POLA KONSUMSI DAN ATRIBUT-ATRIBUT BERAS SIGER YANG DIINGINKAN KONSUMEN RUMAH TANGGA (Kasus di Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan)

(1)

ABSTRACT

CONSUMPTION PATTERNS AND ATTRIBUTES OF SIGER RICE PREFERRED BY HOUSEHOLD CONSUMERS IN NATAR DISTRICT,

SOUTH LAMPUNG REGENCY Tio Wanda Hendaris

The objectives of this research are to find out: (1) consumption patterns of household consumers in consuming “siger” rice, (2) attributes which become their considerations in consuming “siger” rice, (3) attribute combinations of “siger” rice they preferred. This research was conducted in Natar District, South Lampung Regency as the center of “siger” rice producers and consumers. Research used a survey method, with the total respondents of 52 “siger” rice consumers chosen randomly. Quantitative (Conjoint) and qualitative descriptive analyses were employed. Results showed that (1) consumption patterns are the following: it was consumed 1-5 times/week, obtained from their fields and processed by themselves, consumed less than 1 kg/week together with regular rice, and consumed because of their own habit. (2) attributes which become their considerations, from the most to the least important, were color, texture, smell, price, and packaging. (3) attribute combinations of “siger” rice they preferred were cheap price (less than or equal to Rp.7.000/kg), dark brown color, chewy, not strong aroma, and unpacked.

Keywords : consumption patterns, consumers, attributes, ”siger” rice, conjoint analysis


(2)

ABSTRAK

POLA KONSUMSI DAN ATRIBUT-ATRIBUT BERAS SIGER YANG DIINGINKAN KONSUMEN RUMAH TANGGA (Kasus di Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan)

Tio Wanda Hendaris

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pola konsumsi konsumen rumah tangga dalam mengonsumsi beras siger, (2) atribut-atribut yang menjadi

pertimbangan konsumen rumah tangga dalam mengonsumsi beras, (3) kombinasi atribut beras siger yang diinginkan konsumen rumah tangga. Penelitian dilakukan di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan sebagai sentra produsen dan konsumen beras siger. Penelitian menggunakan metode survey, sebanyak 52 responden dipilih secara simple random sampling. Analisis kuantitatif (konjoin) dan deskriptif kualitatif digunakan dalam penelitian. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa (1) pola konsumsi beras siger sebagai berikut : dikonsumsi sebanyak 1-5 kali/minggu, diperoleh dari ladang dan diolah sendiri oleh

konsumen, pengomsumsian dicampur beras dengan rata-rata jumlah yang dikonsumsi lebih kecil dari 1 kg dan alasan mengonsumsinya karena kebiasaan. (2) atribut yang paling menjadi pertimbangan diurutkan dari yang paling penting adalah warna, kekenyalan, aroma, harga dan kemasan. (3) kombinasi atribut yang disukai konsumen adalah harga murah kurang dari sama dengan Rp. 7.000/kg, warna coklat tua, kenyal, beraroma tidak kuat dan curah.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia mencapai 239.1 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025 mencapai 273.2 juta jiwa (data statistik Indonesia, 2013). Dari jumlah tersebut penduduk Indonesia mengonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok per kapita per tahun sebesar 139 kg. Menurut Hidayat (2012), Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan Thailand dan Malaysia yang konsumsi berasnya berkisar 65 Kg hingga 70 Kg per kapita per tahun. Tingginya jumlah konsumsi beras membuat Indonesia menjadi negara yang memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan beras.

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

mengalami perkembangan jumlah penduduk rata–rata sebesar 1,23%/tahun. Pada tahun 2001 jumlah penduduk di Provinsi Lampung sebesar 6,7 juta jiwa dan pada tahun 2011 menjadi sebesar 7,7 juta jiwa. Perubahan jumlah penduduk menunjukkan bahwa Provinsi Lampung memiliki potensi sumber daya manusia yang banyak. Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Lampung tahun 2001-2011 disajikan pada Tabel 20 (Lampiran).

Perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya kebutuhan pangan. Pangan adalah bahan–bahan yang dapat dimakan sehari–hari untuk


(4)

2 memenuhi kebutuhan tubuh, terdapat dalam bentuk padat maupun cair. Minuman adalah contoh pangan yang berbentuk cair (Indriani, 2007). Salah satu bahan makanan yang sering dikonsumsi adalah beras, sehingga kuantitas dan kualitasnya harus dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan penduduk yang baik dimulai dengan penyediaan pangan yang cukup (Almatsier, 2002). Luas panen, produksi, dan produktivitas padi di Provinsi Lampung tahun 2006 – 2011 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas panen, Produksi, dan produktivitas padi di Provinsi Lampung tahun 2006 – 2011

Tahun Luas Areal (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)

2006 494,102 2,129,914 4.31

2007 534,955 2,308,404 4.32

2008 506,547 2,341,111 4.62

2009 570,417 2,673,844 4.69

2010 590,608 2,807,676 4.75

2011 606,973 2,940,795 4.85

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung, 2011

Tabel 1 menunjukkan bahwa luas panen, produksi dan produktivitas padi di Provinsi Lampung mengalami peningkatan setiap tahunnya agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Akan tetapi menurut data Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung tahun (2011) padi masih memiliki gap atau kekurangan sebesar 17.940 ton atau 1,9%. Kekurangan ini harus dapat terpenuhi agar gizi penduduk tidak mengalami penurunan.


(5)

3 Untuk dapat mengurangi gap atau kekurangan beras yang terjadi pemerintah menghimbau masyarakat untuk melakukan diversifikasi pangan agar

masyarakat tidak bergantung kepada satu jenis bahan makanan pokok. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal Di Propinsi Lampung berdasarkan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal dan Peraturan Menteri Pertanian No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal

dikeluarkan (Badan Ketahanan Pangan, 2013).

Berdasarkan peraturan tersebut Provinsi Lampung menggerakan diversifikasi pangan berupa beras siger. Beras siger merupakan nama lain dari tiwul atau beras ubi kayu yang berasal dari hasil olahan ubi kayu, nama tersebut hanya digunakan di Provinsi Lampung. Ubi kayu sebagai salah satu bahan makanan lokal karena merupakan bahan makanan lokal dan memiliki surplus sebesar 8.871 ton atau 9,4% (Badan Ketahanan Pangan, 2011). Beras siger memiliki kandungan gizi yang dapat dijadikan sebagai makanan pengganti nasi. Adapun perbandingan komposisi gizi antara beras, gaplek dan beras siger akan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa komposisi gizi tiwul dapat dijadikan bahan makanan pokok pengganti nasi karena memiliki kandungan energi, karbohidrat dan kalsium yang tinggi, namun memiliki kandungan protein


(6)

4 yang rendah dibandingkan dengan kandungan protein beras. Untuk

memenuhi kebutuhan protein yang rendah, beras siger dapat ditambahkan tepung tempe dan tepung kacang hijau dalam pembuatannya ataupun dikombinasikan dengan lauk lain seperti ikan, tahu, tempe, telur dan lain sebagainya.

Tabel 2. Perbandingan komposisi gizi beras, gaplek, dan beras siger per 100 gram bahan yang dapat dimakan

Komposisi Gizi Nasi Gaplek Beras Siger

Energi (kal) 178.0 338.0 363.0

Protein (gram) 2.1 1.5 1.1

Lemak (gram) 0.1 0.7 0.5

Karbohidrat (gram) 40.6 81.3 88.2

Kalsium (gram) 5.0 80.0 84.0

Fosfor (gram) 22.0 60.0 125.0

Besi (mg) 0.5 1.9 1.0

Sumber :Dinas Ketahanan Pangan Kab. Lampung Selatan, 1996

Untuk mempercepat diversifikasi pangan, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung memberikan bantuan berupa alat – alat modern dalam pembuatan beras siger. Salah satu desa di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan mendapatkan bantuan alat tersbut karena dinilai masyarakat di daerah tersebut masih mengonsumsi beras siger sebagai bahan makanan pokok. Didukung dengan banyaknya lahan yang digunakan untuk menanam ubi kayu membuat daerah tersebut dapat memenuhi bahan baku dalam pembuatan beras siger.

Masyarakat di daerah tersebut memiliki pola konsumsi atau pola pangan yang berbeda – beda dalam mengonsumsi beras siger. Pola pangan adalah cara seseorang untuk memilih dan memakan makanan sebagai reaksi dari


(7)

5 sebagai pola makan atau kebiasaan makan (Indriani, 2007). Hal ini dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari diri sendiri seperti kebutuhan,

kesukaan atau kebiasaan dalam mengonsumsi barang. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar pribadi, seperti teman, keluarga dan barang tersebut, karena setiap barang yang dikonsumsi memiliki atribut – atribut tertentu yang disukai oleh konsumen, khususnya untuk konsumsi rumah tangga.

Beras siger merupakan bahan makanan pokok yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap beras. Beras siger memiliki atribut yang berbeda – beda. Untuk dapat membuat beras siger lebih disukai oleh para konsumen, maka sebaiknya dilakukan penelitian tentang atribut yang diinginkan konsumen rumah tangga, agar produsen dapat membuat kombinasi atribut beras siger sesuai dengan keinginan konsumen rumah tangga.

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini

1. Bagaimana pola konsumsi konsumen rumah tangga dalam mengonsumsi beras siger di Kecamatan Natar?

2. Atribut beras siger apa yang menjadi pertimbangan konsumen rumah tangga di Kecamatan Natar dalam mengonsumsi beras siger?

3. Bagaimana kombinasi atribut beras siger yang diinginkan konsumen rumah tangga di Kecamatan Natar?


(8)

6 B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk

1. mengetahui pola konsumsi konsumen rumah tangga dalam mengonsumsi beras siger di Kecamatan Natar

2. mengetahui atribut-atribut beras siger yang menjadi pertimbangan konsumen rumah tangga di Kecamatan Natar dalam mengonsumsi beras siger

3. mengetahui kombinasi atribut beras siger yang diinginkan konsumen rumah tangga di Kecamatan Natar

C. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai

1. masukan bagi produsen dalam pengembangan produk beras siger, baik dari segi kualitas maupun kuantitas untuk memenuhi keinginan konsumen (pasar)

2. masukan bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan

3. masukan bahan referensi pustaka dan informasi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sejenis.


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Karakteristik Beras Siger

Beras siger merupakan bahan makanan yang sedang dikembangkan di Provinsi Lampung sebagai alternatif pengganti beras. Beras siger adalah makanan tradisional, yang berasal dari ubi kayu, yang mengalami

pengolahan sehingga berbentuk butiran-butiran seperti beras. Ukuran butiran beras siger dibuat menyerupai ukuran beras pada umumnya. Hal ini dimaksudkan agar psikologi masyarakat saat mengonsumsi beras siger sama dengan saat mengonsumsi nasi (Halim, 2012).

