commit to user
9
boleh melebihi dari Rp. 1.000.000,-, kemudian hiburan pertunjukkan pada upacara pesta pernikahan dengan iringan kecapi berubah dengan adanya grup musik atau
minimal solo keyboard, kemudian undangan pernikahan yang disiarkan melalui sound atau khutbah di masjid serta dengan cara datang dari rumah ke rumah warga sekarang
dilakukan dengan undangan tertulis, dan mempelai yang hendak menikah dinikahkan oleh penghulu dari KUA dan Pemangku Adat hanya bertindak sebagai saksi ataupun
tamu kehormatan. Sedangkan dalam ranah Sakka Pariama aturan dalam hal pertanian atau bercocok tanam
kelompok FORSPAT dan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho melakukan reproduksi budaya yaitu adanya perubahan lahan pertanian dari
kebun ke sawah, peralihan gotong royong dan tolong menolong dilakukan dengan sistem pemilik lahan dan buruh tani, ada juga penggunaan sarana ataupun alat
pertanian yang lebih modern disertai aturan bertani yang mulai ditentukan secara subjektif antara pemilik lahan dan buruh tani. Untuk ranah Panda’ Tomate aturan
dalam hal upacara kematian sendiri, para aktor yang bersangkutan juga melakukan reproduksi budaya berupa atribut kepala yang dikenakan oleh kelompok Pemangku
Adat berupa kain kafan berubah menjadi peci kopiah, aturan hewan kurban untuk sedekah tidak lagi sapi tetapi ayam, upacara pemakaman jenazah sudah dapat
dilakukan langsung tidak lagi ditunda-tunda. Bahkan dalam ranah Reppoang Ulu Rendengang Tallottong aturan dalam hal kemanusiaan, aktor kelompok Pemangku
Adat Ada’ Tuho sendiri melakukan reproduksi budaya berupa penanganan kasus di tingkat dewan adat jika tidak menemui kesepakatan akan langsung dilimpahkan
kepada pihak kepolisian dan kejaksaan.
2. Dimensi Pendukung dan Dimensi Penghambat dalam Reproduksi Ada’ Tuho
Reproduksi Ada’ Tuho tentunya didukung oleh berbagai modal di dalamnya. Adapun modal tersebut yaitu modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, serta
modal simbolik. Modal dalam reproduksi Ada’ Tuho dapat dianalisis menjadi dimensi
pendukung bahkan juga dapat menjadi dimensi penghambat bagi pelestarian budaya Ada’ Tuho di Ulumanda. Modal budaya kelompok FORSPAT berupa pengetahuan
terkait Ada’ Tuho yang diperoleh dari keluarga, sekolah, dan lingkungan tempat tinggal lingkungan bermain, serta naskahbuku-
buku tentang Ada’ Tuho dari berbagai pihak tentunya sangat mendukung bagi pelestarian budaya Ada’ Tuho. Hal
ini dikarenakan para aktor akan semakin kuat pondasi pengetahuan serta pembangunan habitus terkait dari padanya untuk selalu menjaga pelestarian budaya
commit to user
10
Ada’ Tuho terutama bagi generasi muda agar semakin bangga dang tidak canggung dengan budaya Ada’ Tuho yang ada di sekitar mereka. Namun hal ini jika dipahami
secara sempit dan kaku oleh generasi muda dan generasi tua yang memberikan pengetahuan tersebut akan menjadi ancaman tersendiri karena dapat memicu
kerenggangan anatar generasi karena mereka memiliki pengetahuan yang kaku dan tidak mau menerima perubahan yang terjadi di Ulumanda akibat adanya modernisasi
di sekitar mereka. Sementara pada modal ekonomi,
tenda pertemuan Temu Budaya Ada’ Tuho dari sistem sewa yang diperoleh kelompok FORSPAT serta dukungan dana dari
pemerintah setempat dan fasilitas sound system dari bantuan berbagai pihak lain untuk dana operasional kelompok FORSPAT juga memungkinkan dapat mendukung
pergerakan kelompok FORSPAT dalam upaya pelestarian budaya Ada’ Tuho. Hal ini dikarenakan karena dengan adanya dana tersebut, kelompok FORSPAT semakin
terdukung aktivitasnya di berbagai kegiatan, bahkan dengan adanya dana dan penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho yang rutin tersebut memungkinkan
sebagai bentuk eksistensi Ada’ Tuho di Ulumanda yang tetap dipelihara. Dengan adanya kegiatan tersebut paling tidak dapat sebagai pembuktian konsistensi dari
kelompok FORSPAT untuk mengupayakan kembali pengenalan Ada’ Tuho bagi generasi muda yang sudah semakin kurang mengenal adanya Ada’ Tuho di
Ulumanda. Namun di sisi lain, modal ini dapat mengancam pelestarian budaya Ada’ Tuho karena memungkinkan di dalamnya terjadi penyalahgunaan dana untuk
