LANDASAN TEORI Pengaruh tipe kepribadian ekstrovert (extraversion) dan employee engagement pada pro social voice behavior

13

BAB II LANDASAN TEORI

A. Voice Behaviour

1. Definisi Voice Behaviour

Voice memiliki sejarah yang cukup panjang dan beragam dalam perkembangan ilmu organisasi Morrison, 2014. Van Dyne, Ang dan Botero 2003 menjelaskan bahwa karyawan seringkali memiliki ide, informasi dan pendapat yang bertujuan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan pekerjaannya sendiri maupun organisasi. Premeaux dan Bedeian 2003 juga mengatakan bahwa ketika karyawan menyatakan pendapat mengenai permasalahan yang terjadi dalam lingkungan pekerjaan seperti saran kepada orang lain teman kerja dan organisasi, melakukan pendekatan komunikatif dalam melihat permasalahan yang terjadi dan menyuarakan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan, maka karyawan tersebut dapat dikatakan telah melakukan voice behaviour dalam Nikolau, Maria Dimitris, 2007 Sejak tahun 1980an, penelitian-penelitian yang membahas pengertian voice dan hal-hal yang berhubungan dengan hal tersebut terus berkembang. Spencer 1986 pada waktu itu mendefinisikan voice sebagai ungkapan ketidakpuasan yang tujuan untuk mengubah situasi dan permasalahan serta ungkapan untuk menarik diri dan meninggalkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI permasalahan tersebut. Hirschman 1976 dalam Wang, Huang, Chu Xiaohui Wang 2010 dalam penelitiannya menyatakan bahwa ketika karyawan merasa tidak puas dalam pekerjaannya, maka mereka akan menunjukan perilaku bersuara voice atau keluar dari organisasi exit sebagai respon dari ketidapuasan tersebut. Rusbult, Farrell, Rogers dan Mainous 1988 mengembangkan konsep voice dan menyatakannya dalam 4 tipologi respon. Pertama, Voice sebagai suatu keadaan dimana seseorang secara aktif mencoba untuk membangun dan memperbaiki kondisi dengan cara mendiskusikan permasalahan bersama supervisi atau rekan kerja. Kedua voice sebagai suatu tindakan mengambil keputusan untuk menyelesaikan permasalahan. Ketiga, voice sebagai usaha mencari bantuan dari agen luar, dan yang keempat voice merupakan whistle- blowing . Pada akhir 1990-an, para peneliti yang mengkaji perilaku organisasi mulai menemukan bahwa voice tidaklah hanya sebuah respon dari adanya ketidakpuasan kerja pada karyawan. Voice disebut sebagai usaha membenahi sistem kerja dalam sebuah perusahaan dengan menunjukkan kesalahan yang terjadi dalam perusahaan dan menyampaikan solusi untuk situasi tersebut Pardo, Delval Fuentes, dalam Morrison et al., 2015. Peneliti mengungkapkan bahwa voice merupakan sebuah bentuk dari extra-role behaviour Morrison, 2004. Lepine dan Van Dyne PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1998 memperkenalkan extrarole behaviour sebagai perilaku yang bersifat positif dan sukarela dilakukan yang memberikan keuntungan bagi organisasi. Extrarole behaviour merupakan perilaku yang tidak terdapat dalam job desk dan merupakan suatu inisiatif pribadi dari individu. Baik secara empiris maupun konseptual, voice ditunjukkan sebagai suatu bentuk perilaku kooperatif dan extrarole behaviour, seperti membantu orang lain. Dalam penelitiannya, Lepine dan Van Dyne 1998 juga menyebutkan bahwa extrarole behaviour memiliki 3 ciri utama, yaitu perilaku diluar deskripsi pekerjaan yang diatur organisasi, tidak diatur oleh sistem reward yang formal, dan tidak memiliki konsekuensi hukuman apabila tidak dilakukan. Extra-role behavior juga memiliki 4 tipologi yaitu prohibitive, promotive, affiliative dan challenging. Voice dikategorikan sebagai perilaku extrarole karena voice mememnuhi 2 tipologi dari extrarole behavior yaitu challenging dan promotive. Promotive merupakan tindakan individu yang bersifat proaktif untuk mendorong terjadinya sesuatu, sedangkan challenging merupakan tindakan yang mengarah ke tantangan menyampaikan ide terhadap permasalahan. Morrison 2014 mendefinisikan employee voice behaviour sebagai komunikasi informal dimana karyawan memiliki kebebasan dalam mengkomunikasikan ide, saran, perhatian, informasi atau pendapat mengenai permasalahan dalam hubungan kerja terhadap orang yang memiliki wewenang, yang ditujukan untuk mengambil keputusan demi membawa perusahaan kepada perubahan yang lebih baik. Dalam literaturnya, disebutkan juga bahwa voice behaviour memiliki kemiripan dengan beberapa konsep dengan issue selling dan whistle blowing Issue selling merupakan upaya yang dilakukan karyawan untuk mendapatkan posisi kepimimpinan organisasi, dengan cara memperhatikan masalah yang sedang terjadi dan dirasa sangat penting Miceli Near dalam Morrison, 2014. Dalam praktiknya, issue selling membutuhkan voice behaviour untuk membentuk koalisi, mencari sekutu dan mempersiapkan presentasi mengenai suatu permasalahan atau isu tertentu. Penelitian mengenai issue selling memberikan wawasan yang berguna untuk mengetahui proses bagaimana seorang karyawan memutuskan apakah akan berbicara tentang masalah yang mereka anggap penting Morrison, 2014. Whistle blowing diartikan sebagai sebuah perilaku yang mengarah pada pengungkapan perilaku yang illegal, tidak bermoral, atau tidak berkenan yang dilakukan oleh seseorang kepada organisasi Morrison, 2014. Penelitian yang dilakukan terhadap istilah whistle blowing pada umumnya menjelaskan hal tersebut sebagai suatu ekspresi yang mengungkapkan ketidaksepakatan atau pertentangan pendapat terhadap perusahaan, yang dapat kita lihat sebagai voice behaviour. Whistle- blowing juga dianggap sebagai saluran internal yang memiliki relevansi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI langsung dalam proses memahami voice behaviour sebagai respon terhadap atasan. Berdasarkan penjabaran dan pengembangan definisi yang telah dijelaskan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa voice behaviour adalah perilaku menyuarakan ide, informasi, gagasan atau saran mengenai permasalahan yang ada dalam lingkungan kerja yang tidak terdapat dalam job desk perusahaan dan diungkapkan kepada orang lain yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan tertentu terkait informasi tersebut dengan tujuan membawa organisasi atau perusahaan ke arah yang lebih baik.