Tekstur kepulenan beras siger hampir menyerupai kepulenan nasi, bahkan lebih kenyal dibandingkan nasi. Rasanya pun tidak jauh berbeda dari nasi. Hanya saja karena berasal dari ubi kayu maka beras siger mempunyai cita rasa yang sangat unik, sehingga saat mengkonsumsi beras siger ada rasa khas ubi kayu yang sedikit tersisa. Beras siger berwarna kuning

kecoklatan. Warna kuning kecoklatan diperoleh dari hasil proses pengeringan ubi kayu menjadi gaplek karena gaplek merupakan bahan dasar pembuatan beras siger (Rachmawati, 2010).


(10)

8 Beras siger merupakan produk kering dengan usia simpan yang cukup lama (hingga satu tahun). Cara penyajian beras siger sama seperti nasi yaitu hanya perlu dikukus selama 15-20 menit. Beras siger dikonsumsi sebagai makanan pokok pengganti beras serta digunakan sebagai makanan cadangan oleh sebagian masyarakat. Sebagai makanan pokok, kandungan karbohidrat beras siger matang setara bahkan lebih tinggi dari nasi. Karakteristik beras siger disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik beras siger matang

Warna Aroma Tekstur Daya Tahan

Putih Kuat Kenyal

± 1 Tahun Coklat Muda Tidak Kuat Lembut

Coklat Tua

Sumber : Rachmawati, 2010

2. Proses Pembuatan Beras Siger

Beras siger merupakan beras yang berbahan baku ubi kayu. Beras siger berbentuk butiran seperti beras pada umumnya, yang diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti beras. Proses pembuatan beras siger adalah sebagai berikut:

a. Pengupasan dan pencucian

Pengupasan ubi kayu dilakukansecara manual menggunakan pisau dengan cara menyayat kulit ubi kayu secara membujur sepanjang umbi. Setelah disayat, bagian kulit ubi kayu dikelupas dari bagian utama umbi. Pengelupasan umbi ubi kayu yang masih segar relatif lebih mudah. Namun pengelupasan dapat menyebabkan umbi tidak terlalu


(11)

9 mulus. Pengelupasan akan optimal jika kulit umbi agak layu (tidak basah) tetapi umbi masih segar. Pada kondisi tersebut kulit cukup liat sehingga pada saat dikelupas seluruh kulit dapat terpisahkan

b. Pengirisan dalam bentuk chips

Pengirisan dalam bentuk chips dilakukanagar dalam proses pengeringan nanti bisa lebih cepat kering. Pengirisan dilakukan dengan cara

memotong atau mencacah ubi kayu menjadi ukuran yang lebih kecil. Pemotongan atau pencacahan dilakukan dengan menggunakan golok ataupun mesin pemotong. Proses ini akan menghasilkan gaplek chips yang berdiameter kurang dari 1 cm dengan ukuran panjangkurang dari 5 cm. Pencacahan dengan mesin pemotong relatif lebih praktis dan menghasilkan kualitas yang lebih baik (lebih seragam dan tipis).

c. Pengeringan

Setelah ubi kayu benar-benar bersih dari kulitnya, dijemur dengan terik matahari atau mesin pengering. Penjemuran dilakukan 3-4 hari dengan kondisi panas yang stabil, jika kondisi panas tidak stabil dapat

memakan waktu lebih lama lagi. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air umbi yang dapat menyebabkan fermentasi dan pembusukan. Kadar air yang aman dari serangan jamur atau cendawan yaitu sekitar kurang lebih 13-14%. Jika pada saat penjemuran ubi kayu mengalami gangguan, maka akan mempengaruhi warna gaplek yang biasanya berwarna coklat kekuningan bisa menjadi berwarna hitam


(12)

10 (Direktorat Bina Usaha Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2003).

d. Perendaman

Perendaman adalah proses selanjutnya setelah Ubi Kayu menjadi kering. Perendaman ini dilakukan menggunakan garam agar zat asam yang terkandung didalam ubi kayu dapat dipecahkan. Proses

perendaman dilakukan selama kurang lebih 2 hari dan selama perendaman air rendaman harus selalu diganti agar gaplek yang

direndam tidak bau. Perendaman juga dapat membuat tekstur ubi kayu yang keras menjadi lebih lembut untuk diolah ke tahap selanjutnya.

e. Penggilingan

Ubi Kayu yang telah direndam selanjutnya digiling dengan mesin penggiling hingga halus.

f. Pembentukan butiran

Ubi Kayu yang telah digiling halus akan dibuat butiran, pembuatan ini dapat menggunakan alat tradisional berupa tampah dan alat modern menggunakan mesin granul. Dalam pembentukan butiran, dapat ditambahkan tepung jika hasil gilingan dianggap terlalu lembek. Pembentukan butiran ini jika dilakukan lebih lama beras siger yang akan dihasilkan nanti akan lebih kenyal.


(13)

11 g. Pengeringan lanjutan

Setelah berupa butiran seperti beras, maka dilakukan pengeringan kembali untuk mengurangi kadar air yang masih terkandung.

Pengeringan yang kedua ini tidak memakan waktu yang lama hanya sekitar 2-3 jam jika panas yang dibutuhkan cukup atau dapat

menggunakan mesin pengering . Kadar air dikurangi agar tidak terjadi serangan jamur atau cendawan.

h. Pengukusan dan pendinginan

Butiran yang telah setengah kering lalu ditempatkan di kukusan untuk kemudian dikukus hingga matang. Kematangan butiran ditandai dengan perubahan warna yang sebelumnya berwarna putih menjadi kuning kecoklatan. Setelah dikukus, butiran-butiran akan mengalami penggumpalan sehingga perlu didinginkan terlebih dahulu agar kemudian dapat dibentuk menjadi butiran-butiran kembali.

i. Pengeringan setelah pengukusan

Setelah dilakukan pendinginan dan pemisahan butiran yang

menggumpal, selanjutnya dilakukan pengeringan setelah pengukusan. Pengeringan kali ini dimaksudkan untuk mengeringkan butiran agar nantinya beras siger mempunyai daya simpan yang lama.

j. Pengemasan

Setelah menjadi beras siger, beras siger dapat dimasukkan ke dalam kemasan untuk dijual kepada masyarakat. Pengemasan haruslah rapi agar para konsumen tertarik untuk membeli.


(14)

12 Tahapan-tahapan pembuatan beras siger selengkapnya dapat diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses pembuatan beras siger Sumber: Badan Ketahanan Pangan, 2012

Pengupasan dan Pencucian

Pengirisan dalam bentuk chips

Pengeringan

Perendaman

Pengilingan

Pembentukan Butiran

Pengeringan Lanjutan Ubi Kayu

Pengemasan Beras Siger

Pengukusan dan pendinginan

Pengeringan setelah pengukusan


(15)

13 3. Teori Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan (Engel, dkk. 1994). Lebih lanjut Engel, dkk (1994) menjelaskan perilaku konsumen dapat dipengaruhi oleh empat premis yang esensial yaitu konsumen adalah raja, motivasi dan perilaku konsumen dapat dimengerti melalui penelitian, perilaku konsumen dapat dipengaruhi melalui kegiatan persuasif yang menanggapi konsumen secara serius sebagai pihak yang berkuasa dan dengan maksud tertentu, dan bujukan dan pengaruh konsumen memiliki hasil yang menguntungkan secara sosial asalkan pengamanan hukum, etika, dan moral berada pada tempatnya untuk mengekang upaya manipulasi.

Menurut Haryono, dkk (2004) dalam Maryanti (2009) teori perilaku konsumen atau yang sering disingkat teori konsumen atau teori konsumsi memiliki beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan tingkah laku konsumen, yaitu teori utility (kegunaan), teori preferensi, dan teori kurva indiferen (indifference curve). Beberapa asumsi yang

digunakan dalam mempelajari teori konsumsi, antara lain pertama, dalam menentukan keputusan konsumen akan selalu bertujuan untuk

memaksimumkan kepuasaanya. Ke dua, dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, konsumen selalu bertindak rasional dengan dibatasi oleh tingkat harga dan sumberdaya yang dimiliki. Ke tiga, konsumen dianggap


(16)

14 memiliki pengetahuan yang sempurna tentang hal-hal sebagai berikut : (1) berbagai jenis barang dan jasa yang tersedia di pasar, (2) tingkat harga barang dan jasa yang berlaku dipasar, (3) kapasitas teknis dari tiap barang dan jasa tersebut, dan (4) tingkat pendapatan yang akan diperoleh pada periode waktu tertentu.

Lebih lanjut Haryono, dkk (2004) menjelaskan bahwa terpenuhinya kebutuhan seorang konsumen menimbulkan kepuasan bagi konsumen tersebut. Oleh karena itu, para ekonom mengatakan bahwa konsumsi barang dan jasa menghasilkan kepuasan atau satisfaction atau guna (utility). Tingkat utilitas (kepuasan) yang diperoleh dalam suatu periode tertentu dapat berbeda diantara berbagai jenis barang pada masing-masing konsumen. Utilitas dipengaruhi oleh selera (taste), yang berubah menurut waktu. Nilai kegunaan total (total utility) adalah jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh konsumen dari mengkonsumsi sejumlah barang tertentu. Adapun nilai kegunaan marjinal (marjinal utility) adalah penambahan atau pengurangan kegunaan akibat penambahan suatu unit barang yang

dikonsumsi.

4. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen

Konsumen hidup di dalam lingkungan yang kompleks. Perilaku proses keputusan mereka dipengaruhi oleh (1) budaya; (2) kelas sosial; (3) pengaruh pribadi; (4) keluarga; dan (5) situasi (Engel, dkk. 1994). Menurut Setiadi (2003), keputusan pembelian dari pembeli sangat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologi dari


(17)

15 pembeli. Sebagian besar faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh pemasar, tetapi harus benar-benar

diperhitungkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologis.

Kebudayaan terdiri dari unsur budaya, sub-budaya dan kelas sosial. Budaya dan unsur-unsur lain dari lingkungan mempengaruhi semua tahap pengambilan keputusan konsumen. Budaya mempengaruhi motivasi seseorang untuk mengambil tindakan lebih jauh untuk memilih sesuatu. Jadi, kebudayaan merupakan salah satu faktor yang umum digunakan untuk menentukan keinginan dan perilaku seseorang (Engel et al., 1994). Setiap kebudayaan terdiri dari sub-budaya yang lebih kecil yang

memberikan identifikasi dan sosialisasi yang lebih spesifik untuk para anggotanya. Perilaku individu sebagai konsumen dipengaruhi oleh sub-budaya spesifik di mana dia tinggal. Sub-sub-budaya mempengaruhi konsumen untuk berperilaku dalam pasar yang lebih unik atau khusus (Prasetijo dan Ihalaw, 2004).

