Indeks Kerentanan Seismik K

39 dengan � adalah faktor amplifikasi, H adalah ketebalan lapisan sedimen m, dan d adalah pergeseran gelombang seismik di bawah permukaan tanah m. Besarnya frekuensi predominan berdasarkan persamaan 56 adalah: = 58 atau = � 59 Percepatan di bawah permukaan tanah � dinyatakan sebagai: � = 60 sehingga perpindahan seismik dari bawah permukaan tanah dapat ditentukan menggunakan persamaan = � � 61 Jika persamaan 59 dan 61 disubtitusikan pada persamaan 57, maka diperoleh: � = � � 62 Sehingga besarnya indeks kerentanan seismik tanah � dalam satuan s 2 cm adalah: � = � � cm 63 Nilai mendekati nilai yang konstan di suatu daerah, sehingga � dapat dianggap sebagai indeks yang menunjukkan kerentanan suatu daerah terdeformasi yang diukur pada suatu titik. Indeks kerentanan seismik berkaitan dengan kondisi geomorfologis. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi indeks kerentanan seismik di antaranya adalah 40 sedimen berusia kuarter yang memiliki tingkat soliditas rendah sehingga sangat mempengaruhi besarnya faktor amplifikasi saat terjadi gempabumi, sebaliknya pada batuan berumur tersier cenderung lebih solid dan sangat stabil terhadap getaran gempabumi sehingga tidak menimbulkan amplifikasi Fah, et.al, 2006.

K. Mikrozonasi

Mikrozonasi gempa adalah peta yang menggambarkan besarnya koefisien gempa pada suatu daerah, khususnya daerah perkotaan yang pada umumnya disebabkan oleh getaran tanah yang kuat selama gempabumi Najoan, 1996. Peta ini jika dikombinasikan dengan informasi data mikrotremor suatu daerah dapat digunakan untuk mengembangkan berbagai strategi penanggulangan bencana, salah satunya pengkajian resiko gempa. Dalam kasus pengkajian resiko gempa, jika ditinjau berdasarkan daerah yang memiliki kerentanan seismik tinggi hasil dari mikrozonasi ini menunjukkan bahwa ketika terjadi getaran tanah yang kuat maka kemungkinan besar terjadi kerusakan di daerah tersebut. Menurut Wang 2008, informasi yang ditampilkan pada peta bencana suatu daerah tertentu tidak bisa dijadikan sebagai acuan untuk mengevaluasi daerah lainnya, karena setiap daerah memiliki peta bencana masing-masing sesuai dengan karakteristik tanah dan batuannya. 41

L. Daerah penelitian

a. Kabupaten Bantul Kabupaten Bantul terletak antara 07 ° 44’04”-08 ° 00’27” Lintang Selatan dan 110 ° 12’34”-110 ° 31’08” Bujur Timur dengan luas wilayah 506,85 km 2 15,90 dari luas wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Bantulkab, 2016. Kabupaten Bantul merupakan wilayah yang memiliki berbagai potensi masalah. Hal itu terjadi karena wilayah Kabupaten Bantul secara strukural diapit oleh bukit patahan pada bagian barat dan bagian timur, wilayah yang berada pada apitan bukit patahan disebut graben, dimana graben terbentuk dari proses diatrofisme tektonisme yang dipengaruhi oleh aktivitas gunung Merapi dan gunung api tua, sehingga Kabupaten Bantul rentan terhadap gempabumi. Secara umum Kabupaten Bantul tersusun dari tiga jenis batuan, yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan endapan. Berdasarkan sifat-sifat batuannya dapat diperinci menjadi tujuh formasi, yaitu Formasi Yogyakarta 46, Formasi Sentolo 18, Formasi Sambipitu 3, Formasi Nglanggran 24, Formasi Wonosari 8, dan gumuk pasir 1 Bantulkab, 2016. Daerah penelitian yang berada di Kabupaten Bantul masuk ke dalam Kecamatan Imogiri dan Kecamatan Dlingo dengan penyusun batuannya adalah formasi Nglanggran, formasi Sambipitu, dan formasi Wonosari. b. Kabupaten Gunungkidul Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan ibukotanya Wonosari. Hampir seluruh wilayah Gunungkidul