Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

(1)

i

Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Magister

Program Studi Magister Administrasi Publik

Oleh:

Larmanto

NIM. S. 2405017

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

ii

Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Oleh:

Larmanto

NIM. S. 2405017

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing :

Jabatan

Nama

Tanda Tangan

Tanggal

Pembimbing I

Dr. P. Israwan Setyoko, M.S.

Pembimbing II

Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si.

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik

Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.

NIP. 131 884 423


(3)

iii

Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Oleh:

Larmanto

NIM. S. 2405017

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan

Nama

Tanda Tangan

Tanggal

Ketua

Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.

Sekretaris

Dra, Kristina Setyowati, M.Si.

Anggota Penguji

Dr. P. Israwan Setyoko, M.S.

Anggota Penguji

Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si.

Mengetahui

Ketua Program

Studi MAP

Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.

NIP. 131 884 423

Direktur

Program

PascaSarjana

Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D.

NIP 131 472 192


(4)

iv

PERNYATAAN

Nama

: Larmanto

NIM.

: S. 2405017

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul

Implementasi Kebijakan

Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten

Karanganyar

adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya,

dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia,

menerima sangksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari

tesis tersebut.

Surakarta, Februari 2008

Yang membuat pernyataan


(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas limpahan

Kasih dan KaruniaNya penulis diberi kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan

tesis dengan judul Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi sebagian persyaratan

mencapai derajat Magister pada Program Studi Magister Administrasi Publik dengan

konsentrasi Kebijakan Publik. Tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan dan

dukungan banyak pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa

hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D. Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta staf yang telah memberikan segala

fasilitas dan kesempatan untuk penyelesaian tesis ini..

2. Bapak. Dr. P. Israwan Setyoko, MS. selaku Pembimbing I yang dengan sabar

dan bijaksana senantiasa memberikan pengarahan dan bimbingan yang terbaik

untuk penulisan tesis ini.

4. Bapak Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si, selaku Pembimbing II yang senantiasa

dengan penuh kesabaran memberikan petunjuk dan koreksi dalam penulisan tesis

ini.yang telah membantu dan memotivasi dalam penyelasaian tesis ini.

5. Segenap staf pengajar Magister Administrasi Publik atas pengetahuan dan

ketrampilan yang telah diberikan.


(6)

vi

6.

Drs. Sugiharto, Selaku Camat Jaten Kabupaten Karanganyar, dan para staf yang

telah dengan sabar memberikan informasi dan data untuk tesis ini.

7. Orang Tua, Istri, dan Anakku yang tak henti-hentinya membangkitkan semangat

hidup untuk lebih maju.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan. Karenanya segala sesuatu yang menjadi kekurangan dari tesis ini

dapat dijadikan renungan bagi semua pihak untuk mengadakan penelitian yang lebih

tajam dan mendalam berkaitan dengan permasalahan tesis ini.

Akhirnya Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat membangkitkan

kepedulian terhadap upaya peningkatan pembangunan bangsa. Kiranya Tuhan

Memberkati kita semua, Amin.

Surakarta, Februari 2008

Larmanto

S. 2405017


(7)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul………..……

i.

Halaman Pengesahan Pembimbing ……….

ii.

Halaman Pengesahan Tesis ……….

iii.

Pernyataan………...

iv.

Persembahan………

v.

Kata Pengantar………

vi.

Daftar Isi……….

vii.

Daftar Tabel………

viii.

Daftar Gambar………

ix.

Abstract………..………

x.

BAB I

PENDAHULUAN

1

A. Latar Belakang Masalah………..………..

1

B. Perumusan Masalah………...

6

C. Tujuan Penelitian………...

7

D. Manfaat Penelitian………

7

BAB II

KAJIAN TEORI . . . . ………..

8

A. Konsep Implementasi Kebijakan...………..

8

B Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik ..………..

19

C. Pemungutan dan Pembayaran PBB . . ..……….

25

D. Kerangka Berpikir ...……….

32

BAB III

METODE PENELITIAN

35

A Lokasi ……….……….

35

B. Jenis Penelitian………

35

C. Fokus dan aspek Kajian . ………

37

D. Data dan Sumber Data. ..……….

37

E. Teknik Teknik Penentuan Informan …………...

38

F. Teknik Pengumpulan data …………..………

38

G. Uji Validitas Data ……….

38


(8)

viii

Halaman

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

41

A. Hasil Penelitian. ...………

41

B. Implementasi Pemungutan PBB di Kabupaten

Karanganyar ………

44

I. Isi Kebijakan ………

46

2. Sumber Daya manusia. ………

55

3. Kepatuhan Pelaksana. . . .………

59

4. Komunikasi………

67

5. Faktor Faktor –Faktor Yang Berpengaruh Terhadap

Implementasi Pemungutan PBB ………

75

BAB V

PENUTUP

86

A. Kesimpulan………

86

B. Implikasi………

89

C. Saran………

90

DAFTAR PUSTAKA


(9)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel

1

Penerimaan PBB dari Tahun 2000 sampai dengan 2005

di Kabupaten Karanganyar

2

Tabel

2

Data Realisasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten

3

Tabel

3

Data Kontribusi Penerimaan PBB Kecamatan Jaten

dibandingkan Penerimaan PBB Tingkat kabupaten

Karanganyar

4

Tabe

4

Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Jaten Kabupaten

Karanganyar

42

Tabel

5

Tingkat Pendidikan Kepala Dusun Di Kecamartan Jaten


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1

Model Implementasi Kebijakan Grindle

13

Gambar 2

Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier

dan Mazmanian

15

Gambar 3

Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter

& Van Horn

18

Gambar 1

Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan

28

Gambar 2

Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi

Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten

Karanganyar

29

Gambar 3

Fokus dan aspek kajian penelitian

34


(11)

xi

ABSTRAK

Larmanto S. 2405017, 2007. Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Tesis

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses implementasi pemungutan

PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dan untuk mengetahui faktor

penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.

Teori yang dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah model

implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975) dan model Grindle (1980).

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan dukungan data kualitatif

dan kuantitatif. Pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi.

Validitas data dilakukan dengan triangulasi data. Teknik analisis data yang digunakan

adalah teknik analisis data interaktif.

Hasil analisis dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :

(1) Dalam kebijakan Pemungutan PBB terdapat pemisahan kewenangan yang

bersifat administratif dan operasional antara Departemen Keuangan dengan

Pemerintah Kabupaten Karanganyar (2) Sumber daya manusia terdiri dari para

kepala dusun sebagai petugas pemungut yang sangat mengetahui situasi wilayahnya.

(3) kepatuhan pelaksana dalam menyalurkan SPPT PBB tidak dapat dilakukan tepat

sesuai dengan alokasi waktu (4) Kepatuhan dalam pengadministrasian PBB belum

berjalan dengan baik, (5) Sistem penghargaan (

rewards)

dan hukuman (punisment)

telah dilakukan (6) Peraturan PBB kurang memberi sanksi yang jelas dan tegas.

faktor yang dapat menghambat keberhasilan implementasi pemungutan

PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar antara lain keterlambatan dan

kesalahan dalam SPPT yang dikeluarkan KP PBB, belum ada

shock therapy

terhadap wajib pajak yang tidak membayar PBB, Kepatuhan aparat pelaksana masih

kurang, lemahnya pengadministrasian dalam mutasi SPPT PBB. Banyak Pemilik

tanah di Kecamatan Jaten yang berdomisili di luar wilayah Kecamatan

Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan Pemungutan PBB di

Kecamatan Jaten adalah sebagai berikut : Komitmen pimpinan wilayah, Sistem

rewards

berupa hadiah undian,

Saran dalam penelitian ini adalah (1) Perlu ada

shock therapy

berupa sanksi

yang tegas terhadap wajib pajak yang menunggak PBB (2) Perlu adanya

penyempurnaan sistem administrasi pertanahan yang mengatur kewajiban dan

kewenangan Pejabat Pembuat Akte Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan

KP PBB agar setiap mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah diikuti dengan

mutasi SPPT PBB (3) Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektoral antara

Dipenda, Kantor KP PBB, Kecamatan dan Desa (4) mekanisme upah pungut perlu

ditata ulang.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman yang semakin maju, dibutuhkan pemerintahan yang responsif dan mandiri. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih kreatif mencari terobosan untuk meningkatkan pendapatan daerahnya. Sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari komponen Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS), Dana Alokasi dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Pinjaman daerah dan penerimaan lain yang sah. Pendapatan daerah dari sektor pajak termasuk dalam komponen pendapatan asli daerah yang nilainya signifikan dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Pada sektor pajak, sumbangan terbesar untuk PADS Kabupaten Karanganyar diberikan oleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu sebesar 23,3 % pada tahun 2005.

Penerimaan daerah dari sektor PBB telah diatur dalam undang-undang nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, sebagimana telah disempurnakan dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan., dimana pembagiannya ditetapkan untuk pemerintah pusat 10 %, Pemerintah Provinsi 16,2 %, Pemerintah Kabupaten 64,8 % dan Upah Pungut 9 %. Bagi pemerintah daerah pemasukan dari pembagian pemasukan PBB ini cukup penting dalam menopang jalannya


(13)

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, oleh karena itu dibutuhkan adanya menajemen yang baik untuk mengendalikan penagihan PBB ini.