Kelas sosial adalah pembagian di dalam masyarakat yang terdiri dari individu–individu yang berbagi nilai, minat, dan perilaku yang sama. Mereka dibedakan oleh perbedaan status sosioekonomi yang berjajar dari yang rendah hingga yang tinggi (Engel, dkk. 1994). Menurut Setiadi (2003) dalam unsur kebudayaan juga terdapat kelas. Kelas sosial adalah kelompok-kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam suatu masyarakat, yang tersusun secara hierarki dan keanggotaannya


(18)

16 mempunyai nilai, minat dan prilaku yang serupa. Kelas sosial tidak

ditentukan oleh faktor tunggal, seperti pendapatan, tetapi diukur sebagai kombinasi pekerjaan, pendapatan, pendidikan, kekayaan dan variabel lainnya. Kelas sosial memperlihatkan preferensi produk dan merek yang berbeda.

Faktor sosial yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah kelompok referensi, keluarga serta peran dan status. Kelompok referensi yaitu seluruh kelompok yang mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang. Kelompok referensi mempengaruhi seseorang melalui tiga cara. Pertama, kelompok referensi memperlihatkan pada seseorang perilaku dan gaya hidup baru. Kedua, mereka juga mempengaruhi sikap dan konsep jati diri seseorang karena orang tersebut umumnya ingin menyesuaikan diri. Ketiga, mereka menciptakan tekanan untuk menyesuaikan diri yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang (Setiadi, 2003). Keluarga dan sanak keluarga sangat menentukan perilaku, pilihan produk dan aktivitas pembelian seseorang. Seseorang bersosialisasi dan mendapat banyak pelajaran dari keluarga untuk menjadi konsumen kelak di kemudian hari (Prasetijo dan Ihalauw, 2004).

Keputusan seorang pembeli juga dipengaruhi oleh karakterisik pribadi, seperti umur dan tahapan siklus hidup pembeli, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri pembeli yang bersangkutan. Kebutuhan dan selera seseorang akan berubah sesuai


(19)

17 dengan usia dan tahapan siklus hidup pembeli. Pembelian dibentuk oleh tahap daur hidup keluarga. Hal ini membuat pemasar harus

memperhatikan perubahan minat pembelian yang terjadi yang berhubungan dengan siklus hidup manusia. Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang dibelinya. Perbedaan pekerjaan seseorang mempengaruhi jenis barang yang berbeda-beda pula (Setiadi, 2003). Menurut Engel, dkk (1994) faktor internal yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah sumber daya konsumen, motivasi dan keterlibatan, pengetahuan, sikap dan kepribadian, gaya hidup, dan demografi. Sumber daya konsumen setiap orang membawa tiga sumber daya kedalam setiap situasi pengambilan keputusan yaitu waktu, uang dan perhatian. Umumnya terdapat keterbatasan yang jelas pada ketersediaan masing–masing, sehingga memerlukan semacam alokasi yang cermat.

Menurut Engel et. al. (1994), keadaan ekonomi mempengaruhi keputusan kosumen dalam memilih produk dan merek. Dalam mengambil keputusan tersebut konsumen akan mempertimbangkannya dengan jumlah sumber daya ekonomi yang mereka miliki sekarang atau pada masa datang. Sumber daya ekonomi tersebut dapat berupa pendapatan atau kekayaan. Pengeluaran konsumen bergantung pada perubahan pendapatannya. Menurut Setiadi (2003) gaya hidup seseorang adalah pola hidup di dunia yang diekspresikan oleh kegiatan, minat dan pendapat seseorang. Gaya hidup menggambarkan seseorang secara keseluruhan yang berinteraksi dengan lingkungan. Gaya hidup juga mencerminkan sesuatu di balik kelas sosial seseorang. Engel et. al. (1994) mendefinisikan gaya hidup sebagai


(20)

18 pola hidup seseorang dalam menghabiskan waktu serta uang, serta

merupakan konsepsi ringkasan yang mencerminkan nilai konsumen.

Menurut Setiadi (2003), kepribadian dan konsep diri yang dimaksud adalah karakteristik psikologis yang berbeda dari setiap orang yang memandang responnya terhadap lingkungan yang relatif konsisten.

Kepribadian seseorang sangat mempengaruhi berbagai pilihan produk atau merek yang akan dikonsumsinya. Menurut Engel et. al. (1994),

kepribadian seseorang dapat digambarkan melalui pengetahuannya. Pengetahuan dalam hal ini adalah apa yang sudah diketahui oleh konsumen, sehingga merupakan faktor penentu utama dalam perilaku konsumen. Pengetahuan konsumen dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu pengetahuan harga, pengetahuan pembelian dan pengetaahuan pemakaian. Pengetahuan harga melibatkan harga produk, misalnya pengetahuan konsumen mengenai harga absolut dan harga relatif dari suatu produk. Pengetahuan pembelian mencakup berbagai informasi yang dimiliki konsumen untuk memperoleh produk, misalnya tempat pembelian dan waktu pembelian. Sedangkan pengetahuan pemakaian merupakan pengetahuan informasi yang melekat pada suatu produk, meliputi nilai-nilai gizi yang dapat dikonsumsi dan cara penggunaan produk.

Menurut Setiadi (2003), faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah motivasi, persepsi, proses belajar serta kepercayaan dan sikap. Menurut Prasetijo dan Ihalaw (2005), motivasi adalah daya dorong bagi konsumen untuk berperilaku kepada tujuan tertentu. Motivasi


(21)

19 membawa konsumen untuk terlibat dalam proses perilaku beli, terutama dalam proses mencari dan mengevaluasi. Menurut Prasetijo dan Ihalaw (2005), persepsi setiap orang berbeda-beda dalam melihat berbagai produk. Dengan adanya persepsi, seseorang dapat memilih dan menentukan barang-barang yang baik bagi dirinya. Menurut Setiadi (2003), proses belajar menyebabkan perubahan dalam perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman. Sebagian besar perilaku manusia adalah hasil proses belajar. Pembelajaran seseorang dihasilkan melalui dorongan, rangsangan, isyarat, tanggapan dan penguatan. Melalui tindakan dan proses belajar, orang akan mendapatkan kepercayaan dan sikap yang kemudian mempengaruhi perilaku membeli. Kepercayaan dapat berupa pengetahuan, pendapat atau sekadar percaya. Kepercayaan inilah yang akan membentuk citra produk dan merek, sedangkan sikap menuntun orang untuk berperilaku secara relatif konsisten terhadap objek yang sama.

5. Konsumsi Pangan

Konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu Consumption. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Dumairy, 2004).


(22)

20 Konsumsi dalam istilah sehari hari sering diartikan sebagai pemenuhan akan makanan dan minuman. Konsumsi mempunyai pengertian yang lebih luas lagi yaitu barang dan jasa akhir yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Barang dan jasa akhir yang dimaksud adalah barang dan jasa yang sudah siap dikonsumsi oleh konsumen. Barang konsumsi ini terdiri dari barang konsumsi sekali habis dan barang konsumsi yang dapat dipergunakan lebih dari satu kali (Nopirin, 1997)

Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan (Syah, 2012). Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk

memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sedioetama, 1996).

Menurut Syah (2012), konsumsi yang meliputi jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Menurut Sediaoetama (1996), tingkat konsumsi lebih banyak ditentukan


(23)

21 oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi.

6. Pola Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan dinilai secara kualitatif (mencakup apa yang dimakan) dan kuantitas (meliputi jumlah, jenis dan frekuensi yang dimakan). Pangan merupakan bagian dari makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya yang merupakan kebutuhan pokok yang harus

dipenuhi agar dapat mempertahankan hidup dan melaksanakan kewajiban dalam kehidupan. Berbeda dengan kebutuhan hidup lainnya, kebutuhan pangan hanya dibutuhkan secukupnya sebab kelebihan dan kekurangan pangan akan menimbulkan masalah gizi dan penyakit (Suhardjo, 1989).

Menurut Harper, dkk (1986) pola Konsumsi pangan adalah susunan dari berbagai bahan dan hasil olahannya yang biasa dimakan oleh seseorang yang dicerminkan dalam jumlah, jenis, frekuensi, dan sumber bahan makanan. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam pemilihan jenis maupun banyaknya pangan yang dimakan dapat berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Akan tetapi, faktor-faktor yang tampaknya sangat mempengaruhi konsumsi pangan dimana saja di dunia yaitu : a). Jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan


(24)

22 tersedia, b). Tingkat pendapatan masyarakat, dan c). Pengetahuan gizi masyarakat.

Menurut Khumaidi (1994), pola pangan pokok menggambarkan salah satu ciri dari kebiasaan makan. Kebiasaan makan yang dimaksud adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan

pemilihan makanan. Setiap masyarakat mempunyai aturan, pembatasan, rasa suka dan tidak suka, serta kepercayaan terhadap beberapa jenis makanan, sehingga membatasi pilihannya terhadap beberapa jenis makanan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi suatu pola kebiasaan makan tertentu yang terkadang sulit diubah, tetapi terkadang dapat juga diubah karena adanya situasi tertentu. Harper et al. (1986), menyatakan bahwa pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan adalah cara seseorang atau kelompok memilih makanan dan memakannya sebagai tanggapan dari pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial.

Syah (2012), menyatakan bahwa sejak Indonesia merdeka, jumlah dan jenis bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat mengalami perubahan. Perubahan pola konsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kemajuan di bidang teknologi, pendidikan, ekonomi dan perubahan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Semakin maju suatu bangsa maka semakin besar perhatiannya terhadap mutu bahan pangan. Pemilihan pangan terjadi bila ketersediaan bahan pangan cukup atau berlebih. Faktor-faktor pertimbangan pemilihan antara lain adalah tingkat


(25)

23 perkembangan teknologi dan komunikasi sosial, ekonomi, budaya, tradisi dan persepsi individu, serta media massa, industri pangan, dan iklan.

Pola Konsumsi yang baik adalah yang dapat memenuhi Pola Pangan Harapan (PPH). Menurut Aritonang (2001), bahwa PPH merupakan susunan pangan yang benar-benar menjadi harapan untuk dapat

diwujudkan, baik berupa konsumsi pangan maupun pangan yang harus tersedia bagi pemenuhan kebutuhan pangan penduduk. Konsumsi dan pola makan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar diri seseorang, seperti lingkungan sosial dan budaya, sedangkan faktor instrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang atau faktor pribadi seperti preferensi terhadap makanan tertentu, pengetahuan gizi, dan status gizi kesehatan.

Menurut Suhardjo (1989), survei konsumsi pangan dapat menghasilkan data atau informasi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Survei konsumsi pangan secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi. Survei konsumsi pangan secara kualitatif dilakukan untuk mengetahui frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara memperoleh pangan. Khomsan (1993) dalam Agustina (2007), menyatakan bahwa frekuensi makan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi makan ini bisa menjadi penduga tingkat kecukupan konsumsi gizi, artinya semakin


(26)

24 tinggi frekuensi makan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi

semakin besar. Makan-makanan yang beraneka ragam relatif akan

menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan tubuh.

