Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu

(1)

PRODUKSI PETANI RAKYAT

(Studi Kasus : Kabupaten Labuhan Batu)

SKRIPSI

Oleh :

Wilson P.A. Pasaribu 050304049

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

ANALISA HARGA PEMBELIAN TBS KELAPA SAWIT

PRODUKSI PETANI RAKYAT

(Studi Kasus : Kabupaten Labuhan Batu)

SKRIPSI

Oleh :

Wilson P.A. Pasaribu 050304049 SEP / AGRIBISNIS

Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melakukan

Penelitian di Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Diketahui oleh, Komisi Pembimbing

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc) (Ir. Diana Chalil, MSi, PhD)

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(3)

ABSTRAK

WILSON PASARIBU : Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu, dibimbing oleh Bapak

Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc dan Ibu Ir. Diana Chalil, MSi. PhD.

Luas perkebunan rakyat di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut menunjukkan betapa berpengaruhnya keberadaan Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara. Demikian halnya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, secara fisik terkesan menunjukkan adanya kemajuan yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan produksi kelapa sawit yang meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Namun demikian, luas areal dan produksi yang meningkat belum diikuti oleh kekuatan posisi petani perkebunan rakyat dalam mempengaruhi harga Tandan Buah Segar (TBS). Salah satu masalah yang belum dapat diatasi secara tuntas adalah penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi penyebab harga TBS produksi petani rendah berdasarkan Rumus Harga Pembelian, serta untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya. Metode Penentuan Sampel yang digunakan adalah metode penelusuran (Accedental), yaitu metode yang pengambilan sampelnya tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang memenuhi kriteria sampel. Metode analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif dan analisa uji-t populasi berpasangan pada tingkat petani.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan : Ada beda antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, serta Ada beda antara indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan Sibolga pada tanggal 20 desember 1986 dari Bapak B. Pasaribu, SH dan Ibu S. br. Guru Singa. Penulis merupakan anak kedua dari 3 bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus dari SMA RK Budi Mulia Pematangsiantar, dan pada tahun yang sama masuk ke Fakulta Pertanian USU melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih Program Studi Agribisnis, Departemen Agribisnis.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Mangan Molih, Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi dari tanggal 15 Juni sampai 16 Juli 2009. Pada bulan Juli 2009 sampai Agustus 2009 melaksanakan penelitian skripsi di Kabupaten Labuhan Batu.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang memberikan kesempatan dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun judul penelitian ini adalah Analisa Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat di Kabupaten Labuhan Batu, sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc selaku komisi pembimbing ketua dan Ibu Ir. Diana Chalil, Msi, PhD selaku komisi pembimbing anggota yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini dan seluruh Staff Pengajar dan Pegawai Tata Usaha di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan yang turut berperan dalam studi penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda tercinta B. Pasaribu, SH dan Ibunda tercinta S. br. Guru Singa, serta kakak Elisa Pasaribu dan Theresia Pasaribu, untuk dukungan semangat, materi dan doa yang diberi pada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua sahabat penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu disini, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Identifikasi Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Masalah ... 6

Landasan Teori ... 11

Kerangka Pemikiran ... 13

Hipotesis Penelitian ... 16

METODE PENELITIAN Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 17

Metode Penentuan Sampel ... 17

Metode Pengumpulan Data ... 18

Metode Analisis Data ... 19

Definisi dan Batasan Operasional ... 21

Definisi ... 21

Batasan Operasional... 22

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL Deskripsi Daerah Penelitian ... 23

Letak dan Keadaan Geografis ... 23

Keadaan Penduduk ... 23


(7)

Karakteristik Sampel Penelitian ... 28

Petani Sampel Menurut Penggunaan Jenis Bibit ... 28

Petani Sampel Menurut Pinjaman Modal (Kredit) ... 28

Petani Sampel Menurut Mekanisme Penjualan TBS ... 29

Petani Sampel Menurut Lama Bertani, Usia Tanaman, Luas Lahan, dan Jumlah Produksi ... 30

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik Usaha Kelapa Sawit Rakyat ... 31

Kesesuaian antara Harga TBS yang Ditetapkan Pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dengan Harga TBS yang Diterima Oleh Petani Rakyat ... 33

Perbedaan Indeks Proporsi “K” yang Ditetapkan Pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dengan Indeks Proporsi “K” yang Diterima Oleh Petani Rakyat ... 36

Penyebab Harga TBS Produksi Petani Rendah Berdasarkan Rumus Harga Pembelian ... 39

Permasalahan yang Dihadapi Petani Rakyat dan Solusinya dalam Kaitannya dengan Rendahnya Harga TBS yang Diterimanya ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 50

Saran... 51

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

DAFTAR GAMBAR


(9)

DAFTAR TABEL

1. Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit ... 17

2. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin ... 24

3. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja dan Lapangan Pekerjaan Utama ... 25

4. Penduduk Menurut Jenjang Tingkat Pendidikan ... 26

5. Prasarana Jalan ... 27

6. Petani Sampel menurut Penggunaan Jenis Bibit ... 28

7. Petani Sampel menurut Pinjaman Modal (Kredit) ... 29

8. Petani Sampel menurut Mekanisme Penjualan TBS ... 29

9. Petani Sampel menurut Lama Bertani, Usia Tanaman, Luas Lahan, dan Jumlah Produksi ... 30

10. Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat ... 34

11. Hasil Uji Coba Rata-rata Harga Pembelian TBS yang Diterima Oleh Petani Seta Kesesuaiannya dengan Harga Pembelian TBS Berdasarkan Kebijakan ... 35

12. Metode Nilai Indeks Proporsi “K” Petani Periode Juli 2009 ... 37

13. Hasil Uji Coba Rata-rata Indeks Proporsi “K” yang Diterima Oleh Petani Seta Kesesuaiannya dengan Indeks Proporsi “K” Berdasarkan Kebijakan ... 38


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Persentase Luas Tanaman Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Status

Pengusahaan 2001-2006... 55

2. Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat 2003-2006... 56

3. Karakteristik Petani Kelapa Sawit Rakyat ... 57

4. Deskripsi Usaha Tani Rakyat ... 58

5. Petani Responden dan Jenis Bibit ... 59

6. Petani Responden dan Kredit ... 60

7. Pembentukan Harga TBS di Tingkat Petani ... 61

8. Daftar Harga TBS Tahun 2009 ... 63

9. Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat di Kab. Labuhan Batu ... 65

10. Nilai Indeks Proporsi “K” Petani Periode Juli 2009 ... 66

11. Harga TBS Kelapa Sawit Produksi Petani ... 67

12. Hasil Uji Coba Rata-rata Harga Pembelian TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dengan Harga TBS yang Diterima Oleh Petani ... 70

13. Hasil Uji Coba Rata-rata Indeks Proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dengan Indeks Proporsi “K” yang Diterima Oleh Petani ... 71


(11)

ABSTRAK

WILSON PASARIBU : Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu, dibimbing oleh Bapak

Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc dan Ibu Ir. Diana Chalil, MSi. PhD.

Luas perkebunan rakyat di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut menunjukkan betapa berpengaruhnya keberadaan Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara. Demikian halnya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, secara fisik terkesan menunjukkan adanya kemajuan yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan produksi kelapa sawit yang meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Namun demikian, luas areal dan produksi yang meningkat belum diikuti oleh kekuatan posisi petani perkebunan rakyat dalam mempengaruhi harga Tandan Buah Segar (TBS). Salah satu masalah yang belum dapat diatasi secara tuntas adalah penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi penyebab harga TBS produksi petani rendah berdasarkan Rumus Harga Pembelian, serta untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya. Metode Penentuan Sampel yang digunakan adalah metode penelusuran (Accedental), yaitu metode yang pengambilan sampelnya tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang memenuhi kriteria sampel. Metode analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif dan analisa uji-t populasi berpasangan pada tingkat petani.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan : Ada beda antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, serta Ada beda antara indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat.


(12)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari berbagai potensi sektor pertanian yang dimiliki Indonesia, khususnya Sumatera Utara, sub sektor perkebunan merupakan salah satu potensi yang cukup besar yang dimiliki daerah ini. Hal ini ditandai dengan banyaknya perkebunan yang lokasinya berada di dareah ini baik yang dimiliki oleh rakyat, Negara (BUMN), dan swasta asing maupun nasional (PMA maupun PMDA). Dari berbagai jenis perkebunan yang dikelola oleh rakyat di Sumatera Utara, komoditi kelapa sawit adalah yang paling dominan.

Khusus untuk perkebunan rakyat, tujuan utama pengembangannya adalah untuk mengangkat harkat hidup petani dan keluarganya dengan cara meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani melalui pengembangan kebun.. Tujuan lainnya yang lebih luas lagi yaitu pembangunan masyarakat pekebun yang berwiraswasta, sejahtera dan selaras dengan lingkungannya, dan mewujudkan perpaduan usaha yang didukung oleh suatu sistem usaha dengan memadukan berbagai kegiatan produksi pengolahan dan pemasaran hasil dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti dalam suatu kerjasama yang saling menguntungkan (Anonymous, dalam Mulyana, 2008).

Luas perkebunan rakyat di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan luasnya melebihi luas dari pengusahaan Perkebunan Besar Negara maupun luas dari pengusahaan Perkebunan Besar Swasta. Persentasenya yang mencapai hampir 35 % (Lampiran 1) menunjukkan betapa berpengaruhnya keberadaan Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara. Demikian halnya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia,


(13)

khususnya Sumatera Utara, secara fisik terkesan menunjukkan adanya kemajuan yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan produksi kelapa sawit yang meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun (Lampiran 2).

Namun demikian, luas areal dan produksi yang meningkat belum diikuti oleh kekuatan posisi petani perkebunan rakyat dalam mempengaruhi harga Tandan Buah Segar (TBS). Seperti dikemukakan Drajat (2009), salah satu masalah yang belum dapat diatasi secara tuntas adalah penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) karena persoalannya yang kompleks dan melibatkan banyak pihak, belum lagi produksi pertanian yang bersifat musiman.

Untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga yang wajar dari Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit produksi petani serta menghindari adanya persaingan tidak sehat diantara Pabrik Kelapa Sawit (PKS), departemen teknis terkait dan pemerintah di beberapa daerah secara langsung telah melakukan intervensi. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah diantaranya adalah Permentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005 tentang Pedoman Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit Produksi. Ruang lingkup peraturan ini meliputi penetapan harga pembelian TBS, pembinaan dan sanksi. Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit produksi petani (Anonymous, dalam Departemen Pertanian, 2007).