Kenyataan yang terjadi di Kabupaten Karanganyar, pendapatan dari sektor PBB belum dapat mencapai target seperti yang diharapkan. Data penerimaan PBB dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang fluktuatif. Kecenderungan fluktuasi Penerimaan PBB ini dapat dilihat dalam tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1

Penerimaan PBB dari Tahun 2000 sampai dengan 2005 di Kabupaten Karanganyar

Sumber : Kantor Dipenda Kabupaten Karanganyar, 2006.

Data diatas menunjukkan rata-rata setiap tahun terjadi peningkatan realisasi penerimaan yang cukup besar. Meskipun pada tahun sebelumnya masih ada tunggakan tetap saja terjadi kenaikan realisasi PBB. Besarnya tunggakan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan trend yang konstan melainkan bersifat fluktuatif.

No Tahun Target ( Rp)

Realisasi ( Rp)

Persentase ( %) 1. 2000 2.500.000.000,00 3.096.663.334,00 123,87 2 2001 5.175.278.000,00 4.397.408.000,00 84,97 3 2002 6.156.457.000,00 5.377.052.075,00 87.34 4 2003 6.323.031.000,00 6.060.879.291,00 95,85 5 2004 7.601.407.000,00 8.298.622.990,00 109,17 6 2005 10.645.923.221,00 10.004.563.346,00 98,21


(14)

Perolehan pemungutan PBB di tingkat kecamatan sejak tahun 2000 juga selalu menyisakan adanya tunggakan PBB sebagaimana yang terjadi di Kecamatan Jaten seperti data berikut :

Tabel 2

Data Realisasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Tahun Target

(Rp)

Realisasi (Rp)

Persentase (%) 2000 854.847.525,00 716.060.558,00 83,76 2001 1.384.583.500,00 1.327.980.832,00 95,91 2002 1.713.769.040,00 1.396.148.053,00 81,47 2003 2.100.950.110,00 1.680.916.882,00 80,01 2004 2.706.644.926,00 2.435.084.236,00 89,97 2005 2.864.118.090,00 2.443.639.849,00 85,32 Sumber : Kantor Kecamatan Jaten.

Data diatas menunjukkan dari tahun ke tahun selalu ada tunggakan PBB yang berkisar antara 5 sampai 15 persen per tahun. Besarnya tunggakan PBB di Kecamatan Jaten Membutuhkan perhatian serius karena Kecamatan Jaten merupakan kecamatan yang memberikan kontribusi terbesar dari penerimaan sektor PBB dibandingkan 16 Kecamatan lainnya di wilayah Kabupaten Karanganyar.

Kontribusi penerimaan PBB Kecamatan Jaten terhadap total penerimaan PBB tingkat Kabupaten Karanganyar cukup signifikan sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 3 berikut ini :


(15)

Tabel 3

Data Kontribusi Penerimaan PBB Kecamatan Jaten dibandingkan Penerimaan PBB Tingkat kabupaten Karanganyar

Tahun Realisasi Kecamatan Jaten (Rp) Realisasi Kabupaten Karanganyar (Rp) Persentase Kontribusi dari Kecamatan jaten (%) 2000 716.060.558,00 3.096.663.334,00

23,12 2001 1.327.980.832,00 4.397.408.000,00

30,20 2002 1.396.148.053,00 5.377.052.075,00

25,96 2003 1.680.916.882,00 6.060.879.291,00

27,73 2004 2.435.084.236,00 8.298.622.990,00

29,34 2005 2.443.639.849,00 10.004.563.346,00

24,43 Sumber : Kantor Kecamatan Jaten.

Data tersebut menunjukkan bahwa kontribusi Penerimaan PBB dari Kecamatan Jaten menyumbangkan 23 sampai dengan 30 persen total penerimaan PBB di Kabupaten Karanganyar.

Adanya tunggakan yang selalu terjadi setiap tahun merupakan permasalahan rutin yang tidak mudah untuk diselesaikan. Untuk menjawab permasalahan ini dibutuhkan strategi yang tepat untuk memberikan arah bagi pelaksanaan kebijakan yang komprehensif dan menyentuh akar permasalannya. Penyusunan strategi yang tepat membutuhkan informasi yang cukup dan akurat mengenai hambatan-hambatan dalam proses implementasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar.


(16)

Permasalahan yang menyebabkan tidak optimalnya pemungutan PBB dapat dilihat dari berbagai segi diantaranya dari segi kebijaksanaan publik yang meliputi Formulasi maupun implementasi kebijakannya. Dari segi otoritas pelaksana kebijakan pemungutan PBB, Kewenangan Pemungutan PBB telah dilimpahkan oleh pemerintah Pusat kepada Bupati / Walikota melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 1007/KMK/04/1995. Pelimpahan tersebut meliputi pelimpahan mekanisme penagihannya sedangkan urusan prinsipal mengenai pendataan subyek dan obyak pajak, penetapan besarnya nilai PBB sampai pada pemaksaan dan sanksi masih berada pada Departemen Keuangan dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.

Dengan adanya pemisahan kewenangan antara Pemerintah Kabupaten dan Kantor Pelayanan pajak, seringkali terjadi permasalahan dan kendala dalam implementasi pemungutan PBB antara lain : 1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) seringkali terlambat disampaikan kepada masyarakat maupun tempat pembayaran, 2. Setiap ada kesalahan administratif mengenai data yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) harus diselesaikan melalui KP PBB. 3. Penentuan besaran pajak oleh KP PBB seringkali tidak akurat sehingga masyarakat yang merasa tidak diperlakukan secara adil atau merasa keberatan tidak mau melunasi PBB, sedangkan untuk mengajukan keberatan harus dilakukan di KP PBB. 4. KP PBB Surakarta memiliki cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas meliputi Kabupaten Sragen, Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar dengan jumlah Wajib


(17)

pajak yang dilayani mencapai 2 juta Wajib pajak, sehinga pelayanan tidak dapat diberikan secara cepat dan optimal karena keterbatasan kemampuan sumber daya yang dimiliki dibandingkan dengan cakupan pelayanan yang seharusnya diberikan.

Lemahnya koordinasi dalam administrasi pertanahan ditengarai juga menyebabkan kendala dalam pemungutan PBB. Contohnya koordinasi antara Badan Pertanahan Nasional dan KP PBB dalam hal pengadministrasian mutasi tanah. Hal ini ditandai dengan banyaknya mutasi kepemilikan tanah yang tidak diikuti oleh mutasi administrasi PBB, sehingga pada saat penagihan nama yang tercantum dalam SPPT tidak mau membayar dengan alasan sudah tidak menguasai tanah yang tercantum dalam SPPT PBB nya ditagihkan kepadanya. Akibatnya petugas pemungut yang notabene merupakan aparat pemerintah desa setempat pun menemui kesulitan untuk melakukan penagihan. Tidak adanya penegakan hukum berupa sanksi yang tegas kepada para penunggak PBB adalah faktor lain penyebab tidak optimalnya pemungutan PBB.

Berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas menyebabkan pemungutan PBB Tidak dapat optimal dengan hasil lunas 100 %, tetapi selalu menyisakan tunggakan dari tahun ketahun.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar?”


(18)

C. Tujuan Penelitian.

1. Untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan

bagi Pemerintah Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dalam rangka meningkatkan penerimaan dari sektor PBB.

2. Secara umum hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan pendapatan negara dari sektor PBB.

3. Sebagai masukan bagi kalangan akademis yang tertarik untuk mlelaksanakan penelitian sejenis.


(19)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konsep Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan bagian dari studi kebijakan (publik), disamping studi formulasi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan. Terdapat beberapa pengertian mengenai apa yang disebut dengan kebijakan publik itu. Menurut Anderson (1975 : 5) menyatakan kebijakan publik sebagai berikut :

public policy are those policies developed by govermental bodies and officials (kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah), dan maknanya adalah :

a. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau suatu tindakan berorientasi pada tujuan;

b. Kebijakan tersebut berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah;

c. Kebijakan tersebut merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan atau menyatakan sesuatu;

d. Kebijakan publik didasari oleh suatu peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar yaitu tujuan yang luas, sasaran dan yang terakhir adalah cara mencapai sasaran tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan secara rinci, dan oleh karena itulah birokrasi harus menerjemahkan sebagai program-program aksi dan proyek. Didalam “cara” tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yakni siapa pelaksana atau implementornya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dengan demikian


(20)

komponen ketiga dari suatu kebijakan yaitu cara, merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponennya yang pertama, yakni tujuan dan sasaran khusus. Cara ini biasa disebut implementasi (Samodra Wibowo,1994: 15).

Studi implementasi mengkaji seluk beluk proses implementasi kebijakan yakni “the execution and steering of policy actions over time” (Dunn, 1994 : 85). Studi Implementasi menurut Dunn sebagaimana dikutip Samodra Wibowo adalah membantu mengkaji tingkat kepatuhan, menemukan konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang tak diharapkan, mengidentifikasi hambatan dan kendala implementasi, dan menentukan siapa saja yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kebijakan (Samodra Wibowo 1994 : 3 )

Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan implementasi kebijakan sebagai “those actions by public and private individual (or groups) that are directed at the achivement of objectives set forth in prior policy decisions”.

Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle, 1980:3).

Di sini Grindle telah memperkirakan adanya berbagai hambatan yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan, sehingga setelah suatu kebijakan di terjemahkan kedalam program aksi, belum tentu implementasi akan berjalan dengan lancar dan ini tergantung dari kemampuan mengimplementasikan program tersebut (implementability).


(21)

1. Model Grindle

Implementasi suatu kebijakan, menurut grindle (1980:8-12) sangat ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of policy). Studi ini melihat adanya tiga dimensi analisis dalam suatu organisasi, yakni tujuan, pelaksanaan tugas dan kaitan organisasi dengan lingkungan.

a). Isi Kebijakan mencakup :

1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan

Dalam memformulasikan suatu kebijakan hendaknya diminimalisir terjadinya banyak kepentingan yang berbeda yang dipengaruhinya, karena semakin kompleks kepentingan yang dipengaruhi maka proses implementasinya akan semakin sulit.

2) Jenis manfaat yang dihasilkan

Manfaat suatu kebijakan yang dapat dinikmati secara realistis oleh kelompok sasaran berpengaruh terhadap dukungan atas perubahan tersebut. Kebijakan yang manfaatnya dapat dinikmati secara nyata akan memperoleh dukungan yang kuat dalam proses implementasinya dibanding kebijakan yang kurang dirasakan manfaatnya bagi publik. 3) Derajad perubahan yang diinginkan

Apabila suatu kebijakan mempunyai tujuan yang menyangkut perubahan nilai-nilai atau norma-norma, diamana antara kebijakan yang telah dibuat dan nilai yang sudah dianut oleh kelompok sasaran bertentangan sekali, biasanya kebijakan tersebut akan sulit dimplementasikan.


(22)

4) Kedudukan pembuat kebijakan

Posisi dari pejabat selaku pembuat kebijakan sangatlah menentukan sekali bagi keberhasilan implementasi, maka dalam menformulasikan kebijakan harus diperhatikan implementornya. Suatu kebijakan yang diformulasikan oleh bidang diluar lingkup tugas implementor akan memiliki peluang gagal yang lebih besar.

5) Siapa pelaksana program

Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang memadai. Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya lain yang meliputi sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan memudahkan dalam pencapaian tujuan kebijakan.

6) Sumber daya yang dikerahkan.

Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang memang diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif diimplementasikan daripada melibatkan kelompok lain yang kurang berkepentingan atas kebijakan tersebut.

b). Konteks kebijakan meliputi :

1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

Nilai-nilai yang dimiliki para aktor yang terlibat dalam implementasi suatu kebijakan kadangkala bertentangan dengan tujuan kebijakan, manakala nilai-nilai tersebut sesuai dengan apa yang menjadi kepentingannyadan mendukung jabatan yang dimbannya maka kebijakan akan semakin mudah


(23)

dimplementasikan. Demikian pula strategi yang dibuat seharusnya dibangun dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang memadai. 2) Karakteristik lembaga dan penguasa

Untuk mempermudah implementasi, dibutuhkan kesesuaian nilai-nilai budaya lembaga dan penguasa dengan apa yang seharusnya atau diharapkan oleh kebijakan tersebut. Ketika lembaga dan penguasa yang berperan dalam implementasi memiliki nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan apa yang seharusnya diharapkan dari program kebijakan tersebut, maka hal ini akan menghambat proses implementasi. 3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana

Kebijakan yang sudah diformulasikan dari tingkat pusat, agar lebih mudah dalam implementasinya dijabarkan dalam kebijakan-kebijakan tingkat dibawahnya sehingga ada kejelasan bagi pelaksana kebijakan tersebut.

Model implementasi Kebijakan menurut Grindle dapat digambarkan sebagai berikut:


(24)

Gambar 1 : Model Implementasi Kebijakan Grindle

Tujuan Kebijakan

Melaksanakan kebijakan dipengaruhi oleh : a)Isi Kebijakan

(1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan (2) Jenis manfaat yang dihasilkan

(3) Derajad perubahan yang diinginkan (4) Kedudukan pembuat kebijakan (5) Siapa pelaksana program (6) Sumber daya yang dikerahkan. b). Konteks kebijakan meliputi :

(1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

(2) Karakteristik lembaga dan penguasa (3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana

Hasil kebijakan: o Dampak pada

masyarakat, individu dan kelompok, o Perubahan dan

penerimaan oleh masyarakat Tujuan yang

Ingin dicapai

Program aksi dan Proyek individu didesain dan dibiayai

Program yang dijalankan sesuai rencana?

Mengukur keberhasilan Sumber : (Grindle, Merilee S,1980)


(25)

b. Model Implementasi Sabatier dan Mazmanian

Sabatier dan Mazmanian (dalam Wibawa, 1994) melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (a) karakteristik masalah, (b) struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, dan (c) faktor-faktor di luar peraturan kebijakan.

Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu kegiatan implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh karenanya model ini sering disebut sebagai model top-down. Dengan pendekatan semacam ini sudah seharusnya tujuan dan sasaran yang akan dituju hendaknya dituangkan dalam program maupun proyek yang jelas, dan mudah dipahami sehingga para birokrat akan mudah untuk memahaminya kemana arah tujuan atau sasaran yang hendak dituju. Sebagai contoh, Program Pemberdayaan Jurusan dimaksudkan untuk memberikan kemandirian kepada jurusan, maka pengaturan hak-hak dan kewajiban harus diatur dengan secara jelas dan terperinci tidak hanya bersifat teoritis belaka, dengan cara seperti ini para birokrasi pelaksana akan semakin mudah untuk menjalankannya.

Model Implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian dapat digambarkan sebagai berikut :


(26)

Gambar 2 : Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian

Sumber : Samodra Wibawa, 1994

Karakteristik Masalah

1. Ketersedian tehnologi & teori teknis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Sifat populasi

4. Derajad perubahan perilaku yg diharapkan

Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasan/konsistensi

tujuan Sasaran 2. Teori kausal yg

memadai

3. Sumber keuangan yang Memadai

4. Integrasi organisasi pelaksana

5. Diskresi pelaksana 6. Rekrutmen pejabat

pelaksana 7. Akses formal pelaks

Variabel Non Peraturan 1. Kondisi sosio ekonomi

dan teknologi

2. Perhatian pers thd masalah 3. Dukungan public

4. Sikap & sumber daya 5. Kelompok sasaran utama 6. Dukungan Komitemen dan

kemam puan pejabat pelaksana kewenangan Kesesuaian keluaran dengan sasaran Dampak actual keluaran kebijakan Dampak yang diperkira kan Keluaran Kebijakan dari pelaksana organisasi Perbaikan peraturan


(27)

c. Model Van Horn dan Van Meter

Model yang dikembangkan oleh Van Horn dan Van Meter ini disebut sebagai “A Model Of Policy Implementation Process” (model proses implementasi kebijakan). Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan perbedaan dalam proses implementasi dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Van Horn dan Van Meter menegaskan bahwa perubahan, kontrol, dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Atas dasar konsep tersebut, maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apa yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi?

Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa (1994 : 19-22), suatu kebijakan harus dapat secara eksplist menegaskan ada lima faktor yang mempengaruhi implementasi suatu program yaitu :

1) Standar Dan Sasaran Kebijakan

Suatu kebijakan harus memiliki standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Standar dan sasaran menjelaskan rincian tujuan kebijakan secara menyeluruh. Penentuan standar dan sasaran berguna untuk menilai tingkat keberhasilan atas pelaksanaan suatu program . Kinerja kebijakan merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran. Maka standar dan sasaran harus dirumuskan secara spesifik dan kongkret.

2) Sumber Daya

Supaya dapat diimplementasikan dengan baik kebijakan menuntut tersedianya Sumber daya baik berupa dana, teknologi maupun sarana dan


(28)

prasarana. Kinerja kebijakan akan rendah jika dana yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan ini tidak tersedia secara memadai.

3) Komunikasi Antar Organisasi ,

Keberhasilan Implementasi juga ditentukan oleh adanya komunikasi antar organisasi , yaitu semua pelaksana harus memahami standar, sasaran dan tujuan kebijakan yang akan mereka implementasikan. Komunikasai ini penting untuk dilakukan agar implementasi program dijamin kepatuhannya terhadap standar yang telah ditentukan.

4) Karakteristik Birokrasi Pelaksana

Struktur birokrasi pelaksana yang meliputi karakteristik, norma, pola hubungan, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Ripley 1973:10). Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa (1994:21) organisasi pelaksana memiliki enam variabel yaitu (1) kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang kendali, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajad keterbukaan, dan (6) keterkaitan dengan pembuatan kebijakan.

5) Kondisi Ekonomi Sosial dan Politik

Kondisi sosial ekonomi dan politik berpengaruh terhadap efektifitas implementasi kebijakan. Hal ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik yang berkaitan dengan publik. Semua variabel diatas dapat membentuk sikap pelaksana terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, untuk akhirnya menentukan seberapa tinggi tingkat kinerja kebijakannya.