Menurut Berg (1986), di negara-negara berkembang, orang-orang miskin hampir membelanjakan pendapatannya hanya untuk makanan, uang yang berlebih biasanya berarti susunan makanan akan lebih baik. Berdasarkan pola konsumsi pangan, dapat diperoleh informasi seperti bagaimana pangan diperoleh, jenis pangan yang dikonsumsi penduduk, jumlah yang mereka makan dan pola hidangan mereka, termasuk berapa kali makan. Sikap seseorang terhadap makanan, suka atau tidak suka, berpengaruh terhadap konsumsi pangan.

Pengetahuan adalah faktor penentu utama dari perilaku konsumen. Apa yang konsumen beli, di mana mereka beli dan kapan mereka membeli akan bergantung pada pengetahuan yang relevan dengan keputusan ini. Secara umum, pengetahuan dapat didefinisikan sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Himpunan bagian dari informasi total yang relevan dengan fungsi konsumen di dalam pasar disebut pengetahuan konsumen (Engel et al., 1994).

7. Teori Atribut

Attribution theory (teori atribut) menjelaskan bagaimana konsumen mencari penyebab dari berbagai peristiwa, baik yang ditimbulkan oleh


(27)

25 perilakunya sendiri maupun perilaku orang lain. Teori atribut

menggambarkan pembentukan dan perubahan perilaku sebagai hasil interprestasi sendiri. Hal ini juga dikenal dengan nama self-perception theory (Prasetijo dan Ihalauw, 2005).

Menurut Mowen dan Minor (2002), teori atribut menjelaskan tentang proses bagaimana seseorang menentukan penyebab tindakan mereka. Menurut teori atribut (attribution theory), seseorang berusaha menentukan apakah penyebab tindakan merupakan sesuatu yang bersifat internal atau eksternal bagi seseorang atau objek yang dipertanyakan. Seseorang termotivasi untuk melakukan atribusi yang berkaitan dengan penyebab tindakan sehingga mereka dapat menentukan bagaimana bertindak dimasa mendatang

Lebih lanjut Mowen dan Minor (2002) menjelaskan kepercayaan konsumen adalah semua pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen dan semua kesimpulan yang dibuat konsumen tentang objek, atribut, dan manfaatnya. Objek (objects) dapat berupa produk, orang, perusahaan, dan segala sesuatu dimana seseorang memiliki kepercayaan dan sikap. Atribut (attributes) adalah karakteristik atau fitur yang mungkin dimiliki atau tidak dimiliki oleh objek. Atribut dibedakan menjadi dua yaitu intrinsik dan atribut ekstrinsik. Atribut intrinsik adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan sifat actual produk, sedangkan atribut ekstrinsik adalah segala sesuatu yang diperoleh dari aspek eksternal produk seperti


(28)

26 nama merek, kemasan, dan label. Manfaat (benefits) adalah hasil positif dan negatif yang diberikan atribut kepada konsumen.

selanjutnya dijelaskan bahwa atribut tertentu biasanya sangat penting bagi konsumen, sehingga para manajer hendaknya melakukan riset untuk mengidentifikasi atribut-atribut yang krusial bagi pasar target. Mereka dapat menggunakan atribut tersebut pada strategi segmentasi manfaat untuk memposisikan dan mendiferensiasikan produk, juga dalam

merancang produk awal dan strategi promosi (Mowen dan Minor, 2002). Model sikap multi atribut menggambarkan rancangan yang berharga untuk memeriksa hubungan di antara pengetahuan produk yang dimiliki

konsumen dan sikap terhadap produk berkenaan dengan ciri atau atribut produk. Manfaat dari analisis multi atribut adalah untuk pengembangan produk baru dan untuk meramalkan bagian pasar dari produk baru (Engel dkk, 1994).

Kotler dan Susanto (2001) menjelaskan bahwa ada empat pendekatan yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk dapat menemukan atribut baru. Pendekatan pertama menggunakan proses survei pelanggan untuk mengidentifikasi atribut baru. Perusahaan menanyakan pelanggan apa manfaat yang akan mereka tambahkan pada produk dan tingkat

harapannya untuk tiap manfaat. Perusahaan juga memeriksa biaya pengembangan tiap atribut baru dan kemungkinan respons kompetitif. Perusahaan memilih atribut yang menjanjikan tambahan laba yang paling tinggi.


(29)

27 Pendekatan ke dua menggunakan proses intuitif. Pengusaha memiliki dugaan dan melakukan pengembangan produk tanpa banyak riset pemasaran. Seleksi alam menentukan pemenang dan pecundang. Jika produsen telah menduga atribut yang diinginkan pasar, pengusaha itu dianggap pintar, walupun dari perspertif lain ia hanya beruntung. Teori ini tidak memberi pedoman seperti bagaimana membayangkan atribut baru (Kotler dan Susanto, 2001).

Pendeketan ke tiga adalah atribut baru muncul melalui proses dialektika. Atribut yang dihargai terdorong ke bentuk ekstrim lewat proses kompetitif. Teori dialektika menyatakan bahwa inovator seharusnya tidak berada dalam kumpulan melainkan di arah yang berlawanan terhadap segmen pasar yang menderita akibat kelalaian yang meningkat. Pendekatan keempat berpendapat bahwa atribut baru muncul lewat proses hierarki kebutuhan. Tugas inovator adalah memperkirakan kapan pasar siap untuk memuaskan tingkat kebutuhan yang lebih tinggi (Kotler dan Susanto, 2001).

Atribut baru yang terbentang nyata dalam pasar lebih kompleks daripada semua teori sederhana yang disarankan. Peranan teknologi dan sosial sangat mempengaruhi munculnya atribut baru. Peramalan teknologi berusaha memperkirakan waktu perkembangan teknologi masa depan yang memungkinkan penawaran produk baru bagi konsumen. Faktor

lingkungan juga memainkan peranan penting dalam membentuk evolusi atribut (Kotler dan Susanto, 2001).


(30)

28 Pendekatan atribut mempunyai pandangan bahwa konsumen dalam

membeli produk tidak hanya karena daya guna dari produk tersebut, tetapi karena karakteristik atau atribut-atribut yang disediakan oleh produk tersebut. Beberapa keunggulan pendekatan atribut adalah : (1) terlepas dari diskusi mengenai bagaimana mengukur daya guna suatu barang; (2) pendekatan ini memandang suatu barang diminta konsumen bukan jumlahnya, melainkan atribut yang melekat pada barang tersebut,

sehingga lebih tepat dijelaskan tentang pilihan konsumen terhadap produk; (3) dapat digunakan untuk banyak barang, sehingga bersifat praktis dan lebih mendekati kenyataan, serta operasionalisasinya lebih mudah (Kotler dan Susanto, 2001).

Menurut Sumarwan (2003), atribut produk dibedakan ke dalam atribut fisik dan atribut abstrak. Atribut fisik menggambarkan ciri-ciri fisik suatu produk, sedangkan atribut abstrak menggambarkan karakteristik subjektif dari suatu produk berdasarkan persepsi konsumen.

8. Teori Analisis Konjoin

Analisis conjoin (Conjoint Analysis, Considered Jointly) adalah suatu metode analisis dalam analisis multivariate. Analisis conjoin merupakan suatu metode yang sangat powerful untuk membantu mendapatkan kombinasi atribut-atribut suatu produk atau jasa, baik baru maupun lama, yang paling disukai konsumen. Analisis conjoin digunakan terutama untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap suatu produk atau jasa


(31)

29 dengan menggabungkan nilai-nilai yang tergabung dalam produk atau jasa tersebut (Green & Tull, 1988 dalam Maryanti, 2009).

Dalam prosesnya, analisis conjoin akan memberikan ukuran kuantitatif terhadap tingkat kegunaan (utility) dan kepentingan relative (relative importance) suatu atribut dibandingkan dengan atribut lain. Hal ini dilakukan melalui pertimbangan psikologis atau preferensi konsumen (Green & Tull, 1988 dalam Maryanti, 2009). Lebih lanjut, nilai-nilai ini dapat digunakan untuk membantu menyeleksi atribut-atribut suatu produk yang akan ditawarkan.

Supranto (2004) menjelaskan bahwa tujuan penggunaan analisis conjoin terutama dalam riset pemasaran antara lain adalah untuk : (1) menentukan kepentingan relatif dari atribut di dalam proses pemilihan oleh pelanggan; (2) mengestimasi pangsa pasar merek yang berbeda dalam tingkatan level atribut; (3) menentukan komposisi merek yang paling disenangi, features dari merek dapat dibuat bervariasi dinyatakan dalam tingkatan/level atribut. Aplikasi atau penggunaan analisis conjoin diterapkan dalam barang konsumsi, barang industri, keuangan, dan jasa lainnya.

Selanjutnya Supranto (2004) menjelaskan analisis conjoin berguna untuk menentukan kepentingan relatif yang dikaitkan pelanggan pada atribut yang penting, dan utility yang dikaitkan pada tingkatan atau level atribut. Informasi ini diturunkan dari evaluasi merek pelanggan atau brand profiles, yang terdiri dari atribut dan tingkatan atau levelnya. Tahapan


(32)

30 dalam merancang dan melaksanakan analisis conjoin ditampilkan dalam gambar 2.

Gambar 2. Tahapan analisis conjoin

Pendekatan pasangan dua atribut atau profil penuh digunakan untuk pembentukan stimulus. Responden dipresentasikan dengan stimulus yang terdiri dari kombinasi tingkatan/level atribut. Stimulus merupakan

kombinasi dari tingkat atribut yang ditentukan oleh peneliti. Para konsumen diminta mengevaluasi secara subjektif stimulus yang

dinyatakan dalam keinginan mereka. Responden akan menilai (to rate) atau membuat peringkat (to rank) stimulus dengan menggunakan skala

Perumusan masalah

Merancang kombinasi atribut (stimuli)

Menentukan metode pengumpulan data

Memilih prosedur analisis konjoin

Interprestasi hasil

Uji reliabilitas dan validitas hasil


(33)

31 yang tepat dan data yang diperoleh kemudian dianalisis. Hasil analisis diinterpretasikan keandalan dan kesahihannya (reliability and validity) kemudian dievaluasi (Supranto, 2004).

9. Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya meneliti perilaku konsumen terhadap produk makanan dan minuman, antara lain adalah meneliti tentang tahu putih, tiwul, herbisida, benih jagung, dan sarden. Penelitian–penelitian tersebut mengkaji tentang atribut-atribut yang disukai oleh konsumen dan

menggunakan alat analisis yang sama dengan penelitian ini. Akan tetapi penelitian tentang atribut-atribut beras siger yang diinginkan konsumen belum ditemukan, sehingga penulis berminat menelitinya.

Priatmiasih (2012), meneliti tentang perilaku konsumen rumah tangga dalam mengkonsumsi tahu putih di kota Bandar Lampung, menganalisis atribut tahu putih menggunakan metode conjoint analysis. Atribut-atribut yang menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli tahu adalah harga, warna, ukuran, penggunaan bahan pengawet, dan kekenyalan. Atribut utama yang menjadi pertimbangan konsumen adalah harga tahu, sedangkan atribut yang terakhir adalah penggunaan bahan pengawet. Stimuli yang paling disukai konsumen adalah harga murah (<Rp7.400/kg), warna putih, ukuran besar (≥125gr), tanpa pengawet, dan kekenyalan lembut.