Salah satu permasalahannya adalah penentuan nilai K (proporsi yang diterima petani) oleh pemerintah yang menunjukkan kecenderungan bahwa harga TBS yang berlaku masih lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima petani. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa telah terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dalam pelaksanaannya, terdapat ketidakserasian


(14)

hubungan antara petani dan perusahaan inti (PKS/agen pembeli). Masalah ini diduga masih menempatkan posisi petani lebih lemah dan sangat dipengaruhi oleh perilaku perusahaan, meskipun telah merujuk pada Rumus Harga Pembelian (Didu, 2000).

Permasalahan ini tentunya bermuara pada rendahnya harga TBS yang diterima petani. Hal ini dapat disebabkan karena nilai rendemen TBS hasil produksi petani yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan. Oleh karena itu, penetapan ulang nilai rendemen TBS produksi petani yang tercantum dalam Permentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005 perlu dilakukan secara transparan dengan melibatkan petani di dalamnya (Drajat, 2004).

Untuk mengetahui penyebab terjadinya permasalahan-permasalahan di atas, penulis merasa perlu diadakan penelitian. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mencoba untuk menganalisis harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit produksi petani rakyat.

1.2 Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang perlu diteliti, antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimana kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat?

2. Bagaimana perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat?


(15)

3. Berdasarkan Rumus Harga Pembelian, apa penyebab harga TBS yang diterima oleh petani rakyat rendah?

4. Apa saja permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan, adalah :

1. Untuk mengidentifikasi kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat

2. Untuk mengidentifikasi perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat

3. Untuk mengidentifikasi penyebab harga TBS produksi petani rendah berdasarkan Rumus Harga Pembelian.

4. Untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya.


(16)

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk data penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Sebagai bahan informasi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian ini. 3. Sebagai bahan referensi dan studi untuk pengembangan ilmu bagi


(17)

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,

KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka Penetapan Harga TBS

Produk minyak sawit yang merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia mengalami peningkatan harga yang signifikan. Harga minyak sawit secara historis terus meningkat. Peningkatan harga minyak sawit (CPO, crude palm oil) ini juga mendongkrak harga buah sawit (TBS, tandan buah segar). Para petani kelapa sawit memperoleh manfaat dari hasil menjual buah sawit kepada pabrik-pabrik pengolah buah sawit menjadi CPO. Oleh karenanya, harga TBS merupakan salah satu indikator penting yang dapat mempengaruhi penawaran petani kelapa sawit (Arianto, 2008).

Berbagai faktor berpengaruh dalam pembentukan harga TBS, yaitu harga CPO dan inti. Selain harga patokan CPO dan inti yang ditentukan pemerintah, masih ada nilai rendemen CPO dan inti yang turut menentukan harga TBS. Mutu dan rendemennya ditentukan oleh jenis bibit, umur tanaman dan mutu panen (PERHEPI, dalam Bangun, 1989).

Kebijakan mengenai harga, misalnya mengenai harga TBS, merupakan wewenang pemerintah yang diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan pejabat berwenang, seperti surat keputusan menteri (PERMENTAN) atau pejabat (SK) yang diberi wewenang untuk itu. Kebijaksanaan diambil dengan tujuan untuk melindungi petani dan menstabilkan perekonomian (Daniel, 2002).

Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No 395/Kpts /OT.140/11/2005 diatur mengenai Pedoman Pekebun di dalam Permentan ini di definisikan sebagai


(18)

pengembangan pola perusahaan inti rakyat (PIR) atau yang melakukan kemitraan usaha dengan perusahaan mitra.

Tujuan dari pengaturan harga TBS melalui Permentan 395 tersebut adalah untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar dari TBS kelapa sawit produksi petani dan menghindari persaingan tidak sehat diantara pabrik kelapa sawit. Pasal 4 Permentan Nomor 395 mengatur bahwa Pekebun menjual seluruh tandan buah segarnya kepada perusahaan dan perusahaan membeli seluruh tandan buah segar untuk diolah dan dipasarkan sesuai dengan perjanjian kerjasama.

Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa harga pembelian tandan buah segar oleh perusahaan di dasarkan pada rumus harga pembelian tandan buah segar, yang mengandung variable indeks proporsi (dalam %) yang menunjukkan bagian yang diterima oleh pekebun (dinyatakan dalam notasi K), harga rata-rata minyak sawit kasar (CPO) tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada periode sebelumnya (dinyatakan dengan notasi Hms), rendemen CPO (dinyatakan dengan notasi Rms) dan rendemen inti sawit/PKO (dinyatakan dengan notasi Ris) dan harga rata-rata inti sawit tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan local masing-masing perusahaan pada periode sebelumnya (dinyatakan dengan notasi His).

Rumus harga pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut:

HTBS = K (HCPO x RCPO + HIS xRIS)


(19)

HTBS : Harga TBS acuan yang diterima oleh Petani di tingkat pabrik, dinyatakan

dalam Rp/kg dan merupakan harga franco pabrik pengolahan;

K : Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh petani, dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan setiap bulan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I berdasarkan Tim Penetapan Harga Pembelian TBS;

HCPO : Harga rata-rata minyak sawit kasar (CPO) tertimbang realisasi penjualan

ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya, dinyatakan dalam Rp/kg dan ditetapkan setiap bulan;

RCPO : Rendemen minyak sawit kasar, dinyatakan dalam persentase dan

ditetapkan sebagai Lampiran SK Menbutbun;

HIS : Harga rata-rata tertimbang minyak inti sawit realisasi penjualan ekspor

(FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya, dinyatakan dalam Rp/kg dan ditetapkan setiap bulan ;

RIS : Rendemen minyak inti sawit, dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan

sebagai Lampiran SK Menbutbun (PERMENTAN, 2005).

Harga pembelian TBS sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Tim Penetapan Harga TBS yang dibentuk oleh Gubernur, minimal 1 (satu) kali setiap bulan yang merupakan harga franco pabrik pengolahan kelapa sawit. Keanggotaan Tim Penetapan Harga TBS terdiri dari unsur Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota; Dinas yang menangani Perkebunan Propinsi, Kabupaten/Kota; Perusahaan Inti; Wakil Pekebun PIR Kelapa Sawit (kelembagaan Pekebun); dan instansi terkait.

Dan pengembangannya hingga pada saat ini, penetapan harga pembelian TBS dilakukan oleh masing-masing propinsi dengan tetap berpedoman pada


(20)

Permentan Nomor 395. Khusus untuk daerah Propinsi Sumatera Utara, harga pembelian TBS ditetapkan 1 (satu) kali setiap minggu. Penetapan harga TBS di Sumatera Utara dilakukan oleh sebuah Tim Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Propinsi Sumatera Utara. Tim tersebut terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, Lembaga Penelitian, Perusahaan Kelapa Sawit, dan Petani.

Terkait mengenai sanksi apabila tidak memenuhi ketentuan ketetapan harga TBS yang ditetapkan, Pasal 11 Permentan 395 dimaksud, menginformasikan bahwa Pekebun/kelembagaan pekebun dan Perusahaan apabila tidak memenuhi ketentuan yang telah disepakati dikenakan sanksi sesuai dalam perjanjian kerjasama (yang dibuat diantara kedua belah pihak).

Harga TBS yang diterima petani dihitung berdasarkan Indeks Proporsi K. Untuk komponen K yang biasa disebut dengan indeks proporsi K yang merujuk pada pada keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan maupun Peraturan Menteri Pertanian tersebut pada dasarnya merupakan persentase besarnya hak petani tersebut di atas terhadap harga TBS. Angka ini biasanya berada pada tingkat di bawah 100 persen karena sebagai faktor pembilang untuk menentukan K lebih kecil dari angka pada faktor penyebut (Anonymous, dalam Mulyana, 2008).


(21)

Faktor – faktor yang mempengaruhi nilai rendemen

Jenis bibit sangat mempengaruhi rendemen dari TBS. Bibit yang baik akan menghasilkan TBS yang bermutu tinggi, dan demikian juga sebaliknya. Dalam pemilihan jenis bibit, perlu diperhatikan beberapa kriteria tertentu agar buah yang dihasilkan baik mutunya sehingga minyak yang dihasilkan bermutu baik dan memiliki posisi harga yang baik pula. Selektif dalam memilih bibit tanaman menjadi dasar penentuan nilai komersial perkebunan dan menentukan tingkat produktifitas tanaman (Pardamean, 2008)..

Peningkatan kualitas rendemen TBS lebih banyak dipengaruhi oleh umur tanaman. Tindakan agronomis sangat menentukan umur komersial tanaman kelapa sawit. Umur ekonomis kelapa sawit yang dibudidayakan umumnya 25 tahun. Pada umur lebih dari 25 tahun, tanaman sudah tinggi sehingga sangat sulit dipanen, tandan pun jarang sehingga diperhitungkan tidak ekonomis lagi. Pada 3 tahun pertama, tanaman belum menghasilkan (TBM). Sesudahnya, lebih dari 3 tahun, disebut tanaman menghasilkan (TM), dengan pengklasifikasian umur 3-8 tahun tanaman mulai berproduksi, umur 9-20 tahun tanaman mencapai produksi optimal, dan umur lebih 25 tahun tanaman mulai mencapai akhir umur ekonomisnya (Pardamean, 2008).

Drajat (2004) dalam penelitiannya mengatakan bahwa umur tanaman mempengaruhi kualitas rendemen TBS, yang pada akhirnya sangat berpengaruh terhadap harga TBS. Kualitas rendemen TBS dikatakan tinggi ketika tanaman berumur pada selang waktu 7 hingga 22 tahun, sehingga perkiraan harga TBS lebih tinggi. Tetapi kualitas rendemen TBS masih rendah pada selang umur tanaman 3 sampai 6 tahun dan 23 sampai 25 tahun, sehingga perkiraan harga TBS lebih rendah.


(22)

Mutu panen juga dapat mempengaruhi kualitas rendemen TBS. Rendemen TBS dapat menurun karena panen yang kurang efektif, yang antara lain disebabkan oleh :

• Brondolan mentah sudah dipanen sebelum waktunya

• Buah matang tidak sempurna

• Brondolan tidak bersih dikutip

• Syarat-syarat dan peraturan panen lainnya tidak dipenuhi (Lampiran 3) (Risza, 1994)

2.2 Landasan Teori

Struktur pasar pada saluran pemasaran TBS dapat dipengaruhi oleh demand (permintaan), dan supply (penawaran), dan juga jumlah pembeli dan penjual, hal ini dapat juga mempengaruhi harga di pasaran. Dengan adanya jumlah pembeli yang banyak maka pembeli tidak akan bisa mempengaruhi harga, tetapi sebaliknya jika jumlah pembeli sedikit maka harga akan dapat ditentukan oleh pembeli. Harga merupakan salah satu variabel yang merupakan cerminan dari interaksi penawaran dan permintaan yang bersumber dari sektor rumah tangga maupun industri.

