EFISIENSI REGENERASI IN VITRO MELALUI ORGANOGENESIS EMPAT VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L).Merr.) DARI EKSPLAN BIJI YANG DIKECAMBAHKAN ATAU DIIMBIBISIKAN

(1)

EFISIENSI REGENERASI IN VITRO MELALUI ORGANOGENESIS EMPAT VARIETAS KEDELAI (Glycine max [L].Merr.) DARI EKSPLAN

BIJI YANG DIKECAMBAHKAN ATAU DIIMBIBISIKAN

Oleh

Ria Aprilenta Br.Hutabarat

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

EFISIENSI REGENERASI IN VITRO MELALUI ORGANOGENESIS EMPAT VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L).Merr.) DARI EKSPLAN

BIJI YANG DIKECAMBAHKAN ATAU DIIMBIBISIKAN

Oleh

RIA APRILENTA BR.HUTABARAT

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan eksplan biji yang dikecambahkan atau diimbibisikan (pra-kultur) terhadap efisiensi regenerasi in vitro empat varietas kedelai (Glycine max (L). Merr.) melalui organogenesis. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, dari bulan Maret 2013 sampai dengan Mei 2013. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok yang terdiri atas 5 ulangan. Perlakuan disusun secara faktorial (4x2) dengan faktor pertama adalah varietas kedelai sebagai eksplan (Grobogan, Argomulyo, Tanggamus, dan Ijen) dan faktor kedua adalah perlakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan). Setiap satuan percobaan terdiri atas empat eksplan yang dikulturkan dalam satu botol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pra-kultur berpengaruh terhadap persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA) dan rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). Sedangkan perlakuan varietas dan


(3)

Argomulyo, dan Tanggamus. Pada perlakuan pengecambahan, PEMTA varietas Ijen lebih tinggi daripada Argomulyo namun tidak berbeda dengan Tanggamus dan Grobogan. Jika menggunakan varietas Ijen dan Argomulyo, PEMTA perlakuan imbibisi lebih tinggi daripada pengecambahan. RJTA perlakuan pra-kultur imbibisi 20 jam (19,5 tunas per eksplan) lebih tinggi daripada perlakuan kecambah 6 hari (9,63 tunas per eksplan). Selain itu, media pengakaran ½ MS tanpa NAA lebih baik dalam membentuk akar fungsional daripada ½ MS yang mengandung NAA 0,5 mg/l.

Kata kunci: buku kotiledon, imbibisi, Kedelai, organogenesis, pengakaran, pengecambahan.


(4)

(5)

(6)

vii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah. ... 1

1.2 Tujuan Penelitian. ... 5

1.3 Landasan Teori. ... 6

1.4 Kerangka Pemikiran. ... 10

1.5 Hipotesis. ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai. ... 14

2.2 Kultur Jaringan Tanaman. ... . 16

2.3.1 Eksplan. ... 18

2.3.2 Media Kultur. ... 18

2.3.3 Zat Pengatur Tumbuh. ... 19

2.3.4 Genotipe. ... 21

2.4 Regenerasi in vitro Kedelai. ... 22

2.5 Organogenesis Kedelai. ... 23

2.6 Imbibisi dan Perkecambahan Kedelai. ... 25

2.7 Pengakaran dan Aklimatisasi Kedelai. ... 27

III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian. ... 30

3.2 Bahan dan Alat. ... 30

3.3 Metode Penelitian. ... 31


(7)

viii

3.4.1 Sterilisasi Alat dan Bahan. ... 31

3.4.2 Pembuatan Media Kultur. ... 32

3.4.3 Sterilisasi Benih. ... 32

3.4.4 Perlakuan pra-kultur Imbibisi atau Pengecambahan. ... . 33

3.4.5 Pengkulturan pada Media Inisiasi Tunas. ... 34

3.4.6 Subkultur. ... 35

3.4.7 Pengakaran. ... 36

3.4.8 Aklimatisasi. ... . 37

3.5 Variabel Pengamatan. ... 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian. ... 39

4.1.1 Perkembangan Eksplan. ... 39

4.1.2 Analisis ragam variabel persentase eksplan membentuk tunas adventif (PEMTA) dan rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). ... 41

4.1.3 Persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA). ... 42

4.1.4 Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). ... 44

4.1.5 Proporsi eksplan yang membentuk akar fungsional (PEMAF). ... 45

4.1.6 Aklimatisasi. ... 47

4.2 Pembahasan. ... . 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan. ... 58

5.2 Saran. ... 58

PUSTAKA ACUAN. ... 59


(8)

ix DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Analisis ragam variabel PEMTA dan RJTA. ... . 42

2. Pengaruh perlakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) terhadap rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). ... 45

3. Pengamatan PTMAF dalam dua macam media pengakaran pada 3 mst. ... 47

4. Formulasi Media MS (Murashige dan Skoog, 1962). ... 66

5. Deskripsi Kedelai Varietas Grobogan. ... 67

6. Deskripsi Kedelai Varietas Argomulyo. ... 68

7. Deskripsi Kedelai Varietas Tanggamus. ... 69

8. Deskripsi Kedelai Varietas Ijen. ... 70

9. Data Persentase Eksplan Menghasilkan Tunas Adventif (PEMTA) dari perlakuan imbibisi atau pengecambahan. ... . 71

10. Total faktor perlakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) pada PEMTA semua varietas. ... . 71

11. Uji homogenitas ragam untuk PEMTA. ... 72

12. Analisis Ragam data PEMTA. ... 72

13. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk PEMTA. ... 73

14. Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA) pada perlakuan imbibisi dan pengecambahan. ... . 73


(9)

x 16. Uji homogenitas ragam untuk RJTA. ... 74 17. Analisis ragam data RJTA. ... 75 18. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk RJTA. ... 75 19. Uji t-student taraf nyata 5% pada tunas adventif


(10)

xi

Gambar Halaman

1. Tahapan sterilisasi benih. ... . 33

2. Perlakuan pra-kultur imbibisi (a) dan pengecambahan (b). ... . 34

3. Pengulturan pada media inisiasi tunas. ... . 35

4. Tahapan pengakaran tunas adventif. ... . 36

5. Pembentukan tunas adventif kedelai secara organogenesis melalui perlakuan pra-kultur imbibisi dan pengecambahan. ... 40

6. Pengaruh interaksi antara faktor pelakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) dan varietas terhadap persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA). ... 43

7. Pengaruh interaksi antara faktor pelakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) dan varietas terhadap persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA). ... 44

8. Penampilan akar pada planlet umur 3 MST. ... 46

9. Penampilan planlet yang telah diaklimatisasi 3 hst. ... . 48


(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan komoditas pangan sebagai sumber utama protein nabati dan minyak nabati yang sangat penting karena gizinya dan aman dikonsumsi. Pemanfaatan utama kedelai adalah dari biji. Di Indonesia, biji kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk pangan olahan seperti: tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai makanan ringan (Damardjati et al., 2005).

Kebutuhan akan kedelai terus meningkat setiap tahunnya. Rata-rata kebutuhan kedelai ± 2,3 juta ton/tahun. Berdasarkan data tahun 2011, produksi dalam negeri sebesar ± 851,29 ribu ton biji kering atau hanya mencukupi ± 37,01% dari

kebutuhan, sisanya ± 64% diimpor dari negara lain (BPS, 2012). Besarnya impor tersebut menyebabkan kehilangan devisa negara yang cukup besar dan sangat rentan terhadap ketahanan pangan nasional (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2012). Oleh karena itu, perlu upaya intensifikasi dan ekstensifikasi untuk

meningkatkan produksi kedelai dalam negeri.

Kebijakan Kementerian Pertanian dicerminkan pada visinya untuk mewujudkan pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk


(12)

meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan kesejahteraan petani. Untuk mencapai visi tersebut dibutuhkan seperangkat teknologi yang tepat untuk mengangkat posisi sumber daya genetik lokal, terutama yang mendorong kemandirian nasional dan kesejahteraan petani (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2013).

Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menemukan varietas unggul. Salah satunya dapat diperoleh melalui rekayasa genetika (transformasi genetik).

Keberhasilan transformasi genetik untuk memperoleh tanaman transgenik sangat ditentukan oleh teknik regenerasi in vitro (Pardal, 2001). Regenerasi in vitro atau kultur jaringan berfungsi untuk meregenerasikan tanaman transgenik dari sel atau jaringan transgenik (Utomo, 2010).

Beberapa faktor biotik dan abiotik serta hama dan penyakit dapat menurunkan kualitas dan produksi tanaman. Tantangan biotik dan abiotik dapat diatasi dengan rencana perbaikan tanaman secara sistematis dalam rangka meningkatkan

produksi tanaman yang melibatkan penggunaan teknologi baru dan

pengembangan kultivar baru dengan kualitas yang diinginkan ( Joyner et al., 2010).

Utomo (2012) menjelaskan bahwa varietas merupakan sekelompok tanaman dalam satu spesies yang secara genetik memiliki kriteria DUS yaitu distinct (berbeda), uniform (seragam), dan stable (stabil). Varietas budidaya (kultivar) yang memiliki sifat unggul bernilai ekonomi disebut varietas unggul. Jenis varietas unggul terdiri dari varietas galur murni (inbrida), hibrida, komposit,


(13)

sintetik, multi galur, dan klon. Berbagai jenis varietas tersebut dapat dirakit menggunakan teknik pemuliaan tradisional maupun modern/bioteknologi.

Keberhasilan penerapan bioteknologi dalam perbaikan tanaman didasarkan pada protokol regenerasi in vitro tanaman yang efisien. Regenerasi in vitro yang efisien diperlukan untuk meregenerasikan tanaman transgenik dari sel atau

jaringan transgenik. Tanggapan eksplan dalam kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu fisiologi tanaman, manipulasi in vitro, dan stres fisiologi in vitro (Lazzeri et al., 1985).

Regenerasi in vitro kedelai melalui kultur jaringan dapat dilakukan melalui dua proses yang berbeda, yaitu melalui organogenesis (shootmorphogenesis) dan embriogenesis somatik (somaticembryogenesis). Organogenesis dan

embriogenesis somatik sangat tergantung kepada sumber eksplan dan jenis media kultur yang digunakan. Kedua proses tersebut sangat dipengaruhi oleh

kultivar/genotipe tanaman (cultivar-specificresponses), di mana beberapa galur lebih responsif terhadap media kultur dari galur lainnya (Barwale et al., 1986).

