Reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan Ulumanda Kabupaten Majene Propinsi Sulawesi Barat JURNAL

(1)

commit to user

REPRODUKSI ADA’ TUHO DI KECAMATAN ULUMANDA, KABUPATEN MAJENE, PROPINSI SULAWESI BARAT

Muhammad Irfan Program Studi Sosiologi

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Dosen Pembimbing:

Dr. Argyo Demartoto, M.Si. Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si.

Abstrak

Muhammad IrfanS251408008, “Reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan Ulumanda,

Kabupaten Majene, Propinsi Sulawesi Barat” Tesis, Program Studi Sosiologi, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Ada’ Tuho sebagai salah satu bentuk aturan adat yang ada di Kecamatan Ulumanda dalam pelaksanaannya banyak diabaikan oleh sebagian besar masyarakat, namun beberapa aktor seperti kelompok Forum Studi Pengembangan Ada’ Tuho (FORSPAT), kelompok

Pemangku Adat Ada’ Tuho, dan kelompok Pamaretta berupaya melestarikan kembali

melalui reproduksiAda’ Tuho. Penelitian ini bertujuan menganalisis reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan Ulumanda dengan teori Pierre Bourdieu dengan habitus, modal, ranah dan praktik sebagai komponen teoritisnya.

Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal. Data bersumber dari informasi yang diperoleh langsung dari informan, studi pustaka, dokumen tertulis, arsip dan data visual. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih secara snowball. Validitas data menggunakan triangulasi sumber. Data dianalisis dengan analisis model interaktif melalui reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan Ulumanda terdapat hubungan antara aktor dan struktur yang dijelaskan melalui habitus, modal, dan arena untuk menggambarkan perjuangan aktor dalam memperoleh posisi pada ruang sosial. Arena Ada’ Tuhodi dalamnya terdapat empat ranah yaitu pernikahan, pertanian, upacara kematian, dan aturan hukum kemanusiaan. Para aktor yang terdiri dari kelompok

FORSPAT, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dan kelompok Pamaretta dalam

aktivitasnya membentuk berbagai habitus. Kelompok FORSPAT membentuk habitus monitoring, habitus sosialisasi, habitus evaluasi, dan habitus aksi. Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho membentuk habitus massoro, habitusSumemba’, habitus saputanga barata, dan habitus Mambicarai. Kelopok Pamaretta membentuk habitus Tosule, habitus monitoring dan habitus Mambicarai. Dengan modal berupa modal ekonomi, modal budaya, modal simbolik, dan modal sosial para aktor tersebut mereproduksi Ada’ Tuho dalam berbagai bentuk pelaksanaan tradisi Ada’ Tuho di ranah pernikahan, pertanian, upacara kematian, dan aturan hukum kemanusiaan. Berbagai modal tersebut tentunya dapat mendukung serta dapat juga

menghambat pelestarianAda’ Tuho di Ulumanda.


(2)

commit to user

Muhammad Irfan, S251408008, “The Reproduction of Ada’ Tuho in Ulumanda District,

Majene Regency, West Sulawesi Province”. THESIS. Supervisor I Dr. Argyo Demartoto, M.Sc.; Supervisor II Dr. Drajat Tri Kartono, M.Sc.; Sociology Study Program, Postgraduate Program, Sebelas Maret University of Surakarta.

ABSTRACT

Muhammad Irfan, S251408008, “THE REPRODUCTION OF ADA’ TUHO IN

ULUMANDA DISTRICT, MAJENE REGENCY, WEST SULAWESI PROVINCE”. Thesis. Sociology Study Program, Postgraduate Program, Sebelas Maret University of Surakarta.

Ada’ Tuho is one of customs rules form in the Ulumanda District in which the

implementation has been largely ignored by most peoples, but some actors such as the groups of Forum Studi Pengembangan Ada’ Tuho (FORSPAT), Pemangku Adat Ada’ Tuho, and

Pamaretta were attempted to preserved through reproduction of Ada’ Tuho. This study was

aimed to analyze the reproduction of Ada’ Tuho in Ulumanda District in accordance to the Pierre Bourdieu’s theory to review habitus, capital, and the domain and practice as the theoretical components.

This study is a single case study. Data were sourced from information which directly obtained from the informants, literature, writing documents, archives and visual data. The collecting data techniques were used interviews, observation, and documentation. The informants were selected by snowball. The data validity was used triangulation. Data analyzing technique was used interactive model analysis through data reduction, data presentation, drawing conclusions, and verification.

The study results were showed that in the reproduction of Ada‘ Tuho in Ulumanda District there are relationship between the actors and the structures described by habitus, capital, and an arena for described the actors’ struggle in obtaining a position in the social space. Ada’ Tuho Arena is in four domains, namely marriage, farming, funerals ceremony,

and humanitarian law. The actors are comprising groups of FORSPAT, Pemangku AdatAda’

Tuho and Pamaretta which in their activities formed various habitus. FORSPAT were formed

habitus of monitoring, socialization, evaluation, and action. The group of Pemangku Adat

Ada’ Tuho was formed habitus of massoro, sumemba’, saputanga barata, and Mambicarai.

Group of Pamaretta was formed hahitus of Tosule, monitoring and Mambicarai with capital in the form of economic, cultural, symbolic, and social capitals. The actors was reproduced

the Ada’ Tuho in various forms of Ada’ Tuho implementation in the domains of marriage,

farming, funerals ceremony, and humanitarian law. The various capitals were supported, but also can be inhibiting cultural preservation ofAda’ Tuhoin Ulumanda district.


(3)

commit to user A. Pendahuluan

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah masyarakat multikultural. Masyarakat sendiri dikenal sebagai kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya yang berfikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu, maka konsep masyarakat tersebut bila digabungkan dengan multikultural memiliki makna sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain (Nuraeni dan Alfan, 2012: 19). Melihat kekayaan warisan budaya di Indonesia tersebut, salah satu literasi yang membahas hal tersebut misalnya penelitian yang dilakukan oleh Shubuha Pilar Naredia (2015) dengan judul Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta dengan menggunakan desain studi kasus tunggal yang bertujuan menggambarkan tentang Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen melalui teori Produksi Kultural Pierre Bourdieu. Bahwa Kampung Seni dipandang sebagai Arena dalam Produksi Kultural di Kampung Bumen, di dalamnya terdapat beberapa aktor seperti kelompok Purba Budoyo, Purba Makuta, dan Purba Swara yang berada dalam ranah seni tradisional serta dalam pergerakan seninya membangun berbagai habitus disertai dengan berbagai modal yang memungkinkan sebagai dimensi pendorong maupun dimensi penghambat dalam pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen.

Salah satu adat istiadat di Indonesia yang mendukung keanekaragaman budaya

dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Ada’ Tuho yang ada

di Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene, Propinsi Sulawesi Barat. Ada’ Tuho adalah

produk kebudayaan yang lahir atas prakarsa daya cipta dan kreativitas manusia serta menjadi ketetapan aturan masyarakat lokal di Kecamatan Ulumanda yang mengikat para aktor di dalamnya sehingga mampu menjadi spirit dalam memberikan kontrol terhadap aspek kehidupan sosial yang keberadaannya dirasakan masyarakat sebagai payung kehidupan untuk memberi perlindungan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakat

Ulumanda. Aturan hukum dalamAda’ Tuhoterdiri dari Sakka Pambojanga yang memuat

aturan pernikahan, kemudian Sakka Pariama yang memuat aturan pertanian atau bercocok tanam, adapula Panda Tomate yang memuat aturan tata cara kematian, dan yang terakhir


(4)

commit to user

ialah Reppoang Ulu Rendengang Tallottong yang memuat aturan kemanusiaan (Amin, 2014: 31).