2. Jenis-jenis Voice Behaviour

Van Dyne, Ang dan Botero 2003 menjelaskan bahwa keputusan karyawan untuk melakukan voice di tempat kerja didasari oleh motivasi yang berbeda-beda. Motivasi tersebut antara lain adalah disengaged, protective dan other-oriented. Disengaged adalah motivasi yang didasari oleh perasaan tidak mampu untuk membuat suatu perubahan yang berarti dalam perusahaan atau organisasinya Pinder Harlos, 2001; Whiteside Barclay, 2013. Motivasi yang didasari oleh perasaan takut dan adanya pemikiran terhadap resiko pribadi yang akan dihadapi adalah protective, atau biasa disebut dengan Self Protective Behaviour Van Dyne et al. 2003; Milliken, Morrison Hewlin, 2003; Milliken Morrison, 2000. Sedangkan motivasi yang didasari oleh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI adanya perasaan kooperatif dan altruistik pada karyawan disebut sebagai other-oriented Van Dyne et al. 2003; Organ, 1998 Dari ketiga motivasi tersebut, Van Dyne et al. 2003 mengklasifikasikan voice behaviour menjadi 3 jenis, yaitu prosocial voice, defensive voice dan acquiescent voice. a. Acquiescent Voice Acquiescent voice merupakan perilaku verbal yang ditunjukkan dengan mengekspresikan ide, informasi dan pendapat yang didasari oleh penarikan diri resignation. Acquiescent Voice termasuk dalam disengaged behaviour, yang diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak terlibat secara langsung yang disebabkan oleh perasaan tidak mampu seseorang dalam melakukan perubahan Van Dyne et al, 2003; Pinder Harlos, 2001; Whiteside Barclay, 2013; Milliken et al. 2003. Hal ini membuat perilaku acquiescent voice lebih bersifat persetujuan dan dukungan terhadap ide kelompok. Ciri dari perilaku ini adalah bersifat pasif serta rendahnya efikasi diri terhadap perubahan. b. Defensive Voice Defensive voice merupakan suatu perilaku verbal dengan mengekspresikan ide, informasi dan pendapat terkait pekerjaan yang didasari oleh rasa takut dan adanya kecenderungan untuk melindungi diri self-protective behaviour Van Dyne et al. 2003; Milliken et al. 2003; Milliken Morrison, 2000. Self-protected behaviour sebagai perilaku yang ditandai dengan senang mengambil keputusan yang aman-aman saja dan tidak suka mengambil tanggung jawab yang ditanggung sendiri Schlenker Weigold, dalam Van Dyne et al. 2003. Individu yang melakukan defensive voice biasanya cenderung mengambil sedikit tanggung jawab, namun tetap bersikap proaktif. Selain itu, rasa takut yang mendasari membuat individu cenderung mengalihkan perhatian dari permasalahan yang terjadi dan menyalahkan orang lain. c. Pro-Social Voice Pro Social Voice merupakan suatu perilaku verbal dengan mengekspresikan ide, informasi, dan pendapat yang didasari oleh adanya motif bekerja sama atau rasa kooperatif dari diri individu terhadap lingkungan kerja Organ, 1998; Van Dyne et al. 2003; LePine Van Dyne 1998. Individu yang melakukan pro social voice berfokus untuk memberi keuntungan organisasi dengan cara megutarakan permasalahan, solusi dan menyuarakan ide yang bersifat konstruktif demi mencapai perubahan dan kemajuan organisasi. Dengan kata lain, perilaku ini dilakukan karena inisiatif pribadi, proactive behaviour dan other-oriented. Pengutaraan proactive voice bukan bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI akan tetapi mereka berorientasi pada kepentingan bersama Van Dyne et al. 2003.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Voice Behaviour

