4 menggelembung, duri semakin berkurang, dan pelepah daun menjadi lebih bersih
dan licin dibandingkan dengan pohon yang masih muda. Apabila pohon sagu yang telah mencapai umur siap tebang tersebut tidak ditebang, maka semua daun akan
mati  sehingga  pohon  menjadi  gundul  dan  kemudian  membusuk.  Selang  waktu pohon sagu berubah sampai busuk lebih kurang satu tahun Soekarto dan Wijandi,
1983. Menurut  Rumalatu  1981,  batang  sagu  merupakan  bagian  yang
terpenting,  karena  merupakan  gudang  pati  atau  karbohidrat  yang  lingkup pemanfaatannya dalam industri sangat luas. Batang sagu terdiri atas lapisan kulit
bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat- serat  dan  pati.  Selama  pertumbuhan,  sagu  menyimpan  pati  dalam  batangnya,
sehingga  apabila  berat  batang  sagu  semakin  bertambah  sesuai  dengan pertambahan  tinggi  dan  diameternya,  kandungan  patinya  pun  bertambah.  Berat
kulit batang sagu sekitar 17-25 dari batang, sedangkan berat empulurnya sekitar 75-83.  Perbandingan  antara  berat  kulit  dan  empulur  selama  pertumbuhan  sagu
relatif tetap. Pada umur 3-5 tahun, empulur batang belum banyak mengakumulasi pati,  akan  tetapi  pada  umur  11  tahun  ke  atas,  empulur  sagu  mengandung  pati
sekitar  15-20.  Penumpukan  karbohidrat  sebagai  hasil  proses  fotosintesis mencapai  tingkat  maksimal  dalam  semua  jaringan  batang  sagu  mencapai  umur
dewasa sampai panen, sehingga pada tingkat umur ini empulur mengandung pati tinggi.
2. Pati sagu
Sagu  merupakan  tanaman  asli  Asia  Tenggara.  Penyebarannya  meliputi Melanesia Barat sampai India Timur dan dari Mindanao Utara sampai Pulau Jawa
dan Nusa Tenggara bagian selatan. Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di  daerah  dataran  atau  rawa  dengan  sumber  air  yang  melimpah.  Menurut  Oates
dan Hicks 2002, tanaman sagu masih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.250 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 4.500 mmtahun.
Sekitar  50    tanaman  sagu  dunia  atau  1.128  juta  hektar  tumbuh  di Indonesia  Flach,  1983,  dan  90    dari  jumlah  tersebut  atau  1.015  juta  hektar
berkembang  di  Provinsi  Papua  dan  Maluku  Lakuy  dan  Limbongan,  2003.
5 Menurut  statistik  perkebunan  tahun  2000,  potensi  produksi  tepung  sagu  yang
dapat dihasilkan dari luasan tersebut adalah 6,50 juta ton. Sekitar  40    dari  jumlah  tegakan  sagu  di  Papua  seluas  300.000  hektar
merupakan  tanaman  produktif    yang  siap  panen,  sehingga  potensi  ini  dapat dimanfaatkan  sebagai  sumber  cadangan  pangan  pada  masa  yang  akan  datang
Tenda,  2004.  Areal  sagu  tersebut  tersebar  di  Merauke,  Timika,  Fakfak, Manokwari,  Biak  Numfor,  Sorong,  Yapen,  Waropen,  dan  Jayapura.  Dari  jumlah
tersebut, baru dimanfaatkan sekitar 0,34  Kertopermono, 1996. Konsumsi  sagu  di  Papua  tahun  2004  mencapai  50,18  kgkapitatahun,
lebih  rendah  dibanding  bahan  pangan  lainnya  yaitu  padi  dan  ubi-ubian  yang masing-masing 130 kg dan 75,30 kgkapitatahun Badan Pusat Statistik Provinsi
Papua,  2004.  Produksi  sagu  pada  tahun  2004  sekitar  7.140  tontahun,  dengan harga tepung sagu mencapai Rp 13.500kg atau hampir dua kali lipat harga tepung
ubi atau beras. Potensi produksi sagu yang besar dengan harga yang cukup tinggi dapat menjadikan sagu sebagai komoditas andalan di masa yang akan datang.
