Konsumsi Energi dan Protein

kurang baik air bersih kurang, sanitasi kurang dan higienis makanan kurang, pelayanan kesehatan kurang serta infeksi parasit.

2.5.1. Konsumsi Energi dan Protein

Energi merupakan kebutuhan utama setiap manusia, karena jika kebutuhan energi tidak terpenuhi sesuai yang dibutuhkan tubuh, maka kebutuhan zat gizi lain juga tidak terpenuhi seperti protein, vitamin dan mineral termasuk diantaranya adalah zat besi. Fungsi zat besi sebagai pembentuk sel darah merah akan menurun yang pada akhirnya dapat menyebabkan menurunnya kadar haemoglobin darah. Transportasi zat besi di mukosa sel dan didalam darah sangat membutuhkan mekanisme protein yang spesifik sebagai carrier. Protein ini disebut transferrin yang disintesa di hati. Transferrin akan membawa zat besi dalam darah yang akan digunakan pada sintesa haemoglobin Mahan, 1992. Demikian juga Fairbank 1999 mengemukakan bahwa di dalam darah dan cairan tubuh, besi ditransportasikan oleh protein yang di sebut transferrin. Asupan protein yang kurang akan menyebabkan gangguan pada sintesa transferrin sehingga kadar transferrin zat besi dalam darah akan menurun. Apabilla kadar transferrin dalam darah menurun maka transportasi zat besi tidak dapat berjalan dengan baik dan pada akhirnya kadar haemoglobin dalam darah juga menurun. Haemoglobin berfungsi mengangkut oksigen ke sel-sel yang membutuhkan seperti metabolisme glukosa, lemak dan protein menjadi energi. Secara teoritis kekurangan satu zat gizi sering diikuti dengan kekurangan zat gizi lainnya. Begitu pula dengan penyerapan dan metabolisme zat gizi saling terkait Universitas Sumatera Utara antara satu zat gizi dengan zat gizi lainnya. Pada penderita Kurang Energi Protein KEP terjadi pengurangan massa sel dan kebutuhan oksigen berkurang. Anemia pada KEP mungkin merupakan komplikasi dari defisiensi besi dan nutrien lain dan ini berhubungan dengan infeksi, infestasi parasit dan malabsorbsi Krause dan Mahan, 1984. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan 1990, antara kejadian anemia dengan infeksi dan pola konsumsi pada anak Sekolah Dasar di Sumatera Utara dimana ditemukan bahwa diantara anak-anak yang terinfeksi ternyata prevalensi anemia juga tinggi serta makin tinggi konsumsi protein terutama protein hewani maka frekuensi anemia semakin menurun. Penelitian yang dilakukan oleh Farida 2006, terhadap remaja putri di Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus didapatkan bahwa ada hubungan tingkat konsumsi protein dengan kejadian anemia Pendapat lain tentang adanya hubungan antara kalori, protein dan kejadian anemia juga ditemukan oleh Mejia 1988, yang mengatakan bahwa kurang gizi terutama kurang kalori protein KKP dapat menyebabkan anemia karena transport besi dan sintesis protein pembawa besi terganggu. Demikian juga pendapat Mc.Laren 1989, bahwa kekurangan energi maupun protein juga dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Penyakit infeksi yang sering menyertai pada penderita kurang gizi adalah saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Terjadinya infeksi saluran pencernaan akan mengganggu absorbsi zat gizi termasuk zat besi dan apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Universitas Sumatera Utara Khumaidi 1989 menyatakan bahwa salah satu ukuran kuantitas konsumsi pangan adalah konsumsi energi dan protein. Pada umumnya jika konsumsi energi dan protein terpenuhi dan beragam jenis pangan, maka kecukupan zat gizi lainnya dapat terpenuhi. 2.5.2. Konsumsi Zat Besi Zat besi Fe merupakan mikro elemen yang essensial bagi tubuh. Zat tersebut terutama diperlukan dalam pembentukan darah yaitu dalam sintesa haemoglobin. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro dan bentuk inaktifnya adalah ferri bentuk simpanan Fe. Zat besi lebih mudah diserap dari usus halus dalam bentuk ferro dan penyerapan tersebut mempunyai mekanisme autoregulasi yang diatur oleh feritin yang terdapat dalam sel-sel mukosa usus. Dalam mekanisme absorbsi dikenal dua macam zat besi dalam makanan yaitu besi heme dan non heme Husaini, 1989. Besi heme berasal dari haemoglobin dan mioglobin heme. Besi heme hanya terdapat dalam makanan hewani seperti daging dari semua jenis, hati dan organ yang lain, ikan, seafood, ayam, telur dal lain-lain. Hati dan daging merupakan bahan makanan yang paling banyak mengandung besi. Di dalam tubuh terdapat dalam bentuk tidak saja mempunyai nilai biologis besi yang tinggi, tetapi juga mengandung protein yang dapat mendorong penyerapan besi non heme Husaini, 1989. Derajat penyerapan zat besi heme hampir tidak dipengaruhi oleh susunan menu atau diet makanan dan hanya sedikit dipengaruhi oleh status besi orang yang mengkonsumsinya FAOWHO dalam Husaini, 1989. Berbeda dengan besi heme, Universitas Sumatera Utara zat besi non heme penyerapannya sangat kecil, tergantung status besi seseorang. Sumber utama besi non heme adalah serealia, sayuran, kacang-kacangan, buncis dan buah-buahan. Banyaknya zat besi yang ada dalam makanan yang kita makan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh kita tergantung pada tingkat absorbsinya. Diperkirakan hanya 5-15 besi makanan di absorbsi oleh orang dewasa yang berada dalam status gizi baik. Dalam keadaan defisiensi zat besi absorbsi dapat mencapai 50. Penyerapan zat besi di dalam usus yang kurang baik terganggu juga merupakan penyebab terjadinya anemia Mary, 2000. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan terjadinya anemia karena pembentukan sel-sel darah merah dan fungsi lain dalam tubuh terganggu. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya anemia maka perlu adanya keseimbangan antara kebutuhan tubuh dengan masukan zat besi yang berasal dari makanan. Tetapi menu makanan yang banyak mengandung zat besi belum menjamin ketersediaan zat besi yang memadai karena jumlah zat besi yang diabsorbsi sangat dipengaruhi oleh jenis makanan sumber zat besi dan ada atau tidaknya zat penghambat maupun peningkat absorbsi besi dalam makanan Muhilal, 1993. Penelitian yang dilakukan oleh Hayatinur 2001, pada siswi SMUN 2 Kuningan didapatkan bahwa ada hubungan antara tingkat konsumsi Fe dengan kejadian anemia. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Adriani 2002, Farida 2006 yang menunjukkan bahwa ada hubungan konsumsi besi dengan kadar haemoglobin atau anemia. Universitas Sumatera Utara Dengan kurangnya zat besi yang dapat dipenuhi dari intake makanan karena kebiasaan makanminum yang kurang baik banyak mengkonsumsi zat penghambat dan kurang mengkonsumsi zat peningkat absorbsi besi, sementara kebutuhan zat besi yang cukup tinggi terutama wanita maka keseimbangan zat besi dalam tubuh akan terganggu yang pada akhirnya dapat memberikan dampak negatif yaitu terjadinya anemia gizi besi. 2.5.3. Konsumsi Vitamin C Anemia gizi di Indonesia selain disebabkan oleh konsumsi energi, besi juga disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin C. Pola konsumsi masyarakat pada umumnya merupakan pola menu dengan bioavailabilitas besi yang rendah, karena hanya terdiri dari nasi dan umbi-umbian dengan kacang-kacangan dan sedikit jarang sekali daging, ayam atau ikan, serta sedikit makanan yang mengandung vitamin C Yip dan Mehra, 1995. Penelitian yang dilakukan Mulyawati 2003, menunjukkan pemberian Tablet Tambah Darah TTD ditambah 100 mg vitamin C dapat meningkatkan kadar Hb lebih tinggi dibandingkan dengan hanya pemberian TTD saja. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan besi, hal ini disebabkan karena faktor reduksi dari vitamin C. Besi diangkut melalui dinding usus dalam senyawa dengan asam amino atau vitamin C Linder, 1992. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Adriani 2002, terhadap remaja putri pada pondok pasantren Tahsinul Akhlak Bahrul Ulum di Surabaya di peroleh bahwa ada hubungan tingkat konsumsi vitamin C dengan anemia gizi. Universitas Sumatera Utara Penelitian lain yang dilakukan oleh Farida 2006, Hayatinur 2001 juga mendapatkan bahwa ada hubungan vitamin C dengan kejadian anemia. Vitamin C mempunyai sifat sebagai agen pereduksi dimana dapat mereduksi zat besi dari bentuk ferri menjadi ferro sehingga memudahkan untuk diabsorbsi. Vitamin C dapat membantu tranfer zat besi dari darah kedalam bentuk ferritin untuk disimpan di hati dan membantu memproduksi beberapa enzim yang berisi besi. Absorbsi zat non heme meningkat sebanyak 4 kali bila terdapat 25 sampai 75 mg vitamin C Guthrie, 1989. Menurut Muhilal 1983 hidangan yang berasal dari bahan hewani dan vitamin C-nya rendah termasuk hidangan yang bioavilabilitas zat besinya rendah. Diperkirakan banyaknya zat besi yang dapat diserap sekitar 2-5. Hidangan yang protein hewani sedang 30-90 gr dan vitamin C-nya sedang 25-75 mg banyaknya zat besi yang diserap sekitar 3-10. Sedangkan hidangan dengan protein hewani cukup tinggi 90 gr dan vitamin C-nya cukup tinggi 75 mg banyaknya zat besi yang diserap sekitar 4-20. Contoh makanan sehari dengan kandungan energi 2500 kalori, 90 gr protein, 120 mg vitamin C dan 16,4 mg besi 1,7 besi heme dan 14,7 mg besi non heme banyaknya zat besi yang dapat diserap sekitar 1,5 mg. Besi di dalam bahan makanan dapat berbentuk heme yang berikatan dengan protein dan terdapat dalam bahan makanan yang berasal dari hewani. Lebih dari 35 heme ini dapat di absorbsi langsung. Bentuk lain adalah non heme yaitu senyawa besi anorganik kompleks dan terdapat didalam bahan makanan nabati hanya dapat diabsorbsi sebanyak 5. Besi non heme absorbsinya dapat ditingkatkan apabila Universitas Sumatera Utara terdapat kadar vitamin C yang cukup. Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi besi non heme sampai empat kali lipat Husaini dkk, 1989. Menurut Husaini dan Karyadi 1980, kadar Hb darah umumnya berhubungan dengan konsumsi protein, Fe dan vitamin C. Tetapi yang paling berpengaruh adalah Fe, sebab Fe merupakan faktor utama pembentuk haemoglobin Hb. Sedangkan peran vitamin C dan protein adalah membantu penyerapan dan pengangkutan besi di dalam usus.

2.5.4. Faktor Penghambat Absorpsi Besi