11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori yang Berkenaan dengan Variabel yang Diambil
1. Teori Keagenan Agency Theory Teori Keagenan menjelaskan adanya kontrak antara agen
manajemen dan principal pemegang saham yang mana agen menerima mandat untuk mengelola perusahaan dari principal Jensen
dan Meckling, 1976. Dalam teori ini diasumsikan bahwa dimungkinkan manajemen akan berperilaku oportunistik untuk
memaksimumkan kepentingannya
sendiri dengan
melakukan manajemen laba. Tindakan manajerial ini dapat menyesatkan dan
dapat menyebabkan pihak outsider membuat keputusan ekonomi yang salah.
Manajemen sebagai agen mempunyai tanggung jawab dalam operasional perusahaan sehari-hari dalam hal pengambilan keputusan
berdasarkan informasi yang diperoleh manajemen. Dengan demikian, agen lebih banyak mempunyai informasi dibandingkan pemilik.
Ketimpangan informasi ini biasa disebut sebagai asimetri informasi. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara
12
prinsipal dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal Pamudji dan Trihartati, 2010.
Adanya asimetri informasi ini menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan oleh kesulitan prinsipal untuk memonitor dan
melakukan pengendalian terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling 1976 menyatakan permasalahan tersebut adalah:
a. Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam
kontrak kerja. b. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak
dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya,
atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas. Eisenhardt 1989 dalam Rani dan Syafruddin 2011 menyatakan
bahwa masalah keagenan muncul ketika, yang pertama, tujuan dari principal dan agen bertentangan dan adanya kesulitan bagi principal
untuk menverifikasi apa yang sebenarnya dilakukan oleh agen. Kedua, adalah permasalahan pembagian risiko yang mungkin muncul ketika
principal dan agen memiliki perilaku berbeda terhadap risiko. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara
principal pemegang saham dan agen manajemen sebagaimana dijelaskan dalam teori keagenan memungkinkan terjadinya praktik
13
manajemen laba. Agen akan memiliki informasi yang lebih banyak dari pada principal. Hal ini dapat mendorong agen untuk menyajikan
informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agen. Salah
satu bentuk tindakan agen tersebut adalah yang disebut sebagai manajemen laba.
2. Manajemen Laba Standar akuntansi memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dapat
menjadikan laporan keuangan menjadi kurang andal reliable. Keterbatasan tersebut diantaranya adalah fleksibilitas penerapan
metode akuntansi yang menyebabkan peluang bagi manajemen untuk melibatkan subjektifitas dalam menyusun metode akuntansi yang
dipilih dan penentuan waktu untuk pengeluaran-pengeluaran yang bersifat discretionary dapat dipergunakan oleh manajemen untuk
mempengaruhi laba, yaitu dengan mempercepat atau menunda pengeluaran-pengeluaran tersebut dan menggesernya pada periode
yang lain. Keterbatasan laporan keuangan inilah yang menyebabkan
terjadinya aktivitas manajemen laba earnings management oleh pihak manajemen perusahaan terhadap laporan keuangan perusahaan.
Secara umum, manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-
14
informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan
Sulistyanto, 2008. Yamaguchi et al. 2013 mendefinisikan manajemen laba sebagai
suatu pilihan yang dilakukan oleh manajer atas kebijakan akuntansi, atau tindakan nyata yang mempengaruhi laba sehingga mencapai
tujuan pelaporan yang spesifik. Nini dan Estralita Trisnawati 2009 mengatakan bahwa manajemen laba adalah penggunaan pertimbangan
manajemen dalam pemilihan kebijakan akuntansi perusahaan untuk pelaporan keuangan dalam batasan prinsip akuntansi yang berlaku
umum, untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya maupun nilai perusahaan. Sedangkan manajemen laba menurut Nur Azlina 2010
yaitu menentukan laba sedemikian rupa dengan mempermainkan pos- pos pendapatan dan biaya dalam laporan laba-rugi baik melalui
pemanfaatan pemilihan alternatif metode maupun melalui operasi. Menurut Sugiri 1998 dalam Widyaningdyah 2001, definisi
manajemen laba dibagi dalam dua definisi, yaitu: a. Definisi sempit
Dalam definisi sempit, manajemen laba hanya berkaitan dengan
pemilihan metode
akuntansi. Manajemen
laba didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan
15
komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya earning.