kepentingan pribadi, maka kondisi ini memang sangat membutuhkan pengelolaan dan transparansi dari aktor yang bersangkutan. Dengan adanya berbagai bantuan dana
tersebut juga memungkinkan kelompok FORSPAT semakin dimanjakan dan kurang mandiri dalam pergerakannya, sehingga ketika dana tersebut mulai dihentikan atau
mengalami keterlambatan untuk diberikan akan mempengaruhi pergerakan kelompok FORSPAT yang menjadi terhambat. Bahkan acara Temu Budaya Ada’ Tuho yang ada
di Ulumanda tersebut juga lambat laun akan mulai dinilai membosankan karena hanya diisi dengan diskusi dan pembicaraan dengan fokus yang selalu sama, maka
hendaknya kegiatan ini dapat ditingkatkan variasi acaranya agar masyarakat tidak bosan. Beberapa kali pertemuan Temu Budaya yang sudah dilakukan menunjukkan
animo masyarakat masih tingggi, namun jika lokasi Temu Budaya berpusat pada beberapa desa tertentu saja sangat memungkinkan masyarakat desa lain yang jarak
commit to user
11
wilayahnya jauh akan mulai merasakan keluhan yang berujung pada ketidakhadiran dalam acara tersebut.
Sedangkan untuk modal sosial kelompok FORSPAT sendiri berupa solidaritas anggota dan jaringan yang baik dengan pemerintah setempat dalam hal perizinan,
kelompok Pemangku Adat Ada ’ Tuho, serta tokoh masyarakat juga mampu
menambah kemampuan kelompok FORSPAT dalam melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda. Dengan adanya solidaritas antar anggota FORSPAT sendiri
memungkinkan kelompok ini menjadi semakin kuat dalam integritasnya dan eksistensinya karena setiap anggota akan dapat berperan tepat fungsi di bagian
masing- masing khususnya dalam penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho di
Ulumanda dan mengembangkan diri sebagai kelompok yang aktif dalam kajian studi perkotaan di Ulumanda dengan berbekal Ada’ Tuho sebagai bahan kajiannya. Di lain
hal, berbagai jaringan yang dibangun dengan Pemerintah Setempat, Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, dan beberapa tokoh masyarakat juga memungkinkan
mereka dapat lebih mendalam mendalami Ada’ Tuho untuk dilestarikan serta diwujudkan dalam berbagai pergerakannya. Namun di sisi lain, solidaritas dan
jaringan tersebut jika tidak dijaga dengan baik maka dapat melunturkan kepercayaan kepada kelompok FORSPAT tersebut sehingga kelompok FORSPAT akan kehilangan
berbagai modal ekonomi dan budaya dari jaringan yang bersangkutan, yang pada akhirnya kondisi semacam ini dapat menghambat pergerakan dari kelompok
FORSPAT. Lebih lanjut pada modal simbolik kelompok FORSPAT sendiri dengan wujud
adanya stigma sebagai kelompok akademis tentunya untuk membangun jaringan dan kepercayaan, serta membuka ruang yang luas bagi kelompok FORSPAT untuk turut
serta dalam kajian-kajian budaya di Ulumanda. Dengan adanya stigma tersebut tentunya lebih memudahkan kelompok FORSPAT dalam mengumpulkan kepercayaan
dari masyarakat karena dianggap sebagai kelompok akademis dengan kemampuan serta kecerdasan yang relatif baik dalam penyelenggaraan kegiatan Temu Budaya dan
penggalangan dana bantuan dari pemerintah baik Pemerintah Desa maupun Pemerintah Kecamatan ataupun Pemerintah Kabupaten sebagai tambahan modal
ekonomi dalam aksi pergerakannya. Namun di sisi lain stigma tersebut jika tidak dijaga dengan baik pendayagunaannya tentunya justru dapat menghambat pergerakan
kelompok FORSPAT karena akan merendahkan dirinya sendiri karena kehilangan
commit to user
12
kepercayaan dari berbagai pihak yang menaruh kepercayaan dan keyakinan pada FORSPAT sebagai kelompok akademis berpendidikan. Dengan demikian maka
kelompok FORSPAT juga akan kehilangan salah satu sumber modal sosial dan modal ekonomi
dalam pergerakannya melestarikan Ada’ Tuho di Ulumanda. Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri dalam pergerakannya juga
memiliki modal budaya berupa pengetahuan terkait Ada’ Tuho yang diperoleh dari
keluarga, sekolah, dan lingkungan tempat tinggal lingkungan bermain para aktor serta masukan dari FORSPAT untuk pelaksanaan Ada’ Tuho yang lebih relevan.
