Pengaruh tipe kepribadian ekstrovert (extraversion) dan employee engagement pada pro social voice behavior

(1)

PENGARUH TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT

(EXTRAVERSION)

DAN

EMPLOYEE ENGAGEMENT

PADA

PRO-SOCIAL VOICE BEHAVIOUR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Natalia Elisa Pramudita

NIM: 1291141568

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iii

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” Yeremia 29:11

Its not the load that breaks you down,it’s the way you

carry it.

Never let people

s negative thoughts about you hinder you from

accomplishing what God put in your heart.

Dare to dream and dare to live it!

An arrow can only be shot by pulling it backward. When life is

dragging you back with difficulties, it means it

s going to launch you

inti something great. So just focus, and keep aiming.

Belajar yang smart dalam menghadapi masalahmu,

apapun situasi dan kondisinya. Dari masalah itu kita

dikuatkan dan didewasakan

Mama


(5)

iv

Dedicated for Jesus my Savior,

mylittle brother, my Dad


(6)

(7)

vi

PENGARUHTIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT

(EXTRAVERSION) DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

PADAPRO-SOCIAL VOICE BEHAVIOUR

Natalia Elisa Pramudita

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh tipe kepribadian ekstrovert (extraversion)dan employee engagementpada pro-socialvoice behaviour. Dalam penelitian ini, diajukan 2 hipotesis. Hipotesis pertama, yaitu,tipe kepribadian ekstrovert (extraversion) memilikipengaruh yang positif siginifikan dengan voice behaviour. Kedua,employee engagement memiliki pengaruh positif signifikan dengan voice behaviour. Subjek dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 136 karyawan yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta di Pekanbaru, Riau. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari Van Dyne et.al (2003) untuk pro-social voice behaviour, Saks (2006) untuk employee engagement, danEPQR-Short form yang diadaptasidari Eysenck, Eysenck dan Barrett (1985) untuk extraversion. Reliabilitas skala dalam penelitian ini adalah skala voice behaviour sebesar α = 0.841, reliabilitas skala engagement adalah sebesar α = 0.870 dan skala extraversionsebesar α = 0.758. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi sederhana dengan bantuan program IBM statistik 22.Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh hipotesis dalam penelitian ini diterima. Diketahui nilai standardized coefficients (β) sebesar 0.612 dengan taraf siginifikansi sebesar p = 0.000 untuk pengaaruh tipe kepribadian ekstrovert (extraversion)terhadappro-social voice behaviour, serta nilai standardized coefficients (β) 0. 468 dengan taraf signifikasi sebesar p = 0.000 untuk pengaruh antara employee engagementterhadap pro-socialvoice behaviour.

Kata kunci :Employee engagement, Tipe Kepribadian Ekstrovert (extraversion), Pro-Social Voice Behaviour.


(8)

vii

THE INFLUENCEOFEXTRAVERSIONANDEMPLOYEE ENGAGEMENTTOWARD EMPLOYEE PRO-SOCIAL VOICE

BEHAVIOUR

Natalia Elisa Pramudita

ABSTRACT

This research aimed to find the influenceofextraversion andemployee engagement, towardpro-social voice behaviour. This research has two hypotheses. First,extraversion has a significant positive relationship to voice behaviour. Second,employee engagement has a significant positive relationship to voice behaviour.. The amount of subjects for this research is 136 nurses who work in a public hospital in Pekanbaru, Riau. The measurement tools that is used for this research is the scale that has been adapted from Van Dyne et al (2003) for voice behaviour, Saks (2006) for employee engagement and EPQR-Short form from Eysenck, Eysenck and Barrett (1985) for extraversion.The measurement reliability in this research is α = 0.841 for voice behaviour, α =

0.870for employee engagement and α = 0.758 for extraversion. Hypotheses trial is done using simple regression analysis with IBM statistic version 22. The analysis result shows that all hypotheses in this research are accepted.It is known that the value of standardized coefficients (β) is 0.612 with signification p = 0.000 for the influencebetween extraversionand pro-social voice behaviour, and 0.468 with signification p = 0.000 for the influence of between employee engagement and voice behaviour.


(9)

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas segala berkat, perlindungan dan kekuatan yang selalu menyertai dan membimbing saya hingga proses penulisan skripsi dapat berjalan dengan lancar hingga terselesaikan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Saya menyadari bahwa kelancaran dan kesuksesan menyusun skripsi ini tidak terlepas dari peran banyak pihak yang telah membantu seta mendukung dalam menghadapi berbagai halang rintang dan kesulitan. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan rasa terimakasih saya yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Priyo Widiyanto, M.Si.,selaku Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

3. Suster Th. Dewi I. Gallang, F.CJ., selaku Dosen Pembimbing Akademik saya yang selalu memberi masukan, semangat untuk menyelesaikan studi S1 saya selama di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Beliau juga senantiasa mendengarkan keluh kesah serta menerima kekurangan diri saya apa adanya, dan selalu memberikan arahan-arahan positif yang dapat mengembalikan kepercayaan diri saya dalam menyelesaikan skripsi.

4. Bapak Minta Istono, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu meluangkan waktunya untuk senantiasa membimbing dan memberikan semangat serta arahan untuk saya dalam mengerjakan skripsi ini. Terima


(11)

x

kasih juga saya haturkan kepada bapak Minto karena telah berbesar hati mau memberikan kelonggaran waktu untuk saya dalam mengerjakan skripsi ketika saya masih dalam suasana duka cita. Beliau tidak enggan mendidik saya untuk senantiasa belajar dari setiap hal yang saya hadapi dan untuk tidak berhenti mencapai studi setinggi-tingginya.

5. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik, memberikan banyak ilmu pengetahuan dan pengalaman selama saya menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

6. Seluruh Staff dan Karyawan Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma yang telah selalu dengan sabar dan ramah dalam melayani serta memberikan informasi selama saya berkuliah di Fakultas Psikologi.

7. Kepada Mama, Caecillia Siti Indrawati, yang saat ini telah beristirahat dengan tenang di sisi Allah Bapa Yang Maha Kuasa. Terima kasih karena dari awal mama yang selalu memotivasiku dan memberikan keyakinan padaku bahwa aku sanggup mengerjakan skripsi dengan segala tuntutan yang datang dari sekitarku. Cinta kasih mama yang kurasakan hingga saat ini lah yang menguatkanku untuk melanjutkan skripsiku kembali walau berat tiada kehadiranmu. Sesuai dengan permintaan terakhirmu, kuselesaikan skripsi ini secepat yang aku bisa. Semoga mama dapat tersenyum bahagia di Surga ya, ma.

8. Kepada Papa Daryono dan adik kecilku Ilyas yang saya cintai. Terimakasih atas semangat yang telah kalian berikan untuk saya. Kehadiran kalian sangat


(12)

xi

memberikan motivasi dan kesunggahan dalam diri saya untuk segara menyelesaikan skripsi ini. Maaf jika selama mengerjakan skripsi ini, saya tidak dapat meluangkan banyak waktu untuk bersama dengan kalian.

9. Kepada tante Maria Bellani dan Om Didiek Bawono yang selalu memberikan semangat setiap harinya dalam proses mengerjakan skripsi. Terima kasih untuk segala doa, perhatian dan kekuatan yang tante berikan kepada saya sehingga saya dapat tekun mengerjakan skripsi ini dengan lancar. Kiranya kebaikan kalian dibalas dengan sesuatu yang berarti oleh Tuhan Yesus Kristus.

10. Kepada Ibu Jeany dan Ibu Donna selaku Wakil Direktur dan Kepala Diklat Rumah Sakit yang telah banyak membantu dalam proses pengambilan data dan pengumpulan data penelitian. Terimakasih juga kesempatan dan kepercayaan kepada saya dan teman-teman kelompok penelitian untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit tempat ibu bekerja.

11. Pras, Leo, Guerika,Sakti, Silvi dan Elgayang merupakan teman-teman bimbingan skripsi saya bersama pak Minto. Terimakasih untuk kerja keras dan kebersamaan kita dalam menghadapi proses penyusunan skripsi selama ini. Saya minta maaf jika selama ini saya kurang dapat mengayomi teman-teman, kurang dapat membantu teman-teman dikala sedang membutuhkan bantuan dan berperilaku atau berkata yang tidak menyenangkan kepada kalian. Saya selalu mendoakan yang terbaik untuk teman-teman, baik sekarang maupun di kemudian hari nanti. Semoga kita semua dapat bertemu


(13)

xii

dan berdinamika bersama kembali ketika sudah sukses di jalan kita masing-masing.

12. Kepada Yosephine Anna Anggi Artanti, Dewi Utari, Joshua Tobingdan Robertus Bawono. Terimakasih untuk kesabaran, semangat, kehadiran kalian untuk saya. Kalian adalah orang-orang yang paling memahami saya, dan tahu bagaimana harus memperlakukan saya di berbagai situasi. Terimakasih telah mengajarkan segala sesuatu yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya, terimakasih karena kalian telah menjadi teman, sahabat, kakak dan orang yang selalu dapat saya andalkan dalam keadaan apapun. Kiranya Tuhan senantiasa memberikan berkat yang berlimpah disetiap langkah kehidupan kalian.

13. Kepada Anggie, Ocha, Ruth, Dagna, Digna, Gaby, Dabita, dan Wita yang senantiasa hadir di kondisi apapun dalam kehidupan saya, terlebih memberikan semangat yang tiada hentinya untuk saya menyelesaikan skripsi ini. Keberadaan kalian sungguh memberikan inspirasi bagi saya, dan juga memberikan dorongan agar tidak pantang menyerah serta menggapai segala impian saya.

14. Kepada Keluarga Cepu yang telah menceriakan hari-hari saya ketika saya merasa stress dan kesulitan. Meskipun harus menempuh jarak yang jauh untuk bertemu dengan kalian, namun kehadiran kalian setiap harinya dalamgroup chat membuat saya merasa percaya diri untuk terus melanjutkan apa yang harus saya kerjakan.