Hukum permintaan menyatakan bahwa makin rendah harga suatu barang maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin tinggi harga suatu barang maka makin sedikit permintaan terhadap barang tersebut. Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa makin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya makin rendah harga suatu barang, semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan (Sukirno, 2002).


(23)

Oleh karena jumlah pembeli yang sedikit di dalam pasar, maka penentuan harga dapat dikuasainya. Oleh sebab itu, jumlah pembeli yany sedikit dipandang sebagai penentu harga atau price setter. Dengan mengadakan pengendalian ke atas jumlah barang yang ditawarkan, pembeli dapat menentukan harga pada tingkat yang dikehendakinya (Sukirno, 2002).

Interaksi antara pembeli dan penjual di pasar akan menentukan tingkat harga barang yang wujud di pasar dan jumlah barang yang akan diperjualbelikan di pasar. Teori permintaan menerangkan tentang sifat permintaan para pembeli terhadap suatu barang. Sedangkan teori penawaran menerangkan sifat para penjual dalam menerangkan suatu barang yang akan dijualnya. Dengan menggabungkan permintaan oleh pembeli dan penawaran oleh penjual maka dapat ditunjukkan bagaimana harga keseimbangan atau harga pasar dan jumlah barang yang akan diperjualbelikan (Samuelson, 1986).

Di dalam teori ekonomi mikro disebut bahwa peran pemerintah adalah sebagai stabilitator harga di dalam suatu ekonomi. Apabila terjadi kelebihan permintaan di pasar sehingga harag dari barang bersangkutan meningkat, maka pemerintah melakukan intervensi dengan cara menambah supply di pasar tersebut; sebaliknya, jika terjadi kelebihan stok sehingga harganya jatuh, pemerintah ikut bermain di pasar sebagai pembeli (Tambunan, 2003).

Kebijaksanaan mengenai harga merupakan wewenang pemerintah yang diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan pejabat berwenang, seperti surat keputusan menteri atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Kebijaksanaan diambil dengan tujuan untuk melindungi petani dan menstabilkan perekonomian (Daniel, 2002).


(24)

Campur tangan pemerintah dalam rantai tata niaga dilakukan karena adanya ketidaksempurnaan pasar yang merugikan produsen atau konsumen. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, campur tangan pemerintah masih dilakukan terhadap komoditi yang dianggap strategis. Campur tangan pemerintah harus dilakukan secara hati-hati agar tidak sampai berakibat ketidakstabilan atau kerugian bagi para pelaku pasar. Campur tangan pemerintah tersebut diwujudkan dalam bentuk kebijakan (Amang dan Chrisman, 1995).

2.3 Kerangka Pemikiran

Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, pengetahuan tentang kelembagaan Permentan tentang ketentuan penetapan harga pembelian TBS kelapa sawit produksi petani merupakan suatu hal yang penting. Rumus harga pembelian TBS kelapa sawit produksi petani diberlakukan terakhir kalinya melalui penetapan Permentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005. Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit produksi petani. Tujuan peraturan ini untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar dari TBS kelapa sawit produksi petani.

Kebijakan pemerintah dalam menentukan harga TBS akan mempengaruhi kemampuan petani kelapa sawit untuk berproduksi. Namun demikian, sebagian petani merasakan tingkat harga tersebut bermasalah dan belum sesuai dengan yang diinginkan.

Untuk mengetahui masalah harga TBS produksi petani, maka perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhinya berdasarkan Kebijakan Harga Pembelian TBS (antara lain faktor K, harga CPO dan Inti, rendemen CPO dan Inti) serta berdasarkan kenyataan di lapangan, dimana petani menjual produksi TBS nya ke


(25)

agen pengumpul / PKS (antara lain diperkirakan dari penggunaan kredit, jenis bibit, umur tanaman, mutu panen). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pembentukan harga TBS.

Nilai harga TBS terbentuk berdasarkan perhitungan di lapangan dan berdasarkan kebijakan rumus harga pembelian TBS. Apabila nilai harga TBS berdasarkan perhitungan di lapangan sesuai dengan nilai harga TBS berdasarkan kebijakan rumus harga pembelian TBS, maka tingkat harga tidak memiliki perbedaan (sudah relatif tinggi). Dan apabila nilai harga TBS berdasarkan perhitungan di lapangan tidak sesuai dengan nilai harga TBS berdasarkan kebijakan rumus harga pembelian TBS, maka perlu diketahui penyebab permasalahannya.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka disusunlah suatu skema kerangka pemikiran sebagai berikut :


(26)

Adanya pengaruh

Tingkat kesesuain

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Petani Kelapa

Sawit Rakyat

Harga TBS berdasarkan yang diterima

oleh petani rakyat Harga TBS

berdasarkan Kebijakan Rumus Harga Pembelian TBS Faktor-faktor yang

mempengaruhi :

• Indeks proporsi K

• Harga CPO

• Rendemen CPO

• Harga IS

• Rendemen IS

Faktor-faktor yang mempengaruhi

Sesuai (Tidak ada perbedaan) Tidak sesuai

(Ada perbedaan)

Penyebab perbedaan

Produksi TBS


(27)

2.4 Hipotesis Penelitian

1. Ada beda antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat.

2. Ada beda antara indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat


(28)

METODE PENELITIAN

Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditetapkan secara purposive, yaitu di Kabupaten Labuhan Batu. Adapun dasar pertimbangan penetapan Kabupaten ini sebagai kabupaten penelitian karena kabupaten tersebut merupakan sentra perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Utara (Tabel 1).

Tabel 1. Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit

Kabupaten Luas Lahan (ha)

1. Asahan 38,746

2. Deli Serdang 9,629

3. Labuhan Batu 85,527

4. Langkat 24,438

5. Mandailing Natal 10,400

6. Pakpak Barat 1,260

7. Serdang Bedagai 50,057

8. Simalungun 24,902

9. Tapanuli Selatan 57,744

10. Toba Samosir 1,279

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2007

Metode Penentuan Sampel

Sampel diambil dengan metode penelusuran (Accedental), yaitu metode yang pengambilan sampelnya tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang memenuhi kriteria sampel. Kriterianya adalah petani kelapa sawit. Berdasarkan teori penarikan contoh


(29)

sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 30 sampel petani kelapa sawit, karena bagaimanapun bentuk populasinya teori penarikan sampel menjamin akan diperolehnya hasil yang memuaskan. Untuk penelitian yang menggunakan analisis statistik, ukuran sampel paling minimum 30. Selain itu, merode ini digunakan karena keterbatasan waktu dan biaya dalam penelitian (Walpole, 1992).

Metode Pengumpulan Data a. Data Primer

Data petani kelapa sawit akan diperoleh melalui wawancara (interview) dengan berpedoman pada kuisioner yang terstruktur, yang mana sampel atau responden memberikan jawaban berdasarkan pilihan yang tersedia dalam kuisioner. Selain itu, peneliti juga melakukan pengamatan langsung terhadap objek studi. Data-data primer yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :

• Karakteristik petani kelapa sawit, yang mencakup umur dan tingkat pendidikan petani.

• Deskripsi usaha tani, yang mencakup lama bertani, luas lahan, rentang umur tanaman, dan persentase tanaman menghasilkan petani.

• Petani responden dan jenis bibit

• Petani responden dan kredit

• Data pembentukan harga TBS ditingkat petani

b. Data Sekunder


(30)

tingkat propinsi maupun daerah sel, serta bahan-bahan yang telah diterbitkan berupa hasil penelitian terdahulu.

Data-data skunder yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :

• Data harga TBS Sumatera Utara

• Data rendemen TBS/CPO Sumatera Utara

• Data Indeks Proporsi (K) Sumatera Utara

• Data yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di pasar TBS.

Metode Analisis Data

Untuk menguji hipotesis (1) dan (2), digunakan analisa deskriptif dan analisa uji-t populasi berpasangan pada tingkat petani untuk mengetahui kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat (hipotesis 1) serta perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima petani (hipotesis 2) Rumus harga pembelian yang digunakan adalah sebagai berikut:

Htbs

K = x 100% (Hms X Rms) + (His X Ris)

dimana :

Htbs = nilai TBS di pabrik.

Hcpo = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal minyak sawit kasar (harga FOB bersih).


(31)

Hi = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal inti sawit. Rcpo = rendemen minyak sawit kasar.

Ris = rendemen inti sawit.

Tertimbang maksudnya disini adalah jumlah atau total yang diperoleh berdasarkan kenyataan yang sebenarnya (PERMENTAN, 2005).

Uji-t berpasangan (paired t-test) adalah salah satu metode pengujian hipotesis dimana data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Ciri-ciri yang paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda (Walpole, 2002).

Rumus uji beda rata-rata (t-hitung) :

(

)

(

)





 +





+

+

=

2 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1

1

1

2

1

1

n

n

n

n

s

n

s

n

x

x

th

HO = µ1 = µ2

H1 = µ1 ≠ µ2

Untuk Hipotesis (1), dimana :

x1 = rata-rata harga TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian

x2 = rata-rata harga TBS yang diterima oleh petani

n1 = jumlah sampel variabel 1

n2 = jumlah sampel variabel 2

Kriteria uji :

t-hitung ≤ t-table ... HO diterima (H1 ditolak)


(32)

Keterangan :

HO = tidak ada perbedaan rata-rata harga TBS berdasarkan yang diterima

petani dengan harga TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian

H1 = ada perbedaan rata-rata harga TBS berdasarkan yang diterima petani

dengan harga TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian

Untuk identifikasi masalah (3) dan (4) dianalisis secara deskriptif berdasarkan data sekunder dan fakta-fakta yang terjadi. Penelitian deskriptif terbatas pada usaha mengungkapkan masalah, keadaan, atau peristiwa sebagaimana adanya (Wirartha, 2006).

Untuk masalah (3) digunakan analisa deskriptif untuk mengidentifikasi penyebab harga TBS produksi petani rendah.

Untuk masalah (4) digunakan analisa deskriptif untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya.

Definisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, maka dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut :

a. Definisi

1. Petani adalah perkebunan rakyat yang mengusahakan kelapa sawit yang sudah berproduksi.

2. Harga TBS dilapangan adalah harga di tingkat petani.

3. Harga pembelian TBS adalah harga TBS berdasarkan kebijakan pemerintah.


(33)

4. Rendemen TBS adalah rendemen TBS produksi petani rakyat.

5. Jenis bibit adalah bibit kelapa sawit yang berkualitas maupun yang tidak berkualitas.

6. Umur tanaman adalah umur kelapa sawit produksi petani rakyat.

7. Periode produktif adalah periode umur tanaman kelapa sawit yang telah dapat menghasilkan.

8. Tanaman menghasilkan adalah tanaman kelapa sawit yang telah menghasilkan / memproduksi TBS.

b. Batasan Operasional

1. Daerah penelitian adalah Kabupaten Labuhan Batu.

2. Sampel dalam penelitian ini adalah petani kelapa sawit yang ada di Kabupaten Labuhan Batu.


(34)

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

DAN KARAKTERISTIK SAMPEL

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian 4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis

Penelitian di lakukan di Kabupaten Labuhan Batu yang terdiri dari 9 Kecamatan dan 98 Desa/Kelurahan Definitif dan merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Labuhan Batu terletak antara 1°41’ - 2°44’ LU dan 99°33’ - 100°22’ BT, serta berada pada ketinggian 0 – 2.151 meter di atas permukaan laut, dan menempati area seluas 256.138 Ha yang Adapun batas administratif Kabupaten Labuhan Batu adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Kabupaten Labuhan Batu Utara.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan Kabupaten Padang Lawas Utara.

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Utara. 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Riau.

Selama tahun 2008, rata-rata hari hujan di Kabupaten Labuhan Batu sebanyak 12,75 hari per bulan dengan rata-rata curah hujan 329 mm.

4.1.2 Keadaan Penduduk.

a. Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Labuhan Batu (Sesudah Pemekaran)

Untuk tahun 2008 berdasarkan hasil proyeksi Sensus Penduduk 2000, penduduk Kabupaten Labuhan Batu (setelah pemekaran) sebanyak 409.097jiwa yang tersebar di setiap kecamatan di Kabupaten Labuhan Batu. Dan berdasarkan


(35)

golongan umur dan jenis kelamin penduduk di Kabupaten Labuhan Batu dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kelompok Umur

(tahun)

Penduduk (jiwa)

Persentase Laki-laki Perempuan Jumlah

0 – 14 86.452 85.301 171.753 41,98

15 – 54 108.594 108.328 216.922 53,02

≥ 55 11.137 9.285 20.422 5

Jumlah 206.183 202.914 409.097 100

Sumber : BPS, Labuhan Batu Dalam Angka 2009 (Sesudah Pemekaran)

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Labuhan Batu pada tahun 2008 sebesar 409.097 orang. Data tabel di atas juga menunjukkan jumlah usia non produktif bayi, balita, anak-anak, dan remaja (0 – 14 tahun) sebesar 171.753 jiwa (41,98 %). Adapun jumlah usia manula (>55 tahun) adalah sebesar 20.422 jiwa (5 %). Sedangkan jumlah usia produktif (15 – 54 tahun) adalah sebesar 216. 922 jiwa (53, 02 %). Usia produktif adalah usia dimana orang memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga dapat menghasilkan barang dan jasa dengan efektif. Dari data tersebut juga menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja di Kabupaten Labuhan Batu cukup besar.


(36)

b. Penduduk menurut Lapangan Pekerjaan (Sebelum Pemekaran)

Lapangan pekerjaan di Kabupaten Labuhan Batu dibedakan atas 9 sektor sebagai berikut :

Tabel 3. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja dan Lapangan Pekerjaan Utama

Lapangan Pekerjaan Jumlah

Penduduk (jiwa) Persentase 1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan

Perikanan

239.428 60,32

2. Pertambangan dan Penggalian 251 0,06

3. Industri Pengolahan 22.213 5,59

4. Listrik, Gas, dan Air Minum 207 0,05

5. Konstuksi 9.219 2,32

6. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel

60.745 15,3

7.

Transportasi, Pergudangan, &

Komunikasi 27.064 6,81

8. Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Tanah, dan Jasa Perusahaan

3.615 0,91

9. Jasa Kemasyarakatan 34.177 8,61

Jumlah 396.919* 100

Sumber : BPS, Labuhan Batu Dalam Angka 2009 (keadaan sebelum pemekaran) Ket. * : Jumlah penduduk sebelum pemekaran Kabupaten Labuhan Batu

Tabel 3 menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan Kabupaten Labuhan Batu (sebelum pemekaran) yang paling banyak jumlah penduduknya adalah lapangan pekerjaan di sektor Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan sebesar 239.428 jiwa (60,32 %), sedangkan yang paling sedikit adalah di sektor Listrik, Gas, dan Air Minum sebesar 207 jiwa (0,05 %). Data tersebut juga menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk Kabupaten Labuhan Batu yang berusia produktif, sebagian besar sudah bekerja.


(37)

c. Penduduk menurut Jenjang Tingkat Pendidikan

Penduduk Kabupaten Labuhan Batu menurut tingkat pendidikan terdiri dari jumlah murid SD, SLTP, dan SLTA. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Labuhan Batu dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Penduduk menurut Jenjang Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah Murid

(jiwa)

Persentase thd Jumlah (%)

1. SD 146.643 73,9

2. SLTP 34.138 17,2

3. SLTA 17.658 8,9

Jumlah 198.439 100

Sumber : BPS, Labuhan Batu Dalam Angka 2009

Tabel 4 menunjukkan bahwa jenjang pendidikan penduduk Kabupaten Labuhan Batu paling besar berada pada tingkat SD sebesar 146.643 jiwa (73,9 %). Pada tingkat SLTP adalah sebesar 34.643 jiwa (17,2 %). Sedangkan pada tingkat SLTA merupakan yang terendah, yaitu sebesar 17.658 jiwa (8,9 %).

d. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan masyarakat. Semakin baik sarana dan prasarana akan mempercepat laju pembangunan. Sarana dan prasarana di Kabupaten Labuhan Batu sekarang ini termasuk baik. Hal ini dapat dilihat dari jenis-jenis sarana dan prasarana yang tersedia, baik dari sarana pendidikan, sarana kesehatan, fasilitas peribadatan, dan fasilitas angkutan yang sudah cukup memadai jumlahnya (Lampiran xx). Namun khusus untuk fasilitas jalan, perlu mendapat perhatian yang lebih serius lagi.


(38)

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai sarana dan prasarana di Kabupaten Labuhan Batu dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Jalan merupakan sarana yang sangat penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Sarana jalan yang baik dapat meningkatkan mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu tempat ke tempat lain. Dari Tabel 5, kondisi jalan di Kabupaten Labuhan Batu perlu mendapat perhatian yang serius, karena 45,94 persen jalan kabupaten ada dalam keadaan rusak dan rusak berat (1.005.890 km). Sedangkan jalan dalam kondisi baik 48,55 persen (1.063.100 km) dan sisanya 5,51 persen lagi dalam keadaan sedang (120.660 km).

Tabel 5. Prasarana Jalan

Prasarana Jalan Jumlah (Km)

Jalan

a. Jalan baik 1.063.100

b. Jalan sedang 120.660

c, Jalan rusak dan rusak berat 1.005.890


(39)

4.2 Karakteristik Sampel Penelitian

Karakteristik petani kelapa sawit responden yang akan dibahas adalah meliputi : penggunaan jenis bibit, penggunaan pinjaman modal (kredit), mekanisme penjualan TBS, serta lama bertani, usia tanaman, luas lahan, dan jumlah produksi yang dimiliki. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut.

4.2.1 Petani Sampel menurut Penggunaan Jenis Bibit

Karakterisitik petani sampel menurut penggunaan jenis bibit di Kabupaten Labuhan Batu dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 6. Petani Kelapa Sawit Rakyat menurut Penggunaan Jenis Bibit

Penggunaan Jenis Bibit

Jumlah (Jiwa)

Persentase thd Jumlah (%)

1. Marihat 28 93,33

2. Lainnya 2 6,67

Jumlah 30 100

Sumber : Data diolah dari Lampiran 5

Dari Tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa penggunaan jenis bibit petani sampel di Kabupaten Labuhan Batu pada umumnya di dominasi oleh jenis bibit Marihat yakni sebanyak 28 jiwa atau 93,33 % dari total petani sampel. Sedangkan penggunaan jenis bibit lainnya yakni sebanyak 2 jiwa atau 6,67 % dari total petani sampel.

4.2.2 Petani Sampel menurut Pinjaman Modal (kredit)

Karakterisitik petani sampel menurut pinjaman modal (kredit) di Kabupaten Labuhan Batu dapat dilihat sebagai berikut.


(40)

Tabel 7. Petani Kelapa Sawit Rakyat menurut Pinjaman Modal (kredit)

Pinjaman Modal (kredit)

Jumlah (Jiwa)

Persentase thd Jumlah (%)

1. Ada 18 60

2. Tidak ada 12 40

Jumlah 30 100

Sumber : Data diolah dari Lampiran 6

Dari Tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa pinjaman modal (kredit) petani sampel di Kabupaten Labuhan Batu pada umumnya dimanfaatkan oleh petani yakni sebanyak 18 jiwa atau 60 % dari total petani sampel. Sedangkan yang tidak menggunakan pinjaman modal (kredit) yakni sebanyak 12 jiwa atau 40 % dari total petani sampel.

4.2.3 Petani Sampel menurut Mekanisme Penjualan TBS

Karakterisitik petani sampel menurut mekanisme penjualan TBS di Kabupaten Labuhan Batu dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 8. Petani Kelapa Sawit Rakyat menurut Mekanisme Penjualan TBS

Mekanisme Penjualan TBS

Jumlah (Jiwa)

Persentase thd Jumlah (%)

1. Agen 10 33,33

2. Lainnya 20 66,67

Jumlah 30 100

Sumber : Data diolah dari Lampiran 7

Dari Tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa mekanisme penjualan TBS di Kabupaten Labuhan Batu pada umumnya di dominasi oleh penjualan ke agen yakni sebanyak 10 jiwa atau 33,33 % dari total petani sampel. Sedangkan mekanisme penjualan TBS lainnya yakni sebanyak 20 jiwa atau 66,67 % dari total petani sampel.