(34)

32 Andrarini (2004), melakukan penelitian dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tiwul di pendesaan dan perkotaan di kabupaten gunung kidul provinsi daerah istimewa Yogyakarta, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tiwul. Faktor- faktor-faktor yang

digunakan adalah besar keluarga, pendidikan dan pengetahuan gizi, pendapatan, dan kebiasaan makan. Hasil analisa secara kualitatif, faktor budaya meliputi pemilihan bahan pangan pokok apabila pendapatan

meningkat, untuk tamu, untuk pesta, ternyata sangat memberikan pengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan tiwul masyarakat. Pada contoh di desa, tidak ditemukan hubungan antara faktor sosial ekonomi, pengetahuan gizi dengan konsumsi tiwul. Hasil analisis regresi terhadap contoh di kota menunjukkan bahwa jenjang pendidikan ibu berpengaruh negatif dan pendapatan per kapita memberikan pengaruh negatif terhadap konsumsi tiwul.

Indah (2010), meneliti atribut-atribut herbisida yang diinginkan petani untuk tanaman jagung di Kabupaten Lampung Timur, menganalisis atribut menggunakan metode conjoint analysis. Atribut-atribut yang menjadi pertimbangan petani dalam menggunakan herbisida di lokasi penelitian adalah daya bunuh (efikasi), harga herbisida per liter, cara kerja,

selektivitas herbisida, bahan aktif, dan volume kemasan. Atribut utama yang menjadi pertimbangan petani adalah daya bunuh efikasi herbisida, sedangkan atribut terakhir adalah volume kemasan. Stimuli yang paling disukai oleh petani adalah bahan aktif kimia, cara kerja kontak, daya


(35)

33 bunuh (efikasi) cepat, selektivitas herbisida selektif, volume kemasan drigen 5 liter, dan harga herbisida per satuan murah (<Rp50.000,-).

Maryanti (2009) mengkaji tentang atribut-atribut benih jagung varietas unggul hibrida yang diinginkan petani di Kabupaten Lampung Timur, menganalisis atribut-atribut benih jagung varietas unggul hibrida menggunakan metode conjoint analysis. Atribut yang menjadi

pertimbangan petani dalam menggunakan benih jagung varietas unggul hibrida di lokasi penelitian adalah harga benih per kg, ukuran kemasan, potensi hasil, umur tanaman, ukuran tongkol, dan warna biji. Atribut yang menjadi pertimbangan paling utama bagi mereka adalah harga benih per kg, sedangkan atribut yang paling terakhir adalah adalah warna biji. Kombinasi atribut benih jagung varietas unggul hibrida yang diinginkan petani adalah hasil >8 ton/ha, ukuran tongkol sedang (150-225 gr), umur tanaman sedang (90-120 hari), warna biji kuning keemasan mengkilat, ukuran kemasan 5 kg, dan harga per kg murah (≤Rp40.000,-).

Widyasari (2007) mengkaji tentang perilaku konsumen rumah tangga dalam mengonsumsi sarden kaleng di Kota Bandar Lampung. Sampel pada penelitian ini berjumlah 60 rumah tangga. Analisis yang digunakan adalah analisis konjoin, analisis deskriptif. Kombinasi stimuli atribut yang cukup disukai responden adalah sarden kaleng dengan harga murah, rasa saus tomat dan cabe, aroma amis tidak tajam, bentuk ikan utuh, kemasan 425 gram dan bentuk kemasan tabung. Jumlah rata-rata sarden kaleng yang dikonsumsi oleh rumah tangga sampel mencapai 1.144,5 gram per


(36)

34 bulan. Sebanyak 32 orang responden (53,33 persen) membeli sarden kaleng antara 155-620 gram per bulan. Merek yang paling banyak dikonsumsi oleh rumah tangga sampel adalah Gaga yaitu sebesar 36,36 persen responden. Sebagian besar responden yaitu sebesar 86,66 persen, membeli sarden kaleng sebanyak 1-4 kali per bulan.

B. Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan jumlah penduduk yang setiap tahun meningkat membuat jumlah kebutuhan akan bahan makanan pokok beras pun ikut meningkatkan. Akan tetapi peningkatan jumlah bahan makanan pokok beras yang dibutuhkan oleh penduduk tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Persediaan yang mengalami kekurangan ini menjadi tugas beras bagi pemerintah untuk mencukupinya. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan mengeluarkan peraturan untuk melaksanakan diversifikasi pangan.

Diversifikasi pangan adalah penganekaragaman bahan makanan pokok yang selama ini hanya beras menjadi bahan makanan pokok lainnya. Bahan makanan pokok yang dapat dijadikan sebagai pengganti beras adalah jagung, ubi kayu, dan ubi jalar karena memiliki kandungan karbohidrat seperti beras. Ubi kayu adalah sumber pangan yang berasal dari umbi-umbian. Besarnya surplus pada ubi kayu menunjukkan bahwa bahan pangan yang berasal dari umbi-umbian ini belum dikonsumsi secara baik. Ubi kayu dapat diolah menjadi beberapa jenis olahan seperti tepung tapioka, gaplek dan beras siger. Beras siger merupakan hasil olahan dari ubi kayu yang bentuknya


(37)

35 menyerupai beras. Beras siger merupakan nama lain dari tiwul yang hanya digunakan di Provinsi Lampung sebagai salah satu bahan makanan pokok selain beras.

Beras siger memiliki atribut-atribut yang dapat dibedakan menjadi atribut instrinsik dan atribut ekstrinsik. Atribut instrinsik beras siger antara lain adalah warna, aroma dan kekenyalan. Atribut ekstrinsik beras siger antara lain adalah harga dan kemasan. Kedua jenis atribut tersebut menjadi pertimbangan konsumen rumah tangga dalam menentukan pengonsumsian beras siger. Selain itu, faktor internal dan eksternal yang terdapat pada konsumen juga memberikan pertimbangan dalam mengonsumsi beras siger. Faktor internal yang mempengaruhi adalah tingkat pendidikan, pendapatan, jumlah anggota keluarga rumah tangga dan pengetahuan gizi beras siger. Faktor eksernal yang mempengaruhi pengonsumsian beras siger adalah lingkungan, sosial dan budaya. Pada penelitian ini pengaruh-pengaruh tersebut akan dijelaskan dengan metode deskriptif kualitif.

Atribut instristik dan ekstrinsik pada beras siger dan faktor internal dan eksternal pada konsumen, membuat konsumen memiliki pola konsumsi yang berbeda- beda. Pada penelitian ini, pola konsumsi akan dilihat dari frekuensi konsumsi, cara mendapatkan, cara mengolah dan volumenya. Untuk melihat atribut-atribut beras siger yang diinginkan konsumen rumah tangga

menggunakan alat analisis kuantitatif konjoin dengan atribut harga, warna, kekenyalan, aroma dan kemasan.


(38)

36 Kecamatan natar merupakan salah satu kecamatan yang mendapatakan

bantuan langsung dari pemerintah dalam rangka diversifikasi pangan dengan asumsi bahwa masyarakat daerah tersebut hingga saat ini masih

mengonsumsi beras siger untuk makanan pokok. Keadaan pertanian yang baik dapat dijadikan sebagai salah satu faktor untuk memproduksi ubi kayu. Masyarakat yang mayoritas suku jawa mempunyai pengetahuan lebih terhadap beras siger dibandingan dengan suku lainnya sehingga dapat memenuhi criteria untuk menjawab pertanyaan tentang atribut-atribut beras siger. Paradigma penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.


(39)

37

Keterangan : = Bagian yang diteliti = Bagian yang tidak diteliti = Diteliti dengan analisis konjoin

Gambar 3. Paradigma kerangka pemikiran atribut-atribut beras siger yang diinginkan konsumen rumah tangga di Kecamatan Natar.

Pola Konsumsi Volume Frekuensi Cara memperoleh Cara mengolah Alasan

Konsumen Beras Siger : Sangat Suka

Suka Biasa Tidak Suka

Sangat Tidak Suka Hasil Olahan Ubi

Kayu : Tapioka Beras Siger

Produsen Beras Siger

Atribut Beras Siger : Harga

Warna Aroma Kekenyalan Kemasan

Penyediaan bahan makanan pokok beras tahun 2011 mengalami defisit sebesar 17.940 ton atau 1,9%

Diversifikasi bahan makanan pokok :

Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar

Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya, pada Provinsi Lampung peningkatan sebesar 1,23%/Tahun

Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009, Peraturan Menteri Pertanian No. 43 tahun 2009 dan untuk Provinsi Lampung dikeluarkan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 46 Tahun 2009


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

Gaplek merupakan ubi kayu yang sudah melewati proses pengeringan yang selanjutnya akan diolah menjadi beras siger

Beras Siger adalah salah satu olahan berbahan dasar ubi kayu yang dibuat menyerupai beras setelah mengalami beberapa proses pembuatan.

Responden adalah ibu rumah tangga atau anggota keluarga lain yang mengkonsumsi beras siger yang bersedia diwawancarai dengan panduan kuesioner.

Konsumsi beras siger adalah jumlah beras siger yang dikonsumsi oleh konsumen rumah tangga dalam waktu satu bulan yang diperoleh dari beberapa cara yang kemudian diolah

Pola konsumsi beras siger adalah siklus konsumsi konsumen rumah tangga yang dicerminkan dalam jumlah, jenis, dan frekuensi mengonsumsi beras siger. Jumlah diukur dalam satu satuan kg, jenis dinyatakan dalam macam beras siger dan frekuensi dinyatakan dalam kali per seminggu.


(41)

39 Atribut beras siger merupakan ciri atau karakteristik yang melekat pada suatu produk. Atribut yang dinilai pada penelitian ini terdiri dari atribut instrinsik dan ekstrinsik.

Atribut intrinsik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat aktual beras siger. Atribut instrinsik meliputi, kekenyalan, warna, dan aroma. Atribut ekstrinsik adalah segala sesuatu yang diperoleh dari aspek eksrenal beras siger. Atribut ekstrinsik meliputi penggunaan kemasan dan harga jual.

Harga beras siger merupakan jumlah uang yang dikeluarkan oleh responden untuk mendapatkan beras siger yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/Kg). Kriteria harga beras siger yang digunakan adalah >Rp7.000,- (mahal) dan ≤Rp7.000,- (murah).

Kekenyalan adalah tektur yang terkandung dalam beras siger setelah dimasak. Kriteria tektur yang digunakan terdiri dari dua macam yaitu kenyal dan

lembut.

Warna adalah warna beras siger yang dihasilkan pada saat selesai pengolahan. Kriteria yang digunakan adalah coklat tua dan coklat muda.

