pegudangan dapat berupa limbah cair domestik dan sampah. Pengelolaan limbah akan dilaksanakan di WTP Kawasan.
Dari aspek iklim data unsur-unsur iklim diperoleh dari stasiun terdekat yaitu Balai Besar Meteorologi dan Geofisika wilayah II
– Stasiun Klimatologi Klas II Pondok Betung, Ciledug. Rekapitulasi data iklim dan curah hujan rata
– rata pada tahun 2000
– 2010 ada di tabel di bawah. Kabupaten Tangerang mempunyai iklim yang sama dengan wilayah
Indonesia pada umumnya yaitu iklim tropis. Setiap tahun terdapat musim hujan dan kemarau. Musim hujan umumnya berlangsung antara bulan Desember
sampai dengan bulan Mei, sedangkan musim kemarau antara bulan Juni sampai dengan bulan November.
Temperatur udara rata – rata relatif konstan yaitu berkisar antara
26,5
o
C – 29,1
o
C. Selama kurun waktu terakhir, rata – rata temperatur udara
tertinggi mencapai 29,1 C, sedangkan rata
– rata suhu udara terendah mencapai 26,5
o
C. Curah hujan rata – rata bulanan terbanyak terjadi pada bulan Februari
sebesar 686,3 mm dengan hari hujan 20 hari. Curah hujan rata – rata terendah
pada bulan September dan Oktober dengan tingkat kelembaban sebesar 65, sedangkan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan tingkat
kelembaban sebesar 86. Rekapitulasi Data Iklim dan Curah Hujan Rata
– rata 2000-2010
Bulan Suhu
C Curah
Hujan
mm Hari
Hujan
Penyinaran Matahari
Kelembaban
Januari 26,5
396,8 28
41 86
Februari 27,2
686,3 20
34 85
Maret 27,4
191,2 17
42 82
April 27,2
474,7 19
57 84
Mei 27,5
132,3 13
53 79
Juni 27,3
220,5 7
68 76
Juli 27,5
48 3
68 74
Agustus 27,3
6,4 1
81 69
September 28,0 0,2
1 89
65 Oktober
29,1 5
1 82
65 November 29,1
103,9 6
66 72
Desember 27,5 346
25 37
83 Sumber : Balai Besar Meteorologi dan Geofisika wilayah II
– Stasiun Klimatologi Klas II Curug, 2011.
Ada pun pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh PT. X ini ialah Koefisien Dasar Bangunan KDB. Dalam peraturan, KDB suatu
bangunan adalah 60 dari luas lahan.
9
Itu berarti luas lahan yang seharusnya dibangun oleh PT.X adalah 109.200 m
2
. Tetapi faktanya, besar lahan yang dibangun adalah sebesar 180.631 m
2
. Tentunya ruang terbuka hijau pasti tidak akan memadahi dan akan berdampak terhadap lingkungan.
Pelanggaran lain yang telah dilakukan oleh PT. X tersebut ialah pembuatan sumur serapan yang tidak sesuai dengan jumlah semestinya.
Kompleks industri itu dibangun di atas lahan 182.000 m
2
, dengan total lahan yang ditutupi bangunan sebesar 180.631 m
2
, dan total sumur serapan yang dibuat oleh perusahaan sebanyak 500 unit.
Padahal menurut hasil Amdal, pembangunan sebesar itu membutuhkan 903 unit. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang harus dilakukan oleh
perusahaan demi untuk menjaga debit air di permukaan tanah, sehingga tetap terjadi keseimbangan antara air dipermukaan tanah dengan penyerapan tanah.
9
Teguh Hambudi, Professional General Affair: Panduan Bagian Umum Perusahaan Modern Jakarta: visimedia, 2015, h. 187.
Selain itu, mengacu pada Keputusan Menteri LH Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pemanfaatan Air Hujan, setiap 50 m
2
bangunan harus dibuatkan sumur resapan 1 m
3
. Karena tanah yang ditutupi bangunan mencapai 180.631 m
2
, maka jika sumur serapan dibuat seharusnya 903 unit jika tiap sumur dibuat sebesar 4 m
3
. Kasus di atas tampak sebagai kasus yang sangat sederhana, bahkan
seakan tidak mengakibatkan apapun terhadap siapapun. Namun sebenarnya, kasus tersebut merupakan kasus besar yang akan berdampak pada kehidupan
kita pada masa yang akan datang. Kasus tersebut jelas-jelas mengabaikan sumur serapan sebanyak lebih dari 400 sumur serapan. Dalam setiap serapan
yang seharusnya dilakukan sebesar 4 m
3
, kita kalikan 400 serapan yang tidak dilaksanakan, maka totalnya penyerapan yang diabaikan ialah sebesar ialah
1604 m
3
. Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat besar. Hal ini akan mengakibatkan kelebihan air sebesar total serapan yang tidak terlaksana tadi.
Jika separuh masyarakat di Indonesia ini melakukan hal yang sama, maka dapat dipastikan bahwa, Indonesia akan tergenang oleh air.
47
BAB IV PENEGAKAN HUKUM AMDAL DI INDONESIA
A. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Kasus Amdal
Dalam rangka mengupayakan kelestarian kemampuan lingkungan, Amdal bertujuan untuk tetap menjaga agar keadaan lingkungan tetap berada
pada suatu mutu tertentu demi terjaminnya kesinambungan pembangunan. Peranan instansi yang berwenang memberikan keputusan tentang proses
analisis mengenai dampak lingkungan sudah jelas sangat penting. Dalam hal ini, yang sangat menentukan terhadap mutu lingkungan ialah keputusan yang
diambil dalam proses admintistrasi yang ditempuh pemrakarsa, karena Amdal berfungsi sebagai instrumen pencegahan pencemaran lingkungan.