Beberapa penelitian tentang regenerasi in vitro kedelai melalui jalur embriogenesis somatik telah dilakukan dengan eksplan kotiledon muda (Lippmann dan Lippmann,1984; Pardal et al., 1997; Hiraga et al., 2007; Loganthan et al., 2010), hipokotil (Gamborg et al., 1983; Phillips dan Collins, 1981), dan biji masak (Widoretno et al., 2002). Regenerasi in vitro kedelai melalui organogenesis telah dilakukan dengan eksplan buku kotiledon

(cotyledonary nodes) (Zhang et al., 1999; Clemente et al., 2000; Utomo, 2005; Marveldani et al., 2007), daun muda (Wright et al., 1987; Kim et al., 1990), poros


(14)

embrio (McCabe et al.,1988), potongan hipokotil (Dan dan Reichert, 1998; Reichert et al., 2003; Wang dan Xu, 2008), dan belahan benih masak yang diimbibisi (Paz et al., 2006; Joyner et al., 2010).

Protokol regenerasi in vitro kedelai digunakan dalam transformasi genetik sehingga diharapkan memperbesar efisiensi transformasi genetik kedelai. Utomo et al. (2010) melaporkan prosedur regenerasi in vitro dari eksplan buku kotiledon enam varietas kedelai (Wilis, Sinabung, Anjasmoro, Kaba, Seluwah, dan Sibayak) melalui organogenesis. Eksplan buku kotiledon diperoleh dari benih yang dikecambahkan selama 5-6 hari. Proporsi eksplan yang menghasilkan tunas berkisar 43-100%. Rata-rata jumlah tunas per ekplan berkisar antara 7-36 tunas per eksplan.

Prosedur transformasi genetik kedelai dimodifikasi oleh Paz et al. (2006) dengan menggunakan eksplan buku kotiledon (cotyledonary nodes) dari benih masak. Benih masak diperoleh melalui perlakuan pra-kultur berupa pengecambahan 6 hari dan benih masak lainnya diperoleh dengan perlakuan imbibisi semalam. Prosedur ini juga yang dilakukan oleh Safitri (2013) yang menerapkan lima varietas kedelai pada masing-masing perlakuan pra-kultur (imbibisi dan

pengecambahan). Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan dengan perlakuan imbibisi yaitu 15,4 tunas per eksplan lebih tinggi daripada perlakuan

pengecambahan 6 hari yaitu 12,9 tunas per eksplan.

Prosedur regenerasi in vitro kedelai dengan perlakuan pra-kultur imbibisi belum banyak digunakan. Namun, perlakuan imbibisi memiliki kelebihan dalam efisiensi waktu karena membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan


(15)

perlakuan pengecambahan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efisiensi regenerasi in vitro empat varietas kedelai melalui perlakuan pra-kultur (imbibisi dan pengecambahan) dengan varietas yang berbeda.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut

1. Bagaimana pengaruh perlakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) terhadap efisiensi pembentukan tunas adventif kedelai?

2. Bagaimana perbedaan efisiensi pembentukan tunas adventif empat varietas kedelai?

3. Apakah terdapat interaksi antara perlakuan (imbibisi atau pengecambahan) dengan varietas kedelai?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh perlakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) terhadap efisiensi pembentukan tunas adventif kedelai.

2. Membedakan efisiensi pembentukan tunas adventif dari empat varietas kedelai. 3. Mengetahui interaksi antara perlakuan (imbibisi atau pengecambahan) dengan


(16)

1.4 Landasan Teori

Dalam rangka menyusun penjelasan teoritis terhadap pertanyaan yang telah dikemukakan, maka disusun landasan teori sebagai berikut:

Pada tahapan kegiatan transformasi genetik kedelai, teknik kultur jaringan diperlukan dalam meregenerasikan sel atau jaringan transgenik. Tanpa sistem regenerasi tanaman yang efisien, akan sulit diperoleh tanaman transgenik yang diinginkan. Inilah yang merupakan salah satu alasan penggunaan teknik kutur jaringan dalam perbanyakan tanaman kedelai. Dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan regenerasi yaitu faktor internal sel/jaringan eksplan dan faktor lingkungan. Faktor internal meliputi genotipe (varietas) tanaman, asal jaringan, tingkat perkembangan dan diferensiasi sel. Faktor lingkungan meliputi komposisi media, suhu, dan cahaya (Marveldani et al., 2007)

Regenerasi tanaman secara in vitro dibagi menjadi dua proses yaitu organogenesis dan embriogenesis somatik. Organogenesis adalah adalah proses terbentuknya organ seperti tunas atau akar, baik secara langsung dari permukaan eksplan atau secara tidak langsung melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Regenerasi in vitro kedelaimelalui jalur organogenesis dapat menggunakan eksplan buku kotiledon (Cheng et al., 1980; Wright et al., 1986; Utomo, 2005; Marveldani et al., 2007), daun muda (Wright et al., 1987; Kim et al., 1990), poros embrio (McCabe et al., 1988), hipokotil (Dan dan Reivhert, 1998), serta belahan benih masak yang diimbibisi (Paz et al., 2006; Joyner et al., 2010).


(17)

Menurut Wattimena (1992), keberhasilan organogenesis tanaman secara in vitro dipengaruhi oleh empat golongan utama yaitu media yang digunakan mencakup komponen penyusun media dan ZPT, lingkungan tumbuh, fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan, dan genotipe atau varietas dari sumber bahan tanaman yang digunakan. Pemberian sitokinin eksogen diperlukan untuk mendorong tunas/akar untuk membentuk planlet karena kemungkinan sitokinin endogen tidak mencukupi untuk pembentukan planlet. Interaksi dan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh endogen dengan zat pengatur tumbuh eksogen akan menentukan arah perkembangan suatu kultur (Azriati et al., 2006).

Pada regenerasi kedelai melalui organogenesis, tidak semua varietas memberikan respon yang baik. Pierik (1987) dalam Pardal (2002) menyatakan bahwa masing-masing jenis eksplan dan genotipe memiliki respon pertumbuhan in vitro yang berbeda-beda walaupun ditumbuhkan pada media dan kondisi lingkungan tumbuh yang sama.

Tanaman transgenik yang dihasilkan dari rekayasa genetika umumnya berupa tunas adventif. Untuk meningkatkan efisiensi transformasi kedelai menggunakan Agrobacterium, eksplan buku kotiledon dilukai pada buku tempat tumbuh tunas aksilar. Tujuan dari pelukaan tersebut ialah untuk mencegah munculnya tunas aksilar, merangsang inisiasi tunas adventif majemuk dari meristem aksilar, dan meningkatkan efisiensi tunas (Utomo, 2005).

Cheng et al. (1980) melaporkan bahwa tunas majemuk dari meristem aksilar terbentuk pada buku kotiledon yang dikulturkan pada medium yang mengandung benzyl amino purine (BAP) > 2 µM. Buku kotiledon adalah satu kotiledon


(18)

beserta sebagian hipokotil sepanjang 3-5 mm. Penambahan BAP dalam media tersebut diduga dapat mengatasi dominasi apikal. Subkultur tunas majemuk dalam medium yang mengandung BAP menyebabkan pemanjangan tunas. Prosedur ini dimodifikasi oleh Wright et al. (1986) dan melaporkan pembentukan tunas efisien pada medium yang mengandung garam rendah dengan 5 µM BAP.

Marveldani et al. (2007) melaporkan bahwa konsentrasi BA yang terbaik untuk regenerasi eksplan buku kotiledon tiga varietas kedelai adalah 0,75 mg/l. Eksplan dikulturkan pada media MS yang ditambahkan BA sesuai perlakuan percobaan. Persentase eksplan membentuk tunas tertinggi ditunjukkan oleh varietas Ijen sebesar 77,5% dan rata-rata jumlah tunas per eksplan tertinggi ditunjukkan oleh varietas Sinabung yaitu sebanyak 5 tunas per eksplan.

Untuk memperoleh prosedur transformasi genetik kedelai varietas unggul nasional yang efisien, maka diperlukan prosedur regenerasi in vitro kedelai melalui

organogenesis yang efisien. Paz et al. (2006) dalam penelitiannya

mengembangkan prosedur transformasi kedelai menggunakan eksplan belahan buku kotiledon empat kultivar kedelai sebagai jaringan target dan menunjukkan keberhasilan dalam regenerasi untuk memproduksi tanaman transgenik. Sebelum dikulturkan dalam media tumbuh, eksplan belahan embrio masak berasal dari benih yang diimbibisikan selama semalam, sedangkan eksplan buku kotiledon berasal dari benih yang telah dikecambahkan selama 6 hari. Eksplan hasil imbibisi benih semalam menunjukkan efisiensi regenerasi 1,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kecambah 5-7 hari.


(19)

Safitri (2013) melaporkan juga bahwa efisiensi regenerasi in vito kedelai yang lebih tinggi diperoleh pada perlakuan pra-kultur imbibisi. Prosedur regenerasi yang digunakan hampir sama dengan Paz et al.(2006) menggunakan perlakuan pra-kultur (imbibisi 20 jam atau pengecambahan 6 hari). Lima varietas kedelai yang dievaluasi menggunakan eksplan buku kotiledon mendapatkan perlakuan pra-kultur sebelum dikulturkan pada media tumbuh. Rata-rata jumlah tunas adventif (RJTA) perlakuan pra-kultur imbibisi yaitu 15,4 tunas per eksplan lebih tinggi daripada perlakuan pengecambahan yaitu 12,9 tunas per eksplan.

Pengecambahan adalah proses pertumbuhan embrio dan komponen-komponen biji yang memiliki kemampuan untuk tumbuh secara normal menjadi tumbuhan baru. Komponen biji tersebut adalah bagian kecambah yang terdapat di dalam biji, misalnya radikula dan plumula (Sudjadi, 2006). Pengecambahan biji merupakan suatu proses dimana radikula (akar embrionik) memanjang ke luar menembus kulit biji. Di balik gejala morfologi dengan pemunculan radikula tersebut, terjadi proses fisiologi-biokemis yang kompleks, dikenal sebagai proses perkecambahan fisiologis (Salisbury dan Ross, 1995).