(14)

xiii

15. Kepada Nona, Itha, Wilda, Monik, Dira, Bincik dan Cicik Desi yang merupakan teman-teman sekelas saya dari semester I hingga semester akhir dan menjadi sahabat yang paling saya kasihi. Terimakasih untuk kebersamaan dan kasih sayang kalian yang sangat tulus kepadaku. Maaf karena saya jarang bisa hadir di kesulitan-kesulitan yang kalian hadapi, serta belum bisa menjadi teman yang baik untuk kalian. Doaku selalu untuk kalian yang saat ini sedang berjuang untuk meraih kesuksesan. Kiranya persahabatan kita tetap terjalin walaupun waktu dan jarak memisahkan kita nanti.

16. Teman–teman Psikologi Kelas C dan seluruh teman-teman di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma angkatan 2012.Terimakasih untuk dinamika persahabatan kita selama kurang lebih 4.5 tahun. Seluruh pengalaman yang saya dapatkan bersama kalian tidak akan pernah saya lupakan. Mulai dari bagaimana kita berdinamika di kelas, juga canda tawa yang mewarnai kebersamaan kita selama di kampus. Saya mendoakan agar teman-teman selalu bahagia dan sukses di masa yang akan datang.

17. Teman, sahabat dan saudara saya lainnya, terima kasih telah memberikan dukungan dan semangat yang telah kalian berikan kepada saya selama mengerjakan skripsi hingga selesai.

18. Semua pihak yang telah membantu dan berperan dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Penulis


(15)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……….ii

HALAMAN PENGESAHAN………...iii

HALAMAN MOTTO………...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..vi

ABSTRAK……….vii

ABSTRACT………viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………..ix

KATA PENGANTAR………...x

DAFTAR ISI………...xv

DAFTAR TABEL……….xx

DAFTAR GAMBAR………xxii

DAFTAR LAMPIRAN………...xxiii

BAB I: PENDAHULUAN……….………...1

A. Latar Belakang……….1

B. Rumusan Masalah………11

C. Tujuan Penelitian……….11

D. Manfaat Penelitian………...10

1. Manfaat Teoritis………..12


(16)

xv

BAB II: LANDASAN TEORI……….……….13

A. Voice Behaviour………. 13

1. Definisi Voice Behaviour……….. 13

2. Jenis-jenisVoice Behaviour………... 17

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Voice Behaviour………… 20

B. Tipe Kepribadian Ekstrovert (Extraversion)………...25

1. Definisi Kepribadian Ekstrovert (Extraversion)…………...25

2. Aspek Kepribadian Ekstrovert (Extraversion)………...29

3. Dampak Kepribadian Ekstrovert (Extraversion)……..……… 31

C. Employee Engagement………... 32

1. Definisi Employee Engagement………..…………... 32

2. Aspek Employee Engagement………..……… 3. Dampak Employee Engagement……….. 36 39 D. Dinamika Tipe Kepribadian Ekstrovert (Extraversion)dan Keterlibatan Karyawan (Employee Engagement)terhadapVoice Behaviour……….41

E. Kerangka Penelitian………...45

F. Hipotesis Penelitian………..45

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN……….………46

A. Jenis Penelitian……….46

B. Variabel Penelitian………...47

C. Definisi Operasional……….47


(17)

xvi

2. Tipe Kepribadian Ekstrovert (Extraversion)……….... 3. Employee Engagement………

47 48

D. Subjek Penelitian………..49

E. Metode dan Alat Pengupulan Data……….50

1. Metode Pengumpulan Data……….50

2. Alat Pengumpulan Data………...51

a. Skala Pro-Social Voice Behaviour……….. 51

b. Skala Kepribadian Ekstrovert (Extraversion)……….. 52

c. Skala Employee Engagement……….…………52

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………53

1. Validitas Alat Ukur………..53

2. Kesahihan Item Skala……….54

3. Reliabilitas Alat Ukur………..56

a. Skala Pro-Social Voice Behaviour……….. 57

b. Skala Employee Engagement……….57

c. Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert (Extraversion)…………58

G. Metode Analisis Data………..……….58

1. Uji Asumsi………...58

a. Uji Normalitas………59

b. Uji Homoskedastisitas………..……… 57

c. Uji Linearitas………..59

2. Uji Hipotesis………60


(18)

xvii

A. Pelaksanaan Penelitian……….61

B. Deskripsi Penelitian……….62

1. Deskripsi Subjek Penelitian……….62

2. Deskripsi Data Penelitian………67

C. Analisis Data Penelitian………...68

1. Uji Asumsi………...68

a. Uji Normalitas………68

b. Uji Homoskedastisitas………….………... 69

c. Uji Linearitas………...70

2. Uji Hipotesis………71

D. Pembahasan………..74

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN…….………..79

A. Kesimpulan………..79

B. Keterbatasan Penelitian………79

C. Saran……….81

1. Bagi Organisasi atau Perusahaan………...80

2. Bagi Peneliti Selanjutnya………83

DAFTAR PUSTAKA………84

LAMPIRAN………..91

Lampiran 1: Skala Voice Behaviour, Employee Engagement, da Tipe Kepribadian Ekstrovert (extraversion)………..….. n rt 91 Lampiran 2: Reliabilitas Item Skala Penelitian………105


(19)

xviii

Lampiran 3: Hasil Uji T………108

Lampiran 4: Hasil Uji Normalitas Residu………110

Lampiran 5: Hasil Uji Homoskedastisitas………112


(20)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Karakteristik Kepribadian Ekstrovert………... 45

Tabel 3.1 Pemberian Skor pada Skala Voice Behaviour, EmployeeEngagement dan Extraversion….………... 50 Tabel 3.2 Distribusi Item Skala Voice Behaviour Sebelum Uji Coba………52

Tabel 3.3 Distribusi Item Skala ExtraversionSebelum Uji Coba…….. 52

Tabel 3.4 Distribusi Item Skala Employee Engagement Sebelum Uji Coba………53

Tabel 3.5 Koefisien Reliabilitas Pro-Social Voice………... 57

Tabel 3.6 Koefisien Reliabilitas Extraversion……… 58

Tabel 3.7 Koefisien Reliabilitas Employee Engagement………58

Tabel 4.1 Deskripsi data subjek berdasarkan jenis kelamin……...……. 63

Tabel 4.2 Deskripsi data subjek berdasarkan usia………... 63

Tabel 4.3 Deskripsi data subjek berdasarkan lama bekerja di rumah sakit……….64

Tabel 4.4 Deskripsi data subjek berdasarkan skor ide, informasi, kritikan, saran dan gagasan yang dimiliki……….…... 66

Tabel 4.5 Deskripsi Statistik Data Penelitian………... 67

Tabel 4.6 Uji Normalitas Nilai Residu………... 69


(21)

xx

Tabel 4.8 Uji Linearitas………... 71 Tabel 4.9 Uji Hipotesis 2 Regresi antara Extraversion dengan Voice

behaviour……….. 72 Tabel 4.10 Uji Hipotesis 1 Regresi antara Employee Engagement


(22)

xxi

DAFTAR GAMBAR


(23)

xxii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Voice Behaviour, Employee Engagement dan Tipe

Kepribadian Ekstrovert (extraversion)……….…..91 Lampiran 2 Reliabilitas Item Skala Penelitian……….…………...105 Lampiran 3 Hasil Uji-T………. 108 Lampiran 4 Hasil Uji Normalitas Residu………... 110 Lampiran 5 Hasil Uji Homoskedastisitas……….………... 112 Lampiran 6 Hasil Uji Linearitas………..…...114


(24)

1

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

“I decided it is better to scream. Silence is the real crime against humanity”, sebuah kutipan Nadezhda Mandelstam dari bukunya yang berjudul Hope Against Hope yang diterbitkan pada tahun 1970. Berteriak

adalah hal yang lebih baik, karena diam adalah kejahatan yang nyata

terhadap kemanusiaan.

Speak up system adalah sebuah prosedur yang berlaku untuk seluruh

karyawan, manajemen, direktur, komisaris dan pihak-pihak yang terkait

yang bekerja dalam perusahaan maupun anak perusahaannya. Sebuah

perusahaan bernama PT. BUMI Resource Tbk. membuat sistem ini sebagai

sebuah sarana komunikasi yang digunakan untuk melaporan segala bentuk

informasi termasuk pelanggaran dalam pedoman (code of conduct) yang

mungkin dapat terjadi dalam perusahaan tersebut (www.bumiresources.com,

diakses pada 23 November 2016).

Berita lain dari sebuah Rumah Sakit di Flo Rida, Amerika Serikat,

mengabarkan bahwa perawat bernama Samantha memiliki pasien SICU

(Surgical Intensive Care Unit) yang membutuhkan penanganan darurat.

Pada saat kejadian. Dokter bergegas masuk ke kamar pasien dan meminta

Samantha untuk segera memberikan apa yang ia butuhkan untuk melakukan


(25)

prosesnya saat pasien masih duduk tegak di kursi. Samantha mengetahui hal

tersebut bukan merupakan prosedur yang tepat, namun Samantha merasa

tidak memiliki kekuatan atau wewenang untuk berbicara. Akhirnya

beberapa jam kemudian, pasien tersebut meninggal karena komplikasi yang

timbul sebagai akibat dari penanganan darurat yang tidak benar

(http://www.nursetogether.com, diakses pada 29 April 2017).

Hal tersebut bukan sebuah masalah baru. Pada tahun 2005, sebuah

penelitian dilakukan terhadap lebih dari 1.700 petugas kesehatan, termasuk

1.143 perawat Rumah Sakit di perkotaan dan di pedesaan Amerika Serikat.

Hasil menunjukkan bahwa perawat mengetahui rekan kerjanya tidak

kompeten, melakukan kesalahan atau menempuh jalan pintas yang

berbahaya bagi pasien. Kenyataannya adalah hanya 1 dari 10 yang

mengungkapkan atau berbicara mengenai permasalahan tersebut (Maxfield,

D., Grenny, J., McMillan, R., Patterson, K. & Switzler, A., 2005). Padahal

kenyataannya, dibutuhkan orang-orang yang responsif terhadap tantangan

dari lingkungan, tidak takut untuk berbagi informasi serta pengetahuan

untuk menjalankan kehidupan organisasi dan menggerakkan roda organisasi

(Okuyama, Wagner & Bijnen, 2014).