b. Definisi luas Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk
meningkatkan mengurangi laba yang dilaporkan saat ini atas suatu
unit dimana manajer
bertanggung jawab,
tanpa mengakibatkan peningkatan penurunan profitabilitas ekonomis
jangka panjang unit tersebut. Manajemen laba dapat dilakukan melalui mekanisme-mekanisme
tertentu. Menurut Wild et al. 2007 dalam Nini dan Estralita Trisnawati 2009, mekanisme dilakukannya manajemen laba adalah
sebagai berikut: a. Income Shifting
Income Shifting adalah proses pengelolaan laba dengan memindahkan income dari satu periode ke periode lain. Income
Shifting dilakukan dengan mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan atau beban. Contohnya menunda pengakuan beban
dengan cara mengkapitalisasikannya, mengalihkan beban ke periode berikutnya dengan mengadopsi metode akuntansi tertentu
dan lain sebagainya.
16
b. Classificatory Earnings Management Manajemen laba juga dapat dilakukan dengan cara
mengklasifikasikan pendapatan dan beban di bagian tertentu dalam laporan laba rugi. Bentuk paling umum dari classificatory
earnings management yaitu memindahkan beban ke urutan bawah, biasanya bersama dengan unusual and nonrecuring item,
agar kurang diperhatikan. Berdasarkan penjelasan diatas mengenai manajemen laba, dapat
disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan cermin perilaku oportunis seorang manajer dengan cara melakukan mekanisme-
mekanisme tertentu yang mengakibatkan informasi menjadi tidak berkualitas. Hal ini yang selanjutnya menjadi perhatian bagi pihak
yang berkepentingan. 3. Kualitas Audit
Auditor yang berkualitas adalah auditor yang bisa memberikan informasi yang akurat. Informasi yang akurat adalah informasi yang
bisa dengan tepat menunjukkan nilai perusahaan. DeAngelo 1981 mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas dimana seorang
auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa KAP yang besar akan berusaha untuk menyajikan kualitas audit yang lebih besar dibandingkan dengan KAP
17
yang kecil. KAP yang besar jika tidak memberikan kualitas audit yang tinggi akan kehilangan reputasinya, dan jika ini terjadi maka dia akan
mengalami kerugian yang lebih besar dengan kehilangan kepercayaan klien.
Auditor yang berkualitas harus memberikan informasi yang tepat, tidak hanya mengenakan fee yang lebih tinggi agar pilihan itu benar-
benar mencerminkan informasi yang ada pada perusahaan. DeAngelo 1981 menggunakan reputasi auditor sebagai proksi kualitas audit.
Dia beranggapan bahwa auditor yang berkualitas tersebut
berhubungan dengan ukuran kantor akuntan. Beberapa penelitian di Amerika dan Australia menyebutkan
bahwa adanya hubungan antara kualitas audit dengan ukuran KAP. Hubungan tersebut terjadi dalam kaitannya dengan reputasi KAP
tersebut. Lennox 1999, menyatakan bahwa perusahaan audit yang besar lebih mampu menangkap sinyal akan penyelewengan keuangan
yang terjadi dan mengungkapkannya dalam pendapat audit mereka. Di Indonesia, beberapa penelitian lainnya juga menggunakan
ukuran kantor akuntan publik sebagai proksi kualitas audit seperti penelitian yang dilakukan oleh Nuraini dan Sumarno Zain 2007.
Mereka mengasumsikan bahwa auditor KAP BIG4 memiliki kualitas audit relatif lebih baik dibandingkan dengan auditor KAP non BIG4.
