Pati sagu SAGU 1. Botani Sagu

4 menggelembung, duri semakin berkurang, dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin dibandingkan dengan pohon yang masih muda. Apabila pohon sagu yang telah mencapai umur siap tebang tersebut tidak ditebang, maka semua daun akan mati sehingga pohon menjadi gundul dan kemudian membusuk. Selang waktu pohon sagu berubah sampai busuk lebih kurang satu tahun Soekarto dan Wijandi, 1983. Menurut Rumalatu 1981, batang sagu merupakan bagian yang terpenting, karena merupakan gudang pati atau karbohidrat yang lingkup pemanfaatannya dalam industri sangat luas. Batang sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat- serat dan pati. Selama pertumbuhan, sagu menyimpan pati dalam batangnya, sehingga apabila berat batang sagu semakin bertambah sesuai dengan pertambahan tinggi dan diameternya, kandungan patinya pun bertambah. Berat kulit batang sagu sekitar 17-25 dari batang, sedangkan berat empulurnya sekitar 75-83. Perbandingan antara berat kulit dan empulur selama pertumbuhan sagu relatif tetap. Pada umur 3-5 tahun, empulur batang belum banyak mengakumulasi pati, akan tetapi pada umur 11 tahun ke atas, empulur sagu mengandung pati sekitar 15-20. Penumpukan karbohidrat sebagai hasil proses fotosintesis mencapai tingkat maksimal dalam semua jaringan batang sagu mencapai umur dewasa sampai panen, sehingga pada tingkat umur ini empulur mengandung pati tinggi.

2. Pati sagu

Sagu merupakan tanaman asli Asia Tenggara. Penyebarannya meliputi Melanesia Barat sampai India Timur dan dari Mindanao Utara sampai Pulau Jawa dan Nusa Tenggara bagian selatan. Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Menurut Oates dan Hicks 2002, tanaman sagu masih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.250 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 4.500 mmtahun. Sekitar 50 tanaman sagu dunia atau 1.128 juta hektar tumbuh di Indonesia Flach, 1983, dan 90 dari jumlah tersebut atau 1.015 juta hektar berkembang di Provinsi Papua dan Maluku Lakuy dan Limbongan, 2003. 5 Menurut statistik perkebunan tahun 2000, potensi produksi tepung sagu yang dapat dihasilkan dari luasan tersebut adalah 6,50 juta ton. Sekitar 40 dari jumlah tegakan sagu di Papua seluas 300.000 hektar merupakan tanaman produktif yang siap panen, sehingga potensi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber cadangan pangan pada masa yang akan datang Tenda, 2004. Areal sagu tersebut tersebar di Merauke, Timika, Fakfak, Manokwari, Biak Numfor, Sorong, Yapen, Waropen, dan Jayapura. Dari jumlah tersebut, baru dimanfaatkan sekitar 0,34 Kertopermono, 1996. Konsumsi sagu di Papua tahun 2004 mencapai 50,18 kgkapitatahun, lebih rendah dibanding bahan pangan lainnya yaitu padi dan ubi-ubian yang masing-masing 130 kg dan 75,30 kgkapitatahun Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, 2004. Produksi sagu pada tahun 2004 sekitar 7.140 tontahun, dengan harga tepung sagu mencapai Rp 13.500kg atau hampir dua kali lipat harga tepung ubi atau beras. Potensi produksi sagu yang besar dengan harga yang cukup tinggi dapat menjadikan sagu sebagai komoditas andalan di masa yang akan datang. Tanaman sagu di Papua memiliki keragaman genetik yang sangat tinggi Barahima et al., 2001. Kesimpulan ini diperkuat oleh Mangindaan dan Tampake 2005 yang menyatakan bahwa Papua merupakan sentra keragaman genetik sagu terbesar di dunia sehingga tanaman sagu di daerah ini perlu diamankan dari erosi genetik serta pelarian genetik ke luar negeri. Widjono et al. 2000 telah mengidentifikasi 60 jenis sagu Papua yang tumbuh di daerah Jayapura, Manokwari, Merauke, dan Sorong. Selanjutnya, hasil penelitian Universitas Papua 2001 menemukan 22 jenis sagu di Biak dan Supriori, sedangkan Miftahorrachman dan Novarianto 2003 menemukan 20 aksesi sagu di Sentani. Makin beragamnya pemanfaatan sagu dan makin meningkatnya permintaan