Morrison, See dan Caitlin (2014) mengemukakan bahwa ketika

karyawan secara sadar menahan informasi yang berisi saran penting dan

potensial yang mereka miliki kepada atasan, teman kerja, organisasi,

ataupun kepada orang-orang yang mungkin dapat menyelesaikan atau


(26)

implikasi yang sangat serius bagi karyawan lain maupun performansi dan

keberlangsungan jalannya organisasi. Pada kenyataannya, seorang karyawan

cenderung memilih untuk diam (silence) dan tidak mengungkapkan isu-isu

yang sedang terjadi pada perusahaannya, daripada mengungkapkannya

(Morisson, See & Caitlin, 2014).

Beberapa penelitian terkini menunjukkan hasil yang mendukung

pernyataan mengenai karyawan yang tidak voice. Milliken dan

rekan-rekannya pada tahun 2003 melakukan wawancara terhadap 40 karyawan

professional di Amerika Serikat dan menemukan sebanyak 85% dari mereka

secara sadar telah gagal untuk speak up atau gagal mengutarakan informasi

yang penting dan krusial yang seharusnya menjadi perhatian bagi

perusahaan (dalam Morrison et al., 2014). Pada tahun 2010, penelitian yang

dilakukan di departemen kesehatan dan operasi di sebuah Rumah Sakit di

Amerika Serikat (Souba, Way, Lucey, Sedmak & Notestine dalam Morrison

et al., 2014) menunjukkan 69% orang setuju bahwa mereka memilih untuk

tidak mengungkapkan informasi ketika menemukan sebuah permasalahan di

tempat kerja.

Fenomena voice dan silence telah banyak menjadi topik penelitian dan

menjadi fokus utama dalam ilmu organisasi (Van Dyne & LePine 1998; Van

Dyne & Botero, 2003; Morisson et al. 2003; Morisson, 2014). Ketika

karyawan dengan keinginannya sendiri mengatakan permasalahan, isu, atau

informasi apapun yang sedang terjadi dalam perusahaan dan menyatakan


(27)

lebih tinggi dalam organisasi, maka mereka dapat dikatakan telah terlibat

dan melakukan perilaku voice di tempat kerja (Morisson, 2014). Voice

didefinisikan sebagai perilaku informal dan kebebasan berkomunikasi dari

karyawan mengenai ide, saran, informasi mengenai permasalahan, atau

pendapat tentang isu yang ada di tempat kerja kepada orang lain yang

memungkinkan untuk mengambil tindakan tertentu dengan maksud dan

tujuan untuk meningkatkan atau membawa perubahan.

Morrison (2014) mengemukakan bahwa perusahaan atau organisasi

akan berjalan dengan lebih baik ketika karyawan mengutarakan ide,

informasi dan gagasan yang mereka miliki. Informasi mengenai

permasalahan yang sedang terjadi memungkinkan untuk segera diselesaikan

ketika karyawan melakukan voice behaviour, dan ide baru dari karyawan

akan menolong perusahaan untuk berinovasi serta beragam pendapat dari

bawahan dapat mengarahkan pemimpin untuk mengambil keputusan yang

lebih bijak. Selain itu, ketika seorang karyawan secara efektif melakukan

voice behaviour akan mengurangi kadar stres serta meningkatkan ketahanan

kerja.

Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa setiap pekerjaan dapat

menimbulkan stres pada para pekerjanya, contohnya pekerjaan sebagai

seorang perawat (Lestarianita & Fakhrurrozi, 2007). Seorang perawat baik

pria maupun wanita seringkali dihadapkan pada permasalahan dan resiko

yang berhubungan dengan pasien yang sedang dirawatnya, dan keadaan


(28)

diwujudkan untuk mengurangi stress pada karyawan (McGrath, 2013).

Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi voice behaviour dapat

membantu meningkatkan speak-up pada karyawan dan komunikasi dalam

organisasi (Okuyama, Cordula & Bart, 2014).

Hasil dalam meta analisis yang dilakukan oleh Morrison (2014)

menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab dan

mempengaruhi voice behaviour pada karyawan, antara lain karakteristik

individu (individual dispositions), persepsi dan sikap terhadap pekerjaan dan

organisasi (job and organizational attitudes and perception), emosi,

kepercayaan dan konsep berpikir individu (emotion, beliefs and schemas),

perilaku pemimpin dan supervisor (supervisor and leader behaviour), dan

faktor kontekstual yang lain. Selain itu, disebutkan bahwa motivasi pokok

yang mendasari voice behaviour adalah sifat prososial (Grant & Ashford

2008, Van Dyne et al. 2003).

Morrison (2014) menyebutkan bahwa karakteristik individu

(individual dispositions) merupakan salah satu faktor yang menjadi

penyebab dan mempengaruhi voice behaviour pada karyawan. Berangkat

dari sudut pandang mengenai konsep individual dispotitions sebagai salah

satu faktor penyebab voice behaviour, Piedmont & Weinstein (dalam

Nikolaou et al., 2008) mencoba untuk mengeksplorasi lebih lanjut variable

yang mungkin memiliki potensi untuk karyawan melakukan voice

behaviour, yaitu 5 Model Faktor Kepribadian (FFM of Personality).


(29)

mengalami perasaan negatif, seperti kecemasan, rasa tidak aman, tekanan

psikologis), extraversion (kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal,

tingkat aktivitas individu), openness to experience (proaktif mencari tahu

dan mengapresiasi pengalaman baru), agreeableness (kualitas interaksi

antarpribadi individu sepanjang kontinum, mulai dari ‘passionate’ hingga ‘antagonism’), dan consciencetiousness (tingkat ketekunan, perilaku organisasi, motivasi yang mengarah ke tujuan).

Studi empiris menyebutkan bahwa FFM of personality dapat

memprediksi perilaku organisasi dan salah satunya adalah voice behaviour

(Crant, JM. Kim TY. & Wang J., 2011). Avery (2003) menunjukkan bahwa

FFM dan core-self evaluations (CSE) secara signifikan menyumbang

variansi dari voice behaviour, dimana extraversion dan self-efficacy secara

signifikan memprediksi value dari voice. Ditunjukkan bahwa individu yang

memberikan high value terhadap voice behaviour akan menunjukkan

peningkatan perilaku voice. Lepine dan van Dyne (2001) mengeksplorasi

peran perbedaan individu, dan mengidentifikasi bahwa empat dari lima

dimensi FFM berhubungan dengan voice behaviour pada karyawan. Salah

satu dimensinya adalah extraversion, dimana extraversion secara positif

berhubungan dengan voice behaviour dan berarti, seseorang yang ekstrovert

memiliki tingkat perilaku voice yang cukup tinggi.

Individu yang ekstrovert adalah individu yang mudah bersosialisasi,

aktif, suka mengobrol, person-oriented, optimis, suka bersenang-senang,


(30)

ekstrovert untuk “keep their mouth shut”, yang berarti individu ekstrovert

senang untuk bersuara. Individu yang esktrovert sering merasa aman

(secure) dan berperilaku asertif pada lingkungan kerja. DeRaad dan Perugini

(2002) menjelaskan bahwa seseorang yang ekstrovert memiliki jiwa sosial,

mudah bergaul, dan memiliki ketertarikan pada relasi dengan orang lain

maupun peristiwa di lingkungan sekitarnya. Karyawan juga cenderung

memiliki kepedulian yang baik kepada karyawan lain maupun perusahaan

(Wikantri, 2014). Hal tersebut membuat tingkat Organizational Citizenship

Behaviour (OCB) dari karyawan tergolong tinggi.

Disebutkan bahwa extraversion memiliki hubungan dengan OCB

(Organizational Citizenship Behavior), dimana voice behaviour merupakan

salah satu bentuk OCB yang dikategorikan sebagai perilaku extra-role (Van

Dyne & LePine, 1998). Dalam literature tersebut dijelaskan bahwa voice

behavior dapat dikategorikan sebagai salah satu tipe OCB yang bersifat

konstruktif, dimana OCB merupakan perilaku kooperatif karyawan yang

menguntungkan serta membawa dampak positif bagi organisasi dan tidak

diatur dalam job description. (Van Dyne, Cummings & McLean Parks,

1995; Organ, 1997; Van Dyne et al. 2000). Seorang dengan extraversion

tinggi akan cenderung memiliki jiwa sosial dan senang terlibat bersama

dengan orang lain, dimana hal tersebut akan menciptakan hubungan

pertemanan yang terjalin harmonis yang merupakan ciri dari adanya OCB

(Organ, Podsakoff & MacKenzie, 2006). Pada tahun 2001, penelitian lebih


(31)

ditemukan hasil bahwa extraversion memiliki hubungan secara langsung

dengan voice behavior.

Namun demikian, terdapat beberapa penelitian lainnya mengenai

extraversion dan OCB yang menunjukkan hasil yang kontradiktif dengan

pernyataan tersebut. Azimzadeh dan Bai (2015) yang melakukan penelitian

pada 75 karyawan perusahaan olahraga di Timur Tengah menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan antara extraversion dengan OCB. Penelitian

di Dubai yang dilakukan terhadap 164 karyawan di beberapa perusahaan

jasa menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara extraversion

dan OCB (Elanain, 2007). Dari uraian tersebut, diketahui bahwa terdapat

perbedaan teori yang dan hasil penelitian yang menjelaskan tentang

bagaiman hubungan antara extraversion dan voice behavior. Maka dari itu

perlu diteliti lebih dalam lagi mengenai hubungan antara kedua variable

tersebut, terutama di Indonesia.