18
Berikut ini adalah daftar KAP yang termasuk ke dalam kelompok Big Four di Indonesia:
a. KAP Osman Bing Satrio dan Rekan yang berafiliasi dengan Deloitte.
b. KAP Tanudiredja, Wibisana, dan Rekan yang berafiliasi dengan Price Waterhouse Coopers PWC.
c. KAP Purwanto, Suherman, Surja yang berafiliasi dengan Ernst Young EY.
d. KAP Siddharta dan Widjaja yang berafiliasi dengan KPMG. 4. Fee Audit
Pada tahun 2008 Institut Akuntan Publik Indonesia IAPI menerbitkan Surat Keputusan No. KEP.024IAPIVII2008 tentang
Kebijakan Penentuan Fee Audit yang digunakan sebagai panduan bagi profesi Akuntan Publik maupun Kantor Akuntan Publik dalam
menetapkan fee audit. Dalam bagian Lampiran 1 dijelaskan bahwa panduan ini dikeluarkan sebagai panduan bagi seluruh anggota IAPI
yang menjalankan praktek sebagai akuntan publik dalam menetapkan besaran imbalan yang wajar atas jasa profesional yang diberikannya.
Fee audit merupakan pendapatan yang besarnya bervariasi karena tergantung dari beberapa faktor dalam penugasan audit seperti, ukuran
perusahaan klien, kompleksitas jasa audit yang dihadapi auitor, risiko
19
audit yang dihadapi auditor dari klien, serta nama KAP yang melakukan jasa audit DeAngelo, 1981.
Di Indonesia besarnya fee audit masih menjadi perbincangan yang cukup panjang, mengingat banyak faktor yang mempengaruhinya.
Faktor- faktor yang mempengaruhi besar kecilnya fee audit yaitu besar kecilnya klien, lokasi kantor akuntan publik dan ukuran kantor
akuntan publik. Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia IAPI No.KEP.024IAPIVII2008, dalam
menetapkan imbalan jasa atau fee audit, akuntan publik harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Kebutuhan klien. b. Tugas dan tanggung jawab menurut hukum statutory duties.
c. Independensi. d. Tingkat keahlian levels of expertise dan tanggung jawab yang
melekat pada pekerjaan yang dilakukan, serta tingkat
kompleksitas pekerjaan. e. Banyaknya waktu yang diperlukan dan secara efektif digunakan
oleh akuntan publik dan stafnya untuk menyelesaikan pekerjaan. f. Basis penetapan fee yang disepakati.
Fee audit yang ditawarkan oleh suatu KAP kepada perusahaan dapat berbeda jumlah atau besarnya dengan audit fee yang ditawarkan
oleh KAP yang lain. Selama ini, penetapan audit fee dilakukan secara
20
subjektif oleh salah satu pihak atau dasar kekuatan tawar menawar antara akuntan publik dengan klien dengan dipengaruhi oleh
persaingan sesama akuntan publik. Dalam melakukan negosiasi mengenai jasa profesional yang
diberikan, auditor dapat mengusulkan jumlah imbalan jasa profesional yang
dipandang sesuai.
Klien perusahaan
cenderung mengasosiasikan harga dengan tingkat kualitas jasa. Harga yang
mahal dipersepsikan mencerminkan kualitas yang tinggi dan sebaliknya.
Hotaish et al. 2007 dalam Hartadi 2009 menemukan bukti bahwa pada saat auditor bernegosiasi dengan manajemen mengenai
besaran tarif fee yang harus dibayarkan oleh pihak manajemen terhadap hasil kerja laporan auditan, maka kemungkinan besar akan
terjadi konsesi resiprokal yang jelas akan mereduksi kualitas laporan auditan. Tindakan ini jelas menjurus kepada tindakan yang
mengesampingkan profesionalisme, dimana konsesi resiprokal tersebut akan mereduksi kepentingan penjagaan atas kualitas auditor.
B. Penelitian Sebelumnya