah hilir akibat penebangan hutan di daerah hulu. Pengambilan sample nelayan dilakukan secara sengaja (purposive sampling) sebanyak 30 responden berdasarkan kelompok petani nelayan yang berada di kedua desa tersebut.

Sedangkan untuk analisis kebijakan sektor kehutanan dalam penelitian ini adalah semua stakeholders yang berkepentingan terhadap kebijakan Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara. Responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling) sebanyak 10 orang pakar yang terdiri atas pemerintah daerah (Bappeda, Dinas Kehutanan, dan Bapedalda) , tokoh masyarakat, swasta, perguruan tinggi dan LSM. Jumlah responden selengkapnya disajikan pada Tabel 2.


(51)

Kab. KUTAI TIMUR

Kab. PASIR

SAMARINDA

BALIKPAPAN

Kab. KUTAI BARAT Kec. Anggana

Gambar 4. Lokasi Penelitian Tabel 2. Responden untuk analisis kebijakan sektor kehutanan

No. Responden Jumlah Keterangan

1.

2. 3. 4. 5.

Pemerintah Daerah : - Bappeda

- Bapedalda - Dinas Kehutanan Swasta

Masyarakat LSM

Perguruan Tinggi

1 1 1 3 1 2 1

Kasubdit. Lingkungan Hidup dan SDA Kabid. Pemantauan dan Pemulihan Kasi. Perencanaan

Perusahaan HPH Tokoh masyarakat WALHI dan JARI

Dosen Universitas Kutai Kartanegara

Jumlah 10


(1)

67

Lampiran 2. Hasil Analisis AHP Kelompok Gabungan Aktor Swasta, PEMDA,

Masyarakat, LSM, dan Perguruan Tinggi Terhadap Alternatif Prioritas

Synthesis of Leaf Nodes with respect to GOAL Distributive Mode

OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0.03 PHE .424

PKPH .344 MPH .232

Abbreviation

Definition

PHE Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem

PKPH Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI MPH Moratorium Penebangan Hutan


(2)

68

Lampiran 3. Hasil Analisis AHP Masing-Masing Kelompok Aktor Terhadap Alternatif

Prioritas

Synthesis of Leaf Nodes with respect to SWASTA Distributive Mode

PHE .674 PKPH .226 MPH .101

Abbreviation

Definition

PHE Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem

PKPH Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI MPH Moratorium Penebangan Hutan

Synthesis of Leaf Nodes with respect to PEMDA Distributive Mode

PHE .455 PKPH .454 MPH .091

Abbreviation

Definition

PHE Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem

PKPH Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI MPH Moratorium Penebangan Hutan

Lampiran 3. (lanjutan)

MPH Moratorium Penebangan Hutan

PKPH Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI PHE Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem

Abbreviation

Definition

.117 MPH

.268 PKPH

.614 PHE

Synthesis of Leaf Nodes with respect to MASYARAKAT Distributive Mode


(3)

69

Synthesis of Leaf Nodes with respect to LSM Distributive Mode

MPH .659 PKPH .185 PHE .156

Abbreviation

Definition

MPH Moratorium Penebangan Hutan

PKPH Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI PHE Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem

Synthesis of Leaf Nodes with respect to PERGURUAN TINGGI Distributive Mode

PKPH .637

PHE .258

MPH .105

Abbreviation

Definition

PKPH Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI PHE Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem


(4)

Lampiran 3. Pendapatan Rata-rata Nelayan di Desa Sei. Meriam dan Desa Kutai Lama

No Responden L. P F.P Biaya 1 Biaya 2 Pendapatan Pendapatan Pendapatan (Rp) (Rp) Kotor (Rp) Bersih (Rp) Bersih/bln 1 Bair Muara 4 225,000.00 33,574.53 500,000.00 241,425.47 965,701.88 2 Hasan Muara 4 225,000.00 33,574.53 500,000.00 241,425.47 965,701.88 3 Nanang Muara 4 200,000.00 33,574.53 500,000.00 266,425.47 1,065,701.88 4 Masran Muara 4 250,000.00 33,574.53 400,000.00 116,425.47 465,701.88 5 Anas Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 6 Kendeng Muara 4 250,000.00 33,574.53 500,000.00 216,425.47 865,701.88 7 Dumi Muara 4 250,000.00 33,574.53 500,000.00 216,425.47 865,701.88 8 Mahdi Muara 4 250,000.00 33,574.53 500,000.00 216,425.47 865,701.88 9 Umar Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 10 Soleh Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 11 Dani Muara 4 225,000.00 33,574.53 500,000.00 241,425.47 965,701.88 12 Bahrudin Muara 4 250,000.00 33,574.53 500,000.00 216,425.47 865,701.88 13 Iwan Muara 4 250,000.00 33,574.53 400,000.00 116,425.47 465,701.88 14 Hasan Muara 4 225,000.00 33,574.53 500,000.00 241,425.47 965,701.88 15 Bahri Muara 4 225,000.00 33,574.53 500,000.00 241,425.47 965,701.88 16 Jamaludin Muara 4 300,000.00 33,574.53 600,000.00 266,425.47 1,065,701.88 17 Arnayan Muara 4 250,000.00 33,574.53 400,000.00 116,425.47 465,701.88 18 Jumri Muara 4 250,000.00 33,574.53 400,000.00 116,425.47 465,701.88 19 Arbain Muara 4 225,000.00 33,574.53 500,000.00 241,425.47 965,701.88 20 Bahrudin Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 21 Khairil A. Muara 4 250,000.00 33,574.53 400,000.00 116,425.47 465,701.88 22 Mukding Muara 4 250,000.00 33,574.53 400,000.00 116,425.47 465,701.88 23 Basri Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 24 Muksin Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 25 Jumran Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 26 Ridwan Muara 4 250,000.00 33,574.53 500,000.00 216,425.47 865,701.88 27 Hasan Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 28 Aliansyah Muara 4 250,000.00 33,574.53 400,000.00 116,425.47 465,701.88 29 Ahmad Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 30 Wandi Muara 4 250,000.00 33,574.53 500,000.00 216,425.47 865,701.88