Morrison (2014) menjelaskan bahwa terwujudnya voice tergantung

pada faktor kontekstual dan individual-level. Selain berkaitan dengan faktor

dalam diri individu, voice behaviour juga dipengaruhi oleh hal-hal yang

mencakup organisasi dan pekerjaan. Kedua faktor tersebut dikatakan dapat

memperkuat atau bahkan melemahkan potensi munculnya voice pada

seseorang. Maka dari itu, perlu adanya variable atau faktor lain yang

berkaitan dengan karakteristik individu sehingga dapat memprediksikan


(32)

Disebutkan juga faktor lain penyebab terjadinya voice behaviour

adalah persepsi dan sikap terhadap pekerjaan serta organisasi (job and

organizational attitudes and perception). Seseorang memiliki persepsi

bahwa informasi yang ia miliki penting bagi organisasi atau perusahaan

akan melakukan voice (Nikolau et al. 2007; Deter & Burris, 2007;

Morisson, 2014). Literatur lain menyebutkan employee engagement sebagai

suatu variabel dasar yang mempengaruhi sikap yang berhubungan dengan

pekerjaan (Christian, Garza & Slaughter 2011). Dari penjelasan tersebut

maka bahwa employee engagement dapat dapat dipahami sebagai salah satu

faktor yang dapat mendorong terjadinya voice behaviour pada karyawan.

Dalam penelitiannya, LePine & Van Dyne (2001) mengungkapkan

bahwa voice behaviour merupakan salah satu bentuk dari extra role

behaviour yang disebutkan dapat menunjukkan letak permasalahan serta

memberikan saran atau jalan keluar yang konstruktif ke arah yang lebih

baik. Extra rolebehaviour merupakan perwujudan dari adanya engagement

pada karyawan (Anitha, 2014). Disebutkan bahwa karyawan yang engage

merupakan karyawan yang cenderung terlibat dalam organisasi dan siap

untuk melakukan kinerja extra role. Dalam artian yang sama, karyawan

yang engage berarti secara kualitas akan unggul dikarenakan mereka

menunjukkan minat tinggi dalam pekerjaan dan siap untuk “bekerja ekstra” bagi organisasi mereka (Bakker & Xanthopoulou 2009; Alfes, Truss, Soane,


(33)

Selain itu, Schaufeli et al. (2002) menjelaskan bahwa karyawan yang

melakukan voice behaviour adalah mereka yang mengutarakan ide,

informasi maupun saran yang penting bagi organisasi, dan perilaku tersebut

menunjukkan bahwa mereka engage terhadap organisasi. Akan tetapi

mekanisme mengenai bagaimana hubungan antara engagement dengan

voice behaviour masih belum jelas, hanya disebutkan bahwa adanya

engagement dapat mewujudkan extra role behaviour pada karyawan, dan

salah satu bentuk extra role adalah voice behaviour. Karyawan yang engage

adalah seseorang yang akan senantiasa berupaya agar tujuan organisasi

dapat sepenuhnya terlaksanadan karyawan yang melakukan voice juga

memiliki tujuan meningkatkan atau membawa perubahan pada organisasi

atau perusahaan. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut

mengenai hubungan antara engagement dengan voice behaviour.

Menurut Mone, Eisinger, Guggenheim, Price dan Stine (2011),

engagement merupakan suatu perasaan yang dimiliki oleh karyawan yang

berasal dari inisiatif pribadi mereka yang berupa kemampuan beradaptasi,

usaha dan ketekunan yang diarahkan pada tujuan organisasi. Kahn (dalam

Luthans & Peterson, 2002) menjelaskan bahwa employee engagement

berfokus pada pengalaman psikologis dalam pekerjaan dan konteks kerja,

yang membentuk proses tentang bagaimana seseorang membawa dirinya

dalam menunjukkan performansi kerja. Engagement pada karyawan juga

merupakan variabel mendasar yang mempengaruhi hubungan kerja, sikap


(34)

dengan pekerjaan mereka cenderung berperilaku dengan cara yang positif

dan kooperatif, untuk kepentingan perusahaan dan diri mereka sendiri

(Salanova & Schaufeli dalam Ress et al., 2013).

Engagement dalam penelitian ini dipilih sebagai dalam konteks

organisasi. Karyawan yang memiliki rasa organizational engagement lebih

memiliki orientasi terhadap perusahaan atau organisasi dan mengacu pada

tujuan organisasi tersebut (Guest, 2014). Sikap dan persepsi seorang

karyawan terhadap organisasi tempatnya bekerja menjadi salah satu faktor

yang mendukung terciptanya voice behaviour. Selain itu, tipe kepribadian

ekstrovert juga disebut sebagai faktor pendukung terjadinya voice behaviour

yang dilihat dari sudut pandang watak individu. (Morrison, 2014). Dari

penjelasan ini maka tipe kepribadian extraversion juga dipilih sebagai

variable yang mempengaruhi voice behaviour.

II. Rumusan Masalah

1. Apakah tipe Kepribadian ekstrovert(Extraversion) memiliki pengaruh

voice behaviour?

2. Apakah employee Engagement memiliki pengaruh Pro-Social Voice

Behaviour?

III. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tipe Kepribadian


(35)

ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh keterlibatan karyawan

(employee engagement) terhadap Pro-Social VoiceBehaviour.

IV. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu manfaat

teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan

pengetahuan di bidang Psikologi Industri dan Organisasi (PIO)

mengenai tipe Kepribadian (Extraversion), keterlibatan karyawan

(employee engagement) dan Pro-Social VoiceBehaviour

2. Manfaat praktis

a. Bagi perusahaan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

dapat menjadi referensi bagi perusahaan dalam mengevaluasi serta

meningkatkan voice behaviour pada karyawan dan keterlibatan

karyawan (employee engagement). Selain itu, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi perusahan

untuk menentukan karyawan yang layak bekerja di perusahaannya


(36)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Voice Behaviour

1. Definisi Voice Behaviour

Voice memiliki sejarah yang cukup panjang dan beragam dalam perkembangan ilmu organisasi (Morrison, 2014). Van Dyne, Ang dan Botero (2003) menjelaskan bahwa karyawan seringkali memiliki ide, informasi dan pendapat yang bertujuan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan pekerjaannya sendiri maupun organisasi. Premeaux dan Bedeian (2003) juga mengatakan bahwa ketika karyawan menyatakan pendapat mengenai permasalahan yang terjadi dalam lingkungan pekerjaan seperti saran kepada orang lain (teman kerja) dan organisasi, melakukan pendekatan komunikatif dalam melihat permasalahan yang terjadi dan menyuarakan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan, maka karyawan tersebut dapat dikatakan telah melakukan voice behaviour (dalam Nikolau, Maria & Dimitris, 2007)

Sejak tahun 1980an, penelitian-penelitian yang membahas pengertian voice dan hal-hal yang berhubungan dengan hal tersebut terus berkembang. Spencer (1986) pada waktu itu mendefinisikan voice

sebagai ungkapan ketidakpuasan yang tujuan untuk mengubah situasi dan permasalahan serta ungkapan untuk menarik diri dan meninggalkan


(37)

permasalahan tersebut. Hirschman (1976) dalam Wang, Huang, Chu & Xiaohui Wang (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ketika karyawan merasa tidak puas dalam pekerjaannya, maka mereka akan menunjukan perilaku bersuara (voice) atau keluar dari organisasi (exit)

sebagai respon dari ketidapuasan tersebut.

Rusbult, Farrell, Rogers dan Mainous (1988) mengembangkan konsep voice dan menyatakannya dalam 4 tipologi respon. Pertama,

Voice sebagai suatu keadaan dimana seseorang secara aktif mencoba

untuk membangun dan memperbaiki kondisi dengan cara

mendiskusikan permasalahan bersama supervisi atau rekan kerja. Kedua

voice sebagai suatu tindakan mengambil keputusan untuk menyelesaikan permasalahan. Ketiga, voice sebagai usaha mencari bantuan dari agen luar, dan yang keempat voice merupakan whistle-blowing.

Pada akhir 1990-an, para peneliti yang mengkaji perilaku

organisasi mulai menemukan bahwa voice tidaklah hanya sebuah

respon dari adanya ketidakpuasan kerja pada karyawan. Voice disebut sebagai usaha membenahi sistem kerja dalam sebuah perusahaan dengan menunjukkan kesalahan yang terjadi dalam perusahaan dan menyampaikan solusi untuk situasi tersebut (Pardo, Delval & Fuentes, dalam Morrison et al., 2015).

Peneliti mengungkapkan bahwa voice merupakan sebuah bentuk dari extra-role behaviour (Morrison, 2004). Lepine dan Van Dyne


(38)

(1998) memperkenalkan extrarole behaviour sebagai perilaku yang bersifat positif dan sukarela dilakukan yang memberikan keuntungan bagi organisasi. Extrarole behaviour merupakan perilaku yang tidak terdapat dalam job desk dan merupakan suatu inisiatif pribadi dari individu. Baik secara empiris maupun konseptual, voice ditunjukkan sebagai suatu bentuk perilaku kooperatif dan extrarole behaviour,

seperti membantu orang lain.

Dalam penelitiannya, Lepine dan Van Dyne (1998) juga

menyebutkan bahwa extrarole behaviour memiliki 3 ciri utama, yaitu perilaku diluar deskripsi pekerjaan yang diatur organisasi, tidak diatur oleh sistem reward yang formal, dan tidak memiliki konsekuensi hukuman apabila tidak dilakukan. Extra-role behavior juga memiliki 4 tipologi yaitu prohibitive, promotive, affiliative dan challenging. Voice

dikategorikan sebagai perilaku extrarole karena voice mememnuhi 2 tipologi dari extrarole behavior yaitu challenging dan promotive. Promotive merupakan tindakan individu yang bersifat proaktif untuk

mendorong terjadinya sesuatu, sedangkan challenging merupakan

tindakan yang mengarah ke tantangan menyampaikan ide terhadap permasalahan.

Morrison (2014) mendefinisikan employeevoice behaviour sebagai komunikasi informal dimana karyawan memiliki kebebasan dalam mengkomunikasikan ide, saran, perhatian, informasi atau pendapat mengenai permasalahan dalam hubungan kerja terhadap orang yang


(39)

memiliki wewenang, yang ditujukan untuk mengambil keputusan demi membawa perusahaan kepada perubahan yang lebih baik. Dalam

literaturnya, disebutkan juga bahwa voice behaviour memiliki

kemiripan dengan beberapa konsep dengan issue selling dan whistle blowing

Issue selling merupakan upaya yang dilakukan karyawan untuk

mendapatkan posisi kepimimpinan organisasi, dengan cara

memperhatikan masalah yang sedang terjadi dan dirasa sangat penting (Miceli & Near dalam Morrison, 2014). Dalam praktiknya, issue selling

membutuhkan voice behaviour untuk membentuk koalisi, mencari

sekutu dan mempersiapkan presentasi mengenai suatu permasalahan atau isu tertentu. Penelitian mengenai issue selling memberikan wawasan yang berguna untuk mengetahui proses bagaimana seorang karyawan memutuskan apakah akan berbicara tentang masalah yang mereka anggap penting (Morrison, 2014).