tepung sagu menyebabkan terjadinya eksploitasi tanaman secara besar-besaran tanpa adanya upaya untuk merehabilitasinya Mangindaan dan Tampake, 2005. Pati sagu diperoleh dari empulur batang sagu dengan cara mengekstrak pati dengan bantuan air sebagai perantara. Tahap-tahap ekstraksi pati sagu adalah sebagai berikut: empulur batang sagu diparut, ditambah air dan diremas-remas di atas ayakan sehingga pati dan ampasnya serat terpisah. Kemudian suspensi pati 6 dialirkan ke bak pengendapan dan dibiarkan beberapa saat sehingga pati sagu mengendap. Pati sagu tersebut selanjutnya dikeringkan dengan cara penjemuran. Rendemen pati sagu yang dihasilkan rata-rata 20,2 dengan kisaran antara 15-30. Sedangkan jumlah pati yang dihasilkan tiap pohonnya rata-rata 150 kg dengan kisaran antara 90-325 kg Flach, 1983 Komponen yang dominan dalam tepung sagu adalah pati karbohidrat. Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaaan bahan makanan. Komposisi kimia dalam setiap 100 g tepung sagu dari berbagai penulis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu untuk setiap 100 gram Komponen Penyusun Jumlah Kandungan gram Brautlecht 1953 Radley 1976 Kainuma 1977 Ruddle 1976 Dit.Giz 1979 Lie 1980 Air - 12-18 10,2 27 14 13,0 Karbohidrat - - 82,71 71 84,7 85,7 Protein 0,13 0,1-1,0 0,31 0,2 0,7 1,4 Lemak 0,1 0,1-0,3 0,25 Sedikit 0,2 0,2 Serat kasar 0,16 0,1-0,3 1,35 0,3 - 0,2 Abu - 0,1-0,8 0,18 - - 0,4 Fosfor - - - - 0,013 - Besi - - - 7 x 10 -4 1,5 x 10 -3 - Kalsium - - - 0,03 0,011 - Sumber : Broutlecht 1953, Radley 1976, Kainuma 1977, Ruddle 1976, Dit.Giz 1976, Lie 1980 Pati sagu dalam bentuk aslinya merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa Broutlecht, 1953. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran beraneka ragam, tetapi pada umumnya berbentuk ellips. Pati sagu berbentuk ellips prolate ellipsoidal, mirip pati kentang dengan ukuran 5-80 mm dan relatif lebih besar daripada pati serealia Wirakartakusumah et al., 1986. Menurut Wilton dan Wilton 1947, hillum pati sagu tidak terpusat, berada pada ujung yang bulat dan terdapat cincin yang tidak seragam pada granula pati tersebut. Pada dasarnya pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α -1,4 glukosa. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya. Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang larut dalam air disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut 7 disebut amilopektin Gambar 2. Perbandingan jumlah amilosa dan amilopektin berbeda-beda dalam setiap jenis pati. Pada Tabel 2 disajikan bentuk granula ukuran, dan suhu gelatinisasi dari berbagai pati. Tabel 2. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lainnya. Jenis Pati Bentuk Granula Ukuran Granula µm Kandungan Range Suhu Gelatinisasi o C Amilosa Amilopekrin Sagu Ellips 20-60 27 73 60-72 Beras Poligonal 3-8 17 89 61-78 Jagung Poligonal 5-25 26 74 62-74 Kentang Bundar 15-100 24 76 56-69 Tapioka Oval 5-35 17 83 52-64 Gandum Ellips 2-35 25 75 52-64 Ubi Jalar Poligonal 16-25 18 82 58-74 Sumber : Knight 1989 Pati sagu mengandung sekitar 27 amilosa dan sekitar 73 amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati bersifat kering, kurang lekat dan menyerap air lebih banyak Wirakartakusumah et al., 1986. Menurut Pomeranz 1973, amilosa adalah homopolimer lurus dari D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α -1,4 dengan struktur cincin piranosa. Panjang rantai amilosa bervariasi menurut jenis patinya dan umumnya berkisar antara 500 sampai 600 unit glukosa, dengan berat molekul sekitar 100.000. Sedangkan amilopektin merupakan molekul polisakarida dengan rantai bercabang. Ikatan pada rantai utamanya adalah α -1,4 sedangkan ikatan pada cabangnya adalah α-1,6. Titik cabang amilopektin terdapat pada interval 30-50 glukosa. Berat molekul amilopektin lebih dari satu juta. Menurut Haryanto dan Pangloli 1991, jumlah unit glukosa yang berada dalam amilosa berkisar 500-1000 unit sebanding dengan berat molekul antara 80.000-240.000, sedangkan glukosa yang berada dalam amilopektin mencapai jumlah yang lebih besar, yaitu antara 5000-40.000 unit sebanding dengan berat molekul 800.000 sampai jutaan. Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinisasi setelah mencapai suhu tertentu suhu gelatinisasi. Hal ini disebabkan oleh energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada 8 gaya tarik menarik antara molekul pati dalam granula, sehingga air dapat masuk ke dalam pati tersebut dan pati akan membengkakmengembang. Granula pati dapat membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula. Perubahan sifat inilah yang disebut gelatinisasi. Suhu pada saat butir pati pecah disebut suhu gelatisisasi Winarno, 1991. Winarno 1991 menyatakan bahwa terjadinya peningkatan viskositas selama gelatisisasi disebabkan oleh air yang sebelumnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sebagian sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi karena terikat gugus hidroksil dalam molekul pati. Apabila suhu dinaikkan, maka viskositas pastagel berkurang. Pasta pati yang telah mengalami gelatisisasi terdiri atas butir-butir pati yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi dalam air. Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi suspensi pati, semakin tinggi konsentrasi larutan suspensi pati, maka suhu gelatinisasi makin lambat tercapai. Selain itu suhu gelatinisasi tiap jenis pati berbeda-beda, antara 52 C-78 C. Menurut Knight 1989, suhu gelatisisasi pati sagu berkisar antara 60 C-72 C, tetapi menurut Wirakartakusumah et al. 1986 sekitar 72 C-90 C. Kawabata et al. 1984 menyatakan bahwa bentuk, struktur, ukuran granula, komposisi kimia dan sifat-sifat lain dari pati sagu harus diketahui agar perubahan-perubahan yang terjadi selama proses pengolahan diketahui, misalnya dalam perlakuan pemanasan. Untuk mengetahui sifat-sifat pati sagu, maka akan diuraikan ciri-ciri pati sagu. Sifat pertama adalah kandungan amilosa dan daya ikat yodium pati sagu. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar amilosa sagu sekitar 21,7 . Adanya amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi daya larut pati dan suhu gelatinisasi. Bila kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat, dan kecenderungan higroskopis lebih kuat. Sifat kedua adalah kandungan bahan anorganik mineral, seperti halnya bahan-bahan yang lain, pada pati sagu juga mengandung bahan-bahan anorganik yang dipengaruhi oleh lingkungan tempat sagu tersebut berasaltumbuh. Bahan-bahan anorganik yang diamati oleh Kawabata et al., 1984 meliputi kadar abu, fosfor, natrium, kalium, kalsium, dan magnesium. Kandungan bahan anorganik secara rinci dapat dilihat pada 9 Tabel 3. Sifat ketiga adalah sebaran ukuran pati, ukuran granula pati sagu berkisar antara 16,0-25,4 µm. Tabel 3. Kandungan air, amilosa, dan bahan anorganik pada pati sagu Komponen Jumlah Kandungan Kadar air 16,63 Kadar amilosa 21,70 Daya ikat yodium 12 mg100 g 4,23 Abu mg100 g bahan kering 157,00 Fosfor mg100 g bahan kering 12,70 Natrium mg100 g bahan kering 43,00 Kalium mg100 g bahan kering 12,00 Kalsium mg100 g bahan kering 6,00 Magnesium mg100 g bahan kering 1,50 Sumber : Kawabata et al. 1984 B. PATI RESISTEN Pati resisten Resistant starch atau RS pati juga mengalami fermentasi oleh mikroflora pada dinding kolon, menghasilkan asam lemak rantai pendek short chain fatty acid atau SCFA. Profil SCFA yang diperoleh dari RS lebih banyak mengandung butirat dan lebih sedikit mengandung asetat dibandingkan serat pangan konvensional. Dengan sifat-sifat yang dimilikinya, RS dikategorikan sebagai bagian dari serat pangan. Pati resisten mempunyai efek fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik menurunkan kadar gula darah setelah makan, berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorpsi mineral Sajilata et al., 2006. Penggantian 5.4 total karbohidrat dalam diet dengan pati resisten juga mengindikasikan peningkatan oksidasi lipida setelah makan sehingga dapat menurunkan akumulasi lemak dalam jangka panjang Higgins et al., 2004. Tipe pertama RS I terdiri atas pati yang secara fisik terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan, contohnya padi yang digiling kasar. Jumlah RS I dipengaruhi oleh proses pengolahan dan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan penggilingan. RS tipe kedua RS II terdiri atas granula pati 10 yang secara alami sangat resisten terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase, misalnya pada pisang mentah dan pati jagung tinggi amilosa. RS tipe ketiga RS III terdiri atas pati teretrogradasi yang terbentuk saat bahan pangan yang mengandung pati dimasak dan didinginkan. RS tipe keempat RS IV terdiri atas pati yang dimodifikasi secara kimia, dimana modifikasi tersebut mempengaruhi aktivitas amilolitik dari enzim-enzim pencernaan Leu et al., 2003. Contoh RS IV adalah pati yang dimodifikasi secara eterifikasi, esterifikasi, dan cross link ikatan silang Bird et al., 2000. C. DAYA CERNA PATI Daya cerna pati adalah kemampuan enzim pemecah pati dalam menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Dalam metode ini, pati dihidrolisis oleh enzim alpha-amilase, jumlah maltosa diukur menggunakan spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat melalui kurva standar maltosa. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai presentase terhadap pati murni. Pengukuran daya cerna pati dapat dilakukan secara in vitro dengan menggunakan berbagai macam enzim pada kondisi tertentu seperti pH, buffer, waktu inkubasi, dan suhu. Setelah hidrolisis, junlah gula yang berhasil direduksi merupakan hasil dari daya cerna pati Tharanthan dan Mahadevamma, 2003. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik reversible jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak- balik irreversible jika telah mencapai suhu gelatinisasi Greenwood dan Munro, 1979. Meyer 1982 menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30 dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi terbentuk suspensi. Pengembangan granula pati ini disebabkan oleh molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Dengan naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan oleh molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh 11 ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Dengan naiknya suhu suspensi, maka ikatan hidrogen tersebut makin melemah. Di sisi lain, molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul air makin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi menurun, air akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa dan amilopektin sehingga menghasilkan ukuran granula makin besar Meyer, 1982. Jika suhu suspensi tetap naik, granula pati akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk ke dalam sistem larutan. Kejadian ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kekentalan Hodge dan Osman, 1976. Pati memegang peranan penting dalam pangan, terutama dalam hal menyediakan kebutuhan energi manusia di dunia dengan porsi yang tinggi. Lebih dari 80 tanaman pangan terdiri atas biji-bijian atau umbi-umbian dan tanaman sumber pati lainnya Hodge dan Osman, 1976 D. MODIFIKASI PATI DENGAN METODE HMT Setiap jenis pati memiliki karakteristik dan sifat fungsional yang berbeda. Sifat fungsional pati yang terbatas menyebabkan terbatasnya pula aplikasi pati tersebut untuk produk pangan. Peningkatan sifat fungsional dan karakteristik pati dapat diperoleh melalui modifikasi pati. Pati termodifikasi adalah pati yang diperlakukan secara fisik atau kimia untuk mengubah salah satu atau lebih sifat fisik atau kimianya yang penting. Modifikasi pati secara kimia dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain cross linking ikatan silang, konversi dengan hidrolisis asam, oksidasi dan derivatisasi kimia. Teknik modifikasi pati dapat dibagi dalam 3 tipe, yaitu modifikasi sifat reologi, modifikasi stabilisasi, dan modifikasi spesifik Wurzburg, 1989. Menurut Lorenz dan Kulp 1981, Heat Moisture Treatment HMT adalah proses pemanasan pati pada suhu tinggi di atas suhu gelatinisasi dalam kondisi semi kering, yaitu tingkat kadar air yang lebih rendah dari kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya proses gelatinisasi. 