Model Implementasi kebijakan menurut Van Meter & Van Horn dapat digambarkan sebagai berikut :


(29)

Gambar 3 : Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter & Van Horn

Komunikasi antar Organisasi dan Pengukuhan aktivitas

Standar dan Sasaran kebijakan

Karakteristik

Organisasi Sikap Kinerja Komunikasi Pelaksana Kebijakan Antar orgs.

Sumber daya

Kondisi Sosial Ekonomi dan politik

Sumber : (Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975)

Model implementasi inilah yang nantinya akan dijadikan landasan dalam membangun kerangka teori guna menjawab pertanyaan penelitian. Dari model-model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Grindle, Van Meter dan Van Horn, maupun Sabatier dan Mazmanian diambil beberapa aspek kajian yang menurut pengamatan peneliti berdasarkan gejala umum, fakta dan data yang ada menunjukkan pengaruh terhadap proses implementasi kebijakan pemungutan PBB.

Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi yang berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang berpengaruh


(30)

terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara lain : (1) Isi Kebijakan diadopsi dari model Grindle, (2) Sumber daya manusia. Diadopsi dari model Van Horn Van Meter (3) Komunikasi Diadopsi dari model Van Horn Van Meter (4) Kepatuhan petugas pelaksana diadopsi dari model Grindle. Pengambilan keempat fokus kajian ini dilakukan dengan mengadopsi model-model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh pakar studi implementasi kebijakan dan disesuaikan dengan mempertimbangkan gejala-gejala dan fakta-fakta yang yang ada di dalam masyarakat.

B. Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik

Chandler dan Plano (1988) mengemukakan bahwa Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan pula bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Thomas R Dye (1981) memberikan pengertian dasar mengenai kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah.

Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang, jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.. Pajak merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat untuk menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan


(31)

perbuatan memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan merupakan suatu hukuman. Pajak ditetapkan menurut peraturan pemerintah, dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan secara umum (Munawir, 2000:3) Dengan demikian pajak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Merupakan pungutan yang dilakukan oleh negara kepada rakyat.

2. Dipungut disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.

3. Pemungutan pajak dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan.

4. Pemungutannya dapat dipaksakan.

5. Pembayaran pajak oleh subyek pajak tak akan mendapat imbalan secara langsung dari Pemerintah.

6. Pajak digunakan oleh Pemerintah untuk pembiayaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Pajak Negara dan Pajak Daerah (Mardiasmo, 1997). Pajak Negara adalah pajak yang dipungut untuk kepentingan Negara atau Pemerintah Pusat. Termasuk dalam pajak ini antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai atasa barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak bumi dan bangunan (PBB) dan Bea Meterai. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut Daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh Daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga Daerah,


(32)

yang ruang lingkupnya terbatas pada obyek pajak yang belum dikenakan oleh negara.

Bumi dan bangunan merupakan aset yang dapat memberikan keuntungan dan kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, maka wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak, untuk selanjutnya negara mendistribusikan hasil pajak tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Undang-undang nomor 12 tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan menandai dicabutnya berbagai peraturan perpajakan yang meliputi Ordonansi Pajak Rumah tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi pajak kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942, Pasal 14 huruf j,k,dan l Undang-undang darurat Nomor 11 tahun 1957 tentang peraturan Umum Pajak Daerah, PERPU Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi. Berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1986 ini bertujuan memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia agar lebih sederhana, mudah, adil dan memberi kepastian hukum.

Sebelum berlakunya UU pajak Bumi dan Bangunan, sebenarnya Verponding-verponding Indonesia dan pajak hasil Bumi telah diganti dangan IPEDA. Tetapi karena dasar Hukum Ipeda kurang kuat maka penghapusan verponding tersebut dipertegas lagi dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1986. Verponding mengenakan atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum


(33)

barat, dan verponding Indonesia dikenakan atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum adat yang ada di kota-kota. Pajak Hasil Bumi dikenakan atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum adat yang ada di daerah luar kota. Setelah verponding diganti dengan IPEDA orang merasakan membayar dua kali untuk Obyek Pajak yang sama karena tanah dan bangunan yang ia miliki dikenai pajak kekayaan maupun IPEDA. Dengan berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1986 diharapkan ada kepastian hukum dan tidak ada lagi pajak ganda yang menimbulkan keresahan masyarakat.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak obyektif yang dikenakan atas bumi dan bangunan. Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986, berdasarkan Undang-Undang nomor 12 tahun 1986. Dengan demikian yang menjadi obyek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Adapun yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa dan tambak) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan. Termasuk dalam pengertian bangunan ini antara lain: (1) Jalan lingkungan dalam suatu kesatuan dengan komplek bangunan, (2) Jalan tol, (3) Kolam renang, (4) Pagar mewah, (4) Tempat Olah raga, (5) Galangan kapal, dermaga, (6) Taman mewah, (7) Tempat penampungan/ kilang minyak, gas, air dan pipa minyak, (8) Fasilitas lain yang memberikan manfaat. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah


(34)

diperhatikan faktor-faktor seperti: (1) Letak, (2) Peruntukan, (3) Pemanfaatan, (4) Kondisi lingkungan, dll.

Menurut Rochmat Soemitro (1989 : 79) faktor-faktor itu ditambah dengan: (1) Luas tanah, bumi, bangunan, (2) Kesuburan atau hasil tanah/bangunan, (3) Adanya irigasi atau tidak. Sementara dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: (1) Bahan yang digunakan, (2) Rekayasa, (3) Letak, (4) Kondisi Lingkungan dll.

Subyek pajak dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Kepada subyek pajak tersebut dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak. Adapun azas dari Pajak Bumi dan Bangunan adalah: (1) Memberikan kemudahan dan kesederhanaan, (2) Adanya kepastian hukum, (3) Mudah dimengerti dan adil, (4) Menghindari pajak berganda. Dengan memperhatikan azas-azas tersebut diharapkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan penetapan dan pemungutan pajak mestinya dapat dihindarkan.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak, maka oleh karena itu yang dipentingkan adalah obyeknya dan keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subyek tidaklah penting, sehingga tidak mempengaruhi besarnya pajak (Soemitro, 1989:5). Walaupun pajak ini merupakan pajak obyektif, tetapi pemungutannya didasarkan atas surat ketetapan pajak yang pada prinsipnya setiap tahun dikeluarkan. Setiap tahun wajib pajak diwajibkan memasukkan surat pemberitahuan yang untuk PBB disebut sebagai Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan berdasarkan itu oleh kantor PBB


(35)

kemudian dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dimana untuk PBB disebut sebagai Surat Pemberitahun Pajak Terhutang (SPPT).

Penetapan nilai jual obyek pajak dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan Gubernur Provinsi yang bersangkutan. Untuk saat ini klasifikasi nilai jual obyek pajak untuk bumi dan bangunan dikenakan sesuai dengan keputusan menteri keuangan nomor 174/KMK.04/1993, dimana untuk klasifikasi NJOP untuk bumi dikelompokkan menjadi 50 kelas dan untuk bangunan menjadi 20 kelas.

Penghitungan besarnya PBB didasarkan atas besarnya nilai jual kena pajak yaitu besarnya NJOP sesuai dengan SK Menteri Keuangan setelah dikurangi dengan nilai jual obyek pajak tak kena pajak (NJOPTKP) yang besarnya untuk masing-masing daerah bisa berbeda-beda. Besarnya NJKP adalah 20% dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP. Adapun besarnya tarip PBB adalah 0,5%. Dengan demikian besarnya pajak yang harus dibayar adalah 0,5% X 20% X NJOP atau sebesar 0,5% X NJKP.

Besarnya pajak yang harus dibayar (SPPT PBB) diberikan setiap tahun oleh kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan setelah ditentukan NJKPnya atas dasar surat pemberitahuan obyek pajak (SPOP) yang diisi oleh wajib pajak. Secara teoritis SPOP ini harus diisi oleh wajib pajak dan harus ditandatangani sendiri. Namun demikian dalam banyak kasus, hal ini jarang dilakukan. Biasanya pihak Kantor PBB meminta bantuan pada Pemerintah setempat untuk mengisinya. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kesenjangan yang menyebabkan tidak selarasnya harga pasar atas nilai jual obyek pajak, yang pada akhirnya berbuntut


(36)

dengan munculnya berbagai penolakan serta keberatan dari wajib pajak, khususnya jika terjadi perubahan NJOP.

Hasil Penerimaan PBB yang diterima pemerintah daerah itu dipergunakan untuk membiayai pembangunan daerah bagi kepentingan daerah yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1985 tentang Pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, menetapkan hasil sebagai berikut:

1) 10% dari hasil penerimaan PBB adalah bagian Pemerintah Pusat dan harus sepenuhnya disetorkan ke Kas Negara.