Whistle blowing diartikan sebagai sebuah perilaku yang mengarah pada pengungkapan perilaku yang illegal, tidak bermoral, atau tidak berkenan yang dilakukan oleh seseorang kepada organisasi (Morrison, 2014). Penelitian yang dilakukan terhadap istilah whistle blowing pada umumnya menjelaskan hal tersebut sebagai suatu ekspresi yang mengungkapkan ketidaksepakatan atau pertentangan pendapat terhadap perusahaan, yang dapat kita lihat sebagai voice behaviour. Whistle-blowing juga dianggap sebagai saluran internal yang memiliki relevansi


(40)

langsung dalam proses memahami voice behaviour sebagai respon terhadap atasan.

Berdasarkan penjabaran dan pengembangan definisi yang telah dijelaskan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa voice behaviour

adalah perilaku menyuarakan ide, informasi, gagasan atau saran mengenai permasalahan yang ada dalam lingkungan kerja yang tidak terdapat dalam job desk perusahaan dan diungkapkan kepada orang lain yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan tertentu terkait informasi tersebut dengan tujuan membawa organisasi atau perusahaan ke arah yang lebih baik.

2. Jenis-jenis Voice Behaviour

Van Dyne, Ang dan Botero (2003) menjelaskan bahwa keputusan karyawan untuk melakukan voice di tempat kerja didasari oleh motivasi yang berbeda-beda. Motivasi tersebut antara lain adalah disengaged,

protective dan other-oriented. Disengaged adalah motivasi yang didasari oleh perasaan tidak mampu untuk membuat suatu perubahan yang berarti dalam perusahaan atau organisasinya (Pinder & Harlos, 2001; Whiteside & Barclay, 2013). Motivasi yang didasari oleh perasaan takut dan adanya pemikiran terhadap resiko pribadi yang akan dihadapi adalah protective, atau biasa disebut dengan Self Protective Behaviour (Van Dyne et al. 2003; Milliken, Morrison & Hewlin, 2003; Milliken & Morrison, 2000). Sedangkan motivasi yang didasari oleh


(41)

adanya perasaan kooperatif dan altruistik pada karyawan disebut sebagai other-oriented (Van Dyne et al. 2003; Organ, 1998)

Dari ketiga motivasi tersebut, Van Dyne et al. (2003)

mengklasifikasikan voice behaviour menjadi 3 jenis, yaitu prosocial voice, defensive voice dan acquiescent voice.

a. Acquiescent Voice

Acquiescent voice merupakan perilaku verbal yang ditunjukkan dengan mengekspresikan ide, informasi dan pendapat yang didasari oleh penarikan diri (resignation). Acquiescent Voice

termasuk dalam disengaged behaviour, yang diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak terlibat secara langsung yang disebabkan oleh perasaan tidak mampu seseorang dalam melakukan perubahan (Van Dyne et al, 2003; Pinder & Harlos, 2001; Whiteside & Barclay, 2013; Milliken et al. 2003). Hal ini membuat perilaku

acquiescent voice lebih bersifat persetujuan dan dukungan terhadap ide kelompok. Ciri dari perilaku ini adalah bersifat pasif serta rendahnya efikasi diri terhadap perubahan.

b. Defensive Voice

Defensive voice merupakan suatu perilaku verbal dengan mengekspresikan ide, informasi dan pendapat terkait pekerjaan yang didasari oleh rasa takut dan adanya kecenderungan untuk melindungi diri (self-protective behaviour) (Van Dyne et al. 2003;


(42)

Milliken et al. 2003; Milliken & Morrison, 2000). Self-protected behaviour sebagai perilaku yang ditandai dengan senang mengambil keputusan yang aman-aman saja dan tidak suka mengambil tanggung jawab yang ditanggung sendiri (Schlenker & Weigold, dalam Van Dyne et al. 2003). Individu yang melakukan

defensive voice biasanya cenderung mengambil sedikit tanggung jawab, namun tetap bersikap proaktif. Selain itu, rasa takut yang mendasari membuat individu cenderung mengalihkan perhatian dari permasalahan yang terjadi dan menyalahkan orang lain.

c. Pro-Social Voice

Pro Social Voice merupakan suatu perilaku verbal dengan mengekspresikan ide, informasi, dan pendapat yang didasari oleh adanya motif bekerja sama atau rasa kooperatif dari diri individu terhadap lingkungan kerja (Organ, 1998; Van Dyne et al. 2003; LePine & Van Dyne 1998). Individu yang melakukan pro social voice berfokus untuk memberi keuntungan organisasi dengan cara megutarakan permasalahan, solusi dan menyuarakan ide yang bersifat konstruktif demi mencapai perubahan dan kemajuan organisasi. Dengan kata lain, perilaku ini dilakukan karena inisiatif pribadi, proactive behaviour dan other-oriented. Pengutaraan


(43)

akan tetapi mereka berorientasi pada kepentingan bersama (Van Dyne et al. 2003).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Voice Behaviour

Morrison (2014) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi dan memperkuat voice behaviour disebut sebagai

motivator. Motivator berperan dalam memunculkan keinginan seseorang untuk membuat perubahan dalam organisasi atau meningkatkan ekspektasi subyektif seseorang sehingga melakukan

voice behaviour (Van Dyne et al. 2003; Morrison, 2014). Disebutkan bahwa hal yang memotivasi voice behaviour antara lain adalah:

a. Kecenderungan sifat (individual dispotitions)

Individu yang memiliki kecenderungan sifat atau kepribadian yang ekstrovert (extraversion), kepribadian yang proaktif

(proactive personality) dan memiliki orientasi terhadap tugas (duty orientation) akan lebih mudah untuk melakukan voice behaviour

(Crant et al. 2010, LePine & Van Dyne 2001, Tangirala et al. 2013). Kepribadian yang penuh kesadaaran (conscientiousness), asertif (assertiveness) dan memiliki orientasi terhadap pelanggan

(customer orientation) juga dapat memotivasi terjadinya voice behaviour.


(44)

b. Sikap dan persepsi terhadap pekerjaan dan organisasi (job and organizational attitudes and perceptions)

Mencakup bagaimana proses karyawan melakukan

identifikasi terhadap organisasi (organizational identification),

identifikasi terhadap kinerja kelompok (work-group identification),

perasaan mengenai kewajiban untuk berubah (felt obligation for change), kepuasan kerja (job satisfaction), keleluasaan peran (role breadth), kontrol atau pengaruh (control or influence) dan dukungan organisasi (organizational support) (Morrison, 2014).

Selain itu, dilihat dari tujuannya, seseorang akan melakukan

voice ketika ia memiliki informasi yang dianggap penting bagi organisasi atau perusahaan (Nikolau et al. 2007; Deter & Burris, 2007; Morisson, 2014). Oleh karena itu, persepsi individu terhadap pekerjaan dan organisasi juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi voice behaviour (Morisson, 2014) dimana salah

satunya ialah engagement (LePine & Van Dyne, 1998).

Engagement merupakan keterlibatan penuh terhadap organisasi, mengekspresikan dan mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama bekerja dalam organisasi atau sebuah perusahaan (Rana et al. 2014; Khan, 1990). Individu yang engage tentunya akan cenderung melakukan voice di tempat kerja.

Karyawan yang engage merasa mampu mengerjakan tugas-tugas mereka dengan baik dalam pekerjaan maupun organisasi


(45)

(Rana et al. 2014) yang menunjukkan bahwa karyawan dapat

melakukan identifikasi terhadap organisasi (organizational

identification) (Morrison, 2014). Khan (1990) menyebutkan istilah

personal engagement sebagai pemanfaatan diri setiap anggota dalam organisasi, terhadap peran mereka yang berupa keterlibatan

secara penuh terhadap organisasi, mengekspresikan dan

mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama mereka bekerja. Hal tersebut merupakan bentuk dari keleluasan peran (role breadth) karyawan dalam organisasi atau perusahaan. Gebauer dan Lowman (dalam Mone et. al., 2011) menyebutkan bahwa karyawan

yang engage akan menawarkan kerangka kerja untuk membangun

keterlibatan yang didasari oleh karyawan yang "mengetahui, menumbuhkan, menginspirasi, melibatkan, dan menguntungkan" para pemimpin senior, manajer, sumber daya manusia profesional, dan karyawan sendiri itu sendiri. Artinya karyawan tersebut

mampu melakukan identifikasi terhadap kelompok serta

melakukan kontrol dan memberikan pengaruh di perusahan.

Anitha (2014) menyebutkan bahwa karyawan yang engage

merupakan karyawan yang cenderung terlibat dalam organisasi dan siap untuk melakukan kinerja extra role. Dalam artian yang sama, karyawan yang engage berarti secara kualitas akan unggul dikarenakan mereka menunjukkan minat tinggi dalam pekerjaan dan siap untuk “bekerja ekstra” bagi organisasi mereka (Bakker &


(46)

Xanthopoulou 2009; Alfes, Truss, Soane, Rees & Gatenby 2010; Kaya, Lepine & Crawford 2010). Engagement merupakan perasaan yang dimiliki oleh karyawan yang berasal dari inisiatif pribadi berupa kemampuan beradaptasi, usaha dan ketekunan yang diarahkan pada tujuan organisasi (Mone et. al, 2011).