7,125,000.00

1,007,235.90 13,500,000.00 5,367,764.10 21,471,056.40 237,500.00

33,574.53 450,000.00 178,925.47 715,701.88

Sumber : Diolah dari data primer (2006)

Keterangan :

LP = Lokasi Penangkapan

FP = Frekuensi Penangkapan Per Bulan

Rata-rata pendapatan nelayan per bulan di muara sungai Mahakam : Rp 715.701,88

Total

Rata-rata


(5)

Lampiran 3 (lanjutan)

No Responden L. P F.P Biaya 1 Biaya 2 Pendapatan Pendapatan Pendapatan (Rp) (Rp) Kotor (Rp) Bersih (Rp) Bersih/bln 1 Bair Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 2 Hasan Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 3 Nanang Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 4 Masran Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 5 Anas Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 6 Kendeng Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 7 Dumi Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 8 Mahdi Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 9 Umar Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 10 Soleh Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 11 Dani Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 12 Bahrudin Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 13 Iwan Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 14 Hasan Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 15 Bahri Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 16 Jamaludin Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 17 Arnayan Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 18 Jumri Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 19 Arbain Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 20 Bahrudin Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 21 Khairil A. Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 22 Mukding Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 23 Basri Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 24 Muksin Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 25 Jumran Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 26 Ridwan Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 27 Hasan Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 28 Aliansyah Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 29 Ahmad Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 30 Wandi Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68

247,500.00

314,692.80 1,800,000.00 1,237,807.20 8,664,650.40 8,250.00

10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68

Sumber : Diolah dari data primer (2006)

Keterangan :

Biaya (1) : Bahan bakar.

Biaya (2) : Perahu (ketinting), mesin, dan alat tangkap .

Rata-rata Pendapatan Nelayan Per bulan di Sungai Mahakam selama air pasang : Rp 288.821,68

Rata-rata pendapatan nelayan per bulan

= pendapatan di muara + pendapatan di sungai

= Rp 715.701,88 + Rp 288.821,68

= Rp 1.004.523,56

T o t a l Rata-rata


(6)

Lampiran 4. Pendapatan Rata-rata Nelayan di Desa Sei. Meriam dan Desa Kutai Lama

No Responden L. P F.P Biaya 1 Biaya 2 Pendapatan Pendapatan Pendapatan per bulan (Rp) (Rp) Kotor (Rp) Bersih (Rp) Bersih/bln 1 Bair Muara 4 225,000.00 33,574.53 600,000.00 341,425.47 1,365,701.88

Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 2 Hasan Muara 4 225,000.00 33,574.53 500,000.00 241,425.47 965,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 3 Nanang Muara 4 200,000.00 33,574.53 500,000.00 266,425.47 1,065,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 4 Masran Muara 4 250,000.00 33,574.53 300,000.00 16,425.47 65,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 5 Anas Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 6 Kendeng Muara 4 250,000.00 33,574.53 500,000.00 216,425.47 865,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 7 Dumi Muara 4 250,000.00 33,574.53 500,000.00 216,425.47 865,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 8 Mahdi Muara 4 250,000.00 33,574.53 500,000.00 216,425.47 865,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 9 Umar Muara 4 225,000.00 33,574.53 300,000.00 41,425.47 165,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 10 Soleh Muara 4 225,000.00 33,574.53 300,000.00 41,425.47 165,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 11 Dani Muara 4 225,000.00 33,574.53 400,000.00 141,425.47 565,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 12 Bahrudin Muara 4 250,000.00 33,574.53 500,000.00 216,425.47 865,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 13 Iwan Muara 4 250,000.00 33,574.53 400,000.00 116,425.47 465,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 14 Hasan Muara 4 225,000.00 33,574.53 500,000.00 241,425.47 965,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68 15 Bahri Muara 4 225,000.00 33,574.53 500,000.00 241,425.47 965,701.88 Sungai 7 8,250.00 10,489.76 60,000.00 41,260.24 288,821.68

3,623,750.00

660,964.35 7,600,000.00 3,315,285.65 15,117,853.40 241,583.33

44,064.29 506,666.67 221,019.04 1,007,856.89

Lampiran 4 (Lanjutan)

Sub Total (1)