Morrison 2014 menjelaskan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan memperkuat voice behaviour disebut sebagai motivator. Motivator berperan dalam memunculkan keinginan seseorang untuk membuat perubahan dalam organisasi atau meningkatkan ekspektasi subyektif seseorang sehingga melakukan voice behaviour Van Dyne et al. 2003; Morrison, 2014. Disebutkan bahwa hal yang memotivasi voice behaviour antara lain adalah: a. Kecenderungan sifat individual dispotitions Individu yang memiliki kecenderungan sifat atau kepribadian yang ekstrovert extraversion, kepribadian yang proaktif proactive personality dan memiliki orientasi terhadap tugas duty orientation akan lebih mudah untuk melakukan voice behaviour Crant et al. 2010, LePine Van Dyne 2001, Tangirala et al. 2013. Kepribadian yang penuh kesadaaran conscientiousness, asertif assertiveness dan memiliki orientasi terhadap pelanggan customer orientation juga dapat memotivasi terjadinya voice behaviour. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI b. Sikap dan persepsi terhadap pekerjaan dan organisasi job and organizational attitudes and perceptions Mencakup bagaimana proses karyawan melakukan identifikasi terhadap organisasi organizational identification, identifikasi terhadap kinerja kelompok work-group identification, perasaan mengenai kewajiban untuk berubah felt obligation for change, kepuasan kerja job satisfaction, keleluasaan peran role breadth, kontrol atau pengaruh control or influence dan dukungan organisasi organizational support Morrison, 2014. Selain itu, dilihat dari tujuannya, seseorang akan melakukan voice ketika ia memiliki informasi yang dianggap penting bagi organisasi atau perusahaan Nikolau et al. 2007; Deter Burris, 2007; Morisson, 2014. Oleh karena itu, persepsi individu terhadap pekerjaan dan organisasi juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi voice behaviour Morisson, 2014 dimana salah satunya ialah engagement LePine Van Dyne, 1998. Engagement merupakan keterlibatan penuh terhadap organisasi, mengekspresikan dan mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama bekerja dalam organisasi atau sebuah perusahaan Rana et al. 2014; Khan, 1990. Individu yang engage tentunya akan cenderung melakukan voice di tempat kerja. Karyawan yang engage merasa mampu mengerjakan tugas- tugas mereka dengan baik dalam pekerjaan maupun organisasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Rana et al. 2014 yang menunjukkan bahwa karyawan dapat melakukan identifikasi terhadap organisasi organizational identification Morrison, 2014. Khan 1990 menyebutkan istilah personal engagement sebagai pemanfaatan diri setiap anggota dalam organisasi, terhadap peran mereka yang berupa keterlibatan secara penuh terhadap organisasi, mengekspresikan dan mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama mereka bekerja. Hal tersebut merupakan bentuk dari keleluasan peran role breadth karyawan dalam organisasi atau perusahaan. Gebauer dan Lowman dalam Mone et. al., 2011 menyebutkan bahwa karyawan yang engage akan menawarkan kerangka kerja untuk membangun keterlibatan yang didasari oleh karyawan yang mengetahui, menumbuhkan, menginspirasi, melibatkan, dan menguntungkan para pemimpin senior, manajer, sumber daya manusia profesional, dan karyawan sendiri itu sendiri. Artinya karyawan tersebut mampu melakukan identifikasi terhadap kelompok serta melakukan kontrol dan memberikan pengaruh di perusahan. Anitha 2014 menyebutkan bahwa karyawan yang engage merupakan karyawan yang cenderung terlibat dalam organisasi dan siap untuk melakukan kinerja extra role. Dalam artian yang sama, karyawan yang engage berarti secara kualitas akan unggul dikarenakan mereka menunjukkan minat tinggi dalam pekerjaan dan siap untuk “bekerja ekstra” bagi organisasi mereka Bakker PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Xanthopoulou 2009; Alfes, Truss, Soane, Rees Gatenby 2010; Kaya, Lepine Crawford 2010. Engagement merupakan perasaan yang dimiliki oleh karyawan yang berasal dari inisiatif pribadi berupa kemampuan beradaptasi, usaha dan ketekunan yang diarahkan pada tujuan organisasi Mone et. al, 2011. Disamping itu, dalam literaturnya LePine dan Van Dyne 2001 menyebutkan bahwa voice behaviour merupakan salah satu bentuk dari extra role behaviour yang disebutkan dapat menunjukkan letak permasalahan serta memberikan saran atau jalan keluar yang konstruktif ke arah yang lebih baik. Maka dapat dikatakan ketika seorang karyawan memiliki engagement yang tinggi pada organisasi, maka karyawan akan memiliki kecenderungan untuk melakukan voice behaviour. Hal ini menunjukan bahwa engagement merupakan salah satu faktor yang dapat memunculkan adanya voice behaviour. c. Emosi, kepercayaan dan skema emotions, beliefs, and schemas Hal ini mencakup emosi, kepercayaan dan skema yang terdapat dalam diri individu terhadap kemarahan angry yangg dialaminya dan keamanan psikologisnya psychological safety. Penelitian yang dilakukan oleh Edwards, Ashkanasy dan Gardner 2009 menunjukkan bahwa emosi marah anger mempengaruhi kemunculan voice. Morrison 2014 juga menyebutkan bahwa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI emosi marah atau frustrasi dapat memunculkan voice, terlepas dari adanya pertimbangan secara hati-hati mengenai manfaat dan risiko yang akan muncul. Dalam artian lain, seorang karyawan yang sangat marah mungkin akan melakukan voice bahkan terdapat pilihan rasional untuk akan tetap diam. Emosi marah juga dikatakan dapat meningkatkan whistle-blowing Edwards, Ashkanasy, Gardner, 2009; Harvey, Artinko Douglas, 2009. d. Perilaku supervisi dan pemimpin supervisor and leader behaviour Pemimpin merupakan target dari voice behaviour yang memiliki wewenang untuk mengambil tindakan. Oleh karena itu, perilaku pemimpin dan supervisor akan mempengaruhi kesediaan karyawan untuk melakukan voice behaviour Liden Masyln, 1998; Detert Burris, 2007; Morrison, 2014. Hal ini mencakup bagaimana pengaruh pemimpin leader influence, keterbukaan pemimpin openness dan adanya konsultasi consultation yang dilakukan oleh pemimpin kepada karyawannya. Selain itu, adanya positive leader –member exchange, kepemimpinan transformasional transformational leadership dan kepemimpinan etis ethical leadership juga mendorong adanya voice behaviour pada karyawan Zhao, 2014; Wang et al. 2016. e. Faktor kontekstual lainnya Bagaimana iklim voice dalam kelompok group voice climate, iklim yang peduli caring climate Ashford et al. 1998, Frazier Fainshmidt 2012, Morrison et al. 2011, Wang Hsieh 2013 dan mekanisme dari adanya formal voice mechanisms dalam lingkungan kerja Glauser 1984, Morrison Milliken 2000, Pinder Harlos 2001.