Seiring berjalannya waktu keempat aturan tersebut sudah mulai berubah pada praktiknya, terjadinya berbagai perubahan yang ada pada aturan dalam Ada’ Tuho

disebabkan berbagai faktor yang menyertainya. Berbagai faktor yang menyertai perubahan

pada Ada’ Tuho memungkinkan dapat dianalisa sebagai kategori faktor pendorong dan

juga penghambat bagi perubahan aturan hukum dalam Ada’ Tuho sendiri. Berdasarkan

uraian di atas, menunjukkan bahwa Ada’ Tuho dalam hal pelaksanaanya kurang

memperhatikan prinsip-prinsip dasar Ada’ Tuhosendiri dan kemudian mulai direproduksi

dalam bentuk lain oleh masyarakat Ulumanda dengan berbagai praktik lain. Maka, penelitian ini mengkaji reproduksi Ada’ Tuho yang menggunakan teori Praktik Sosial milik Pierre Bourdieu dengan habitus, modal, serta ranah sebagai skema analitiknya. B. Deskripsi Lokasi dan Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal yang dilakukan di Desa Tandeallo Kecamatan Ulumanda Kabupaten Majene. Data bersumber dari informasi yang diperoleh langsung dari informan, studi pustaka, dokumen tertulis, arsip dan data visual. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih secara snowball. Validitas data menggunakan triangulasi sumber. Data dianalisis dengan analisis model interaktif melalui reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

C. Hasil dan Pembahasan

1. Reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan Ulumanda

Aktor dalam reproduksi Ada’ Tuho terdiri dari kelompok FORSPAT (Forum Studi Pengembangan Ada’ Tuho), kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, dan Kelompok Pamaretta. Melalui ranah pernikahan, pertanian, upacara kematian, dan pelaksanaan hukum dalam hal kemanusiaan, para aktor membentuk habitus masing-masing di ranah tersebut. Kelompok FORSPAT dalam pergerakannya membentuk habitus monitoring sebagai seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai bentuk reaktif pada aktivitas monitoring oleh aktor yang bersangkutan. Habitus ini digunakan oleh kelompok FORSPAT dalam memonitoring segala bentuk pelaksanaan terkait praktik Ada’ Tuho di wilayah Ulumanda yang dilakukan oleh masyarakat umum atas dasar penetapan dari kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho. Dimana ketika ada penyimpangan maka kelompok FORSPAT akan membawanya


(5)

commit to user

untuk dibicarakan dalam acara Temu Budaya Ada’ Tuho yang dihadiri oleh kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, perwakilan tokoh masyarakat setempat, dan tentunya kelompok FORSPAT sendiri sebagai panitia pelaksana kegiatan Temu Budaya. Apabila dalam kegiatan Temu Budaya menghasilkan beberapa catatan terkait pelaksanaan budaya Ada’ Tuho di tengah masyarakat ataupun penetapan dari kelompok Pemangku Adat terkait penyelenggaraan Ada’ Tuho, maka selanjutnya habitus evaluasi (seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai bentuk reaktif pada aktivitas evaluasi oleh aktor yang bersangkutan) dibentuk oleh kelompok FORSPAT untuk melakukan evaluasi terkait pelaksanaan ketetapan dari kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho. Selanjutnya kelompok FORSPAT juga membentuk habitus sosialisasi (seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai bentuk reaktif pada aktivitas sosialisasi oleh aktor yang bersangkutan) untuk melakukan sosialisasi kepada berbagai pihak. Sosialisasi sangat dimungkinkan didukung dengan habitus yang menyertainya karena terbukti mampu lebih meningkatkan apresiasi dan mempengaruhi tindakan orang lain agar dapat turut serta ke dalam tujuan yang hendak disosialisasikan oleh kelompok FORSPAT. Selanjutnya kelompok FORSPAT juga membangun habitus aksi (seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai bentuk reaktif melalui kegiatan berupa aksi tindakan oleh aktor yang bersangkutan) untuk tindak lanjut realisasi dari berbagai ketetapan hasil kegiatan Temu Budaya Ada’ Tuho.

Sedangkan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri membangun habitus

massoro (seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai

bentuk reaktif pada tindakan penyerahan mahar pernikahan dan pembukaan pembicaraan pada prosesi pernikahan) dalam menjalani aktivitasnya sebagai panitia pelaksana upacara pernikahan warga Ulumanda mulai dari prosesi awal pemilihan mahar, pembukaan acara pernikahan, menikahkan mempelai, hingga perayaan

syukuran keluarga para warga yang menikah. Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho

juga membentuk habitus sumemba’ yaitu seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai bentuk reaktif pada tindakan dalam pengelolaan

pengolahan lahan pertanian. Para aktor Pemangku Adat Ada’ Tuho juga membentuk

habitus Saputanga Barata yaitu seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai bentuk reaktif pada prosesi kematian di Ulumanda berwujud kain kafan yang diikatkan ke kepala sebagai bentuk simbol berduka. Pemangku Adat


(6)

commit to user

Ada’ Tuho juga membangun habitus mambicarai sebagai seperangkat aturan yang

tersusun dalam pengetahuan yang dimanifestasikan dalam tindakan seorang aktor terkait cara penyelesaian perkara masalah hidup yang terjadi di wilayah Ulumanda.

Sedangkan untuk Kelompok Pamaretta, aktor ini membangun Habitus Tosule yakni Seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai bentuk reaktif dalam bertamu. Kemudian juga aktor yaitu Pamaretta juga membangun Habitus Monitoring sebagai Seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai bentuk reaktif pada aktivitas monitoring oleh aktor yang bersangkutan. Lebih lanjut, kelompok Pamaretta juga membentuk Habitus Mambicarai sebagai Seperangkat aturan yang tersusun dalam pengetahuan yang dimanifestasikan dalam menyelesaian perkara.

Selain habitus, para aktor juga diiringi berbagai modal dalam pergerakannya untuk melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda. Aktor FORSPAT memiliki modal budaya berupa pengetahuan terkait Ada’ Tuho yang diperoleh dari keluarga, sekolah, dan lingkungan tempat tinggal (lingkungan bermain) para aktor anggota FORSPAT. Modal budaya lain yaitu naskah/buku-buku tentang Ada’ Tuho dari berbagai pihak. Selain modal budaya, terdapat pula modal ekonomi berupa tenda pertemuan Temu Budaya Ada’ Tuho dengan sistem sewa tenda, dana dari pemerintah setempat, dan fasilitas sound system dari bantuan pihak lain untuk penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho agar dapat lebih memudahkan pendokumentasian recording. Adapula modal sosial dengan wujud solidaritas antar anggota dalam pelestarian Ada’ Tuho dan Temu Budaya Ada’ Tuho serta membangun berbagai jaringan yang baik dengan pemerintah setempat dalam hal perizinan, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, serta tokoh masyarakat.Modal lain yaitu modal simbolik dengan bentuk stigma sebagai kelompok akademis yang dapat dimanfaatkan membangun jaringan dan kepercayaan menyelenggarakan Temu Budaya Ada’ Tuho. Modal ini juga dapat membuka ruang yang luas FORSPAT ikut serta dalam kajian-kajian budaya di Ulumanda. Berbagai modal tersebut semuanya saling mempengaruhi satu sama lain karena terbukti sebagai embrio munculnya satu modal dengan modal yang lain dan dapat dipergunakan dalam pelestarian budaya Ada’ Tuho di Ulumanda melalui reproduksi Ada’ Tuhu di berbagai ranahnya.

Sedangkan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri memiliki modal budaya berupa pengetahuan terkait Ada’ Tuho yang diperoleh dari keluarga, sekolah,


(7)

commit to user

dan lingkungan tempat tinggal (lingkungan bermain) para aktor kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dan masukan dari FORSPAT untuk pelaksanaan Ada’ Tuho yang lebih relevan. Untuk modal ekonominya, berupa dana bantuan yang didapat dari Pemerintah setempat yang menjadi tempat penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho. Hal lain juga berupa pakaian adat dan pusaka adat yang digunakan sebagai artefak budaya Ada’ Tuho yang diperoleh dari warisan keluarga untuk dipamerkan dan mendapat dana kompensasi. Modal lain seperti modal sosial juga dimiliki para aktor Pemangku Adat Ada’ Tuho berupa solidaritas antar anggota dalam pelestarian Ada’ Tuho dan Temu Budaya Ada’ Tuho serta membangun berbagai jaringan yang baik dengan pemerintah setempat dalam hal perizinan, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, serta tokoh masyarakat setempat. Untuk modal simboliknya, Pemangku Adat Ada’ Tuho diwujudkan berupa stigma sebagai kelompok ningrat, terpandang, dan terhormat yang dimanfaatkan membangun jaringan dan kepercayaan dari masyarakat untuk ikut serta dalam Temu Budaya Ada’ Tuho. Modal ini juga dapat membuka ruang yang luas dalam mengikuti berbagai kajian-kajian budaya di Ulumanda.