Menurut Sari (2012), perkecambahan diawali dengan proses imbibisi, yaitu penyerapan air dari lingkungan benih, dalam hal ini media perkecambahan. Perubahan yang terjadi adalah pembesaran benih dikarenakan sel-sel embrio mulai membesar dan radikula telah muncul. Perubahan hormon endogen selama perkecambahan diduga berperan dalam induksi sel-sel yang mampu membentuk embrio somatik.


(20)

Imbibisi merupakan proses masuknya air ke dalam benih sehingga mengaktifkan enzim-enzim untuk melakukan proses metabolisme. Air yang masuk ke dalam kotiledon menyebabkan volumenya bertambah, akibatnya kotiledon membengkak. Pembengkakan tersebut pada akhirnya menyebabkan pecahnya testa (Sudjadi, 2006).

1.5 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, maka dapat disusun kerangka pemikiran berikut ini untuk memberikan penjelasan teoritis terhadap perumusan masalah.

Kedelai merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting di Indonesia, karena mengandung protein nabati. Permintaan kedelai terus meningkat seiring dengan semakin beragamnya produk olahan yang berbahan dasar kedelai. Namun demikian, produksi kedelai nasional menurun tiap tahunnya. Oleh karena itu, penggunaan varietas unggul merupakan salah satu cara yang dapat mengatasi kendala tersebut. Varietas unggul baru yang memiliki keunggulan-keunggulan tertentu seperti varietas yang resisten terhadap serangan hama penyakit dapat dirakit salah satunya melalui pemuliaan non-konvensional yakni menggunakan rekayasa genetika. Kultur jaringan merupakan teknologi terapan yang

mendukung program pemuliaan melalui rekayasa genetika. Eksplan transgenik yang jaringannya telah mengandung gen asing dari hasil rekayasa genetika dapat diregenerasikan melalui kultur jaringan.

Regenerasi in vitro kedelai dapat dilakukan melalui proses embriogenesis somatik maupun organogenesis. Regenerasi in vitro yang dilakukan dalam penelitian ini


(21)

adalah melalui jalur organogenesis. Organ baru yang diharapkan ialah tunas-tunas adventif yang berasal dari buku kotiledon empat varietas kedelai sebagai eksplan. Setiap varietas diberikan perlakuan pra-kultur (imbibisi 20 jam atau pengecambahan 6 hari).

Keberhasilan regenerasi tunas menggunakan buku kotiledon ini juga dipengaruhi oleh metode pra-kultur yang digunakan. Metode pra-kultur yang selama ini digunakan pada beberapa penelitian adalah metode pengecambahan 5-7 hari. Namun, perlakuan pra-kultur imbibisi memiliki kelebihan dalam hal efisiensi waktu. Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan juga menunjukkan hasil regenerasi yang lebih efisien pada perlakuan pra-kultur imbibisi daripada pengecambahan 6 hari.

Imbibisi merupakan proses peresapan air ke dalam ruangan antardinding sel, sehingga dinding selnya akan mengembang. Pada peristiwa perendaman terjadi proses imbibisi oleh kulit biji tanaman. Efek yang terjadi adalah membesarnya ukuran biji karena sel embrio membesar dan biji melunak. Salah satu syarat imbibisi adalah perbedaan tekanan antara benih dan larutan, dimana tekanan benih lebih kecil daripada tekanan larutan.

Pengecambahan adalah proses pengaktifan kembali aktivitas pertumbuhan embryonic axis di dalam benih yang terhenti untuk membentuk bibit. Proses pengecambahan dibedakan menjadi 2 proses yaitu proses morfologis dan fisiologis. Proses pengecambahan morfologis meliputi pertumbuhan embryonic axis sebagai akibat proses pembentukan sel-sel baru pada embrio yang akan diikuti proses diferensiasi sel-sel, sehingga terbentuk plumula (bakal batang dan


(22)

daun) dan radikula (bakal akar). Proses pengecambahan fisiologis adalah perubahan kondisi embrio di dalam benih yang semula berada pada kondisi dorman kemudian mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang menyebabkan ia berkembang menjadi kecambah. Perubahan fisiologis ini melalui 3 tahap yakni imbibisi (penyerapan air oleh benih), pengaktifan enzim untuk proses

metabolisme, dan perkecambahan.

Kandungan hormon endogen dalam setiap tanaman (genotipe) berbeda sehingga respons tanaman tidak sama. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari hormon yang berada dalam eksplan (endogen) dengan hormon eksogen yang diserap dari media tumbuh. Pada proses imbibisi dan pengecambahan, terjadi pengaktifkan kinerja enzim di dalam benih untuk proses pertumbuhan sehingga proses-proses fisiologi dalam benih menjadi aktif.

Penambahan ZPT dari golongan sitokinin juga diperlukan dalam regenerasi in vitro kedelai secara organogenesis untuk mencegah dominasi tunas apikal serta merangsang tumbuhnya mata tunas samping. ZPT yang telah banyak digunakan dalam regenerasi in vitro kedelai secara organogenesis adalah benzyl adenine (BA) karena mempunyai efektivitas yang tinggi dalam perbanyakan tunas dan harganya relatif murah.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prosedur yang tepat dan efisien dalam regenerasi tunas kedelai dengan melihat kemampuan masing-masing varietas dalam membentuk tunas adventif, apakah setelah dilakukan imbibisi 20 jam atau pengecambahan 6 hari dapat meningkatkan efisiensi


(23)

munculnya tunas adventif pada eksplan buku kotiledon kedelai sehingga diharapkan dapat memperbaiki prosedur organogenesis dalam mendukung program pemuliaan kedelai melalui rekayasa genetika.

1.6 Hipotesis

Dari kerangka pemikiran yang dikemukakan disusun hipotesis sebagai berikut: 1. Efisiensi regenerasi in vitro secara organogenesis melalui perlakuan pra-kultur

imbibisi 20 jam lebih tinggi daripada perlakuan pra-kultur pengecambahan 6 hari.

2. Terdapat perbedaan efisiensi regenerasi in vitro secara organogenesis dari empat varietas kedelai menggunakan eksplan buku kotiledon.

3. Terdapat interaksi antara perlakuan pra-kultur melalui imbibisi 20 jam atau pengecambahan 6 hari dengan varietas kedelai.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kedelai

Kedelai merupakan adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur dan telah dibudidayakan sejak 3500 tahun yang lalu. Kedelai mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-16. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai yaitu di Pulau Jawa, kemudian

berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau lainnya. Kedelai yang dibudidayakan adalah Glycine max yang merupakan keturunan domestikasi dari spesies moyang Glycine soja. Kedelai adalah tumbuhan yang peka terhadap pencahayaan. Pada pencahayaan agak rendah, batangnya akan mengalami pertumbuhan memanjang sehingga berwujud seperti tanaman merambat.

Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merr.) diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta

Classis : Dicotyledoneae Ordo : Polypetales

Familia : Fabaceae (Leguminosae) Genus : Glycine


(25)

Daun kedelai merupakan daun majemuk yang terdiri dari tiga helai anak daun (trifoliat) dan umumnya berwarna hijau muda atau hijau kekuning–kuningan. Bentuk daun ada yang oval, juga ada yang segitiga. Warna dan bentuk daun kedelai ini tergantung pada varietas masing – masing. Namun, umumnya pada buku (nodus) pertama tanaman yang tumbuh dari biji terbentuk sepasang daun tunggal. Selanjutnya, pada semua buku di atasnya terbentuk daun majemuk selalu dengan tiga helai. Permukaan daun berbulu halus pada kedua sisi. Tunas atau bunga akan muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur, mulai dari daun yang menempel di bagian bawah batang (Anonim, 2013).

Biji kedelai berbentuk polong, setiap polong berisi 1–4 biji. Biji umumnya berbentuk bulat atau bulat pipih sampai bulat lonjong. Ukuran biji berkisar antara 6 – 30g/100 biji, ukuran biji diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu biji kecil (6–10 g/100 biji), biji sedang (11–12 g/100 biji) dan biji besar (13 g atau lebih/100 biji). Warna biji bervariasi antara kuning, hijau, coklat dan hitam (Fachruddin, 2000).

Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi

maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemungkinan diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak. Biji – biji kedelai berkeping dua terbungkus kulit biji (lesta) dan tidak mengandung jaringan endosperm. Embrio terbentuk di antara keping biji. Bentuk biji pada umumnya bulat lonjong, tetapi ada yang bundar dan bulat agak pipih.


(26)

Warna kulit biji bermacam-macam, ada yang kuning, hitam, hijau atau coklat (Adisarwanto, 2005).

Kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30o C, bila tumbuh pada suhu yang rendah (< 15o C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat bisa mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada kondisi kelembapan tanah tinggi, banyaknya biji yang mati akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21-34o C, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 23-27o C. Pada proses

perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu yang cocok sekitar 30o C (Adisarwanto, 2005).

Tanaman kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembapan tanah turun, akar akan berkembang lebih ke dalam agar dapat menyerap unsur hara dan air. Pertumbuhan ke samping dapat mencapai jarak 40 cm, dengan kedalaman hingga 120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat

bertumpunya tanaman dan alat pengangkut air maupun unsur hara, akar tanaman kedelai juga merupakan tempat terbentuknya bintil-bintil akar (Anonim, 2013).

2.2 Kultur Jaringan Tanaman

Kultur Jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur


(27)

tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utamanya adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman, menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.

Dasar teori yang digunakan adalah teori totipotensiyang ditulis oleh Schleiden dan Schwann yang menyatakan bahwa teori totipotensi adalah bagian tanaman yang hidup mempunyai totipotensi, kalau dibudidayakan di dalam media yang sesuai, akan dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang sempurna. Totipotensi adalah potensi atau kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman secara utuh jika distimulasi dengar benar dan sesuai. Implikasi dari totipotensi adalah bahwa semua informasi tentang

pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme terdapat di dalam sel. Meskipun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, tetapi yang mengekspresikan

keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik (Pratiwi et al., 2009).

Kultur jaringan merupakan suatu teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman yang hidup yang mempunyai perangkat fisiologi dan informasi genetik yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang utuh jika berada dalam kondisi yang sesuai. Keuntungan pengadaan bibit melalui kultur jaringan yakni diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam jumlah banyak dan seragam, selain itu dapat diperoleh biakan steril (motherstock) sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk perbanyakan selanjutnya (Lestari, 2011).