Pengetahuan semacam ini memungkinkan dapat digunakan dalam membentuk habitus di berbagai ranah pada Ada’ Tuho serta menunjang pergerakannya dalam pelestarian
budaya Ada’ Tuho di Ulumanda karena para aktor dapat semakin memiliki bekal yang mendasar ketika melestarikan Ada’ Tuho melalui berbagai tindakan. Masukan dari
kelompok FORSPAT dalam kegiatan Temu Budaya Ada’ Tuho juga memungkinkan pengetahuan yang dimi
liki aktor seperti kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho menjadi semakin bertambah dan relevan dengan kondisi sosial masyarakat Ulumanda.
Namun di sisi lain, jika pengetahuan yang dimiliki tidak dibekali sikap keterbukaan dari yang bersangkutan tentunya akan sa
ngat menghambat pelestarian Ada’ Tuho karena dapat memunculkan perasaan yang kaku dan tidak mau menerima pendapat
baru dari pihak lain. Jika dibiarkan terus menerus maka pengetahuan ini akan berujung pada perasaan idealis yang salah dan menghambat adanya modal ekonomi
serta modal sosial dari kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dalam pergerakannya melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda.
Untuk modal ekonomi kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri berupa dana bantuan dari Pemerintah setempat, pakaian adat, dan pusaka adat yang
digunakan sebagai artefak budaya Ada’ Tuho yang diperoleh dari warisan keluarga untuk dipamerkan dan mendapat dana kompensasi. Hal ini menjadi modal ekonomi
karena terbukti beberapa artefak terkait Ada’ Tuho sesekali dipamerkan dan mendapat kompensasi berupa uang sebagai tambahan dana operasional pelaksanaan pelestarian
budaya Ada’ Tuho oleh kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho. Namun dengan adanya pendayagunaan tersebut secara berlebihan dan tidak disertai tanggung jawab
yang baik dari aktor bersangkutan maka akan menjadikan beberapa artefak tersebut justru nampak dikomoditikan sehingga melunturkan modal simbolik kelompok
Pemangku Adat Ada’ Tuho dan menghambat modal sosial mereka karena akan
commit to user
13
kehilangan rasa simpatik dari warga Ulumanda. Terlebih lagi dana bantuan dari Pemerintah Setempat juga jika tidak dikelola secara transparan maka akan dapat
menimbulkan kecemburuan dari aktor lain sehingga melunturkan modal sosial dalam pergerakannya untuk melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda.