Tanaman  sagu  di  Papua  memiliki  keragaman  genetik  yang  sangat  tinggi Barahima et al., 2001. Kesimpulan ini diperkuat oleh Mangindaan dan Tampake
2005 yang menyatakan bahwa Papua merupakan sentra keragaman genetik sagu terbesar di dunia sehingga tanaman sagu di daerah ini perlu diamankan dari erosi
genetik serta pelarian genetik ke luar negeri. Widjono  et  al.  2000  telah  mengidentifikasi  60  jenis  sagu  Papua  yang
tumbuh di daerah Jayapura, Manokwari, Merauke, dan Sorong. Selanjutnya, hasil penelitian  Universitas  Papua  2001  menemukan  22  jenis  sagu  di  Biak  dan
Supriori,  sedangkan  Miftahorrachman  dan  Novarianto  2003  menemukan 20  aksesi  sagu  di  Sentani.  Makin  beragamnya  pemanfaatan  sagu  dan  makin
meningkatnya  permintaan  tepung  sagu  menyebabkan  terjadinya  eksploitasi tanaman  secara  besar-besaran  tanpa  adanya  upaya  untuk  merehabilitasinya
Mangindaan dan Tampake, 2005. Pati  sagu  diperoleh  dari  empulur  batang  sagu  dengan  cara  mengekstrak
pati dengan bantuan air sebagai perantara. Tahap-tahap ekstraksi pati sagu adalah sebagai berikut: empulur batang sagu diparut, ditambah air dan diremas-remas di
atas ayakan sehingga pati dan ampasnya serat terpisah. Kemudian suspensi pati
6 dialirkan  ke  bak  pengendapan  dan  dibiarkan  beberapa  saat  sehingga  pati  sagu
mengendap.  Pati  sagu  tersebut  selanjutnya  dikeringkan  dengan  cara  penjemuran. Rendemen  pati  sagu  yang  dihasilkan  rata-rata  20,2  dengan  kisaran  antara
15-30.  Sedangkan  jumlah  pati  yang  dihasilkan  tiap  pohonnya  rata-rata 150 kg dengan kisaran antara 90-325 kg Flach, 1983 Komponen yang dominan
dalam  tepung  sagu  adalah  pati  karbohidrat.  Pati  adalah  karbohidrat  yang dihasilkan  oleh  tumbuhan  untuk  persediaaan  bahan  makanan.  Komposisi  kimia
dalam setiap 100 g tepung sagu dari berbagai penulis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu untuk setiap 100 gram
Komponen Penyusun
Jumlah Kandungan gram Brautlecht
1953 Radley
1976 Kainuma
1977 Ruddle
1976 Dit.Giz
1979 Lie
1980
Air -
12-18 10,2
27 14
13,0 Karbohidrat
- -
82,71 71
84,7 85,7
Protein 0,13
0,1-1,0 0,31
0,2 0,7
1,4 Lemak
0,1 0,1-0,3
0,25 Sedikit
0,2 0,2
Serat kasar 0,16
0,1-0,3 1,35
0,3 -
0,2 Abu
- 0,1-0,8
0,18 -
- 0,4
Fosfor -
- -
- 0,013
- Besi
- -
- 7 x 10
-4
1,5 x 10
-3
- Kalsium
- -
- 0,03
0,011 -
Sumber : Broutlecht 1953, Radley 1976, Kainuma 1977, Ruddle 1976, Dit.Giz 1976, Lie 1980
Pati  sagu  dalam  bentuk  aslinya  merupakan  butiran  atau  granula  yang berwarna  putih  mengkilat,  tidak  berbau,  dan  tidak  berasa  Broutlecht,  1953.
Granula  pati  mempunyai  bentuk  dan  ukuran  beraneka  ragam,  tetapi  pada umumnya berbentuk ellips. Pati sagu berbentuk ellips prolate ellipsoidal, mirip
pati kentang dengan ukuran 5-80 mm dan relatif lebih besar daripada pati serealia Wirakartakusumah et al., 1986. Menurut Wilton dan Wilton 1947, hillum pati
sagu tidak terpusat, berada pada ujung  yang bulat dan terdapat cincin  yang tidak seragam pada granula pati tersebut.
Pada  dasarnya  pati  merupakan  homopolimer  glukosa  dengan  ikatan α
-1,4 glukosa. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai  karbonnya.  Pati  terdiri  atas  dua  fraksi  yang  dapat  dipisahkan  dengan  air
panas.  Fraksi  yang  larut  dalam  air  disebut  amilosa  dan  fraksi  yang  tidak  larut
7 disebut  amilopektin  Gambar  2.  Perbandingan  jumlah  amilosa  dan  amilopektin
berbeda-beda  dalam  setiap  jenis  pati.  Pada  Tabel  2  disajikan  bentuk  granula ukuran, dan suhu gelatinisasi dari berbagai pati.
Tabel 2. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lainnya.