1
Pada saat berlakunya PP No. 29 Tahun 1986, pemerintah bermaksud memberikan waktu yang cukup memadai yaitu selama satu tahun untuk
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan efektifitas berlakunya PP tersebut. Hal ini erat hubungannya dengan persiapan tenaga
ahli penyusun Amdal. Di samping itu diperlukan pula waktu untuk pembentukan Komisi Pusat dan Komisi Daerah yang merupakan persyaratan
esensial bagi pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 tersebut. PP 29 Tahun 1986 kemudian dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang diberlakukan pada tanggal 23 Oktober 1993. Perbedaan utama antara PP tahun 1986 dengan PP
tahun 1993 adalah ditiadakannya dokumen penyajian informasi lingkungan PIL dan dipersingkatnya tenggang waktu prosedur tata laksana AMDAL
dalam PP yang baru. PIL berfungsi sebagai filter untuk menentukan apakah
1
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h. 127.
rencana kegiatan dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan atau tidak.
Amdal, karena instrumen pengelolaannya bersifat preventif, harus dibuat pada tahap paling dini dalam perencanaan kegiatan pembangunan.
Dengan kata lain, proses penyusunan dan pengesahan Amdal harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini proyek-
proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain, studi Amdal juga dapat memberi masukan bagi upaya-upaya untuk
meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.
2
Hanya saja, dalam praktiknya banyak pembangunan oleh perusahaan yang tidak memenuhi Amdal sebagaimana seharusnya. Itu artinya
pembangunan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan itu, tidak mempertimbangkan dampak pembangunannya terhadap lingkungan disekitar.
Ada beberapa hal yang menyebabkan pembangunan tersebut tidak memenuhi standart Amdal yang benar. Di antaranya ialah lalainya perusahaan dalam
melaksanakan Amdal yang sudah dirumuskan oleh tim penyusun analisis Amdal.
Hal ini bisa dilihat dari kasus pelanggaran Amdal oleh PT X dalam pembangunan kompleks industri dan pergudangan di Desa Sentul Jaya,
Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang. Dalam pembangunannya yang melanggaran baku mutu pembuatan penyerapan dan pengabaian KJB
sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya.
2
http:www.freewebs.commastomi. TomiHendartomo,
PermasalahandanKendalaPenerapan AMDAL dalamPengelolaanLingkungan.
Kalau dilihat dari tujuannya, Amdal ketika pertama kali dikeluarkan merupakan sebuah kebijakan yang merupakan bagian kegiatan studi
kelayakan rencana usaha danatau kegiatan. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan
wilayah, agar pembangunan tersebut dapat memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan setempat.Sebagaimanadijelaskanpada PP Amdal 1999.
3
Selain perusahaan tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan dalam Amdal, ada juga sebab lain yang mengakibatkan
pembangunan tersebut tidak memperhatikandampak terhadap lingkungan. Hal tersebut ialah minimnya pengetahuan dari pemerintah dan rakyat dalam
memahami Amdal, menjadikan pemrakarsa dan konsultan menggunakan Amdal sebagai sebuah dokumen asal jadi, dan kecenderungan mengutip
dokumen Amdal lainnya sangat tinggi. Sehingga Amdal tidak dapat menjadi sebuah acuan kelayakan sebuah kegiatan berjalan.
Dalam proses penyusunan dokumen Amdal, sangat sering ditemui konsultan tim penyusun Amdal meninggalkan berbagai prinsip dalam
Amdal. Terutama posisi rakyat dalam proses penyusunan dokumen Amdal. Proses keterbukaan informasi dijamin oleh kebijakan, di mana Pasal 33 PP
No. 271999 menegaskan kewajiban pemrakarsa untuk mengumumkan kepada publik dan saran, pendapat, masukan publik wajib untuk dikaji dan
dipertimbangkan dalam Amdal. Dan Pasal 34 menegaskan bagi kelompok rakyat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan
kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan
3
Suparto Wijoyo, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu Surbaya: Airlangga University Press, 2005, h. 353.
hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
Akan tetapi dalam praktiknya tidak sulit ditemui suatu perusahaan tetapikurang melibatkan masyarakat dalam pembangunannya. Sebagaimana
terjadi pada kasus pembangunankompleksindustridangudang oleh PT X, bahwa pelibatan masyarakat
hanya bertujuan untuk memuluskan pembangunan pabriktersebut. Jadi pelibatan masyarakat oleh perusahaan
lebih merupakan suatu pendekatan politik bisnis yang lebih banyak mempertimbangkan kepentingan peruhaan daripada kepentingan masyarakat.
Padahal dalam kaitannya dengan pembangunan tersebut, masyarakat harus benar-benar dilibatkan dan mempunyai peran yang nyata dalam berbagai hal,
karena memang masyarakat yang menerima akibat langsung dari pembangunan tersebut.
4
Itu artinya, masih banyak hal yang ditutupi oleh perusahaan, demi lebih lancarnya proses pembangunan tersebut.
Oleh karena itu, keterbukaan dan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan khusunya izin lingkungan perlu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Peran serta masyarakat oleh seorang kelompok orang
organisasi lingkungan hidup atau badan hukum merupakan konsekuensi dari “hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 5 ayat 1 UUPLH.
5
4
Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional dalam Perspektif Budaya Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, h. 98.
5
Siti Sundari Rangkuti, Keterbukaan dan Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Majalah OzonVol 3 No.5, Januari 2002.