Menurut George dan Sherrington (1984) yang dikutip dalam Lestari (2011) bahwa keberhasilan pembiakan tanaman dengan teknik kultur jaringan tergantung pada


(28)

beberapa faktor, antara lain eksplan, komposisi media tumbuh, genotipe tanaman, zat pengatur tumbuh dan lingkungan tumbuh.

2.3.1 Eksplan

Umur fisiologi, umur ontogenik, ukuran eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Umumnya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan merupakan jaringan muda yang aktif tumbuh. Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel aktif membelah diri, dan relatif bersih (Yusnita, 2003).

Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah biji atau bagian-bagian biji seperti aksis embrio atau kotiledon, tunas pucuk, potongan batang satu buku (nodul eksplan), potongan akar, potongan daun, potongan umbi batang , umbi akar, empulur batang, umbi lapis dengan dan bagian batang, dan bagian bunga (Gunawan, 1995 yang dikutip oleh Yusnita, 2003).

2.3.2 Media Kultur

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan (Yusnita, 2003). Kesuksesan kultur jaringan sangat ditentukan dan tergantung oleh pilihan media yang digunakan (Santoso dan F. Nursandi, 2001)

Pada prinsipnya media untuk kultur jaringan terdiri dari campuran garam-garam anorganik, karbon sebagai sumber energi, vitamin, dan ZPT. Unsur hara makro


(29)

dan mikro yang dibutuhkan tanaman terdapat dalam bentuk garam-garam anorganik (Hardjo, 1994). Tanaman normal melakukan sintesis vitamin untuk pertumbuhan dan perkembangan (Santoso dan F. Nursandi, 2001). Vitamin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah dari kelompok vitamin B, yaitu thiamin-HCL (vitamin B1), piridoksin-HCL (vitamin B6) atau nikotinat, dan riboflavin (vitamin B2) (Yusnita, 2003).

Unsur-unsur organik yang dibutuhkan tanaman in vitro sama dengan yang

dibutuhkan tanaman di lapang. Unsur-unsur anorganik meliputi unsur hara makro N, P, K, Ca, Mg, dan S, serta unsur mikro seperti Fe, Mn, Zn, B, Cu, Cl, dan Mo (Santoso dan F. Nursandi, 2001).

Dalam metode kultur in vitro dikenal beberapa macam jenis media dasar diantaranya media Murashige dan Skoog (MS), Gamborg (B5), Schenk dan Hildebrant (media SH), WPM (Woody plant medium), Nitsch dan Nitsch, Knop, White, Knudson dan media Vacin and Went. Media B5 pertama kali

dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS (Pratiwi et al., 2009).

Keasaman (pH) media mempengaruhi kelarutan, penyerapan hara atau zat tumbuh dari media oleh eksplan, dan efisiensi gel dari agar. pH media harus diatur

sedemikian rupa sehingga kelarutan garam tidak terganggu (George dan Sherrington, 1984). Pierik (1987) menyarankan pH media untuk pertumbuhan tanaman dalam kultur in vitro berkisar 5,0-6,5.


(30)

2.3.3 Zat Pengatur Tumbuh

Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan tanaman sangat penting, yaitu untuk mengontrol organogenesis dan morfogenesis dalam pembentukan dan Perkembangan tunas dan akar serta pembentukan kalus. Ada dua golongan zat pengatur tumbuh tanaman yang sering digunakan dalam kultur jaringan, yaitu sitokinin dan auksin. Yang termasuk golongan sitokinin antara lain BA (benzil adenin), kinetin (furfuril amino purin), 2-Ip (dimethyl allyl amino purin), thidiazuron, dan zeatin. Yang termasuk dalam golongan auksin antara lain IAA (indole acetic acid), NAA (naphtalene acetic acid), IBA (indole butiric acid), 2.4-D (2.4-dichlorophenoxy acetic acid), dicamba (3,6-dicloro-o-anisic acid), dan picloram (4-amino-3,5,6-tricloropicolinic acid). Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung pada arah pertumbuhan jaringan tanaman yang diinginkan. Untuk pembentukan tunas pada umumnya digunakan sitokinin sedangkan untuk pembentukan akar atau pembentukan kalus digunakan auksin (Lestari, 2011).

Zat pengatur tumbuh jenis sitokinin perlu ditambahkan pada media Murashige Skoog (MS) (Tabel 4) untuk inisiasi tunas adventif. Sitokinin berperan dalam pengaturan pembelah sel, morfogenesis, differensiasi sel, merangsang

pembentukan tunas adventif, mutiplikasi tunas aksilar dan melawan dominansi apikal. Jenis sitokinin yang pada umumnya digunakan adalah benziladenin (BA) karena mempunyai efektifitas tinggi dalam perbanyakan tunas, mudah diperoleh dan relatif murah.


(31)

Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung pada arah pertumbuhan jaringan tanaman yang diinginkan. Untuk pembentukan tunas pada umumnya digunakan sitokinin sedangkan untuk pembentukan akar atau

pembentukan kalus digunakan auksin. Namun demikian, sering pula dibutuhkan keduanya tergantung pada perbandingan/ratio sitokinin terhadap auksin atau sebaliknya. Adanya salah satu zat pengatur tumbuh tertentu dapat meningkatkan daya aktivitas zat pengatur tumbuh lainnya. Jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tepat untuk masing-masing tanaman tidak sama karena tergantung pada genotipe serta kondisi fisiologi jaringan tanaman (Lestari, 2011).

Pengulturan dengan media yang ditambah sitokinin bertujuan untuk merangsang pecah dan tumbuhnya mata tunas samping dan mencegah dominansi apikal yang mengakibatkan terbentuknya tunas samping. Sitokinin dapat merangsang pembentukan tunas adventif, multiplikasi tunas aksilar dan melawan dominansi apikal (Yusnita, 2003).

Menurut Lestari (2011), penggunaan zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan tergantung pada jenis tanaman yang digunakan serta tujuan kegiatan. Untuk pembentukan tunas umumnya menggunakan zat pengatur tumbuh sitokinin (BA atau kinetin), untuk pembentukan kalus menggunakan auksin 2.4-D dan untuk pembentukan akar menggunakan auksin (IAA, IBA, atau NAA). Pada tanaman tertentu sering pula digunakan kombinasi sitokinin dan auksin tergantung tujuan pembentukan tunas, akar atau kalus. Perimbangan sitokinin terhadap auksin atau sebaliknya dapat mengarahkan proses morfogenesis.


(32)

2.3.4 Genotipe

Keberhasilan regenerasi tanaman sangat tergantung pada genotipe yang digunakan (Barwale et al., 1986 dikutip oleh Pardal, 2002). Belum tentu semua sel atau tanaman dapat dimanipulasi secara in vitro. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan daya tumbuh atau regenerasi dari masing-masing jenis sel dan

genotipe tanaman (Pardal, 2002). Masing-masing jenis eksplan atau sel dan genotipe tanaman memerlukan komposisi media yang berbeda-beda (Pierik, 1987).

2.4 Regenerasi in vitro Kedelai

Kedelai merupakan salah satu jenis tanaman yang masih sulit dimanipulasi secara in vitro, karena tanaman ini bersifat rekalsitran. Meskipun telah banyak

dilaporkan keberhasilan regenerasi tanaman pada kedelai, ternyata masih sulit diulang oleh peneliti lain (tidak reproducible). Keberhasilanregenerasi tanaman kedelai sangattergantung pada genotipe yangdigunakan (Barwale et al., 1986).

Perbanyakan tanaman kedelai dengan teknik kultur jaringan dapat dilakukan dengan beberapa cara yakni pengulturan dengan setek satu buku, tunas samping, dan metode pembiakkan dengan jalur organogenesis dan embriogenesis. Pada jalur organogenesis dan embriogenesis, eksplan dirangsang pertumbuhannya untuk membentuk tunas atau embrio secara adventif, baik secara langsung (tidak melalui pembentukan kalus) maupun tidak langsung (melalui pembentukan kalus). Eksplan yang sebelumnya tidak mempunyai titik tumbuh (meristem)


(33)

dikondisikan sedemikian rupa sehingga membentuk organ atau embrio baru (George dan Sherrington, 1984).

Morfogenesis tunas/organogenesis merupakan proses pembentukan dan perkembangan tunas dari jaringan meristem tunas. Tunas selanjutnya dapat diakarkan untuk mendapatkan tanaman utuh. Embriogenesis somatik merupakan proses regenerasi tanaman melalui pembentukan struktur menyerupai embrio (embrioid) dari sel-sel somatik yang telah me-miliki calon akar dan tunas (serupa embrio zigotik). Tanaman utuh diperoleh dari hasil perkecambahan embrio somatik tersebut (Barwale et al., 1986).

Embrio somatik berguna dalam perbanyakan masal tanaman berumur panjang. Embrio somatik kedelai dapat diproduksi melalui embriogenesis menggunakan eksplan menggunakan kotiledon muda (Lippmann dan Lippmann,1984; Pardal et al., 1997; Hiraga et al., 2007; Loganthan et al., 2010), hipokotil (Gamborg et al., 1983; Phillips dan Collins, 1981), dan biji masak (Widoretno et al., 2002).

2.5 Organogenesis Kedelai

Organogenesis adalah proses terbentuknya organ seperti tunas atau akar, baik secara langsung dari permukaan eksplan atau secara tidak langsung melalui pembentukan kalus terlebih dahulu (Gunawan, 1988). Morfogenesis tunas dilaporkan pertama kali oleh Wright et al. (1986), mereka menjelaskan tunas-tunas dapat diperoleh secara de novo dari eksplan buku kotiledon kecambah kedelai. Jaringan meristem tunas terbentuk di bawah jaringan epidermis dan morfogenik dapat berpoliferasi pada media yang mengandung BA (Pardal, 2002).


(34)

Kultur in vitro kedelai dapat dilakukan melalui proses organogenesis atau pembentukan tunas adventif dari eksplan. Tunas adventif adalah tunas yang terbentuk melalui kalus atau tidak melalui kalus dan keluar dari tempat yang bukan biasanya (ketiak atau buku). Tempat yang tidak biasanya, seperti kalus, hipokotil, internode (daerah antarbuku) batang muda. Pembentukan tunas adventif tidak langsung yaitu melalui pembentukan kalus terlebih dahulu (Gunawan, 1995).