2) 90% merupakan bagian pemerintah daerah setelah dikurangi dengan biaya untuk melakukan pemungutan sebesar 10% dari 90%, kemudian dibagi untuk pemerintah Provinsi 20% dan pemerintah kabupaten 80%. Dengan demikian bagian masing-masing adalah sebagai berikut :

a) Pemerintah pusat : 10 % b) Biaya pemungutan: 10% X 90% : 9 % c) Pemerintah Provinsi: 20% X 81% : 16,2 % d) Pemerintah kabupaten: 80% X 81% : 64,8%

C. Pemungutan dan Pembayaran PBB

Yang dijadikan subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata sebagai pemilik dan atau orang atau badan yang menguasai bumi dan atau bangunan. (pasal 8 ayat 1). Wajib Pajak adalah orang atau badan yang memenuhi


(37)

syarat obyektif, yaitu memiliki atau menguasai dan atau mendapatkan manfaat daripadanya. Subyek pajak PBB belum tentu merupakan Wajib Pajak PBB. Subyek Pajak baru merupakan wajib pajak PBB kalau memenuhi syarat-syarat obyektif, yaitu mempunyai obyek pajak yang dikenai PBB. Sedangkan obyek pajak PBB adalah Bumi dan atau Bangunan (pasal 2).

Diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan dapat membawa perubahan nilai dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan, yaitu perubahan dari paradigma

government menuju governance. Paradigma government (paradigma klasik) menempatkan negara (pemerintah) sebagai satu-satunya penyelenggara pemerintahan, sedangkan paradigma governance memandang penyelenggaraan pemerintahan sebagai proses interaksi antar aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu dalam masyarakat (Kooiman, 1993: 255). Proses penyelenggaraan pemerintahan (governing) pada saat ini merupakan proses koordinasi, pengendalian (steering), pemengaruhan (influencing) dan penyeimbangan (balancing) setiap hubungan tersebut. Untuk mewujudkan proses tersebut, maka pola penyelenggaraan pemerintahan tradisional yang mendasarkan diri pada persepektif hubungan “top-down” dan “rational-central-rule approach”

menjadi tidak cocok. Di sinilah kemudian dibutuhkan pendekatan governance dalam penyelenggaraan pemerintahan (Kooiman, 1993: 255 – 258).

Secara lebih luas, masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah ditinjau dari sudut pandang manajemen diidentifikasi oleh Hariyoso (2001) ke dalam lima kategori, yaitu:


(38)

(1) Belum memadainya dukungan anggaran yang ditopang oleh adanya pengalaman serta telah dihayatinya etos dan acuan, sikap, dan etos kerja yang diwariskan oleh sejumlah masa lalu yang memerlukan pembelajaran, menyebabkan belum dapat diterapkannya manajemen pelayanan publik dalam konteks total quality management dalam era reformasi yang berciri desentralistik;

(2) Dewasa ini masih perlu diseleksi pilihan kiat, metode dan teknologi pelayanan yang mampu mengubah orientasi manajemen pelayanan konvensional yang perlu semakin diorientasikan pada etos dan budaya manajemen pelayanan publik berkualitas;

(3) Masih nampak belum seimbangnya hak dan kewajiban yang melayani (public server) kepada yang dilayani (public served) dalam bentuk pemberian kontraprestasi yang sepadan atas kotribusi/pengorbanan yang diberikan masyarakat;

(4) Masih belum diadakan internalisasi nuansa administrasi politik yang berkaibat jauh terhadap penerapan konsep local government productivity yang masih mengandung keretakan dalam penyelenggaraan manajemen pelayanan umum. Hal ini bahkan berimplikasi lebih jauh dengan kurangnya pengertian tentang pergeseran paradigma pemerintahan daerah oleh pelaksana yang terjadi dalam suasana transisional di era reformasi yang bercorak desentralistik dan globalisasi;

(5) Belum dapat diterapkannya konsep pelayanan prima sekaligus dengan adanya sindroma hubungan antara yang melayani dengan yang dilayanai dalam kedudukan sebagai pelanggan, konstituen partai, klien, dan kelompok sasaran.

Upaya untuk lebih memberdayakan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mendapatkan sumber sumber pendapatan termasuk pendapatan melalui pajak. Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional. Kewenangan pengelolaan pajak tersebut berada di tangan pemerintah sebagai pemegang otoritas alokasi distribusi dan stabilisasi sumberdaya dalam negara. Proses pengelolaan pajak termnasuk PBB merupakan sebuah kebijakan publik yang memiliki implikasi baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat.


(39)

Kebijakan pemerintah yang tepat akan berdampak pada peningkatan kemakmuran masyarakat.

Kerangka dasar kebijakan perpajakan ini ditentukan oleh pusat dengan asumsi pemerintah pusat harus menyediakan sumber-sumber keuangan untuk daerah agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan daerah masih sering harus dibantu pemerintah pusat dalam menjalankan fungsi daerah maupun melaksanakan program-program pusat yang ditugaskan pada daerah.

Sumber pendapatan daerah disebutkan dalam pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, terdiri dari pendapatan asli daerah yaitu hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Selain jenis pajak tersebut pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan yang diberikan pusat dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sementara pendapatan daerah cukup besar diperoleh dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), suatu jenis pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah pusat, namun hasilnya diperuntukan bagi pemerintah daerah.

Pengelolaan pajak yang terpusat juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memeratakan hasil penerimaan PBB yang berasal dari obyek pajak, yang letaknya di luar wilayah yang menjadi kewenangan daerah dan untuk mempermudah pengelolaan sistem pengadministrasian pajak daerah tersebut karena selalu terkait dengan pengelolaan jenis pajak pusat lainnya. Pengelolaan dimaksud adalah pembagian perimbangan hasil penerimaan PBB dibagi antara pemerintah pusat dengan daerah yaitu imbangan pembagian 90% untuk pemerintah daerah (baik kabupaten maupun Provinsi), sedangkan 10% merupakan bagian pemerintah


(40)

pusat, dan pada akhirnya juga akan dibagikan kembali kepada daerah namun dengan mekanisme tertentu. Itulah sebabnya kewenangan sebagian besar penarikan PBB diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

Masyarakat adalah pelaku utama dan sekaligus merupakan obyek dari pembangunan, sehingga keberhasilan berbagai implementasi kebijakan untuk peningkatan pendapatan asli daerah dari sektor PBB, sangat membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat pada umumnya, dan pemerintah berkewajiban menjalankan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang (Tjokroamidjojo, 1987:206). Namun banyaknya hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemungutan pajak, pada umumnya, menurut R.Santoso Brotodiharjo (Munawir, 2000:7) adalah:

”Adanya perlawanan pasif dari wajib pajak yang mempersulit pemungutan pajak. Hal ini erat kaitannya dengan struktur ekonomi, perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu sendiri. Dalam perlawanan pasif ini tidak ada usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat pemungutan pajak, namun disebabkan oleh karena kondisi masyarakat yang kurang tahu mengenai seluk beluk pajak, maka mereka tidak bersedia membayar pajak. Penghambat kedua, adalah adanya perlawanan aktif yaitu berupa semua usaha dan perbuatan yang langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan menghindari pajak. Nyata-nyata ada usaha wajib pajak untuk tidak membayar pajak, dan mengelakkan penyelundupan pajak maupun usaha melalaikan pajak.”

Untuk mengatasi hambatan tersebut dibutuhkan perangkat kebijakan yang tepat agar wajib pajak tidak dapat lagi menghindari pajak. Dalam proses penyusunan kebijakan tersebut perlu adanya strategi yang memperhitungkan segala kekuatan kelemahan peluang dan ancaman yang dimiliki dan dihadapi oleh


(41)

pemerintah selaku pemegang otoritas dan sebagai implementator dari kebijakan itu sendiri.

Pembayaran PBB dapat dilakukan ditempat pembayaran PBB di loket-loket yang telah ditunjuk. Loket yang ditunjuk untuk ini meliputi berbagai lembaga keuangan antara lain Bank Central Asia (BCA) dan Badan Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK)) se Kabupaten Karanganyar. Cara lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pembayaran PBB adalah melalui petugas pemungut PBB. Petugas pemungut PBB ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati yang diterbitkan setiap tahun.

Penunjukan Petugas Pemungut PBB dimaksudkan untuk mendekatkan dan memudahkan wajib pajak dalam melakukan pembayaran PBB. Petugas yang ditunjuk sebagai petugas pemungut PBB sebagian besar adalah para Kepala Dusun /Perangkat Desa.

Prosedur pemungutan PBB ditempuh melalui mekanisme yang telah diatur oleh tim intensifikasi dibuat berjenjang mulai dari kabupaten hingga ke dusun, yaitu Kepala Dusun sebagai petugas dilapangan yang membagikan SPPT dan menagih pajak kepada wajib pajak. Berdasarkan mekanisme tersebut dapat dilihat bahwa ujung tombak dari penerimaan PBB adalah para Kepala Dusun sebagai petugas pemungut yang langsung berhadapan dengan wajib pajak. Lebih jelasnya skema Tim Intensifikasi Pemungutan PBB adalah sebagai berikut.


(42)

Gambar 4 : Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan

Sumber : Diolah dari SK Bupati Karanganyar tanggal 9 September 2005 Nomor : 973/354 Tahun 2005.