Sedangkan pada kelompokPamaretta, modal budaya berupa pengetahuan Ada’

Tuho dari lingkungan keluarga dan lingkungan kerja yang memposisikannya sebagai Pamaretta. Untuk modal ekonomi sendiri pada kelompok ini Berupa bantuan dana dari Pemerintah Kabupaten ataupun juga Pemerintah Propinsi yang dialokasikan untuk dana operasional bantuan kepada Pemangku Adat. Pada identifikasi modal sosial sendiri kelompok Pamaretta diwujudkan dengan modal berupa Berupa solidaritas dan jaringan baik dengan FORSPAT, Pemangku Adat, serta Pemerintah Propinsi dalam mengkomunikasikan peran masing-masing aktor. Lebih lanjut untuk modal simbolik kelompok Pamaretta Berupa stigma sebagai golongan terhormat yang sejajar dengan Pemangku Adat Ada’ Tuho untuk dipercaya aktor lain dan masyarakat lokal.

Adapun ranah dalam Ada’ Tuho yang menjadi ruang para aktor baik

FORSPAT maupun kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dalam melakukan reproduksi dan pelestarian budaya terkait Ada’ Tuho di Ulumanda terbagi ke dalam

empat ranah yakni: Sakka Pambojanga (aturan dalam hal pernikahan), Sakka

Pariama (aturan dalam hal pertanian atau bercocok tanam), Panda’ Tomate (aturan


(8)

commit to user

dalam hal kemanusiaan). Dalam Sakka Pambojanga (aturan dalam hal pernikahan) sendiri terdapat ritual Passoro yang identik dengan marrende tedong (menggiring kerbau) namun seiring dengan punahnya kerbau (tedong), maka marrende tedong telah berubah ritual dengan istilah massoro pa’tedonga atau massoro. Kerbau dapat diganti dengan kerbau yang bernilai atau berharga sama dengan kerbau yang sesungguhnya. Selanjutnya terdapat pula ritual Mesa Kati (seperangkat alat-alat/barang) yang wajib diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

Sedangkan di ranah Sakka Pariama (aturan dalam hal pertanian atau bercocok tanam) terdapat tradisi Makatte’ sebagai ritual memulai panen padi di ladang. Cara panen padi ladang di Ulumanda yang lazim dengan menggunakan rappakang, alat kecil dari besi yang dapat memotong dengan cepat. Adapula tradisi Makkaringngii yaitu ritual upacara adat untuk memulai mengkonsumsi hasil panen dan diakhiri

Mattuju’ yaitu sebuah ritual akhir dari panen padi ladang dan disertai pula adanya

tradisi Mappadiloko, menyimpan hasil panen padi di lumbung.

Untuk ranahPanda’ Tomate(aturan dalam hal upacara kematian), Panda’

Tomate diselenggarakan oleh para pegawai Sara’ dan Sando dari Pemangku Adat di

bidang hukum dan keagamaan serta harus sepengetahuan Tomakaka. Selanjutnya terdapat beberapa perangkat yang harus melekat dalam pelaksanaan ritual ini, antara lain: pa’balla, pa’dingi, la’la, dan ula-ula. Beberapa perangkat tersebut menjadi tradisi yang beberapa di antaranya masih dipertahankan hingga sekarang meskipun dalam bentuk yang lain. Sedangkan pada ranah Reppoang Ulu Rendengang Tallottong (aturan dalam hal kemanusiaan) sendiri di dalamnya memuat penyelesaian perkara terhadap hukum adat sesuai dengan putusan hukum adat yang disebut Parrendenga

Tedo atau Mangakka’ Kasalaa (terdapat sanksi/denda). Selanjutnya ranah ini juga

memungkinkan para aktor yang berkepentingan menyelesaikan perkara dengan

Mattera’ Lita’ Ada’ Simemanganna Ada’ Tuho di Ulumanda (melakukan

persembahan kurban kepada alam).

Lebih lanjut dalam berbagai ranah di atas, para aktor seperti FORSPAT, kelompok Pemangku Adat dan pamaretta melakukan reproduksi budaya. Berbagai reproduksi budaya tersebut sebagai bentuk pelestarian budaya Ada’ Tuho di Ulumanda. Pada ranah Sakka Pambojanga (aturan dalam hal pernikahan), kelompok

FORSPAT, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dan pamaretta melakukan


(9)

commit to user

boleh melebihi dari Rp. 1.000.000,-, kemudian hiburan / pertunjukkan pada upacara pesta pernikahan dengan iringan kecapi berubah dengan adanya grup musik atau minimal solo keyboard, kemudian undangan pernikahan yang disiarkan melalui sound atau khutbah di masjid serta dengan cara datang dari rumah ke rumah warga sekarang dilakukan dengan undangan tertulis, dan mempelai yang hendak menikah dinikahkan oleh penghulu dari KUA dan Pemangku Adat hanya bertindak sebagai saksi ataupun tamu kehormatan. Sedangkan dalam ranah Sakka Pariama (aturan dalam hal pertanian

atau bercocok tanam) kelompok FORSPAT dan kelompok Pemangku Adat Ada’

Tuho melakukan reproduksi budaya yaitu adanya perubahan lahan pertanian dari kebun ke sawah, peralihan gotong royong dan tolong menolong dilakukan dengan sistem pemilik lahan dan buruh tani, ada juga penggunaan sarana ataupun alat pertanian yang lebih modern disertai aturan bertani yang mulai ditentukan secara subjektif antara pemilik lahan dan buruh tani. Untuk ranah Panda’ Tomate (aturan

dalam hal upacara kematian) sendiri, para aktor yang bersangkutan juga melakukan reproduksi budaya berupa atribut kepala yang dikenakan oleh kelompok Pemangku Adat berupa kain kafan berubah menjadi peci (kopiah), aturan hewan kurban untuk sedekah tidak lagi sapi tetapi ayam, upacara pemakaman jenazah sudah dapat dilakukan langsung tidak lagi ditunda-tunda. Bahkan dalam ranah Reppoang Ulu

Rendengang Tallottong (aturan dalam hal kemanusiaan), aktor kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri melakukan reproduksi budaya berupa penanganan kasus di tingkat dewan adat jika tidak menemui kesepakatan akan langsung dilimpahkan kepada pihak kepolisian dan kejaksaan.

2. Dimensi Pendukung dan Dimensi Penghambat dalam Reproduksi Ada’ Tuho Reproduksi Ada’ Tuho tentunya didukung oleh berbagai modal di dalamnya. Adapun modal tersebut yaitu modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, serta modal simbolik. Modal dalamreproduksi Ada’ Tuho dapat dianalisis menjadi dimensi pendukung bahkan juga dapat menjadi dimensi penghambat bagi pelestarian budaya Ada’ Tuho di Ulumanda. Modal budaya kelompok FORSPAT berupa pengetahuan terkait Ada’ Tuho yang diperoleh dari keluarga, sekolah, dan lingkungan tempat tinggal (lingkungan bermain), serta naskah/buku-buku tentang Ada’ Tuho dari berbagai pihak tentunya sangat mendukung bagi pelestarian budaya Ada’ Tuho. Hal ini dikarenakan para aktor akan semakin kuat pondasi pengetahuan serta pembangunan habitus terkait dari padanya untuk selalu menjaga pelestarian budaya


(10)

commit to user

Ada’ Tuho terutama bagi generasi muda agar semakin bangga dang tidak canggung dengan budaya Ada’ Tuho yang ada di sekitar mereka. Namun hal ini jika dipahami secara sempit dan kaku oleh generasi muda dan generasi tua yang memberikan pengetahuan tersebut akan menjadi ancaman tersendiri karena dapat memicu kerenggangan anatar generasi karena mereka memiliki pengetahuan yang kaku dan tidak mau menerima perubahan yang terjadi di Ulumanda akibat adanya modernisasi di sekitar mereka.