Tunas merupakan bakal cabang yang telah membentuk ≥1 daun trifoliat. Tunas

adventif dapat dibedakan dengan tunas aksilar. Tunas aksilar dapat terbentuk secara langsung (tanpa melalui fase kalus) dari meristem aksilar. Tunas aksilar biasanya sudah terbentuk 7 hari setelah tanam (hst) berupa tunas tunggal yang tumbuh cepat karena tanpa melalui fase kalus. Sebaliknya, tunas adventif

terbentuk dari kalus yang berasal dari meristem aksilar yang dicacah. Pencacahan tersebut bertujuan untuk menghindari terbentuknya tunas aksilar dan merangsang terbentuknya tunas adventif (Utomo, 2010).

Menurut Gunawan (1988), kalus merupakan kumpulan sel amorphous yang terbentuk dari sel yang membelah terus menerus. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan pembelahan sel yang berbeda. Embrio muda, hipokotil, kotiledon, dan batang muda merupakan bagian tanaman yang mudah terdeferensiasi dan menghasilkan kalus. Kemampuan pembentukan kalus tergantung genotipe, ZPT, komposisi medium nutrisi, dan lingkungan tumbuh (Pierik, 1987).


(35)

Tunas dapat diinduksi melalui organogenesis dengan menggunakan eksplan buku kotiledon (cotyledonary nodes) (Cheng et al., 1980; Wright et al., 1986; Utomo, 2005; Marveldani et al., 2007), daun muda (Kim et al., 1990), poros embrio (McCabe et al., 1988), potongan hipikotil (Dan dan Reichart, 1998), belahan benih masak yang diimbibisi (Paz et al., 2006; Joyner et al., 2010).

Marveldani et al. (2007) meregenerasikan tiga varietas kedelai menggunakan eksplan buku kotiledon (cotyledonary nodes). Konsentrasi BA yang terbaik untuk regenerasi tiga varietas kedelai tersebut adalah 0,75 mg/l. Eksplan dikulturkan pada media MS yang ditambahkan BA sesuai perlakuan percobaan. Persentase eksplan membentuk tunas tertinggi ditunjukkan oleh varietas Ijen sebesar 77,5% dan rata-rata jumlah tunas per eksplan tertinggi ditunjukkan oleh varietas

Sinabung yaitu sebanyak 5 tunas per eksplan.

Joyner et al. (2010) melaporkan induksi kalus dan organogenesis pada kedelai menggunakan eksplan belahan benih masak melalui perlakuan dengan berbagai konsentrasi 2,4-D dan NAA, digunakan sendiri atau dalam kombinasi konsentrasi 2,4-D pada 3-21 µM dalam media kultur yang menghasilkan 100% induksi kalus dari kotiledon. Setelah kalus terbentuk, kultur tersebut ditumbuhkan pada media kultur BAP dan kinetin untuk mendapatkan akar dan tunas. Media kultur yang paling efektif untuk tujuan tersebut adalah 5 µM BAP.

2.6 Imbibisi dan Perkecambahan Biji

Imbibisi merupakan proses masuknya air karena adanya perbedaan konsentrasi, yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Imbibisi pada tumbuhan


(36)

umumnya terjadi pada proses penyerapan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan khususnya air. Imbibisi merupakan proses awal masuknya air pada biji, sehingga terjadi proses perkecambahan. Sedangkan perkecambahan merupakan tahap awal perkembangan suatu tumbuhan, khususnya tumbuhan berbiji. Dalam tahap ini, embrio di dalam biji yang semula berada pada kondisi dorman mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang menyebabkan embrio tersebut berkembang menjadi tumbuhan muda. Tumbuhan muda ini dikenal sebagai kecambah (Lakitan, 1996).

Imbibisi merupakan penyerapan air oleh imbiban, contohnya penyerapan air oleh benih dalam proses awal perkecambahan, benih akan membesar, kulit benih pecah, berkecambah, dilandasi oleh keluarnya radikula dari dalam benih. Syarat imbibisi yaitu perbedaan tekanan antara benih dengan larutan, dimana tekanan benih lebih kecil dari pada tekanan larutan, ada daya tarik-menarik yang spesifik antara air dan benih. Benih memiliki partikel koloid yang merupakan matriks, bersifat hidrofil berupa protein, pati, sellulose, dan benih kering memiliki tekanan sangat rendah (Anonim, 2008).

Banyaknya air yang dihisap selama proses imbibisi umumnya kecil, cepat dan tidak boleh lebih dari 2-3 kali berat kering dari biji. Ahli fisiologi benih menyatakan ada empat tahap proses fisiologi benih yakni hidrasi atau imbibisi (selama kedua periode tersebut, air masuk kedalam embrio dan membasahi protein dan koloid lain), pembentukan atau pengaktifan enzim, yang

menyebabkan peningkatan aktivitas metabolik, pemanjangan sel radikal, diikuti munculnya radikula dari biji, dan pertumbuhan kecambah selanjutnya. Lapisan


(37)

yang membungkus embrio yaitu endosperm, kulit biji dan kulit buah (Salisbury dan Ross, 1992).

Perkecambahan adalah proses pertumbuhan embrio dan komponen-komponen biji yang memiliki kemampuan untuk tumbuh secara normal menjadi tanaman baru. Komponen biji adalah struktur lain di dalam biji yang merupakan bagian

kecambah, seperti calon akar (radicula), calon daun, batang (plumule) dan sebagainya. Pada proses perkecambahan, biji membutuhkan air dalam jumlah minimum dalam tubuhnya, atau yang disebut dengan taraf kandungan minimum. Jika kandungan air benih kurang dari batas tersebut akan menyebabkan proses perkecambahan terganggu. Fungsi utama cadangan makanan dalam biji adalah memberi makan pada embrio atau tanaman yang masih muda sebelum tanaman itu dapat memproduksi sendiri zat makanan, hormon, dan protein (Anonim, 2008).

2.7 Pengakaran dan Aklimatisasi Tanaman Kedelai

Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan aklimatisasi adalah perakaran. Akar yang makin banyak dan panjang akan meningkatkan bidang serapan hara. Perakaran dengan kualitas yang baik juga sangat menentukan keberhasilan dalam tahap aklimatisasi. Untuk itu formulasi media yang tepat sangat menentukan kualitas akar. Pembentukan akar dari tunas in vitro pada tanaman tertentu sangat cepat contohnya pada tembakau, mentimun, nilam, dan beberapa kultur lainnya. Akar tersebut dapat dihasilkan pada media yang sama untuk pertunasan. Namun pada tanaman tertentu pembentukan akarnya sangat sulit sehingga diperlukan media tumbuh baru yang mengandung auksin. Pada tanaman inggu, penggunaan IAA 1 mg/l menghasilkan akar terbanyak


(38)

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada tanaman Tangguh menggunakan media MS + NAA 1 mg/l dapat dihasilkan akar (Lestari et al., 1999 dikutip oleh Lestari , 2011). Singh et al. (2013) melaporkan bahwa pengakaran tunas terbaik dari hasil regenerasi in vitro dari eksplan kotiledon pomegranate (Punica

granatum L.) diperoleh pada media setengah MS yang diformulasikan dengan 0,5 mg/l NAA + 200 mg/l arang aktif.

Kegiatan penelitian yang melibatkan kultur in vitro, misalnya dalam perakitan tanaman transgenik, selain memerlukan sistem regenerasi yang konsisten dan teknik transformasi yang efektif dan efisien, juga perlu menguasai teknik aklimatisasi tanaman (Slamet et al., 2005). Aklimatisasi merupakan tahapan paling kritis dan sulit pada proses regenerasi tanaman secara in vitro. Kegagalan aklimatisasi tanaman merupakan kendala yang banyak dijumpai di Indonesia. Oleh karena itu, tahapan ini memerlukan pengalaman dan penanganan yang penting karena aklimatisasi adalah mengadaptasikan planlet dari media kultur in vitro ke media tanah pada ruangan terbuka (Pardal et al., 2005).

Keberhasilan aklimatisasi kedelai ditentukan oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi tanaman kedelai adalah kondisi planlet (ukuran bibit, perakaran), kondisi lingkungan (ketepatan media tumbuh yang digunakan dan kelembapan udara), ketepatan perlakuan pra dan pasca transplantasi dari media in vitro ke media tanah, dan sanitasi lingkungan dari infeksi penyakit. Kedelai adalah tanaman rekalsitran dan sensitif terhadap lingkungan. Salah satu kendala dalam perakitan kedelai unggul transgenik adalah kegagalan aklimatisasi. Oleh karena itu, untuk menghindari


(39)

kehilangan kandidat putatif transgenik yang memiliki sifat tertentu, sebelum diaklimatisasi perlu dilakukan perbanyakan secara in vitro (Slamet et al., 2005).


(40)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan mulai Maret 2013 sampai dengan Mei 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai 4 varietas yaitu Tanggamus, Grobogan, Argomulyo, dan Ijen yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang, 12 N HCl, NaClO (Sunklin), air suling, spirtus, gula, agar, air steril, KOH 1 N, HCl 1 N, zat-zat kimia penyusun media MS (Murashige dan Skoog) dan benziladenin (BA).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol kultur, pinset, skapel dan mata pisau no.15, cawan petri, bunsen, alumunium foil, botol sprayer, laminar airflow, erlenmeyer, gelas, desikator, plastik, timbangan elektrik, autoklaf, pH-meter, pipet tetes, pipet volumetrik, handsprayer, magnetic stirer, kompor gas, gunting, labu takar, rak kultur dengan lampu 40 watt, karet gelang, tisu, kamera, dan alat tulis.


(41)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok. Perlakuan yang

diterapkan dalam penelitian ini disusun secara faktorial 4x2 kombinasi dua faktor yaitu varietas (Argomulyo, Ijen, Tanggamus, Grobogan) dan metode prakultur (imbibisi 20 jam atau pengecambahan 6 hari) dengan 5 ulangan.

Pengelompokkan berdasarkan waktu tanam untuk setiap ulangan (Tabel 9). Setiap satuan percobaan terdiri dari empat eksplan buku kotiledon kedelai. Setelah dilakukan pra-kultur, baik melalui imbibisi 20 jam atau pengecambahan 6 hari, eksplan buku kotiledon ditumbuhkan pada media inisiasi tunas yang

mengandung BA 0,75 mg/L.