TIM INTENSIFIKASI PBB TINGKAT KECAMATAN

KADES SELAKU KOORDINATOR PETUGAS

PEMUNGUT

PETUGAS ADMINISTRASI

PBB DESA

KADUS PETUGAS PEMUNGUT DUSUN

WAJIB PAJAK PENERIMA SPPT

BANK PERSEPSI TIM INTENSIFIKASI PBB


(43)

D. KERANGKA BERPIKIR

Gambar 5 : Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Salah satu aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana meningkatkan penerimaan guna membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan . Undang-undang No 12 tahun 1994 dan Undang-undang no. 32 tahun 2004 memberi kesempatan kepada daerah untuk mendapatkan pendapatan yang cukup besar dari sektor PBB. Data pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir target penerimaan PBB tidak pernah tercapai. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masih ada permasalahan dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB. Kebijakan PBB

UU No 12 Tahun 1986 Disempurnakan dengan UU no 12

tahun 1994 (operasionalisasi :

Kep Men Keu 1007/KMK/

04/1995)

Implementasi Pemungutan PBB

1. Isi Kebijakan 2. SDM

3. Komunikasi

4. Kepatuhan Pelaksana

Peningkatan penerimaan PBB


(44)

Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi yang berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara lain : (1) Isi Kebijakan (2) Sumber daya manusia.(3) Komunikasi (4) Kepatuhan petugas pelaksana. Pengambilan keempat fokus kajian ini dilakukan dengan mengadopsi model-model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh pakar studi implementasi kebijakan dan disesuaikan dengan mempertimbangkan gejala-gejala dan fakta-fakta yang yang ada di dalam masyarakat.

Isi Kebijakan merupakan salah satu fokus kajian yang diadopsi dari model Grindle, dimana kejelasan suatu kebijakan dalam mengatur mekanisme kewenangan dan kepentingan para pihak dalam kebijakan sangat menentukan keberhasilan proses implementasi. Isi kebijakan dan pengaruhnya terhadap proses implementasi dapat dilihat dari aspek kewenangan dan sistem rewards and punishment dalam kebijakan pemungutan PBB .

Salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana meningkatkan pendapatan atau penerimaan guna membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Pada umumnya penerimaan pemerintah dapat dibedakan antara penerimaan pajak dan bukan pajak. Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif Pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada Undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak


(45)

untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya (Mangkusubroto, 1993:181).

Mengingat akan pentingnya peran pajak bagi kesinambungan pembangunan di negara Indonesia maka peningkatan penerimaan dari sektor PBB mutlak diperlukan, maka upaya mengoptimalkan faktor pendukung dan mengatasi faktor penghambat dalam penarikan PBB perlu dilaksanakan secara tepat.


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi

Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah dengan pertimbangan Kecamatan Jaten adalah Wilayah Kecamatan yang sebagian besar obyek pajak PBB nya adalah pabrik / perusahaan. Karakteristik masyarakat di Kecamatan Jaten cukup bervariasi yaitu terdiri dari masyarakat modern yang bertempat tinggal di kompleks perumahan dan masyarakat tradisional yang berdomisili di daerah pedesaan. Atas dasar pertimbangan itu maka menurut hemat penulis Kecamatan Jaten tepat untuk dijadikan obyek penelitian karena akan memberikan gambaran yang lebih lengkap berkaitan dengan proses pemungutan PBB.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Ada beberapa pendapat tentang metode penelitian deskriptif diantaranya adalah :

Metode penelitian deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian ( seseorang, lembaga, masyaraakat, dan lain – lain. ) pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak atau sebagaimana adanya ( surakhmad, 1989 : 140 )

Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dalam hubungan dengan riset kualititatif yang memusatkan pada deskriptif,


(47)

HB Sutopo ( 2002 : 35 ) mengemukakan bahwa data yang dikumpulkan berwujud kata – kata dalam kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka atau jumlah. Berisi catatan yang mengambarkan situasi sebenarnya guna mendukung penyajian data.

C. Fokus Kajian dan Aspek Kajian

Sesuai dengan kerangka pemikiran yang dibuat maka fokus dan aspek kajian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Matrik 1

Fokus dan Aspek kajian Penelitian

No Fokus kajian Aspek Kajian

1 Isi Kebijakan a. Kewenangan

b. Sistemrewards and punishment

2 SDM a. Kuantitas SDM

b. Kualitas SDM

3 Kepatuhan Pelaksana a. Ketepatan waktu penyampaian SPPT b. Kepatuhan pengadministrasian 4 Komunikasi a. Komunikasi dengan wajib pajak

b. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi PBB

Dalam penelitian ini fokus kajian juga diarahkan pada upaya mengidentifikasi hambatan-hambatan yang muncul dan upaya yang dilakukan dalam pelaksanaan pemungutan PBB. Dalam hal ini di identifikasi berbagai hambatan yang bersumber pada wajib pajak dan obyek pajak, hambatan dari


(48)

sisi petugas pemungut pajak dan juga hambatan yang berhubungan dengan sistem penarikan pajaknya.

D. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam dua kelompok sebagai berikut:

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan, yaitu pegawai Kantor Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar, Kepala Desa dan Perangkat Desa, petugas Badan Kredit Kecamatan (BKK) Kecamatan Jaten yang menjadi sample penelitian. Dalam hal ini pengumpulan data primer menggunakan teknik wawancara (interview).

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain seperti data struktur organisasi, uraian tugas dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder ini menggunakan teknik dokumenter untuk mendapatkan data pendukung yang digunakan untuk melengkapi dan menyempurnakan hasil penelitian.

3. Adapun sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas Camat Jaten Kabupaten Karanganyar, petugas pemungut pajak bumi dan bangunan di Kecamatan Jaten, perangkat desa, petugas Bank persepsi atau Badan Kredit Kecamatan (BKK) serta beberapa wajib pajak yang ada di Kecamatan Jaten. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor Kecamatan Jaten dan Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar.


(49)

E. Teknik Penentuan Informan

Mengingat penelitian ini merupakan penelitian deskriptif maka informan atau narasumber yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan tehnik purposive sampling. Namun demikian mengingat keterbatasan kemampuan peneliti maka dimungkinkan pula menggunakan snow ball sampling jika penjelasan informan belum memberikan informasi secara jelas dan perlu tambahan informasi dari informan lain di bawahnya yang lebih tau atau yang direkomendasikan oleh informan utama. Hal ini dilakukan untuk memperoleh dan menyempurnakan data dari sumber-sumber yang belum ditentukan peneliti dengan teknik purposive. Hal ini juga dilakukan untuk melakukan triangulasi data atas jawaban dari nara sumber/ informan.

F. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai pertimbangan berdasar konsep teknis yang digunakan, keinginan pribadi, karakteristik empiris dan sebagainya (Sutopo, 1988:21). Untuk itu data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui beberapa cara yaitu: a. Wawancara mendalam guna memperoleh data tentang berbagai upaya

pemungutan PBB yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar.

b. Studi dokumentasi dan observasi guna melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.

G. Uji Validitas Data


(50)

penelitian ini maka teknik yang digunakan adalah teknik triangulasi. Teknik Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan perbandingan terhadap data itu (Moleong, 1998:178). Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan antara sumber yang diperoleh dari hasil wawancara satu informan dengan informan yang lain dalam satu masalah agar didapat simpulan yang obyektif.

H. Teknik Analisis Data

Secara umum analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, analisis data dilakukan dengan teknik interaktif, dimana ketiga komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan dilakukan secara interaktif dengan proses pengumpulan data yang menggunakan proses siklus. Dalam hal proses analisis data tidak dilakukan setelah semua data terkumpul. Analisis dilakukan sepanjang penelitian, termasuk baik pada waktu pengumpulan data. Bila analisis data dilakukan dalam penelitian, maka peneliti dapat menyusun pertanyaan baru dan dilanjutkan dengan pengumpulan data berikutnya.

Adapun ketiga komponen analisis data tersebut adalah:

1. Reduksi data: yaitu merupakan suatu proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data yang dilaksanakan selama berlangsungnya proses penelitian dan mengatur data sedemikian rupa sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir.


(51)

akan dapat mengerti apa yang akan terjadi serta analisis atas tindakan lain berdasar pengertian tersebut.

3. Penarikan Kesimpulan

Aktivitas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 6

Model Analisis Interaktif

Sumber : HB Sutopo, 1998:37 Pengumpulan data

Reduksi Data

Sajian Data


(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A Hasil Penelitian

Kecamatan Jaten adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang berbatasan dengan Kota Surakarta dan menjadi daerah penyangga bagi Kota Surakarta. Secara geografis Kecamatan Jaten berbatasan dengan :

a. Sebelah utara :Kecamatan Kebakkramat b. Sebelah timur :Kecamatan Karanganyar

c. Sebelah selatan :Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo d. Sebelah barat :Kecamatan Jebres, Kota Surakarta.

