Analisis Penetapan Pengangkatan Anak Pengadilan Negeri Denpasar No.1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum Positif

(1)

SKRIPSI

Diajukan oleh

IBM. ANDHIKA SUPRIATMAN

NIM: 108044100077

KONSENTRASI HUKUM KELUARGA

PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh:

IBM. Andhika Supriatman NrM. 108044100077

Di Bawah Bimbingan:

NIP. 1 95507 061992031001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA. PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM I]NIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Desember 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada

program studi Hukum Keluarga Islam.

Jakarta, 9 Desember 2014 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

/_

/Dr. JM. Muslimin. MA NIP. 19680812 199903

2or4

PANITIA UJIAN Ketua

Sekretaris Pernbimbing Penguji I

Penguji II

Kamarusdiana. S.Ag. MH t9720224 t9l

Sri Hidayati. 19710215 19,

Dr. KH. A. J

)803 I 003

M.Ag )703 2 002

Lraini Svukri Lcs . MA l 9550706 l 99 203 I 00 1

Oosinr Arsaclani. MA 19690629 20080r

l

0i6

Arip Purkon, MA 1979042',1 200312 1 002


(4)

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 9 Desember 2014


(5)

ISLAM DAN HUKUM POSITIF/Peradilan Agama/Hukum Keluarga/Fakultas Syariah dan Hukum/Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014/1-88 Halaman/2 Lampiran

Adanya analisis penetapan ini karena terdapat ketidaksesuaian yang terjadi antara Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar dan hukum normatif yang berlaku di Indonesia dalam mengatur tentang pelaksanaan adopsi.

Dalam hal ini, Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan permohonan pemohon untuk mengangkat seorang anak dari keluarga yang berbeda agama. Secara tekstual penetapan yang dikeluarkan telah menyalahi aturan yang berlaku di Indonesia, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak.

Berdasarkan penetapan diatas, penulis merasa ada kejanggalan dalam hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar yaitu: pertama, bahwa pemohon yang beragama Islam dalam hal ini saudari Nuryani Rosalinda telah mengangkat anak dari keluarga non muslim. Kedua, saudari Nuryani Rosalinda berstatus belum menikah. Kedua hal tersebut menyalahi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bukti tersebut bisa dilihat dari pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Kemudian berdasarkan pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus memenuhi syarat berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun. Kata Kunci: Penetapan, Pengangkatan anak, Hukum Islam, dan Hukum Positif.

Pembimbing: Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs,. MA/Fakultas Syariah dan Hukum/Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

i

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil „alamin, segala puja dan puji selalu dipanjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan hidup setiap saat, setiap detik, tanpa

pernah merasa bosan ataupun lelah sekalipun. Shalawat serta salam semoga selalu

tercurahkan keharibaan junjungan alam Nabi Muhammad SAW, yang telah

membawa umatnya dari jurang yang penuh kekelaman menuju pusaran terang

benderang yaitu pusaran iman dan takwa seperti saat ini.

Selama penulisan skripsi ini dan selama penulis mengenyam bangku

perkuliahan di Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah Konsentrasi Hukum Keluarga

Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, penulis banyak mendapat bantuan dan sumbangan motivasi dari

berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh

karena itu, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih dan

penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. JM. Muslimin, MA.

2. Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum,


(7)

ii

serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan

bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini, Al-Ustadz Dr. KH. A.

Juaini Syukri, Lcs,. MA.

5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik penulis baik

secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu pemahaman

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Orang tua tercinta, ayahanda Drs. H. Ketut Imaduddin Djamal, SH., MM.,

serta ibunda Ety Supriaty, S.Pd., berkat doa, bantuan, bimbingan, serta

nasihatnya lah penulis dapat memiliki energi untuk menyelesaikan skripsi

ini.

7. Abanganda Wazir Iman Suprianto, serta adinda-adinda Agung Sidang

Amirulhaj, Gusti Muhamad Malikul Madani, serta Iday Imanety Jamilah

yang tak henti-hentinya memotivasi penulis.

8. Teman-teman seperjuangan, Peradilan Agama 2008 B, khususnya para

“Serigala Terakhir”, Ali Seto, Udi Wahyudi, Akbar Alfaththa,

Fachrurrozy, Ade Taufik, yang selalu menemani dan membantu di


(8)

iii

10.Teman-teman Ikatan Keluarga Pesantren Darunnajah (IKPDN) Jakarta.

Tanpa kalian, penulis bukanlah siapa-siapa.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT semoga senantiasa

menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya balasan

atas amal baik mereka. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah

khazanah keilmuan kita. Amin.

Jakarta, 9 Desember 2014


(9)

iv

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Studi PustakaTerdahulu ... 10

E. Metode Penelitian... 11

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II PERATURAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Pengangkatan Anak ... 16

B. Sejarah Pengangkatan Anak ... 21

C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam ... 32

D. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Indonesia... 38

BAB III PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI DENPASAR A. Sejarah Pengadilan Negeri Denpasar ... 43

B. Yuridiksi Pengadilan Negeri Denpasar ... 45


(10)

v

DENPASAR

A.Konsep Pengangkatan Anak menurut Hukum Islam... 54

B. Prosedur Pengangkatan anak Menurut Hukum positif

Indonesia... 60

C.Analisis Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor

1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps ... 72

BAB V PENUTUP ...

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran-saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87


(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Anak adalah amanat yang harus senantiasa kita jaga karena dalam dirinya

melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung

tinggi. Sebagai anugerah dari Tuhan, anak harus dijaga secara normatif demi

kepentingan fisik maupun psikisnya.1

Adapun jika dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak

adalah pewaris dan sekaligus potret depan bangsa di masa mendatang, generasi

penerus cita-cita bangsa. Mereka adalah pewaris peradaban, sehingga setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta

berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil

dan kebebasan.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah

mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab

orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara untuk memberikan

perlindungan kepada anak. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan

terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,

1


(12)

tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai

Pancasila serta kemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.2

Keinginan untuk memiliki keturunan adalah hal yang mutlak dimiliki

oleh kebanyakan manusia. Hal ini menjadi permasalahan yang penting dalam

kehidupan manusia sepanjang sejarah kehidupannya. Untuk terus melestarikan

kehidupan manusia diatas bumi ini maka proses regenerasi manusia harus selalu

dilakukan.

Lazimnya, untuk mendapatkan keinginan ini didahului dengan proses

perkawinan. Dimana salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh

keturunan dari pasangan yang menikah tersebut. Keinginan yang alamiah dari

setiap pasangan yang telah melangsungkan perkawinan untuk memiliki

keturunan. Yang kelak akan melanjutkan kehidupan orang tuanya dengan

mewarisi harta kekayaan dari orang tuanya.

Sejalan dengan hal diatas, menurut Subekti, perkawinan oleh

undang-undang dipandang sebagai suatu “perkumpulan” (echtvereniging), dalam hal ini

suami ditetapkan sebagai kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan

mereka bersama disamping berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan

tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya

memberikan bantuan (binjstand) kepada si isteri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum.3

2

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), hlm.8. 3


(13)

Namun adakalanya dimana pasangan yang telah menikah tidak dapat

memiliki keturunan. Hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor, yaitu,

kelainan genetik, faktor turunan dari keluarga, ataupun faktor penyakit yang

diderita oleh salah satu pasangan atau bahkan kedua-duanya. Untuk mengatasi

permasalahan tidak memiliki keturunan tersebut, maka mayoritas umat manusia

memilih solusi pengangkatan anak.

Pengangkatan anak ini dilakukan oleh orang-orang karena disadari bahwa

hal tersebut merupakan cara yang termudah. Karena banyaknya orang yang

melakukan pengangkatan anak, maka pengaturan tentang pengangkatan anak pun

harus dapat mengakomodir semua keinginan dan kepentingan yang berkaitan

dengan pengangkatan anak sehingga dapat menertibkan masyarakat yang

melakukan pengangkatan anak.

Secara sederhana, pengertian pengangkatan anak merupakan

pengangkatan anak orang lain menjadi anak kandung orang tua angkat dengan

hak-hak dan kewajiban yang dimiliki anak kandungnya, baik hak waris ataupun

hak menggunakan nama orang tua angkatnya, hak perwalian dan lain-lain4.

Lebih lanjut, menurut Muderis Zaini, pengangkatan anak adalah suatu cara

untuk melakukan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam

4Rifyal Ka’bah, Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama dan Akibat Hukumnya, Varia Peradilan tahun ke-XXI No 284, hlm. 32.


(14)

pengaturan perundang-undangan5. Biasanya pengangkatan anak dilaksanakan

untuk mendapatkan pewaris atau mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak

beranak. Akibat dari pengangkatan anak yang demikian itu ialah bahwa anak

yang diangkat memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak

dan kewajibannya. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak tersebut, calon

orang tua harus memiliki syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin

kesejahteraan anak.