Homogenitas ragam data antarperlakuan (pra-kultur dan varietas) diuji dengan menggunakan uji Bartlett. Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis ragam. Bila analisis ragam terpenuhi, data dilakukan pemisahan nilai tengah. Pemisahan nilai tengah antarperlakuan dilihat dengan menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%. Pada data yang diperoleh dari hasil pengakaran, dilakukan uji t-student untuk membandingkan nilai rata-rata perlakuan.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Sterilisasi Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk menanam harus steril. Alat-alat logam dan gelas disterilisasi terlebih dahulu dengan autoklave selama 30 menit pada suhu 121oC dengan tekanan 1,2 kg/cm3. Sterilisasi alat-alat diseksi dilakukan baik sebelum


(42)

maupun sesudah digunakan dengan cara mencelupkan ke dalam spirtus lalu dibakar dengan pembakar bunsen.

3.4.2 Pembuatan Media Kultur

Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini ialah media MS (Murashige dan Skoog) (Tabel 4) serta media MS yang diformulasikan dengan BA 0,75 mg/l. Media MS digunakan sebagai media perkecambahan benih dengan perlakuan kecambah selama 6 hari, sedangkan media MS yang mengandung BA 0,75 mg/l merupakan media regenerasi untuk pembentukan tunas adventif. Pemadat media yang digunakan ialah agar-agar sebanyak 8 g/l. Gula yang digunakan sebanyak 30 g/l (mengandung 2% sukrosa). Derajat keasaman (pH) diatur menggunakan pH meter menjadi 5,8 dengan penambahan KOH 1 N atau HCl 1N.

Larutan media dimasak sampai mendidih lalu dituangkan ke dalam botol kultur yang telah disterilisasi, ditutup dengan plastik, dan diikat dengan karet gelang kemudian media dalam botol disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 1 atm selama 7 menit.

3.4.3 Sterilisasi Benih

Sebelum diberi perlakuan pra-kultur, benih-benih kedelai disterilkan dengan menggunakan gas klorin yaitu dengan menaruh selapis benih kedelai dalam cawan petri terbuka kemudian ditempatkan berjejer dalam desikator. Gas klorin

diproduksi di dalam desikator dengan cara menambahkan tetes demi tetes 3,3 ml HCl 12 N ke permukaan dinding bagian dalam gelas piala yang telah berisi


(43)

100 ml Bayclin yang berbahan aktif NaClO 5,25%. Desikator kemudian ditutup rapat dengan menambahkan vaselin disekitar pinggiran desikator kemudian dibalut dengan plastik wrap dan dibiarkan selama 2 x 24 jam (Gambar 1). Reaksi kimia yang terjadi didalam larutan bayclin (NaClO) yang ditetesi HCl adalah: NaClO + 2HCl H2O + NaCl + Cl2

Gambar 1. Tahapan sterilisasi benih

3.4.4 Perlakuan pra-kultur imbibisi atau pengecambahan

Pada perlakuan pra-kultur imbibisi, benih 4 varietas yang telah melalui proses sterilisasi masing-masing sebanyak 25-30 benih dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi air steril sehingga benih-benih tersebut terendam sepenuhnya.

Perendaman benih-benih tersebut dilakukan selama 20 jam pada suhu 24 ± 2°C dengan 16 jam terang dan 8 jam gelap (Gambar 2a). Sedangkan pada perlakuan prakultur pengecambahan, masing-masing keempat varietas kedelai yang telah disterilisasi kemudian ditanam ke dalam medium MS (MS tanpa zat pengatur tumbuh) (Gambar 2b). Masing-masing benih kedelai yang ditanam adalah 4-5


(44)

benih per botol kemudian dikecambahkan selama 5-6 hari pada suhu 24 ± 2°C dengan 16 jam terang dan 8 jam gelap.

(a) (b)

Gambar 2. Perlakuan pra-kultur biji kedelai (a) imbibisi dan (b) pengecambahan.

3.4.5 Pengkulturan pada media inisiasi tunas

Proses pengkulturan pada media inisiasi tunas dilakukan setelah perlakuan pra-kultur selesai. Pada perlakuan pra-pra-kultur imbibisi, air yang terdapat didalam erlenmeyer yang berisi benih dibuang kemudian dilanjutkan dengan membelah benih secara vertikal menjadi dua bagian kotiledon (Gambar 3a). Pucuk poros embrio di atas buku kotiledon dibuang dan selanjutnya dibuat 5-7 goresan sepanjang 2-3 mm sejajar dengan poros embrio pada buku kotiledon

menggunakan skapel dengan mata pisau no. 15 (Gambar 3b). Eksplan buku kotiledon dari kecambah yang berumur 20 jam tersebut dikulturkan pada media inisiasi tunas (MS) yang mengandung BA 0,75 mg/l. Eksplan dikulturkan selama 3-4 minggu pada ruang bersuhu 25°C (18 jam terang dan 6 jam gelap).

Pada perlakuan pra-kultur pengecambahan 6 hari yakni kotiledon dipisahkan dari akarnya dengan cara memotong hipokotil 3-5 mm di bawah buku kotiledon. Dua


(45)

kotiledon dipisahkan dengan cara membelah vertikal sepanjang hipokotil menggunakan pisau skapel no.15. Pucuk poros embrio di atas buku kotiledon dibuang, kemudian dibuat 5-7 goresan sejajar dengan poros embrio pada buku kotiledon (Gambar 3c). Eksplan buku kotiledon dari kecambah yang telah

berumur 5-6 hari tersebut dikulturkan pada media inisiasi tunas yang mengandung BA 0,75 mg/l. Posisi eksplan pada media diletakkan condong dengan sudut 120-150°, permukaan adaksial menghadap ke atas dan bagian yang dicacah

dibenamkan dalam media. Eksplan dikulturkan selama 3-4 minggu pada ruang bersuhu 24 ± 2°C dengan 16 jam terang dan 8 jam gelap.

(a) (b) (c) Gambar 3. Pengulturan pada media inisiasi tunas. (a) dua buku kotiledon

dipisahkan dengan cara membelah vertikal sepanjang hipokotil pada benih perlakuan imbibisi, (b) eksplan imbibisi disayat pada poros embrio, (c) eksplan kecambah disayat pada poros embrio.

3.4.6 Subkultur

Setelah berumur dua minggu pada medium inisiasi, dilakukan subkultur melalui pemotongan permukaan bawah eksplan, dan bagian atas eksplan yang meliputi bakal tunas adventif kemudian dipindahkan ke medium inisiasi baru. Setelah itu,


(46)

medium inisiasi baru yang telah berisi eksplan diinkubasi kembali selama 2 minggu dalam ruang kultur.

3.4.7 Pengakaran

Perakaran dengan kualitas yang baik sangat menentukan keberhasilan saat tahap aklimatisasi. Untuk itu formulasi media yang tepat sangat menentukan kualitas akar. Setelah berumur 40 hari setelah tanam (hst), eksplan dikeluarkan dari dalam botol dan dipisahkan dari media kultur (Gambar 4a). Tunas-tunas adventif yang tumbuh pada setiap eksplan dipisahkan satu per satu (Gambar 4b). Tunas-tunas yang memiliki lebih dari 3 daun dikulturkan ke dalam medium pengakaran masing-masing 1 tunas per botol (Gambar 4c). Hal ini bertujuan agar akar yang muncul dari tunas dapat tumbuh dengan baik. Medium pengakaran yang

digunakan adalah media 1/2 MS dan media 1/2 MS yang mengandung NAA 0,5 mg/l. Masing-masing perlakuan ditanam ke dalam dua media pengakaran tersebut. Pengamatan tunas yang membentuk akar fungsional dilakukan pada umur 3 minggu setelah tanam (mst) selama di medium pengakaran.

(a) (b) (c)

Gambar 4. Tahapan pengakaran tunas adventif. (a) eksplan imbibisi dikeluarkan dari media kultur, (b) tunas adventif yang tumbuh pada eksplan dipisahkan satu per satu, (c) tunas adventif dikulturkan ke dalam medium pengakaran masing-masing 1 tunas per botol


(47)

3.4.8 Aklimatisasi

Setelah berumur 3 minggu setelah di medium pengakaran, tunas-tunas yang telah membentuk akar (planlet) selanjutnya di aklimatisasi dalam media campuran cocopeat dan arang sekam dengan perbandingan 1:1. Media campuran tersebut sebelumnya telah disterilkan dengan merendamnya dalam air mendidih selama semalam.

Proses aklimatisasi planlet meliputi penyiapan planlet, perendaman dalam larutan fungisida, penanaman, serta pengondisian iklim tanaman. Penyiapan planlet dilakukan dengan cara mengeluarkan planlet dari botol kemudian mencuci bersih akar planlet tersebut dari sisa-sisa agar yang masih menempel dengan air

mengalir. Tujuan pencucian akar tersebut ialah untuk menghindari pertumbuhan jamur melalui sisa-sisa agar. Oleh karena itu, akar tersebut harus direndam dalam larutan fungisida selama 3 menit. Setelah 3 menit, planlet siap ditanam dalam pot kecil berisi media campuran. Setelah itu, planlet disungkup menggunakan plastik transparan dengan tujuan menjaga kelembaban tanaman baru tersebut. Intensitas cahaya dinaikkan bertahap dan kelembaban diturunkan bertahap.

3.5 Variabel Pengamatan

Untuk mengetahui efisiensi regenerasi in vitro kedelai secara organogenesis melalui perlakuan pra-kultur, maka dilakukan pengamatan pada variabel berikut: (1) Persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA) Persentase eksplan dihitung berdasarkan jumlah eksplan yang membentuk tunas adventif dibagi jumlah seluruh eksplan per 100 %.


(48)

(2) Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). Tunas yang dihitung adalah jumlah seluruh tunas adventif yang tumbuh dibagi jumlah eksplan yang membentuk tunas.

(3) Proporsi tunas yang membentuk akar fungsional (PTMAF). Pengamatan dilakukan setelah tunas dipindahkan ke dalam media pengakaran. Tunas yang mengalami perkembangan akar secara terus menerus (akar fungsional) yang diamati selanjutnya diaklimatisasi.


