Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat Kapuas Hulu
a. Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat Kapuas Hulu
Satu produk konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) atau Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil, yang berlangsung bulan Juni 1992 ialah “agenda 21”, sebuah dokumen
Model Konservasi Hutan...
500 halaman lebih berisi program bertindak di setiap bidang kegiatan manusia yang berdampak terhadap lingkungan untuk kini dan selanjutnya sampai abad ke-21. Menurut agenda-21, masalah lingkungan tersebut terdiri atas dua kelompok besar. Pertama ialah dimensi ekonomi sosial, seperti penanggulangan kemiskinan, dinamika demograi, dan kerjasama internasional. Kedua, ialah pelestarian dan pengelolaan sumber daya. Ini mencakup antara lain udara, tanah, hutan, laut berikut tumbuh-tumbuhan dan binatang dialaminya (LPDS, 1996).
Secara historis, masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu, baik itu Suku Dayak maupun Suku Melayu yang ada di kabupaten ini, memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam maupun lingkungannya. Sejak dahulu masyarakat hidup berdampingan dengan alam, menjaga dan memanfaatkan alam sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat. Bahkan seolah alam/ lingkungan seolah ATM (Anjungan Tunai Mandiri) bagi masyarakat. Apabila masyarakat perlu ikan mereka tinggal turun ke sungai memasang pukat, memasang pancing, bubu dan lain sebagainya. Pulangnya mereka bisa membawa ikan untuk kebutuhan keluarga mereka. Sebaliknya, apabila masyarakat perlu makan daging, tinggal pergi ke hutan berburu dan dapat, sayur – sayuran, obat – obatan juga tersedia di alam. Oleh karena itu, apa bila lingkungan rusak, alam rusak, kehidupan masyarakat pun akan tidak seimbang, mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari – hari. Masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu menyadari betul akan pentingnya alam maupun lingkungan guna keberlangsungan hidup mereka dan generasi yang akan datang, oleh sebab itu sampai saat ini masyarakat masih menjaga lingkungannya serta memanfaatkan sewajarnya.
Selain kedekatan dan hubungan yang saling terkait antara manusia dan lingkungannya/alam, pada masyarakat adat juga ada mengatur tentang bagaimana menjaga lingkungan. Sebagai contoh, dalam buku Adat Suku Daya Sub Suku Dayak Pangin Orung Da’an ada mencantumkan tentang bagaimana seharusnya warganya membakar ladang, melindungi tempat – tempat keramat, melindungi mata air dan binatang – binatang langka seperti Orang Utan. Apabila ada warga masyarakat yang membunuh Orang Utan, orang tersebut wajib melakukan ritual adat “Buang Pantang” karena menurut masyarakat setempat, membunuh Orang Utan sama halnya dengan membunuh manusia. Bukan hanya pada suku Dayak Sub Suku Daya Pangin Orung Da’an, pada sub – sub suku daya lainnya juga ada mengatur hal yang sama, diantaranya Pada Suku Daya Sub Dayak Tamambaloh, ada aturan adat
Komunikasi Pariwisata, Budaya & Pengembangan Potensi Daerah
yang melarang warga luar dan warganya meracun ikan maupun menyetrum ikan di sungai apabila ketahuan akan dikenakan sangsi adat, sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku
Maraknya persoalan bakar ladang yang dilakukan masyarakat, dalam hal ini, masayarakat adat memiliki aturan sendiri. Bila membakar ladang, orang yang punya ladang wajib membawa warga masyarakat yang lain waktu pembakaran, tujuannya ialah membantu mengamankan apabila api menyebar keluar areal ladang. Apabila terjadi kasus api yang bersangkutan menyebar ke kebun orang lain yang bersebelahan dengan ladang tersebut, maka yang punya ladang akan dikenakan sangsi seperti:
1) Untuk kebun karet yang belum produksi dikenakan sangsi 50 ribu/ batang;
2) Karet yang sudah produksi sangsinya 250 ribu/batang.
3) Untuk jenis tanaman buah – buahan seperti durian, tengkawan, rambutan, langsat dan lain sebagainya tergantung nilai ekonomi buah – buahan tersebut.
Sangsi adat ini, sebagai bentuk kearifan lokal yang hingga kini masih diterapkan di Kapuas Hulu dan cukup efektif untuk menekan pembakaran ladang yang sporadis.