(41)

4.2.4 Petani Sampel menurut Lama Bertani, Usia Tanaman, Luas Lahan, dan Jumlah Produksi

Karakterisitik petani sampel menurut lama bertani, usia tanaman, luas lahan, dan jumlah produksi yang dimiliki, dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 9. Karakteristik sampel

Jenis Satuan Range Rataan

1 Lama bertani Tahun 4 − 30 12,51

2 Usia Tanaman Tahun 0 − 25 12,5

3 Luas lahan Ha 0,4 − 80 5,78

4 Produksi Ton 0,25 − 100 6,61

Sumber : Data diolah dari Lampiran 4 & 7

Dari Tabel 9 terlihat bahwa rentang lama bertani dari setiap petani adalah 4 – 30 tahun, dengan rataan sebesar 12,51 tahun, menunjukkan pengalaman yang dimiliki oleh petani sudah cukup banyak dan layak untuk dimintai keterangan. Sementara usia tanaman petani responden yang paling rendah adalah 0 tahun dan paling tinggi adalah 25, dimana usia tanaman rata-rata adalah 12,50 tahun. Dan untuk luas lahan memiliki rentang antara 0,4 – 80 Ha dengan rataan sebesar 5,78 Ha. Mengenai produksi kelapa sawit petani sampel cukup bervariasi antara 0,25 – 100 kg dengan rata-rata sebesar 6,61 kg/petani.


(42)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Usahatani Kelapa Sawit Rakyat

Di daerah penelitian Kabupaten Labuhan Batu, tidak satupun dari 30 petani sampel yang tercatat sebagai peserta PIR. Namun demikian, tidak berarti bahwa petani tidak lagi membutuhkan pinjaman modal dari pihak lain. Jika dulu sebagai peserta PIR petani mendapatkan pinjaman modal untuk pembelian input, maka sekarang sebagai alternatif petani mendapatkannya dari para agen. Tercatat 18 petani (sekitar 60 %) masih membutuhkan pinjaman dalam menjalankan usahanya dan 10 diantaranya (sekitar 56 % dari total petani yang memanfaatkan kredit) mendapatkannya dari agen tempat mereka menjual hasil panennya. Yang lainnya mendapatkan kredit dari bank atau koperasi (Lampiran 6).

Hubungan pinjam meminjam dengan agen tersebut mempengaruhi keputusan petani dalam menjual hasil panennya. Hampir 34 % dari total responden (10 dari 30 responden) menjual hasil panennya ke agen. Walaupun masih terjadi tawar menawar harga, tetapi biasanya penetapan harga cenderung dimonopoli oleh agen. Keterbatasan finansial petani pekebun sawit ini juga terlihat dari luas lahan mereka yang relatif kecil untuk ukuran kebun sawit berskala ekonomis. Rata-rata luas lahan petani responden lebih kurang 5,78 ha, dengan skala terkecil tidak sampai 0,5 ha dan yang terluas mencapai 80 ha. Banyak dari usahatani tersebut semula merupakan usahatani sawah. Alasan mereka beralih ke kelapa sawit bervariasi, mulai dari penghasilan usahatani padi sawah yang dianggap sangat rendah, tanaman sawah lebih rentan terhadap penyakit sedangkan kelapa sawit tidak, menganggap kelapa sawit adalah tanaman


(43)

tabungan masa tua, atau pendapatan dari kelapa sawit dianggap lebih tinggi

dibandingkan dengan pendapatan dari usahatani padi sawah (Lampiran 7).

Usia tanaman sawit di perkebunan rakyat tersebut bervariasi. Ada petani yang baru mulai terjun dalam usaha tani ini, yang dapat dilihat dari lamanya berusahatani selama 4 tahun. Namun demikian ada juga yang sudah menekuninya lebih dari 1 siklus tanaman kelapa sawit (>20-25 tahun), bahkan ada yang telah mencapai 30 tahun. Secara rata-rata, pada saat wawancara dilakukan, umumnya petani telah berusaha hampir selama 12,5 tahun. Walaupun banyak juga petani yang telah meremajakan tanamannya, tetapi umumnya komposisi tanaman yang mereka miliki lebih banyak didominasi oleh tanaman dalam periode produktif, dengan rata-rata 90,73 % dari total luas areal mereka merupakan tanaman menghasilkan (Lampiran 4).

Di daerah penelitian, umumnya petani menggunakan bibit yang dikeluarkan oleh Marihat (93 %), tetapi ada juga yang menggunakan varietas Socfindo, Dura, dan Tenera (selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5). Namun demikian, perlu dicatat bahwa banyak bibit Marihat yang digunakan petani bukanlah merupakan bibit yang telah disertifikasi oleh Marihat. Kebanyakan hanya mengambil bijinya dari perkebunan negara dan membibitkannya sendiri. Dengan demikian, kualitas bibit tersebut tidak dapat dikatakan sama dengan kualitas yang dikeluarkan oleh pembibitan marihat. Di samping varietas bibit, kegiatan melangsir buah juga dapat menentukan pada kualitas minyak yang akan diperoleh. Untuk petani responden, alat yang sering digunakan adalah sepeda yang telah ditambah dengan bak.


(44)

Namun demikian, hingga pada saat penelitian dilakukan, PKS masih menerima TBS dari petani karena pada umumnya PKS tidak dapat memenuhi kapasitas produksinya dari kebun sendiri, terutama pada saat panen sedikit (track) atau saat kebun millik sendiri sedang dalam proses replanting. Berbeda dengan agen, PKS hanya menerima TBS yang memenuhi kriteria terutama dari tingkat kematangannya.

Periode track dan kualitas TBS tersebut pada akhirnya menentukan tinggi rendahnya harga beli yang ditawarkan PKS. Hasil observasi menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi harga yang cukup signifikan. Harga terendah dapat mencapai Rp 300,-/kg, sedangkan harga tertinggi sebesar Rp 1.600,-/kg. Banyak faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga tersebut (Lampiran 7).

5.2 Kesesuaian antara Harga TBS yang Ditetapkan Pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan Harga TBS yang Diterima oleh Petani Rakyat

Penetapan harga TBS kelapa sawit produksi petani dan faktor “K” dilakukan secara periodik seminggu sekali, yang didasarkan pada harga yang diperoleh dari Pusat Pemasaran Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara, GAPKI, dan harga pasar. Dikarenakan penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2009, maka tingkat harga hanya berdasarkan harga rata-rata petani pada bulan tersebut.

Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa tingkat harga yang diterima masing-masing petani berbeda-beda. Dan dari 30 sampel petani, tidak ada satupun petani yang menerima harga TBS sesuai dengan harga pembelian TBS berdasarkan ketetapan pemerintah.


(45)

Untuk mengetahui harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS berdasarkan PERMENTAN, dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat

Keterangan Satuan Range Rataan

1 Harga pembelian TBS berdasarkan

Rumus Harga Pembelian* Rp. 1.132,25 - 1,239,12 1.173,23 2 Harga pembelian TBS yang

diterima oleh petani Rp. 820 - 1.150 955,33

Selisih harga Rp. 217,90

Persentase perubahan % 18,56

Ket. * : Harga rata-rata pada periode Juli 2009 Sumber : Data di olah dari Lampiran 9

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa selisih yang cukup signifikan terjadi pada harga pembelian TBS yang benar-benar diterima petani dibandingkan harga pembelian TBS berdasarkan Kebijakan. Rata-rata persentase perubahan sebesar 18,56 % dengan kisaran selisih harga terendah pada 1,98 % dan tertinggi pada 30,10 %. HargaTBS petani tertinggi yang mendekati harga pembelian TBS

pemerintah adalah Rp 1.150,00/kg, sedangkan yang terendah adalah Rp 820,00/kg, dengan selisih sebesar Rp. 217,90/kg. Dan untuk harga rata-rata

dari 30 petani sampel, hanya mencapai Rp 955,33/kg dengan persentase perubahan sebesar 18,56 %.

Untuk mengetahui perbedaan harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS berdasarkan PERMENTAN dapat dilihat pada Tabel 11. berikut :


(46)

Tabel 11. Hasil Uji Beda Rata-rata harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS berdasarkan kebijakan

No Uraian N

Rata-rata Indeks Proporsi "K"

t-hit df Tingkat Signifikansi

1 Harga pembelian TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian

30 1.173,23

12.698 29 .000 2 Harga pembelian TBS

yang diterima oleh petani

30 955,33

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 12a, 12b, 12c)

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa terjadi perbedaan Rata-rata harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS berdasarkan kebijakan yaitu sebesar 18,56 %. Dan untuk mengetahui apakah harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta harga pembelian TBS berdasarkan kebijakan tersebut berbeda nyata atau tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan, dan didapat hasilnya seperti pada Tabel 11.

Dari Tabel 11. terlihat bahwa nilai tingkat signifikansi harga pembelian TBS yang diterima oleh petani dan harga pembelian TBS berdasarkan kebijakan adalah sebesar 0,000. Karena tingkat signifikansinya 0,000 < 0,005, ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara harga pembelian TBS yang diterima oleh petani dengan harga pembelian TBS berdasarkan kebijakan.

Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian t-hitung. Dari Tabel 11. diperoleh nilai t-hitung sebesar 12,698, dan dari tabel distribusi t didapati t-tabel sebesar = 2,045. Maka terdapat perbedaan antara harga pembelian TBS yang diterima oleh petani dengan harga pembelian TBS berdasarkan kebijakan, karena


(47)

t-hitung > t-tabel (12.698 > 2,045). Dengan demikian hipotesis awal (H0) ditolak,

dan hipotesis alternatif (H1) diterima.

Dengan melihat perbandingan harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat kesesuaian harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat. Hal ini disebabkan oleh faktor perbedaan indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dibandingkan dengan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS

5.3 Perbedaan Indeks Proporsi (K) yang Ditetapkan Pemerintah Berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan Indeks Proporsi (K) Hasil Perhitungan di Lapangan

Indeks proporsi “K” menunjukan bagian yang diterima oleh pekebun, dinyatakan dalam persentase (%). Penetapan indeks “K” dilakukan berdasarkan harga penjualan, biaya pengolahan dan pemasaran minyak sawit kasar dan inti, serta biaya penyusutan.

Untuk menghitung besarnya besarnya indeks K digunakan rumus sebagai berikut: Htbs

K = x 100% (Hms X Rms) + (His X Ris)

dengan pengertian:

Htbs = nilai TBS di pabrik.

Hcpo = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal minyak sawit kasar (harga FOB bersih).


(48)

Rcpo = rendemen minyak sawit kasar. Ris = rendemen inti sawit.

Dengan menggunakan rumus itu maka diperoleh indeks proporsi “K” untuk masing-masing petani kelapa sawit seperti dalam Tabel 12. berikut :

Tabel 12. Nilai Indeks Proporsi "K" Petani Periode Juli 2009

Keterangan Rentang Rataan

1 Indeks Proporsi "K" Berdasarkan

Rumus Harga Pembelian* 84,00 - 84,50 84,11 2 Indeks Proporsi "K" Berdasarkan

Harga TBS yg Diterima petani 58,77 - 82,42 68,47

Selisih 15,64

Persentase perubahan 18,58

Ket. * : Indeks rata-rata pada periode Juli 2009

Sumber : Data diolah dari Lampiran 10

Dari Tabel 12. dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan yang cukup signifikan pada indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dibandingkan dengan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS, dengan rata-rata perbedaannya adalah sebesar 18,58 %. Rata-rata indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit adalah sebesar 68,47 %, sehingga terjadi perbedaan sebesar 15,64 (18,58 %) yang merupakan jumlah yang cukup besar. Kisaran selisih terkecil sebesar 2,00 % pada petani kelapa sawit ke-22 yaitu sebesar 82,42, dan kisaran selisih terbesar sebesar 30,12 % pada petani kelapa sawit ke-19, 23, dan 30, yaitu sebesar 58,77.

Untuk mengetahui perbedaan indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dapat dilihat pada Tabel 13. berikut :


(49)

Tabel 13. Hasil Uji Beda Rata-rata indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS

No Uraian N

Rata-rata Indeks Proporsi "K"

t-hit df Tingkat Signifikansi 1 Indeks proporsi “K”

berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS harga TBS

30 84,11

12.717 29 .000 2

Indeks proporsi “K” yang diterima oleh setiap petani

30 68,47

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 13a, 13b, 13c)

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa terjadi perbedaan rata-rata indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS yaitu sebesar 18,58 %. Dan untuk mengetahui apakah indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS tersebut berbeda nyata atau tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan, dan didapat hasilnya seperti pada Tabel 13.

Dari Tabel 13. terlihat bahwa nilai tingkat signifikansi indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS adalah sebesar 0,000. Karena tingkat signifikansinya 0,000 < 0,005, ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS.


(50)

Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian t-hitung. Dari Tabel 12. diperoleh nilai t-hitung sebesar 12,717, dan dari tabel distribusi t didapati t-tabel sebesar = 2,045. Maka terdapat perbedaan antara indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS, karena t-hitung > t-tabel (12.717 > 2,045). Dengan demikian hipotesis awal (H0) ditolak, dan

hipotesis alternatif (H1) diterima.

Dengan melihat perbandingan indeks proporsi “K” yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi “K” yang diterima oleh petani rakyat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat kesesuaian indeks proporsi “K” yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi “K” yang diterima oleh petani rakyat. Hal ini disebabkan oleh faktor perbedaan harga TBS berdasarkan yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dibandingkan dengan harga TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS

5.4 Penyebab Harga TBS Produksi Petani Rendah Berdasarkan Rumus Harga Pembelian

Dengan kelembagaan PERMENTAN yang jelas, sangat penting untuk memperkirakan beberapa penyebab terjadinya harga TBS rendah. Beberapa penyebab dimaksud terjadi karena adanya masalah yang melibatkan salah satu atau berbagai pihak yang berkepentingan terhadap harga TBS. Mekanisme yang terjadi di lapangan juga menunjukkan kenyataan berkurangnya rasa memiliki dari berbagai pihak yang berkepentingan.


(51)

Beberapa penyebab dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:

i. Harga TBS yang wajar bagi petani telah distorsi oleh berbagai kepentingan, seperti kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup petani, termasuk didalamnya untuk memperoleh surplus berlebih, kepentingan perusahaan maupun agen pengumpul untuk memperoleh keuntungan berlebih, kepentingan perusahaan untuk mengatasi tekanan biaya, dan lain-lain.

ii. Penurunan harga CPO ataupun harga Kernel (inti sawit)

Sementara perusahaan inti ingin mendapatkan keuntungan. Jika hal di atas terjadi , perusahaan inti tidak akan mau mengurangi keuntungannya. Selanjutnya hal yang terjadi di lapangan adalah penurunan harga TBS yang akan diterima petani sehingga biaya pengolahan yang dikeluarkan perusahaan dapat dikatakan tidak mengalami banyak perubahan.

iii. Terdapat masalah dalam penentuan indeks “K”. Penetapan indeks K dilakukan berdasarkan harga penjualan tertimbang minggu sebelumnya, biaya pengolahan dan pemasaran minyak sawit kasar (CPO) dan inti sawit (IS) serta biaya penyusutan perusahaan inti yang hanya diketahui oleh perusahaan inti. Komponen biaya tersebut tidak dapat dikontrol oleh petani, sementara biaya tersebut harus ditanggung oleh petani. Dengan kata lain, bahwa pembebanan biaya tersebut yang besar akan memperkecil indeks K. Indeks K yang kecil berarti harga TBS menjadi rendah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi keuntungan yang akan diterima petani. Perbuatan manipulatif dari Perusahaan dan/atau Petani akan berdampak pada harga TBS produksi petani. Keadaan tersebut tentunya menjadi permasalahan bagi kelangsungan kemitraan perusahaan dengan petani.


(52)

iv. Terdapat permasalahan dalam penentuan nilai rendemen. Penentuan rendemen pabrik dalam penentuan nilai K sulit diketahui petani. Rendemen yang rendah akan ditanggung oleh petani, padahal kemungkinan besar adalah kesalahan pabrik. Penetapan rendemen dilakukan secara periodik setiap harinya oleh perusahaan dengan pengambil sampel secar acak dari TBS yang masuk. Adapun penetapan nilai rendemen berdasarkan hasil laboratorium perusahaan inti. Hal inilah yang menyebabkan penentuan rendemen sulit diketahui petani. Selain itu, rasa memiliki dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kelembagaan penetapan harga TBS semakin berkurang dan keadaan tersebut dimanfaatkan oleh salah satu pihak yang rasa memilikinya dominan untuk menguasai dan menentukan aturan main. Misalnya, perusahaan inti yang cenderung menetapkan nilai rendemen tanpa diketahui pasti oleh petani kebenarannya, maupun produksi TBS petani yang tidak sesuai dengan kualitas panen.

v. Tidak adanya perbedaan antar rendemen dengan umur tanaman. Harga TBS yang ditetapkan berlaku umum berdasarkan umur tanaman. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan tidak adanya perbedaan antar rendemen dengan umur tanaman. Rendemen yang ditetapkan perusahaan dilakukan secara acak sehingga petani tidak mengetahuinya.

Sistem penetapan harga ini menghasilkan perbedaan harga antara harga yang ditetapkan untuk semua umur tanaman dan perkiraan harga yang dapat terjadi menurut umur tanaman (Lampiran 11.).

Secara umum dari Lampiran 11. dapat dilihat bahwa pada selang umur tanaman 3 sampai 6 tahun dan 23 sampai 25 tahun perkiraan harga TBS lebih rendah dibandingkan harga rata-rata yang berlaku. Sedangkan pada selang


(53)

umur tanaman 7 hingga 22 tahun, perkiraan harga TBS lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata yang berlaku. Hal ini berarti terdapat insentif harga bagi petani yang tanaman kelapa sawitnya berumur 3 sampai dengan 6 tahun dan umur 23 hingga 25 tahun. Namun tidak terdapat insentif harga bagi petani dengan komposisi umur tanamannya antara 7 hingga 22 tahun.

Permasalahan harga ini berkembang di lapangan karena pada kenyataannya komposisi umur tanaman kelapa sawit petani umumnya berada pada selang umur 7 hingga 22 tahun, dan dominan pada umur 10 hingga belasan tahun. vi. Kenaikan harga input produksi. Jika resiko itu terjadi, maka perusahaan inti

bersikap bahwa persoalan tersebut harus ditanggung oleh petani sendiri. Dengan demikian, keuntungan perusahaan inti akan selalu tetap tetapi keuntungan petani tidak sesuai dengan kondisi yang diinginkan petani itu sendiri.

Apabila berbagai penyebab di atas mengarah pada posisi petani/Kelembagaan Petani lebih lemah dibandingkan posisi Perusahaan, maka akan mengarah pada rendahnya harga TBS produksi petani. Keadaan ini akan lebih mungkin terjadi manakala pihak Pemerintah yang tergabung dalam Tim Penetapan Harga tidak menunjukkan pembelaan dan perlindungan terhadap petani.


(54)

5.5 Permasalahan yang Dihadapi Petani Rakyat dan Solusinya dalam Kaitannya dengan Rendahnya Harga TBS yang Diterimanya.

Adapun kendala-kendala yang dihadapi petani beserta solusinya antara lain : 1. Masalah Harga

Harga yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebagian petani merasakan tingkat harga yang diterimanya belum memuaskan, karena mereka merasa harga yang ditetapkan belum dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Solusi : Skenario reformasi harga pembelian TBS

Dalam uraian berikut diasumsikan bahwa hubungan kemitraan antara petani dan perusahaan perkebunan dipercaya memberikan keuntungan kepada petani maupun perusahaan perkebunan sebagai pihak-pihak yang bermitra. Asumsi ini mengandung implikasi bahwa kelembagaan yang terdapat dalam PERMENTAN dapat menjadi pegangan masing-masing pihak yang bermitra.

Agar kelembagaan PERMENTAN dapat dipertahankan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan reformasi harga pembelian TBS melalui revisi ketentuan teknis, khususnya dalam penetapan rendemen yang digunakan untuk menginput rumus harga pembelian. Seperti diketahui, rendemen yang diberlakukan untuk penetapan harga pembelian berlaku sejak tahun 2005. Dalam selang waktu antara 2005 hingga 2009 telah terjadi dinamika agroekosistem di Sumatera Utara. Oleh karena itu, penghitungan aktual rendemen perlu dilakukan lagi, bahkan untuk selanjutnya perhitungan ini perlu dilakukan secara periodik, misal setahun sekali. Hasil perhitungan ini kemudian digunakan untuk mengkonversi nilai-nilai rendemen yang


(55)

tercantum dalam Lampiran PERMENTAN. Secara teknis, nilai rendemen koreksi ini dapat diperoleh dari hasil hubungan antara rendemen PERMENTAN dengan rendemen aktual menurut umur tanaman.

Langkah lain yang perlu dikembangkan adalah transparansi dalam penyajian informasi harga minyak dan inti sawit termasuk dalam mengkonversi harga ekspor minyak dan inti sawit dari US$ ke dalam Rupiah dan proses perhitungan dan nilai indeks K. Dalam penentuan indeks K, selain nilai konversi harga minyak dan inti sawit, biaya pengolahan merupakan komponen aturan main yang perlu dipahami pihak-pihak yang bermitra.