Jenis Pati
Bentuk Granula
Ukuran Granula
µm Kandungan
Range Suhu
Gelatinisasi
o
C Amilosa
Amilopekrin
Sagu Ellips
20-60 27
73 60-72
Beras Poligonal
3-8 17
89 61-78
Jagung Poligonal
5-25 26
74 62-74
Kentang Bundar
15-100 24
76 56-69
Tapioka Oval
5-35 17
83 52-64
Gandum Ellips
2-35 25
75 52-64
Ubi Jalar Poligonal
16-25 18
82 58-74
Sumber : Knight 1989
Pati sagu mengandung sekitar 27 amilosa dan sekitar 73 amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati. Apabila kadar
amilosa  tinggi  maka  pati  bersifat  kering,  kurang  lekat  dan  menyerap  air  lebih banyak  Wirakartakusumah  et  al.,  1986.  Menurut  Pomeranz  1973,  amilosa
adalah  homopolimer  lurus  dari  D-glukosa  yang  dihubungkan  oleh  ikatan α
-1,4 dengan struktur cincin piranosa. Panjang rantai amilosa bervariasi menurut jenis patinya dan umumnya berkisar antara 500 sampai 600 unit glukosa, dengan
berat  molekul  sekitar  100.000.  Sedangkan  amilopektin  merupakan  molekul polisakarida  dengan  rantai  bercabang.  Ikatan  pada  rantai  utamanya  adalah
α -1,4  sedangkan  ikatan  pada  cabangnya  adalah  α-1,6.  Titik  cabang  amilopektin
terdapat  pada  interval  30-50  glukosa.  Berat  molekul  amilopektin  lebih  dari  satu juta.  Menurut  Haryanto  dan  Pangloli  1991,  jumlah  unit  glukosa  yang  berada
dalam  amilosa  berkisar  500-1000  unit  sebanding  dengan  berat  molekul  antara 80.000-240.000,  sedangkan  glukosa  yang  berada  dalam  amilopektin  mencapai
jumlah  yang  lebih  besar,  yaitu  antara  5000-40.000  unit  sebanding  dengan  berat molekul 800.000 sampai jutaan.
Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila suspensi pati dipanaskan akan terjadi  gelatinisasi  setelah  mencapai  suhu  tertentu  suhu  gelatinisasi.  Hal  ini
disebabkan  oleh  energi  kinetik  molekul-molekul  air  menjadi  lebih  kuat  daripada
8 gaya tarik menarik antara molekul pati dalam  granula, sehingga air dapat masuk
ke  dalam  pati  tersebut  dan  pati  akan  membengkakmengembang.  Granula  pati dapat  membengkak  luar  biasa  dan  pecah  sehingga  tidak  dapat  kembali  pada
kondisi  semula.  Perubahan  sifat  inilah  yang  disebut  gelatinisasi.  Suhu  pada  saat butir pati pecah disebut suhu gelatisisasi Winarno, 1991.
Winarno  1991  menyatakan  bahwa  terjadinya  peningkatan  viskositas selama  gelatisisasi  disebabkan  oleh  air  yang  sebelumnya  berada  di  luar  granula
dan  bebas  bergerak  sebelum  suspensi  dipanaskan,  kini  sebagian  sudah  berada dalam  butir-butir  pati  dan  tidak  dapat  bergerak  bebas  lagi  karena  terikat  gugus
hidroksil  dalam  molekul  pati.  Apabila  suhu  dinaikkan,  maka  viskositas  pastagel berkurang. Pasta pati yang telah mengalami gelatisisasi terdiri atas butir-butir pati
yang  membengkak  tersuspensi  dalam  air  panas  dan  molekul-molekul  amilosa yang terdispersi dalam air.
Suhu  gelatinisasi  tergantung  pada  konsentrasi  suspensi  pati,  semakin tinggi  konsentrasi  larutan  suspensi  pati,  maka  suhu  gelatinisasi  makin  lambat
tercapai.  Selain  itu  suhu  gelatinisasi  tiap  jenis  pati  berbeda-beda,  antara 52
C-78 C.  Menurut  Knight  1989,  suhu  gelatisisasi  pati  sagu  berkisar  antara
60 C-72
C, tetapi menurut Wirakartakusumah et al. 1986 sekitar 72 C-90
C. Kawabata  et  al.  1984  menyatakan  bahwa  bentuk,  struktur,  ukuran
granula,  komposisi  kimia  dan  sifat-sifat  lain  dari  pati  sagu  harus  diketahui  agar perubahan-perubahan  yang terjadi selama proses pengolahan diketahui,  misalnya
dalam  perlakuan  pemanasan.  Untuk  mengetahui  sifat-sifat  pati  sagu,  maka  akan diuraikan  ciri-ciri  pati  sagu.  Sifat  pertama  adalah  kandungan  amilosa  dan  daya
ikat  yodium  pati  sagu.  Tabel  3  menunjukkan  bahwa  kadar  amilosa  sagu  sekitar 21,7 . Adanya amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi daya larut pati dan
suhu gelatinisasi. Bila kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat,  dan  kecenderungan  higroskopis  lebih  kuat.  Sifat  kedua  adalah  kandungan
bahan anorganik mineral, seperti halnya bahan-bahan  yang lain, pada pati sagu juga  mengandung  bahan-bahan  anorganik  yang  dipengaruhi  oleh  lingkungan
tempat  sagu  tersebut  berasaltumbuh.  Bahan-bahan  anorganik  yang  diamati  oleh Kawabata et al., 1984 meliputi kadar abu, fosfor, natrium, kalium, kalsium, dan
magnesium.  Kandungan  bahan  anorganik  secara  rinci  dapat  dilihat  pada
9 Tabel 3. Sifat ketiga adalah sebaran ukuran pati, ukuran granula pati sagu berkisar
antara 16,0-25,4 µm.