B. Tipe Kepribadian Ekstrovert Extraversion

1. Definisi kepribadian Ekstrovert Extraversion

Kepribadian dapat diartikan sebagai sebuah cara yang disukai individu atau kekhasan seseorang dalam berperilaku, berpikir dan merasa Saville, Holdsworth, Nyfield, Cramp, Mabey, 1984. Kepribadian juga didefinisikan sebagai pola sifat dan karakteristik tertentu yang relatif permanen dan memberikan, baik konsistensi maupun individualitas pada perilaku seseorang Feist Feist, 2008. Para peneliti telah mengkonseptualisasikan kepribadian kedalam berbagai macam sifat dan abstraksi di berbagai tingkat McAdams, 1995, dan masing-masing tingkat mengembangkan pemahaman mengenai perbedaan perilaku dan pengalaman manusia John Srivastava, 1999. Selama 15 tahun terakhir, revitalisasi pengetahuan mengenai kepribadian mulai terlihat Funder dalam Matzler, Bidmon, Grabner- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kräuter, 2006, setelah beberapa dekade ini ditemukan adanya perbedaan-perbedaan teori dan temuan yang samar-samar. Timbulnya revitalisasi ini difasilitasi oleh munculnya konsensus yang menjelaskan bahwa kepribadian dapat dikaji melalui 5 domain yaitu, extraversion, neuroticism, openness to experience, agreeableness dan conscientiousness, yang biasa disebut dengan Five-Factor Model of personality FFM. Selama dua dekade terakhir ini, FFM telah mendominasi area psikologi kepribadian Vakola, Tsaousis Nikolaou, 2004. FFM telah memberikan kerangka pengukuran serta bertanggung jawab atas bangkitnya ketertarikan psikologi kepribadian di bidang psikologi organisasi dan pekerjaan. Hal ini disebutkan oleh Mount, Barrick dan Stewart 1998 yang menyatakan bahwa kepribadian memiliki pengaruh terhadap performansi kerja karyawan. Salah satu penelitian mendukung fakta ini adalah ditemukannya hubungan positif antara extraversion dengan performansi kerja karyawan yang bekerja di pekerjaan yang melibatkan interaksi sosial Tett, Jackson Rothstein, 1991. Penelitian juga menunjukkan bahwa extraversion, memiliki hubungan yang positif dengan networking, dimana individu secara aktif mencari perhatian sosial dan watak ini mencondongkan individu untuk terlibat dalam interaksi di tempat kerja Wolff Kim, 2012. Dalam merumuskan extraversion, Eysenck dalam Burger, 2011 membagi unsur-unsur kepribadian kedalam berbagai unit yang dapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI diatur secara hirarki. Dijelaskan bahwa extraversion adalah kombinasi sifat impulsif, aktif, bersemangat dan bergairah, yang dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan individu dalam merespon habitual respon suatu hal. Kebiasaan individu dalam merespon suatu hal dapat dilihat dari tingkat respon spesifik specific respone level yang terdiri atas perilaku-perilaku spesifik specific behaviour. Seseorang yang ekstrovert cenderung ramah dan impulsif. Selain itu, ia cenderung memiliki tingkat interaksi sosial yang tinggi dan sering mengambil bagian dalam kegiatan kelompok. Menurut Goldberg dalam John Srivastava, 1999 extraversion merupakan suatu intensitas interaksi intrapersonal dalam tingkat aktivitas seseorang. Individu dengan kepribadian ekstrovert akan menunjukkan tingkat kesenangan dalam menjalin relasi dan beraktivitas. Selain itu, seseorang yang ekstravert akan cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati hubungan. Feist Feist 2008 menyebutkan karakteristik dengan skor tinggi dan skor rendah dari tipe kepribadian ekstrovert: Tabel 2.1 Karakteristik Kepribadian Extrovert Tipe Kepribadian Ekstrovert Extraversion Skor Tinggi Skor Rendah  Penuh perhatian  Mudah bergabung  Aktif berbicara  Mudah mengekspresikan emosi  Bersemangat  Cuek  Penyendiri  Pendiam  Serius  Pasif  Tidak mudah mengekspresikan emosi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Extraversion adalah kepribadian yang memiliki ciri adanya kemampuan bersosialisasi dan keaktifan. Suliman, AbdelRahman dan Abdalla 2010 mengemukakan bahwa extraversion berfokus pada seorang individu yang ramah, asertif dan berinteraksi secara positif dengan orang lain. Individu yang ekstrovert adalah individu yang mudah bersosialisasi, aktif, suka mengobrol, person-oriented, optimis, suka bersenang-senang, penyayang dan humoris Nikolaou et al., 2007. Barrick dan Mount 1991 menyebutkan bahwa extraversion berkaitan dengan tingkat kekuatan, potensi dan perasaan positif seseorang dan bagaimana mereka dapat berinteraksi dengan orang lain secara kooperatif. Keberadaan individu dengan kepribadian ekstrovert di suatu organisasi akan menghasilkan interaksi yang positif dan kooperatif dengan rekan kerjanya dalam rangka mencapai tujuan kerja LePine Van Dyne, 2001. LePine dan Van Dyne 2001 mengemukakan adanya hubungan positif antara extraversion dan perilaku kooperatif cooperative behaviour. Wolff dan Kim 2012 juga melaporkan bahwa extraversion berhubungan dengan kemampuan untuk membangun jaringan networking . Extraversion memiliki kaitan dengan proactive personality, karena individu dengan kepribadian proactive akan lebih pasti dan terbuka dalam melatih perilaku yang baru Liguori, McLarty Muldoon, 2013. Dalam penelitiannya, Yang dan Hwang 2014 menunjukkan bahwa extraversion merupakan tipe kepribadian yang paling mempengaruhi kepuasan kerja job satisfaction. Ketika seorang individu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial melalui extraversion Buss, 1991, ia akan memperoleh kesuksesan yang senantiasa berkembang dan hidupnya dapat terpelihara dengan baik. Individu yang ekstrovert akan menunjukan performansi yang lebih baik di tempat kerja Judge, Heller Mount, 2002, yang dikarenakan seseorang yang ekstrovert memiliki banyak kesempatan untuk melatih gairahnya. Dalam literaturnya, Avery 2003 menjelaskan bahwa extraversion dan self-efficacy secara signifikan memprediksi value dari voice , dimana individu yang memberikan high value terhadap voice behaviour akan juga menunjukkan peningkatan perilaku voice. Berdasarkan penjabaran dari pengembangan konsep dan definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa extraversion merupakan salah satu tipe kepribadian seseorang yang bercirikan mudah bersosialisasi, aktif, memiliki sikap yang kooperatif terhadap sesama serta memiliki kemampuan untuk menjalin relasi.