(49)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Perlakuan pra-kultur berpengaruh terhadap persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA) dan rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). Sedangkan perlakuan varietas dan interaksi hanya berpengaruh pada PEMTA tetapi tidak berpengaruh pada RJTA. Pada perlakuan imbibisi, PEMTA varietas Ijen lebih tinggi daripada Grobogan, Argomulyo, dan Tanggamus. Pada

perlakuan pengecambahan, PEMTA varietas Ijen lebih tinggi daripada Argomulyo namun tidak berbeda dengan Tanggamus dan Grobogan. Jika menggunakan varietas Ijen dan Argomulyo, PEMTA perlakuan imbibisi lebih tinggi daripada pengecambahan. RJTA perlakuan pra-kultur imbibisi 20 jam lebih tinggi daripada perlakuan kecambah 6 hari. Selain itu, media pengakaran ½ MS tanpa NAA lebih baik dalam membentuk akar fungsional daripada ½ MS yang mengandung NAA 0,5 mg/l.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya mengevaluasi kemampuan varietas yang lain dalam regenerasi tunas untuk menguji pengaruh varietas.


(50)

PUSTAKA ACUAN

Adisarwanto, T. 2005. Budidaya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai. Penebar Swadaya. Bogor.

Anonim. 2008. Imbibisi Benih. www.wikipedia.org. Diakses tanggal 4 Agustus 2013. Pukul 13.20 WIB.

Anonim. 2013. Perkecambahan Kedelai. www.wikipedia.org. Diakses tanggal 4 Agustus 2013. Pukul 11.43 WIB.

Azriati, E., Asmeliza, dan N.Yurmita. 2006. Respon regenerasi eksplan kalus kedelai (Glycine max (L.) Merrill) terhadap pemberian NAA secara in vitro. Proposal Kegiatan Mahasiswa Penelitian. Universitas Padang. Padang.

Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi kedelai indonesia. http://www.bps.go.id. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Barwale, U.B., H.R. Kerns, and J.M.Widholm. 1986. Plant regeneration from callus cultures of several soybean genotypes via embryogenesis and organogenesis. Planta 167:473-481.

Cheng, T. Y., H. Saka, and T. H. Voqui-Dinh. 1980. Plant regeneration from soybean cotyledonary node segments in culture. Plant Science. 19:91-99. Clemente, T., B. J. LaValle, A. R. Howe, D. C. Ward, R. J. Rozman, P. E. Hunter,

D. L. Broyles, D. S. Kasten, and M. A. Hinchee. 2000. Progeny analysis of glyphosate selected transgeneic soybeans derrived from Agrobacterium -mediated transformation. Crop Sci. 40: 797-803.

Damardjati. 2005. Kacang Kedelai. http://www.agrisci.ugm.ac.id/vol12_1/5.pdf. Dan, Y. and N. A. Reichert. 1998. Organogenic regeneration of soybeam from

hypocotil explants. In Vitro Cell Dev. Biol. Plant 34:12-21.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Road Map Produktivitas Kedelai 2008-2012. http://deptan.go.id.


(51)

Fachruddin dan Lisdiana. 2000. Budidaya Kacang-Kacangan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Gamborg, O. L., B. P. Davis, and R. W. Stahlquist. 1983. Somatic embryogenesis in cell cultures of Glycine species. Plant Cell Rep. 2: 202-209.

George, E.F. dan P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Second Edition. Exegetics Limited. England.

Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. 304 hlm.

Hardjo, P.H. 1984. Organogenesis Langsung dan Kalogenesis pada Kultur kedelai (Glicine max [L.] Merr.) dan Glicine tomentella H. dalam medium MS dan PCL-2 termodifikasi. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hlm.

Hiraga S, Minakawa H, Takahashi K, Takahashi R, Hajika M, Harada K, Ohtsubo N. Evaluation of somatic embryogenesis from immature cotyledons of Japanese soybean cultivars. Plant Biotechnology 2007, 24 (4):435-440. Joyner, E.Y., L.S. Boykin, and M.A. Lodhi. 2010. Callus Induction and

Organogenesis in Soybean [Glycine max (L.) Merr.] cv. Pyramid from Mature Cotyledons and Embryos. Open Plant Dci. J., 4: 8-21.

Kim, J., C. E. LaMotte, and E. Hack. 1990. Plant regeneration in vitro from primary leaf nodes of soybean Glycine max seedling. Plant Physiol. 136: 664-669.

Lakitan, Benyamin. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Edisi ke-1. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 218 hlm.

Lazzeri, P. A., D. F. Hilderband, and G. B Collins. 1985. A Procedure for Plant Regeneration from Immature Cotyledons Tissue of Soybean. Plant Mol. Biol. Rep. 3: 160-167

Lestari, Endang G. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. AgroBiogen. 7(1):63-68.

Lippmann, B and G. Lippmann. 1984. Induction of somatic embryos in

cotyledonary tissue of soybean Glycine max L. Merr. Plant Cell Rep. 3: 215-218.

Loganathan M Maruthasalam S, Shiu LY, Lien WC, Hsu WH, Lee PF, Yu CW, Lin CH. Regeneration of soybean (Glycine max L. Merrill) through direct somatic embryogenesis from the immature embryonic shoot tip. In Vitro Cellular and Developmental Biology Plant 2010, 46:265-273.


(52)

Marveldani, M. Barmawi, dan S.D.Utomo. 2007. Regenerasi in vitro kedelai melalui organogenesis pada tiga konsentrasi benziladenin. Jurnal Agrin. 10 (1): 49-55.

McCabe, D. E., W. F. Swain, B. J. Martinell, and P. Christou. 1988. Stable transformation of soybean by particle acceleration. Bio/Technol. 6: 923-926.

Pardal, S. J., D. R. Untari, A. Sisharmini, D. Riyadi, dan M. Herman. 1997. Regenerasi kedelai secara in vitro, hal. 27-38. Prosiding Seminar Bioteknologi Pertanian Indonesia, Surabaya 12-14 Maret 1997. Perhimpunan Bioteknologi Indonesia, Bogor.

Pardal, S. J. 2002. Perkembangan penelitian regenerasi dan transformasi pada tanaman kedelai. Buletin Agrobio 5:37-44.

Pardal, S.J., G.A. Wattimena, H. Aswidinoor, dan M. Herman. 2005. Transformasi genetik kedelai dengan gen proteinase inhibitor II menggunakan teknik penembakan partikel. Jurnal AgroBiogen 1(2):

53−61.

Paz, M.M., J.C. Martinez, A.B. Kavlig, T.M. Fonger and K.Wang. 2006. Improved cotyledonary node method using an alternative explant derived from mature seed for efficient Agrobacterium-mediated soybean

transformation. Plant Cell Rep. 25: 206-213.

Phillips, G. C. And G. B. Collins. 1981. Induction and development of somatic embryos from cell suspension cultures of soybeans. Plant Cell Tissue Organ Cult., 1: 123-129.

Pratiwi, Indah., N. Khumaida., D. Sukma. 2009. Penggunaan Jenis Media Dasar Dan Kinetin Untuk Induksi Organogenesis Anthurium Gelombang Cinta (Anthurium plowmanii)SecaraIn Vitro. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

Safitri, Yesi. 2013. Pengaruh Perlakuan Pra-kultur Terhadap Efisiensi Regenerasi In Vitro Lima Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Skripsi.

Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Salisbury, F. B., C, W. Ross. 1992. Plant Physiology 4th edition. Diterjemahkan oleh Lukman, D.R., dan Sumaryono. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Santoso, U. dan F. Nursandi. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. UMM Press. Malang. 191 hlm.


(53)

Sari, R.M. 2012. Pengaruh berbagai Bagian Benih Sebagai Sumber Eksplan dengan Umur Kecambah Enam Hari Terhadap Induksi embrio Somatik Dua Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Singh, Pushpraj., R.M. Patel, dan S. Kadam. 2013. In vitro mass multiplication of pomegranate from cotyledonary nodal explants cv. Ganesh. Academic Journal 12 (20): 2863-2868.

Slamet, S.J. Pardal, dan M. Herman. 2005. Regenerasi kedelai (Glycine max L. Merr.) melalui kultur epikotil. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia: Tantangan dan peluang pengembangan bioteknologi pertanian menghadapi era globalisasi. Perhimpunan

Bioteknologi Pertanian Indonesia, Malang.

Staden, V. J. 2008. Stock Plant Physiological Factor Affecting Growth and Morphogenesis. Plant Propagation by Tissue Culture 3th Edition. Springer. 1: 219-220.

Suhartina. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan

Umbi-Umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-Umbian. Malang. 154 hlm

Utomo, S.D. 2004. Transformasi genetik lima varietas kedelai menggunakan Agrobacterium. Jurnal Agrotropika 9(2):95-101.

Utomo, S. D. 2005. Efisiensi Regenerasi In Vitro Enam Varietas Kedelai melalui Organogenesis. Jurnal Agrista. 9 (1): 83-92.

Utomo,S.D., F. Yelli, dan A. Edy. 2010. Regenerasi in vitro dari eksplan buku kotiledon enam varietas kedelai melalui organogenesis pada medium MS. Prosiding bagian II. Seminar Nasonal Sains dan Teknologi III. 10 (1): 49-55.

Utomo, S.D. 2012. Pemuliaan Tanaman Menggunakan Rekayasa Genetik. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Wang G, Xu Y. Hypocotyl-based Agrobacterium-mediated transformation of soybean (Glycine max) and application for RNA interference. Plant Cell Reports 2008, 27:1177-1184.

Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, PAU Bioteknologi IPB. 71 hlm.

Widoretno, W., E. L. Aruminingtyas., dan Sudarsono. 2002. Metode Induksi Pembentukkan Embrio Somatik dari Kotiledon dan Regenerasi Planlet Kedelai secara In Vitro. Hayati, 10: 19-24.


(54)

Wright, M.S., S.M. Kohler, M.A.Hinchee, and M.G. Carnes. 1986. Plant

regeneration by organogenesis in Glycine max. Plant Cell Reports 5:150-154.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Zhang, Z., A. Xing, P. Staswick, and T. Clemente. 1999. The use of glufosinate as a selective agent in Agrobacterium-mediated transformation of soybean. Plant Cell Tissue Organ Cult 56:37-46.