Sementara pada modal ekonomi, tenda pertemuan Temu Budaya Ada’ Tuho dari sistem sewa yang diperoleh kelompok FORSPAT serta dukungan dana dari pemerintah setempat dan fasilitas sound system dari bantuan berbagai pihak lain untuk dana operasional kelompok FORSPAT juga memungkinkan dapat mendukung pergerakan kelompok FORSPAT dalam upaya pelestarian budaya Ada’ Tuho. Hal ini dikarenakan karena dengan adanya dana tersebut, kelompok FORSPAT semakin terdukung aktivitasnya di berbagai kegiatan, bahkan dengan adanya dana dan penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho yang rutin tersebut memungkinkan sebagai bentuk eksistensi Ada’ Tuho di Ulumanda yang tetap dipelihara. Dengan adanya kegiatan tersebut paling tidak dapat sebagai pembuktian konsistensi dari kelompok FORSPAT untuk mengupayakan kembali pengenalan Ada’ Tuho bagi generasi muda yang sudah semakin kurang mengenal adanya Ada’ Tuho di Ulumanda. Namun di sisi lain, modal ini dapat mengancam pelestarian budaya Ada’ Tuho karena memungkinkan di dalamnya terjadi penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi, maka kondisi ini memang sangat membutuhkan pengelolaan dan transparansi dari aktor yang bersangkutan. Dengan adanya berbagai bantuan dana tersebut juga memungkinkan kelompok FORSPAT semakin dimanjakan dan kurang mandiri dalam pergerakannya, sehingga ketika dana tersebut mulai dihentikan atau mengalami keterlambatan untuk diberikan akan mempengaruhi pergerakan kelompok FORSPAT yang menjadi terhambat. Bahkan acara Temu Budaya Ada’ Tuho yang ada di Ulumanda tersebut juga lambat laun akan mulai dinilai membosankan karena hanya diisi dengan diskusi dan pembicaraan dengan fokus yang selalu sama, maka hendaknya kegiatan ini dapat ditingkatkan variasi acaranya agar masyarakat tidak bosan. Beberapa kali pertemuan Temu Budaya yang sudah dilakukan menunjukkan animo masyarakat masih tingggi, namun jika lokasi Temu Budaya berpusat pada beberapa desa tertentu saja sangat memungkinkan masyarakat desa lain yang jarak


(11)

commit to user

wilayahnya jauh akan mulai merasakan keluhan yang berujung pada ketidakhadiran dalam acara tersebut.

Sedangkan untuk modal sosial kelompok FORSPAT sendiri berupa solidaritas anggota dan jaringan yang baik dengan pemerintah setempat dalam hal perizinan,

kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, serta tokoh masyarakat juga mampu

menambah kemampuan kelompok FORSPAT dalam melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda. Dengan adanya solidaritas antar anggota FORSPAT sendiri memungkinkan kelompok ini menjadi semakin kuat dalam integritasnya dan eksistensinya karena setiap anggota akan dapat berperan tepat fungsi di bagian

masing-masing khususnya dalam penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho di

Ulumanda dan mengembangkan diri sebagai kelompok yang aktif dalam kajian studi perkotaan di Ulumanda dengan berbekal Ada’ Tuho sebagai bahan kajiannya. Di lain hal, berbagai jaringan yang dibangun dengan Pemerintah Setempat, Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, dan beberapa tokoh masyarakat juga memungkinkan mereka dapat lebih mendalam mendalami Ada’ Tuho untuk dilestarikan serta diwujudkan dalam berbagai pergerakannya. Namun di sisi lain, solidaritas dan jaringan tersebut jika tidak dijaga dengan baik maka dapat melunturkan kepercayaan kepada kelompok FORSPAT tersebut sehingga kelompok FORSPAT akan kehilangan berbagai modal ekonomi dan budaya dari jaringan yang bersangkutan, yang pada akhirnya kondisi semacam ini dapat menghambat pergerakan dari kelompok FORSPAT.

Lebih lanjut pada modal simbolik kelompok FORSPAT sendiri dengan wujud adanya stigma sebagai kelompok akademis tentunya untuk membangun jaringan dan kepercayaan, serta membuka ruang yang luas bagi kelompok FORSPAT untuk turut serta dalam kajian-kajian budaya di Ulumanda. Dengan adanya stigma tersebut tentunya lebih memudahkan kelompok FORSPAT dalam mengumpulkan kepercayaan dari masyarakat karena dianggap sebagai kelompok akademis dengan kemampuan serta kecerdasan yang relatif baik dalam penyelenggaraan kegiatan Temu Budaya dan penggalangan dana bantuan dari pemerintah baik Pemerintah Desa maupun Pemerintah Kecamatan ataupun Pemerintah Kabupaten sebagai tambahan modal ekonomi dalam aksi pergerakannya. Namun di sisi lain stigma tersebut jika tidak dijaga dengan baik pendayagunaannya tentunya justru dapat menghambat pergerakan kelompok FORSPAT karena akan merendahkan dirinya sendiri karena kehilangan


(12)

commit to user

kepercayaan dari berbagai pihak yang menaruh kepercayaan dan keyakinan pada FORSPAT sebagai kelompok akademis (berpendidikan). Dengan demikian maka kelompok FORSPAT juga akan kehilangan salah satu sumber modal sosial dan modal

ekonomidalam pergerakannya melestarikan Ada’ Tuho di Ulumanda.

Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri dalam pergerakannya juga memiliki modal budaya berupa pengetahuan terkait Ada’ Tuho yang diperoleh dari keluarga, sekolah, dan lingkungan tempat tinggal (lingkungan bermain) para aktor serta masukan dari FORSPAT untuk pelaksanaan Ada’ Tuho yang lebih relevan. Pengetahuan semacam ini memungkinkan dapat digunakan dalam membentuk habitus di berbagai ranah pada Ada’ Tuho serta menunjang pergerakannya dalam pelestarian budaya Ada’ Tuho di Ulumanda karena para aktor dapat semakin memiliki bekal yang mendasar ketika melestarikan Ada’ Tuho melalui berbagai tindakan. Masukan dari kelompok FORSPAT dalam kegiatan Temu Budaya Ada’ Tuho juga memungkinkan pengetahuan yang dimiliki aktor seperti kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho menjadi semakin bertambah dan relevan dengan kondisi sosial masyarakat Ulumanda. Namun di sisi lain, jika pengetahuan yang dimiliki tidak dibekali sikap keterbukaan dari yang bersangkutan tentunya akan sangat menghambat pelestarian Ada’ Tuho karena dapat memunculkan perasaan yang kaku dan tidak mau menerima pendapat baru dari pihak lain. Jika dibiarkan terus menerus maka pengetahuan ini akan berujung pada perasaan idealis yang salah dan menghambat adanya modal ekonomi serta modal sosial dari kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dalam pergerakannya melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda.

Untuk modal ekonomi kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri berupa dana bantuan dari Pemerintah setempat, pakaian adat, dan pusaka adat yang digunakan sebagai artefak budaya Ada’ Tuho yang diperoleh dari warisan keluarga untuk dipamerkan dan mendapat dana kompensasi. Hal ini menjadi modal ekonomi karena terbukti beberapa artefak terkait Ada’ Tuho sesekali dipamerkan dan mendapat kompensasi berupa uang sebagai tambahan dana operasional pelaksanaan pelestarian budaya Ada’ Tuho oleh kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho. Namun dengan adanya pendayagunaan tersebut secara berlebihan dan tidak disertai tanggung jawab yang baik dari aktor bersangkutan maka akan menjadikan beberapa artefak tersebut justru nampak dikomoditikan sehingga melunturkan modal simbolik kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dan menghambat modal sosial mereka karena akan


(13)

commit to user

kehilangan rasa simpatik dari warga Ulumanda. Terlebih lagi dana bantuan dari Pemerintah Setempat juga jika tidak dikelola secara transparan maka akan dapat menimbulkan kecemburuan dari aktor lain sehingga melunturkan modal sosial dalam pergerakannya untuk melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda.

Sementara untuk modal sosial kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri berupa solidaritas antar anggota, serta membangun jaringan baik dengan pemerintah setempat dalam hal perizinan, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, serta tokoh masyarakat setempat. Modal tersebut dipandang juga mampu menambah kemampuan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dalam melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda. Dengan adanya solidaritas antar anggota kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri memungkinkan kelompok ini menjadi semakin kuat dalam integritasnya dan eksistensinya karena setiap anggota akan dapat berperan tepat fungsi di bagian

masing-masing khususnya dalam penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho bersama

dengan kelompok FORSPAT di Ulumanda dan mengembangkan diri sebagai kelompok yangaktif dalam kajian studi perkotaan di Ulumanda dengan berbekal Ada’ Tuho sebagai bahan kajiannya. Di lain hal, berbagai jaringan yang dibangun dengan Pemerintah Setempat, Kelompok FORSPAT, dan beberapa tokoh masyarakat juga

memungkinkan mereka dapat lebih mendalam mendalami Ada’ Tuho untuk

diinternalisasikan kepada generasi muda di Ulumanda serta diwujudkan dalam berbagai pergerakan. Namun di sisi lain, solidaritas dan jaringan tersebut jika tidak dijaga dengan baik maka dapat melunturkan kepercayaan kepada kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho tersebut sehingga mereka akan kehilangan berbagai modal ekonomi dan simbolik dari jaringan yang bersangkutan, yang pada akhirnya kondisi semacam ini dapat menghambat pergerakan dari kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho.