Tabel 3. Kandungan air, amilosa, dan  bahan anorganik pada pati sagu
Komponen Jumlah Kandungan
Kadar air 16,63
Kadar amilosa 21,70
Daya ikat yodium 12 mg100 g 4,23
Abu mg100 g bahan kering 157,00
Fosfor mg100 g bahan kering 12,70
Natrium mg100 g bahan kering 43,00
Kalium mg100 g bahan kering 12,00
Kalsium mg100 g bahan kering 6,00
Magnesium  mg100  g  bahan kering
1,50
Sumber : Kawabata et al. 1984
B.  PATI RESISTEN
Pati  resisten  Resistant  starch  atau  RS  pati  juga  mengalami  fermentasi oleh  mikroflora  pada  dinding  kolon,  menghasilkan  asam  lemak  rantai  pendek
short  chain  fatty  acid  atau  SCFA.  Profil  SCFA  yang  diperoleh  dari  RS  lebih banyak  mengandung  butirat  dan  lebih  sedikit  mengandung  asetat  dibandingkan
serat pangan konvensional. Dengan sifat-sifat yang dimilikinya, RS dikategorikan sebagai bagian dari serat pangan.
Pati resisten mempunyai efek  fisiologis  yang bermanfaat bagi kesehatan seperti  pencegahan  kanker  kolon,  mempunyai  efek  hipoglikemik  menurunkan
kadar  gula  darah  setelah  makan,  berperan  sebagai  prebiotik,  mengurangi  risiko pembentukan  batu  empedu,  mempunyai  efek  hipokolesterolemik,  menghambat
akumulasi  lemak,  dan  meningkatkan  absorpsi  mineral  Sajilata  et  al.,  2006. Penggantian  5.4    total  karbohidrat  dalam  diet  dengan  pati  resisten  juga
mengindikasikan  peningkatan  oksidasi  lipida  setelah  makan  sehingga  dapat menurunkan akumulasi lemak dalam jangka panjang Higgins et al., 2004.
Tipe pertama RS I terdiri atas pati yang secara fisik  terperangkap dalam sel-sel  tanaman  dan  matriks  bahan  pangan,  contohnya  padi  yang  digiling  kasar.
Jumlah  RS  I  dipengaruhi  oleh  proses  pengolahan  dan  dapat  dikurangi  atau dihilangkan  dengan  penggilingan.  RS  tipe  kedua  RS  II  terdiri  atas  granula  pati
10 yang  secara  alami  sangat  resisten  terhadap  pencernaan  oleh  enzim  α-amilase,
misalnya pada pisang mentah dan pati jagung tinggi amilosa. RS tipe ketiga RS III  terdiri  atas  pati  teretrogradasi  yang  terbentuk  saat  bahan  pangan  yang
mengandung pati dimasak dan didinginkan. RS tipe keempat RS IV terdiri atas pati  yang  dimodifikasi  secara  kimia,  dimana  modifikasi  tersebut  mempengaruhi
aktivitas  amilolitik  dari  enzim-enzim  pencernaan  Leu  et  al.,  2003.  Contoh RS IV adalah pati yang dimodifikasi secara eterifikasi, esterifikasi, dan cross link
ikatan silang Bird et al., 2000.