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Perlakuan pra-kultur berpengaruh terhadap persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA) dan rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). Sedangkan perlakuan varietas dan interaksi hanya berpengaruh pada PEMTA tetapi tidak berpengaruh pada RJTA. Pada perlakuan imbibisi, PEMTA varietas Ijen lebih tinggi daripada Grobogan, Argomulyo, dan Tanggamus. Pada

perlakuan pengecambahan, PEMTA varietas Ijen lebih tinggi daripada Argomulyo namun tidak berbeda dengan Tanggamus dan Grobogan. Jika menggunakan varietas Ijen dan Argomulyo, PEMTA perlakuan imbibisi lebih tinggi daripada pengecambahan. RJTA perlakuan pra-kultur imbibisi 20 jam lebih tinggi daripada perlakuan kecambah 6 hari. Selain itu, media pengakaran ½ MS tanpa NAA lebih baik dalam membentuk akar fungsional daripada ½ MS yang mengandung NAA 0,5 mg/l.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya mengevaluasi kemampuan varietas yang lain dalam regenerasi tunas untuk menguji pengaruh varietas.


(2)

PUSTAKA ACUAN

Adisarwanto, T. 2005. Budidaya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai. Penebar Swadaya. Bogor.

Anonim. 2008. Imbibisi Benih. www.wikipedia.org. Diakses tanggal 4 Agustus 2013. Pukul 13.20 WIB.

Anonim. 2013. Perkecambahan Kedelai. www.wikipedia.org. Diakses tanggal 4 Agustus 2013. Pukul 11.43 WIB.

Azriati, E., Asmeliza, dan N.Yurmita. 2006. Respon regenerasi eksplan kalus kedelai (Glycine max (L.) Merrill) terhadap pemberian NAA secara in vitro. Proposal Kegiatan Mahasiswa Penelitian. Universitas Padang. Padang.

Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi kedelai indonesia. http://www.bps.go.id. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Barwale, U.B., H.R. Kerns, and J.M.Widholm. 1986. Plant regeneration from callus cultures of several soybean genotypes via embryogenesis and organogenesis. Planta 167:473-481.

Cheng, T. Y., H. Saka, and T. H. Voqui-Dinh. 1980. Plant regeneration from soybean cotyledonary node segments in culture. Plant Science. 19:91-99. Clemente, T., B. J. LaValle, A. R. Howe, D. C. Ward, R. J. Rozman, P. E. Hunter,

D. L. Broyles, D. S. Kasten, and M. A. Hinchee. 2000. Progeny analysis of glyphosate selected transgeneic soybeans derrived from Agrobacterium-mediated transformation. Crop Sci. 40: 797-803.

Damardjati. 2005. Kacang Kedelai. http://www.agrisci.ugm.ac.id/vol12_1/5.pdf. Dan, Y. and N. A. Reichert. 1998. Organogenic regeneration of soybeam from

hypocotil explants. In Vitro Cell Dev. Biol. Plant 34:12-21.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Road Map Produktivitas Kedelai 2008-2012. http://deptan.go.id.


(3)

60

Fachruddin dan Lisdiana. 2000. Budidaya Kacang-Kacangan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Gamborg, O. L., B. P. Davis, and R. W. Stahlquist. 1983. Somatic embryogenesis in cell cultures of Glycine species. Plant Cell Rep. 2: 202-209.

George, E.F. dan P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Second Edition. Exegetics Limited. England.

Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. 304 hlm.

Hardjo, P.H. 1984. Organogenesis Langsung dan Kalogenesis pada Kultur kedelai (Glicine max [L.] Merr.) dan Glicine tomentella H. dalam medium MS dan PCL-2 termodifikasi. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hlm.

Hiraga S, Minakawa H, Takahashi K, Takahashi R, Hajika M, Harada K, Ohtsubo N. Evaluation of somatic embryogenesis from immature cotyledons of Japanese soybean cultivars. Plant Biotechnology 2007, 24 (4):435-440. Joyner, E.Y., L.S. Boykin, and M.A. Lodhi. 2010. Callus Induction and

Organogenesis in Soybean [Glycine max (L.) Merr.] cv. Pyramid from Mature Cotyledons and Embryos. Open Plant Dci. J., 4: 8-21.

Kim, J., C. E. LaMotte, and E. Hack. 1990. Plant regeneration in vitro from primary leaf nodes of soybean Glycine max seedling. Plant Physiol. 136: 664-669.

Lakitan, Benyamin. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Edisi ke-1. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 218 hlm.

Lazzeri, P. A., D. F. Hilderband, and G. B Collins. 1985. A Procedure for Plant Regeneration from Immature Cotyledons Tissue of Soybean. Plant Mol. Biol. Rep. 3: 160-167

Lestari, Endang G. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. AgroBiogen. 7(1):63-68.

Lippmann, B and G. Lippmann. 1984. Induction of somatic embryos in

cotyledonary tissue of soybean Glycine max L. Merr. Plant Cell Rep. 3: 215-218.

Loganathan M Maruthasalam S, Shiu LY, Lien WC, Hsu WH, Lee PF, Yu CW, Lin CH. Regeneration of soybean (Glycine max L. Merrill) through direct somatic embryogenesis from the immature embryonic shoot tip. In Vitro Cellular and Developmental Biology Plant 2010, 46:265-273.


(4)

Marveldani, M. Barmawi, dan S.D.Utomo. 2007. Regenerasi in vitro kedelai melalui organogenesis pada tiga konsentrasi benziladenin. Jurnal Agrin. 10 (1): 49-55.

McCabe, D. E., W. F. Swain, B. J. Martinell, and P. Christou. 1988. Stable transformation of soybean by particle acceleration. Bio/Technol. 6: 923-926.

Pardal, S. J., D. R. Untari, A. Sisharmini, D. Riyadi, dan M. Herman. 1997. Regenerasi kedelai secara in vitro, hal. 27-38. Prosiding Seminar Bioteknologi Pertanian Indonesia, Surabaya 12-14 Maret 1997. Perhimpunan Bioteknologi Indonesia, Bogor.

Pardal, S. J. 2002. Perkembangan penelitian regenerasi dan transformasi pada tanaman kedelai. Buletin Agrobio 5:37-44.

Pardal, S.J., G.A. Wattimena, H. Aswidinoor, dan M. Herman. 2005. Transformasi genetik kedelai dengan gen proteinase inhibitor II menggunakan teknik penembakan partikel. Jurnal AgroBiogen 1(2):

53−61.

Paz, M.M., J.C. Martinez, A.B. Kavlig, T.M. Fonger and K.Wang. 2006. Improved cotyledonary node method using an alternative explant derived from mature seed for efficient Agrobacterium-mediated soybean

transformation. Plant Cell Rep. 25: 206-213.

Phillips, G. C. And G. B. Collins. 1981. Induction and development of somatic embryos from cell suspension cultures of soybeans. Plant Cell Tissue Organ Cult., 1: 123-129.

Pratiwi, Indah., N. Khumaida., D. Sukma. 2009. Penggunaan Jenis Media Dasar Dan Kinetin Untuk Induksi Organogenesis Anthurium Gelombang Cinta (Anthurium plowmanii) Secara In Vitro. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

Safitri, Yesi. 2013. Pengaruh Perlakuan Pra-kultur Terhadap Efisiensi Regenerasi In Vitro Lima Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Skripsi.

Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Salisbury, F. B., C, W. Ross. 1992. Plant Physiology 4th edition. Diterjemahkan oleh Lukman, D.R., dan Sumaryono. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Santoso, U. dan F. Nursandi. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. UMM Press. Malang. 191 hlm.


(5)

62

Sari, R.M. 2012. Pengaruh berbagai Bagian Benih Sebagai Sumber Eksplan dengan Umur Kecambah Enam Hari Terhadap Induksi embrio Somatik Dua Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Singh, Pushpraj., R.M. Patel, dan S. Kadam. 2013. In vitro mass multiplication of pomegranate from cotyledonary nodal explants cv. Ganesh. Academic Journal 12 (20): 2863-2868.

Slamet, S.J. Pardal, dan M. Herman. 2005. Regenerasi kedelai (Glycine max L. Merr.) melalui kultur epikotil. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia: Tantangan dan peluang pengembangan bioteknologi pertanian menghadapi era globalisasi. Perhimpunan

Bioteknologi Pertanian Indonesia, Malang.

Staden, V. J. 2008. Stock Plant Physiological Factor Affecting Growth and Morphogenesis. Plant Propagation by Tissue Culture 3th Edition. Springer. 1: 219-220.

Suhartina. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan

Umbi-Umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-Umbi-Umbian. Malang. 154 hlm

Utomo, S.D. 2004. Transformasi genetik lima varietas kedelai menggunakan Agrobacterium. Jurnal Agrotropika 9(2):95-101.

Utomo, S. D. 2005. Efisiensi Regenerasi In Vitro Enam Varietas Kedelai melalui Organogenesis. Jurnal Agrista. 9 (1): 83-92.

Utomo,S.D., F. Yelli, dan A. Edy. 2010. Regenerasi in vitro dari eksplan buku kotiledon enam varietas kedelai melalui organogenesis pada medium MS. Prosiding bagian II. Seminar Nasonal Sains dan Teknologi III. 10 (1): 49-55.

Utomo, S.D. 2012. Pemuliaan Tanaman Menggunakan Rekayasa Genetik. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Wang G, Xu Y. Hypocotyl-based Agrobacterium-mediated transformation of soybean (Glycine max) and application for RNA interference. Plant Cell Reports 2008, 27:1177-1184.

Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, PAU Bioteknologi IPB. 71 hlm.

Widoretno, W., E. L. Aruminingtyas., dan Sudarsono. 2002. Metode Induksi Pembentukkan Embrio Somatik dari Kotiledon dan Regenerasi Planlet Kedelai secara In Vitro. Hayati, 10: 19-24.


(6)

Wright, M.S., S.M. Kohler, M.A.Hinchee, and M.G. Carnes. 1986. Plant

regeneration by organogenesis in Glycine max. Plant Cell Reports 5:150-154.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Zhang, Z., A. Xing, P. Staswick, and T. Clemente. 1999. The use of glufosinate as a selective agent in Agrobacterium-mediated transformation of soybean. Plant Cell Tissue Organ Cult 56:37-46.