Lebih lanjut, untuk modal simbolik kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri berupa stigma sebagai kelompok ningrat, terpandang, dan terhormat. Modal ini tentunya dapat untuk membangun jaringan dan kepercayaan dari masyarakat, serta membuka ruang untuk mengikuti berbagai kajian-kajian budaya di Ulumanda. Dengan adanya stigma tersebut tentunya lebih memudahkan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dalam mengumpulkan kepercayaan dari masyarakat karena dianggap sebagai kelompok terpandang dengan kemampuan serta pemahaman dan kapasitasnya yang dominan dalam keikutsertaan di kegiatan Temu Budaya dan penggalangan dana


(14)

commit to user

bantuan dari pemerintah baik Pemerintah Desa maupun Pemerintah Kecamatan ataupun Pemerintah Kabupaten sebagai tambahan modal ekonomi dan modal budaya dalam aksi pergerakannya. Namun di sisi lain stigma tersebut jika tidak dijaga dengan baik pendayagunaannya tentunya justru dapat menghambat pergerakan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho karena akan merendahkan dirinya sendiri karena kehilangan kepercayaan dari berbagai pihak yang menaruh kepercayaan dan keyakinan pada kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sebagai kelompok terpandang di Ulumanda. Dengan demikian maka kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho juga akan kehilangan salah satu sumber modal sosial dan modal ekonomi dalam pergerakannya melestarikan Ada’ Tuho di Ulumanda, bahkan berpengaruh juga pada modal sosial yang sudah mereka bangun.

Sedangkan untuk Kelompok Pamaretta sendiri memiliki modal budaya berupa Berupa pengetahuan Ada’ Tuho yang diperoleh dari lingkungan keluarga, buku-buku, serta lingkungan kerja aktor sebagai Pamaretta di Ulumanda yang tentunya dapat menjadi modal utama Pamaretta dalam beradaptasi dengan dinamika Ada’ Tuho di Ulumanda. Sedangkan modal ekonomi berupa bantuan dana yang diperoleh dari Pemerintah Propinsi dan pihak-pihak lain untuk dialokasikan kepada Pemangku Adat dan operasional lainnya tentunya sangat dapat membantu berbagai kegiatan terkait pelestarian Ada’ Tuho di Ulumanda. sementara itu, untuk modal sosial berupa solidaritas serta jaringan yang baik dengan aktor lain seperti Pemangku Adat dan kelompok FORSPAT juga sangat mendukung Pamaretta dalam menjalankan fungsinya sebagai aktor yang berkontribusi dalam pelestarian Ada’ Tuho. Lebih lanjut, untuk modal simbolik berupa stigma sebagai kelompok terhormat dalam upacara adat yang diposisikan sebagai tamu yang wajib diundang, dapat untuk membangun kepercayaan dan relasi. Namun terlepas dari keberfungsiannya, berbagai modal tersebut juga dapat menghambat pelestarian Ada’ Tuho jika berbagai modal tersebut tidak disertai dengan pemaknaan serta tanggungjawab yang baik dari aktor

Pamaretta.

3. Proses Reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan Ulumanda

Reproduski Ada’ Tuho yang ada diKecamatan Ulumanda berlangsung secara dinamis seiring kebergerakan sosial yang ada di wilayah tersebut. Berbagai hal mengiringi proses reproduksi tersebut sehingga pelestarian Ada’ Tuho dapat dimungkinkan tercapai. Reproduksi merupakan sebuah analisa untuk menguraikan


(15)

commit to user

berbagai hal perubahan sosial yang ada di ranah Ada’ Tuho dalam kerangka praktis. Ada’ Tuho merupakan sebuah produk sosio-kultural yang terakumulasi dengan rentan waktu panjang sehingga menjadikannya sebuah produk yang memiliki nilai pemaknaan historis tersendiri pada individu yang ada di dalamnya. Ada’ Tuho adalah sebuah pranata hidup yang dilembagakan oleh para masyarakat yang menganutnya sebagai suatu pedoman cara hidup untuk menjaga harkat martabat hidup satu sama lainnya. Dalam Ada’ Tuho sendiri memuat berbagai aturan dan legitimasi adat bersifat khas bagi warga Ulumanda berdasarkan ajaran lokal warga pendahulunya di Ulumanda serta dijaga pengaplikasiannya hingga sekarang.

Ada’ Tuho mulai hidup di Ulumanda dikarenakan sosio-historis warganya yang dahulu sangat erat dalam hal menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Mengingat topografi wilayah Ulumanda yang dulu sangat erat dengan hubungan bersama alam, maka Ada’ Tuho muncul sebagai produk pranata kehidupan untuk mengatur setiap warganya agar dapat lebih teratur dan menjaga kesatuan hidup dengan alam ataupun dengan sesamanya. Ada’ Tuho selanjutnya sebagai bekal berkehidupan masyarakat Ulumanda yang aplikasinya masih dapat dilacak hingga sekarang. Meskipun berbagai aturan sudah mulai banyak yang berubah dikarenakan berbagai hal, namun nilai-nilainya masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Ulumanda karena dirasa masih sangat berguna dengan transformasi bentuk lain pada berbagai masalah kehidupan. Hal inilah yang menandai eksistensi Ada’ Tuho di Ulumanda hingga sekarang ini masih terbukti ada dan sangat dihormati oleh sebagian besar warga Ulumanda disertai dukungan berbagai pihak terkait. Seiring modernisasi dan teknologi yang berkembang di wilayah Ulumanda, berbagai aturan adat dengan nilai-nilai di dalamnya mulai berkembang dinamis. Perubahan aturan ataupun pergeseran maknanya tersebut bukanlah suatu hal yang sangat merugikan bagi para penganut Ada’ Tuho, melainkan sebagai sesuatu yang bersifat dinamis menyesuaikan kondisi sosial Ulumanda sekarang ini sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentunya harus menyesuaikan diri dengan hukum atau aturan konvensional sebagai adapatasi diri agar tidak menyimpang dari nilai-nilai luhur bangsa dan negara. Adaptasi diperlukan sebagai bentuk reaktif akan keselarasan dan keharmonisan diri dengan lingkungan sosial yang baru dan tentunya dihadapi oleh masyarakat Ulumanda sebagai masyarakat seutuhnya.


(16)

commit to user

Beberapa kebijakan atau aturan tertentu misalnya yang kurang relevan dengan kondisi masyarakat akan dicermati dan dimonitoring oleh berbagai aktor seperti kelompok akademis (FORSPAT) dan kelompok Pamaretta yang kemudian akan mengadakan konsolidasi serta komunikasi dengan Pemangku Adat Ada’ Tuho demi mencari kesepakatan yang lebih relevan dan dapat diterima masyarakat luas. Pada intinya, komunikasi yang dilakukan ini adalah untuk lebih menjadikan Ada’ Tuho mudah diresapi dan dimaknai nilainya oleh masyarakat tidak hanya mempertahankan bentuk fisiknya semata. Bentuk komunikasi ini adalah dengan adanya Temu Budaya Ada’ Tuho sebagai ruang berdiskusi berbagai pihak yang terlibat dalam pelestarian Ada’ Tuho di Ulumanda. Selepas kegiatan Temu Budaya, maka lahir sebuah kesepakatan yang kemudian akan disosialisasikan oleh aktor-aktor tersebut agar masyarakat dapat dengan mudah memaknai perubahan terhadap pemaknaan aturan dalam Ada’ Tuho tersebut. Seiring berjalannya waktu dalam sosialisasi tersebut tentunya para aktor disertai berbagai habitus dan modal yang dimiliki akan berjuang masing-masing di ranah-ranah sosialnya dalam Arena Ada’ Tuho untuk menjaga Ada’ Tuho melalui reproduksi Ada’ Tuho agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengaplikasiannya.