C. DAYA CERNA PATI
Daya  cerna  pati  adalah  kemampuan  enzim  pemecah  pati  dalam menghidrolisis  pati  menjadi  unit-unit  yang  lebih  kecil.  Dalam  metode  ini,  pati
dihidrolisis  oleh  enzim  alpha-amilase,  jumlah  maltosa  diukur  menggunakan spektrofotometer  setelah  direaksikan  dengan  asam  dinitrosalisilat  melalui  kurva
standar maltosa. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai presentase terhadap pati murni.  Pengukuran  daya  cerna  pati  dapat  dilakukan  secara  in  vitro  dengan
menggunakan  berbagai  macam  enzim  pada  kondisi  tertentu  seperti  pH,  buffer, waktu inkubasi, dan suhu. Setelah hidrolisis, junlah  gula  yang berhasil direduksi
merupakan hasil dari daya cerna pati Tharanthan dan Mahadevamma, 2003. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam
air  panas  atau  hangat.  Pengembangan  granula  pati  tersebut  bersifat  bolak-balik reversible  jika  tidak  melewati  suhu  gelatinisasi  dan  akan  menjadi  tidak  bolak-
balik irreversible jika telah mencapai suhu gelatinisasi Greenwood dan Munro, 1979.  Meyer  1982  menyatakan  bahwa  pengembangan  granula  pati  dalam  air
dingin dapat mencapai 25-30  dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi terbentuk suspensi. Pengembangan granula
pati  ini  disebabkan  oleh  molekul-molekul  air  berpenetrasi  masuk  ke  dalam granula  dan  terperangkap  pada  susunan  molekul-molekul  amilosa  dan
amilopektin. Dengan naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula  semakin  besar.  Mekanisme  pengembangan  tersebut  disebabkan  oleh
molekul-molekul  amilosa  dan  amilopektin  secara  fisik  hanya  dipertahankan  oleh
11 ikatan-ikatan  hidrogen  yang  lemah.  Atom  hidrogen  dari  gugus  hidroksil  akan
tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Dengan  naiknya  suhu  suspensi,  maka  ikatan  hidrogen  tersebut  makin
melemah. Di sisi lain, molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi  sehingga  dengan  mudah  berpenetrasi    ke  dalam  granula,  tetapi  ikatan
hidrogen  antar  molekul  air  makin  melemah.  Akhirnya  jika  suhu  suspensi menurun,  air  akan  terikat  secara  simultan  dalam  sistem  amilosa  dan  amilopektin
sehingga  menghasilkan  ukuran  granula  makin  besar  Meyer,  1982.  Jika  suhu suspensi tetap naik, granula pati akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan
keluar  terlepas  dari  granula  masuk  ke  dalam  sistem  larutan.  Kejadian  ini  akan menyebabkan  terjadinya  perubahan  kekentalan  Hodge  dan  Osman,  1976.  Pati
memegang  peranan  penting  dalam  pangan,  terutama  dalam  hal  menyediakan kebutuhan  energi  manusia  di  dunia  dengan  porsi  yang  tinggi.  Lebih  dari
80    tanaman  pangan  terdiri  atas  biji-bijian  atau  umbi-umbian  dan  tanaman sumber pati lainnya Hodge dan Osman, 1976
D.   MODIFIKASI PATI DENGAN METODE HMT
Setiap jenis pati memiliki karakteristik dan sifat fungsional yang berbeda. Sifat  fungsional  pati  yang  terbatas  menyebabkan  terbatasnya  pula  aplikasi  pati
tersebut untuk produk pangan. Peningkatan sifat fungsional dan karakteristik pati dapat diperoleh melalui modifikasi pati.
Pati  termodifikasi  adalah  pati  yang  diperlakukan  secara  fisik  atau  kimia untuk  mengubah  salah  satu  atau  lebih  sifat  fisik  atau  kimianya  yang  penting.
Modifikasi pati secara kimia dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain cross  linking
ikatan  silang,  konversi  dengan  hidrolisis  asam,  oksidasi  dan derivatisasi  kimia.  Teknik  modifikasi  pati  dapat  dibagi  dalam  3  tipe,  yaitu
modifikasi sifat reologi, modifikasi stabilisasi, dan modifikasi spesifik Wurzburg, 1989.
Menurut Lorenz dan Kulp 1981, Heat Moisture Treatment HMT adalah proses  pemanasan  pati  pada  suhu  tinggi  di  atas  suhu  gelatinisasi  dalam  kondisi
semi  kering,  yaitu  tingkat  kadar  air  yang  lebih  rendah  dari  kondisi  yang disyaratkan untuk terjadinya proses gelatinisasi.