2. Aspek dari tipe kepribadian Ekstrovert

Individu yang tergolong ekstrovert cenderung tampak lebih bersemangat, mudah bergaul, terkesan impulsif dalam menampilkan tingkah laku. Individu yang tergolong ekstrovert merupakan seseorang yang berani melanggar aturan, memiliki rasa toleransi yang lebih tinggi terhadap rasa sakit, dan lebih mudah terlibat dalam suatu relasi Burger, 2008. Menurut Pervin, Cervone dan John 2005, individu yang memiliki skor extraversion yang tinggi akan mudah bergaul, aktif, banyak bicara, person-oriented, optimis, menyenangkan, penuh kasih sayang dan bersahabat. Dalam penelitiannya, Costa dan McRae 1995 menyebutkan beberapa sifat yang lebih spesifik dari dimensi kepribadian Ekstrovert. Sifat-sifat tersebut antara lain adalah kehangatan warmth, suka berkumpul gregariousness, asertif assertiveness, aktivitas activity, mencari kesenangan excitement seeking dan emosi positif positive emotions. Pada awal 1975, Eysenck menerbitkan sebuah self-assement yang merumuskan aspek-aspek dari extraversion sebelum menjadi sebuah skala pengukuran Eysenck yaitu Eysenck Personality Profiler EPP Eysenck Wilson, 1991. Terdapat 7 tujuh aspek dari kepribadian ekstrovert, yaitu Activity, Sociability, Assertiveness, Expressiveness, Ambition, Dogmatism, Agressiveness. Pada tahun 1992, Eysenck, Barrett, Wilson dan Jackson mengurangi jumlah aspek untuk dari extraversion dan membuat short- form dari EPP. Aspek-aspek tersebut adalah a. Activity Seseorang yang memiliki tingkat aktivitas yang tinggi biasanya aktif, enerjik, menyukai semua aktivitas fisik, suka bangun pagi-pagi, bergerak dengan cepat dari suatu aktivitas ke aktifitas lainnya dan mengejar berbagai macam kepentingan serta minat yang berbeda-beda. a. Expressiveness Seseorang yang ekspresif mudah mengekspresikan perasaannya dengan baik dan jujur. Individu juga cenderung memperlihatkan emosi kearah keluar dan terbuka dengan baik bila sedang merasa sedih, marah, takut, jatuh cinta ataupun benci. b. Sociability Individu suka mencari teman, mudah menjumpai orang- orang dan menyukai kegiatan sosial seperti pesta-pesta. Menurut Eysenck dan Eysenck 1969 aspek sociability pada individu dengan kepribadian ekstrovert ditunjukkan dengan sikap penyesuaian diri dengan orang lain yang baik. Individu merasa nyaman dan suka berinteraksi dengan orang lain sehingga memilliki banyak teman, ramah dan pemberani.

3. Dampak Kepribadian Ekstrovert

Menurut Myers 1992 seseorang yang ekstrovert cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Penelitian lain juga menunjukkan hasil bahwa seseorang yang cenderung ekstrovert dan berperilaku secara terbuka dapat memberikan peningkatan pengaruh positif bagi sekitarnya Pavot, Diener Fujita, 1990 . Individu yang ekstrovert sukses dalam menjalin hubungan interpersonal dan fleksibel Costa, 1992; Piedmont Weinstein, 1994. Hal ini didasari dari kesukaan seorang yang ekstrovert untuk bekerja sama dengan orang lain yang akan membawa keuntungan dalam pekerjaannya. Di dalam lingkungan kerjanya, individu yang ekstrovert senang untuk menghias kantor, membiarkan pintu ruang kerjanya terbuka, memberikan kursi tambahan didekat tempatnya bekerja dan lebih cenderung meletakkan piring permen di mejanya. Ini adalah usaha untuk mengundang serta mendorong interaksi dengan rekan kerja mereka.