D. Penutup

1. Kesimpulan

a. Reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dilakukan oleh beberapa aktor, yaitu kelompok FORSPAT, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, dan kelompok

Pamaretta. Ketiga aktor tersebut melakukan reproduksi pada empat ranah di Ada’

Tuho yaitu Sakka Pambojanga (pernikahan), Sakka Pariama (pertanian atau

bercocok tanam),Panda’ Tomate(upacara kematian), Reppoang Ulu Rendengang

Tallottong (aturan kemanusiaan) dengan berbagai bentuk dan proses reproduksi

budaya seperti:

1) Dalam ranah pernikahan terdapat perubahan mahar tambahan berwujud uang yang tidak boleh melebihi dari Rp. 1.000.000,-, hiburan / pertunjukkan pada upacara pesta pernikahan dengan iringan kecapi berubah dengan adanya grup musik atau minimal solo keyboard, undangan pernikahan yang disiarkan melalui sound atau khutbah di masjid serta dengan cara datang dari rumah ke rumah warga sekarang dilakukan dengan undangan tertulis, serta mempelai


(17)

commit to user

dinikahkan oleh penghulu dari KUA dan Pemangku Adat hanya bertindak sebagai saksi ataupun tamu kehormatan.

2) Dalam ranah pertanian terdapat perubahan lahan pertanian dari kebun ke sawah, gotong royong dan tolong menolong dilakukan dengan sistem pemilik lahan dan buruh tani, penggunaan sarana ataupun alat pertanian yang lebih modern, serta aturan bertani yang mulai ditentukan secara subjektif antara pemilik lahan dan buruh tani.

3) Dalam ranah upacara kematian terdapat perubahan atribut kepala yang dikenakan oleh kelompok Pemangku Adat berupa kain kafan berubah menjadi peci (kopiah), aturan hewan kurban untuk sedekah tidak lagi sapi tetapi ayam, dan upacara pemakaman jenazah sudah dapat dilakukan langsung tidak lagi ditunda-tunda.

4) Dalam ranah aturan kemanusiaan terdapat perubahan penanganan kasus di tingkat dewan adat jika tidak menemui kesepakatan akan langsung dilimpahkan kepada pihak kepolisian dan kejaksaan.

b. Para aktor tersebut dalam pergerakannya membentuk habitus yang beragam seperti:

1) Kelompok FORSPAT membentuk habitus monitoring, habitus sosialisasi, habitus evaluasi, dan habitus aksi.

2)Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho membentuk habitus massoro, habitus

Sumemba’,habitus saputanga barata, dan habitus Mambicarai.

3) Kelompok Pamaretta membentuk habitus tosule, habitus monitoring, dan habitus Mambicarai.

c. Berbagai modal (modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, dan modal simbolik) mengiringi pergerakan para aktor dalam reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda. Modal yang dimiliki para aktor tersebut dapat sebagai modal penunjang dan modal penghambat dalam pelestarian budaya Ada’ Tuho di Ulumanda melalui reproduksi budaya. Modal budaya berupa pengetahuan tentang Ada’ Tuho. Modal sosial berupa jaringan dan solidaritas yang dibangun aktor dengan berbagai pihak. Sedangkan modal simbolik berupa prestasi dan stigma/labelling yang melekat pada para aktor. Sementara modal ekonomi berupa sumber pendanaan yang ada dalam setiap pergerakan aktor pada pelestarian budaya Ada’ Tuhodi Ulumanda.


(18)

commit to user

d. Reproduksi Ada’ Tuho dilakukan oleh para aktor dengan penerapan/pengaplikasian kembali tradisi yang sudah ada dan berkembang di masyarakat Ulumanda melalui beberapa tahapan proses meliputi perencanaan, pengorganisasian, dan pergerakan. Tahap perencanaan terjadi pada rutinitas aktor dalam kegiatan sosial masing-masing. Tahap pengorganisasian berlangsung dengan bentuk kolaborasi antar aktor dalam penyelenggaraan kegiatan Temu Budaya Ada’ Tuho. Sementara tahap pergerakan berupa implementasi tindakan/aksi terkait hasil dari Temu Budaya tersebut.

2. Implikasi

a. Implikasi Teoritis

Reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dengan desain studi kasus ini menggunakan teori yang sepenuhnya dapat diterima karena dapat mempermudah dalam mengurai dan menggambarkan fokus penelitian. Dengan teori Bourdieu tersebut, berbagai agen (aktor) dapat didentifikasi dan dijelaskan karakteristik serta perjuangannya dalam ranah reproduksi Ada’ Tuho. Di lain hal, penelitian studi kasus ini memiliki kekurangan dan memungkinkan adanya teori lain yang dapat digunakan untuk menganalisanya. Salah satu teori yang memungkinkan dipergunakan misalnya adalah Teori Sosiologi dengan teori tindakan sosial Max Weber atau juga Talcott Parsons yang memandang bahwa tindakan sosial individu mempunyai orientasi aktor. Penjelasan orientasi tersebut memungkinkan dapat lebih menggambarkan latar belakang konstruksi tiga sistem analitis berupa sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem kebudayaan dalam reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dan lebih mampu menjelaskan fokus penelitian serupa.

b. Implikasi Metodologis

Implikasi metodologis dalam studi kasus ini merupakan sebuah tinjauan mengenai kekuatan dan kelemahan dari metode yang digunakan dalam studi kasus terkait reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda. Penggunaan studi kasus pada penelitian ini tepat sebagai alat untuk meninjau masalah yang unik dan tidak dapat digeneralisir berdasarkan masalah serupa di tempat lain. Namun dalam mengkaji tema kebudayaan dan masyarakat akan lebih mendalam kajiannya dengan metode etnografi karena dapat lebih lengkap dari studi kasus.

Pilihan model analisis data interaktif dirasa tepat sebagai teknik analisis dalam studi kasus ini. Dengan menggunakan teknik analisa model interaktif, proses


(19)

commit to user

pengumpulan data dan analisisnya berjalan secara bersamaan, sehingga perjalanan peneliti dalam studi kasus ini mengalir menentukan arah lanjut dan semakin mantap hingga pengumpulan data dirasa telah menghasilkan data selengkap-lengkapnya dan dapat diakhiri. Teknik ini memudahkan dalam penyusunan laporan akhir, karena tidak banyak memerlukan waktu dalam penyusunannya. Namun di sisi lain memungkinkan pula jika dilakukan dengan model analisis domain (Domain analysis) yang dikembangkan oleh Spradley, Glaser dan Straus karena dapat lebih memperoleh gambaran umum serta memudahkan menjawab fokus penelitian.

c. Implikasi Empiris

Ada’ Tuho sebagai produk budaya dapat dikembangkan sebagai identitas bagi beberapa desa di Ulumanda yang masih menerapkan Ada’ Tuho dalam kesehariannya. Reproduksi budaya Ada’ Tuho di Ulumanda dapat berhasil dengan koordinasi serta kerja sama yang solid antar aktor (agen) serta dukungan dari luar. Dengan adanya reproduksi ini turut mempengaruhi upaya pihak lain untuk mereproduksi tradisi yang sama pula di daerahnya masing-masing. Reproduksi Ada’ Tuho selanjutnya dipandang sebagai kearifan lokal yang dapat didukung dan dikelola oleh berbagai pihak dan instansi terkait untuk meningkatkan daya guna identitas Kabupaten Majene dengan keberadaan desa-desa adat di dalamnya, serta dapat sebagai wadah/tempat bagi pengembangan tradisi maupun kebudayaan yang ada di Ulumanda.

3. Rekomendasi

Terselesaikannya penelitian studi kasus ini memunculkan beberapa rekomendasi/saran yang dapat dimanfaatkan oleh lain pihak di kemudian hari. Rekomendasi dalam studi kasus ini terbagi dalam dua kategori, yaitu:

a. Rekomendasi kebijakan

Berdasar pentingnya tradisi dan fungsi kebudayaan dalam keseharian hidup masyarakat, maka diharapkan:

1) Pemerintah Kabupaten Majene dapat lebih peka dengan fenomena ini. Apresiasi pemerintah Kabupaten Majene pada aktivitas pelestarian budaya memang sudah terbilang baik, hal ini dapat dilihat dengan adanya bantuan dana untuk kegiatan-kegiatan pelestarian budaya yang ada di berbagai wilayah Ulumanda. Namun, apresiasi (dukungan) tersebut hanya mengarah


(20)

commit to user

pada aspek pendanaan semata. Hal ini jika tidak segera dikembangkan maka akan dapat membuka ruang bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyalahgunakan dana tersebut.