12 Kadar  air  yang  berbeda  mempengaruhi  besarnya  peningkatan  suhu
gelatinisasi  dan  viskositas  pasta  pati  Hoover  dan  Manuel,  1995.  Peningkatan suhu  gelatinisasi  pada  pati  sagu  termodifikasi  HMT  menandakan  perubahan
bentuk  granula  pati  Pukkahuta  dan  Varavinit,  2007.  Menurut  Manuel 1996  perubahan-perubahan  yang  terjadi  pada  parameter  fisik  pati  disebabkan
adanya  hubungan  antara  faktor  berikut,  yaitu:  i  terjadinya  perubahan  struktur pada area berkristal crystalline dan area tak beraturan amorphous pada granula
pati,  serta  ii  terjadinya  modifikasi  fisik  pada  bagian  permukaan  granula  pati selama  proses  HMT  berlangsung.  Modifikasi  pati  dengan  teknik  HMT  dapat
merusak bentuk granula pati sehingga terbentuk lubang di bagian permukaannya. Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat HMT berlangsung mengakibatkan
area  amorphous  pati  mengembang,  kemudian  menekan  keluar  area  berkristal sehingga  terjadi  kerusakan  dan  pelelehan  area  berkristal  granula  pati,  serta
menghasilkan bentuk granula pati yang lebih stabil terhadap panas. Menurut  Pukkahuta  dan  Varavinit  2007,  modifikasi  pati  sagu
menyebabkan  profil  pasta  pati  memiliki  viskositas  puncak  dan  breakdown  yang lebih  rendah,  serta  viskositas  akhir  yang  lebih  tinggi.  Hal  ini  menunjukkan
peningkatan  kecenderungan  pati  termodifikasi  untuk  mengalami  retrogradasi. Penelitian yang dilakukan oleh Olayinka et al. 2006 menunjukkan profil pasta pati
sorghum termodifikasi HMT memiliki viskositas puncak, breakdown dan setback yang lebih rendah dari pati alami.
Metode  hydotermal-treatment  terdiri  dari  annealing  dan  Heat  Moisture Treatment  HMT  termasuk  ke  dalam  modifikasi  secara  fisik.  Prinsip  metode
hydotermal-treatment  menggunakan  kombinasi  kandungan  air  dan  suhu  tertentu untuk  memodifikasi  pati.  Pada  Annealing,  modifikasi  dilakukan  dengan
menggunakan  jumlah  air  yang  banyak  lebih  dari  40  dan  dipanaskan  pada temperatur  dibawah  suhu  gelatinisasi  pati  Zendag,  2003.  Sedangkan,  HMT
dilakukan  dengan  menggunakan  kandungan  air  rendah  18,  21,  24,  27  dan dipanaskan pada temperatur yang melebihi suhu gelatinisasi. Metode hydotermal-
treatment dapat mengubah karakteristik gelatinisasi pati yaitu meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati dan meningkatkan kecenderungan
pati untuk mengalami retrogradasi.
13 Schoch  dan  Maywald  1968  menggolongkan  pati  dalam  beberapa  jenis
tipe berdasarkan sifat amilografi. Pati tipe A memiliki pembengkakan yang besar dengan  viskositas  puncak  yang  lebih  tinggi  diikuti  oleh  pengenceran  yang  cepat
selama  pemanasan,  viskositas  breakdown  yang  tinggi,  serta  viskositas  pasta dingin  yang  rendah.  Pati  tipe  B  memiliki  pembengkakan  yang  sedang  dengan
viskositas  pasta  yang  lebih  rendah  dan  lebih  tidak  encer.  Pati  tipe  C  memiliki pembengkakan  terbatas  dan  cenderung  tidak  memiliki  puncak  viskositas,  tetapi
viskositasnya yang tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Modifikasi pati ubi jalar dengan teknik HMT yang dilakukan oleh Collado
dan Corke 1999 dapat  mengubah profil pasta pati ubi jalar  yang memiliki sifat alami  pasta  pati  tipe  A  menjadi  tipe  C.  Tanaman  yang  memiliki  sifat  alami
sebagai pati tipe C adalah kacang hijau yang dikenal sebagai bahan terbaik dalam membuat mi dari pati. Lii dan Chang, 1981
E.  EKSTRAKSI PATI SAGU
Pati  pada  tanaman  sagu  terdapat  di  bagian  empulur  sagu  yang  dilindungi oleh  kulit  kayu  yang  cukup  keras.  Untuk  mengeluarkan  pati  dari  batang
dibutuhkan  proses  ekstraksi  yang  dapat  dilakukan  secara  tradisional  maupun modern.  Ekstraksi  secara  tradisional  dilakukan  melalui  tahapan  penebangan
batang  sagu,  pemotongan  batang  secara  melintang  dengan  ukuran  tertentu, pemisahan empulur sagu dari bagian batang sagu yang keras dengan penohokan,
penghancuran  empulur  sagu  dengan  pemarutan  atau  penggilingan  bersama  air, pemisahan  pati  sagu  dan  komponen  lain  dari  bubur  pati  sagu  dengan  cara
pengendapan,  pemisahan  endapan  pati  dan  bagian  lain  yang  larut  air,  serta pengeringan  endapan  pati  sagu  dengan  menggunakan  sinar  matahari  Flach,
1997; Istalaksana dan Maturbongs, 2007. Ekstraksi  sagu  yepha  hungleu  di  Kecamatan  Sentani,  Jayapura  dilakukan
di  hutan  sagu  di  sekitar  danau  Sentani,  Jayapura.  Sanitasi  air  maupun  peralatan yang digunakan untuk ekstraksi sagu di Sentani sangat jauh dari persyaratan untuk
industri  pangan  sehingga  peluang  adanya  kontaminasi  mikroba  selama  proses ekstraksi berlangsung sangat tinggi. Air yang digunakan sebagai pengekstrak sagu
merupakan air dari sungai yang bermuara ke danau Sentani. Sementara, peralatan
14 yang digunakan sangat sederhana dan sebagian besar diperoleh dari sekitar hutan
sagu  seperti  pelepah  sagu  untuk  proses  pemerasan  parutan  sagu  dan  penampung sementara yang berupa bak dari alas plastik.