Sement ara untuk modal sosial kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri
berupa solidaritas antar anggota, serta membangun jaringan baik dengan pemerintah setempat dalam hal perizinan, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, serta tokoh
masyarakat setempat. Modal tersebut dipandang juga mampu menambah kemampuan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dalam melestarikan budaya Ada’ Tuho di
Ulumanda. Dengan adanya solidaritas antar anggota kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri memungkinkan kelompok ini menjadi semakin kuat dalam integritasnya
dan eksistensinya karena setiap anggota akan dapat berperan tepat fungsi di bagian masing-
masing khususnya dalam penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho bersama dengan kelompok FORSPAT di Ulumanda dan mengembangkan diri sebagai
kelompok yang aktif dalam kajian studi perkotaan di Ulumanda dengan berbekal Ada’
Tuho sebagai bahan kajiannya. Di lain hal, berbagai jaringan yang dibangun dengan Pemerintah Setempat, Kelompok FORSPAT, dan beberapa tokoh masyarakat juga
memungkinkan mereka dapat lebih mendalam mendalami Ada’ Tuho untuk
diinternalisasikan kepada generasi muda di Ulumanda serta diwujudkan dalam berbagai pergerakan. Namun di sisi lain, solidaritas dan jaringan tersebut jika tidak
dijaga dengan baik maka dapat melunturkan kepercayaan kepada kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho tersebut sehingga mereka akan kehilangan berbagai
modal ekonomi dan simbolik dari jaringan yang bersangkutan, yang pada akhirnya kondisi semacam ini dapat menghambat pergerakan dari kelompok Pemangku Adat
Ada’ Tuho. Lebih
lanjut, untuk modal simbolik kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri berupa stigma sebagai kelompok ningrat, terpandang, dan terhormat. Modal ini
tentunya dapat untuk membangun jaringan dan kepercayaan dari masyarakat, serta membuka ruang untuk mengikuti berbagai kajian-kajian budaya di Ulumanda.
Dengan adanya stigma tersebut tentunya lebih memudahkan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dalam mengumpulkan kepercayaan dari masyarakat karena dianggap
sebagai kelompok terpandang dengan kemampuan serta pemahaman dan kapasitasnya yang dominan dalam keikutsertaan di kegiatan Temu Budaya dan penggalangan dana
commit to user
14
bantuan dari pemerintah baik Pemerintah Desa maupun Pemerintah Kecamatan ataupun Pemerintah Kabupaten sebagai tambahan modal ekonomi dan modal budaya
dalam aksi pergerakannya. Namun di sisi lain stigma tersebut jika tidak dijaga dengan baik pendayagunaannya tentunya justru dapat menghambat pergerakan kelompok
Pemangku Adat Ada’ Tuho karena akan merendahkan dirinya sendiri karena kehilangan kepercayaan dari berbagai pihak yang menaruh kepercayaan dan
keyakinan pada kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sebagai kelompok terpandang di Ulumanda. Dengan demikian maka kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho juga
akan kehilangan salah satu sumber modal sosial dan modal ekonomi dalam pergerakannya melestarikan Ada’ Tuho di Ulumanda, bahkan berpengaruh juga pada
modal sosial yang sudah mereka bangun. Sedangkan untuk Kelompok Pamaretta sendiri memiliki modal budaya berupa
Berupa pengetahuan Ada’ Tuho yang diperoleh dari lingkungan keluarga, buku-buku, serta lingkungan kerja aktor sebagai Pamaretta di Ulumanda yang tentunya dapat
menjadi modal utama Pamaretta dalam beradaptasi dengan dinamika Ada’ Tuho di Ulumanda. Sedangkan modal ekonomi berupa bantuan dana yang diperoleh dari
Pemerintah Propinsi dan pihak-pihak lain untuk dialokasikan kepada Pemangku Adat dan operasional lainnya tentunya sangat dapat membantu berbagai kegiatan terkait
pelestarian Ada’ Tuho di Ulumanda. sementara itu, untuk modal sosial berupa solidaritas serta jaringan yang baik dengan aktor lain seperti Pemangku Adat dan
kelompok FORSPAT juga sangat mendukung Pamaretta dalam menjalankan fungsinya sebagai aktor yang berkontribusi dalam pelestarian Ada’ Tuho. Lebih
lanjut, untuk modal simbolik berupa stigma sebagai kelompok terhormat dalam upacara adat yang diposisikan sebagai tamu yang wajib diundang, dapat untuk
membangun kepercayaan dan relasi. Namun terlepas dari keberfungsiannya, berbagai modal tersebut juga dapat menghambat pelestarian Ada’ Tuho jika berbagai modal
tersebut tidak disertai dengan pemaknaan serta tanggungjawab yang baik dari aktor Pamaretta.
3. Proses Reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan Ulumanda