2) Pemerintah Kabupaten Majene hendaknya lebih bersentuhan dengan masyarakat lokal tidak hanya dalam kegiatan Temu Budaya, agar muncul sinergi yang tepat antara tradisi lokal dalam kehidupan sosial bermasyarakat yang diatur dalam berbagai perundangan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengembangan pelestarian budaya hendaknya dilakukan atas dukungan serta pengawasan dari para aktor yang bersangkutan dan pemerintah Kabupaten Majene, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pariwisata, agar aktivitas tersebut tetap memiliki kandungan nilai bagi masyarakat meskipun juga dapat digunakan dalam hal pengembangan wilayah di bidang keanekaragaman budaya lokal.

3)Reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dapat menjadi contoh yang baik bagaimana menggerakkan kesadaran masyarakat serta pihak terkait untuk melestarikan tradisi dalam Ada’ Tuho.

4)Bagi aktor seperti kelompok FORSPAT dan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, perlu adanya penguatan jaringan sosial antar anggota agar solidaritas dan koordinasinya tetap terjaga di mata publik. Upaya reproduksi budaya tidak dapat dilakukan dengan cara mandiri, maka langkah inovatif perlu terus dilakukan dalam memahami perkembangan jaman yang semakin cepat dan tak terprediksi arahnya untuk menciptakan daya harmonisasi serta kemandirian yang kuat. Tidak hanya mengandalkan uluran dan jabat tangan dari pemerintah yang bekerja.

b. Rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari studi kasus ini, didapati bahwa keberadaan tradisi-tradisi di Ada’ Tuho masih sulit dilacak sumber dan sejarah praktik pelaksanaannya, adapun data yang ada hanya bersumber dari wawancara tokoh terkait di dalamnya dan belum terdapat bukti-bukti tertulis yang dapat dibuktikan secara empiris, maka berdasarkan hal tersebut dapat sebagai celah rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut untuk dapat dilakukan penelitian selanjutnya sebagai upaya melengkapi data dalam penelitian ini.


(21)

commit to user Daftar Pustaka

Amin, Harmegi. 2014. Mengenal Ada’ Tuho, Tinjauan History dan Prediksi Masa Depan.

Majene: Forum Study dan PengembanganAda’ Tuho(PORSPAT).

Bourdieu, Pierre. 2015. Arena Produksi Kultural alih bahasa oleh Santoso Yudi. Bantul: Kreasi Wacana.

Nuraeni, Heny. 2012. Studi Budaya Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Naredia, Shubuha Pilar. 2015. Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta dalam Jurnal Analisa

Sosiologi.

Slamet, Y. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta: Sebelas Maret Universty Press.

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Martin Rew, 2013. Pro-Poo?Bourdieu, Neo-Liberalisme, and Social Reproduction Trrough

Faith-Based Education in Maharastra. International Journal Of Relijion and Sosiety.

Vol, 4, Pages 85-103.

John W. Creswell. 2012. Researsh Design alih bahasa oleh Fawaid, Ahmad: Pendekatan

Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Jakarta: Pusataka Belajar.

Sugiyono. 2014. Memahami Peneletian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Anis, Faud. Dkk. 2014. Panduan Praktis PenelitianKualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jenkins, Richard. 2013. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu alih bahasa oleh Nurhadi Bantul: Kreasi Wacana

Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.

Tridewiyanti, Kunthi. 2009. Perempuan Arab Ba-Alawi dalam Sistem Perkawinan: Reproduksi Kebudayaan dan Resistensi. Jakarta: UI Press.


(1)

commit to user

Beberapa kebijakan atau aturan tertentu misalnya yang kurang relevan dengan kondisi masyarakat akan dicermati dan dimonitoring oleh berbagai aktor seperti kelompok akademis (FORSPAT) dan kelompok Pamaretta yang kemudian akan mengadakan konsolidasi serta komunikasi dengan Pemangku Adat Ada’ Tuho demi mencari kesepakatan yang lebih relevan dan dapat diterima masyarakat luas. Pada intinya, komunikasi yang dilakukan ini adalah untuk lebih menjadikan Ada’ Tuho mudah diresapi dan dimaknai nilainya oleh masyarakat tidak hanya mempertahankan bentuk fisiknya semata. Bentuk komunikasi ini adalah dengan adanya Temu Budaya Ada’ Tuho sebagai ruang berdiskusi berbagai pihak yang terlibat dalam pelestarian

Ada’ Tuho di Ulumanda. Selepas kegiatan Temu Budaya, maka lahir sebuah

kesepakatan yang kemudian akan disosialisasikan oleh aktor-aktor tersebut agar masyarakat dapat dengan mudah memaknai perubahan terhadap pemaknaan aturan dalam Ada’ Tuho tersebut. Seiring berjalannya waktu dalam sosialisasi tersebut tentunya para aktor disertai berbagai habitus dan modal yang dimiliki akan berjuang masing-masing di ranah-ranah sosialnya dalam Arena Ada’ Tuho untuk menjaga Ada’ Tuho melalui reproduksi Ada’ Tuho agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengaplikasiannya.

D. Penutup

1. Kesimpulan

a. Reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dilakukan oleh beberapa aktor, yaitu kelompok FORSPAT, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, dan kelompok

Pamaretta. Ketiga aktor tersebut melakukan reproduksi pada empat ranah di Ada’

Tuho yaitu Sakka Pambojanga (pernikahan), Sakka Pariama (pertanian atau bercocok tanam),Panda’ Tomate(upacara kematian), Reppoang Ulu Rendengang

Tallottong (aturan kemanusiaan) dengan berbagai bentuk dan proses reproduksi

budaya seperti:

1) Dalam ranah pernikahan terdapat perubahan mahar tambahan berwujud uang yang tidak boleh melebihi dari Rp. 1.000.000,-, hiburan / pertunjukkan pada upacara pesta pernikahan dengan iringan kecapi berubah dengan adanya grup musik atau minimal solo keyboard, undangan pernikahan yang disiarkan melalui sound atau khutbah di masjid serta dengan cara datang dari rumah ke rumah warga sekarang dilakukan dengan undangan tertulis, serta mempelai


(2)

commit to user

dinikahkan oleh penghulu dari KUA dan Pemangku Adat hanya bertindak sebagai saksi ataupun tamu kehormatan.

2) Dalam ranah pertanian terdapat perubahan lahan pertanian dari kebun ke sawah, gotong royong dan tolong menolong dilakukan dengan sistem pemilik lahan dan buruh tani, penggunaan sarana ataupun alat pertanian yang lebih modern, serta aturan bertani yang mulai ditentukan secara subjektif antara pemilik lahan dan buruh tani.

3) Dalam ranah upacara kematian terdapat perubahan atribut kepala yang dikenakan oleh kelompok Pemangku Adat berupa kain kafan berubah menjadi peci (kopiah), aturan hewan kurban untuk sedekah tidak lagi sapi tetapi ayam, dan upacara pemakaman jenazah sudah dapat dilakukan langsung tidak lagi ditunda-tunda.

4) Dalam ranah aturan kemanusiaan terdapat perubahan penanganan kasus di tingkat dewan adat jika tidak menemui kesepakatan akan langsung dilimpahkan kepada pihak kepolisian dan kejaksaan.

b. Para aktor tersebut dalam pergerakannya membentuk habitus yang beragam seperti:

1) Kelompok FORSPAT membentuk habitus monitoring, habitus sosialisasi, habitus evaluasi, dan habitus aksi.

2)Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho membentuk habitus massoro, habitus

Sumemba’,habitus saputanga barata, dan habitus Mambicarai.

3) Kelompok Pamaretta membentuk habitus tosule, habitus monitoring, dan habitus Mambicarai.

c. Berbagai modal (modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, dan modal simbolik) mengiringi pergerakan para aktor dalam reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda. Modal yang dimiliki para aktor tersebut dapat sebagai modal penunjang dan modal penghambat dalam pelestarian budaya Ada’ Tuho di Ulumanda melalui reproduksi budaya. Modal budaya berupa pengetahuan tentang Ada’ Tuho. Modal sosial berupa jaringan dan solidaritas yang dibangun aktor dengan berbagai pihak. Sedangkan modal simbolik berupa prestasi dan stigma/labelling yang melekat pada para aktor. Sementara modal ekonomi berupa sumber pendanaan yang ada dalam setiap pergerakan aktor pada pelestarian


(3)

commit to user

d. Reproduksi Ada’ Tuho dilakukan oleh para aktor dengan

penerapan/pengaplikasian kembali tradisi yang sudah ada dan berkembang di masyarakat Ulumanda melalui beberapa tahapan proses meliputi perencanaan, pengorganisasian, dan pergerakan. Tahap perencanaan terjadi pada rutinitas aktor dalam kegiatan sosial masing-masing. Tahap pengorganisasian berlangsung dengan bentuk kolaborasi antar aktor dalam penyelenggaraan kegiatan Temu Budaya Ada’ Tuho. Sementara tahap pergerakan berupa implementasi tindakan/aksi terkait hasil dari Temu Budaya tersebut.