Kemasan adalah wadah yang digunakan untuk menyimpan hasil beras siger dengan menggunakan ukuran. Kriteria yang digunakan adalah menggunakan kemasan dalam ukuran 1 kg atau 0.5 kg dan curah.

Aroma adalah bau yang dihasilkan dari beras siger setelah dimasak. Kriteria yang digunakan adalah kuat atau tidak kuat.


(42)

40 B. Lokasi, Responden dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Natar. Lokasi penelitian dipilih dengan sengaja (purposive) atas dasar pertimbangan bahwa Kecamatan Natar merupakan salah satu tempat yang mendapatkan bantuan dalam rangka diversifikasi pangan dan memiliki potensi dalam menghasilkan bahan baku pembuatan beras siger. Dalam penelitian ini diambil dua desa sebagai tempat penelitian dengan sengaja (purposive) atas dasar pertimbangan bahwa Desa Pancasila memiliki pabrik pembuatan beras siger dan Desa Bandar Rejo memiliki pasar yang didalamnya terdapat penjual beras siger dengan asumsi pembelian beras siger terdekat adalah konsumen rumah tangga di daerah tersebut.

Jumlah populasi sampel di kedua desa tersebut sebanyak 719 rumah tangga untuk Desa Pancasila dan sebanyak 883 rumah tangga untuk Desa Bandar Rejo, jadi total semua sampel adalah 1602 rumah tangga (data Kecamatan Natar tahun 2011). Perhitungan penentuan jumlah sampel mengacu pada Sugiarto, dkk (2003), dengan perhitungan sebagai berikut.

Dimana :

n = Jumlah sampel rumah tangga N = Jumlah rumah tangga dua desa Z = Derajat kepercayaan (90% = 1,64) S2 = Varian sampel (5%)


(43)

41

= 52

Perincian jumlah responden atas dua desa ditentukan dari masing-masing wilayah (ni) dan digunakan alokasi proposional sebagai berikut.

Dimana :

na = Jumlah sampel rumah tangga desa a nab = Jumlah sampel rumah tangga keseluruhan Na = Jumlah rumah tangga desa a

Nab = Jumlah rumah tangga dua desa

Responden diambil secara proporsional simple random sampling yang disajikan pada Tabel 4.


(44)

42 Tabel 4. Jumlah sampel per desa yang akan dijadikan responden tahun 2011

Desa Pancasila Desa Bandar Rejo

Dusun Jumlah Rumah

Tangga Sampel

Jumlah Rumah

Tangga Sampel

I 163 5 131 4

II 122 4 154 5

III 132 4 166 5

IV 103 3 107 4

V 101 3 94 3

VI 98 3 126 4

VII 105 3

TOTAL 719 23 883 29

Sumber : Kepala Urusan Pemerintahan Desa Pancasila dan Desa Bandar Rejo 2011

C. Metode Penelitian dan Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara

wawancara langsung terhadap sejumlah unit sampel dengan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) sebagai alat bantu pengumpulan data

(terlampir). Data sekunder diperoleh dari literatur, publikasi, buku Badan Pusat Statistik dan instansi terkait lainnya.

D. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk tujuan 1, untuk mengetahui pola konsumsi konsumen rumah tangga menggunakan bantuan kuesioner yang kemudian dideskripsikan. Analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk tujuan 2 dan 3. Untuk mengetahui atribut-atribut beras siger yang diinginkan konsumen rumah tangga (tujuan 2) dan mengetahui


(45)

43 kombinasi atribut beras siger yang diinginkan konsumen rumah tangga

(tujuan 3) menggunakan analisis kuantitatif melalui konjoin. Langkah-langkah kegiatan yang dilalui dalam analisis konjoin adalah merumuskan masalah, bentuk stimuli, menentukan bentuk data input, memilih prosedur analisis konjoin, interprestasi hasil dan evaluasi keandalan dan kesahihan.

Merumuskan masalah mencakup kegiatan mengidentifikasi atribut-atribut yang penting dan levelnya yang dipergunakan untuk membentuk stimulus. Atribut-atribut terdiri dari intrinsik dan ekstrinsik beras siger yang digunakan dalam penelitian ini bersumber deskripsi konsumen beras siger. Atribut instriksik beras siger yang digunakan dalam penelitian ini adalah warna, kekenyalan dan aroma. Atribut ekstrinsik beras siger yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga dan kemasan. Penggolongan atribut-atribut bersumber dari seluruh data yang dikumpulkan oleh peneliti dari nara sumber yang dapat dipercaya. Jenis atribut dan level yang digunakan dalam

penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Atribut beras siger dan levelnya

No Atribut Level 1 Level 2

1 Harga Murah ≤ Rp7.000/kg Mahal > Rp7.000/kg 2 Warna Coklat tua Coklat muda

3 Kekenyalan Kenyal Lembut

4 5

Aroma Kemasan

Kuat Kemasan

Tidak kuat Curah

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa lima atribut yang digunakan dibagi ke dalam dua level. Dengan menggunakan pendekatan kombinasi lengkap (full profile), maka akan diperoleh 25 = 32 kombinasi atribut beras siger yang bisa


(46)

44 dibentuk. Dengan jumlah kombinasi sebanyak itu, tentu saja akan

menyulitkan responden dalam melakukan evaluasi dan hasilnya

dikhawatirkan tidak konsisten. Oleh karena itu dilakukan pengurangan jumlah kombinasi atribut (stimuli) dengan orthogonal array.

Dengan menggunakan prosedur pembuatan stimuli pada program SPSS, maka hanya akan terbentuk 8 stimuli atribut. Delapan stimuli atribut tersebut yang akan digunakan dalam pelaksanaan pengumpulan data. Jumlah stimuli yang diajukan tidak kurang dari jumlah stimuli minimal yang harus dipenuhi. Stimuli minimum = jumlah level – jumlah atribut +1

= 10-5+1 = 6 stimuli

Untuk membentuk desain orthogonal array beras siger dalam SPSS 16 secara umum menggunakan sintaks :

ORTHOPLAN /FACTORS=

HARGA 'Harga Beras Siger' ('Murah' 'Mahal')

WARNA 'Warna Beras Siger' (Coklat tua 'Coklat muda') KEKENYALAN 'Kekenyalan Beras Siger' ('Kenyal' Lembut') AROMA 'Aroma Beras Siger' ('Kuat' 'Tidak kuat')

KEMASAN 'Kemasan Beras Siger' ('Kemasan' 'Curah') /HOLDOUT=0.


(47)

45 Stimuli yang dihasilkan dari proses SPSS tersebut, kemudian akan ditawarkan kepada konsumen rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Stimuli atribut beras siger yang ditawarkan kepada responden *) No

Stimuli

Atribut

Harga Warna Kekenyalan Aroma Kemasan 1 Murah Coklat muda Kenyal Tidak kuat Kemasan 2 Murah Coklat tua Lembut Tidak kuat Curah 3 Mahal Coklat muda Kenyal Tidak kuat Kemasan 4 Murah Coklat muda Kenyal Tidak kuat Curah 5 Mahal Coklat tua Lembut Kuat Kemasan 6 Murah Coklat tua Kenyal Tidak kuat Curah 7 Murah Coklat tua Lembut Kuat Curah 8 Mahal Coklat tua Lembut Kuat Curah

*) berdasarkan hasil pembuatan stimuli dengan menggunakan software SPSS

Stimuli atribut yang sudah terbentuk akan disebarkan kepada responden untuk mengetahui preferensi responden terhadap delapan stimuli atribut yang ada. Responden diminta untuk mengevaluasi stimuli dengan memberikan rating atau nilai terhadap masing-masing stimuli sesuai dengan preferensi mereka. Melalui cara ini responden memberikan penilaian terhadap masing-masing stimuli secara terpisah.

Dalam penelitian ini digunakan data rating dengan aturan penilaian skala likert’s 5 butir (1 = sangat tidak suka, 5 = sangat suka). Jawaban stimuli yang menggunakan skala likert’s memiliki rentang dari sangat negatif sampai dengan sangat positif. Stimuli yang paling tidak sesuai dengan keinginan responden diberi skor satu, sedangkan stimuli ideal yang paling sesuai dengan keinginan responden diberi skor lima.


(48)

46

Rating : 5 4 3 2 1

Keterangan : 5 = Sangat suka 4 = Suka 3 = Biasa saja 2 = Tidak Suka 1 = Sangat tidak suka

Model dasar analisis konjoin dapat dirumuskan secara matematis dalam bentuk :

Keterangan :

= Utility total

= Nilai kegunaan dari atribut ke-I level ke –j = Level ke-j dari atribut ke-i

= jumlah atribut

= Dummy variable atribut ke-I level ke-j, (bernilai 1 bila level yang berkaitan muncul dan 0 bila tidak)

Untuk menentukan tingkat kepentingan atribut ke-I (Ai) ditentukan melalui rumus :

x 100%

Keterangan : = (max( ) – min( ), untuk setiap i I = 1,2,3……. ,n


(49)

47

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Lampung Selatan 1. Letak geografis, topografi, dan pertanian Kabupaten Lampung

Selatan

Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105°14’ sampai dengan 105°45’ Bujur Timur dan 5°15’ sampai dengan 6° Lintang Selatan. Mengingat letak yang demikian ini, daerah Kabupaten Lampung Selatan seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia merupakan daerah tropis.

Daerah Kabupaten Lampung Selatan mempunyai daerah daratan kurang lebih 2.109,74 km². Bila ditinjau dari segi luas, maka Kabupaten Lampung Selatan mempunyai masa depan cerah untuk berkembang. Wilayah administrasi Kabupaten Lampung Selatan mempunyai batas-batas sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Sunda.

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pesawaran.

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa (Badan Pusat Statistik, 2011).


(50)

48 Dari segi topografi daerah Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari:

1. Sebagian besar berbatuan endesit, ditutupi turfazam. Batuan endapan meluas ke timur sampai sekitar jalan menuju Kotabumi, keadaan tanah bergelombang samapi berbukit.

2. Pegunungan vulkanis muda.

3. Daratan bagian timur yang termasuk wilayah Kabupaten Lampung Selatan tidak begitu luas, berbatuan endesit ditutupi turfazam. 4. Dataran alluvial berawa-rawa dengan pohon Bakau (Badan Pusat

Statistik, 2011).