Dalam hukum Islam istilah pengangkatan anak telah dikenal sejak lama,

bahkan dipraktikkan oleh nabi Muhammad SAW sendiri. Artinya bahwa

pengangkatan anak ini telah mempunyai legalitas yang jelas karena telah

dilakukan oleh nabi Muhammad SAW.

Dari praktik pengangkatan anak yang dijalankan oleh Rasululah diatas,

bahwa secara normatif hukum Islam telah memperkenalkan sekaligus mengatur

masalah tentang pengangkatan anak. Untuk lebih jelasnya aturan Hukum Islam

tentang pengangkatan anak bisa dilihat dari surat Al-Azhab ayat 4 dan 5.

٤

5

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Cet.4, (Jakarta;Sinar Grafika),2002, hlm. 7.


(15)

"Tidaklah Allah SWT menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongga nya dan tidaklah isteri-isteri kamu yang telah kamu serupakan punggungnya dari kalangan mereka menjadi ibumu dan tidaklab Dia menjadikan anak yang kamu angkat jadi anakmu benar-benar Itu hanyalah ucapanmu dengan mulutmu. Dan Allah SWT mengatakan yang benar dan Dia akan menunjuki jalan. Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka. Itulah yap lebih adil disisi Allah SWT. Dan jika tidak kamu ketahui siapa bapa bapak mereka, maka adalah mereka saudara kamu seagama maula-maula kamu. Tetapi tidaklah kamu berdosa jika kamu salah dengan dia, melainkan jika disengaja oleh hati kamu. dan Allah SWT adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Al-Ahzab : 4-5)

Hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak-anak angkat tidak

sama sebagaimana hubungan hukum antara orang tua dengan anak kandung.

Hubungan hukum anak angkat dengan orang tua kandungnya tetap seperti

sebelum adanya pengangkatan anak.

Salah satu ketetapan hukum Islam tentang pengangkatan anak adalah

bahwa anak angkat mengikuti nasabnya sesuai dengan orang tua kandungnya,

bukan mengikuti orang tua angkatnya. Hal ini pernah ditetapkan oleh nabi

Muhammad SAW yang mempunyai anak angkat bernama Zaid bin Haritsah yang

sebelumnya bernama Zaid bin Muhammad SAW.6

Namun hal itu berbeda dengan praktek pengangkatan anak yang terjadi di

daerah Denpasar. Seperti yang ditemukan oleh penulis dalam sebuah penetapan

yang keluarkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar dengan Nomor Perkara

1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps.

6

Khalid Muhammad Kalid, 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW, (Jakarta; Al-I’tishom Cahaya Ummat, 2007), hlm. 45.


(16)

Dalam duduk perkaranya, pemohon telah mengajukan permohonannya

tertanggal 17 Desember 2013 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar pada

tanggal 18 September 2013, pada pokoknya yaitu pemohon belum pernah

menikah dan bekerja swasta, kemudian pemohon berniat mengangkat seorang

anak laki-laki yang bernama Gavin Robert Pratama, yaitu anak dari seorang Ibu

bernama Tina Yulia Novanda dan pada saat itu anak tersebut juga belum

mempunyai akte kelahiran. Pemohon telah membiayai anak tersebut dari

kandungan hingga saat ini dikarenakan ibu tersebut tidak bekerja dan menyatakan

tidak sanggup untuk memeliharanya, sehingga pemohon berinisiatif untuk

mengangkatnya. Untuk mendapatkan legalitas atas status anaknya, dan setelah

mendapatkan saran dari Kantor Catatan Sipil, maka pemohon mengajukan

permohonan tersebut ke pengadilan.

Berdasarkan fakta tersebut diatas, dan juga pemohon telah mengangkat

anak tersebut sejak tanggal 07 Desember 2012, dimana anak tersebut telah

diserahkan secara ikhlas oleh orang tua kandungnya untuk dipelihara, diasuh,

maupun dididik oleh pemohon seperti anak kandungnya sendiri sampai sekarang,

maka demi untuk kepentingan kelangsungan hidup dan kehidupan anak tersebut

dikemudian hari dimana pemohon juga telah bekerja, maka pemohon dipandang

mampu untuk membiayai hidup dan kehidupan anak tersebut.

Kemudian Pengadilan Negeri Denpasar menetapkan dalam perkara diatas

tertanggal 28 Oktober 2013 dengan nomor register: 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN.


(17)

1. Mengabulkan permohonan pemohon;

2. Menyatakan sah pengangkatan anak yang dilakukan oleh pemohon

NURYANI ROSALINDA terhadap anak laki-laki yang bernama GAVIN

ROBERT PRATAMA yang lahir di Denpasar pada tanggal 7 Desember

2012;

3. Memerintahkan kepada pemohon untuk mendaftarkan tentang Penetapan

ini kepada Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten

Badung agar dicatatkan kedalam register yang diperuntukkan untuk itu.

Berdasarkan penetapan diatas, penulis merasa ada kejanggalan dalam hasil

penetapan Pengadilan Negeri Denpasar yaitu: pertama, bahwa pemohon yang beragama Islam dalam hal ini saudari Nuryani Rosalinda telah mengangkat anak

dari keluarga non muslim. Kedua, saudari Nuryani Rosalinda berstatus belum menikah. Dari kedua permasalahan tersebut berdasarkan peraturan

perundang-undangan Indonesia menyalahi aturan secara normatif. Bukti tersebut bisa dilihat

dari pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan

pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus

seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.7 Kemudian

berdasarkan pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang

Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat

harus memenuhi syarat berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun.8

7

Pasal 3 Peraturan Pemerintah no 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak 8


(18)

Adanya ketidaksesuaian yang terjadi antara Penetapan Pengadilan Negeri

Denpasar dan hukum normatif yang berlaku di Indonesia dalam mengatur

tentang pelaksanaan adopsi ini merupakan hal yang menurut penulis menarik

untuk diteliti dan dibahas dalam sebuah skripsi yang berjudul “ANALISIS

PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI

DENPASAR NO. 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps. DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”.

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar terhindar dari kesalahpahaman serta ketidakjelasan masalah yang

diambil oleh penulis, maka penulis batasi terkait Penetapan yang dikeluarkan

oleh Pengadilan Negeri Denpasar No. Register: 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps.

yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan pemohon

untuk mengangkat seorang anak dari keluarga yang berbeda agama. Secara

tekstual penetapan yang dikeluarkan telah menyalahi aturan yang berlaku di

Indonesia, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Republik


(19)

2. Perumusan Masalah

Bedasarkan pada uraian tersebut diatas, permasalahan dalam penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut;

a. Bagaimanakah Konsep pengangkatan anak menurut Hukum Islam?

b. Bagaimanakah prosedur pengangkatan anak menurut hukum positif

Indonesia?

c. Bagaimanakah hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No.

1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif?

C.

Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan.

Terdapat beberapa hal yang akan dicapai dari tujuan penulisan ini,

antara lain;

a. Memahami konsep pengangkatan anak menurut hukum Islam.

b. Mengetahui prosedur pengangkatan anak menurut hukum positif

Indonesia

c. Memahami hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No.

1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. menurut perspektif hukum Islam dan


(20)

2. Manfaat Penulisan.

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

dalam rangka menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum, terutama

pembahasan hukum mengenai pengangkatan anak.

2. Dalam hal praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi praktisi hukum/aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum,

serta secara khusus bagi penulis, hasil penelitian ini menjadi bahan untuk

penyusunan skripsi sebagai tugas akhir penyelesaian studi pada Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

D.

Studi Pustaka Terdahulu

1. Mery Wanyi Rihi, SH, Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Waris Adat Bali (Studi Kasus di Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar), (Semarang, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2006).

Menganalisis kedudukan anak angkat menurut hukum waris adat Bali

yang ditinjau dari sudut pandang hukum adat. Namun, saudari Mery Wanyi

Rihi, SH hanya menganalisis hal tersebut dari sudut pandang hukum adat Bali


(21)

2. Sulistya Rini Saputro Wibowo, C.100.980.208, Kedudukan Anak Angkat dalam Pewarisan Menurut Hukum Adat Bali (Studi di Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan), (Surakarta, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Membahas tentang kedudukan hukum anak angkat di kecamatan

Kerambitan, kabupaten Tabanan.Namun, saudari Sulistya Rini Saputro

Wibowo hanya mengangkat kedudukan serta akibat hukum yang terjadi di

Bali tanpa mengangkat hal tersebut dalam perspektif hukum perdata Islam.

E.

