PENJELASAN TENTANG KONSEP SHIRATAL MUSTAQIM (SYEKH SITI JENAR)

PENJELASAN TENTANG KONSEP SHIRATAL MUSTAQIM (SYEKH SITI JENAR)

“Saya hanya memberi sebuah petunjuk yg bisa digunakan untuk meniti jembatan (shirath) ajaib ke arah-NYA. Saya katakan ajaib karena jembatan itu bisa menjauhkan “Saya hanya memberi sebuah petunjuk yg bisa digunakan untuk meniti jembatan (shirath) ajaib ke arah-NYA. Saya katakan ajaib karena jembatan itu bisa menjauhkan

memiliki empat bagian mantra yg masing-masing memiliki pintu. Pertama, mantra istighfar yg berisi perlambang Nabi Musa AS bersama pemuda (al-fata) menjumpai Khidir AS di perbatasan antara dua lautan. Kedua, mantra salawat yg berisi perlambang Khidir AS melubangi perahu. Ketiga, mantra dalil yg berisi perlambang Khidir AS membunuh anak. Keempat, mantra nafs al-haqq yg berisi perlambang Khidir AS menegakkan dinding yg di bawahnya tersembunyi perbendaharaan.”

Bagi kalangan awam, istighfar lazimnya dipahami sebagai upaya memohon ampun kepada al-ghaffar sehingga mereka beroleh ampunan (maghfirah). Tetapi bagi para salik, istighfar adalah upaya memohon pembebasan dari ‘belenggu’ (penjara) kekauan kepada al-ghaffar sehingga beroleh maghfirah yg menyingkap tabir ghain yg menyelubungi manusia. Sesungguhnya di dalam Asma’ al-Ghaffar terangkum makna Maha Pengampun dan juga Makna Maha Menutupi, Maha menyembunyikan dan Maha Menyelubungi.” “Sesungguhnya perjalanan manusia, ketika sudah mengalami kasyf al-hijab ia telah sampai ke bagian jembatan yg disebut mantra istighfar. Tabir ghain yg menyelubungi keakuannya telah menyingsing. Ia telah menyaksikan Khidir AS, namun karena kadang ia terperangkap pada keinginan untuk memperoleh karunia-NYA semata (karamah dari kealian), namun ia hanya berputar-putar di mantra istighfar yg penuh diliputi gambaran- gambaran indah karunia-NYA.”

“Cara melepaskan hal itu, agar ia sampai pada mantra salawat adalah dgn “Melubangi perahu” seperti yg dilakukan Khidir AS hal ini harus dilakukan.”

“Tanpa melubangi perahu (maksudnya tinggalkan akal dimana itu hanya sekedar pancaindera yg tidak kekal dan hanya niat yg tulus dan “kasih” maka akan diberikan hidayah bagi yg demikian…..seperti Prabu Jayabaya melakukan Moksa, Beliau meninggalkan segala bentuk atribut kerajaan yg diperlambang meninggalkan akal..dan intinya kembali ke fitrah seorang bayi yg melihat dgn “kasih” tanpa ada kerajaan “Akal” di kepalanya), sang salik tidak akan mengetahui hakikat sejati Lautan Wujud (bahr al- wujud). Tanpa melubangi perahu maka kedudukan salik tidak jauh berbeda dgn kedudukan para nelayan; memanfaatkan perahu untuk mencari ikan (pahala) dan berbagai karunia-NYA yg terhampar di permukaan Lautan Wujud, yg selain bergelombang dahsyat juga berisiko dihadang Sang Rajadiraja (al-Malik al-Mulki) yg setiap saat akan merampas perahu-perahu yg baik.”

“Di mantra salawat ini sang salik harus menyadari kehambaannya kepada Yang Maha Terpuji (ahmad) sebagai Sumber segala kejadian. Di Mantra itu sang salik harus menjadi ghulam yg baik dan berbakti kepada sumbernya, yakni pancaran Air Kehidupan yg mengalir dari lubang perahu yg dibuat Khidir AS Ghulam yg durhaka dan mengingkari kehambaannya kepada Yang Terpuji harus dibunuh. Sang salik yg tenggelam ke dalam mantra salawat ini disebut fana ke dalam Rasulullah (fana’ fi rasul).”

“Air Kehidupan yang memancar dari lubang itu sesungguhnya sama hakikatnya dgn Air Kehidupan yg tergelar di hamparan Lautan Wujud. Walau demikian, tanpa melalui Air Kehidupan yg mengalir dari lubang maka salik tidak akan mencapai Air Kehidupan yg tergelar di Lautan Wujud.”

“Mantra tahlil adalah mantra Ke-Esa-an. Mantra Tauhid. Inilah mantra Ke-Esa-an Wujud; Lautan Wujud sama hakikatnya dengan Air Kehidupan. Ibarat ungkapan kesaksian tidak ada ilah selain Allah (la ilaha illa Allah), demikianlah di mantra ini terungkap kesaksian tidak ada air lain yg tergelar di hamparan Lautan Wujud kecuali Air Kehidupan (Ma’ al- Hayy) yg mengalir dari Sang hidup (al-Hayy). Inilah mantra yg diibaratkan dalam perlambang dinding yg ditegakkan Khidir AS yg di bawahnya tersembunyi perbendaharaan.”

“Mantra nafs al-haqq adalah mantra rahasia yg tidak bisa diuraikan. Sebab, mantra ini menyangkut Perbendaharaan Tersembunyi yg terdapat di bawah dinding. Tak ada satu pun di antara makhluk yg mengetahui keberadaan-NYA, kecuali memang dikehendaki- NYA. Jika Al Qur’an saja tidak memberikan penjelasan tentang apa sesungguhnya Perbendaharaan, tentunya manusia tidak boleh menghayal-khayal tentang Perbendaharaan itu. Gambaran Nabi Musa AS yg berpisah dengan Khidir AS di mantra itu adalah kearifan dari Sang Pencerita untuk tidak mengungkapkan apa yg tidak dapat dipahami pendengar-NYA.”

Bagi Syekh Siti Jenar, bentuk lafadz istighfar, shalawat, tasbih, tahlil dan semacamnya sebenarnya lafadz-lafadz yg menuntut menusi untuk menempuh jalan menuju kemanunggalan. Sehingga kalimat-kalimat tersebut tidaklah cukup hanya dijadikan ucapan penghias bibir belaka. Kalimat-kalimat tersebut hakikatnya adalah urat nadi perjalanan rohani manusia, yg penyelami atasnya dapat membawa ke samudera ma’rifat untuk mengenal dan mendekati-NYA dan kemudian menghampiri-NYA untuk manunggal dalam keabadian. Sehingga mantra-mantra dari kalimat itu akan tetap terbawa kesadarannya tetap mengiringinya dengan senyum menuju Haribaan-NYA. Yakinlah kamu atas nama Allah maka kamu akan sampai dgn kehendak-NYA…Amin… amin…