BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini di Indonesia kebutuhan masyarakat terhadap pengangkatan anak merupakan salah satu bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena
menyangkut kepentingan orang-perorang dalam keluarga. Khususnya di Bali pengangkatan anak dilakukan melalui tradisi adat Bali untuk melanjutkan hak dan
kewajiban secara waris dari keluarga yang mengangkat dan tentunya pelaksanaan pengangkatan anak juga haruslah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Untuk mengakomodir setiap orang yang ingin melakukan pengangkatan anak maka telah muncul lembaga yang mengurusi pengangkatan
anak adopsi yang kini telah menjadi bagian budaya masyarakat. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,
bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus
senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Anak.
Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di masa datang, generasi penerus cita-cita
bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
1
Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-
masing daerah. Anak, demi pengembangan kepribadiannya secara utuh dan harmonis hendaknya tumbuh kembang dalam suatu lingkungan keluarga yang
bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Namun tidak sedikit pula anak-anak yang di terlantarkan, hanya karena beberapa faktor, dan diantaranya adalah karena
faktor ekonomi seperti kemiskinan. Merasa tidak sanggup untuk memenuhi hak- hak anaknya orangtua rela menyerahkan anak kandungnya ke panti asuhan karena
takut menterlantarkan anaknya.
2
Ada beberapa sebab sehingga pengangkatan anak berkembang dalam masyarakat, antara lain :
a. Karena tidak mempunyai anak
b. Karena belas kasihan terhadap anak yang mempunyai orang tua kandung
tidak mampu, atau anak tersebut sudah yatim piatu c.
Hanya memiliki anak laki-laki saja atau anak perempuan saja d.
Sebagai pancingan agar dapat memiliki anak sendiri.
1
Ahmad Kamil dan Fauzan, 2010, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, Cetakan ke-2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta , hal.1
2
Koesparmono Irsan, Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Brata Bhakti, 2009, hlm. 63.
.
Definisi anak angkat dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang berbunyi : “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”. Di Bali pengangkatan anak juga tidak terlepas dari pengaruh hukum adat.
Dalam masyarakat hukum adat, pengangkatan anak dilakukan untuk mengayomi, membantu dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak angkat. Dalam
tradisi masyarakat adat, pengangkatan anak melalui sebuah proses adat. Proses pengangkatan anak yang dipimpin oleh petua adat, dimaksudkan agar seseorang
yang dijadikan sebagai anak angkat akan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai anak angkat dan sebaliknya orang tua angkat pun mengetahui hak dan
kewajibannya sebagai orang tua angkat. Pada masyarakat hukum adat Bali ikatan kekeluargaannya patrilineal,
yaitu berdasarkan pada garis keturunan bapak. Hal ini membawa konsekwensi adanya peranan yang sangat penting bagi anak laki-laki sebagai penerus keturunan
bagi keluarganya, sedangkan tidak demikian halnya dengan anak perempuan. Anak
laki-laki sebagai
penerus keturunan,
mempunyai kewajiban
bertanggungjawab terhadap pemujaan leluhurnya, oleh karena itu ia berhak terhadap harta warisan orang tuanya. Selanjutnya bagi mereka yang tidak
mempunyai anak laki-laki seringkali akan melakukan perbuatan mengangkat anak sebagai penerus keturunan keluarganya.
3
KUH Perdata BW tidak mengatur mengenai pengangkatan anak. Hal ini membawa akibat tidak ada pengangkatan anak yang didasarkan pada KUH
Perdata. Akan tetapi, akibat perang Dunia II di Belanda telah lahir Undang- Undang tentang Pengangkatan Anak, yaitu: Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917.
Dalam Staatsblad ini menyatakan bahwa anak adopsi memiliki hubungan keperdataan secara hukum dan disamakan posisisnya sebagai anak yang lahir dari
orang tua angkatnya, sehingga dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat.
4
Sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantahkan bahwa keinginan mempunyai anak adalah hal yang manusiawi dan alamiah, namun demikian
melihat ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia, akhirnya masyarakat terbentur oleh eksistensi adopsi di Indonesia sendiri, oleh karena banyak
ketidakksinkronan apabila kita menelaah tentang eksistensi lembaga adopsi itu sendiri dalam sumber-sumber hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik
hukum barat yang bersumber dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek BW, hukum adat yang merupakan “the living law” yang
berlaku di Indonesia maupun hukum Islam yang merupakan konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang mayoritas mutlak beragama Islam .
3
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984, hal. 137.
4
Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 190
Pengangkatan anak dapat dilakukan oleh setiap orang tua angkat yang telah memenuhi syarat sebagaimana ketentuan undang-undang, orang tua angkat
yang berstatus suami istri tentu lebih mudah melangkapi syarat-syarat dalam hal pengangkatan anak, dilain pihak bagi orang tua angkat yang tidak menikah,
ataupun berstatus duda maupun janda disebut sebagai orang tua tunggal tentu akan lebih ketat terkait persyaratan apabila seorang orang tua tunggal ingin
mengangkat anak, pengangkatan anak oleh orang tua tunggal di bali dilakukan secara adat bali dan tentunya tidak boleh menyimpang dari ketentuan perundang-
undangn yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana pengangkatan anak oleh Orang Tua Tunggal yang dilakukan
melalui mekanisme Hukum adat Bali dan tetap berpatokan pada hukum positif di
Indonesia, sebagaimana studi dokumen Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor :30PDT.P2012PN.DPS. pengangkatan anak yang dilakukan oleh Orang
Tua Tunggal yaitu berdasarkan hukum adat, hal tersebut terjadinya ketidaksinkronan dengan hukum positif yang ada di Indonesia tentang
pengangkatan anak. Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 bahwa Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat
adalah pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat .
Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan . Dan Pengangkatan
anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat dimohonkan penetapan pengadilan Pasal 9 ayat 2 PP 542007. Berdasarkan Pasal 17 ayat 2 Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110Huk2009 Tahun 2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak “Permensos 1102009”, Kepala Instansi Sosial
Provinsi dan kabupatenkota berkewajiban melakukan pencatatan dan pendokumentasian terhadap Pengangkatan Anak. Pengangkatan anak berdasarkan
adat kebiasaan dapat dimohonkan penetapan pengadilan untuk memperoleh status hukum anak dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Karena banyak beberapa kasus pengangkatan anak yang terjadi justru anak
yang diangkat dijadikan alat atau manfaat oleh mereka untuk kepentingan pribadinya dan melupakan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada anak oleh
orang tua angkatnya. Hal terpenting yang perlu digaris bawahi bahwa pengangkatan anak harus
dilakukan dengan proses hukum dengan produk penetapan pengadilan. Jika hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan sebagai rekayasa sosial, maka
pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut merupakan kemajuan ke arah penertipan praktik hukum pengangkatan anak yang
hidup di tengah-tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak itu dikemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi
orang tua angkat. Pengangkatan anak adalah suatu kegiatan mengangkat anak orang lain sehingga seakan-akan menjadi anak kandung sendiri. Pengangkatan
anak masuk dalam hukum keluarga, dan tidak akan pernah bisa lepas dari kehidupan manusia, karena hal semacam ini akan terus ada sampai kapanpun
juga. Dalam pengangkatan anak pasti akan timbul suatu akibat hukum.
Berdasarkan latar belakang diatas, sangat relevan untuk diteliti lebih lanjut dalam skripsi dengan judul
“KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGANGKATAN ANAK
OLEH ORANG TUA TUNGGAL Single Parent Adoption Studi Kasus Di
Pengadilan Negeri Denpasar ”
1.2 Rumusan Masalah