Metode Penelitian

Adapun metode dan Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian hukum Normatif. Yakni penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.9 Penelitian

Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah

yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.10 Jenis

penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini

adalah analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia dalam hal ini yang

berhubungan dengan pengangkatan anak.

9

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal.

10

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal.


(22)

1. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan masalah yang diteliti oleh penulis, maka jenis

penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, maka

pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan

(statute approach), dan pendekatan analitis (analytical apprpoach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan untuk meneliti berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral

suatu penelitian.11 yang dalam hal ini adalah aturan hukum tentang hierarki

peraturan perundang-undangan. Jadi, penelitian normatif yang

menggunakan pendekatan ini memungkinkan seorang peneliti untuk

memahami hukum secara lebih mendalam tentang hasil putusan atau

penetapan lembaga peradilan di Indonesia, baik dalam pemahaman maupun

penerapan hukum suatu lembaga atau ketentuan hukumnya.12

Sedangkan pendekatan analitis (analytical apprpach) dilakukan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang

digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional,

sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putuan

hukum. Hal itu dilakukan melalui dua pemeriksaan. Pertama, sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum

11

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, Cet ke IV, 2008), hal. 302

12

Johnny Ibrahim, Op. Cit., 318-319; Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: Alumni, 1986), hal. 332


(23)

yang bersangkutan. Kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktek melalui analisis terhadap putusan-putusan tersebut. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tugas analisis hukum

adalah menganalisis konsep pengangkatan anak dilihat dari segi yuridis

atau norma yang berlaku.

Adapun metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam

penelitian ini yaitu studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian

hukum normatif ini mencakup:

1. Bahan hukum primer: sumber penelitian, yaitu penetapan Pengadilan

Negeri Denpasar No. 1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps.

2. Bahan hukum sekunder, yang merupakan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti Undang-undang, Rancangan Undang-Undang,

hasil-hasil penelitian dan buku-buku hasil karya para ahli, serta hasil

wawancara dengan para ahli hukum terkait.

3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedi dan lain


(24)

F.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan dibagi menjadi lima bab, dengan pokok

pembahasan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, batasan

masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metodelogi penelitian, studi terdahulu, sistematika penulisan..

BAB II : PERATURAN PENGANGKATAN ANAK

Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengertian pengangkatan

anak, Sejarah pengangkatan anak, Dasar pengangkatan anak

menurut Islam, dan dasar hukum pengangkatan anak menurut

Peraturan Indonesia.

BAB III : PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN

NEGERI DENPASAR

Pada bab ini akan dibahas mengenai sejarah Pengadilan Negeri

Denpasar, yuridiksi Pengadilan Negeri Denpasar, tugas dan fungsi

Pengadilan Negeri Denpasar, Penetapan Pengangkatan Anak No.


(25)

BAB IV : PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF STUDI KASUS PENETAPAN NO. 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps. PENGADILAN NEGERI DENPASAR

Pada bab ini akan diuraikan mengenai konsep pengangkatan anak menurut hukum Islam, prosedur pengangkatan anak menurut hukum positif Indonesia, analisis penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No.1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps.

BAB V : PENUTUP


(26)

BAB II

PERATURAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK

A. PENGERTIAN PENGANGKATAN ANAK

Setiap manusia didalam dunia ini memiliki hasrat. Dan salah satu hasrat

yang dimiliki oleh manusia adalah menikah. Pada umumnya, manusia menikah

dengan tujuan untuk menyalurkan nafsu biologisnya secara baik-baik/halal, serta

untuk memiliki keturunan (anak). Akan tetapi keinginan untuk memiliki

keturunan ini menjadi bermasalah ketika secara biologis, pasangan yang telah

menikah tersebut tidak dapat memiliki keturunan. Hal ini bisa disebabkan faktor

yang berasal dari pasangan pria maupun pasangan wanita. Namun, ketidak

mampuan memiliki keturunan tersebut tetap dapat mereka atasi walaupun secara

biologis tidak memungkinkan.

Kemungkinan ini dapat terjadi ketika pengangkatan anak menjadi solusi

alternatif. Pasangan yang tidak dapat memiliki keturunan secara biologis dapat

memiliki keturunan dengan mengangkat anak atau mengadopsi anak orang lain

untuk dijadikan anak mereka.

Mengangkat anak berarti mengambil anak dari keluarga lain dengan

maksud untuk dijadikan anak sendiri agar dapat melanjutkan kehidupan orang


(27)

Menurut Rifyal Ka’bah, Pengertian pengangkatan anak adalah

mengangkat anak orang lain menjadi anak kandung orang tua angkat dengan

hak-hak dan kewajiban yang dimiliki anak kandungnya, baik hak-hak waris ataupun hak-hak

menggunakan nama orang tua angkatnya, hak perwalian dan lain-lain13.

Menurut Muderis Zaini14, pengangkatan anak adalah suatu cara untuk

melakukan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan

perundang-undangan. Biasanya pengangkatan anak dilaksanakan untuk

mendapatkan pewaris atau mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak bias

memilik anak. Akibat dari pengangkatan anak tersebut ialah bahwa anak yang

diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan

segala hak dan kewajibannya. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak itu,

calon orang tua harus memiliki syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin

kesejahteraan anak.

Pengangkatan anak merupakan usaha untuk memperoleh keturunan yang

telah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Setiap peradaban,

bangsa, negara, agama dan lain-lain memiliki pandangan dan cara tersendiri

dalam melakukan pengangkatan anak. Termasuk di Indonesia pun telah lama

pengangkatan anak ini dilakukan.

13Rifyal Ka’bah,

Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama dan Akibat Hukumnya, Varia Peradilan tahun ke-XXI No 284, hlm. 32.

14

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Cet.4, (Jakarta;Sinar Grafika),2002, hlm. 7.


(28)

Di dalam hukum perdata Indonesia tidak diatur tentang masalah

pengangkatan anak atau lembaga pengangkatan anak. Hukum perdata Indonesia

hanya mengatur masalah pewarisan dengan istilah “anak luar kawin” atau anak

yang diakui (erkend kind). Artinya, disini terdapat kekosongan hukum yang bisa menimbulkan ketidakteraturan dalam masyarakat yang ingin melakukan

pengangkatan anak.

Pengangkatan anak ini dimaksudkan untuk mengangkat harkat serta

martabat dari anak itu sendiri maupun keluarga yang mengangkatnya tersebut.

Sehingga anak yang diangkat ini dapat terjamin hidupnya, nafkah, pendidikan,

serta asuhan bagi dirinya. Juga bagi keluarga yang mengangkatnya diberikan

keturunan yang kelak dapat mewarisi hidupnya berupa harta kekayaan yang

ditinggalkannya serta manfaat lainnya.

Dari segi perkembangan hukum nasional, rumusan pengertian

pengangkatan anak secara formal dan berlaku bagi seluruh pengangkatan anak di

Indonesia-tanpa membedakan golongan penduduk, juga tanpa membedakan

domestic adoption atau inter-country adoption – dituangkan dalam Peraturan

Pemerintah No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP Pengangkatan Anak”). Menurut PP Pengangkatan Anak bahwa pengangkatan

anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari

lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung


(29)

lingkungan keluarga orangtua angkat (Pasal 1 butir 2). Pengangkatan anak dengan

demikian adalah suatu perbuatan hukum pengalihan seorang anak dari suatu

lingkungan (semula) ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya. Dari rumusan

pengertian pengangkatan anak ini tidak cukup tercermin sampai berapa jauh atau

seberapa luas akibat hukum perbuatan pengangkatan anak.15

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak ditemukan suatu

ketentuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Yang ada hanyalah

ketentuan tentang pengakuan anak luar kawin. Seperti yang diatur dalam buku I

bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai pasal 289 tentang pengakuan terhadap

anak-anak diluar kawin. Ketentuan ini sama sekali tidak berhubungan dengan

masalah pengangkatan anak.

Menurut Muderis Zaini16, karena tuntutan masyarakat walaupun dalam

KUHPerd. tidak mengakui masalah pengangkatan anak ini, sedang pengangkatan

anak itu sendiri sangatlah lazim terjadi di masyarakat, maka pemerintah

Hindia-Belanda berusaha untuk membuat peraturan yang tersendiri tentang pengangkatan

anak tersebut. Karena itulah pemerintah Hindia-Belanda melalui Staatsblad

nomor 129 tahun 1917, khusus pasal 5 sampai dengan 15 yang mengatur masalah

adopsi atau anak angkat untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah

Staatsblad 1917 nomor 129 menjadi ketentuan hukum yang tertulis yang

15

Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta;Sinar Grafika),2012,hlm.105. 16


(30)

mengatur pengangkatan anak bagi kalangan Tionghoa yang biasa dikenal dengan

golongan Timur Asing.