Setelah langkah-langkah tersebut diterapkan, maka hal lain yang tak kalah penting adalah dimungkinkannya adanya diferensiasi harga menurut komposisi umur tanaman sedemikian rupa sehingga berada pada kondisi yang paling mendekati kondisi kebun yang bermitra dengan petani. Diferensiasi harga ini diterapkan untuk kelompok umur 3 sampai 6 tahun, 7 sampai 22 tahun, dan umur 23 tahun ke atas.

Apabila langkah-langkah di atas dijalankan, maka reformasi harga pembelian TBS di Sumatera Utara dapat terjadi. Hal yang penting adalah reformasi tersebut tetap dalam norma kelembagaan yang ada dan bermuara pada kompromi kemitraan. Petani akan terakomodir keinginannya untuk mendapatkan harga yang layak. Saat inilah merupakan momentum yang tepat untuk melakukan perubahan, meninggalkan praktek-praktek kemitraan yang rentan terhadap ancaman konflik.


(56)

2. Masalah krisis global dan permintaan dunia yang rendah akibat isu lingkungan.

Khusus di Kabupaten Labuhan Batu, harga TBS turun drastis karena diakibatkan oleh krisis global, , dari harga TBS mencapai Rp. 1.600,-/kg di tingkat petani menjadi Rp. 300,-/kg saja (Lampiran 7). Para petani tidak tahu persis penyebab permasalahan itu, kecuali krisis finansial global yang dikambinghitamkan oleh agen pengumpul setiap kali mendatangi mereka saat musim panen tiba. Petani memang tak bisa menampik. Mereka, secara awam, juga mendengar melalui radio dan televisi bahwa krisis finansial sedang menerpa dunia. Ini membuat permintaan terhadap sawit jadi merosot.

Selain itu, salah satu yang menyebabkan rendahnya harga TBS adalah turunnya permintaan dunia akibat faktor kampanye hitam (black campaign) yang ditiupkan pasar Uni Eropa. Mereka menyebutkan perkebunan sawit di Indonesia merusak lingkungan sebab mengkonversi lahan hutan yang menjadi habitat primata langka semacam orangutan. Malah hutan lindung pun diubah menjadi perkebunan sawit padahal merupakan paru-paru dunia untuk mencegah pamanasan global (global warming). Isu ini tentu tak menguntungkan buat pengusaha CPO karena bisa menjadi alasan pasar dunia untuk menurunkan permintaan yang berujung pada turunnya harga sawit di tingkat petani.

Solusi : Perbaikan sistem agribisnis.

Dalam telaah sistem Agribisnis hendaklah dipahami bahwa satu subsistem akan menentukan terhadap kinerja subsistem lainnya. Keterpurukan di subsistem pemasaran haruslah didukung oleh kinerja di subsistem produksi, sarana dan parasana sampai input. Semua subsistem ini


(57)

harus bekerja secara efisien, sehingga dapat memberikan manfaat maksimal kepada petani dan masyarakat secara keseluruhan. Ketidaktersediaan sarana yang memadai mengakibatkan penentuan harga sangat variatif. Bilamana sistem Agribisnis bekerja secara maksimal niscaya kalaupun ada guncangan di pasar global petani tidak akan terpuruk sejauh ini.

3. Masalah bibit

Bibit yang baik adalah bibit yang memiliki nilai rendemen yang tinggi. Jenis yang bagus adalah tenera. Sementara petani rata-rata menggunakan bibit jenis marihat (Lampiran 5). Namun demikian, perlu dicatat banyak bibit marihat yang digunakan petani bukanlah merupakan bibit yang telah disertifikasi oleh Marihat. Kebanyakan hanya mengambil bijinya dari perkebunan negara dan membibitkannya sendiri. Dengan kata lain, kualitas bibit tersebut tidak dapat dikatakan sama dengan kualitas yang dikeluarkan oleh pembibitan marihat. Akibatnya, rendemen TBS yang diproduksi petani akan rendah. Rendemen yang rendah berarti harga TBS menjadi rendah.

Solusi : Penggunakan bibit yang berkualitas.

Bibit yang bersertifikat akan dapat meningkatkan kualitas rendemen TBS. Petani sebaiknya menggunakan bibit varietas tenera, karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu : daging buah lebih tebal, ukuran buah lebih besar, kandungan minyak lebih tinggi, peluang kematangan buah yang sangat tinggi, dan berat buah cukup tinggi. Hasil penelitian Chalil (2009) menunjukkan bahwa varietas tenera mempunyai potensi rendemen sebesar 27,68%−28,05%, dengan nilai aktual di lapangan sebesar 22%−24%.


(58)

4. Masalah penggunaan kredit (Kebutuhan ekonomi yang mendesak)

Sewaktu menjelang hari-hari besar / raya lalu, banyak petani yang membutuhkan dana untuk berhari raya. Mereka terdesak, lalu melego hasil perkebunannya kepada agen pengumpul supaya bisa mendapatkan uang tunai secepatnya. Malah ada petani yang nekad meminjam uang terlebih dulu meski perkebunan sawit miliknya belum siap panen. Momentum inilah yang sering dimanfaatkan para agen pengumpul untuk menekan harga komoditas itu. Malah seusai hari raya pun mereka masih membuat petani tak kuasa dengan harga rendah yang mereka tetapkan sebab membutuhkan dana untuk mengembalikan pinjaman yang terlanjur diterima. Karena itu, harga sawit pun semakin hancur sehabis hari raya.

Solusi : Bantuan modal/pinjaman dari pemerintah.

Pada umunya, petani mengembangkan kebunnya dengan modal pinjaman. Hal ini dilakukan karena tidak semua petani memiliki modal yang cukup dalam mengelola kebunnya. Untuk itu petani memerlukan kredit. Bila pemerintah menyediakan kredit pinjaman dengan syarat yang tidak terlalu memberatkan petani, hal ini akan menghindarkan petani dari pinjaman agen-agen yang selama ini memberatkan petani dengan bunga yang tinggi.

5. Masalah kualitas panen

Di samping varietas bibit, kualitas panen juga dapat menentukan kualitas minyak yang akan diperoleh. Keadaan dilapangan menunjukkan hal demikian, seperti misalnya banyak TBS produksi petani yang dipanen sebelum waktunya. Jikapun terlalu terlalu lama, juga akan mengakibatkan hal yang sama. Di samping itu, kualitas panen juga ditentukan oleh kegiatan melangsir yang baik. Tetapi karena banyak kebun yang letaknya jauh dari


(59)

jalan utama, mengakibatkan buah menjadi cepat rusak. Kondisi jalan yang buruk mengakibatkan harga TBS pada satu tempat jauh lebih rendah dibanding dengan harga dimana sarana jalan lebih baik. Kondisi seperti ini besamaan pula dengan tingkat produktivitas yang rendah, sehingga mengakibatkan daya saing industri sawit lemah. Apalagi pupuk yang menjadi komponen penting semakin langka pula—kalaupun ada harganya sangat mahal di pasaran.

Solusi : Perbaikan sarana dan prasarana

Perbaikan harus dilakukan pada kondisi jalan yang buruk, agar tidak merusak kadar rendemen TBS pada saat pengangkutan. Solusi lain bisa diberikan dengan memperbesar pasokan pupuk subsidi sekaligus mengawasi distribusinya (sebab selama ini petani sering kehilangannya di pasar akibat aksi spekulan) dan menyerap langsung hasil perkebunan itu di kala pasar sedang jenuh, sebagaimana beras yang ditampung oleh Bulog.

6. Hanya agen yang mengetahui.

Agen pengumpul tampaknya memang serba tahu, karena para agen menguasai informasi mengenai pasar. Agen pengumpul pun menggenggam bisnis komoditas itu dengan bekal informasi yang mereka punya. Mereka menggunakannya untuk menentukan naik-turun harga di tingkat petani. Aksi spekulasi dilakukan oleh agen pengumpul maupun pengusaha untuk sawit. Mereka memanfaatkan isu krisis finansial dan rendahnya permintaan dunia untuk menekan harga komoditas itu, supaya bisa membelinya dengan harga semurah-murahnya dari petani.


(1)

Lampiran 10. Nilai Indeks Proporsi "K" Petani Periode Juli 2009

No Sampel

Indeks Proporsi "K" Berdasarkan Harga

TBS yg Diterima

Indeks Proporsi "K" Berdasarkan

Rumus Harga Pembelian*

Selisih Indeks Proporsi "K"

Persentase Perubahan

( % )

1 65,94 84,11 18,17 21,59

2 70,24 84,11 13,87 16,48

3 78,84 84,11 5,27 6,26

4 67,73 84,11 16,38 19,47

5 65,94 84,11 18,17 21,59

6 75,25 84,11 8,86 10,52

7 78,84 84,11 5,27 6,26

8 68,09 84,11 16,02 19,04

9 70,24 84,11 13,87 16,48

10 71,67 84,11 12,44 14,78

11 65,94 84,11 18,17 21,59

12 67,37 84,11 16,74 19,89

13 79,91 84,11 4,20 4,98

14 63,79 84,11 20,32 24,15

15 67,37 84,11 16,74 19,89

16 65,94 84,11 18,17 21,59

17 65,94 84,11 18,17 21,59

18 64,50 84,11 19,61 23,30

19 58,77 84,11 25,34 30,12

20 60,20 84,11 23,91 28,41

21 71,67 84,11 12,44 14,78

22 82,42 84,11 1,69 2,00

23 58,77 84,11 25,34 30,12

24 60,20 84,11 23,91 28,41

25 79,55 84,11 4,56 5,41

26 70,24 84,11 13,87 16,48

27 67,37 84,11 16,74 19,89

28 72,39 84,11 11,72 13,93

29 60,20 84,11 23,91 28,41

30 58,77 84,11 25,34 30,12

Jumlah 2054,09 469,21 557,53

Rataan 68,47 15,64 18,58

Ket. * : Indeks rata-rata pada periode Juli 2009 Sumber : Analisis Data Primer


(2)

Lampiran 11. Harga TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Prov. Sumatera Utara Menurut Umur Tanaman

a. Periode Tanggal 01 s/d 08 Juli 2009

Umur Tanaman Faktor "K"

Rendemen CPO

Harga CPO

Rendemen Kernel

Harga

Kernel Harga TBS

1 2 3 4 5 6 7 = 2(3x4)+2(5x6)