Pertanian Kabupaten Lampung Selatan mencakup pertanian tanaman pangan, tanaman buah-buahan, dan tanaman sayuran. Namun jenis tanaman pangan merupakan jenis tanaman yang paling banyak ditemui di Kabupaten Lampung Selatan. Jenis tanaman pangan yang banyak ditanam di Kabupaten Lampung Selatan antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang kedelai, yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Luas panen, produksi, dan produktivitas tanaman pangan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2010

No Jenis Tanaman Luas Panen (ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ton/ha)

1 Padi 77.059 406.142 5,27

2 Jagung 116.632 599.598 5,14

3 Ubi kayu 6.751 154.696 22,91

4 Ubi jalar 341 3.375 9,90

5 Kacang tanah 463 3.019 6,52

6 Kacang hijau 297 275 0,93

7 Kacang kedelai 1.714 1.975 5,27 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011


(51)

49 Tabel 7 menunjukkan bahwa luas panen dan produksi tanaman pangan terbesar di Kabupaten Lampung Selatan adalah jagung. Jagung merupakan komoditi yang paling banyak diusahakan oleh petani di Kabupaten Lampung Selatan. Namun bila dilihat berdasarkan

produktivitas, ubi kayu memiliki produktivitas tertinggi sebesar 22,91 persen yang menunjukkan bahwa ubi kayu memiliki potensi untuk dikembangkan.

2. Keadaan umum Kecamatan Natar a. Letak geografis dan topografi

Kecamatan Natar merupakan salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan yang menjadi daerah pengembangan industri. Secara administratif batas wilayah Kecamatan Natar adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tegineneng Kabupaten

Pesawaran.

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Bandar Lampung. 3. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Negeri Katon dan

Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran.

4. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan (Badan Pusat Statistik, 2011).

Kecamatan Natar memiliki luas sebesar lebih kurang 253,74 km2 yang terdiri dari 22 desa dengan jumlah penduduk mencapai 170.992 jiwa. Secara topografi, Kecamatan Natar adalah daerah daratan yang


(52)

50 merupakan daerah pertanian padi dan palawija, dengan status tanah 50 persen lebih tanah ladang atau tegal, dan 37,08 persen berstatus tanah warga. Keadaan iklim yang tidak terlalu dingin membuat Kecamatan Natar memiliki iklim yang cocok untuk menanam ubi kayu yang merupakan bahan dasar pembuatan beras siger. Masyarakat di Kecamatan Natar memiliki lahan sawah hanya tadah hujan, sehingga dalam setahun hanya bisa menanam 1 kali dan selebihnya tanah digunakan untuk menanam tanaman lain seperti ubi kayu, jagung dan tanaman lainnya.

3. Keadaan Umum Desa Pancasila a. Letak geografis

Penelitian ini dilakukan di Desa Pancasila yang memiliki luas wilayah 11.088 ha. Jarak Desa Pancasila dengan Ibukota Kabupaten Lampung Selatan adalah 90 km sedangkan dengan Ibukota Kecamatan Natar adalah 15 km. Secara administratif batas wilayah Desa Pancasila sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bandar Rejo 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Krawang Sari 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Muara Putih

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rejomulyo Kecamatan Jati Agung (Monografi Desa Pancasila, 2012).


(53)

51 b. Potensi demografi

Pada tahun 2011, jumlah penduduk di Desa Pancasila sebesar 2.777 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 719 kepala keluarga. Penduduk Desa Pancasila terdiri atas laki-laki sebanyak 1.411 jiwa dan perempuan sebanyak 1.366 jiwa. Sebaran jumlah penduduk

berdasarkan umur di Desa Pancasila dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Pancasila tahun 2011

No Kelompok Umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase

1 0 – 4 205 7,38

2 5 – 6 62 2,23

3 7 – 13 254 9,15

4 14 – 16 131 4,72

5 17 – 24 347 12,50

6 25 – 54 1.063 38,28

7 > 55 715 25,75

Jumlah 2.777 100,00

Sumber: Monografi Desa Pancasila, 2012

Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Pancasila berada pada kelompok umur 25 hingga 54 tahun yaitu sekitar 38,28 persen dari keseluruhan jumlah penduduk. Usia tersebut merupakan usia produktif sehingga mampu menjalankan usaha secara optimal. Hal ini berarti bahwa penduduk Desa Pancasila termasuk potensial sebagai tenaga kerja yang produktif. Usia produktif harus didukung dengan asupan gizi yang beragam agar kesehatan tetap terjaga dan mampu menjalankan atifitas. Jika aktifitas tidak dapat dijalankan dengan baik dapat mempengaruhi pendapatan rumah tangga dan mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga.


(54)

52 Tingkat pendidikan merupakan komponen penting dalam menentukan potensi demografi suatu wilayah. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka, proses penerimaan informasi dapat dilakukan dengan baik. Sebaran jumlah penduduk Desa Pancasila berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Pancasila tahun 2011

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase

1 Belum sekolah 209 7,53

2 Usia 7-56 tahun tidak pernah sekolah

310 11,16

3 Tidak tamat SD 200 7,20

4 Tamat SD 489 17,61

5 Tamat SLTP 808 29,10

6 Tamat SLTA 718 25,86

7 Diploma 30 1,08

8 Sarjana (S1) 13 0,47

Jumlah 2777 100,00

Sumber: Monografi Desa Pancasila, 2012

Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Pancasila berpendidikan SLTP yaitu sebanyak 29,10 persen dan berpendidikan SLTA sebanyak 25,86 persen. Tingkat pendidikan di Desa Pancasila sudah cukup baik, walaupun masih ada penduduk yang tidak pernah mengenyam pendidikan yaitu sebanyak 11,16 persen dari keseluruhan jumlah penduduk. Akan tetapi, penduduk Desa Pancasila juga sudah ada yang mencapai jenjang pendidikan universitas. Tingkat pendidikan yang hanya sampai SLTP membuat masyarakat setempat tidak

mempunyai peluang perkerjaan yang luas dibandingkan dengan masyarakat yang sudah mencapai tingkat pendidikan yang tinggi.


(55)

53 Penduduk Desa Pancasila memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda. Mata pencaharian menjadi sumber pendapatan keluarga yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Minimnya pendapatan akan membuat masyarakat hanya membelanjakan

pendapatannya untuk konsumsi rumah tangga. Jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di Desa Pancasila tahun 2011 disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di Desa Pancasila tahun 2011

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase

1 PNS 12 0,61

2 TNI 7 0,35

3 Pedagang 6 0,30

4 Petani 1754 88,77

5 Jasa kesehatan 11 0,56

6 Peternak 2 0,10

7 Buruh/swasta 151 7,64

8 Montir 6 0,30

9 Industri kecil/rumah tangga 22 1,11

10 Supir 3 0,15

11 Pensiunan 2 0,10

Jumlah 1976 100,00

Sumber : Monografi Desa Pancasila, 2012

Tabel 10 menunjukkan bahwa 88,77 persen penduduk Desa Pancasila bermata pencaharian petani. Penduduk yang memiliki mata

pencaharian pada industri kecil/rumah tangga adalah sebesar 1,11 persen atau sebanyak 22 jiwa, dan mata pencaharian terbesar ketiga setelah petani, dan buruh/swasta. Penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani akan terlebih dahulu menggunakan hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau sering disebut sebagai


(56)

54 subsisten. Hal ini dapat membuat petani hanya memiliki pendapat yang cukup sehingga tidak dapat membeli kebutuhan rumah tangga yang lainnya. Minimnya perkejaan seperti PNS atau industry kecil terhalangi dengan tingkat pendidikan dan modal yang dimiliki.

4. Keadaan Umum Desa Bandar Rejo a. Letak geografis

Penelitian ini dilakukan di Desa Bandar Rejo yang memiliki luas wilayah 817 ha. Memiliki 7 dusun yang menyebar secara merata. Secara administratif batas wilayah Desa Bandar Rejo sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Probosbodo

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rejomulyo 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sukadami 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rulung Jaya

(Kepala Urusan Pemerintaha Desa Bandar Rejo, 2012).

b. Potensi demografi

Pada tahun 2011, jumlah penduduk di Desa Bandar Rejo sebesar 3.261 jiwa. Penduduk Desa Bandar Rejo terdiri atas laki-laki sebanyak 1.626 jiwa dan perempuan sebanyak 1.635 jiwa. Sebaran jumlah penduduk berdasarkan dusun di Desa Bandar Rejo dapat dilihat pada Tabel 11.


(57)

55 Tabel 11. Sebaran jumlah penduduk berdasarkan dusun di Desa

Bandar Rejo tahun 2011

No Dusun Laki-Laki Perempuan

1 1 290 281

2 2 225 232

3 3 306 307

4 4 197 203

5 5 134 135

6 6 259 264

7 7 215 213

Jumlah 1626 1635

Sumber: Kepala Urusan Pemerintahan Desa Bandar Rejo, 2012

Berdasarkan Tabel 11, masyarakat di Desa Bandar Rejo lebih didominasi oleh perempuan walaupun hanya memiliki perbedaan jumlah yang sedikit. Perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi peluang pekerjaan, yang biasanya di dalam rumah tangga laki-laki akan berperan sebagai tulang punggu keluarga. Dapat diasumsikan bahwa jika didalam sebuah keluarga terdapat banyak laki-laki, maka sumber pendapatan akan lebih banyak.

Penduduk Desa Bandar Rejo memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda. Mata pencaharian merupakan sumber pendapatan keluarga yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Minimnya pendapatan akan membuat masyarakat hanya membelanjakan

pendapatannya untuk konsumsi rumah tangga. Jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di Desa Bandar Rejo tahun 2011 disajikan pada Tabel 12.


(58)

56 Tabel 12. Jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di

Desa Bandar Rejo tahun 2011

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)

Persentase (%)

1 PNS 20 0.95

2 TNI 8 0.38

3 Pedagang 150 7.13

4 Petani 1735 82.50

5 Jasa kesehatan 2 0.10

6 Peternak 3 0.14

7 Buruh/swasta 150 7.13

8 Montir 8 0.38

9 Industri kecil/rumah tangga 3 0.14

10 Supir 15 0.71

11 Pensiunan 7 0.33

12 Polri 2 0.10

Jumlah 2103 100.00

Sumber : Kepala Urusan Pemerintahan Desa Bandar Rejo, 2012

Tabel 12 menunjukkan bahwa 82,50 persen penduduk Desa Bandar Rejo bermata pencaharian petani. Tingginya jumlah petani di Desa Bandar Rejo menjadi salah satu faktor terdapatnya bahan dasar beras siger, sebagian besar penduduk yang bertani ubi kayu memiliki kemampuan untuk mengolah ubi kayu menjadi beras siger. Mata pencaharian yang terbanyak setelah petani adalah pedagang dan

buruh/swasta. Penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani akan terlebih dahulu menggunakan hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau sering disebut sebagai subsisten. Hal ini dapat membuat petani hanya memiliki pendapat yang cukup sehingga tidak dapat membeli kebutuhan rumah tangga yang lainnya. Minimnya perkejaan seperti PNS atau industri kecil terhalangi dengan tingkat pendidikan dan modal yang dimiliki.


(59)

76

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Pola konsumsi beras siger konsumen rumah tangga di Kecamatan Natar, memiliki frekuensi konsumsi 1–5 kali per minggu (48.08%) yang diperoleh dari ladang sendiri (51.92%) dan diolah sendiri (88.89%), cara pengonsumsi beras siger dicampur beras (90.38%) dengan jumlah konsumsi dalam seminggu kurang dari 1 kg (38.46%), dan alasan mengonsumsinya karena kebiasaan (57.70%).