Setelah itu dikeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)

Republik Indonesia tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No.2 tahun 1979.

Hal ini karena pemerintah mensinyalir bahwa lembaga pengangkatan anak ini

disalahgunakan seperti yang terjadi pada trafficking for women and children. Kejahatan semacam itulah yang wajib dihapuskan diseluruh dunia, karena telah

mencoreng maksud luhur untuk mengentaskan penderitaan anak demi memenuhi

haknya kehidupan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam pasal 9 UU No.

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kemudian MA mengeluarkan SEMA RI No. 4 Tahun 1989 tentang

pengangkatan anak yang berisi ketentuan bahwa syarat bagi warga Negara asing

untuk mengangkat anak warga Negara Indonesia harus berdomisili dan bekerja

tetap di Indonesia sekurang-kurangnya tiga tahun. SEMA ini kemudian ditindak

lanjuti oleh Menteri Sosial yang mengeluarkan keputusan No. 4 Tahun 1989

tentang petunjuk pelaksanaan pengangkatan anak guna memberi pedoman dalam

pemberian izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan

pengangkatan anak agar terdapat kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib

administrasi17.

17

Soimin Soedharyo, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta ; Sinar Grafika, 2004), hlm.43.


(31)

Selanjutnya MA mengeluarkan SEMA RI No. 3 Tahun 2005 tentang

pengangkatan anak. Salah satu hal baru yang diatur dalam SEMA 2005 adalah

kewajiban Pengadilan Negeri melaporkan salinan penetapan pengangkatan anak

ke MA selain kepada Departemen Hukum dan HAM, Departemen Sosial,

Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Kejaksaan dan Kepolisian. Hal

tersebut dilakukan demi memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang

diangkat18.

B. SEJARAH PENGANGKATAN ANAK

Untuk melengkapi uraian pengangkatan anak di Indonesia, akan

dikemukakan sekilas sejarah pengangkatan anak secara berurutan, mulai dari

sejarah pengankatan anak menurut Staatsblaad 1917 Nomor 129, hukum adat, dan perundang-undangan.19

1. Menurut Staatsblaad 1917 Nomor 129

Hukum keluarga adat golongan Tionghoa menganut garis keturunan

laki-laki (Patrilineal), karena itu nama keluarga (she, atau fam, seperti Tan, Oei, Lim, dan lain-lain) diturunkan melalui keturunan laki-laki. Apabila

tidak ada keturunan laki-laki untuk meneruskan nama keluarga, maka

mereka akan mengangkat anak laki-laki dari keluarga lain. Oleh karena itu,

18

Lies Sugondo, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Nasional Yang Berspektif HAM, Suara Uldialag vol 3 No X, hlm.33.

19

Musthofa, Pengangkatan Anak , Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 23.


(32)

asas pengangkatan anak hanya bias dilakukan seorang laki-laki, karena

seorang laki-laki Tionghoa wajib mengusahakan agar cabang keluarganya

tidak punah dan ada keturunan yang melanjutkan merawat abu leluhur. 20

Untuk mengetahui sejarah pengaturan pengangkatan anak bagi orang

Tionghoa dalam Staatsblaad, terlebih dahulu perlu diketahui adanya pennggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda. Adanya penggolongan

tersebut berakibat pada berlakunya beragam hukum pada masing-masing

golongan. Penggolongan penduduk ini diatur dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling yang membagi menjadi tiga golongan, yaitu:

- Golongan Bumiputra, terdiri dari mereka yang termasuk rakyat asli

Hindia Belanda yang tidak pindah ke golongan lain dan mereka

yang mula-mula termasuk dari golongan lain tetapi telah meleburkan

diri kedalam golongan Bumiputra.

- Golongan Eropa, terdiri dari orang Belanda, orang bukan Belanda

yang berasal dari Eropa, orang Jepang, orang-orang lain yang di

negara asalnya berlaku hukum keluarga yang pokoknya berdasarkan

asas yang sama dengan asas hukum keluarga Belanda, yaitu asas

perkawinan monogami dan terlaksana atas persetujuan kedua belah

pihak.

20

J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 190-193.


(33)

- Golongan Timur Asing, terdiri dari semua orang lainnya, seperti

orang Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Siam, dan lain-lain.

Berdasarkan Staatsblaad 1847 Nomor 23, hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa adalah hukum perdata negeri Belanda

(Burgerlijk Wetboek). Golongan Timur Asing (Arab, India, Pakistan) berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetboek dan selebihnya yang menyangkut hukum perorangan, hukum keluarga, dan waris berlaku hukum mereka sendiri, yaitu

hukum Islam, sebagaimana Staatsblaad 1924 Nomor 556. Sedangkan golongan Bumiputra yang beragama Kristen, berdasarkan pasal 131 ayat (4)

Indische Staatsregeling berlaku hukum adat.

Untuk golongan Tionghoa, berdasarkan Staatsblad 1917 Nomor 129, kemudian ditambah Staatsblad 1924 Nomor 557, hamper seluruh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dinyatakan berlaku bagi golongan Tionghoa.

Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) bagi golongan Tionghoa tersebut berakibat ada beberapa pengecualian, dan ada pula lembaga yang diberikan pengaturan secara

khusus, yaitu perihal pengangkatan anak.

Lembaga pengangkatan anak ini diatur khusus karena merupakan

adat Tionghoa yang berhubungan erat dengan pandangan dan kepercayaan

mereka. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) memandang suatu perkawinan sebagai bentuk hidup bersama


(34)

bukan untuk mengadakan keturunan, sehingga tidak mengenal lembaga

pengangkatan anak (adopsi).21 Oleh sebab itu, banyak ketuntuan-ketentuan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terutama dalam bidang hukum

keluarga dan hukum waris yang juga berbeda dengan hukum adat Tionghoa.

Pemberlakuan sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi

golongan Tionghoa merupakan hal yang tidak sesuai dengan pandangan,

kebiasaan, dan kesadaran hukum mereka. Namun, untuk menampung

kebutuhan adat yang sangat erat berkaitan dengan pandangan religius

mereka, maka lembaga hukum pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad.22 Ketentuan pengangkatan anak merupakan bagian dari Staatsblad

1917 Nomor 129 junctis Staatsblad 1919 Nomor 81, Staatsblad 1924 Nomor 557, Staatsblad 1925 Nomor 93 tentang Ketentuan untuk Seluruh Indonesia mengenai Hukum Perdata dan Hukum Dagang bagi Orang Tionghoa, yang

berlaku hanya bagi golongan Tionghoa.

Dalam perkembangannya, penduduk golongan Tionghoa mengalami

perubahan pandangan terhadap hubungan kekeluargaan yang semula

patrilineal menjadi bilateral atau parental. Perubahan pandangan itu

dipengaruhi berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pendidikan,

dan agama Kristen yang banyak dianut oleh mereka. Lembaga pengangkatan

21

Ali Affandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm.149.

22

Ter Haar, dalam J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 190-193.


(35)

anak masih dibutuhkan tetapi dengan tujuan yang berbeda dari tujuan

semula. Kehadiran anak angkat kadang dibutuhkan bagi mereka yang tidak

mempunyai anak untuk mengisi kekosongan dalam keluarga atau

memelihara mereka di hari tua. Oleh karenanya pengangkatan anak tidak

perlu dibatasi hanya anak laki-laki.23

Didalam Burgerlijk Wetboek, tidak terdapat peraturan tentang pengangkatan anak. Namun, dalam perkembangannya sejak tahun 1956,

Burgerlijk Wetboek Belanda yang baru (Nieuwe Burgerlijk Wetboek) telah mengatur pengangkatan anak. Latar belakang pengaturan ini terutama karena

keinginan yang dirasakan oleh masyarakat untuk memberikan pemeliharaan

kepada anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya

kurang mampu.

Adapun yang dibolehkan melakukan pengangkatan dalam Nieuwe Burgerlijk Wetboek hanya pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak sendiri dan sudah lebih dari lima tahun dalam perkawinan. Pengangkatan

anak tidak boleh dilakukan terhadap anak sendiri yang lahir diluar

perkawinan (natuurlijk kind). Anak luar kawin itu dapat diakui dan disahkan menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada (erkening dan wettiging).

23

J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 190-193.


(36)

2. Menurut Hukum Adat

Hukum kekeluargaan adat memandang bahwa keturunan adalah

ketunggalan leluhur, artinya dua orang atau lebih yang mempunyai

hubungan darah dengan tunggal leluhur. Akibat hukum yang berhubungan

dengan ketunggalan leluhur bervariasi di masing-masing daerah. Ada satu

pandangan pokok yang sama bahwa keturunan merupakan unsur yang hakiki

serta mutlak bagi suatu klan, suku, atau kerabat yang menginginkan dirinya

tidak punah dan menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Apabila

suatu klan, suku, atau kerabat yang khawatir akan menghadapi kepunahan

pada umumnya melakukan pengangkatan anak. 24

Pengangkatan anak dalam hukum adat bukan merupakan suatu

lembaga yang asing. Lembaga itu dikenal luas hampir di seluruh Indonesia

yang dilakukan dengan cara dan motif yang bervariasi.