Secara administratif Kecamatan Jaten dibagi menjadi 8 desa yaitu: 1. Desa Suruhkalang

2. Desa Jati 3. Desa Jaten 4. Desa Dagen 5. Desa Ngringo 6. Desa Jetis 7. Desa Sroyo 8. Desa Brujul

Luas wilayah Kecamatan Jaten adalah 2.554,81 Ha terdiri dari sawah 1.277,59 Ha, tanah kering 1.277,22 Ha. Diantara delapan desa yang ada di


(53)

Kecamatan Jaten tersebut, Desa Sroyo adalah desa yang paling luas wilayahnya dan Desa Jetis adalah yang paling kecil wilayahnya. Adapun data luas wilayah masing-masing desa selengkapnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4

Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Nomor Desa Luas wilayah

( ha )

1 Suruhkalang 302,58

2 Jati 265,47

3 Jaten 277,37

4 Dagen 283,50

5 Ngringo 420,27

6 Jetis 262,61

7 Sroyo 459,78

8 Brujul 283,23

Jumlah 2.554,81

Sumber : Kecamatan Jaten dalam angka, 2005

Jumlah penduduk di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar pada akhir bulan Desember 2005 sejumlah 68.100 jiwa yang terdiri dari laki-laki 34.556 jiwa dan perempuan 34.554 jiwa. Dibandingkan dengan tahun 2004 maka terdapat pertambahan penduduk 930 jiwa, atau mengalami pertumbuhan sebesar 1,38 %. Desa dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Desa Ngringo yaitu 22.876 Jiwa (33,59 %), disusul Desa Jaten sebanyak 12.673 Jiwa (18,61%), dan Desa Sroyo Sebanyak 7.495 Jiwa (11,01%), sedangkan desa yang paling sedikit penduduknya adalah Desa jetis dengan jumlah


(54)

penduduk sebanyak 7.495 Jiwa (6,78%), Desa Dagen sebanyak 4.699 Jiwa (6,78%), kemudian Desa Suruhkalang Sebanyak 4.625 Jiwa (6,79%).

Kepadatan penduduk Kecamatan Jaten pada tahun 2005 mencapai 2.655 jiwa / Km² dengan persebaran penduduk yang belum merata. Seluruh desa di Kecamatan Jaten sudah merupakan desa perkotaan (urban) sehingga mempunyai kepadatan yang cukup tinggi. Desa yang memiliki kepadatan paling tinggi adalah Desa Ngringo yaitu 5.447 jiwa / Km², dan yang paling rendah adalah Desa Suruhkalang yaitu 1.526 jiwa/Km².

Sesuai dengan kondisi Kecamatan Jaten yang sudah mencerminkan daerah perkotaan dengan banyak industri, maka sebagian besar penduduknya juga menggantungkan mata pencahariannya di sektor industri. Komposisi ketenagakerjaan di Kecamatan Jaten menunjukkan sebanyak 15.107 (26,69%) orang bekerja di sektor industri, selanjutnya di sektor pertanian sebagai tani dan buruh tani sebanyak 4.936 orang (8,72%), kemudian buruh bangunan sebanyak 3.401 orang (6.01%), dan pedagang sebanyak 1.146 orang (2,02%), selebihnya bekerja di sektor angkutan, PNS/TNI/Polri, pensiunan, jasa-jasa dan lain-lain.

Potensi Pajak Bumi dan Bangunan di wilayah Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 masih cukup besar. Potensi ini berupa masih banyaknya tunggakan yang belum terbayar. Tidak terbayarnya PBB ini bisa terjadi karena berbagai hal karena kesalahan dan belum sadarnya Wajib Pajak sendiri, maupun karena kesalahan administrasi di KP PBB. Sedangkan kesulitas yang lain adalah adanya tanah


(55)

yang dimiliki oleh orang-orang diluar daerah dan tidak diserahkan pengel;olaannya kepada warga setempat, sehingga pada saatnya membayar pajak subyek pajak tersebut tidak jelas domisilinya. Jika hal ini dikejar pelunasannya terutama pada lahan yang tidak luas akan mengakibatkan biaya penarikan bisa lebih besar daripada besaran pajak itu sendiri.

Selama lima tahun terakhir, yaitu sejak tahun 2001 sampai tahun 2005 masih ada tunggakan pajak yang belum dibayar. Adanya tunggakan yang masih cukup banyak menggambarkan implementasi kebijakan pemungutan PBB belum sepenuhnya mencapai sasaran seperti yang diharapkan.

B. Implementasi Pemungutan PBB di Kabupaten Karanganyar

Proses pemungutan PBB diawali dengan menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak. SPPT merupakan surat ketetapan yang yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak Melalui KP PBB. Mekanisme penyampaian SPPT ini di mulai dari pencetakan oleh KP PBB kemudian diteruskan oleh Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar selanjutnya baru didistribusikan ke desa/kelurahan melaui kecamatan-kecamatan. Di Desa selanjutnya di pilah-pilah perdusun dan dibuatkan daftar nominatif PBB masing-masing dusung sambil di cek kebenaran datanya.

Setelah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak petugas melaporkan hasilnya kepada petugas administrasi desa untuk dilaporkabn kepada camat dan selanjutnya Camat menyampaikan laporan perkembangan penyampaian SPPT kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah dengan tembusan Kepala


(56)

Dinas Pendapatan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Surakarta. Di tingkat desa yaitu koordinator, sebulan sekali melaporkan perkembangan penyampaian SPPT dan STTS Pajak Bumi dan Bangunan Kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar lewat Camat Jaten dan menyerahkan Berita Acara penyetotan uang Pajak Bumi dan Bangunan lembar ketiga dan keempat kepada Camat Jaten. Petugas pemungut mempunyai tugas mencocokan nama-nama wajib pajak yang tertera dalam DHKP ( Daftar Himpunan Ketetapan Pajak ) dengan SPPT Wajib pajak, karena banyak dijumpai SPPT dengan alamat yang tidak jelas, Jumlah Ketetapan Pajak dalam SPPT tidak sama dengan yang tertera dalam DHKP, SPPT wajib pajak yang dobel nama.

Penyampaian SPPT ( Surat Pemberitahuan Pajak terhutang ) dari Pemerintah Kecamatan Jaten kepada Desa-desa serta dari Desa kepada para Pemungut Pajak kemudian sampai pada para Wajib Pajak merupakan hal yang wajib dilaksanakan. Setelah SPPT sampai kepada Wajib Pajak masih dimungkinkan merasa kurang puas, ketidak puasan Wajib Pajak yaitu dengan dengan cara mengajukan keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan di Surakarta, di karenakan penetapan pajak yang terlalu tinggi, luas tanah yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan atau nama Wajib Pajak yang tertulis di SPPT tidak sesuai dengan nama yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk.

Untuk mendata pemasukan PBB, Petugas Pemungut di Desa harus membuat Daftar Penerimaan Harian (DPH). DPH PBB yang dibuat oleh


(57)

petugas pemungut di tiap-tiap desa, menjadi surat bukti bahwa para wajib pajak telah menitipkan uang setoran PBB nya untuk disetorkan kepada Bank persepsi, serta untuk mengetahui wajib pajak yang telah membayar lunas PBB dan yang belum membayar PBB nya.

Laporan bulanan penerimaan PBB tahun yang bersangkutan dibuat secara rutin oleh Camat dan dilaporkan kepada Bupati Karanganyar, serta tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Kepala Badan Pengawas Kabupaten Karanganyar, Kepala Kantor Pelayanan PBB Surakarta dan Kepala Desa se-Wilayah Kecamatan Jaten, untuk mengetahui realisasi PBB pada bulan yang bersangkutan serta langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mengejar target yang telah ditetapkan.

1. Isi Kebijakan a). Kewenangan

Menurut grindle (1980:8-12) Implementasi suatu kebijakan sangat ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of policy). Studi ini melihat adanya salah satu aspek penting dari isi kebijakan yang sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yaitu aspek kejelasan kebijakan dalam mengatur peran masing-masing pelaksana kebijakan Pemungutan PBB. Posisi dari pejabat selaku pembuat kebijakan sangatlah menentukan sekali bagi keberhasilan implementasi, maka dalam menformulasikan kebijakan harus diperhatikan implementornya. Suatu kebijakan yang diformulasikan oleh bidang diluar lingkup tugas implementor akan memiliki peluang gagal yang lebih besar.


(58)

Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang memadai. Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya lain yang meliputi sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan memudahkan dalam pencapaian tujuan kebijakan. Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang memang diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif diimplementasikan daripada melibatkan kelompok lain yang kurang berkepentingan atas kebijakan tersebut.

Tentang pihak yang berwenang dan berkepentingan terhadap PPBB ini, berdasarkan wawancara tanggal 15 Oktober 2006, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar mengemukakan :

“Ketentuan yang ada secara eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan dalam kebijakan PBB pada prinsipnya berada di Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dan Pemerintah Daerah. Tetapi diluar itu sebenarnya ada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang juga perlu berperan dalam kebijakan PBB. Selanjutnya agar kebijakan ini dapat dijalankan secara baik maka dimana masing masing pihak mengerahkan instansi dibawahnya yang terkait.

Berdasarkan keterangan tersebut diketahui bahwa ada lebih dari satu pihak yang berperan dalam melaksanakan kebijakan PBB. Pemerintah Pusat memiliki Dirjen Pajak yang menggunakan Kantor Pelayanan PBB (KP PBB) sebagai tangan panjangnya dan Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur dan Bupati/Walikota yang menggunakan instansi Dinas Pendapatan dan para pamong praja yang ada di daerah sebagai pelaksana di lapangan. Instansi lain yang juga


(59)

terkait dengan PBB adalah badan pertanahan nasional (BPN) sebagi institusi yang membidangi administrasi pertanahan.