Disamping itu, dalam literaturnya LePine dan Van Dyne (2001) menyebutkan bahwa voice behaviour merupakan salah satu

bentuk dari extra role behaviour yang disebutkan dapat

menunjukkan letak permasalahan serta memberikan saran atau jalan keluar yang konstruktif ke arah yang lebih baik. Maka dapat dikatakan ketika seorang karyawan memiliki engagement yang

tinggi pada organisasi, maka karyawan akan memiliki

kecenderungan untuk melakukan voice behaviour. Hal ini

menunjukan bahwa engagement merupakan salah satu faktor yang

dapat memunculkan adanya voice behaviour.

c. Emosi, kepercayaan dan skema (emotions, beliefs, and schemas)

Hal ini mencakup emosi, kepercayaan dan skema yang terdapat dalam diri individu terhadap kemarahan (angry) yangg dialaminya dan keamanan psikologisnya (psychological safety).

Penelitian yang dilakukan oleh Edwards, Ashkanasy dan Gardner (2009) menunjukkan bahwa emosi marah (anger) mempengaruhi kemunculan voice. Morrison (2014) juga menyebutkan bahwa


(47)

emosi marah atau frustrasi dapat memunculkan voice, terlepas dari adanya pertimbangan secara hati-hati mengenai manfaat dan risiko yang akan muncul. Dalam artian lain, seorang karyawan yang sangat marah mungkin akan melakukan voice bahkan terdapat pilihan rasional untuk akan tetap diam. Emosi marah juga

dikatakan dapat meningkatkan whistle-blowing (Edwards,

Ashkanasy, & Gardner, 2009; Harvey, Artinko & Douglas, 2009).

d. Perilaku supervisi dan pemimpin (supervisor and leader

behaviour)

Pemimpin merupakan target dari voice behaviour yang

memiliki wewenang untuk mengambil tindakan. Oleh karena itu, perilaku pemimpin dan supervisor akan mempengaruhi kesediaan karyawan untuk melakukan voice behaviour (Liden & Masyln, 1998; Detert & Burris, 2007; Morrison, 2014). Hal ini mencakup bagaimana pengaruh pemimpin (leader influence), keterbukaan pemimpin (openness) dan adanya konsultasi (consultation) yang dilakukan oleh pemimpin kepada karyawannya. Selain itu, adanya

positive leader–member exchange, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dan kepemimpinan etis (ethical leadership) juga mendorong adanya voice behaviour pada karyawan(Zhao, 2014; Wang et al. 2016).


(48)

e. Faktor kontekstual lainnya

Bagaimana iklim voice dalam kelompok (group voice

climate), iklim yang peduli (caring climate) (Ashford et al. 1998, Frazier & Fainshmidt 2012, Morrison et al. 2011, Wang & Hsieh 2013) dan mekanisme dari adanya (formal voice mechanisms)

dalam lingkungan kerja(Glauser 1984, Morrison & Milliken 2000, Pinder & Harlos 2001).

B. Tipe Kepribadian Ekstrovert (Extraversion)

1. Definisi kepribadian Ekstrovert (Extraversion)

Kepribadian dapat diartikan sebagai sebuah cara yang disukai individu atau kekhasan seseorang dalam berperilaku, berpikir dan merasa (Saville, Holdsworth, Nyfield, Cramp, & Mabey, 1984). Kepribadian juga didefinisikan sebagai pola sifat dan karakteristik tertentu yang relatif permanen dan memberikan, baik konsistensi maupun individualitas pada perilaku seseorang (Feist & Feist, 2008). Para peneliti telah mengkonseptualisasikan kepribadian kedalam berbagai macam sifat dan abstraksi di berbagai tingkat (McAdams, 1995), dan masing-masing tingkat mengembangkan pemahaman mengenai perbedaan perilaku dan pengalaman manusia (John & Srivastava, 1999).

Selama 15 tahun terakhir, revitalisasi pengetahuan mengenai kepribadian mulai terlihat (Funder dalam Matzler, Bidmon,


(49)

Grabner-Kräuter, 2006), setelah beberapa dekade ini ditemukan adanya perbedaan-perbedaan teori dan temuan yang samar-samar. Timbulnya revitalisasi ini difasilitasi oleh munculnya konsensus yang menjelaskan bahwa kepribadian dapat dikaji melalui 5 domain yaitu, extraversion, neuroticism, openness to experience, agreeableness dan

conscientiousness, yang biasa disebut dengan Five-Factor Model of personality (FFM).

Selama dua dekade terakhir ini, FFM telah mendominasi area psikologi kepribadian (Vakola, Tsaousis & Nikolaou, 2004). FFM telah memberikan kerangka pengukuran serta bertanggung jawab atas bangkitnya ketertarikan psikologi kepribadian di bidang psikologi organisasi dan pekerjaan. Hal ini disebutkan oleh Mount, Barrick dan Stewart (1998) yang menyatakan bahwa kepribadian memiliki pengaruh terhadap performansi kerja karyawan. Salah satu penelitian mendukung fakta ini adalah ditemukannya hubungan positif antara extraversion

dengan performansi kerja karyawan yang bekerja di pekerjaan yang melibatkan interaksi sosial (Tett, Jackson & Rothstein, 1991). Penelitian juga menunjukkan bahwa extraversion, memiliki hubungan yang positif dengan networking, dimana individu secara aktif mencari perhatian sosial dan watak ini mencondongkan individu untuk terlibat dalam interaksi di tempat kerja (Wolff & Kim, 2012).

Dalam merumuskan extraversion, Eysenck (dalam Burger, 2011) membagi unsur-unsur kepribadian kedalam berbagai unit yang dapat


(50)

diatur secara hirarki. Dijelaskan bahwa extraversion adalah kombinasi sifat impulsif, aktif, bersemangat dan bergairah, yang dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan individu dalam merespon (habitual respon) suatu hal. Kebiasaan individu dalam merespon suatu hal dapat dilihat dari tingkat respon spesifik (specific respone level) yang terdiri atas perilaku-perilaku spesifik (specific behaviour). Seseorang yang ekstrovert cenderung ramah dan impulsif. Selain itu, ia cenderung memiliki tingkat interaksi sosial yang tinggi dan sering mengambil bagian dalam kegiatan kelompok.

Menurut Goldberg (dalam John & Srivastava, 1999) extraversion

merupakan suatu intensitas interaksi intrapersonal dalam tingkat aktivitas seseorang. Individu dengan kepribadian ekstrovert akan menunjukkan tingkat kesenangan dalam menjalin relasi dan beraktivitas. Selain itu, seseorang yang ekstravert akan cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati hubungan. Feist & Feist (2008) menyebutkan karakteristik dengan skor tinggi dan skor rendah dari tipe kepribadian ekstrovert: Tabel 2.1

Karakteristik Kepribadian Extrovert

Tipe Kepribadian Ekstrovert (Extraversion)

Skor Tinggi Skor Rendah

 Penuh perhatian

 Mudah bergabung

 Aktif berbicara

 Mudah mengekspresikan emosi  Bersemangat  Cuek  Penyendiri  Pendiam  Serius  Pasif

 Tidak mudah


(51)

Extraversion adalah kepribadian yang memiliki ciri adanya kemampuan bersosialisasi dan keaktifan. Suliman, AbdelRahman dan

Abdalla (2010) mengemukakan bahwa extraversion berfokus pada

seorang individu yang ramah, asertif dan berinteraksi secara positif dengan orang lain. Individu yang ekstrovert adalah individu yang mudah bersosialisasi, aktif, suka mengobrol, person-oriented, optimis, suka bersenang-senang, penyayang dan humoris (Nikolaou et al., 2007). Barrick dan Mount (1991) menyebutkan bahwa extraversion berkaitan dengan tingkat kekuatan, potensi dan perasaan positif seseorang dan bagaimana mereka dapat berinteraksi dengan orang lain secara kooperatif. Keberadaan individu dengan kepribadian ekstrovert di suatu organisasi akan menghasilkan interaksi yang positif dan kooperatif dengan rekan kerjanya dalam rangka mencapai tujuan kerja (LePine & Van Dyne, 2001).

LePine dan Van Dyne (2001) mengemukakan adanya hubungan positif antara extraversion dan perilaku kooperatif (cooperative behaviour). Wolff dan Kim (2012) juga melaporkan bahwa extraversion

berhubungan dengan kemampuan untuk membangun jaringan

(networking). Extraversion memiliki kaitan dengan proactive personality, karena individu dengan kepribadian proactive akan lebih pasti dan terbuka dalam melatih perilaku yang baru (Liguori, McLarty & Muldoon, 2013). Dalam penelitiannya, Yang dan Hwang (2014)


(52)

menunjukkan bahwa extraversion merupakan tipe kepribadian yang paling mempengaruhi kepuasan kerja (job satisfaction).

Ketika seorang individu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial melalui extraversion (Buss, 1991), ia akan memperoleh kesuksesan yang senantiasa berkembang dan hidupnya dapat terpelihara dengan baik. Individu yang ekstrovert akan menunjukan performansi yang lebih baik di tempat kerja (Judge, Heller & Mount, 2002), yang dikarenakan seseorang yang ekstrovert memiliki banyak kesempatan untuk melatih gairahnya. Dalam literaturnya, Avery (2003) menjelaskan bahwa

extraversion dan self-efficacy secara signifikan memprediksi value dari

voice, dimana individu yang memberikan high value terhadap voice behaviour akan juga menunjukkan peningkatan perilaku voice.

Berdasarkan penjabaran dari pengembangan konsep dan definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa extraversion merupakan salah satu tipe kepribadian seseorang yang bercirikan mudah bersosialisasi, aktif, memiliki sikap yang kooperatif terhadap sesama serta memiliki kemampuan untuk menjalin relasi.

2. Aspek dari tipe kepribadian Ekstrovert

Individu yang tergolong ekstrovert cenderung tampak lebih bersemangat, mudah bergaul, terkesan impulsif dalam menampilkan tingkah laku. Individu yang tergolong ekstrovert merupakan seseorang yang berani melanggar aturan, memiliki rasa toleransi yang lebih tinggi


(53)

terhadap rasa sakit, dan lebih mudah terlibat dalam suatu relasi (Burger, 2008). Menurut Pervin, Cervone dan John (2005), individu yang memiliki skor extraversion yang tinggi akan mudah bergaul, aktif, banyak bicara, person-oriented, optimis, menyenangkan, penuh kasih sayang dan bersahabat.

Dalam penelitiannya, Costa dan McRae (1995) menyebutkan beberapa sifat yang lebih spesifik dari dimensi kepribadian Ekstrovert. Sifat-sifat tersebut antara lain adalah kehangatan (warmth), suka berkumpul (gregariousness), asertif (assertiveness), aktivitas (activity), mencari kesenangan (excitement seeking) dan emosi positif (positive emotions). Pada awal 1975, Eysenck menerbitkan sebuah self-assement

yang merumuskan aspek-aspek dari extraversion sebelum menjadi

sebuah skala pengukuran Eysenck yaitu Eysenck Personality Profiler

(EPP) (Eysenck & Wilson, 1991). Terdapat 7 (tujuh) aspek dari kepribadian ekstrovert, yaitu Activity, Sociability, Assertiveness, Expressiveness, Ambition, Dogmatism, Agressiveness.

Pada tahun 1992, Eysenck, Barrett, Wilson dan Jackson mengurangi jumlah aspek untuk dari extraversion dan membuat short-form dari EPP. Aspek-aspek tersebut adalah

a. Activity

Seseorang yang memiliki tingkat aktivitas yang tinggi

biasanya aktif, enerjik, menyukai semua aktivitas fisik, suka bangun pagi-pagi, bergerak dengan cepat dari suatu aktivitas ke


(54)

aktifitas lainnya dan mengejar berbagai macam kepentingan serta minat yang berbeda-beda.

a. Expressiveness

Seseorang yang ekspresif mudah mengekspresikan

perasaannya dengan baik dan jujur. Individu juga cenderung memperlihatkan emosi kearah keluar dan terbuka dengan baik bila sedang merasa sedih, marah, takut, jatuh cinta ataupun benci. b. Sociability

Individu suka mencari teman, mudah menjumpai orang-orang dan menyukai kegiatan sosial seperti pesta-pesta. Menurut Eysenck dan Eysenck (1969) aspek sociability pada individu dengan kepribadian ekstrovert ditunjukkan dengan sikap penyesuaian diri dengan orang lain yang baik. Individu merasa nyaman dan suka berinteraksi dengan orang lain sehingga memilliki banyak teman, ramah dan pemberani.

3. Dampak Kepribadian Ekstrovert

Menurut Myers (1992) seseorang yang ekstrovert cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Penelitian lain juga menunjukkan hasil bahwa seseorang yang cenderung ekstrovert dan berperilaku secara terbuka dapat memberikan peningkatan pengaruh positif bagi sekitarnya (Pavot, Diener & Fujita, 1990). Individu yang ekstrovert sukses dalam menjalin hubungan interpersonal dan fleksibel


(55)

(Costa, 1992; Piedmont & Weinstein, 1994). Hal ini didasari dari kesukaan seorang yang ekstrovert untuk bekerja sama dengan orang lain yang akan membawa keuntungan dalam pekerjaannya. Di dalam lingkungan kerjanya, individu yang ekstrovert senang untuk menghias kantor, membiarkan pintu ruang kerjanya terbuka, memberikan kursi tambahan didekat tempatnya bekerja dan lebih cenderung meletakkan piring permen di mejanya. Ini adalah usaha untuk mengundang serta mendorong interaksi dengan rekan kerja mereka.

C. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Gagasan mengenai employee engagement telah menarik minat dan

perhatian dunia bisnis dan perusahaan konsultasi sejak tahun 1990an, dan baru-baru ini mulai menarik perhatian di bidang akademik. Analisis literatur mengidentifikasi adannya tahapan-tahapan evolusi dalam mengkonseptualisasikan employee engagement, dan dibagi menjadi serangkaian gelombang (Welch, 2011). Serangkaian gelombang tersebut dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu Pre-Wave (sebelum tahun 1990), Wave 1 (tahun 1990-1999), Wave 2 (tahun 2000-2005)dan

Wave 3 (tahun 2006-2010).

Pada era Pre-Wave, para peneliti belum menggunakan istilah

employee engagement, namun engagement ditandai dengan pengakuan akan adanya kebutuhan bagi karyawan untuk terlibat dengan pekerjaan


(56)

dan organisasi mereka. Katz dan Kahn (dalam Welch, 2011)

mendiskusikan bahwa perilaku karyawan (employee behaviours)

diperlukan untuk mencapai efektivitas perusahaan, termasuk terlibat dalam perilaku inovatif dan kooperatif, melebihi perannya dalam mencapai tujuan organisasi.

Tahun 1990-an yang dikategorikan sebagai Wave 1, dimulai dengan karya akademis mengenai keterlibatan personal (personal engagement). Personal engagement didefinisikan sebagai usaha memanfaatkan diri setiap anggota organisasi terhadap peran mereka, yang berupa keterlibatan mereka secara penuh terhadap organisasi, mengekspresikan dan mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama mereka bekerja dalam organisasi atau perusahaan tersebut (Khan, 1990).

Memasuki periode Wave 2 (tahun 2000-2005), para peneliti mulai banyak mendefinisikan employee engagement dan merumuskan skala

yang dapat mengukur tinggi-rendahnya engagament karyawan.

Gelombang ini, juga ditandai dengan meningkatnya minat dari badan-badan profesional dalam mendefinisikan employee engagement (Welch, 2011). Diawali oleh Rothbard (2001) yang mendefinisikan employee engagement sebagai kehadiran psikologis yang melibatkan dua komponen penting, yaitu attention dan absorption. Attention merupakan keterlibatan kognitif dan jumlah waktu yang dihabiskan anggota karyawan untuk berpikir mengenai pekerjaan dan peran mereka.


(57)

Sedangkan absorption merupakan perasaan tertarik dan terpikat terhadap peran dan pekerjaannya, dan mengarah kepada intensitas anggota karyawan untuk berfokus terhadap pekerjaan tersebut.

Selain itu, Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001) memunculkan istilah job engagement yang merupakan sebuah aspek psikologis yang dipicu oleh beberapa hal yaitu, energi (energy), pengaruh (involvement) dan kemampuan (efficacy) dan merupakan kebalikan dari tiga dimensi

burnout yaitu exhaustion, cynicism, dan inefficacy. Penelitian menunjukkan bahwa employee engagement terdiri kombinasi antara variabel kognitif dan emosional yang mempengaruhi seseorang di tempat kerja (Harter, Schmidt & Hayes, 2002).

Schaufeli dan Bakker (2004) mendefinisikan engagement sebagai keadaan pikiran positif dan memenuhi yang berkaitan dengan

pekerjaan, yang ditandai dengan semangat (vigour), dedikasi

(dedication), dan penyerapan (absorption). Definisi ini menjadi cukup

berpengaruh terhadap perkembangan konsep engagement karena

dipandang memiliki kemiripan konsep dan fokus yang sama seperti yang dikemukan oleh Kahn; kognitif dengan penyerapan, emosi dengan dedikasi serta fisik dengan semangat berkegiatan (Welch, 2011).

Pada periode Wave 3 (tahun 2006-2010), diawali dengan catatan Saks (2006) mengenai konsep engagement yang muncul pada literatur

burnout, menganggap engagement sebagai perilaku yang berkebalikan


(58)

engagement melihat bagaimana karyawan terlibat dalam pekerjaan maupun organisasi mereka dan merasa mampu mengerjakan tugas-tugas mereka dengan baik (Rana, Ardichvili & Tkachenko, 2014). Selanjutnya Truss, Soane, Edwards, Wisdom, Croll dan Burnett (2006)

mengoperasionalisasikan employee engagement, yaitu keadaan

psikologis yang “semangat untuk bekerja”. Mereka juga

mengidentifikasi tiga dimensi employee engagement yang serupa

dengan Kahn (1990) yaitu, keterlibatan emosional (emotional

engagement), keterlibatan kognitif (cognitive engagement) dan keterlibatan fisik (physical engagement).

Macey and Schneider (2008) mendefinisikan employee

engagement sebagai sebuah keadaan kompleks yang meliputi sifat, keadaan dan konstruk perilaku serta pekerjaan dan kondisi organisasi yang mungkin memfasilitasi keadaan dan perilaku keterlibatan.

Menutup rangkaian perkembangan pada wave 3, Albrecht (dalam

Welch, 2011) memberikan sumbangan definsisi employee engagement

yaitu sebuah keadaan psikologis kerja yang positif dari karyawan berupa keinginan tulus untuk berkontribusi terhadap keberhasilan organisasi.

Berdasarkan penjabaran dari pengembangan konsep dan definisi

tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa employee engagement

merupakan sebuah keadaan dimana karyawan terlibat secara fisik, kognitif maupun emosi dengan perusahaan atau organisasi, lewat


(59)

bagaimana karyawan menjalankan perannya dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, demi mencapai tujuan organisasi. Singkatnya, employee engagement merupakan perasaan tentang sejauh mana individu berada dan terlibat dalam perusahaan atau organisasi tempat mereka bekerja.

Employee engagement dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu work engagement dan organizational engagement (Guest, 2014; Saks, 2006). Work engagement merupakan perasaan positif secara penuh terhap sebuah pekerjaan. Hal ini ditandai dengan adnya keinginan dan kesediaan karyawan untuk melakukan usaha yang lebih terhadap suatu pekerjaan tertentu, hingga ia lupa waktu karena terlalu asik dengan pekerjaannya. (Schaufeli et al. 2002; Guest, 2014; Saks, 2006). Saks (2006) memperluas konsep engagement sehingga dapat mencakup job engagement dan organization engagement. Karyawan yang memiliki rasa organizational engagement lebih memiliki orientasi terhadap sebuah perusahaan atau organisasi dan mengacu pada tujuan dari organisasi itu sendiri (Guest, 2014).

2. Aspek Employee Engagement

Dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa employee engagement

merupakan variabel dasar yang mempengaruhi sikap dan perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan (Kristen, Garza & Slaughter, 2011).


(60)

organisasi, mengekspresikan dan mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama bekerja dalam organisasi atau sebuah perusahaan (Rana et al. 2014; Khan, 1990).

