Teori Kepastian Hukum PENDAHULUAN

akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihakyang melanggarnya 6 . Menurut Philipus M.Hadjon, dibedakan dua macam perlindungan hukum, yaitu 7 : 1. Perlindungan hukum yang preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya permasalahan atau sengketa. 2. Perlindungan hukum yang represif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul. Teori perlindungan hukum dipergunakan untuk mengkaji pelaksanaan Pengangkatan anak oleh Orang Tua Tunggal dari sisi perlindungan terhadap anak angkat dan orang tua angkat dalam pelaksanaan pengangkatan anak oleh Orang tua tunggal, sehingga dengan mengikuti aturan-aturan hukum yang tepat dan benar maka perlindungan hukum pun akan muncul dalam pelaksanaan pengangkatan anak.

b. Teori Kepastian Hukum

Dalam menjawab rumusan permasalahan terkait dengan konsekuensi penetapan pengadilan pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua tunggal Single Parent Adoption, yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 dua pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa 6 Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya : Bina Ilmu, h.205 7 Ibid, h.117 yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan. 8 R. Soepomo memberi pengertian pengangkatan anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian keluarga dengan orang tuanya sendiri dan memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya. Pengertian pengangkatan anak di Bali kiranya tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan di atas. Adapun yang dimaksud dengan anak angkat dalam hukum adat Bali adalah anak orang lain diangkat oleh orang tua angkatnya menurut adat setempat, sehingga dia mempunyai kedudukan sama seperti anak kandung yang dilahirkan oleh orang tua angkatnya tersebut. Hal ini selanjutnya akan membawa akibat hukum dalam hubungan kekeluargaan, waris dan kemasyarakatan. Konsekuensinya disini segala hak dan kewajiban yang ada ada orang tua angkatnya akan dilanjutkan oleh anak angkat itu sendiri, sebagaimana layaknya seperti anak kandung. Dari pengertian pengangkatan menurut Hukum Adat Bali seperti tersebut di atas dapat dijabarkan : 1. Adanya perbuatan melepas si anak dari kekuasaan orang tua kandung. 8 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal.158 2. Adanya perbuatan memasukkan si anak ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya 9 Definisi Pengangkatan Anak menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 adalah sebagai berikut :Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Sedangkan definisi Orang Tua Angkat, menurut Pasal 1 butir 4 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak, adalah sebagai berikut : Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa orang tua angkat memiliki suatu kekuasaan orang tua angkat terhadap anak angkatnya yang meliputi : 1. Kekuasaan untuk merawat anak asuh 2. Kekuasaan untuk mendidik anak asuh 3. Kekuasaan untuk membesarkan anak asuh. 9 Soepomo, R, 2000, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.104 Berdasarkan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak bahwa untuk mengangkat anak oleh orang tua tunggal antara lain 1 Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri. 2 Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat didelegasikan kepada kepala instansi sosial di provinsi. Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Mengenai hak dan kewajiban secara umum adalah hak dan kewajiban yang ada antara anak dan orang tua baik secara agama, moral maupun kesusilaan. Dalam UU ini diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam pasal- pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. 10 Dan berdasarkan Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia, No. 110 HUK 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak menyebutkan bahwa : Pasal 4 Syarat material calon anak yang dapat diangkat meliputi: a. anak yang belum berusia 18 delapan belas tahun; b. merupakan anak terlantar atau diterlantarkan; 10 Husnah ,2009, Pelaksanaan Pengangkatan Anak adopsi yang Dilakukan oleh Warga Masyarakat di Indonesia, Skripsi Universitas Indonesia, Depok,hal 47 c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak; dan d. memerlukan perlindungan khusus. Pasal 5 Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan persyaratan administratif CAA yang meliputi: a. copy KTP orang tua kandungwali yang sahkerabat CAA; b. copy kartu keluarga orang tua CAA; dan c. kutipan akta kelahiran CAA. Pasal 6 Persyaratan CAA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dibagi dalam 3 tiga kategori yang meliputi : a. anak belum berusia 6 enam tahun merupakan prioritas utama, yaitu anak yang mengalami keterlantaran, baik anak yang berada dalam situasi mendesak maupun anak yang memerlukan perlindungan khusus; b. anak berusia 6 enam tahun sampai dengan belum berusia 12 dua belas tahun sepanjang ada alasan mendesak berdasarkan laporan sosial, yaitu anak terlantar yang berada dalam situasi darurat; c. anak berusia 12 dua belas tahun sampai dengan belum berusia 18 delapan belas tahun yaitu anak terlantar yang memerlukan perlindungan khusus Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak ini ditentukan antara lain tentang syarat-syarat permohonan pengesahan pengangkatan anak antara WNI oleh orang tua angkat WNA inter country adoption, pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat private adoption dan juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang Warga Negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sahbelum menikah single parent adoption. Permohonan pengesahan pengangkatan anak yang diajukan kepada Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak semakin hari semakin bertambah baik yang merupakan suatu bagian tuntutan gugatan perdata, maupun yang merupakan permohonan khusus pengesahan pengangkatan anak. Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum untuk itu hanya didapat setelah memperoleh suatu keputusan Pengadilan. Perbedaannya dengan calon orang tua angkat dari pasangan suami istri, bagi orang tua tunggal yang ingin mengangkat anak tersebut disyaratkan mendapat izin dari Menteri Sosial terlebih dahulu dan harus melalui Lembaga Pengasuhan Anak selanjutnya memohonkan kepada pengadilan. Sedangkan calon orang tua angkat dari pasangan suami istri, tidak harus melalui lembaga pengasuhan anak, karena dapat pula melalui pengangkatan anak secara langsung, serta tidak harus mendapat izin menteri, namun cukup mendapatkan surat Keputusan Izin Pengangkatan Anak yang dikeluarkan oleh Kepala Instansi Sosial Propinsi selanjutnya memohonkan kepada pengadilan.

1.8 Metode Penelitian