Penjelasan Undang-undang PBB sebagaimana dikutip Soemitro (1989:53) menyebutkan pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan dengan obyek PBB antara lain adalah :

1) Pejabat pembuat Akte Tanah (PPAT) baik dipegang oleh Camat atau Notaris.

2) Kepala kelurahan atau kepala desa.

3) Pejabat Tata Kota (berkaitan dengan perijinan mendirikan bangunan) 4) Pejabat agraria sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikat tanah. 5) Pejabat Pengawasan Bangunan.

6) Pejabat balai Harta Peninggalan

Sedangkan pejabat yang bertanggung jawab secara langsung mengenai kebijakan PBB adalah Direktorat Jenderal Pajak. Di daerah tugas Dirjen Pajak dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB).

Tugas KP PBB dalam Kebijakan PBB ini sebagaimana keterangan petugas di kantor Pelayanan PBB dalam wawancara tanggal 16 Oktober 2006, dikemukakan sebagai berikut :

“Kami di KP PBB menentukan Subyek Pajak, Obyekl Pajak dan besarnya NJOP dari masing masing Obyek pajak yang nantinya akan dijadikan dasar menentukan berapa pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Kami juga melayani keberatan atas beban pajak terhutang dari wajib pajak. Pada prinsipnya KP PBB melayani pelayanan secara administratif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian sampai pada evaluasi Kebijakan PBB.”


(60)

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kewenangan KP PBB adalah melaksanakan kegiatan administratif dalam hal penentuan Obyek, Subyek dan Nilai PBB. Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB juga menjadi tanggung jawab KP PBB.

Peran Pemerintah Daerah dalam kebijakan PBB adalah melaksanakan pemungutan PBB dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan yang telah ditunjuk. Tentang peran Pemerintah daerah ini Kepala Dinas Pendapatan dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan :

“Pemerintah Daerah sebenarnya mendapatkan manfaat yang terbesar dari pemasukan PBB, maka Pemerintah Daerah yang diberikan kewenangan melaksanakan Pemungutan PBB harus bekerja intensif agar target pendapatan PBB dapat masuk. Hal ini sungguh sangat strategis untuk dimanfaatkan secara optimal mengingat PBB Merupuakan komponen yang memnyumbang kontribusi terbesar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PADS)”.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh camat Jaten sebagaimana terungkap dalam hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2006 sebagai berikut :

“Tugas kami selaku aparat Pemerintah Daerah adalah mengoptimalkan penerimaan PBB dan membantu masyarakat agar lebih mudah melaksanakan pembayaran PBB”.

Berdasarkan berbagai informasi diatas terungkap bahwa secara umum isi kebijakan PBB telah secara jelas mengatur kewenangan masing masing instansi dalam mendukung proses implementasinya. Tetapi yang menjadi catatan adalah


(1)

5. Di Kecamatan Jaten yang sebagian besar merupakan wilayah perkotaan sangat sering terjadi mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah, tetapi tidak diikuti dengan mutasi data dalam SPPT sehingga SPPT yang disampaikan tidak valid lagi dan dijadikan alasan untuk menolak membayar PBB.

6. Komunikasi antara pelaksana di lapangan dengan pihak KP PBB sering tidak berjalan dengan baik karena besarnya cakupan layanan KP PBB Surakarta yang sangat luas.

Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten adalah sebagai berikut :

1. Komitmen pimpinan wilayah dalam hal ini Camat dalam mensukseskan Pemungutan PBB sangat tinggi sehingga bisa mendorong motivasi petugas di bawahnya untuk lebih giat dalam menjalankan tugasnya.

2. Sistem rewards berupa hadiah undian bagi wajib pajak yang membayar PBB sebelum bulan agustus cukup membantu peningkatan pemasukan PBB. Tetapi pemberian hadiah lunas awal bagi desa yang lunas PBB 100 % belum mampu dinikmati karena target PBB di Kecamatan Jaten sangat tinggi. 3. Sumber Daya Manusia yang dikerahkan untuk melaksanakan pemungutan

PBB sudah cukup memadai dan secara umum tahu kondisi wilayah tugasnya masing-masing.


(2)

B. Implikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pemungutan PBB yang dilaksanakan oleh pemerintah Kecamatan Jaten didasari pada kewajiban melaksanakan UU nomor 12 tahun 1986 Juncto. UU no 12 tahun 1994 serta sebagai upaya meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak. Penyadaran pada wajib pajak dan para petugas pemungut pajak merupakan faktor penting demi keberhasilan pemungutan PBB. Disamping itu upaya mengatasi kendala kendala lain sepeti lemahnya komunikasi dengan wajib pajak dan koordinasi antar instansi, tidak tegasnya penegakan hukum, penerapan sistem insentif yang tidak optimal harus segera dilakukan. Jika hal ini tidak segera dilaksanakan akan membawa implikasi semakin meningkatnya tunggakan PBB dari tahun ke tahun yang tentu saja semakin menjadi beban bagi instansi dan petugas pemungut. Besarnya tunggakan tersebut dapat pula menimbulkan preseden buruk bagi wajib pajak, dimana mereka akan beranggapan bahwa tidak membayar PBB tidak ada resikonya, terbukti tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya juga tidak ada sanksi yang tegas.


(3)

C. Saran

Atas dasar temuan penelitian diatas, beberapa saran yang diajukan untuk meningkatkan keberhasilan Implementasi Kebijakan Pemungutan PBB adalah sebagai berikut :

1. Perlu ada shock therapy berupa sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang menunggak PBB terutama bagi yang menunggak lebih dari 1 tahun. Sanksi tegas juga perlu diterapkan untuk petugas pemungut yang menggunakan uang PBB dari wajib pajak untuk kepentingan pribadi.

2. Perlu adanya penyempurnaan sistem administrasi pertanahan yang mengatur kewajiban dan kewenangan Pejabat Pembuat Akte Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan KP PBB agar setiap mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah diikuti dengan mutasi SPPT PBB.

3. Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektoral antara Dipenda, Kantor KP PBB, Kecalamatan dan Desa.

4. Mekanisme pemberian upah pungut perlu ditata ulang agar mekanisme upah pungut benar-benar dapat dirasakan dan mampu memotivasi para petugas di lapangan untuk bekerja maksimal sehingga hasilnya juga maskimal.


(4)

Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten

Kabupaten Karanganyar

Tesis

Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajad Magister

Program Studi Magister Administrasi Publik

Oleh:

Larmanto

NIM. S. 2405017


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James E, 1975, Public Policy making An Introduction, Houghton Miflin Company, Boston USA.

Dye, Thomas R, 1978, Understanding Public Policy, New jearsey: prentice Hall Inc. Engelwood Cliffs,

Dunn, N. William, Muhadjir Darwin (Penyunting), 2001, Analisis Kebijaksanaan Publik : Kerangka Analisis dan Dasar Prosedur Perumusan Masalah, Yogyakarta, Hanindita.

Guritno Mangkoesoebroto, 1993, ”Ekonomi Publik”, BPFE UGM, Yogyakarta. Grindle, Merilee S, 1980, Politics and Policy Implementation in The Third World,

New York, Princenton University Press.

HB Sutopo, 1998, ”Penelitian Kualitatif” , UNS Press, Surakarta.

Josep Riwu Kaho, 1997, Prospek Otonomi daerah di negara Republik Indonesia, (Identifikasi beberapa factor yang Mempengaruhinya), Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975, The Policy Implementation Process, A Conceptual Framework, Ohio, Sage Publication inc. Ohio State University.

Mardiasmo, 1987, ”Perpajakan”, Andi Offset, Yogyakarta.

Miles dan Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta

Mikkelsen, Britha, 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan upaya-upaya pemberdayaan, sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Muhajir Darwin, 1994, ”Kebijaksanaan Publik”, UNS Press, Surakarta. Lexy J Moleong, ,. Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung. Munawir, H.S, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung-Jakarta. Wahyu Nurharjadmo, 2004, Laporan Penelitian Berbagai Upaya yang dilakukan

oleh Pemerintah Kecamatan Klaten Utara dalam Meningkatkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). UNS Surakarta.


(6)

Pariata Westra, 1994, manajemen Pembangunan Daerah, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Parkin, M & Bade, R.,1986, Macro Economics and The Australian Economy, Allen & Unwim.

Ripley, Randall B., & Franklin Grace A.,1986, “Policy Implementation and Bureaucracy”, The Dorcey Press, Chicago.

Rochmat Soemitro, 1989, “Pajak Bumi dan Bangunan”, PT Eresco, Bandung. Syaukani, Afan Gaffar & Ryaas Rasyid, 2002, ”Otonomi Daerah”, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

Steers, Richard M, 1985, ”Efektivitas Organisasi”, Erlangga, Jakarta.

Sugiyono, 2003, “Metode Penelitian Administrasi”.Edisi ke-10 (edisi revisi), Bandung : Alfabeta.

Winarno Surakhmad, 1989, “Metode Penelitian Administrasi”, Bandung, Alfabeta.

Samodra Wibawa, 1994, ” Evaluasi Kebijakan” , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sumber Lain :

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan. Undang-Undang No 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.