Engagement juga merupakan perasaan positif, fulfilling dan konsep yang berhubungan dengan pemikiran serta keterlibatan dalam organisasi atau pekerjaan yang ditandai oleh tiga aspek dari

engagament yaitu; semangat (vigour), dedikasi (dedication), dan penyerapan (absorption) (Schaufeli, Bakker & Salanova, 2004).

a. Aspek Semangat (vigour)

Aspek vigour dilihat dari tingginya tingkat energi dan ketahanan mental seorang karyawan saat bekerja. Karyawan memiliki kemauan untuk berinvestasi dan ketekunan, meskipun mereka berada dalam atau menghadapi kesulitan (Schaufeli et al.

2002). Aspek ini memiliki keserupaan dengan behavioural

engagement (Kahn, 1990) yang merupakan manifestasi dari

cognitive engagament dan emotional engagement. Dijelaskan bahwa aspek ini dapat meningkatkan usaha karyawan dalam mencapai tujuan organisasi (Macey & Schneider, 2008; Shuck & Wollard, 2010).


(61)

b. Aspek Dedikasi (dedication)

Aspek dedication dapat dilihat dari adanya perasaan antusias, perasaan terinspirasi, bangga, dan senang dalam menghadapi tantangan (Schaufeli et al. 2002). Aspek ini memiliki keserupaan dengan emotional engagement pada teori Kahn (1990), dan ditunjukkan dengan menginvestasikan diri mereka lewat kebanggaan, kepercayaan, dan pengetahuan mereka terhadap organisasi. Dalam prosesnya, perasaan dan keyakinan yang dipegang karyawan akan mempengaruhi dan mengarahkan energy yang dihasilkan untuk menyelesaikan tugas (Crawford, LePine & Rich, 2010).

c. Aspek Penyerapan (absorption)

Aspek absorption dapat dilihat ketika karyawan

sepenuhnya terkontraksi dan menikmati pekerjaannya, merasa waktu berlalu dengan cepat dan sulit merasa terpisahkan dari pekerjaannya (Schaufeli et al., 2002). Aspek ini memiliki keserupaan dengan cognitive engagement pada teori Kahn (1990), yang berasal dari penilaian karyawan tentang seberapa bermakna dan seberapa aman pekerjaan mereka (secara fisik, emosional dan psikologis) serta seberapa tinggi tingkat kemampuan mereka menyelesaikan pekerjaan (dalam Shuck & Reio, 2014).


(62)

3. Dampak dari Employee Engagement

Beberapa penelitian sepakat bahwa employee engagement

menghasilkan dampak yang positif bagi perusahaan atau organisasi (Saks, 2006; Guest, 2014). Dampak dari employee engagement antara lain adalah:

a) Mengurangi turnover

Turnover merupakan pertimbangan subyektif dari seorang individu mengenai kemungkinan mereka untuk berhenti bekerja atau keluar dari sebuah organisasi. Intensitas turnover merupakan jumlah dari karyawan yang pergi meninggalkan pekerjaan ataupun tidak lagi bekerja pada organisasinya (Carmeli & Weisberg, 2006 dalam Rana et al., 2014; Yuan, Yue Yu, Jian Li & Lutao Ning, 2014). Penelitian menunjukan bahwa jika employee engagement

tinggi, maka secara langsung akan mengurangi intensitas turnover

pada sebuah organisasi (Shucks, Rocco & Albornoz, 2010; Shankar & Bhatnagar, 2010).

b) Meningkatkan Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

OCB merupakan perilaku kooperatif karyawan yang menguntungkan dan membawa dampak positif bagi organisasi, dimana biasa disebut dengan perilaku extra role dan tidak terdaftar dalam reward formal (Van Dyne, Cummings & McLean Parks, 1995; Organ, 1997; Van Dyne et al. 2000). Menurut Soane,


(63)

Catherine, Kerstin, Amanda, Chris dan Mark (2012) OCB cenderung dilakukan oleh karyawan yang engage dengan pekerjaan ataupun organisasinya dikarenakan karyawan yang engage akan menunjukkan keterlibatan mereka dengan melakukan perilaku yang menguntungkan. Voice behaviour juga dapat dikonseptualkan sebagai perilaku OCB karena juga merupakan perilaku extra role

di tempat kerja (Van Dyne & LePine, 1998; Van Dyne et al. 2008).

c) Meningkatkan Performansi kerja (Work performance)

Psychological mindfulness merupakan kunci utama dari terjadinya employee engagement pada perusahaan. Psychological mindfulness tidak hanya menyebabkan attitudinal outcomes

karyawan yang positif (kepuasan kerja, motivasi, dll) saja, namun juga menghasilkan behavioural outcomes seperti performansi kerja (May et al., 2004). Ketika individu engage, mereka akan merasa puas, berkomitmen dan produktif dalam bekerja serta akan mencurahkan seluruh energi dan performansinya (Saks, 2006; Fleck & Inceoglu dalam Rana et al. 2014).


(64)

D. Dinamika Tipe Kepribadian Ekstrovert (Extraversion) dan Keterlibatan Karyawan (Employee Engagement) terhadap Voice Behaviour

DeRaad dan Perugini (2002) menjelaskan bahwa seseorang yang ekstrovert memiliki jiwa sosial, mudah bergaul, dan memiliki ketertarikan pada relasi dengan orang lain maupun peristiwa di lingkungan sekitarnya. Keberhasilan dalam mencapai kesuksesan dan kelestarian kehidupan dapat diraih oleh individu yang ekstrovert ketika ia berhasil menyesuaikan dirinya di lingkungan (Buss, 1991). Pada lingkungan perusahaan, karyawan dengan

extraversion yang tinggi cenderung memiliki jiwa sosial dan senang terlibat bersama dengan orang lain. Keadaan semacam ini dapat menciptakan hubungan pertemanan yang terjalin harmonis (Organ et. al., 2006). Karyawan juga akan cenderung memiliki kepedulian yang baik kepada karyawan lain maupun perusahaan (Wikantari, 2014). Hal tersebut meningkatkan Organizational Citizenship Behaviour (OCB) pada karyawan. Teori OCB menyebutkan bahwa perilaku karyawan di tempat kerja dibedakan menajdi 2 yaitu, perilaku yang sesuai dengan job desk dan tuntuan kerja (in-role behavior) dan perilaku karyawan yang dilakukan karyawan meskipun tidak diatur dalam job desk (extra-role behavior) (Ilies, Nahrgang & Morgenson, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Organ

et al. (2006) menunjukkan bahwa seorang extrovert memiliki jiwa sosial dan senang terlibat bersama dengan orang lain, yang akan menciptakan hubungan pertemanan yang terjalin harmonis yang merupakan ciri dari


(65)

adanya OCB. Van Dyne dan LePine (1998) menjelaskan bahwa voice behaviour dapat dikategorikan sebagai salah satu tipe dari perilaku OCB, dimana voice behavior termasuk dalam kategori extra-role. Maka dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki sifat atau kepribadian yang ekstrovert (extraversion) akan cenderung lebih mudah melakukan voice behaviour (Crant et al. 2010; LePine & Van Dyne 2001). Hal ini didukung oleh Liguori, McLarty dan Muldoon (2012) yang menjelaskan bahwa kepribadian yang proaktif (proactive personality) atau kecenderungan sifat ekstrovert (extraversion) memiliki kecenderungan untuk voice.

LePine dan Van Dyne (1998) menjelaskan voice behaviour

merupakan salah satu bentuk dari extra role behaviour. Artinya, voice behaviour merupakan perilaku yang dapat menunjukkan letak permasalahan serta memberikan saran atau jalan keluar yang konstruktif ke arah yang lebih baik bagi perusahaan. Sebagai bentuk dari perilaku extra role, maka voice behaviour juga dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak terdapat dalam

job desk perusahaan, dan merupakan inisiatif pribadi dari individu. Disamping itu, Anitha(2014) menyebutkan Extra role behaviour sebagai

perwujudan dari adanya engagement pada karyawan. Karyawan yang

engage terhadap perusahaan atau organisasi akan menunjukkan minat yang tinggi dalam pekerjaannya. Mereka juga secara kualitas akan siap untuk melakukan pekerjaan yang lebih atau “ekstra” (Bakker & Xanthopoulou 2009; Alfes et al., 2010; Kaya, Lepine & Crawford 2010).


(1)

110

Lampiran 4:


(2)

111

1.1.

Uji Normalitas Residu

Emplpoyee Engagement

Voice Behavior

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 130

Normal Parametersa Mean .0000000 Std. Deviation 2.46634336 Most Extreme Differences Absolute .118 Positive .078 Negative -.118 Kolmogorov-Smirnov Z 1.342 Asymp. Sig. (2-tailed) .054 a. Test distribution is Normal.

1.2.

Uji Normalitas Residu

Extraversion

Voice Behavior

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 130

Normal Parametersa Mean .0000000 Std. Deviation 2.78197316 Most Extreme Differences Absolute .078 Positive .050 Negative -.078 Kolmogorov-Smirnov Z .887 Asymp. Sig. (2-tailed) .412 a. Test distribution is Normal.


(3)

112

Lampiran 5:


(4)

113

6.1.

Uji Homoskedastisitas

Emplpoyee Engagement

Voice Behavior

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 1.570 1.204 1.304 .195 Employee

Engagement .016 .048 .030 .343 .732 a. Dependent Variable: Engagement

6.2.

Uji Homoskedastisitas

Extraversion

Voice Behavior

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 2.379 1.132 2.101 .038 Extraversion -.005 .031 -.014 -.157 .875 a. Dependent Variable: Pro-Social Voice


(5)

114

Lampiran 6:


(6)

115

7.1.

Uji Linearitas

Employee Engagement

Voice Behavior

7.2.

Uji Linearitas

Employee Engagement

Voice Behavior

ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Pro-Social Voice * Employee Engagement Between Groups

(Combined) 557.578 13 42.891 7.184 .000

Linearity 465.435 1 465.435 77.960 .000

Deviation

from Linearity 92.143 12 7.679 1.286 .236

Within

Groups 692.545 116 5.970

Total 1250.123 129

ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Pro-Social Voice * Extraversion

Between Groups

(Combined) 440.168 22 20.008 2.643 .000

Linearity 251.744 1 251.744 33.257 .000

Deviation from

Linearity 188.424 21 8.973 1.185 .279

Within

Groups 809.955 107 7.570