C. Employee Engagement 1. Definisi Employee Engagement

Gagasan mengenai employee engagement telah menarik minat dan perhatian dunia bisnis dan perusahaan konsultasi sejak tahun 1990an, dan baru-baru ini mulai menarik perhatian di bidang akademik. Analisis literatur mengidentifikasi adannya tahapan-tahapan evolusi dalam mengkonseptualisasikan employee engagement, dan dibagi menjadi serangkaian gelombang Welch, 2011. Serangkaian gelombang tersebut dibagi menjadi 4 empat bagian, yaitu Pre-Wave sebelum tahun 1990, Wave 1 tahun 1990-1999, Wave 2 tahun 2000-2005 dan Wave 3 tahun 2006-2010. Pada era Pre-Wave, para peneliti belum menggunakan istilah employee engagement , namun engagement ditandai dengan pengakuan akan adanya kebutuhan bagi karyawan untuk terlibat dengan pekerjaan dan organisasi mereka. Katz dan Kahn dalam Welch, 2011 mendiskusikan bahwa perilaku karyawan employee behaviours diperlukan untuk mencapai efektivitas perusahaan, termasuk terlibat dalam perilaku inovatif dan kooperatif, melebihi perannya dalam mencapai tujuan organisasi. Tahun 1990-an yang dikategorikan sebagai Wave 1, dimulai dengan karya akademis mengenai keterlibatan personal personal engagement. Personal engagement didefinisikan sebagai usaha memanfaatkan diri setiap anggota organisasi terhadap peran mereka, yang berupa keterlibatan mereka secara penuh terhadap organisasi, mengekspresikan dan mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama mereka bekerja dalam organisasi atau perusahaan tersebut Khan, 1990. Memasuki periode Wave 2 tahun 2000-2005, para peneliti mulai banyak mendefinisikan employee engagement dan merumuskan skala yang dapat mengukur tinggi-rendahnya engagament karyawan. Gelombang ini, juga ditandai dengan meningkatnya minat dari badan- badan profesional dalam mendefinisikan employee engagement Welch, 2011. Diawali oleh Rothbard 2001 yang mendefinisikan employee engagement sebagai kehadiran psikologis yang melibatkan dua komponen penting, yaitu attention dan absorption. Attention merupakan keterlibatan kognitif dan jumlah waktu yang dihabiskan anggota karyawan untuk berpikir mengenai pekerjaan dan peran mereka. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sedangkan absorption merupakan perasaan tertarik dan terpikat terhadap peran dan pekerjaannya, dan mengarah kepada intensitas anggota karyawan untuk berfokus terhadap pekerjaan tersebut. Selain itu, Maslach, Schaufeli dan Leiter 2001 memunculkan istilah job engagement yang merupakan sebuah aspek psikologis yang dipicu oleh beberapa hal yaitu, energi energy, pengaruh involvement dan kemampuan efficacy dan merupakan kebalikan dari tiga dimensi burnout yaitu exhaustion, cynicism, dan inefficacy. Penelitian menunjukkan bahwa employee engagement terdiri kombinasi antara variabel kognitif dan emosional yang mempengaruhi seseorang di tempat kerja Harter, Schmidt Hayes, 2002. Schaufeli dan Bakker 2004 mendefinisikan engagement sebagai keadaan pikiran positif dan memenuhi yang berkaitan dengan pekerjaan, yang ditandai dengan semangat vigour, dedikasi dedication, dan penyerapan absorption. Definisi ini menjadi cukup berpengaruh terhadap perkembangan konsep engagement karena dipandang memiliki kemiripan konsep dan fokus yang sama seperti yang dikemukan oleh Kahn; kognitif dengan penyerapan, emosi dengan dedikasi serta fisik dengan semangat berkegiatan Welch, 2011. Pada periode Wave 3 tahun 2006-2010, diawali dengan catatan Saks 2006 mengenai konsep engagement yang muncul pada literatur burnout , menganggap engagement sebagai perilaku yang berkebalikan positive antithesis dengan perilaku burnout. Tidak seperti burnout, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI engagement melihat bagaimana karyawan terlibat dalam pekerjaan maupun organisasi mereka dan merasa mampu mengerjakan tugas- tugas mereka dengan baik Rana, Ardichvili Tkachenko, 2014. Selanjutnya Truss, Soane, Edwards, Wisdom, Croll dan Burnett 2006 mengoperasionalisasikan employee engagement , yaitu keadaan psikologis yang “semangat untuk bekerja”. Mereka juga mengidentifikasi tiga dimensi employee engagement yang serupa dengan Kahn 1990 yaitu, keterlibatan emosional emotional engagement , keterlibatan kognitif cognitive engagement dan keterlibatan fisik physical engagement. Macey and Schneider 2008 mendefinisikan employee engagement sebagai sebuah keadaan kompleks yang meliputi sifat, keadaan dan konstruk perilaku serta pekerjaan dan kondisi organisasi yang mungkin memfasilitasi keadaan dan perilaku keterlibatan. Menutup rangkaian perkembangan pada wave 3, Albrecht dalam Welch, 2011 memberikan sumbangan definsisi employee engagement yaitu sebuah keadaan psikologis kerja yang positif dari karyawan berupa keinginan tulus untuk berkontribusi terhadap keberhasilan organisasi. Berdasarkan penjabaran dari pengembangan konsep dan definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa employee engagement merupakan sebuah keadaan dimana karyawan terlibat secara fisik, kognitif maupun emosi dengan perusahaan atau organisasi, lewat bagaimana karyawan menjalankan perannya dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, demi mencapai tujuan organisasi. Singkatnya, employee engagement merupakan perasaan tentang sejauh mana individu berada dan terlibat dalam perusahaan atau organisasi tempat mereka bekerja. Employee engagement dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu work engagement dan organizational engagement Guest, 2014; Saks, 2006. Work engagement merupakan perasaan positif secara penuh terhap sebuah pekerjaan. Hal ini ditandai dengan adnya keinginan dan kesediaan karyawan untuk melakukan usaha yang lebih terhadap suatu pekerjaan tertentu, hingga ia lupa waktu karena terlalu asik dengan pekerjaannya. Schaufeli et al. 2002; Guest, 2014; Saks, 2006. Saks 2006 memperluas konsep engagement sehingga dapat mencakup job engagement dan organization engagement. Karyawan yang memiliki rasa organizational engagement lebih memiliki orientasi terhadap sebuah perusahaan atau organisasi dan mengacu pada tujuan dari organisasi itu sendiri Guest, 2014.