2. Atribut-atribut beras siger yang menjadi pertimbangan konsumen rumah tangga dalam mengonsumsi beras siger di Kecamatan Natar adalah harga per kg, warna, kekenyalan, aroma dan kemasan. Atribut paling utama yang menjadi pertimbangan responden adalah warna, diikuti dengan kekenyalan, aroma, harga, dan atribut yang paling terakhir adalah kemasan.

3. Kombinasi atribut beras siger yang diinginkan konsumen rumah tangga di Kecamatan Natar adalah stimuli nomor 6 yaitu harga murah (≤ Rp7.000/kg), warna coklat tua, kenyal, aroma tidak kuat dan curah.


(60)

77 B.Saran

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan di atas, maka saran yang dapat diberikan

1. Bagi produsen beras siger yang ingin berproduksi, dapat memproduksi beras siger yang sesuai dengan keinginan konsumen rumah tangga, yaitu harga murah (≤ Rp7.000/kg), warna coklat tua, kenyal, aroma tidak kuat dan curah. Bagi produsen lama perlu melakukan

penyesuaian untuk atribut-atribut yang tidak sesuai.

2. Bagi pemerintah yang ingin menjalankan program diversifikasi pangan, sebaiknya mengadakan penyuluhan tentang gizi yang terkandung dalam beras siger, agar para konsumen mengetahui gizi yang terkandung di dalam beras siger.

3. Bagi peneliti lain, disarankan untuk melakukan penelitian sejenis di daerah perkotaan untuk mengetahui atribut apa yang diinginkan oleh konsumen rumah tangga dalam mengonsumsi beras siger lalu

membandingkan pola konsumsi beras siger konsumen pedesaan dengan konsumen perkotaan.


(1)

56

Tabel 12. Jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di Desa Bandar Rejo tahun 2011

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)

Persentase (%)

1 PNS 20 0.95

2 TNI 8 0.38

3 Pedagang 150 7.13

4 Petani 1735 82.50

5 Jasa kesehatan 2 0.10

6 Peternak 3 0.14

7 Buruh/swasta 150 7.13

8 Montir 8 0.38

9 Industri kecil/rumah tangga 3 0.14

10 Supir 15 0.71

11 Pensiunan 7 0.33

12 Polri 2 0.10

Jumlah 2103 100.00

Sumber : Kepala Urusan Pemerintahan Desa Bandar Rejo, 2012

Tabel 12 menunjukkan bahwa 82,50 persen penduduk Desa Bandar Rejo bermata pencaharian petani. Tingginya jumlah petani di Desa Bandar Rejo menjadi salah satu faktor terdapatnya bahan dasar beras siger, sebagian besar penduduk yang bertani ubi kayu memiliki kemampuan untuk mengolah ubi kayu menjadi beras siger. Mata pencaharian yang terbanyak setelah petani adalah pedagang dan

buruh/swasta. Penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani akan terlebih dahulu menggunakan hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau sering disebut sebagai subsisten. Hal ini dapat membuat petani hanya memiliki pendapat yang cukup sehingga tidak dapat membeli kebutuhan rumah tangga yang lainnya. Minimnya perkejaan seperti PNS atau industri kecil terhalangi dengan tingkat pendidikan dan modal yang dimiliki.


(2)

76

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Pola konsumsi beras siger konsumen rumah tangga di Kecamatan Natar, memiliki frekuensi konsumsi 1–5 kali per minggu (48.08%) yang diperoleh dari ladang sendiri (51.92%) dan diolah sendiri (88.89%), cara pengonsumsi beras siger dicampur beras (90.38%) dengan jumlah konsumsi dalam seminggu kurang dari 1 kg (38.46%), dan alasan mengonsumsinya karena kebiasaan (57.70%).

2. Atribut-atribut beras siger yang menjadi pertimbangan konsumen rumah tangga dalam mengonsumsi beras siger di Kecamatan Natar adalah harga per kg, warna, kekenyalan, aroma dan kemasan. Atribut paling utama yang menjadi pertimbangan responden adalah warna, diikuti dengan kekenyalan, aroma, harga, dan atribut yang paling terakhir adalah kemasan.

3. Kombinasi atribut beras siger yang diinginkan konsumen rumah tangga di Kecamatan Natar adalah stimuli nomor 6 yaitu harga murah (≤ Rp7.000/kg), warna coklat tua, kenyal, aroma tidak kuat dan curah.


(3)

77

B.Saran

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan di atas, maka saran yang dapat diberikan

1. Bagi produsen beras siger yang ingin berproduksi, dapat memproduksi beras siger yang sesuai dengan keinginan konsumen rumah tangga, yaitu harga murah (≤ Rp7.000/kg), warna coklat tua, kenyal, aroma tidak kuat dan curah. Bagi produsen lama perlu melakukan

penyesuaian untuk atribut-atribut yang tidak sesuai.

2. Bagi pemerintah yang ingin menjalankan program diversifikasi pangan, sebaiknya mengadakan penyuluhan tentang gizi yang terkandung dalam beras siger, agar para konsumen mengetahui gizi yang terkandung di dalam beras siger.

3. Bagi peneliti lain, disarankan untuk melakukan penelitian sejenis di daerah perkotaan untuk mengetahui atribut apa yang diinginkan oleh konsumen rumah tangga dalam mengonsumsi beras siger lalu

membandingkan pola konsumsi beras siger konsumen pedesaan dengan konsumen perkotaan.


(4)

78

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, K. H. 2007. Analisis Pola Konsumsi Susu Bubuk, Susu Kental Manis, dan Susu Cair Konsumen Rumah Tangga (Survey Pada Perumahan Taman Pagelaran, Kelurahan Padasuka, Kecamatan Ciomas, Bogor). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia. Jakarta.

Aminah, S. 2012. Pengaruh Penambahan Tepung Tempe Terhadap Kadar Protein, Sifat Fisik, dan Organoleptik Tiwul Instan. Jurnal Litbang Universitas Muhammadiyah Semarang. http://www.jurnal.unimus.ac.id. Diakses 4 November 2012.

Andrarini. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Tiwul Di Pendesaan Dan Perkotaan Di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Skripsi. Universitas Institut Pertanian Bogor

Anonim. 2011. Lampung Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung. Bandar Lampung

________ 2011. Lampung Selatan Dalam Angka. Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Selatan. Lampung Selatan

________ 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung Selatan. Lampung Selatan

________ 2011. Kecamatan Natar Dalam Angka. Kantor Kecamatan Natar. Lampung Selatan.

________ 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Depdiknas. Balai Pustaka. Jakarta.

________. 2013. Proyeksi Penduduk 2000 – 2025. www.datastatistik-indonesia.com. Diakses tanggal 4 April 2013.

________. 2013. Pengantar Ilmu Ekonomi (panduan praktikum). Universitas Lampung. Bandar Lampung


(5)

79

Aritonang. 2001. Akar Masalah Gizi. Usaha Nasional. Surabaya.

Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung. 2012. Rumah Singkong. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

____________________________________. 2012. Survey Konsumsi Pangan Provinsi Lampung. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

____________________________________. 2012. Kegiatan Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung Selatan. Lampung Selatan.

Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2012. Lampung Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung.

Berg, A. 1986. Perencanaan Gizi dalam Pembangunan National. Jakarta. CV. Rajawali

Dumairy. 2004. Perekonomian Indonesia. Cetakan Kelima. Erlangga. Jakarta. Engel. J.F., R.D. Blackwell, dan P.W. Miniard. 1994. Perilaku Konsumen.

Binarupa Aksara. Jakarta.

Halim. 2012. Beras Siger, Nasi atau Singkong?. http://www.polinela.ac.id/. Diakses 10 Desember 2012

Harper, I. J. B. J. Deaton, dan J. A. Driskel. 1986. Pangan Gizi dan Pertanian. Diterjemahkan oleh Suhardjo. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Hidayat, M.S. 2012. Konsumsi Beras Indonesia Tertinggi Di Asia Tenggara.

www.bisniskeuangan.kompas.com. Diakses tanggal 4 April 2013.

Indriani, Y. 2007. Gizi dan Pangan (buku ajar). Universitas Lampung. Bandar Lampung

Khumaidi, M. 1994. Gizi Masyarakat. PT BPK Gunung Mulia. Jakarta. Kotler, P. dan A.B. Susanto. 2001. Manajemen Pemasaran. Erlangga. Jakarta Maryanti, E. V. 2009. Atribut-Atribut Benih Jagung Variestas Unggul Hibrida Yang

Diinginkan Petani Di Kabupaten Lampung Timur. Skripsi. Universitas Lampung.


(6)

80

Nopirin. 1997. Ekonomi Moneter. Edisi Keempat. Cetakan Kelima. BPFE. Yogyakarta.

Prasetijo, R. dan J.J.O.I. Ihalaw. 2005. Perilaku Konsumen. Andi. Yogyakarta. Priatmiasih, O. 2012. Perilaku Konsumen Rumah Tangga Dalam Mengkonsumsi

Tahu Putih Di Kota Bandar Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Rachmawati, R. 2010. Pengaruh Penambahan Tepung Jagung pada Pembuatan

Tiwul Instan terhadap Daya Kembang dan Sifat Organoleptik. http://digilib.unimus.ac.id. Diakses tanggal 27 Januari 2013.

Riauheadline. 2013. Jumlah Konsumsi Pangan Lebihi Kebutuhan Ideal di Bengkalis. www.riauheadline.com. Diakses tanggal 21 Juni 2013 Santoso, S. 2010. Statistik Multivariat. PT. Gramedia. Jakarta.

Sediaoetama, A. D. 1996. Ilmu Gizi. Jilid 1. Bharata Karya Aksara. Jakarta. Setiadi, N. J. 2003. Perilaku Konsumen, Konsep dan Implikasi untuk Strategi dan

Penelitian Pemasaran. Prenada Media. Jakarta.

Sugiarto. 2003. Teknik Sampling. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suhardjo. 1989. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta. Sumarwan, U. 2003. Perilaku Konsumen : Teori dan Penerapannya Dalam

Pemasaran. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Supranto, J. 1998. Teknik Pengambilan Keputusan. Rineka Cipta. Jakarta. __________. 2004. Analisis Multivariat, Arti dan Interpretasi. Rineka Cipta.

Jakarta.

Syah, D. 2012. Pengantar Teknologi Pangan. IPB Press. Bogor. Widyasari, P. 2007. Analisis Perilaku Konsumen Rumah Tangga Dalam

Mengonsumsi Sarden Kaleng di Kota Bandar Lampung. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Yuliana. 2013. Kadar Lemak, Kekenyalan Dan Cita Rasa Nugget Ayam Yang Disubstitusi Dengan Hati Ayam Broiler. Animal Agriculture Journal, Vol. 2, No. 1, P 301-308. Ejournal-st.undip.ac.id. diakses tanggal 01 Juni 2013.