Misalnya di Jawa, anak angkat biasanya diambil dari anak

keponakannya sendiri, laki-laki atau perempuan. Sedangkan motivasi

pengangkatan anak tersebut berdasar alasan-alasan antara lain:

- Karena tidak mempunyai anak.

- Untuk mempererat tali persaudaraan dengan orang tua anak yang

diangkat.

- Karena belas kasihan disebabkan orang tuanya tidak mampu, anak

yatim, atau anak yatim piatu.

24


(37)

- Adanya kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak akan mendapat

anak keturunannya sendiri (panutan, sebagai pemancing).

- Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka mengangkat anak

perempuan atau sebaliknya.

- Untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu pekerjaan

orang tua sehari-hari.

Demikian pula akibat hukum pengangkatan anak dalam hukum adat

sangat bervariasi. Misalnya di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan

pertalian keluarga antara anak angkat dan orang tua kandungnya. Anak

angkat masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat sebagai

anggota keluarga, tetapi tidak berkedudukan sebagai anak kandung unruk

meneruskan keturunan bapak angkatnya. Sedangkan di Bali, pengangkatan

anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak dari pertalian keluarga

orang tua kandungnya dan memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak

angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan menjadi anak kandung untuk

meneruskan keturunan bapak angkatnya.25

Kedudukan anak angkat dalam hukum adat dipengaruhi oleh sistem

kekeluargaan atau keturunan. Sistem kekeluargaan di Indonesia dibedakan

menjadi tiga corak, yaitu:

25

Amir Martosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara Prize, Semarang, 1990, hlm. 13-14.


(38)

- Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis

keturunan bapak, kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya

daripada kedudukan perempuan.

- Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis

keturunan ibu, kedudukan perempuan lebih menonjol pengaruhnya

daripada kedudukan laki-laki.

- Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik

menurut garis dua sisi, yaitu bapak dan ibu, kedudukan laki-laki dan

perempuan tidak dibedakan.26

3. Menurut Perundang-undangan RI

Undang-undang yang mengatur pengangkatan anak di Indonesia yang

dibuat secara lengkap dan tuntas masih belum ada.27 Dalam sejarah

perundang-undangan yang berkaitan, pengaturan pengangkatan anak sempat

masuk dalam rancangan undang-undang, yaitu dalam Rancangan

Undang-Undang (RUU) tentang Perkawinan dan Rancangan Undang-Undang-Undang-Undang (RUU)

tentang Peradilan Anak.

Dalam sejarah proses pembuatan hukum (law making process) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Rancangan Undang-Undang (RUU)

26

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditia Bakti, Bandung, 1993, hlm. 23. 27

Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 5-6.


(39)

tentang perkawinan mengatur pengangkatan anak dalam Pasal 62 sebagai

berikut:

(1) Suami istri bersama-sama dapat mengangkat seorang anak atau lebih.

(2) Yang dapat diangkat menjadi anak angkat ialah anak yang belum

kawin dan belum diangkat oleh orang lain.

(3) Anak yang diangkat sekurang-kurangnya harus 18 (delapan belas)

tahun lebih muda dari suami dan sekurang-kurangnya 15 (lima belas)

tahun lebih muda dari istri.

(4) Apabila anak yang diangkat itu masih saudara dari suami istri, dalam

hubungan keluarga dia tidak boleh mempunyai derajat kekeluargaan

yang lebih tinggi dari suami yang mengangkatnya.

(5) Untuk pengangkatan anak diperlukan izin dari orang tua atau walinya

dan persetujuan anak itu sendiri apabila ia sudah berumur 15 (lima

belas) tahun.

(6) Pengangkatan anak dilakukan dengan keputusan Pengadilan atas

permohonan suami dan istri yang mengangkat anak itu.

(7) Permohonan pengangkatan yang dimaksud ayat (6) pasal ini dapat

diterima apabila pengangkatan itu menguntungkan kepentingan anak

yang diangkat.

(8) Anak yang diangkat mempunyai kedudukan hukum sama seperti anak


(40)

(9) Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keluarga

antara anak yang diangkat dengan keluarganya sedarah dan semenda

garis ke atas dan ke samping.

(10)Pengangkatan anak dapat dicabut kembali oleh keputusan pengadilan

atas permohonan anak yang diangkat demi kepentingannya.

Permohonan pencabutan diajukan secepat-cepatnya 2 (dua) tahun dan

selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah anak itu berumur 18

(delapan belas) tahun.

(11)Pencabutan ini mengakibatkan bahwa anak tersebut tidak lagi

mempunyai kedudukan hukum sebagai anak sah dari suami istri yang

mengangkatnya.

(12)Hubungan keluarga yang putus karena pengangkatan yang dimaksud

ayat (9) pasal ini, hidup kembali karena pencabutan.

Ketentuan pasal dalam RUU Perkawinan ini termasuk salah satu pasal

yang mendapat reaksi keras dari umat Islam karena bertentangan dengan

hukum Islam. Hasil Musyawarah Ulama Jawa Timur pada tanggal 11

Agustus 1973 mengusulkan pasal 62 tersebut untuk diubah sebagai berikut:

- Ayat-ayat (1) sampai dengan (7) tidak ada usul perubahan.

- Ayat (8) kata-kata “sama seperti” diubah menjadi “tidak sama

dengan”.

- Ayat (9) kata “putusnya” diubah menjadi “tidak putusnya”.


(41)

- Ayat (11) dihapuskan, sebagai akibat dari usul perubahan pada Ayat

(9).

- Ayat (12) dihapuskan atas dasar yang sama.28

RUU tersebut selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang RI

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai legal product dengan menghapus semua ketentuan pasal 62 yang mengatur pengangkatan anak,

sehingga dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tidak ada ketentuan yang mengatur pengangkatan anak.

Perbedaan prinsip yang demikian itu pula yang melatar belakangi

tidak diaturnya mengenai pengangkatan anak dalam Undang-Undang RI

Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang kemudian hanya

dirumuskan dalam 1 (satu) pasal,29 yaitu Pasal 12:

a. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan

mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.

b. Kepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud dalam Ayat (1)

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

c. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang

dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan bedasarkan

Peraturan Perundang-Undangan.

28

Amak, Proses Undang-Undang Perkawinan, Al-Maarif, Bandung, 1976, hlm. 47. 29

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 87.


(42)

Ketentuan pasal itu menekankan bahwa dalam pengangkatan anak

harus mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Tujuan pengangkatan

anak tidak lagi dilakukan hanya untuk melanjutkan keturunan tetapi telah

terjadi suatu pergeseran ke arah kepentingan anak (favor adoption). Mengenai kepentingan kesejahteraan anak selanjutnya akan diatur dengan

Peraturan Pemerintah, namun Peraturan pemerintah yang dimaksud belum

pernah ada sampai saat ini.

C. DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT ISLAM

Sebelum Islam datang, pengangkatan anak di kalangan bangsa Arab telah

menjadi tradisi turun-temurun yang dikenal dengan istilah “tabanni”30 yang artinya mengambil anak angkat.31

Nabi Muhammad SAW pernah melakukan pengangkatan anak sebelum

masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Haritsah, tetapi kemudian

tidak lagi dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya (Haritsah) melainkan diganti

dengan anam panggilan Zaid bin Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW

mengumumkan di hadapan kaum Quraisy dan berkata: “Saksikanlah bahwa Zaid, aku jadikan anak angkatku, ia mewarisiku, dan aku pun mewarisinya”. Sikap nabi

Muhammad SAW tersebut merupakan cerminan tradisi yang ada pada waktu itu.

Oleh karena nabi menganggap sebagai anaknya, maka para sahabat pun

30

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 50.

31

Ibrahim Anis dan Abd. Halim Muntashir et al., Al-Mu‟jam Al-Wasith, Majma‟ Al-Lughoh Al-Arabiyah, Mesir, 1392 H/1972 M, Jilid II, hlm. 72.


(43)

memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad SAW.32 Demikian pula pernah

dilakukan sahabat Huzaifah yang telah mengangkat seorang anak bernama Salim

dan hal itu mendapat persetujuan dari nabi Muhammad SAW.