12 Kadar air yang berbeda mempengaruhi besarnya peningkatan suhu gelatinisasi dan viskositas pasta pati Hoover dan Manuel, 1995. Peningkatan suhu gelatinisasi pada pati sagu termodifikasi HMT menandakan perubahan bentuk granula pati Pukkahuta dan Varavinit, 2007. Menurut Manuel 1996 perubahan-perubahan yang terjadi pada parameter fisik pati disebabkan adanya hubungan antara faktor berikut, yaitu: i terjadinya perubahan struktur pada area berkristal crystalline dan area tak beraturan amorphous pada granula pati, serta ii terjadinya modifikasi fisik pada bagian permukaan granula pati selama proses HMT berlangsung. Modifikasi pati dengan teknik HMT dapat merusak bentuk granula pati sehingga terbentuk lubang di bagian permukaannya. Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat HMT berlangsung mengakibatkan area amorphous pati mengembang, kemudian menekan keluar area berkristal sehingga terjadi kerusakan dan pelelehan area berkristal granula pati, serta menghasilkan bentuk granula pati yang lebih stabil terhadap panas. Menurut Pukkahuta dan Varavinit 2007, modifikasi pati sagu menyebabkan profil pasta pati memiliki viskositas puncak dan breakdown yang lebih rendah, serta viskositas akhir yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan peningkatan kecenderungan pati termodifikasi untuk mengalami retrogradasi. Penelitian yang dilakukan oleh Olayinka et al. 2006 menunjukkan profil pasta pati sorghum termodifikasi HMT memiliki viskositas puncak, breakdown dan setback yang lebih rendah dari pati alami. Metode hydotermal-treatment terdiri dari annealing dan Heat Moisture Treatment HMT termasuk ke dalam modifikasi secara fisik. Prinsip metode hydotermal-treatment menggunakan kombinasi kandungan air dan suhu tertentu untuk memodifikasi pati. Pada Annealing, modifikasi dilakukan dengan menggunakan jumlah air yang banyak lebih dari 40 dan dipanaskan pada temperatur dibawah suhu gelatinisasi pati Zendag, 2003. Sedangkan, HMT dilakukan dengan menggunakan kandungan air rendah 18, 21, 24, 27 dan dipanaskan pada temperatur yang melebihi suhu gelatinisasi. Metode hydotermal- treatment dapat mengubah karakteristik gelatinisasi pati yaitu meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi. 13 Schoch dan Maywald 1968 menggolongkan pati dalam beberapa jenis tipe berdasarkan sifat amilografi. Pati tipe A memiliki pembengkakan yang besar dengan viskositas puncak yang lebih tinggi diikuti oleh pengenceran yang cepat selama pemanasan, viskositas breakdown yang tinggi, serta viskositas pasta dingin yang rendah. Pati tipe B memiliki pembengkakan yang sedang dengan viskositas pasta yang lebih rendah dan lebih tidak encer. Pati tipe C memiliki pembengkakan terbatas dan cenderung tidak memiliki puncak viskositas, tetapi viskositasnya yang tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Modifikasi pati ubi jalar dengan teknik HMT yang dilakukan oleh Collado dan Corke 1999 dapat mengubah profil pasta pati ubi jalar yang memiliki sifat alami pasta pati tipe A menjadi tipe C. Tanaman yang memiliki sifat alami sebagai pati tipe C adalah kacang hijau yang dikenal sebagai bahan terbaik dalam membuat mi dari pati. Lii dan Chang, 1981 E. EKSTRAKSI PATI SAGU Pati pada tanaman sagu terdapat di bagian empulur sagu yang dilindungi oleh kulit kayu yang cukup