2. Aspek Employee Engagement

Dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa employee engagement merupakan variabel dasar yang mempengaruhi sikap dan perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan Kristen, Garza Slaughter, 2011. Employee engagement merupakan keterlibatan penuh terhadap PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI organisasi, mengekspresikan dan mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama bekerja dalam organisasi atau sebuah perusahaan Rana et al. 2014; Khan, 1990. Engagement juga merupakan perasaan positif, fulfilling dan konsep yang berhubungan dengan pemikiran serta keterlibatan dalam organisasi atau pekerjaan yang ditandai oleh tiga aspek dari engagament yaitu; semangat vigour, dedikasi dedication, dan penyerapan absorption Schaufeli, Bakker Salanova, 2004. a. Aspek Semangat vigour Aspek vigour dilihat dari tingginya tingkat energi dan ketahanan mental seorang karyawan saat bekerja. Karyawan memiliki kemauan untuk berinvestasi dan ketekunan, meskipun mereka berada dalam atau menghadapi kesulitan Schaufeli et al. 2002. Aspek ini memiliki keserupaan dengan behavioural engagement Kahn, 1990 yang merupakan manifestasi dari cognitive engagament dan emotional engagement. Dijelaskan bahwa aspek ini dapat meningkatkan usaha karyawan dalam mencapai tujuan organisasi Macey Schneider, 2008; Shuck Wollard, 2010. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

b. Aspek Dedikasi dedication

Aspek dedication dapat dilihat dari adanya perasaan antusias, perasaan terinspirasi, bangga, dan senang dalam menghadapi tantangan Schaufeli et al. 2002. Aspek ini memiliki keserupaan dengan emotional engagement pada teori Kahn 1990, dan ditunjukkan dengan menginvestasikan diri mereka lewat kebanggaan, kepercayaan, dan pengetahuan mereka terhadap organisasi. Dalam prosesnya, perasaan dan keyakinan yang dipegang karyawan akan mempengaruhi dan mengarahkan energy yang dihasilkan untuk menyelesaikan tugas Crawford, LePine Rich, 2010.

c. Aspek Penyerapan absorption

Aspek absorption dapat dilihat ketika karyawan sepenuhnya terkontraksi dan menikmati pekerjaannya, merasa waktu berlalu dengan cepat dan sulit merasa terpisahkan dari pekerjaannya Schaufeli et al., 2002. Aspek ini memiliki keserupaan dengan cognitive engagement pada teori Kahn 1990, yang berasal dari penilaian karyawan tentang seberapa bermakna dan seberapa aman pekerjaan mereka secara fisik, emosional dan psikologis serta seberapa tinggi tingkat kemampuan mereka menyelesaikan pekerjaan dalam Shuck Reio, 2014.

3. Dampak dari Employee Engagement

Beberapa penelitian sepakat bahwa employee engagement menghasilkan dampak yang positif bagi perusahaan atau organisasi Saks, 2006; Guest, 2014. Dampak dari employee engagement antara lain adalah: a Mengurangi turnover Turnover merupakan pertimbangan subyektif dari seorang individu mengenai kemungkinan mereka untuk berhenti bekerja atau keluar dari sebuah organisasi. Intensitas turnover merupakan jumlah dari karyawan yang pergi meninggalkan pekerjaan ataupun tidak lagi bekerja pada organisasinya Carmeli Weisberg, 2006 dalam Rana et al., 2014; Yuan, Yue Yu, Jian Li Lutao Ning, 2014. Penelitian menunjukan bahwa jika employee engagement tinggi, maka secara langsung akan mengurangi intensitas turnover pada sebuah organisasi Shucks, Rocco Albornoz, 2010; Shankar Bhatnagar, 2010. b Meningkatkan Organizational Citizenship Behaviour OCB OCB merupakan perilaku kooperatif karyawan yang menguntungkan dan membawa dampak positif bagi organisasi, dimana biasa disebut dengan perilaku extra role dan tidak terdaftar dalam reward formal Van Dyne, Cummings McLean Parks, 1995; Organ, 1997; Van Dyne et al. 2000. Menurut Soane, Catherine, Kerstin, Amanda, Chris dan Mark 2012 OCB cenderung dilakukan oleh karyawan yang engage dengan pekerjaan ataupun organisasinya dikarenakan karyawan yang engage akan menunjukkan keterlibatan mereka dengan melakukan perilaku yang menguntungkan. Voice behaviour juga dapat dikonseptualkan sebagai perilaku OCB karena juga merupakan perilaku extra role di tempat kerja Van Dyne LePine, 1998; Van Dyne et al. 2008. c Meningkatkan Performansi kerja Work performance Psychological mindfulness merupakan kunci utama dari terjadinya employee engagement pada perusahaan. Psychological mindfulness tidak hanya menyebabkan attitudinal outcomes karyawan yang positif kepuasan kerja, motivasi, dll saja, namun juga menghasilkan behavioural outcomes seperti performansi kerja May et al., 2004. Ketika individu engage, mereka akan merasa puas, berkomitmen dan produktif dalam bekerja serta akan mencurahkan seluruh energi dan performansinya Saks, 2006; Fleck Inceoglu dalam Rana et al. 2014.