Zaid bin Haritsah bin Syarahil bin Ka’ab bin Abdul Uzza adalah seorang anak yang berstatus budak berasal dari Siam. Masa kecilnya hidup dan dibesarkan

di Tihamah. Zaid diculik dan dibawa ke Mekkah sebagai budak belian. Hakim bin

Hizam bin Khuwailid membeli Zaid untuk bibinya Khadijah binti Khuwailid,

selanjutnya Khadijah menyerahkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Umur

Zaid saat itu sekitar delapan tahun. Setelah nabi Muhammad SAW menerima dan

memerdekakannya, Zaid dijadikan anak angkatnya. Suatu ketika keluarga Zaid

yang selama itu mencari Zaid mengetahui perisitiwa tersebut, lalu ayah dan

pamannya yang bernama Ka’b bin Syarahil datang ke tempat nabi Muhammad

SAW untuk menebusnya. Atas kehadiran keluarga Zaid tersebut, nabi

Muhammad SAW bersabda bahwa yang demikian itu terjadi pula pada masa lalu

(sebelum Islam). Kemudian nabi Muhammad SAW memberikan opsi kepada

Zaid untuk pergi bersama keluarganya tanpa membayar tebusan, atau tetap tinggal

bersama nabi Muhammad SAW. Zaid memilih tetap tinggal bersama nabi

Muhammad SAW dan menyatakan bahwa meskipun dia berstatus merdeka pergi

bersama keluarganya, tetapi dia memilih tetap tinggal bersama nabi Muhammad

SAW karena nabi sebagai pengganti ayah dan pamannya bersikap sangat baik

32

Nasroen Haron dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm. 29-30.


(44)

kepadanya.33 Setelah Zaid dewasa, nabi menikahkan Zaid dengan Zainab binti

Jahsy.

Setelah nabi Muhammad SAW menjadi rasul, turun surat al-Ahzab ayat 4,

5, dan 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum

memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi seperti yang telah

dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa ayat itu turun

berkenaan dengan peristiwa Zaid bin Haritsah. 34 Melalui peristiwa asbab an-nuzul ayat Al-Quran tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh dilakukan, karena nabi Muhammad SAW telah melakukannya, tetapi

pengangkatan anak tersebut tidak mengubah status nasab seseorang, karena Allah

SWT telah menyatakannya dalam Al-Quran bahwa status nasab Zaid tidak boleh

dinisbahkan kepada nabi Muhammad SAW.35

Dalam peristiwa selanjutnya, ternyata rumah tangga Zaid dan Zainab

mengalami ketidakharmonisan. Zaid bin Haritsah meminta izin kepada nabi

Muhammad SAW untuk menceraikan istrinya, tetapi nabi Muhammad SAW

bersabda: “Peliharalah istrimu, jangan kau ceraikan, dan bertakwalah engkau

33

Al-Qurthubi dan juga Ibn Katsir, dalam Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam.

34

Al-Qurtubi dan Ibn Katsir, dalam Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam.

35

Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam.


(45)

kepada Allah SWT!”. Setelah Zaid tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangganya, maka nabi Muhammad SAW memperkenankan perceraian mereka.36

Setelah Zainab melewati masa iddah, Allah SWT memerintahkan nabi Muhammad SAW untuk mengawini Zainab, sebagaimana firman Allah SWT

dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 37:

                                                                                       (

٣٧

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang telah Allah SWT melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat

kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah SWT”,

sedangkan kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah SWT akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah SWT yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan dengan istrinya. Dan adalah ketetapan Allah SWT itu pasti terjadi.”

Perkawinan nabi Muhammad SAW dengan bekas istri anak angkatnya ini

menegaskan bahwa adanya hubungan pengangkatan anak tidak serta-merta

menciptakan hubungan nasab yang mengakibatkan statusnya sama dengan anak

36

Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2004, hlm. 26.


(46)

kandung, karena menikahi bekas istri anak angkat itu dibolehkan, sedangkan

menikahi bekas istri anak kandung diharamkan untuk selama-lamanya.37

Menurut Zakaria Ahmad Al-Barry, mengangkat anak yang sangat

membutuhkan bantuan orang lain untuk keberlangsungan hidupnya tanpa

berakibat hukum seperti pengangkatan anak pada zaman jahiliah adalah menjadi

tanggung jawab masyarakat secara kolektif dan dilakukan oleh beberapa orang

sebagai fardhu kifayah. Hukumnya berubah menjadi fardhu „ain apabila seseorang menemukan anak terlantar atau terbuang di tempat yang sangat

membahayakan nyawan anak itu, karena sesungguhnya jiwa manusia berhak

dijaga dan dipelihara.38

Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pengangkatan anak pada Maret

1984 mengemukakan sebagai berikut:

1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah ialah anak yang lahir dari

perkawinan (pernikahan).

2. Mengangkat anak dengan pengertian anak tersebut putus hubungan

keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan

dengan syariat Islam.

3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan

agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,

37

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 108.

38

Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2004, hlm. 30-31.


(47)

mengasuh, dan mendidik mereka dengan penuh kasih saying seperti anak

sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang

dianjurkan oleh agama Islam.

4. Pengangkatan anak Indonesia oleh warga negara asing selain bertentangan

dengan UUD 1945 juga merendahkan martabat bangsa.39

39

Dep. Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaran Haji, Jakarta, 2003, hlm. 178.


(48)

D. DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT PERATURAN

INDONESIA

Pengaturan pengangkatan anak di Indonesia dalam perundang-undangan

beberapa kali mengalami kegagalan karena adanya perbedaan mendasar mengenai

konsepsi pengangkatan anak. Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ada

berdasarkan konsepsi pengangkatan anak menurut Staatsblad 1917 Nomor 129 dan tradisi pengangkatan anak zaman jahiliah yang berbeda dengan konsepsi

pengangkatan anak menurut hukum Islam. Namun, beberapa hal mendasar

mengenai pengangkatan anak yang selaras dengan hukum Islam mulai masuk

dalam perundang-undangan, yaitu Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41.40

Pengaturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan telah

mengalami kemajuan dibandingkan keberadaan lembaga pengangkatan anak.

Ketentuan pengangkatan anak tidak mengenal diskriminasi laki-laki atau

perempuan bagi calon orang tua angkat maupun calon anak angkat. Pengaturan

lembaga pengangkatan anak merupakan upaya agar setiap anak mendapat

kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,

baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia. Ada beberapa hal penting

40

Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 41.


(49)

mengenai penagturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan yang patut

diketengahkan, yaitu:

- Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik

bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.41

- Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang

diangkat dengan orang tua kandungnya.42

- Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh

calon anak angkat. Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama

anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.43

- Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terakhir (ultimum remedium).44

- Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya

menegenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya, dengan memperhatikan

kesiapan anak yang bersangkutan.45

- Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan

terhadap pelaksanaan pengangkatan anak. 46

41

Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 42

Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 43

Pasal 39 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 44

Pasal 39 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 45

Pasal 40 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 46


(50)

Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa

permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke

Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan

khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan,

pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya.47

Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat

tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan

dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat

setelah memperoleh putusan pengadilan.48 Pengadilan Negeri atau Pengadilan

Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima,

memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya,

antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu

kepada hukum terapannya.

Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa Mahkamah Agung sendiri

sebagai penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa

peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara

Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga

Negara Asing ternyata tidak mencukupi, namun ada beberapa peraturan hukum

47

Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 28.

48

Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 28.


(51)

yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok

kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya:

1. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang

ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979

tertanggal 7 April 1979, tentang Pengangkatan Anak yang mengatur

prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan/atau

permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh

pengadilan.

3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 tahun

1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983.

4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku

sejak tanggal 14 Juni 1984.

5. Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,

tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober

2002.

6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005, tentang

Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005, setelah terjadinya


(52)

dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyaknya anak-anak

yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing

untuk mengangktanya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial

Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak

tersebut.

7. Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49

huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:”… Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan

hukum Islam”.

8. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti

oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara


(53)

43

BAB III

PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK

PENGADILAN NEGERI DENPASAR

A. SEJARAH PENGADILAN NEGERI DENPASAR

Jauh sebelum dikuasai oleh Pemerintah Belanda, Bali terdiri dari sembilan Kerajaan kecil-kecil yaitu: Buleleng, Jembrana, Bangli, Tabanan, Karangasem,

Gianyar, Mengwi, Klungkung dan Badung.

