Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Kasus Amdal

hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Akan tetapi dalam praktiknya tidak sulit ditemui suatu perusahaan tetapikurang melibatkan masyarakat dalam pembangunannya. Sebagaimana terjadi pada kasus pembangunankompleksindustridangudang oleh PT X, bahwa pelibatan masyarakat hanya bertujuan untuk memuluskan pembangunan pabriktersebut. Jadi pelibatan masyarakat oleh perusahaan lebih merupakan suatu pendekatan politik bisnis yang lebih banyak mempertimbangkan kepentingan peruhaan daripada kepentingan masyarakat. Padahal dalam kaitannya dengan pembangunan tersebut, masyarakat harus benar-benar dilibatkan dan mempunyai peran yang nyata dalam berbagai hal, karena memang masyarakat yang menerima akibat langsung dari pembangunan tersebut. 4 Itu artinya, masih banyak hal yang ditutupi oleh perusahaan, demi lebih lancarnya proses pembangunan tersebut. Oleh karena itu, keterbukaan dan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan khusunya izin lingkungan perlu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Peran serta masyarakat oleh seorang kelompok orang organisasi lingkungan hidup atau badan hukum merupakan konsekuensi dari “hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 ayat 1 UUPLH. 5 4 Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional dalam Perspektif Budaya Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, h. 98. 5 Siti Sundari Rangkuti, Keterbukaan dan Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Majalah OzonVol 3 No.5, Januari 2002. Adapaun maksud dan tujuan dilaksanakannya ketertibatan masyarakat dalam keterbukaan informasi dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup AMDAL ini adalah untuk: a Melindungi kepentingan masyarakat. 2 Memberdayakan masyarakat dalam mengambil keputusan atas rencana usaha danatau kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan. 3 Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan proses Amdal dari rencana usaha dan atau kegiatan. 4 Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara semua pihak yang berkepentingan, yaitu dengan menghormati hak-hak semua pihak untuk mendapatkan informasi dan mewajibkan semua pihak untuk menyampaikan informasi yang harus diketahui pihak lain yang terpengaruh. 6 Namun, beberapa ketentuan tentang prosedur perizinan lingkungan tidak membuka peluang bagi peran serta masyarakat, sehingga saran dan pemikiran dalam proses pengambilan keputusan tentang izin yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan tidak ditampung secara prosedural. Dokumen Amdal yang bermuara pada kelayakan lingkungan hidup, yang merupakan bagian dari kelayakan teknis finansial-ekonomi Pasal 2 PP No. 271999 selanjutnya merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha danatau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang Pasal 7 PP No. 271999. Dokumen Amdal merupakan dokumen publik yang menjadi acuan dalam pelaksanaan 6 Siti Sundari Rangkuti, Keterbukaan dan Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Vol. 3 No. 5. pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, dan dimungkinkan lintas teritorial administratif. Analisis mengenai dampak lingkungan merupakan suatu langkah yang sangat tepat dalam rangka menyelamatkan lingkungan, tentu ketika Amdal tesebut dijadikan acuan dalam merancang pembangunan di suatu tempat. Dengan kata lain, Amdal menjadi sama sekali tidak penting ketika pembangunan sudah dilaksanakan. Amdal hanya bermanfaat bagi pembangunan fisik yang belum dilaksanakan. Tapi ironisnya, Amdal dilakukan tatkala pembangunan fisik sedang berjalan. Akhirnya Amdal dijadikan alat pembenaran semata, tidak lebih dari itu. Oleh karna itu tak heran kalau masih saja ditemukan persoalan lingkungan padahal sudah dibuat Amdal -nya. 7 Sejak dibubarkannya Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, maka kemudian Kementerian Lingkungan Hidup semakin mengecil perannya dalam upaya pengendalian dampak lingkungan, termasuk dalam pengawasan Amdal di berbagai tingkatan. Terlebih lagi, pasca dikeluarkannya PP No. 25 tahun 2000, menjadikan hilangnya mekanisme koordinasi antar wilayah, yang pada akhirnya menjadikan lingkungan hidup sebagai bagian yang menjadi tidak begitu penting. Empat kelompok parameter yang terdapat di studi Amdal, meliputi Fisik – kimia Iklim, kualitas udara dan kebisingan; Demografi; Fisiografi; Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan dan Tanah; dan Hidrologi, Biologi Flora; Fauna, Sosial Budaya; Ekonomi; Pertahanankeamanan, dan Kesehatan masyarakat, ternyata juga masih sangat menekankan pada 7 Siti Sundari Rangkuti, Keterbukaan dan Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Vol. 3, No. 3, Nopember 2001. kepentingan formal saja. Lalu kemudian, permasalahan sosial-budaya dan posisi rakyat menjadi bagian yang dilupakan. Posisi kelayakan kegiatan dari Amdal, sebenarnya sangat tergantung pada kelompok Akademisi atau para ahli yang dilibatkan dalam Komisi Penilai Amdal. 8 Ketika kemudian independensi kebebasan ikatan dari akademisi dalam menilai dokumen diikat saat kelompok ini pun menjadi konsultan penyusun Amdal, telah menjadikan kelompok akademisi atau para ahli tidak lagi profesional dalam mengambil keputusan. Amdal yang pada awalnya ingin menaikkan posisi tawar lingkungan hidup dalam berkehidupan, kemudian malah berkontribusi terhadap hilangnya hak lingkungan hidup. Setiap kali sebuah kegiatan danatau usaha sangat terlihat jelas berdampak terhadap lingkungan hidup maupun komunitas rakyat, maka Amdal berada di barisan terdepan untuk mengeliminir gejolak yang terjadi. Dengan melihat kondisi ini, maka bukan tidak mungkin Amdal akan berkontribusi terhadap terjadinya ekosidaecocide tindakan pengrusakan seluruh atau sebagian dari sebuah ekosistem. Pemusnahan ekosistem semakin cepat terjadi dikarenakan tidak adanya perangkat penyaring filter dari kegiatan pengrusakan lingkungan hidup. Namun, dalam kasus pelanggaran Amdal tersebut tidak terdapat tindakan-tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang telah melakukan pelanggaran terhadap aturan-anturan hukum lingkungan. Padahal, Amdal merupakan pondasi dasar dari hukum lingkungan, karena Amdal dapat menentukan dan memastikan pembangunan dapat tetap menjaga lingkungan- 8 http:www.menlh.go.id. KementrianLingkunganHidup, SebagianBesarDokumen AMDAL BerkualitasBuruk, 09 Nopember 2008. lingkungan di sekitar pembangunan. 9 Pembiaran ini tidak boleh terjadi, mengingat Indonesia masih dalam proses pembangunan. Jika tidak, lingkungan Indonesia pada masa yang akan datang akan mengalami krisis lingkungan yang berakibat luas terhadap kehidupan umat masyarakat. Oleh karena itu, penegakan hukum lingkungan melalui Amdal ini harus semakin didorong dan ditegakkan dengan setegak-tegaknya.Penegakan hukum lingkungan melalui Amdal merupakan suatu peluang yang sangat besar untuk melindungi lingkungan dari berbagai langkah pembangunan- pembangunan di berbagai bidang.