keras. Untuk mengeluarkan pati dari batang dibutuhkan proses ekstraksi yang dapat dilakukan secara tradisional maupun modern. Ekstraksi secara tradisional dilakukan melalui tahapan penebangan batang sagu, pemotongan batang secara melintang dengan ukuran tertentu, pemisahan empulur sagu dari bagian batang sagu yang keras dengan penohokan, penghancuran empulur sagu dengan pemarutan atau penggilingan bersama air, pemisahan pati sagu dan komponen lain dari bubur pati sagu dengan cara pengendapan, pemisahan endapan pati dan bagian lain yang larut air, serta pengeringan endapan pati sagu dengan menggunakan sinar matahari Flach, 1997; Istalaksana dan Maturbongs, 2007. Ekstraksi sagu yepha hungleu di Kecamatan Sentani, Jayapura dilakukan di hutan sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura. Sanitasi air maupun peralatan yang digunakan untuk ekstraksi sagu di Sentani sangat jauh dari persyaratan untuk industri pangan sehingga peluang adanya kontaminasi mikroba selama proses ekstraksi berlangsung sangat tinggi. Air yang digunakan sebagai pengekstrak sagu merupakan air dari sungai yang bermuara ke danau Sentani. Sementara, peralatan 14 yang digunakan sangat sederhana dan sebagian besar diperoleh dari sekitar hutan sagu seperti pelepah sagu untuk proses pemerasan parutan sagu dan penampung sementara yang berupa bak dari alas plastik. Proses ekstraksi sagu di sekitar danau Sentani dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain : penebangan, pengupasan batang sagu, pemotongan batang sagu, pemarutan, pencampuran dengan air, penyaringan, pengendapan pati, dan pemisahan endapan pati. Masyarakat Sentani memilih pohon sagu yang layak panen tebang berdasarkan perubahan morfologi batang maupun pohon sagu. Sagu yang mempunyai batang tidak mengkilap lagi dan sebagian besar daunnya mengering mempunyai rendemen pati yang tinggi sehingga layak untuk ditebang. Penebangan batang sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura sudah dilakukan secara semiotomatis dengan menggunakan gergaji mesin. Batang sagu dikupas untuk memisahkan empulur dari kulit batang sagu yang keras. Empulur sagu dipotong melintang dengan panjang sekitar 60 cm untuk memudahkan pengangkutan Herawati, 2009. Potongan empulur dibelah secara memanjang untuk memudahkan proses pemarutan. Pemarutan empulur sagu dilakukan dengan cara mengumpankan empulur pada pemarut mesin. Hasil parutan empulur sagu merupakan bagian sagu yang siap untuk diekstrak patinya. Proses penghancuran empulur sagu yang dilakukan masyarakat di Sentani sudah sedikit lebih maju mengingat proses penghancuran yang biasa dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah lain di Papua adalah dengan penohokan. Ekstraksi pati sagu dilakukan dengan cara meletakkan parutan empulur sagu di atas pelepah sagu dan ditambah dengan sejumlah air. Parutan sagu diperas bersama dengan air secara berulang sehingga air yang keluar sudah relatif jernih yang berarti ekstraksi pati sudah dapat dikatakan optimal. Cairan yang keluar saat pemerasan dilewatkan pada kain saring sehingga akan terpisah dari ampasnya. Ekstrak sagu yang berupa cairan diendapkan di dalam bak penampung dan dibiarkan mengendap kurang lebih selama 1 jam.. Di sekitar bak pengendapan terlihat sisa-sisa endapan pati sagu yang sangat mungkin berasal dari pengendapan sebelumnya karena dari sisa-sisa endapan tersebut tercium bau asam. Selama pengendapan berlangsung, pati yang mempunyai berat jenis lebih besar dari air 15 akan mengendap di bagian bawah bak pengendapan. Sementara itu, air beserta komponen yang terlarut di dalamnya akan berada di atas bak penampung. Bahan kantung plastik yang digunakan sebagai bak penampung akan memudahkan pemisahan cairan yang berada di atas lapisan pati sagu. Cairan yang berada di bagian atas bak pengendapan dikeluarkan melalui saluran pengeluaran yang berada di sisi bak