D. Dinamika

Tipe Kepribadian Ekstrovert Extraversion dan Keterlibatan Karyawan Employee Engagement terhadap Voice Behaviour DeRaad dan Perugini 2002 menjelaskan bahwa seseorang yang ekstrovert memiliki jiwa sosial, mudah bergaul, dan memiliki ketertarikan pada relasi dengan orang lain maupun peristiwa di lingkungan sekitarnya. Keberhasilan dalam mencapai kesuksesan dan kelestarian kehidupan dapat diraih oleh individu yang ekstrovert ketika ia berhasil menyesuaikan dirinya di lingkungan Buss, 1991. Pada lingkungan perusahaan, karyawan dengan extraversion yang tinggi cenderung memiliki jiwa sosial dan senang terlibat bersama dengan orang lain. Keadaan semacam ini dapat menciptakan hubungan pertemanan yang terjalin harmonis Organ et. al., 2006. Karyawan juga akan cenderung memiliki kepedulian yang baik kepada karyawan lain maupun perusahaan Wikantari, 2014. Hal tersebut meningkatkan Organizational Citizenship Behaviour OCB pada karyawan. Teori OCB menyebutkan bahwa perilaku karyawan di tempat kerja dibedakan menajdi 2 yaitu, perilaku yang sesuai dengan job desk dan tuntuan kerja in-role behavior dan perilaku karyawan yang dilakukan karyawan meskipun tidak diatur dalam job desk extra-role behavior Ilies, Nahrgang Morgenson, 2007. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Organ et al. 2006 menunjukkan bahwa seorang extrovert memiliki jiwa sosial dan senang terlibat bersama dengan orang lain, yang akan menciptakan hubungan pertemanan yang terjalin harmonis yang merupakan ciri dari adanya OCB. Van Dyne dan LePine 1998 menjelaskan bahwa voice behaviour dapat dikategorikan sebagai salah satu tipe dari perilaku OCB, dimana voice behavior termasuk dalam kategori extra-role. Maka dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki sifat atau kepribadian yang ekstrovert extraversion akan cenderung lebih mudah melakukan voice behaviour Crant et al. 2010; LePine Van Dyne 2001. Hal ini didukung oleh Liguori, McLarty dan Muldoon 2012 yang menjelaskan bahwa kepribadian yang proaktif proactive personality atau kecenderungan sifat ekstrovert extraversion memiliki kecenderungan untuk voice. LePine dan Van Dyne 1998 menjelaskan voice behaviour merupakan salah satu bentuk dari extra role behaviour. Artinya, voice behaviour merupakan perilaku yang dapat menunjukkan letak permasalahan serta memberikan saran atau jalan keluar yang konstruktif ke arah yang lebih baik bagi perusahaan. Sebagai bentuk dari perilaku extra role, maka voice behaviour juga dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak terdapat dalam job desk perusahaan, dan merupakan inisiatif pribadi dari individu. Disamping itu, Anitha2014 menyebutkan Extra role behaviour sebagai perwujudan dari adanya engagement pada karyawan. Karyawan yang engage terhadap perusahaan atau organisasi akan menunjukkan minat yang tinggi dalam pekerjaannya. Mereka juga secara kualitas akan siap untuk melakukan pekerjaan yang lebih atau “ekstra” Bakker Xanthopoulou 2009; Alfes et al., 2010; Kaya, Lepine Crawford 2010. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Karyawan yang engage merupakan seseorang yang memiliki perasaan positif terhadap perusahaan atau organisasinya. Menurut Schaufeli et al. 2002 karyawan yang engage terhadap perusahaan tempat dia bekerja memiliki karakteristik terlibat, energik dan percaya diri. Karyawan tersebut akan senantiasa berupaya agar tujuan organisasi dapat sepenuhnya terlaksana. Disamping itu, disebutkan juga bahwa karyawan yang melakukan voice behaviour adalah mereka yang mengutarakan ide, informasi maupun saran yang penting bagi organisasi, dan perilaku tersebut menunjukkan bahwa mereka engage terhadap organisasi. Mone et. al. 2011 juga menyebutkan bahwa engagement berasal dari inisiatif pribadi yang merupakan salah satu tindakan yang mendorong adanya perilaku extrarole. Ketika karyawan engage, secara psikologis karyawan tersebut berada dalam kondisi yang semangat untuk bekerja Truss et al., 2006. Maka dikarenakan voice behaviour merupakan bentuk dari extra role behaviour, adanya employee engagement diharapkan dapat juga mendorong karyawan melakukan voice behaviour. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seorang karyawan engage dengan organisasi atau perusahaan tempat ia bekerja tentu akan senang untuk melakukan kinerja extra role. Di sisi lain, karyawan yang cenderung melakukan voice behavior adalah mereka yang mengutarakan ide, informasi maupun saran yang penting bagi organisasi yang menunjukkan bahwa mereka engage terhadap organisasi. Perilaku menyarankan sesuatu untuk perubahan organisasi adalah salah satu bentuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dari OCB Van Dyne, Ang Botero, 2003. Salah satu OCB yaitu perilaku extra-role Van Dyne et al. 1995 akan lebih sering muncul pada karyawan yang engage terhadap organisasinya Soane et al., 2012. Selain itu, seorang karyawan dengan tipe kepribadian ekstrovert extraversion cenderung memiliki jiwa sosial yang tinggi serta senang terlibat bersama dengan orang lain Wikantri, 2014, dimana kondisi tersebut merupakan salah satu bentuk OCB. Sebagai salah satu bentuk OCB, voice behaviour juga akan muncul pada karyawan yang memiliki kepribadian yang ekstrovert karena mereka dapat bersosialisasi secara kooperatif, proaktif, serta menunjukan performansi yang lebih baik di tempat kerjanya. Hal ini selaras dengan motif yang mendasari seseorang dalam melakukan pro-social voice, dimana seorang individu akan secara sukarela menyampaikan ide, masukan, saran, informasi yang berkaitan dengan organisasi demi mencapai dan memperbaiki organisasi kearah yang lebih baik. Oleh karena itu, peneliti memilih sebagai landasan dalam menentukan bahwa hipotesis tipe keperibadian ekstrovert extraversion dan employee egagement memiliki pengaruh terhadap pro-social voice behaviour . PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

E. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian pengaruh tipe kepribadian ekstrovert extraversion dan employee engagement terhadap voice behaviour pada karyawan adalah sebagai berikut: Gambar 2.1. Model Penelitian

F. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini, hipotesis yang akan diuji adalah: 1. Employee engagement memiliki pengaruh positif yang signifikan dengan voice behaviour. 2. Extraversion memiliki pengaruh positif yang signifikan dengan voice behaviour . Employee Engagement Extraversion Voice Behavior H1 H2 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN