Pengaruh Leader-Member Exchange (LMX) terhadap employee voice behaviour dengan employee engagement sebagai variabel mediator.

(1)

PENGARUH LEADER MEMBER EXCHANGE (LMX)

TERHADAPEMPLOYEE VOICE BEHAVIOUR DENGAN EMPLOYEE

ENGAGEMENT SEBAGAI VARIABEL MEDIATOR

Timotius Keifan Adi Prasetyo

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana pengaruh Leader-Member Exchange (LMX) terhadap voice behaviour pada karyawan dengan employee engagement sebagai variabel mediator. Penelitian ini memiliki tiga hipotesis minor dan satu hipotesis mayor. Hipotesis minor yang pertama, LMX memiliki pengaruh yang positif siginifikan terhadap voice behaviour. Kedua, LMX memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap employee engagement. Ketiga, employee engagement memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap voice behaviour dan hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah pengaruh LMX terhadap voice behaviour dapat dimediasi oleh employee engagement. Subjek dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 140 orang karyawan yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta di Pekanbaru, Riau. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari Liden dan Masyln (1998) untuk LMX, Van Dyne et al (2003) untuk voice behaviour dan Saks (2006) untuk employee engagement. Reliabilitas skala dalam penelitian ini adalah LMX sebesar 0.905, reliabilitas skala voice sebesar 0.841 dan reliabilitas skala engagement adalah sebesar 0.870. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi sederhana dan causal step analysis yang dikembangkan oleh Baron dan Kenny (1986) untuk melihat efek mediasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh hipotesis dalam penelitian ini diterima. Diketahui nilai standardized coefficients (β) sebesar 0.533 untuk hubungan antara LMX dan voice behaviour, 0.683 untuk hubungan antara LMX dan employee engagement dan 0.578 untuk hubungan antara engagement dengan voice behaviour. Berdasarkan analisa yang dilakukan menggunakan causal step, diketahui engagement dapat memediasi pengaruh LMX terhaap voice dengan jenis mediasi yang terjadi adalah partial mediation.


(2)

ii

THE INFLUENCE OF LEADER MEMBER EXCHANGE (LMX) TOWARD EMPLOYEE VOICE BEHAVIOUR WITH EMPLOYEE

ENGAGEMENT AS A MEDIATING ROLE

Timotius Keifan Adi Prasetyo

ABSTRACT

The purpose of this research was to know the influence of Leader-Member Exchange (LMX) toward employees voice behavior with employee engagement as the mediator variable. This research has three minor hypotheses and one major hypotheses. The first minor hypotheses is, LMX has a significant positive influence toward voice behavior. Second, LMX has a significant positive influence toward employee engagement. Third, employee engagement has a significant positive influence toward voice behavior and the major hypotheses in this research is the influence of LMX toward voice behavior can be mediated by employee engagement. The amount of subjects for this research is 140 nurses who work in a public hospital in Pekanbaru, Riau. The measurement tools that is used for this research is the scale that has been adapted from Liden and Masyln (1998) for LMX, Van Dyne et al (2003) for voice behavior and Saks (2006) for employee engagement. The measurement realibility in this research is 0.905 for LMX, 0.841 for voice and 0.870 for engagement. Hypotheses trial is done using simple regression analysis and causal step analysis which were improved by Baron and Kenny (1986) to see the mediation effect. The analysis result shows that all hypotheses in this research are accepted. It is known that the value of standardized

coefficients (β) is 0.533 for the relationship between LMX and voice behavior, 0.683 for the relationship between LMX and employee engagement and 0.578 for the relationship between engagement and voice behaviour. Based on the analysis which is done using causel step, it is known that engagement can mediate the the influence of LMX toward voice behaviour using voice and the type of mediation which is done is partial mediation.


(3)

PENGARUH LEADER MEMBER EXCHANGE (LMX)

TERHADAP EMPLOYEE VOICE BEHAVIOUR DENGAN

EMPLOYEE ENGAGEMENT SEBAGAI VARIABEL

MEDIATOR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Timotius Keifan Adi Prasetyo

129114153

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

“Sekalipun, aku berjalan dalam lembah kekelaman

Aku tidak takut bahaya. Sebab Engkau besertaku” Mazmur 23:4

Always take a chance because we never know what might

happen

And that chance not coming twice !

Its not important how you start the game,

but how you finishes it !

YOUR DREAM DOESN’T HAVE AN EXPIRATION

DATE.

TAKE A DEEP BREATH AND TRY AGAIN

.


(7)

v

Terimakasih kuucapkan kepadamu Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat yang selalu mengalir tiada henti disetiap hembusan nafasku.

Kepada ibuku Bunda Maria atas penyertaanMu selama ini dalam hidupku.

Dengan bangga dan perasaan penuh bahagia, kupersembahkan Skripsi ini kepada:

Kedua orangtuaku mama Betty dan Papa Willy yang dengan segenap kekuatan dan jerih payah mereka, membimbing dan mendoakanku hingga aku dapat menjadi seperti sekarang ini. Untuk adik-adikku Rika dan Angga yang selalu mendukung

dan juga selalu mendoakanku.

Kepada kekasihku , sahabat dan semua teman-teman seperjuanganku dan seluruh pihak yang membantuku dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Tuhan selalu


(8)

(9)

vii

PENGARUH LEADER MEMBER EXCHANGE (LMX)

TERHADAPEMPLOYEE VOICE BEHAVIOUR DENGAN EMPLOYEE

ENGAGEMENT SEBAGAI VARIABEL MEDIATOR

Timotius Keifan Adi Prasetyo

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana pengaruh Leader-Member Exchange (LMX) terhadap voice behaviour pada karyawan dengan employee engagement sebagai variabel mediator. Penelitian ini memiliki tiga hipotesis minor dan satu hipotesis mayor. Hipotesis minor yang pertama, LMX memiliki pengaruh yang positif siginifikan terhadap voice behaviour. Kedua, LMX memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap employee engagement. Ketiga, employee engagement memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap voice behaviour dan hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah pengaruh LMX terhadap voice behaviour dapat dimediasi oleh employee engagement. Subjek dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 140 orang karyawan yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta di Pekanbaru, Riau. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari Liden dan Masyln (1998) untuk LMX, Van Dyne et al (2003) untuk voice behaviour dan Saks (2006) untuk employee engagement. Reliabilitas skala dalam penelitian ini adalah LMX sebesar 0.905, reliabilitas skala voice sebesar 0.841 dan reliabilitas skala engagement adalah sebesar 0.870. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi sederhana dan causal step analysis yang dikembangkan oleh Baron dan Kenny (1986) untuk melihat efek mediasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh hipotesis dalam penelitian ini diterima. Diketahui nilai standardized coefficients (β) sebesar 0.533 untuk hubungan antara LMX dan voice behaviour, 0.683 untuk hubungan antara LMX dan employee engagement dan 0.578 untuk hubungan antara engagement dengan voice behaviour. Berdasarkan analisa yang dilakukan menggunakan causal step, diketahui engagement dapat memediasi pengaruh LMX terhaap voice dengan jenis mediasi yang terjadi adalah partial mediation.


(10)

viii

THE INFLUENCE OF LEADER MEMBER EXCHANGE (LMX) TOWARD EMPLOYEE VOICE BEHAVIOUR WITH EMPLOYEE ENGAGEMENT

AS A MEDIATING ROLE

Timotius Keifan Adi Prasetyo

ABSTRACT

The purpose of this research was to know the influence of Leader-Member Exchange (LMX) toward employees voice behavior with employee engagement as the mediator variable. This research has three minor hypotheses and one major hypotheses. The first minor hypotheses is, LMX has a significant positive influence toward voice behavior. Second, LMX has a significant positive influence toward employee engagement. Third, employee engagement has a significant positive influence toward voice behavior and the major hypotheses in this research is the influence of LMX toward voice behavior can be mediated by employee engagement. The amount of subjects for this research is 140 nurses who work in a public hospital in Pekanbaru, Riau. The measurement tools that is used for this research is the scale that has been adapted from Liden and Masyln (1998) for LMX, Van Dyne et al (2003) for voice behavior and Saks (2006) for employee engagement. The measurement realibility in this research is 0.905 for LMX, 0.841 for voice and 0.870 for engagement. Hypotheses trial is done using simple regression analysis and causal step analysis which were improved by Baron and Kenny (1986) to see the mediation effect. The analysis result shows that all hypotheses in this research are accepted. It is known that the value of standardized coefficients (β) is 0.533 for the relationship between LMX and voice behavior, 0.683 for the relationship between LMX and employee engagement and 0.578 for the relationship between engagement and voice behaviour. Based on the analysis which is done using causel step, it is known that engagement can mediate the the influence of LMX toward voice behaviour using voice and the type of mediation which is done is partial mediation.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur sebesar besarnya dipanjatkan kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu menyertai dan membimbing sehingga proses penulisan skripsi dapat berjalan dengan lancar dan baik. Meskipun banyak kesulitan yang saya hadapi selama proses penulisan skripsi ini, tetapi pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi (S. Psi.). Kelancaran dan kesuksesan dalam menyusun skripsi ini tidak terlepas dari peran banyak pihak yang telah membantu dalam menghadapi kesulitan yang saya temui. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan rasa terimakasih saya yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Priyo Widiyanto, M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

3. Suster Th. Dewi I. Gallang, F.CJ., selaku Dosen Pembimbing Akademik saya yang selalu memberi masukan, semangat untuk menyelesaikan studi S1 saya selama di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

4. Bapak Minta Istono, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih untuk bapak yang selalu berusaha meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk membimbing, memberi saran, masukan dan selalu memberi semangat kepada saya selama saya menemui kesulitan dalam


(13)

xi

menyusun skripsi. Pak Minto juga selalu meyakinkan saya untuk bisa menyelesaikan skripsi dengan tepat waktu meskipun banyak rintangan yang saya temui. Terimakasih banyak ya pak Minto.

5. Mama Betty Krovan dan Bapak Willy Brordus, kedua orang tua saya yang sangat saya cintai dan banggakan. Terimakasih banyak atas doa, dukungan materi maupun psikoligis, cinta dan pelajaran hidup yang telah saya terima selama ini. Saya mohon maaf karena belum banyak yang dapat saya berikan untuk membalas kebaikan kalian. Semoga Tuhan selalu memberkati dan melimpahkan berkat kebahagiaan yang tak terhingga untuk mama dan papa.

6. Kepada Maria Stella Kusuma Dewi dan Benediktus Angga, kedua adik yang saya cintai. Terimakasih atas semangat dan keceriaan yang telah kalian berikan untuk saya. Semoga kalian juga selalu semangat dalam menjalani pendidikan sampai nanti sukses di kemudian hari.

7. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terimakasih bapak dan ibu atas ilmu yang pernah dibagikan kepada saya selama saya menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi USD ini.

8. Seluruh Staff dan Karyawan Psikologi USD yang telah sabar melayani dan memberikan informasi selama saya berkuliah di Fakultas Psikologi USD ini.

9. Kepada Ibu Jeany dan Ibu Donna selaku Wakil Direktur dan Kepala Diklat Rumah Sakit. Terimakasih banyak tante Jeany dan tante Donna karena telah banyak membantu saya dalam proses pengambilan data dan pengumpulan


(14)

xii

data penelitian. Terimakasih juga atas semangat dan dukungannya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan tepat waktu.

10.Clara Christania Agha Sariri, sebagai teman, sahabat, adik sekaligus pacar yang sangat saya kasihi. Terimakasih banyak atas dukungan, doa, cinta, kasih sayang dan semangatmu yang tak henti hentinya selalu engkau berikan, sehingga saya selalu termotivasi untuk menyelesaikan pendidikan di S1 dan sukses di kemudian hari. Terimakasih juga karena mau menemani di saat stress, di saat sulit, mau mendengarkan keluh kesah dan ketakutan saya serta selalu meyakinkan saya bahwa saya mampu melewatinya. Semoga Tuhan selalu menyertai dan memberikan berkat yang melimpah kepadamu dan kita.

11.Gebby, Nevi, Ache. Orang-orang dibalik layar yang selalu memberikan semangat, motivasi dan kepercayaan mereka kepada saya. Terimakasih ya teman-teman SMA yang gila yang selalu mau untuk meluangkan waktu sekedar bertemu, bercerita dan memberikan semangat, yang bagi saya sangat mahal harganya. Tantangan yang sesungguhnya telah menanti, semoga kalian sukses dalam karir, hidup dan cintanya. Meskipun kita akan menghadapi jalan masing-masing jangan pernah segan untuk kembali bertemu untuk sekedar bercerita ya teman-teman .

12.Nata, Leo, Guerika, Silvi, Elga dan Sakti, teman-teman bimbingan skripsi saya bersama pak Minto. Terimakasih atas kebersamaan kita dalam menghadapi problema penyusunan skripsi selama ini. Saya menyadari


(15)

xiii

banyak sekali kesulitan yang kita alami selama ini. Saya minta maaf jika selama ini saya suka egois dan berperilaku tidak menyenangkan terhadap kalian. Saya tetap mendoakan yang terbaik untuk kalian. Semoga kita bias bertemu pada waktu dan keadan yang berbeda. Tetap semangat dan jangan berhenti berdoa. Semoga kita akan tetap saling mendukung satu sama lainnya.

13.Zelda, Yosua, Erlin, Bayu, Rezky, Gung is, Mitha, Bincik, Putri, teman -teman yang selalu mau mendengarkan curhatan, cerita-cerita dan gossip-gossip gila bersamaku. Terimakasih teman-teman karena sudah mau meluangkan waktu untuk sekedar menemaniku nongkrong dan main disela-sela kesibukan kita. Terimakasih juga karena kalian mau untuk berbagi cerita dan membicarakan banyak gossip yang kita temui mulai dari yang kecu sampai saru sehingga memberi warna menyenangkan yang menghiasi kehidupan perkuliahanku. Saya berterimakasih juga atas semangat yang selalu kalian berikan di saat saya menemui kesulitan. Semoga Tuhan selalu memberkati dan sukses untuk kalian.

14.Patris, Vintsen, Lita dan Della, teman-teman pertamaku ketika aku berkuliah di Sanata Dharma. Terimakasih teman-teman karena sudah menjadi teman kuliah pertamaku. Terimakasih juga main barengnya ya meskipun semakin lama kita semakin sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi kenangan yang pernah kita buat tidak akan pernah terlupakan. Sukses untuk kita !


(16)

xiv

15.Teman – teman Psikologi Kelas D yang saya kasihi. Terimakasih teman-teman atas pengalaman berharga dan persahabatan yang sudah terjalin antara kita. Terimakasih atas keceriaan yang telah kita alami sehari-hari pada saat masa perkuliahan. Terus berusaha supaya kelak nanti kita bertemu dalam keadaan sehat dan sukses. Semangat !

16.Seluruh teman – teman dan sahabat saya di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma angkatan 2012. Terimakasih atas pengalaman dan cerita yang telah kita buat selama kurang lebih 4 tahun ini. Terimakasih banyak atas bantuan yang pernah diberikan kepada saya sehingga saya dapat melalui perkuliahan dengan lancar. Kita memulai langkah kita disini, dirumah kita Fakultas Psikologi. Pada akhirnya kita akan pergi dari rumah untuk mencari kesuksesan kita masing-masing. Akan tetapi, rumah ini akan selalu menjadi tempat kita kembali pulang, mengenang masa-masa indah dan melepas rindu kita. Sampai jumpa lagi sahabat dengan lebih banyak cerita dan dengan situasi yang berbeda. Titip salam pada masa depanmu  Saya meminta maaf apabila sikap dan perlakuan saya selama ini ada yang kurang berkenan. Semoga hubungan kita tetap terus berlanjut dan tetap saling membantu satu sama lain.

17.Teman – teman panitia INSADHA 2013, PPKM 2014, LIVE IN 2014, HUMAS periode 2015/16, dan AKSI 2016. Terimakasih teman-teman semua atas pengalaman yang boleh saya terima sehingga tidak hanya hardskill saja yang saya dapatkan selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma melainkann soft skill, pengalaman dan relasi


(17)

(18)

xvi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

1. Manfaat Teoritis ... 11

2. Manfaat Praktis ... 12

BAB II : LANDASAN TEORI ... 13

A. Voice Behavior ... 13

1. Definisi Voice Behaviour ... 13

2. Dimensi Voice Behaviour ... 17


(19)

xvii

B. Leader-Member Exchange ... 25

1. Definisi Leader Member Exchange ... 25

2. Dimensi Leader Member Exchange ... 27

3. Dampak dari Leader Member Exchange... 28

C. Employee Engagement ... 30

1. Definisi Employee Engagement ... 30

2. Jenis-jenis Employee Engagement ... 33

3. Aspek-aspek Employee Engagement ... 34

4. Faktor yang memengaruhi Employee Engagement ... 35

5. Dampak dari Employee Engagement ... 36

D. Dinamika Hubungan Leader Member Exchange, Employee Voice Behaviour dan Employee Engagement ... 38

E. Kerangka Penelitian ... 42

F. Hipotesis Penelitian ... 43

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 44

A. Jenis Penelitian ... 44

B. Variabel Penelitian ... 45

C. Devinisi Operasional ... 45

1. Voice Behaviour ... 45

2. Leader-Member Exchange ... 46

3. Employee Engagement ... 46

D. Subjek Penelitian ... 47

E. Instrumen Penelitian... 48

1. Metode Pengumpulan Data ... 48

2. Alat Pengumpulan Data ... 50

a. Skala voice behaviour ... 50


(20)

xviii

c. Skala engagement... 52

F. . Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 53

1. Validitas Alat Ukur ... 53

2. Reliabilitas Aitem Skala ... 54

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 55

a. Skala voice behaviour ... 55

b. Skala LMX ... 56

c. Skala engagement ... 56

G. Analisis Deskriptif ... 58

H. Metode Pengolahan Data ... 58

1. Uji Asumsi ... 58

a. Uji Normalitas ... 58

b. Uji Homoskedastisitas ... 59

c. Uji Linearitas ... 59

2. Uji Hipotesis... 60

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Pelaksanaan Penelitian ... 62

B. Deskripsi Penelitian ... 63

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 63

2. Deskripsi Data Penelitian ... 68

C. Analisis Data Penelitian ... 70

1. Uji Asumsi ... 70

a. Uji Normalitas ... 70

b. Uji Homoskedastisitas ... 71

c. Uji Linearitas ... 72

2. Uji Hipotesis... 73


(21)

xix

E. Keterbatasan Penelitian ... 87

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 89

1. Bagi Perawat Rumah Sakit... 90

2. Bagi Kepala Ruangan ... 91

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(22)

xx

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Dimensi Voice dan Silent ... 18 Tabel 2.2. Variabel yang Dapat Menyebabkan dan Menghambat

Voice Behaviour ... 22 Tabel 3.1. Sebaran Aitem Skala Voice ... 51 Tabel 3.2. Sebaran Aitem Skala LMX ... 52 Tabel 3.3. Sebaran Aitem Skala Engagement ... 53 Tabel 3.4. Reliabilitas Skala Voice Behaviour ... 56 Tabel 3.5. Reliabilitas Skala LMX ... 56 Tabel 3.6. Reliabilitas Skala Engagement... 57 Tabel 4.1. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64 Tabel 4.2. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Lama Bekerja

Di Rumah Sakit ... 65 Tabel 4.3. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Lama Bekerja

Dengan Kepala Ruangan Saat Ini ... 65 Tabel 4.4. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia ... 66 Tabel 4.5. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Skor Ide, Informasi,

Kritikan, Saran dan Gagasan yang Dimiliki ... 67 Tabel 4.6. Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 69 Tabel 4.7. Uji Normalitas Residu ... 70 Tabel 4.8. Uji Glejser Homoskedastisitas ... 72


(23)

xxi

Tabel 4.9. Uji Linearitas... 73 Tabel 4.10. Uji Hipotesis 1 Regresi Antara LMX dan Voice... 75 Tabel 4.11. Uji Hipotesis 2 Regresi Antara LMX and Engagement ... 76 Tabel 4.12. Uji Hipotesis 3 Regresi Antara Engagement dan Voice ... 76 Tabel 4.13. Uji Hipotesis 4 Multiple Regression LMX, Engagement


(24)

xxii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Model Penelitian ... 43 Gambar 4.1. Skema Penelitian ... 74


(25)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Reliabilitas Aitem dan Skala Penelitian ... 100 Lampiran 2. Hasil Uji T ... 102 Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas Residu ... 103 Lampiran 4. Hasil Uji Homoskedastisitas ... 105 Lampiran 5. Hasil Uji Linearitas ... 106 Lampiran 6. Hasil Uji Hipotesis... 107


(26)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Silent is not gold anymore! Speak up when you are sure your words are better than your silent!”.

Sebuah perusahaan yang bernama PT. BUMI Resources Tbk. membuat sebuah sarana komunikasi yang dinamakan dengan speak up system. Speak up system adalah sebuah prosedur yang berlaku untuk semua karyawan, management, direktur, komisaris dan pihak terkait yang bekerja dalam perusahaan maupun anak perusahaannya yang digunakan untuk melaporkan segala bentuk informasi khususnya pelanggaran pedoman (code of conduct) yang mungkin terjadi dalam perusahaan tersebut. (www.bumiresources.com, diakses pada 14 agustus 2016).

Salah satu alasan mengapa perusahaan memberikan fasilitas seperti speak up system pada PT.BUMI Resources Tbk. diatas adalah karena diam bukan lagi menjadi hal yang baik dilakukan terutama jika kita berbicara dalam konteks organisasi atau perusahaan. Morisson, See dan Caitlin (2015) mengatakan bahwa pada kenyataannya ketika seorang karyawan dihadapkan pada pilihan apakah ingin mengungkapkan isu yang sedang terjadi pada perusahaannya atau tidak, karyawan cenderung lebih memilih untuk diam dan tidak mengungkapkannya.


(27)

Fakta mengenai hal tersebut terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Souba, Way, Lucey, Sedmak dan Notestine (2011) pada orang-orang yang bekerja di departemen dan sekolah kesehatan di Amerika yang menemukan bahwa 69% orang setuju bahwa mereka lebih memilih diam ketika menemukan permasalahan di tempat kerja. Hal serupa juga dikatakan oleh Morisson, Milliken dan Hewlin (2003) bahwa 85% dari karyawan profesional dan manager secara sadar telah gagal untuk speak up atau mengutarakan hal yang penting dan krusial yang seharusnya menjadi perhatian bagi perusahaan.

Perilaku informal dan kebebasan berkomunikasi dari karyawan mengenai ide, saran, informasi mengenai permasalahan, atau pendapat tentang isu yang ada di tempat kerja dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan performa organisasi atau membawa perubahan biasa dikenal dengan istilah voice behaviour. Voicebehaviour juga dikonsepkan sebagai salah satu tipe extra role behavior yang dapat menunjukkan letak permasalahan dan memberikan saran atau jalan keluar yang konstruktif ke arah yang lebih baik (Van Dyne, Cummings & Parks, 1995; Morisson, 2014). Ketika seorang karyawan lebih memilih untuk menahan informasi yang penting dan potensial atau gagal untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran mereka, secara konstruktif perilaku ini dikenal dengan silent (Morisson & Milliken, 2000).

Fenomena voice telah banyak menjadi topik penelitian dan menjadi fokus utama dalam ilmu organisasi (Van Dyne & LePine 1998; Van Dyne


(28)

& Botero, 2003; Morisson et al. 2003; Morisson, 2014). Dalam beberapa penelitian, perusahaan atau organisasi akan berjalan dengan lebih baik ketika para karyawannya mau mengutarakan ide, informasi, dan gagasan yang mereka miliki (Morisson, 2014; Van Dyne, Dishan, & Jeffrey 2008).

Akan tetapi, meskipun voice memiliki banyak manfaat bagi organisasi, voice behavior juga memiliki two-cost oriented, yaitu menantang dan memiliki resiko yang cukup potensial (Van Dyne & LePine, 1998). Maksudnya ialah selain memberikan dampak positif bagi perusahaan, voice behaviour juga dianggap menentang standard prosedur ketika orang lain atau target voice tidak setuju dengan masukan yang diberikan sehingga hal ini dapat merusak hubungan dalam pekerjaan (Van Dyne & LePine, 1998). Hal ini seringkali terjadi pada tempat-tempat yang masyarakatnya memiliki budaya kolektif (Zhao, 2014) dan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ciri budaya kolektif yang tinggi (Purba & Seniati, 2004).

Budaya kolektif merupakan nilai budaya yang erat kaitannya dengan perilaku sosial (Van Dyne, Vandewalle, Kostova, Latham & Cumings, 2000). Van Dyne et al (2000) juga menjelaskan bahwa nilai budaya kolektif adalah keyakinan seorang individu bahwa kepentingan kelompok merupakan kepentingan yang harus didahulukan daripada kepentingan pribadi. Ketika budaya individualis menekankan pada “pekerjaan individu”, budaya kolektif akan lebih menekankan pada “pekerjaan kelompok”.


(29)

Ashford, Sutcliffe dan Christianson (2009) mengatakan jika karyawan tidak berani untuk voice di tempat kerja, maka akan berpotensi menyebabkan beberapa hasil merugikan bagi perusahaan atau organisasi. Contohnya seperti: kinerja yang lemah, korupsi, moral karyawan yang rendah, kematian pasien di rumah sakit dan kecelakaan. Oleh karena itu, voice behavior sangat diperlukan dalam sebuah oganisasi dan penting untuk diteliti lebih lanjut.

Morisson (2014) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab dan dapat memengaruhi voice behaviour karyawan. Diantaranya ialah karakteristik individu (individual dispositions), persepsi dan sikap terhadap pekerjaan dan organisasi (job and organizational attitudes and perception), emosi, kepercayaan dan konsep berpikir individu (emotion, beliefs and schemas), perilaku pemimpin dan supervisor (supervisor and leader behaviour), dan faktor kontekstual yang lain. Indonesia sebagai negara yang memiliki nilai kolektif tinggi pastinya memiliki sistem tim kerja yang berkembang dengan baik (Purba & Seniati, 2004). Hal ini menandakan bahwa kualitas komunikasi atasan dan bawahan memainkan peran yang penting dan signifikan dalam iklim dan lingkungan pekerjaan sebuah organisasi (Dulebohn, Bommer, Liden, Brouer & Gerald, 2011) khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, hal tersebut perlu diteliti lebih lanjut.

Konsep yang membahas dan mempelajari kualitas hubungan leader, supervisor, atau atasan dengan bawahan mereka dalam lingkungan


(30)

kerja dan bagaimana mereka dapat saling memengaruhi dikenal dengan istilah Leader-Member Exchange (LMX) (Erdogan & Enders, 2007). Zhao (2014) lebih lanjut mengatakan bahwa LMX memiliki peran penting dalam memengaruhi voice behaviour pada karyawan.

Berbeda dengan teori kepemimpinan lainnya, LMX melihat bagaimana sebenarnya kualitas hubungan antara atasan dengan bawahan mereka secara spesifik dan bagaimana mereka dapat saling memengaruhi (Erdogan & Enders, 2007). Perbedaan lain dari konsep LMX dengan teori kepemimpinan seperti servant leadership, transformational leadership ataupun authentic leadership adalah LMX berfokus pada hubungan dyadic dan hubungan yang unik dari pemimpin dalam mengembangkan komunikasi dengan tiap-tiap karyawannya. Sementara teori kepemimpinan yang lain lebih berfokus pada perilaku tertentu dari seorang pemimpin saja, tidak melihat hubungan timbal baliknya (Gesterner & Day, 1997; Graen & Uhl-Bien, 1995). Hal ini yang menyebabkan pemimpin memiliki kualitas LMX yang berbeda-beda dengan setiap bawahannya.

Berdasarkan teori reciprocity yang diungkapkan oleh Cropanzano dan Mitchell (Dalam Zhao, 2014), karyawan yang memiliki kualitas LMX yang tinggi dengan atasannya akan merasa memiliki tanggung jawab untuk membalas perlakuan dan memenuhi kewajban timbal balik tersebut dengan terlibat dalam melakukan kinerja extra role. Di sisi lain, Van Dyne dan LePine (1998) memperkenalkan voice behaviour sebagai perilaku extra role dengan menggambarkannya secara konseptual. Dengan


(31)

demikian, karyawan juga akan merasa bahwa atasan akan memperlakukan mereka secara hormat dan bermartabat, yang pada akhirnya akan menimbulkan perasaan aman untuk mengungkapkan pemikiran dan isu yang sedang mereka pikirkan tentang pekerjaan dan organisasi (Zhao, 2014).

Wang, Chenjing Gan dan Chaoyan Wu (2016) mengatakan bahwa beberapa penelitian telah mencoba melihat apakah LMX dapat mendorong karyawan untuk melakukan voice behaviour di tempat kerja. Akan tetapi, mekanisme bagaimana hubungan antara LMX dan voice behaviour masih belum jelas apakah secara langsung berhubungan atau ada variabel lain yang dapat memediasi hubungan keduanya. Wang et al (2016) juga menambahkan bahwa hanya satu penelitian yang dilakukan oleh Burris, Detert dan Chiaburu (2008) yang melihat psychological attachment (specifically, affective commitment) sebagai mediator antara LMX dengan voice behaviour. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut mengenai variabel yang mungkin memediasi LMX dengan voice.

Menurut Bakker, Breevehart, Demerouti dan Heuvel (2013), kualitas relasi LMX yang rendah biasanya disebabkan karena relasi atasan dan bawahan yang hanya didasarkan pada tuntutan formal kontrak kerja mengenai tanggung jawab dan job desk karyawan serta bayaran yang menjadi hak mereka. Padahal, kualitas LMX yang tinggi bukanlah relasi atasan dan bawahan yang dibangun hanya berdasarkan kontrak kerja semata, tetapi juga menyangkut aspek-aspek afektif seperti kepercayaan,


(32)

saling menghormati dan rasa tanggung jawab bersama dalam perusahaan (Bakker et al. 2013).

Ozdevecioglu (2015) menyebutkan bahwa LMX yang tinggi dapat menimbulkan perilaku-perilaku positif karyawan seperti performa yang tinggi, kepuasan kerja, komitmen organisasi, kepercayaan terhadap organisasi, loyality, Organizational Citizenship Behaviour (OCB), dan rendahnya tingkat turnover. Selain itu, menurut perspektif social exchange theory, kualitas LMX yang baik dapat memicu motivasi intrinsik karyawan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik pula, sehingga memungkinkan bahwa karyawan dengan LMX yang berkualitas akan menjadi lebih terlibat (engage) dalam organisasi dan pekerjaan mereka (Bakker et al. 2013).

Engagement sesungguhnya merupakan perasaan yang dimiliki oleh karyawan yang berasal dari inisiatif pribadi berupa kemampuan beradaptasi, usaha, dan ketekunan yang diarahkan pada tujuan organisasi (Mone, Christina, Kathryn, Bennett, & Carolyn, 2011). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa adanya korelasi positif dan signifikan antara LMX dengan keterlibatan karyawan (employee engagement) (Dhivya & Sripirabaa, 2015; Bakker et al. 2013; Elia 2015). Akan tetapi, LMX yang tinggi juga dapat berpotensi menimbulkan fenomena yang dinamakan dengan Social Loafing. Social loafing merupakan sebuah keadaan dimana seorang karyawan akan merasa posisi atau kedudukannya aman dalam perusahaan dan tidak menunjukkan keterlibatan apa-apa


(33)

melainkan hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan job description atau perilaku in-role nya saja(Handoyo & Sandjadja, 2012).

Davoudi, Oraji dan Kaur (2012) menjelaskan bahwa social loafing merupakan sebuah fenomena yang terjadi pada saat seorang karyawan mengalami less effort untuk mencapai tujuan organisasi. Social loafing akan lebih rentan terjadi jika seseorang bekerja dalam sebuah kelompok dibandingkan dengan ketika mereka bekerja secara individu. Oleh karena itu, dengan meningkatnya dukungan dari atasan, bawahan akan merasa pekerjaannya sangat mudah untuk dilakukan dan mereka tidak menunjukkan keterikatan dan komitmennya pada organisasi (dalam Handoyo & Sandjadja, 2012; Karau & Kipling, 1993).

Meskipun demikian, Anitha (2013) menjelaskan bahwa pemimpin tetap memiliki peran yang penting dalam menumbuhkan employee engagement. Penelitian yang dilakukan Wallace dan Trinka (2009) menunjukkan engagement akan muncul secara alami ketika seorang pemimpin mampu menginspirasi bawahannya (dalam Anitha, 2013). Pemimpin juga memiliki peran untuk mengomunikasikan pentingnya peran dan usaha karyawan bagi kesuksesan organisasi. Ketika pekerjaan dari karyawan dihargai dan dianggap penting oleh atasan mereka, hal tersebut akan membuat mereka semakin engage (Anitha, 2013). Berdasarkan gap antara hasil penelitian dan teori social loafing tersebut, perlu diteliti lebih lanjut mengenai hubungan antara LMX dengan employee engagement.


(34)

Seperti dijelaskan oleh Anitha (2013), karyawan yang engage merupakan karyawan yang cenderung terlibat dalam organisasi dan siap untuk melakukan kinerja extra role. Anitha juga mengutarakan beberapa akibat jika karyawan engage terhadap organisasi mereka, yaitu kepuasan kerja, komitmen organisasi, keinginan untuk tidak berhenti bekerja (turn over rendah), dan Organizational Citizenship Behaviour. Karyawan yang engage juga berarti secara kualitas akan unggul karena mereka menunjukkan minat tinggi dalam pekerjaan dan siap untuk “bekerja ekstra” bagi organisasi mereka (Ress, Alfes & Gatenby, 2013).

Secara lebih lanjut Anitha (2013) mengatakan bahwa employee engagement adalah “alat” yang baik untuk membantu setiap organisasi dalam mencapai keunggulan kompetitif dibandingkan dengan organisasi lainnya. Karyawan merupakan faktor yang sangat penting dan tidak dapat digantikan posisi dan perannya dalam perusahaan, karena dianggap sebagai aset paling berharga jika dikelola dengan benar. Apalagi jika mereka dapat engage dengan organisasi ataupun pekerjaan mereka.

Employee engagement juga merupakan variabel mendasar yang memengaruhi hubungan kerja, sikap dan perilaku (Ress et al. 2013). Salanova dan Schaufeli (dalam Ress et al. 2013) menjelaskan bahwa karyawan yang lebih terlibat (engage) dengan pekerjaan mereka akan lebih cenderung berperilaku dengan cara yang positif dan kooperatif, untuk kepentingan perusahaan dan diri mereka sendiri. Sementara itu, seperti yang telah dijelaskan di atas, voice behaviour merupakan salah satu


(35)

perilaku yang dikategorikan sebagai extra role behaviour. Voice juga dijelaskan sebagai perilaku yang bersifat tidak wajib dan merupakan ekspresi konstruktif. Dengan kata lain, hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan bukan hanya sekadar mengkritik saja (Van Dyne & LePine, 1998). Secara lebih lanjut Van Dyne dan LePine juga menjelaskan bahwa voice dapat digambarkan sebagai salah satu tipe dari perilaku Organizational Citizenship Behaviour (OCB).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan karyawan yang engage dengan organisasi mereka akan cenderung melakukan voice behaviour. Hal ini karena ketika karyawan merasa engage mereka akan merasa terlibat, penuh gairah, dan menunjukkan perilaku bahwa mereka memiliki peran pada lingkungan kerja (Mone et al. 2011). Salah satu perilaku yang menunjukkan bahwa mereka terlibat adalah dengan cara menyuarakan ide, gagasan, dan informasi yang penting dan krusial bagi organisasi mereka. Seperti yang dikatakan oleh Morisson (2014), voice dilakukan ketika karyawan merasa bahwa permasalahan dan kesempatan mengenai ide, gagasan dan informasi tersebut relevan dan penting untuk diutarakan terhadap organisasi.

Oleh karena itu, apakah employee engagement merupakan variabel yang dapat memediatori hubungan antara Leader-Member Exchange dan Voice ?


(36)

B. Rumusan masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah terdapat hubungan antara Leader Member Exchange dan Voice Behaviour ?

2. Apakah Employee Engagement dapat memediatori hubungan antara Leader Member Exchange dan Voice Behaviour ?

C. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Leader-Member Exchange dan Voice Behaviour. Selain itu, untuk mengetahui apakah Employee Engagement dapat memediasi hubungan antara Leader Member Exchange dan Voice Behaviour.

D. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang hubungan atau korelasi antara LMX dan perilaku voice pada karyawan dengan employee engagement sebagai variabel mediator dan dapat menjadi salah satu referensi bagi para akademisi dan bagi penelitian lebih lanjut yang memiliki topik yang sama.


(37)

2. Manfaat praktis

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan gambaran bagi perusahaan mengenai kualitas relasi atasan dan bawahan yang sedang terjadi dan memberikan gambaran bagi perusahaan mengenai sejauh mana karyawan mereka terlibat dalam organisasi. Jika hipotesis dalam penelitian ini terbukti, perusahaan nantinya dapat berupaya untuk meningkatkan kualitas LMX antara karyawan dan supervisor mereka sehingga dapat meningkatkan employee engagement dan voice behaviour di tempat kerja pun dapat lebih meningkat.


(38)

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Voice Behaviour

1. Definisi Voice Behaviour

Karyawan seringkali memiliki ide, informasi dan pendapat yang bertujuan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan pekerjaannya sendiri maupun organisasi (Van Dyne, Ang & Botero, 2003). Premeaux dan Bedeian (2003) mengatakan bahwa ketika seorang karyawan menyatakan pendapat mengenai permasalahan yang terjadi dalam lingkungan pekerjaan seperti saran kepada orang lain (teman kerja) dan organisasi, melakukan pendekatan komunikatif dalam melihat permasalahan yang terjadi dan menyuarakan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan maka karyawan tersebut dapat dikatakan telah melakukan voice behaviour (dalam Nikolau, Maria & Dimitris, 2007)

Pengertian voice sebagai komunikasi informal telah ada sejak beberapa dekade yang lalu tepatnya pada tahun 1980-an dan terus berkembang dengan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan area tersebut. Salah satunya, Spencer (1986) yang pada waktu itu mendefinisikan voice sebagai ungkapan ketidakpuasan dengan maksud mengubah situasi dan permasalahan serta ungkapan untuk menarik diri dan meninggalkan permasalahan tersebut. Saat itu penelitian mengenai


(39)

voice juga dikorelasikan dan dikaitkan dengan tingkat turnover pada perusahaan. Pada akhir tahun 1990-an, penelitian-penelitian yang dilakukan tidak lagi melihat voice behaviour hanya sebagai ungkapan ketidakpuasan, melainkan juga sebagai salah satu bagian penting dalam perilaku extra role atau salah satu cara seorang karyawan melakukan pekerjaan yang melebihi kewajibannya (Morisson, 2014).

LePine dan Van Dyne(1998) juga telah memperkenalkan voice sebagai salah satu perilaku yang termasuk dalam extra role behaviour. Artinya, perilaku tersebut tidak terdapat dalam job desk yang ada dalam sebuah perusahaan dan merupakan inisiatif pribadi dari individu tersebut. LePine dan Van Dyne juga menyebutkan voice behaviour memiliki kontribusi yang dapat membawa performa perusahaan menjadi lebih efektif. Selain itu, voice behaviour merupakan kesediaan dari karyawan untuk memberikan ide dan pemikiran mereka yang berkaitan dengan proses kerja dan menjadi hal yang perlu dipelajari oleh tim kerja dalam organisasi. Voice juga merupakan komunikasi yang bersifat informal atau dengan kata lain, karyawan bebas untuk berkomunikasi mengenai ide, saran, perhatian, informasi mengenai permasalahan dalam perusahaan atau dalam hubungan dengan rekan kerja terhadap orang yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan dengan maksud untuk membawa perubahan yang lebih baik. (Morisson, 2014; Detert & Burris, 2007).


(40)

Dalam sejarah perkembangannya, konsep voice memiliki beberapa istilah yang serupa dan juga ikut membantu menjelaskan voice behaviour, salah satunya ialah issue selling. Issue selling merupakan upaya yang dilakukan seorang karyawan untuk membuat atasan memerhatikan sebuah masalah atau isu tertentu yang sedang terjadi. Issue selling juga dapat dikatan perilaku “penghasutan” yang dilakukan karyawan. Perilaku ini tidak hanya membutuhkan voice behaviour saja melainkan juga karyawan tersebut membangun koalisi, mencari sekutunya dan mempersiapkan presentasi resmi mengenai permasalahan tersebut. Hal ini membantu menjelaskan motivasi seorang karyawan dalam melakukan voice behaviour (Miceli & Near dalam Morisson, 2014; Dutton, Susan, Katherine & Kathi, 2002).

Selain itu, Miceli, Near dan Dworkin (2008) juga mengemukakan istilah lain yang serupa dengan voice yang disebut dengan whistle blowing. Whistle blowing merupakan pengungkapan perilaku yang illegal, tidak bermoral, atau tidak berkenan yang dilakukan oleh seseorang kepada organisasi (dalam Morisson, 2014). Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa istilah tersebut pada umumnya mengungkapkan ekspresi ketidaksepakatan atau pendapat bertentangan terhadap perusahaan yang dapat kita lihat sebagai voice behaviour. Selain itu, perilaku ini juga ditujukan dalam bentuk keluhan terhadap organisasi (Near & Miceli, 1989). Fokus dalam literatur yang membahas mengenai istilah-istilah tersebut adalah perbedaan


(41)

mengenai cara karyawan mengekspresikan perbedaan pendapat mereka dan bagaimana feedback yang diberikan oleh atasan sebagai respon dari ekspresi karyawan tersebut (Morisson, 2014). Hal inilah yang membedakannya dengan voice behaviour.

Jika membahas mengenai voice tentunya kita tidak dapat terlepas dari yang dinamakan silent. Secara bentuk perilaku, voice dan silent muncul sebagai dua kutub yang berlawanan. Bila dilihat perbandingan keduanya secara singkat, silent adalah perilaku “dengan sengaja” menahan informasi dan voice adalah kebalikannya yaitu mengatakan dan mengungkapkan informasi tersebut. Karyawan yang melakukan voice behaviour belum tentu silent. Hal ini dikarenakan seseorang yang tidak melakukan voice bisa saja karena meeka tidak memiliki ide, gagasan ataupun hal-hal lain yang dapat disuarakan. Silent juga bukan berarti seseorang karyawan mengalami “lack of speech”. Akan tetapi, silent merupakan perilaku karyawan yang tidak mengekspresikan keadaan atau informasi sebenarnya yang dimiliki dari keadaan organisasinya (Van Dyne, Ang & Botero, 2003; Pinder & Harlos, 2001).

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa voice behaviour merupakan perilaku menyuarakan ide, gagasan, informasi, gagasan atau saran mengenai permasalahan yang ada dalam lingkungan kerja yang tidak terdapat dalam job description perusahaan dan diungkapkan kepada orang lain yang


(42)

memiliki wewenang untuk mengambil keputusan tertentu terkait informasi tersebut dengan tujuan membawa organisasi atau perusahaan ke arah yang lebih baik.

2. Dimensi Voice Behaviour

Karyawan yang silent tidak dapat langsung dikatakan bahwa ia tidak voice di tempat kerja. Hal ini dikarenakan, karyawan tidak voice bisa saja karena mereka memang tidak memiliki pendapat atau informasi yang penting disampaikan (Van Dyne, Ang & Botero, 2003). Oleh karena itu, ada motif tertentu dari seorang karyawan ketika melakukan voice di tempat kerja.

Van Dyne et al (2003) menggambarkan enam bentuk spesifik perilaku atau tiga bentuk dimensi dari voice dan silent behaviour yang dikategorikan berdasarkan motivasi yang dimiliki oleh karyawan. Motivasi tersebut adalah disengaged, protective dan other-oriented. Disengaged merupakan motivasi yang didasari oleh perasaan tidak mampu untuk membuat perubahan yang berarti dalam perusahaan atau organisasinya (Pinder & Harlos, 2001; Whiteside & Barclay, 2013). Protective merupakan motivasi yang didasari perasaan takut dan memikirkan resiko pribadi yang akan dihadapi (Van Dyne et al. 2003; Milliken, Morisson & Hewlin, 2003; Milliken & Morisson, 2000). Sedangkan other-oriented merupakan motivasi yang didasari pada perasaan kooperatif dan altruistic (Van Dyne et al. 2003; Organ, 1998).


(43)

Berdasarkan ketiga motivasi individu tersebut, Van Dyne et al (2003) mengemukakan dimensi paralel dari voice dan silent yaitu Acquiescent voice/ silent, Defensive voice/ silent dan ProSocial voice/ silent. Keenam perilaku spesifik tersebut tergambar dalam Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1

Dimensi Voice dan Silent (Van Dyne et al. 2003)

Type of behaviour

Employee Motive Employee Silence (dengan sengaja menahan informasi dan pendapat) Employee Voice (mengutarakan informasi dan pendapat) Disengaged Behaviour

(perasaan tidak mampu untuk membuat

perubahan)

Acquiescet Silence Acquiescet Voice

Self Protective Behaviour (perasaan takut dan

memikirkan resiko pribadi yang akan

dihadapi)

Defensive Silence Defensive Voice

Other-Oriented Behaviour (perasaan kooperatif dan

altruistik)

ProSocial Silence ProSocial Voice

a. ProSocial Voice

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, voice termasuk dalam salah satu bentuk perilaku extra role atau perilaku informal yang menguntungkan bagi organisasi. Prosocial voice merupakan perilaku mengekspresikan ide-ide yang berhubungan dengan


(44)

pekerjaan, informasi dan pendapat berdasarkan motivasi karyawan yang kooperatif. Dengan kata lain, perilaku ini dilakukan atas dasar inisiatif pribadi, perilaku proaktif dan other-oriented. (Organ, 1998; Van Dyne et al. 2003; LePine & Van Dyne 1998)

Fokus utama dari perilaku ini ialah memberi keuntungan untuk organisasi. Bentuk perilaku prosocial voice adalah berupa mengutarakan permasalahan dan solusinya juga menyurakan ide yang bersifat konstruktif bagi organisasi. Pengutaraan prosocial voice bukan bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, akan tetapi berorientasi pada kepentingan bersama (Van Dyne et al. 2003). Prosocial voice inilah yang merupakan bentuk dan definisi dari voice behaviour yang dikemukakan oleh banyak literatur (LePine & Van Dyne, 1998; Zhao, 2014; Van Dyne et al. 2003, Morisson, 2014). Dengan kata lain literatur atau penelitian tersebut menyebut prosocial voice sebagai voice behaviour secara konstruk.

Contoh, “Saya mengungkapkan solusi mengenai permasalahan

yang sedang terjadi demi kemajuan perusahaan ini”. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan digunakan dimensi prosocial voice dari Van Dyne et al (2003) untuk mengukur voice behaviour pada karyawan.

b. Defensive Voice

Dalam mengutarakan pendapatnya, seorang karyawan juga pasti akan mempertimbangkan psychological safety, yaitu


(45)

keyakinan dan ketakutan akan adanya resiko dalam mengutarakan pendapat sehingga, akan muncul sebuah kecenderungan yang dinamakan self protected (Van Dyne et al. 2003; Detert & Burris, 2007). Schlenker dan Weigold (1989) mendefinisikan self-protected behaviour sebagai perilaku individu yang senang mengambil keputusan yang aman-aman saja dan tidak suka mengambil tanggung jawab yang ditanggung sendiri (dalam Van Dyne et al. 2003).

Defensive voice adalah tanggapan, ide atau pendapat mengenai permasalahan yang terjadi dan diungkapkan dengan maksud mengalihkan perhatian karena ketakutannya dari masalah tersebut. Individu dengan defensive voice akan menyuarakan pendapat yang berfokus pada orang lain untuk melindungi dirinya. Hal ini dikarenakan adanya faktor risiko yang dianggap berbahaya oleh individu tersebut jika menyuarakan pendapatnya (Van Dyne et al. 2003; Milliken et al. 2003; Milliken & Morisson, 2000). Contoh, “Saya sering merasa takut untuk mengutarakan pendapat sehingga saya selalu setuju dengan pendapat mayoritas dari kelompok kerja saya.”

c. Acquiescent Voice

Acquiescent voice merupakan perilaku individu dalam mengungkapkan ide, gagasan, informasi dan pendapat yang dilakukan atas dasar penarikan diri dari sebuah masalah. Perilaku


(46)

ini biasanya dilakukan dengan cara ikut mendukung gagasan dan pendapat orang lain dalam kelomponya. Individu yang melakukan Acquiescent voice akan pasif dalam mengungkapkan ide dan gagasannya. Acquiescent voice merupakan perilaku disengage yang dilatarbelakangi oleh perasaan tidak mampu untuk membuat perubahan dalam perusahaan atau organisasi (Van Dyne et al, 2003; Pinder & Harlos, 2001; Whiteside & Barclay, 2013; Milliken et al. 2003). Contoh, “Saya cenderung mendukung ide dari orang lain karena saya merasa tidak memiliki keterlibatan apa-apa dalam perusahaan ini.”

3. Faktor-faktor yang memengaruhi voice behaviour

Sama seperti konstruk psikologis lainnya, voice behaviour juga dapat dipengaruhi maupun dihambat oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor tersebut berperan dalam memunculkan keinginan seseorang untuk membuat perubahan dalam organisasi atau meningkatkan ekspektasi subjektif seseorang sehingga melakukan voice (Van Dyne et al. 2003; Morisson, 2014). Dari sekian banyak literatur yang memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab voice, Morisson (2014) merangkumnya ke dalam sebuah tabel sebagai berikut:


(47)

Tabel 2.2

Variabel yang dapat menyebabkan dan menghambat voice behaviour (Morisson, 2014)

Faktor – faktor Penyebab Penghambat

Karakteristik individu - Extraversion - Proactive - Personality - Assertiveness - Conscientiousness - Duty orientation - Customer orientation

Achievement orientation

Persepsi dan sikap terhadap pekerjaan dan organisasi - Organizational identification - Work-group identification - Felt obligation for change

- Job satisfaction - Role breadth - Control or influence - Organizational support - Detachment -Powerlessness Emosi, kepercayaan dan konsep berfikir individu - Anger

- Psychological safety

- Fear - Futility

- Image or career risks Perilaku pemimpin

dan supervisor

- Openness - Consultation

- Leader–member

exchange

- Transformational leadership

- Ethical leadership - Leader influence

- Abusive leadership

faktor kontekstual yang lain

- Group voice climate - Caring climate - Formal voice mechanisms

- Job and social stressors - Climate of fear or silence

- Instrumental climate - Hierarchical structure - Change-resistant culture


(48)

Dalam tabel tersebut, Morisson (2014) menjelaskan bahwa beberapa faktor yang menjadi penyebab dan dapat memengaruhi voice behaviour karyawan ialah karakteristik individu (individual dispositions), persepsi dan sikap terhadap pekerjaan dan organisasi (job and organizational attitudes and perception), emosi, kepercayaan dan konsep berfikir individu (emotion, beliefs and schemas), perilaku pemimpin dan supervisor (supervisor and leader behaviour), dan beberapa faktor kontekstual yang lain.

Voice behaviour juga merupakan salah satu bagian dari contextual performance (Motowidlo & Van Scotter, 1994). LePine dan Van Dyne (2001) menjelaskan bahwa contextual performance seorang individu akan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing dan peran yang dimiliki dalam sebuah organisasi. Contextual performance tersebut berupa kepribadian (Nikolau, Vakoula & Bourantas, 2008), orientasi individu terhadap tugas atau pribadi yang proaktif (Morisson, 2014).

Jika dilihat dari tujuannya, maka seseorang akan melakukan voice ketika ia merasa informasi yang dimiliki penting bagi organisasi atau perusahaan (Nikolau et al. 2007; Deter & Burris, 2007; Morisson, 2014). Oleh karena itu, persepsi individu terhadap pekerjaan dan organisasi juga menjadi faktor yang dapat memengaruhi voice behaviour (Morisson, 2014) salah satunya ialah engagement. Engagement merupakan keterlibatan penuh terhadap organisasi,


(49)

mengekspresikan dan mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama bekerja dalam organisasi atau sebuah perusahaan (Rana et al. 2014; Khan, 1990). Individu yang engage tentunya akan cenderung melakukan voice di tempat kerja.

Dalam mengungkapkan ide atau informasi yang sifatnya krusial, merupakan tantangan bagi seseorang yang hendak melakukan voice. Hal ini dikarenakan beberapa perusahaan menganggap voice behaviour sebagai perilaku menantang status quo yang ada (LePine & Van Dyne, 1998). Oleh karena itu, emosi, konsep berfikir dan kepercayaan individu dapat berpengaruh terhadap voice behaviour. Misalnya, karyawan yang memiliki pemikiran bahwa speak up menimbulkan kerugian pribadi (psychological safety) akan cenderung lebih memilih untuk silent (Van Dyne et al. 2003).

Faktor yang dapat mempengaruhi voice selanjutnya ialah leadership behaviour dan ethical leadership (Liden & Masyln, 1998; Cheng, Shu Ching, Jyh Huei & Yu Ha, 2014). Seorang pemimpin biasanya merupakan target voice behaviour. Dalam sebuah organisasi yang menerapkan sistem tim kerja, perilaku pemimpin sangat berpengaruh terhadap perilaku karyawan. Oleh karena itu, perilaku pemimpin juga ikut ambil bagian dalam memengaruhi kesediaan karyawan untuk melakukan voice behaviour (Liden & Masyln, 1998; Detert & Burris, 2007; Morisson, 2014). Selain itu, Karyawan akan lebih cenderung melakukan voice jika memiliki akses untuk


(50)

berkomunikasi dengan atasan mereka dan memiliki kesempatan lebih banyak untuk speak-up. Oleh karena itu, kualitas leader-member exchange juga akan berpengaruh terhadap voice behaviour karyawan (Zhao, 2014; Wang et al. 2016).

B. Leader Member Exchange (LMX) 1. Definisi Leader Member Exchange

Teori LMX secara khusus membahas hubungan timbal balik yang terjadi antara pemimpin dan anggotanya (Gerstner & David, 1997). LMX merupakan teori yang memiliki prinsip bahwa segala bentuk sikap dan perilaku karyawan dalam sebuah organisasi sangat bergantung pada bagaimana perlakuan yang diberikan oleh pemimpin (Rockstuhl, Dulebohn, Ang & Shore, 2012).

Gerstner dan David (1997) menyebutkan bahwa LMX pertama kali dikemukakan oleh Graen dan teman-temannya sejak tahun 1973. Akan tetapi menurut Gerstner dan David, teori LMX telah dibedakan dari teori tipe kepemimpinan lainnya berdasarkan fokus kajiannya yakni hubungan dyadic antara pemimpin dengan bawahannya. Hal ini berbeda dari teori kepemimpinan pada umumnya yang hanya membahas mengenai pemimpin dari fungsi dan karakteristik pribadinya saja bukan seperti LMX yang melihat hubungan dua arah (pemimpin dan bawahan).


(51)

Graen dan Uhl-Bhien (1995) mengungkapkan hal mendasar dari teori LMX ialah seorang pemimpin tidak akan memberi perlakuan dan membangun relasi yang sama dengan setiap anggotanya. Setiap anggota atau bawahan pastinya memiliki kualitas relasi dan perlakuan yang berbeda-beda dengan pemimpinnya. Maka kualitas tersebut akan berkisar dari kualitas LMX yang rendah sampai dengan kualitas LMX yang tinggi (Rockstuhl et al. 2012).

Kualitas LMX yang rendah merupakan relasi antara atasan dengan karyawan yang hanya didasarkan pada tuntutan formal kontrak kerja semata. Dengan kata lain, hubungan karyawan dengan atasannya hanya sebatas tanggung jawab yang ada dalam job desk dan karyawan dibayar sesuai dengan ketentuan yang ada (Bakker, Breevehart, Demerouti & Heuvel, 2013). Sebaliknya, kualitas LMX yang tinggi bukanlah relasi atasan dan bawahan yang dibangun hanya berlandaskan kontrak kerja semata, melainkan menyangkut aspek-aspek afektif seperti kepercayaan, saling menghormati dan rasa tanggung jawab bersama dalam perusahaan.

Masyln dan Uhl-Bien (2001) menyebutkan bahwa jika kualitas LMX dalam sebuah tim kerja relatif tinggi maka, beberapa manfaat positif akan didapatkan oleh pemimpin maupun karyawannya. Hal positif tersebut berupa kepuasan kerja yang tinggi, efektifitas kerja yang meningkat, komunikasi yang lebih intim dan terbuka, juga meningkatkan perilaku extra role behaviour. Sedangkan kualitas LMX


(52)

yang relatif rendah, diketahui akan memberikan dampak yang negatif bagi bawahan, dalam hal pekerjaan dan karir di perusahaan. Pada kualitas LMX yang rendah, bawahan akan memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi dengan atasan. Sehingga, informasi yang didapatkan otomatis juga akan terbatas. Hal ini akan dapat menyebabkan kepuasan kerja yang rendah, efektifitas pekerjaan yang rendah, rendahnya komitmen terhadap organisasi dan turnover yang tinggi (Maslyn & Uhl-Bien, 2001).

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa leader-member exchange (LMX) merupakan kualitas interaksi dan hubungan yang terjalin antara pemimpin dengan bawahannya dimana pemimpin memiliki kualitas LMX yang berbeda dengan setiap bawahannya. Kualitas tersebut akan berkisar dari kualitas LMX yang tinggi sampai dengan kualitas LMX yang rendah. 2. Dimensi Leader-Member Exchange (LMX)

Kualitas LMX dapat dilihat berdasarkan pada tiga bentuk dimensi yaitu: perilaku terkait tugas-tugas yang ada (kontribusi), loyalitas terhadap satu dengan yang lainnya (loyalitas), dan perasaan saling “menyukai” antara atasan dengan bawahan (afeksi) (Dienesch & Liden, 1986; Graen & Uhl-Bien, 1995). LMX dapat diidentifikasi jika terdapat satu, dua atau ketiga dari bentuk pertukaran tersebut. Dalam perkebangannya, LMX diketahui memiliki multidimensional konsep.


(53)

Namun seiring dengan perkembangannya, beberapa literatur dan penelitian yang ada telah menambahkan satu bentuk dimensi lagi ke dalam konsep LMX, sehingga terdapat empat dimensi yang dapat dijadikan tolak ukur LMX. Keempat dimensi tersebut meliputi Kontribusi (contribution) atau persepsi tentang segala kegiatan yang berorientasi pada pekerjaan atau job desk dalam perusahaan ( work-oriented activities) dan tugas di tingkat tertentu yang dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk mencapai tujuan organisasi baik secara eksplisit maupun implisit, Loyalitas (loyalty) yaitu sejauh mana pemimpin dan anggotanya saling menunjukkan dukungan terhadap sikap maupun karakter pribadi satu dengan yang lain, Afeksi (affect) timbal balik dan perasaan saling memiliki yang disebabkan karena daya tarik interpersonal bukan karena nilai-nilai profesionalisme kerja semata, dan penghormatan professional (professional respect)persepsi mengenai sejauh mana setiap anggota dari sebuah tim kerja telah membangun reputasi pribadi baik di dalam maupun di luar organisasi (Liden & Masylin, 1998; Masylin & Uhl-Bien, 2001).