pengendapan. Cairan ini berwarna keruh kemerahan yang menandakan bahwa sagu Papua yang diekstrak kemungkinan mengandung pigmen alami. Endapan pati sagu yang berada di bagian dasar bak pengendapan ditampung ke dalam karung dan siap dipasarkan oleh petani sagu. Sementara itu, ampas sagu yang tertinggal di atas pelepah sagu dikumpulkan oleh masyarakat sekitar tempat pemarutan sagu. Ampas tersebut selanjutnya digunakan sebagai pakan ternak babi atau media budidaya sayuran. Pati sagu basah yang diperoleh dari petani dikeringkan oleh pengrajin pati sagu kering untuk mendapatkan sagu kering yang dapat disimpan dan lebih mudah digunakan. Pengolahan pati sagu kering di Sentani dilakukan melalui serangkaian proses seperti perendaman, pencucian, penjemuran, pengayakan dan pengemasan. Perendaman pati sagu dilakukan dengan tujuan untuk melarutkan kotoran yang masih terdapat pada sagu basah yang dibeli dari petani. Selain itu, perendaman juga dapat mengurangi intensitas warna sagu dari yang tadinya kecoklatan menjadi lebih putih. Perendaman ini berlangsung selama 1 malam sehingga mengundang aktivitas bakteri pembentuk asam. Pemisahan kotoran dan air perendam sagu dilakukan dengan cara menuangkan air perendam yang terdapat di bagian atas bak penampung. Sagu yang telah bersih dijemur di bawah sinar matahari dengan cara dihamparkan pada rak-rak penjemuran. Sagu yang telah kering diayak, kemudian dikemas dan dipasarkan di daerah Sentani dan sekitarnya. Sagu kering asal Sentani berbau asam yang menandakan adanya kandungan asam organik pada sagu. Keberadaan asam ini kemungkinan karena fermentasi yang terjadi selama proses produksi pati mengingat peralatan yang digunakan untuk ekstraksi masih sangat sederhana dan kurang saniter. Kemungkinan mikroba pembentuk asam terutama bakteri asam laktat akan 16 mudah mengkontaminasi ekstrak pati selama proses berlangsung. Ekstrak pati yang diperoleh tidak langsung dikeringkan melainkan dijual dalam kondisi basah. Hal ini juga akan menyebabkan terjadinya fermentasi pembentukan asam selama penyimpanan sebelum pengeringan. Selain itu, pengeringan yang dilakukan oleh industri rumah tangga di Sentani Papua juga memungkinkan terjadinya fermentasi karena pati sagu basah yang diperoleh dari petani direndam selama satu malam sebelum dikeringkan. 17 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan, yaitu sagu sukabumi dan sagu papua. Bahan-bahan untuk analisis yaitu, buffer fosfat 0,08 M pH 6 dan pH 7, aquadest, enzim termamyl, NaOH 0,275 N, enzim protease HCl, enzim amiloglukosidase, etanol 95, etanol 78, aseton, aluminium foil, enzim alfa-amilase, larutan DNS asam dinitrosalisilat, dan maltosa Alat yang digunakan untuk modifikasi pati yaitu oven pengering, dan pH meter. Alat-alat yang digunakan untuk analisis, yaitu oven, neraca analitik, petridish , desikator, sheker waterbath, penangas air, hotplate, gelas ukur, erlenmeyer, pipet volumetrik, gelas piala, dan alat-alat gelas lainnya. B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dari mulai bulan November 2008 sampai bulan Februari 2010 di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. C. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini terdiri dari modifikasi pati sagu pada suhu 110 o C selama empat jam dengan dua perlakuan yaitu perlakuan 1 tanpa pencucian Gambar 1 dan perlakuan 2 dengan pencucian. Gambar 2. Ukur kadar air dan pH pati sagu papua dan pati sagu sukabumi. Kemudian tambahkan sejumlah air sehingga mencapai kadar air 28 dengan cara menyemprot sambil mengaduknya. Masukkan ke dalam cawan petri dan masukkan ke dalam refrigerator selama 1 malam. Masukkan ke dalam oven suhu 110 o C selama 4 jam. Keringkan cawan petri pada suhu 50 o C selama 4 jam. Ayak pati sagu dengan ayakan 100 mesh dan gerus. Kemudian analisis kadar air, daya cerna pati, dan pati resisten tipe III. 18

1. Perlakuan 1 tanpa pencucian