B. Penyelesaian Hukum terhadap Kasus Amdal di Perusahaan X

Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup pada UU No 32 Tahun 2009 melengkapi dari undang-undang sebelumnya,sebagaimana yang tercantum pada Bab XIII UU No 32 Tahun 2009 dikatakan bahwa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan pasal 84 ayat 1.Pada bagian kedua tentang penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup diluar pengadilan,dikatakan pada pasal 85 1 bahwa Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai : 1. Bentuk dan besarnya ganti rugi; 2. Tindakan pemulihan akibat pencemaran danatau peruskan; 3. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran danatau perusakan; danatau 9 N. H. T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan Tangerang: Erlangga, 2008, cet. 5, h. 450. 4. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negative terhadap lingkungan hidup. Bentuk-bentuk penyelesaian lingkungan hidup diluar pengadilan ini menganut konsep Alternative Dispute Resolution ADR,yang dilakukan dalam wujud mediasi ataupun arbritasi. Pada bagian inilah peran Polri dapat masuk dan ikut serta menjadi seorang mediator dalam pelaksanaan mediasi. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini memang memperkenankan untuk hadirnya orang ketiga sebagai penengah dan bukan penentu kebijakan. Dalam kaitannya dengan kasus yang dilakukan oleh PT X, kasus- kasus berupa ”tidak mencapainya jumlah serapan” dan tidak memenuhi Koefisien Dasar Bangunan KDB, sebenarnya bisa diselesaikan oleh pihak oleh pihak-pihak terkait, seperti pihak perusahaan dengan masyarakat yang telah dirugikan. Dalam hal ini, tampaknya gugatan di luar pengadilan sebagaimana disampaikan di atas menjadi prioritas dari UU tersebut. Sehingga dalam suatu kasus yang terjadi di Perusahaan X harus terlebih dahulu diselesaikan tanpa pengadilan pidana. Dalam tahap ini penegakan hukum lingkungan sangat rentan terhadappenyelewengan-penyelewengan. Selain itu, keadaan seperti ini akan melahirkan pengabaian-pengabaian yang berkelanjutan. Tampaknya dalam hal yang telah kita baca bersama, penegakan hukum lingkungan di Indonesia sangat lemah. Bayangkan saja, ketika seseorang melakukan pelanggaran lingkungan, sanksi pertamanya ialah sanksi di luar pengadilan yang segalanya sangat dimungkinkan untuk melakukan kompromi-kompromi pihak terkait. Selain melalui diluar peradilan, penyelesaian kasus-kasus Amdal juga bisa dilakukan melalui peradilan diatur pada bagian kegita UU No 32 Tahun 2009 yang terdiri dari: 1. Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan 2. Tanggung Jawab Mutlak 3. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah 4. Hak Gugat Masyarakat 5. Hakgugat Organisasi Lingkungan Hidup 6. Gugatan Administratif Akan tetapi dibalik ini semua,UU No 32 Tahun 2009 mengenal apa yang dinamakan asas Ultimum Remedium, yakni mewajibkan penerapan penegakan hokum pidana sebagai upaya terakhir setelah penegakan hokum di luar peradilan yang dianggap tidak berhasil. Yang mana penerapan asas ini, hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran bakumutu air limbah, emisi, dan gangguan. Pelanggaran yang dilakukan oleh PT X ini dapat diselesaikan menggunakan Undang-Undang pidana sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang No 32 Tahun 2009. Permasalah itu berupa gangguan terhadap pelanggaran Koefisien Dasar Bangunan KDBkarena tidak memenuhi baku mutu Koefisien Dasar Bangunan KDB bangunan seharusnya 60 dari luas lahan. Tentu pelanggaran ini sangat berdampak terhadap lingkungan. Dampaknya berupa kerusakan lingkungan hidup yang tampak pada kurangnya ruang hijau dan kurangnya penyerapan air. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 Bab XV pasal 99, pelanggaran yang seperti ini mendapatkan hukuman berupa pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 3 tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 satu miliar rupiah dan paling banyak Rp 3.000.000.000 tiga miliar rupiah. Tampaknya hukuman-hukuman yang diterapkan pada pelanggaran- pelanggaran lingkungan ini sangat ringan. Cara penyelesaiannya bisa di luar pidana, jika tidak bisa maka harus melalui pengadilan, akan tetapi hukumannya tetap saja sangat ringan. Bahkan dalam kenyataan banyak pelanggaran-pelanggaran lingkungan yang dibiarkan begitu saja. Pihak yang berwenang tampak sangat cuek terhadap hal tersebut. Misalkan saja pada kasus PT X yang pelanggarannya sudah jelas dapat mengganggu stabilitas lingkungan, tetapi belum ada tindakan tegas dari yang berwenang. Padahal jika palanggaran demi pelanggaran yang ada dibiarkan, tentu akan berakibat fatal terhadap lingkungan tempat kita hidup. Hal ini yang akan mengakibatkan kerusakan alam yang sangat cepat karena ulah manusia sendiri yang tidak lagi rama terhadap lingkungan.