Raja tertinggi dari semua Kerajaan ini adalah raja Klungkung yang terkenal dengan sebutan Dewa Agung Klungkung, Pada akhir abad ke XIX tinggallah 8 kerajaan karena Mengwi telah ditaklukan oleh Badung, berturut-turut dalam peperangan 1814, 1880, dan terakhir 1892. Peristiwa yang paling penting dalam sejarah Kabupaten Badung adalah Puputan Badung yaitu, perang habis-habisan sampai tetes darah yang terakhir melawan Penjajah Belanda. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Kamis Kliwon tahun Caka: 1828 (20 September 1906) saat dimana Badung jatuh ke tangan belanda.49

DARI TAHUN 1906 s.d 1942

Ketika pemerintahan berada ditangan penjajah Belanda, Daerah Badung merupakan suatu Onderafdeling yang dikepalai oleh seorang Asistent Resident yang berkedudukan di Denpasar. Dengan adanya Zustelling berstuurder tanggal 1 juli 1938. Pemerintah menjadi Zelf berstuurnd Landskap (kerajaan), dikepalai

49


(54)

seorang Raja dengan gelar Tjokorda Negara Badung ( Staasblad Hindia Belanda 1938, No. 529), berada di bawah dewan yang bernama Paruman Agung yang diketuai oleh Resident van Bali en Lombok yang berkedudukan di Singaraja. Pemerintahan seperti ini berlangsung sampai tahun 1942.

DARI TAHUN 1942 s.d 1945

Tidak terjadi perubahan Pemerintahan yang Prinsipil selama masa pendudukan Bala tentara Jepang, hanya gelar Tjokorda Negara Badung dirubah dan diganti menjadi Badung Sutjo. Dengan lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1957, tentang pokok pemerintahan Daerah, maka dihapuskan kedudukan semua kerajaan menjadi Daerah Tk II Badung dan Daerah Bali sendiri menjadi Daerah Tk I.

Sejak pemerintah Belanda sampai dengan pemerintah Jepang yang pada waktu itu juga berkuasa di Bali, di daerah hukum pengadilan Negeri Denpasar yang meliputi wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Denpasar dan Badung, badan peradilannnya adalah Pengadilan Swapraja , yang disebut Majelis Kerta di Denpasar atau “Raad Van Kerta” yang langsung diketuai oleh Kepala Swapraja yang disebut dalam istilah Belanda “de self bestuurder” dan kemudian pada waktu pemerintahan Jepang (dai Nippon) disebut dengan istilah “Syuco”. Setelah kemerdekaan RI (RI-RIS) disebutkan“Raja/Ketua Dewan Pemerintah swapraja”.

Pada tahun 1951 dengan berlakunya undang-undang No. I Tahun 1951 dengan dihapuskannya Pengadilan-pengadilan Swapraja, daerah Swanantra di Bali maupun daerah-daerah lainnya di wilayah Republik Indonesia, maka


(55)

dibentuklah Pengadilan-pengadilan Negeri salah satunya Pengadilan Negeri Denpasar.

B. YURISDIKSI PENGADILAN NEGERI DENPASAR 1. Kewenangan Absolut Pengadilan Negeri

Didalam pasal 50 UU No. 8 Tahun 2008 tentang perubahan atas

Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang

bahwasanya menyatakan “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di

tingkat pertama.” Jadi dapat diberikan sebuah kesimpulan dasar bahwa semua perkara pidana maupun perdata menjadi kewenangan Peradilan Umum (asas lex generalis).50 Akan tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang yang menetukan bahwa terhadap perkara-perkara tertentu menjadi kewenangan

peradilan dalam lingkungan peradilan khusus yang dinamakan dengan Asas Lex Specialis. Maka apabila kedua asas tersebut berhadapan maka secara lex specialis asas ketentuan khusus tersebutlah yang lebih di utamakan.51

Kewenangan absolut Peradilan Negeri/umum yang telah di atur dalam

pasal 50 dan pasal 51 UU Nomor 2 Tahun 1986 (Tentang Peradilan Umum),

hanya berwenang mengadili perkara:

50

Ahmad Kamil dan M. Fauzan, “Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia”…..h. 1 Lihat juga Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktiaan, dan Putusan Pengadilan”, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010) 189

51

Ahmad Kamil dan M. Fauzan, “Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia”…..h. 1


(56)

a) Pidana (Pidana umum dan Khusus)

b) Perdata (Perdata umum dan Niaga)52

2. Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri

Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang sama

jenis dan sama tingkatan, contohnya: antara Pengadilan Negeri Bogor dengan

Pengadilan Negeri Subang, dan Pengadilan Agama Muara Anim dengan

Pengadilan Agama Baturaja.53

Dan Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Ketentuan

umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi

tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg.

Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat

(1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain kewenangan

relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. Pengadilan yang berhak

52

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 50 dan 51. Lihat juga Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktiaan, dan Putusan Pengadilan”, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 181

53Basiq Djalil, “Peradilan Agama di Indonesia: gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syari‟at Islam Aceh” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 146


(1)

I

lS-a

epuet Uaqtp IIVAVrIM

)IIII

'ue

reue

;sdopdebuaur >lnlun ueleJaqe)

lep[

ueeleAura6

]eJns

!V-a

epuet Uaqlp INIJ-UVHnS

'ue

)eue

rsdopdebuauu

)nlun

ueleraqa)

)eplr

ueele{u;e6 lerns

19-6 epuet Uaqtp VCNITVSOU INVAU1N uV 61y {do3 o1o3

--!

7- d epuel Uaq!p

'

qOOZ la6 EZ le66uelral 9002/dSIA/IU V/TgtZOO

.oN uelLlele)

at)V

uedrlny

{docotoJ

I-d

epuel uaqlp

ZT0Z leqLuesa6l

€I

le66ueyel

)eue

ueqeleAurad

lernS

Adoc

olol

.I

:mtrislmris

:

ednraq

ll)nq-ll)nq

uelnfebuau qele] uoL{oulad 'eAuueuoqouued

lllep-lllep uellenbuau

)nlun

eMLleq

,6uequr1ue6

i

e{uueuoqouuad eped ue1;eqled

epe

ueleleAuaur

uor.loruad ,ueleceqlp ueuoqouuad

qelelas uep ueouep;slad

plnual

tJtpues depeqouaur 6ue1ep uor.louad

ue1de1e1;p

qelal

6ue{

6uep;s UeLl

eped

eMqeq ,6uequgua6

I

uoqoura6

epedal

!u!

ueuou:rad

teql)e

lnquol

6uert

e{e;q

ub)ueqaque6 .v lZt1Z raqruasa6 1 1e66uet eped ;esedua6 !p rlqel 6ue{ VNVIVUd IUJ€1OU NIAVS erueuraq 6ueA

t)el-!lel

>leue uetele)ue6uad

6ue1ua1

uelrplJepueu

)nlun

6unpeg

ualednqey

lldls

uelele3 uep ue)npnpuaday

rolue)

eleday

epedel

ulfl

uaquja6 .E

lZt1Z raquasa6

4

1e66uet eped ;eseduag !p rlqel 6ue{ VNVIVUd

lUlgOU

NInVg erueuraq 6ueA

!)el-!)el

)eue

uele>16uebuad

qes

uele1e{ua61 .Z

's

'b

'€


(2)

1 1s1eg pJepnes qelepe uoLloruad eML1eg

Ulpuas nll )eue ue)lplpued uep uedap eseut

lnlun

lnqasJel

Ieue

uelelbuebuad uelnfebuau

uor]oued

eMqpg

lueleraqal

6ue{ e6;en1a1 epe lep!1 'lnqaslal

)eue

uele>16ue6uad depeq.ral eML{eg

!ZyOZ raquase6

/

le66uel

eped reseduag

lp

rlqel

'VNVIVUd IUI€1OU

NIAV9

eueu

Uaqlp

6ue{

!)el-llel leue

1e16ue6uau L{epns

uotloued

leuaq

eMl{eg

I

qe>11uaur unleq !u! lees ledures uorloued Jeueq eMLleg

i

uoqourad Uep bunpuel >lele) qelepp !s)es eueullp eblenlal

ue6unqnq

epe

upp

uor.louad

uebuap

leua)

ls>les reuaq eMqe€

I

;s1e5 erepnes qelepe uoqouad eMqeg

:IIV'NVUS.INVIUNS

IS)VS'I

: etrleuJeq 6u;seur-6u;seu'qeduns qeMeqtp uebuelalal ue>llJequleut 6uer( !s)ps

6uero

(

enp

)

Z

ue)nfebuaur L]elel uor,lorued uebuep;s.rad

urelep!p

lnqasJel

!l)nq

lelns-lerns

ulelas eMqeq '6uequrgua6

I

qes

lllnq

1e1e re6eqas 1e-reAs lqnueuau.r qelai e66ulqas

'

rensas

eleAural eAurlse

!l)nq

uebuap

uelolollp

qelal eyas

dnlnr

!eJalerrlreq

qelel uep 'g1q1allp uep esluad;p qelal euput

lllnq

Jelns-lerns uenfebuad

0I-d

epupt Uaqlp e6:en1ey

ntre)