3 tahun 84,50 15,62 6.124,40 3,60 2.490,30 884,11

4 tahun 84,50 17,50 6.124,40 4,05 2.490,30 990,87

5 tahun 84,50 18,75 6.124,40 4,35 2.490,30 1.061,87

6 tahun 84,50 19,25 6.124,40 4,50 2.490,30 1.090,90

7 tahun 84,50 20,00 6.124,40 4,60 2.490,30 1.131,82

8 tahun 84,50 20,62 6.124,40 4,80 2.490,30 1.168,12

9 tahun 84,50 21,25 6.124,40 5,00 2.490,30 1.204,93

10 s/d 20 tahun 84,50 21,87 6.124,40 5,10 2.490,30 1.239,12

21 tahun 84,50 21,25 6.124,40 5,10 2.490,30 1.207,32

22 tahun 84,50 20,62 6.124,40 5,10 2.490,30 1.174,29

23 tahun 84,50 20,00 6.124,40 5,10 2.490,30 1.142,34

24 tahun 84,50 19,25 6.124,40 5,10 2.490,30 1.103,53

25 tahun 84,50 18,75 6.124,40 5,10 2.490,30 1.077,65

Sumber : Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara, 2009 Umur

(tahun) R ms R is

Harga TBS (Rp/kg) Periode

01-08

Periode 09-14

Periode 15-21

Periode 22-28

Periode 29-04

Agst

Rata2

3 15,62 3,60 884,11 845,27 807,87 807,87 827,56 834,54

4 17,50 4,05 990,87 947,37 905,42 905,42 927,49 935,31

5 18,75 4,35 1.061,87 1.015,28 970,30 970.30 993,95 1.010,35 6 19,25 4,50 1.090,90 1.043,10 996,81 996,81 1.021,12 1.029,75 7 20,00 4,60 1.131,82 1.082,09 1.034,23 1.034,23 1.059,42 1.068,36 8 20,62 4,80 1.168,12 1.169,89 1.067,37 1.067,37 1.093,39 1.113,23 9 21,25 5,00 1.204,93 1.152,18 1.100,99 1.100,99 1.127,84 1.137,39 10 – 20 21,87 5,10 1.239,12 1.184,79 1.132,25 1.132,25 1.159,85 1.169,65 21 21,25 5,10 1.207,32 1.154,37 1.102,87 1.129,80 1.120,33 1.142,94 22 20,62 5,10 1.174,29 1.123,46 1.073,01 1.099,27 1.090,05 1.112,02 23 20,00 5,10 1.142,34 1.093,04 1.043,63 1.069,23 1.060,25 1.081,70 24 19,25 5,10 1.103,53 1.056,27 1.008,10 1.032,89 1.024,20 1.045,00 25 18,75 5,10 1.077,65 1.031,71 984,40 1.008,65 1.000,16 1.020,51 Sumber : Data diolah dari dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara, 2009 (Lampiran 11)


(3)

b. Periode Tanggal 09 s/d 14 Juli 2009

Umur Tanaman Faktor "K"

Rendemen CPO

Harga CPO

Rendemen Kernel

Harga

Kernel Harga TBS

1 2 3 4 5 6 7 = 2(3x4)+2(5x6)

3 tahun 84,00 15,62 5.840,90 3,60 2.609,09 845,27

4 tahun 84,00 17,50 5.840,90 4,05 2.609,09 947,37

5 tahun 84,00 18,75 5.840,90 4,35 2.609,09 1.015,28

6 tahun 84,00 19,25 5.840,90 4,50 2.609,09 1.043,10

7 tahun 84,00 20,00 5.840,90 4,60 2.609,09 1.082,09

8 tahun 84,00 20,62 5.840,90 4,80 2.609,09 1.169,89

9 tahun 84,00 21,25 5.840,90 5,00 2.609,09 1.152,18

10 s/d 20 tahun 84,00 21,87 5.840,90 5,10 2.609,09 1.184,79

21 tahun 84,00 21,25 5.840,90 5,10 2.609,09 1.154,37

22 tahun 84,00 20,62 5.840,90 5,10 2.609,09 1.123,46

23 tahun 84,00 20,00 5.840,90 5,10 2.609,09 1.093,04

24 tahun 84,00 19,25 5.840,90 5,10 2.609,09 1.056,27

25 tahun 84,00 18,75 5.840,90 5,10 2.609,09 1.031,71

Sumber : Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara, 2009

c. Periode Tanggal 15 s/d 21 Juli 2009

Umur Tanaman Faktor "K"

Rendemen CPO

Harga CPO

Rendemen Kernel

Harga

Kernel Harga TBS

1 2 3 4 5 6 7 = 2(3x4)+2(5x6)

3 tahun 84,00 15,62 5.641,00 3,60 2.239,70 807,87

4 tahun 84,00 17,50 5.641,00 4,05 2.239,70 905,42

5 tahun 84,00 18,75 5.641,00 4,35 2.239,70 970,30

6 tahun 84,00 19,25 5.641,00 4,50 2.239,70 996,81

7 tahun 84,00 20,00 5.641,00 4,60 2.239,70 1.034,23

8 tahun 84,00 20,62 5.641,00 4,80 2.239,70 1.067,37

9 tahun 84,00 21,25 5.641,00 5,00 2.239,70 1.100,99

10 s/d 20 tahun 84,00 21,87 5.641,00 5,10 2.239,70 1.132,25

21 tahun 84,00 21,25 5.641,00 5,10 2.239,70 1.102,87

22 tahun 84,00 20,62 5.641,00 5,10 2.239,70 1.073,01

23 tahun 84,00 20,00 5.641,00 5,10 2.239,70 1.043,63

24 tahun 84,00 19,25 5.641,00 5,10 2.239,70 1.008,10

25 tahun 84,00 18,75 5.641,00 5,10 2.239,70 984,40


(4)

d. Periode Tanggal 22 s/d 28 Juli 2009

Umur Tanaman Faktor "K"

Rendemen CPO

Harga CPO

Rendemen Kernel

Harga

Kernel Harga TBS

1 2 3 4 5 6 7 = 2(3x4)+2(5x6)

3 tahun 84,05 15,62 5.765,64 3,60 2.333,49 807,87

4 tahun 84,05 17,50 5.765,64 4,05 2.333,49 905,42

5 tahun 84,05 18,75 5.765,64 4,35 2.333,49 970.30

6 tahun 84,05 19,25 5.765,64 4,50 2.333,49 996,81

7 tahun 84,05 20,00 5.765,64 4,60 2.333,49 1.034,23

8 tahun 84,05 20,62 5.765,64 4,80 2.333,49 1.067,37

9 tahun 84,05 21,25 5.765,64 5,00 2.333,49 1.100,99

10 s/d 20 tahun 84,05 21,87 5.765,64 5,10 2.333,49 1.132,25

21 tahun 84,05 21,25 5.765,64 5,10 2.333,49 1.129,80

22 tahun 84,05 20,62 5.765,64 5,10 2.333,49 1.099,27

23 tahun 84,05 20,00 5.765,64 5,10 2.333,49 1.069,23

24 tahun 84,05 19,25 5.765,64 5,10 2.333,49 1.032,89

25 tahun 84,05 18,75 5.765,64 5,10 2.333,49 1.008,65

Sumber : Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara, 2009

e. Periode Tanggal 29 Juli s/d 04 Agustus 2009

Umur Tanaman Faktor "K"

Rendemen CPO

Harga CPO

Rendemen Kernel

Harga

Kernel Harga TBS

1 2 3 4 5 6 7 = 2(3x4)+2(5x6)

3 tahun 84,00 15,62 5.722,51 3,60 2.307,79 827,56

4 tahun 84,00 17,50 5.722,51 4,05 2.307,79 927,49

5 tahun 84,00 18,75 5.722,51 4,35 2.307,79 993,95

6 tahun 84,00 19,25 5.722,51 4,50 2.307,79 1.021,12

7 tahun 84,00 20,00 5.722,51 4,60 2.307,79 1.059,42

8 tahun 84,00 20,62 5.722,51 4,80 2.307,79 1.093,39

9 tahun 84,00 21,25 5.722,51 5,00 2.307,79 1.127,84

10 s/d 20 tahun 84,00 21,87 5.722,51 5,10 2.307,79 1.159,85

21 tahun 84,00 21,25 5.722,51 5,10 2.307,79 1.120,33

22 tahun 84,00 20,62 5.722,51 5,10 2.307,79 1.090,05

23 tahun 84,00 20,00 5.722,51 5,10 2.307,79 1.060,25

24 tahun 84,00 19,25 5.722,51 5,10 2.307,79 1.024,20

25 tahun 84,00 18,75 5.722,51 5,10 2.307,79 1.000,16


(5)

Lampiran 12. Hasil Uji Beda Rata-rata harga pembelian TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian serta kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS yang diterima oleh petani

Lampiran 12 a. Statistik Indeks Harga Pembelian TBS Petani Kelapa Sawit

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Harga Pembelian TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian

1.1732E3 30 .00000 .00000

Harga Pembelian TBS yang

diterima oleh Petani 9.5533E2 30 93.99132 17.16039

Lampiran 12 b. Koefisien Korelasi Petani Kelapa Sawit

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Harga Pembelian TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian & Harga Pembelian TBS yang diterima oleh Petani

30 . .

Lampiran 12 c. Nilai Tingkat Signifikansi Petani Kelapa Sawit

Paired Samples Test Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Pair 1 Harga Pembelian TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian - Harga Pembelian TBS yang diterima oleh Petani


(6)

Lampiran 13. Hasil Uji Beda Rata-rata Indeks Proporsi “K” Berdasarkan Harga TBS Berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dibandingkan dengan Indeks Proporsi “K” yang Diterima oleh Setiap Petani Kelapa Sawit

Lampiran 13 a. Statistik Indeks Proporsi "K" Petani Kelapa Sawit

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Indeks Proporsi "K" berdasarkan Rumus Harga Pembelian

84.1100 30 .00000 .00000

Indeks Proporsi "K" yang

diterima oleh Petani 68.4697 30 6.73634 1.22988

Lampiran 13 b. Koefisien Korelasi Petani Kelapa Sawit

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Indeks Proporsi "K" berdasarkan Rumus Harga Pembelian & Indeks Proporsi "K" yang diterima oleh Petani

30 . .

Lampiran 13 c. Nilai Tingkat Signifikansi Petani Kelapa Sawit

Paired Samples Test Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Pair 1 Indeks Proporsi "K" berdasarkan Rumus Harga Pembelian - Indeks Proporsi "K" yang diterima oleh Petani