Proses ekstraksi sagu di sekitar danau Sentani dilakukan melalui beberapa tahapan  antara  lain  :  penebangan,  pengupasan  batang  sagu,  pemotongan  batang
sagu,  pemarutan,  pencampuran  dengan  air,  penyaringan,  pengendapan  pati,  dan pemisahan  endapan  pati.  Masyarakat  Sentani  memilih  pohon  sagu  yang  layak
panen  tebang  berdasarkan  perubahan  morfologi  batang  maupun  pohon  sagu. Sagu  yang  mempunyai  batang  tidak  mengkilap  lagi  dan  sebagian  besar  daunnya
mengering mempunyai rendemen pati yang tinggi sehingga layak untuk ditebang. Penebangan  batang  sagu  di  sekitar  danau  Sentani,  Jayapura  sudah  dilakukan
secara  semiotomatis  dengan  menggunakan  gergaji  mesin.  Batang  sagu  dikupas untuk  memisahkan  empulur  dari  kulit  batang  sagu  yang  keras.  Empulur  sagu
dipotong  melintang  dengan  panjang  sekitar  60  cm  untuk  memudahkan pengangkutan Herawati, 2009.
Potongan  empulur  dibelah  secara  memanjang  untuk  memudahkan  proses pemarutan.  Pemarutan  empulur  sagu  dilakukan  dengan  cara  mengumpankan
empulur pada pemarut mesin. Hasil parutan empulur sagu merupakan bagian sagu yang  siap  untuk  diekstrak  patinya.  Proses  penghancuran  empulur  sagu  yang
dilakukan  masyarakat  di  Sentani  sudah  sedikit  lebih  maju  mengingat  proses penghancuran  yang  biasa  dilakukan  oleh  masyarakat  di  beberapa  daerah  lain  di
Papua adalah dengan penohokan. Ekstraksi  pati  sagu  dilakukan  dengan  cara  meletakkan  parutan  empulur
sagu di atas pelepah sagu dan ditambah dengan sejumlah air. Parutan sagu diperas bersama dengan air secara berulang sehingga air  yang keluar sudah relatif jernih
yang berarti ekstraksi pati sudah dapat dikatakan optimal. Cairan yang keluar saat pemerasan dilewatkan pada kain saring sehingga akan terpisah dari ampasnya.
Ekstrak sagu yang berupa cairan diendapkan di dalam bak penampung dan dibiarkan  mengendap  kurang  lebih  selama  1  jam..  Di  sekitar  bak  pengendapan
terlihat sisa-sisa endapan pati sagu yang sangat mungkin berasal dari pengendapan sebelumnya  karena  dari  sisa-sisa  endapan  tersebut  tercium  bau  asam.  Selama
pengendapan  berlangsung,  pati  yang  mempunyai  berat  jenis  lebih  besar  dari  air
15 akan  mengendap  di  bagian  bawah  bak  pengendapan.  Sementara  itu,  air  beserta
komponen yang terlarut di dalamnya akan berada di atas bak penampung. Bahan kantung  plastik  yang  digunakan  sebagai  bak  penampung  akan  memudahkan
pemisahan  cairan  yang  berada  di  atas  lapisan  pati  sagu.  Cairan  yang  berada  di bagian  atas  bak  pengendapan  dikeluarkan  melalui  saluran  pengeluaran  yang
berada  di  sisi  bak  pengendapan.  Cairan  ini  berwarna  keruh  kemerahan  yang menandakan  bahwa  sagu  Papua  yang  diekstrak  kemungkinan  mengandung
pigmen  alami.  Endapan  pati  sagu  yang  berada  di  bagian  dasar  bak  pengendapan ditampung ke dalam karung dan siap dipasarkan oleh petani sagu. Sementara itu,
ampas  sagu  yang  tertinggal  di  atas  pelepah  sagu  dikumpulkan  oleh  masyarakat sekitar  tempat  pemarutan  sagu.  Ampas  tersebut  selanjutnya  digunakan  sebagai
pakan ternak babi atau media budidaya sayuran. Pati sagu basah yang diperoleh dari petani dikeringkan oleh pengrajin pati
sagu  kering  untuk  mendapatkan  sagu  kering  yang  dapat  disimpan  dan  lebih mudah  digunakan.  Pengolahan  pati  sagu  kering  di  Sentani  dilakukan  melalui
serangkaian  proses  seperti  perendaman,  pencucian,  penjemuran,  pengayakan  dan pengemasan.