{do3 otoJ '6

B-d epuel Ueqlp

OfDnI'uV

uerletla)

uebuerale) Jerns

ldo3

olol

'B Z-d ppuet Uaqlp VCINITVSOU INV UnN uV

uelqelo)

aUV Ado3 otoJ

'/

lg-a

Ppuet Uaqtp INVAUnS

)nn


(3)

IZyOZ raquesaq

/

le66uel eped reseduaq

lp

rlqel

'VNVIVUd

lUlgOU

NIAV9

eueu

Ueqlp

6ueA

!)el-!)el

leup

lelbuebuaur

qppns

uoqoued

Jeueq eMqeg 1 qelguaur ulnleq lu! lpes gedures uot{otuad Jpueq eMqeg

: ln)tJoq ;ebeqes

el)eJ-elleJ

qa;oladureul uellpebua6 uebuepgs.rad;p uoqoruad

Llalo ue>1nte;p 6uer(

stlnilal

ll)nq-lllnq

eues

!qes-!qes

ue6uelala>g

uep uor.lor.ue6 uebueJale) lebuapueu L{elelas eMLleq ,6uequtlue6

1 selelp lnqaslal eueur;ebeqes qelepe

uoqoued

ueuoqoul;ad uenfnl uep pns)euJ eMr.{eq ,6uequrua6

ffi

1 uellpe6ue6

Uep uedelaua6

uoqou uoLloued

eAu.r;q1e eMqeq ,buequlua6

1 ;ur uedelouad ruelep >lnseu de66uerp uep uebueplsled erpf,e eluaq uelep teqlltp ledep !u! ere)rad uelep ge;pe[a1 e;e6as

p)eu

lul

uedeleued ueteJn le)6uls.reduraur

)nlun

eMqeq ,6uequrguayl

Ulpues nlt )eue ue)lplpuad uep uedep eseut

)nlun

lnqesJol

)eue

ue1e16ue6ue6 uelnfe6uau uor1oued eMr.1eg

lueleleqal

6ueA e6ren1a1 epe )ep!1 'lnqaslol

)eup

uele>16uebued depeq-ra1 eMqeg lZt1Z raqruase6

Z

le66uel

eped resedua6

!p

rlqel

'VNVIVUd t_UJgOU

NIAV9

eueu

Uaqtp

6ue{

l)el-llel

)eue

1el6ue6uaur

Llepns uorloruad

reueq emqeg

I

qe1;uau rrlnlaq !ul lees ;edures uotloruod Jeuaq eMqpg

I

uoqouted Uep bunpuel )ele),1 L{elppe lsles

eueulp

e6len;a1


(4)

ledueu

L{elel uep upq uelpnrue)lp

lele) lnlun

lnqasrol >leue uednptLla) upp dnprq ueouns6uelel uebu;1uada1 1n1un ruep e)pru ,se1e1p lnqesJal

ue6ueqtulilad

Uep

ue;[e1 ue)lesppraq

eMLleq ,6uequlua6

lnqesJal )eue uednprqe) uep dnptq re^elqureu

)nlun

ndureu.r

6uepuedlp

uoqoruad

eMLleq ueselereq

dnlno

L.lepns e>leu ,efua>1aq

ebnf uoqoruad eupulp ueL{-ueqas uednprqe) uelep eMqeq '6uequr1ua61

6uerelas

!edues

rJrpuas eAubunpue>1

)eue

llradas

uoLlorued

qelo )!p!plp undneur qnselp 'eleq1;ad!p

lnlun

e^uu6unpue>1 en1 6ue:o qelo selql! eJef,as ue)Lleleslp Llelal lnqasral )eue euerrJlp

'

zroz

reqruesec

L0

1e66ue1 1e[as

]nqaslal

leue

lnse6uaul

Llelal

uoqoutad

eMqeq

1edue1 'se1e;p

lnqaslol elleJ

ue)Jeseplaq eMqeq ,6uequ1ue6

I

1;.rrpuas n1l 1e16ue )eup uep rrln)nq JnJnuau

ulel

leq

-

)eq

uep uedap eseut e{uu1ue[:a]

)nlun

Llelepp lnqasJel

)eue

ue1e16ue6ued uen[n1

uep

le)e)eq

emqeq ,6uequrrua6;

I

peq uelpnue)tp tnqasrel )eue Uep ulel

)eq

)pq

uep uedap

eseul

,urnlnq

ueqlsedel e{uurr.ue[.ra1

)nlun

lnqeslel

>leue

1e16uebuaur uoLlorrlod

uen[n1

eMqeg I lnqas;el )eue 6unpuel en1 6ue;o lebeqas eAuleAel

lnqaslel

1e16uerp 6ueA )eue

depeqral eAuueqlfeMe) up>leueslelau dnbOues uor.loruad emLlpg

I

lnqeslel

)eue uelel6uebuad ue6uap nln1as rjelal uor]ouad Jesaq e6.ren1e1 enLues Jeuaq eMqeg

I

rtuouo>1a 16es undneu ue)lplpued !6as uep >l!eq lnqasral >leue

snlnbueur

lnlun

ndureur de66uerp uoqoued uednprqa>1 reuaq emqpg

lr.lpuas elu6unpue) )eue ;ebeqas ue1n1e1_redlp


(5)

lqerdn.r nqrJ [!eue qnlnd ureua snlelag) -'000'99T'u Jeseqes uoqourad

epeda>1

lul

ueuoqouled

leql)e lnqulll

6uer(

elerq

ue)ueqaqura6

.,

1n1r 1n1un ue))nlun:adlp

6ue{ relsrbel ruelepa)

up)lelelrp

le6e

bunpeg ualednqey lldls uelele3 uep ue)npnpuada)

Jolue)

eleda) epedal

lul

uedelaued

bueluel uepeuepueu

)nlun

uoqoued

epedel

ue)L.lelupoule6 .E

iZtOZ raquase6 1 1e66ue1

epeod resedue6 !p r!Llel 6ue{ VNVIVUd

lut€OU

NIAV9 errreuroq

6ueA

!)el-uel

leue

depeq-re1 VCINITVSOU INV

UnN

uor.louad

qalo

ue)n)el!p

6ue{

)eue

uelel6uebued

qes

ueleleAua6

I

uoqoured ueuoqor.ulad uellnqebua6

NVXdVMNfI'rl

i

uelnlbuesJoq 6ueA ulel ueJnlelad

-uernlerad

plJas 6uepul-6uepun Uep lesed

lesed 1e6ur6ua6

--

luoqoura6 epeda>1 ue>lueqeqlp

lnled

lu! ueuoLlouuad

leql)e

lnqLull 6ue{ eAe;q enuJes ererrr ue4nqe)!p

uor.louad

ueuoqotulad

eueJe)

qelo

eMqeq

,buequtrua6

1e{unlledas lpuols)epeJ up}!eqred ue6uep ue)lnqe>llp )nlun

ueseleJeq

dnlnr

uoqouled ueuoL.lorrj.rad eleur'6uepu1-1-6uepu1 ue6uap

uebuelueueq

lepll

uoL{otuad upuoqoulad uep sele;p uel6uequr;yad;p

qelel

6ue{

eueurgebeqas

uetern

ue6uep eMLleq ,6uequ;ue6

I

uoqouted eled

1e16ue )eue lpeluaur n]t

)eue

lel6ue6uaur

lnlun

uoqoued

eled

;6eq ueseleraq 1n1ed up!)lulap uebuep ueleraqe)raq OueA 1eq;d-1eq1d epe Iep!1 egnd ;6e1

'tlpuas

e{u6unpuel

Ieup

ryadas nJl

)eue

ue6uap

uorlouad

pJpJue

le)ap

1e6ues 6ueA 6uertes q!se) ueul;et ueln[unueuj

'z


(6)

'200 T €02861 0r80ss6T'drN

Jeseduac ua6aN uellpe6ued erelrupd MeM

!urseu ueu!les

)nlun

@'.''.''.''..qelujnr

....'...!s>lepeu

-'000'9

'dU

""""'rereJeN

-'000'0t

'dU'

""""

uereuepuad --'000'0S

'dU"

"""sasor6

eAe;g

,000..52

.dU

...'.'.'uel!66uea eAe;g

-ffi

@

ffi

NI)VH

,IINYbgN]d

VU]IINVd

oqoulad Llalo UlpeLllp uep resedua6 UeOeN uellpebuaa eped

llue66uad erellued HS'NnICV

lnll)

Ljalo nlueqtp tnqasrat ul!>leH qalo ulnuJn

)nlun

elnqrol

6ueA ue6ueplsred

uelep

ue>1decn;p e6n[ n]! UeLl

eped

eueu

uedelaued uep 1e66un1 Lu!)eH

lebeqas

'lesedua6 ua6ap

uel;pe6ua6 eped urlleH 'HS'INVAUI1^I VIUCNI: tule>l qalo €TOZ

reqollg