2. Implikasi

a. Implikasi Teoritis

Reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dengan desain studi kasus ini

menggunakan teori yang sepenuhnya dapat diterima karena dapat mempermudah dalam mengurai dan menggambarkan fokus penelitian. Dengan teori Bourdieu tersebut, berbagai agen (aktor) dapat didentifikasi dan dijelaskan karakteristik serta perjuangannya dalam ranah reproduksi Ada’ Tuho. Di lain hal, penelitian studi kasus ini memiliki kekurangan dan memungkinkan adanya teori lain yang dapat digunakan untuk menganalisanya. Salah satu teori yang memungkinkan dipergunakan misalnya adalah Teori Sosiologi dengan teori tindakan sosial Max Weber atau juga Talcott Parsons yang memandang bahwa tindakan sosial individu mempunyai orientasi aktor. Penjelasan orientasi tersebut memungkinkan dapat lebih menggambarkan latar belakang konstruksi tiga sistem analitis berupa sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem kebudayaan dalam reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dan lebih mampu menjelaskan fokus penelitian serupa.

b. Implikasi Metodologis

Implikasi metodologis dalam studi kasus ini merupakan sebuah tinjauan mengenai kekuatan dan kelemahan dari metode yang digunakan dalam studi kasus terkait reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda. Penggunaan studi kasus pada penelitian ini tepat sebagai alat untuk meninjau masalah yang unik dan tidak dapat digeneralisir berdasarkan masalah serupa di tempat lain. Namun dalam mengkaji tema kebudayaan dan masyarakat akan lebih mendalam kajiannya dengan metode etnografi karena dapat lebih lengkap dari studi kasus.

Pilihan model analisis data interaktif dirasa tepat sebagai teknik analisis dalam studi kasus ini. Dengan menggunakan teknik analisa model interaktif, proses


(4)

commit to user

pengumpulan data dan analisisnya berjalan secara bersamaan, sehingga perjalanan peneliti dalam studi kasus ini mengalir menentukan arah lanjut dan semakin mantap hingga pengumpulan data dirasa telah menghasilkan data selengkap-lengkapnya dan dapat diakhiri. Teknik ini memudahkan dalam penyusunan laporan akhir, karena tidak banyak memerlukan waktu dalam penyusunannya. Namun di sisi lain memungkinkan pula jika dilakukan dengan model analisis domain (Domain analysis) yang dikembangkan oleh Spradley, Glaser dan Straus karena dapat lebih memperoleh gambaran umum serta memudahkan menjawab fokus penelitian.

c. Implikasi Empiris

Ada’ Tuho sebagai produk budaya dapat dikembangkan sebagai identitas bagi beberapa desa di Ulumanda yang masih menerapkan Ada’ Tuho dalam kesehariannya. Reproduksi budaya Ada’ Tuho di Ulumanda dapat berhasil dengan koordinasi serta kerja sama yang solid antar aktor (agen) serta dukungan dari luar. Dengan adanya reproduksi ini turut mempengaruhi upaya pihak lain untuk mereproduksi tradisi yang sama pula di daerahnya masing-masing. Reproduksi Ada’ Tuho selanjutnya dipandang sebagai kearifan lokal yang dapat didukung dan dikelola oleh berbagai pihak dan instansi terkait untuk meningkatkan daya guna identitas Kabupaten Majene dengan keberadaan desa-desa adat di dalamnya, serta dapat sebagai wadah/tempat bagi pengembangan tradisi maupun kebudayaan yang ada di Ulumanda.

3. Rekomendasi

Terselesaikannya penelitian studi kasus ini memunculkan beberapa rekomendasi/saran yang dapat dimanfaatkan oleh lain pihak di kemudian hari. Rekomendasi dalam studi kasus ini terbagi dalam dua kategori, yaitu:

a. Rekomendasi kebijakan

Berdasar pentingnya tradisi dan fungsi kebudayaan dalam keseharian hidup masyarakat, maka diharapkan:

1) Pemerintah Kabupaten Majene dapat lebih peka dengan fenomena ini. Apresiasi pemerintah Kabupaten Majene pada aktivitas pelestarian budaya memang sudah terbilang baik, hal ini dapat dilihat dengan adanya bantuan dana untuk kegiatan-kegiatan pelestarian budaya yang ada di berbagai wilayah Ulumanda. Namun, apresiasi (dukungan) tersebut hanya mengarah


(5)

commit to user

pada aspek pendanaan semata. Hal ini jika tidak segera dikembangkan maka akan dapat membuka ruang bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyalahgunakan dana tersebut.

2) Pemerintah Kabupaten Majene hendaknya lebih bersentuhan dengan masyarakat lokal tidak hanya dalam kegiatan Temu Budaya, agar muncul sinergi yang tepat antara tradisi lokal dalam kehidupan sosial bermasyarakat yang diatur dalam berbagai perundangan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengembangan pelestarian budaya hendaknya dilakukan atas dukungan serta pengawasan dari para aktor yang bersangkutan dan pemerintah Kabupaten Majene, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pariwisata, agar aktivitas tersebut tetap memiliki kandungan nilai bagi masyarakat meskipun juga dapat digunakan dalam hal pengembangan wilayah di bidang keanekaragaman budaya lokal.

3)Reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dapat menjadi contoh yang baik

bagaimana menggerakkan kesadaran masyarakat serta pihak terkait untuk melestarikan tradisi dalam Ada’ Tuho.

4)Bagi aktor seperti kelompok FORSPAT dan kelompok Pemangku Adat Ada’

Tuho, perlu adanya penguatan jaringan sosial antar anggota agar solidaritas dan koordinasinya tetap terjaga di mata publik. Upaya reproduksi budaya tidak dapat dilakukan dengan cara mandiri, maka langkah inovatif perlu terus dilakukan dalam memahami perkembangan jaman yang semakin cepat dan tak terprediksi arahnya untuk menciptakan daya harmonisasi serta kemandirian yang kuat. Tidak hanya mengandalkan uluran dan jabat tangan dari pemerintah yang bekerja.

b. Rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari studi kasus ini, didapati bahwa keberadaan tradisi-tradisi di Ada’ Tuho masih sulit dilacak sumber dan sejarah praktik pelaksanaannya, adapun data yang ada hanya bersumber dari wawancara tokoh terkait di dalamnya dan belum terdapat bukti-bukti tertulis yang dapat dibuktikan secara empiris, maka berdasarkan hal tersebut dapat sebagai celah rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut untuk dapat dilakukan penelitian selanjutnya sebagai upaya melengkapi data dalam penelitian ini.


(6)

commit to user Daftar Pustaka

Amin, Harmegi. 2014. Mengenal Ada’ Tuho, Tinjauan History dan Prediksi Masa Depan.

Majene: Forum Study dan PengembanganAda’ Tuho(PORSPAT).

Bourdieu, Pierre. 2015. Arena Produksi Kultural alih bahasa oleh Santoso Yudi. Bantul: Kreasi Wacana.

Nuraeni, Heny. 2012. Studi Budaya Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Naredia, Shubuha Pilar. 2015. Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta dalam Jurnal Analisa

Sosiologi.

Slamet, Y. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta: Sebelas Maret Universty Press.

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Martin Rew, 2013. Pro-Poo?Bourdieu, Neo-Liberalisme, and Social Reproduction Trrough

Faith-Based Education in Maharastra. International Journal Of Relijion and Sosiety.

Vol, 4, Pages 85-103.

John W. Creswell. 2012. Researsh Design alih bahasa oleh Fawaid, Ahmad: Pendekatan

Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Jakarta: Pusataka Belajar.

Sugiyono. 2014. Memahami Peneletian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Anis, Faud. Dkk. 2014. Panduan Praktis PenelitianKualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jenkins, Richard. 2013. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu alih bahasa oleh Nurhadi Bantul: Kreasi Wacana

Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.

Tridewiyanti, Kunthi. 2009. Perempuan Arab Ba-Alawi dalam Sistem Perkawinan: Reproduksi Kebudayaan dan Resistensi. Jakarta: UI Press.