Perendaman pati sagu dilakukan dengan tujuan untuk melarutkan kotoran yang  masih  terdapat  pada  sagu  basah  yang  dibeli  dari  petani.  Selain  itu,
perendaman  juga  dapat  mengurangi  intensitas  warna  sagu  dari  yang  tadinya kecoklatan  menjadi  lebih  putih.  Perendaman  ini  berlangsung  selama  1  malam
sehingga mengundang aktivitas bakteri pembentuk asam. Pemisahan kotoran dan air  perendam  sagu  dilakukan  dengan  cara  menuangkan  air  perendam  yang
terdapat di bagian atas bak penampung. Sagu yang telah bersih dijemur di bawah sinar  matahari  dengan  cara  dihamparkan  pada  rak-rak  penjemuran.  Sagu  yang
telah  kering  diayak,  kemudian  dikemas  dan  dipasarkan  di  daerah  Sentani  dan sekitarnya.
Sagu  kering  asal  Sentani  berbau  asam  yang  menandakan  adanya kandungan  asam  organik  pada  sagu.  Keberadaan  asam  ini  kemungkinan  karena
fermentasi  yang  terjadi  selama  proses  produksi  pati  mengingat  peralatan  yang digunakan  untuk  ekstraksi  masih  sangat  sederhana  dan  kurang  saniter.
Kemungkinan  mikroba  pembentuk  asam  terutama  bakteri  asam  laktat  akan
16 mudah  mengkontaminasi  ekstrak  pati  selama  proses  berlangsung.  Ekstrak  pati
yang diperoleh tidak langsung dikeringkan melainkan dijual dalam kondisi basah. Hal ini juga akan menyebabkan terjadinya fermentasi pembentukan asam selama
penyimpanan  sebelum  pengeringan.  Selain  itu,  pengeringan  yang  dilakukan  oleh industri rumah tangga di Sentani Papua juga memungkinkan terjadinya fermentasi
karena  pati  sagu  basah  yang  diperoleh  dari  petani  direndam  selama  satu  malam sebelum dikeringkan.
17
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan  utama  yang  digunakan,  yaitu  sagu  sukabumi  dan  sagu  papua. Bahan-bahan untuk analisis yaitu, buffer fosfat 0,08 M pH 6 dan pH 7, aquadest,
enzim  termamyl,  NaOH  0,275  N,  enzim  protease  HCl,  enzim  amiloglukosidase, etanol 95, etanol 78, aseton, aluminium foil, enzim alfa-amilase, larutan DNS
asam dinitrosalisilat, dan maltosa Alat  yang digunakan untuk modifikasi pati  yaitu oven pengering, dan pH
meter.  Alat-alat  yang  digunakan  untuk  analisis,  yaitu  oven,  neraca  analitik, petridish
,  desikator,  sheker  waterbath,  penangas  air,  hotplate,  gelas  ukur, erlenmeyer, pipet volumetrik, gelas piala, dan alat-alat gelas lainnya.
B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian  ini  dilakukan  dari  mulai  bulan  November  2008  sampai  bulan Februari 2010 di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.
C. METODE PENELITIAN
Metode  penelitian  ini  terdiri  dari  modifikasi  pati  sagu  pada  suhu 110
o
C selama empat jam dengan dua perlakuan yaitu perlakuan 1 tanpa pencucian Gambar  1  dan  perlakuan  2  dengan  pencucian.  Gambar  2.  Ukur  kadar  air  dan
pH  pati  sagu  papua  dan  pati  sagu  sukabumi.  Kemudian  tambahkan  sejumlah  air sehingga  mencapai  kadar  air  28    dengan  cara  menyemprot  sambil
mengaduknya.  Masukkan  ke  dalam  cawan  petri    dan  masukkan  ke  dalam refrigerator selama 1 malam. Masukkan ke dalam oven suhu 110
o
C selama 4 jam. Keringkan  cawan  petri  pada  suhu  50
o
C  selama  4  jam.  Ayak  pati  sagu  dengan ayakan 100 mesh dan gerus. Kemudian analisis kadar air, daya cerna pati, dan pati
resisten tipe III.
18
1. Perlakuan 1 tanpa pencucian