3. Dampak dari Leader-Member Exchange

Demerouti, Breevaart dan Heuvel (2015) mengungkapkan bahwa kualitas LMX yang tinggi akan berkorelasi dengan outcomes yang positif seperti kepuasan kerja, Organizational Citizenship Behaviour dan komitmen terhadap pekerjaan. Selain itu, LMX yang tinggi juga dapat menimbulkan perilaku-perilaku positif pada


(54)

karyawan seperti performansi tinggi, komitmen organisasi, kepercayaan terhadap organisasi, loyalitas terhadap organisasi, dan rendahnya tingkat turnover (dalam Ozdevecioglu, 2015)

Karyawan yang memiliki kualitas relasi yang baik dengan atasannya akan merasa memiliki tanggung jawab untuk membalas perlakuan tersebut. Biasanya, perasaan bertanggung jawab tersebut akan diungkapkan dengan perilaku-perilaku dan kinerja extra-role (Zhao, 2014). Sebaliknya, karyawan dengan kualitas LMX yang rendah, akan memiliki negative reciprocity beliefs dimana karyawan tersebut percaya bahwa LMX dapat merusak keadilan dalam lingkungan kerja. Hal ini dikarenakan secara teori, pemimpin akan membangun relasi dengan setiap bawahan dan kualitas relasi tersebut dapat berbeda-beda satu dengan lainnya mulai dari relasi yang buruk dan lemah sampai dengan relasi yang kuat dan menimbulkan kepercayaan (Dhivya & Sripirabaa, 2015).

Di sisi lain, Handoyo dan Sandjadja (2012) mengungkapkan bahwa LMX yang tinggi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi. Dukungan dan relasi yang baik dengan atasan berpotensi membuat seorang karyawan merasa malas dan merasa bahwa mengerjakan job desk saja sudah cukup sehingga, terjadi sebuah fenomena yang dinamakan dengan social loafing. Social loafing merupakan keadaan dimana seorang karyawan akan merasa posisi atau kedudukannya aman dalam perusahaan sehingga tidak menunjukkan


(55)

keterlibatannya dan hanya terbatas pada melakukan perilaku in-role nya saja. (Handoyo & Sandjadja, 2012).

Meskipun demikian, karyawan dengan LMX yang berkualitas akan menjadi lebih terlibat (engage) dalam organisasi dan pekerjaan mereka. Hal ini dikarenakan tingginya kualitas LMX dapat menimbulkan motivasi intrinsik individu untuk melakukan tugas dan pekerjaan sebaik mungkin dan berusaha untuk memajukan organisasi (Bakker et al. 2013)

C. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Konsep mengenai employee engagement terbilang baru, tetapi sudah populer dalam bidang pengembangan dan sumber daya manusia (Rana, Alexandre & Oleksandr, 2014). Konsep ini mulai muncul dan diperbincangkan dalam penelitian dan literatur bisnis dan organisasi sejak dua dekade yang lalu. Adalah Khan (1990) yang pertama kali mencetuskan engagement dalam penelitian akademik yang dilakukannya (Guest, 2014).

Kemunculan engagement merupakan tindak lanjut dari penelitian mengenai burnout dan sebagai upaya dalam melihat well-being pada karyawan. Hal ini dikarenakan penelitian yang dilakukan terhadap burnout pada karyawan menjelaskan engagement sebagai perilaku yang berkebalikan atau positive antithesis dengan perilaku


(56)

burnout (Saks, 2006). Tidak seperti halnya burnout, engagement melihat bagaimana karyawan terlibat dalam pekerjaan maupun organisasi mereka dan merasa mampu mengerjakan tugas-tugas mereka dengan baik (Rana et al. 2014).

Khan (1990) menggambarkan istilah yang dapat menjelaskan engagement, yaitu personal engagement dan personal disengagement. Personal engagement didefinisikan sebagai pemanfaatan diri setiap anggota dalam organisasi, terhadap peran mereka berupa keterlibatan secara penuh terhadap organisasi, mengekspresikan dan mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama mereka bekerja dalam organisasi atau perusahaan tersebut. Sedangkan personal disengagement adalah tidak adanya penghubung dari anggota organisasi terhadap organisasi mereka sendiri. Hal ini terlihat dari tidak adanya keterlibatan anggota dalam organisasi, penarikan diri secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerjaa dalam organisasi atau perusahaan tersebut.

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan Khan (1990) tersebut employee engagement merupakan aspek psikologis dari seorang individu mengenai kehadiran dan keterlibatan mereka ketika melakukan pekerjaan dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Rothbard (2001) mendefinisikan employee engagement sebagai kehadiran psikologis yang melibatkan dua komponen penting, yaitu attention dan absorption. Attention merupakan keterlibatan kognitif


(57)

dan jumlah waktu yang dihabiskan anggota karyawan berfikir mengenai pekerjaan dan peran mereka. Sedangkan absorption merupakan perasaan tertarik dan terpikat terhadap peran dan pekerjaannya, dan mengarah kepada intensitas anggota karyawan untuk fokus terhadap pekerjaan tersebut.

Dalam beberapa literatur penelitian, terdapat beberapa istilah lain dalam organisasi yang serupa namun berbeda dengan engagement. Misalnya komitmen organisasi. Komitmen organisasi merupakan sikap dan keterikatan seseorang terhadap organisasi mereka. Hal ini berbeda dengan engagement dikarenakan engagement bukanlah sebuah sikap namun merupakan sebuah aspek psikologis yang tergambarkan berupa tingkat sejauh mana individu menaruh perhatian penuh terhadap performansi dan menghayati peran mereka dalam organisasi (Saks, 2006).

Konstruk lain yang juga serupa dengan engagement yaitu keterlibatan kerja. Keterlibatan kerja merupakan hasil dari cognitive judgement mengenai kebutuhan individu untuk memenuhi kepuasannya terhadap kemampuan dalam bekerja dan hal ini berkaitan erat dengan citra diri seseorang. Engagement memainkan peran sebagai salah satu faktor yang memengaruhi keterlibatan kerja dimana seorang karyawan yang engage juga akan menununjukkan keterlibatan kerja dalam organisasi (Saks, 2006; May, Richard & Linn, 2004).


(58)

Berdasarkan beberapa hal yang telah dikemukakan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa employee engagement merupakan aspek psikologis (kelekatan emosional) mengenai sejauh mana seorang karyawan terlibat secara fisik, kognitif dan emosi terhadap performansi dan menjalankan perannya dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Dengan kata lain employee engagement merupakan tingkat sejauh mana perasaan individu berada dan terlibat dalam organisasi mereka. 2. Jenis-jenis Employee Engagemenet

Dalam perkembangannya setelah penelitian yang dilakukan oleh Khan (1990) mengenai engagement, beberapa penelitian telah membahas engagement secara lebih dalam (Guest, 2014; Saks, 2006; Schaufeli et al. 2002). Sehingga employee engagement dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu work engagement dan organizational engagement (Guest, 2014; Saks, 2006)

a. Work engagement

Merupakan perasaan positif secara penuh terhap sebuah pekerjaan. Keinginan dan kesediaan seorang karyawan untuk melakukan usaha yang lebih terhadap suatu pekerjaan tertentu sehingga karyawan tersebut dapat lupa waktu karena terlalu asik dengan pekerjaannya. (Schaufeli et al. 2002; Guest, 2014; Saks, 2006).


(59)

b. Organizational engagement

Hal ini dapat dibedakan dari work engagement dikarenakan karyawan dengan organizational engagement akan lebih memiliki orientasi terhadap sebuah perusahaan atau organisasi dan tujuan dari organisasi itu sendiri (Guest, 2014). Khan (1990) tidak menjelaskan secara detail mengenai model engagement ini. Meskipun demikian, Saks (2006) membangun konsep organizational engagement tetap berlandaskan pada teori Khan. Organizational engagement menjelaskan dan mengukur sejauh mana seorang karyawan secara psikologis terlibat dan hadir dalam organisasinya.

3. Aspek-aspek Employee Engagement

Engagement merupakan sebuah konsep dengan multi dimensi yang bergerak bersama membentuk sebuah keterlibatan dalam organisasi (Khan, 1990). Engagement juga merupakan perasaan positif, fulfilling dan konsep yang berhubungan dengan pemikiran serta keterlibatan dalam organisasi atau pekerjaan yang ditandai oleh tiga aspek: vigor, dedication dan absorption.

Aspek semangat (vigor) dapat dilihat dari tingginya tingkat energi dan ketahanan mental seorang karyawan saat bekerja. Aspek ini dapat terlihat dari karyawan yang memiliki kemauan untuk berinvestasi dan tekun. Bahkan hal ini juga ditunjukkan sekalipun karyawan tersebut menghadapi kesulitan. Aspek dedikasi (dedication)


(60)

dapat dilihat dari perasaan antusias, merasa terinspirasi, bangga, dan senang menghadapi tantangan, dan aspek penyerapan (absorption) dapat dilihat ketika karyawan sepenuhnya menikmati pekerjaannya, merasa waktu berlalu dengan cepat dan sulit merasa terpisahkan dari pekerjaannya (Schaufeli, Salanova, Roma & Bakker, 2002; Khan, 1990).

4. Faktor yang Memengaruhi Employee Engagement

Employee engagement telah diketahui banyak menghasilkan dampak yang positif bagi perusahaan. Menurut Saks (2006) terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi employee engagement yang telah diidentifikasi dari penelitian yang dilakukan Khan (1990) dan Maslach et al. (2001), diantaranya ialah Job characteristic. Sebuah pekerjaan yang memiliki karakteristik yang jelas, akan lebih memungkinkan seorang karyawan untuk fokus dan membawa diri mereka sendiri kedalam pekerjaan ataupun organisasi, sehingga mereka akan lebih engage (Khan, 1990; Saks, 2006; Rana et al. 2014).

Faktor lain yang dapat memengaruhi engagement ialah Perceived organizational and supervisor support (Saks, 2006; Rana et al. 2014). Pemimpin atau supervisor yang dekat dengan karyawannya, tentu akan memerlakukan mereka secara adil, baik dan bijaksana. Khan (1990) mengatakan bahwa kualitas hubungan interpersonal yang terjalin antar pemimpin dengan karyawan akan menimbulkan psychological safety pada karyawan dimana akan menurunkan tingkat


(61)

turnover dan meningkatkan engagement. Salah satu bentuk dari perceived organizational and supervisor support ialah LMX. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa LMX dapat meningkatkan perilaku engagement pada karyawan di tempat kerja (Dhivya & Sripirabaa, 2015; Bakker et al. 2013; Elia, 2015).

Setiap individu memiliki tingkat engagement yang berbeda beda satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena mereka memiliki persepsi yang berbeda pula mengenai manfaat yang akan mereka terima dari pekerjaan atau organisasi tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa external reward (bonus) dan penghargaan atau pengakuan yang mereka terima dari atasan, rekan kerja atau orgnisasi tempat mereka bekerja (Khan, 1990). Oleh karena itu, rewards and recognition juga dapat menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan engagement pada karyawan (Saks, 2006).

5. Dampak dari Employee Engagement

Beberapa penelitian sepakat bahwa employee engagement menghasilkan dampak yang positif bagi perusahaan atau organisasi (Saks, 2006; Elia, 2015 & Guest, 2014). Jika seorang karyawan engage dalam lingkungan kerjanya dan cenderung memiliki hubungan yang baik dengan atasan maupun organisasinya maka, mereka juga akan cenderung melakukan perilaku dan nilai yang lebih positif terhadap organisasi (Saks, 2006). Selain itu, beberapa hal yang merupakan dampak dari employee engagement adalah :


(62)

a. Performansi kerja

May et al (2004) berpendapat bahwa kondisi dari psychological mindfulness yang merupakan kunci utama dari penyebab employee engagement tidak hanya menyebabkan attitudinal outcomes karyawan yang positif (kepuasan kerja, motivasi, dll) saja melainkan juga dapat menghasilkan behavioural outcomes seperti performansi kerja. Individu yang engage adalah mereka yang puas, berkomitmen dan produktif dalam bekerja. Jika seorang karyawan engage dengan sebuah organisasi maka, karyawan tersebut juga akan mencurahkan seluruh energi dan performanya untuk organisasi tersebut (Saks, 2006; Fleck & Inceoglu dalam Rana et al. 2014).

b. Mengurangi intensitas turnover

Turnover merupakan pertimbangan subjektif dari seorang individu mengenai kemungkinan mereka untuk berhenti bekerja atau keluar dari sebuah organisasi. Intensitas turnover merupakan jumlah dari karyawan yang pergi meninggalkan pekerjaan ataupun tidak lagi bekerja pada organisasinya (Carmeli & Weisberg, 2006 dalam Rana et al. 2014; Yuan, Yue, Jian, & Lutao, 2014). Employee engagement yang tinggi akan berkorelasi negatif dengan intensitas turnover pada sebuah organisasi (Shucks, Rocco & Albornoz, 2010; Shankar & Bhatnagar, 2010).


(63)

c. Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

OCB merupakan perilaku kooperatif karyawan yang menguntungkan dan membawa dampak positif bagi organisasi atau biasa disebut dengan perilaku extra role dan tidak terdaftar dalam reward formal (Van Dyne, Cummings & McLean Parks, 1995; Organ, 1997; Van Dyne et al. 2000). Perilaku OCB biasanya cenderung dilakukan oleh karyawan yang engage dengan pekerjaan ataupun organisasinya. Hal ini dikarenakan karyawan yang engage akan menunjukkan keterlibatan mereka dengan melakukan perilaku yang menguntungkan (Soane, Catherine, Kerstin, Amanda, Chris, & Mark, 2012). Voice behaviour juga dapat dikonseptualkan sebagai perilaku OCB karena sama-sama merupakan perilaku extra role di tempat kerja (Van Dyne & LePine, 1998; Van Dyne et al. 2008).

D. Dinamika Hubungan Leader-Member Exchange (LMX), Employee

Engagemet dan Voice Behaviour

Morisson (2014) menjelaskan salah satu faktor yang menjadi penyebab dan dapat memengaruhi voice behaviour karyawan. adalah perilaku pemimpin dan supervisor. Leader-Member exchange merupakan bentuk dari interaksi antara perilaku pemimpin dan supervisor (Morisson, 2014). Pemimpin dianggap penting dalam pengaruhnya terhadap voice behaviour dikarenakan beberapa alasan. Pertama, biasanya pemimpin


(64)

merupakan target dari voice behaviour. Pemimpin memiliki wewenang untuk mengambil tindakan dalam menanggapi voice dari karyawan yang diterimanya. Kedua, pemimpin dapat mengatur reward dan punishment yang akan diberikan terhadap bawahannya, pemimpin memiliki kekuasaan untuk membayar gaji, memberikan promosi jabatan dan memberikan pekerjaan sehingga, seringkali karyawan merasa segan dan takut ketika ingin speak up dalam organisasinya (Zhao, 2014; Detert & Burris, 2007).

Kualitas hubungan dan komunikasi antara atasan dan bawahan dapat meningkatkan voice behaviour dikarenakan karyawan dengan kualitas LMX yang tinggi akan memiliki akses untuk berkomunikasi dengan atasan mereka dan memiliki kesempatan lebih banyak untuk speak-up. Selain itu, kualitas LMX yang tinggi akan membuat bawahan memiliki kepercayaan yang lebih besar terhadap atasan mereka dan menimbulkan keuntungan berupa work support dan supervisor responsiveness (Botero & Van Dyne, 2009). Kualitas LMX yang tinggi juga membuat karyawan merasa memiliki tanggung jawab untuk membalas perlakuan baik dari atasan dengan melakukan perilaku extra role (Burris et al. 2008). Voice merupakan salah satu perilaku yang digolongkan dalam extra role behaviour (Van Dyne & LePine, 1998).

Sampai saat ini, beberapa penelitian mencoba melihat bagaimana hubungan antara Ledaer-Member Exchange dengan voice behaviour di tempat kerja (Botero & Van Dyne, 2009; Zhao, 2014; Duanxu Wang, Chenjing Gan, Chaoyan Wu, 2016) akan tetapi mekanisme hubungan


(65)

tersebut belum jelas apakah secara langsung berhubungan ataukah dapat dimediatori atau dimediasi oleh variabel lainnya (Wang et al. 2016).

Karyawan dengan kualitas LMX yang tinggi dapat memicu motivasi intrinsik individu untuk melakukan tugas dan pekerjaan mereka sebaik mungkin dan berusaha untuk memajukan organisasi (Bakker et al. 2013). Employee engagement merupakan salah satu bentuk dari motivasi intrinsik individu tersebut (Guest, 2014). Dengan demikian, karyawan dengan kualitas LMX yang tinggi akan lebih terlibat (engage) dalam organisasi atau perusahaan mereka. Selain itu, engagement akan muncul secara alami ketika seorang pemimpin mampu menginspirasi bawahannya (Anitha, 2013). Pemimpin juga dinilai butuh untuk mengkomunikasikan bahwa peran dan usaha dari karyawan akan sangat berpengaruh bagi kesuksesan organanisasi. Jika pekerjaan dari karyawan dihargai dan dianggap penting oleh atasan mereka, maka akan membuat karyawan semakin engage.

Hal ini juga dibuktikan dari beberapa penelitian yang menemukan bahwa LMX memiliki hubungan yang positif dengan employee engagement. Misalnya, Dhivya dan Sripirabaa (2015) yang melakukan penelitian terhadap karyawan di perusahaan dengan posisi atau jabatan yang berbeda-beda dan hasil yang ditemukan pada penelitian Bakker et al (2013) dan Elia (2015). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas LMX, maka karyawan akan semakin engage terhadap pekerjaan dan organisasinya.


(1)

3.3 Uji Normalitas Residu

Engagement

voice

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 140

Normal Parametersa Mean .0000000

Std. Deviation 2.43945832

Most Extreme Differences Absolute .112

Positive .101

Negative -.112

Kolmogorov-Smirnov Z 1.327

Asymp. Sig. (2-tailed) .059

a. Test distribution is Normal.

3.4 Uji Normalitas Residu LMX

Engagement

Voice

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 140

Normal Parametersa Mean .0000000

Std. Deviation 2.37286043

Most Extreme Differences Absolute .106

Positive .076

Negative -.106

Kolmogorov-Smirnov Z 1.259

Asymp. Sig. (2-tailed) .084


(2)

Lampiran 4 : Hasil Uji Heteroskedastisitas

4.1 Uji Heteroskedastisitas LMX -

Voice

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 1.151 1.251 .920 .359

LMX .015 .022 .059 .689 .492

a. Dependent Variable: LMX_V

4.2 Uji Heteroskedastisitas LMX

Engagement

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 1.867 1.149 1.624 .107

LMX -.007 .021 -.029 -.338 .736

a. Dependent Variable: LMX_E

4.3 Uji Heteroskedastisitas

Engagement

Voice

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 1.448 1.067 1.358 .177

Engagement .022 .042 .044 .521 .603


(3)

Lampiran 5 : Hasil Uji Linearitas

5.1 Hasil Uji Linearitas LMX

Voice

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Voice * LMX

Between Groups

(Combined) 565.368 22 25.699 4.437 .000

Linearity 353.406 1 353.406 61.020 .000

Deviation from Linearity 211.961 21 10.093 1.743 .033

Within Groups 677.625 117 5.792

Total 1242.993 139

5.2 Hasil Uji Linearitas LMX

Engagement

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Engage ment * LMX

Between Groups

(Combined) 650.803 22 29.582 7.943 .000

Linearity

506.507 1 506.507 136.00 2 .000

Deviation from Linearity 144.296 21 6.871 1.845 .021

Within Groups 435.740 117 3.724


(4)

5.3 Hasil Uji Linearitas

Engagement

Voice

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Voice * Engage ment

Between Groups

(Combined) 539.208 13 41.478 7.426 .000

Linearity 415.810 1 415.810 74.443 .000

Deviation from Linearity 123.399 12 10.283 1.841 .048

Within Groups 703.784 126 5.586


(5)

Lampiran 6 : Hasil Uji Hipotesis

6.1 Uji Hipotesis minor 1 Regresi antara LMX dengan Voice

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 9.219 2.074 4.445 .000

LMX .275 .037 .533 7.404 .000

a. Tergantungt Variable: Voice

6.2 Uji Hipotesis minor 2 Regresi antara LMX dengan Engagement

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 6.872 1.675 4.103 .000

LMX .330 .030 .683 10.978 .000

a. Tergantungt Variable: Engagement

6.3 Uji Hipotesis minor 3 Regresi Antara Engagement Dengan Voice

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 8.930 1.880 4.750 .000

Engagement .619 .074 .578 8.329 .000


(6)

6.4 Uji Hipotesis mayor Multiple Regression LMX, Engagement dan Voice

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 6.268 2.068 3.031 .003

LMX .134 .048 .259 2.793 .006

Engagement .429 .099 .401 4.327 .000