Kisah Nabi Sulaiman A.S Dalam Al-Qur’an (Tinjauan Pragmatik)

(1)

KISAH NABI SULAIMAN a.s DALAM AL-QUR’AN

(Tinjauan Pragmatik)

SKRIPSI PENELITIAN O

L E H

040704020

SARTIKA SARI DEWI

PROGRAM STUDI BAHASA ARAB

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang ditulis diacu oleh naskah skripsi ini dan yang disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juli 2010 Penulis,


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, rasa syukur yang tiada tara penulis tahmidkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis laksana ombak dahsyat yang memecahkan rasa lelah dan bosan dalam merampungkan skripsi ini. Salawat beriring salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan hingga saat ini.

Sebagai salah satu syarat menyelesaikan perkuliahan ini untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra USU, maka penulis mengajukan skripsi yang berjudul: “KISAH NABI SULAIMAN

a.s DALAM AL-QUR’AN (Tinjauan Pragmatik)

Setelah mendapatkan persetujuan dari Ketua Program Studi Bahasa Arab, penulis berusaha menyelesaikan tugas akhir dengan baik dan tanggung jawab dengan mengharapkan taufik dan hidayah dari Allah SWT.

Penulis menyadari betul bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, disebabkan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk melengkapi serta menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis sendiri serta para pembaca khususnya peminat linguistik.

Medan, Juli 2010 Penulis,

040704020


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Salah satu keindahan di dunia ini yang akan selalu dikenang adalah ketika kita bisa melihat atau merasakan sebuah impian menjadi kenyataan. Dan bagi penulis, skripsi ini adalah salah satu keindahan itu. Skripsi ini tidak akan ada tanpa ada yang mendorong dan menyemangati. Oleh karena itu penulis ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada :

1. Teristimewa orangtua tercinta ayahanda Army Effendi dan ibunda Siti Maryamah yang telah memberikan segenap pengorbanan disertai do’a yang tulus & ikhlas dalam mengasuh dan mendidik penulis dari kecil hingga saat ini. Terima kasih selalu mendoakan penulis serta telah memberikan dukungan, semangat, nasihat, dan membiayai penulis untuk menuntut ilmu dari pertama sekolah hingga saat ini.

Kalau ada balasan untuk setiap perbuatan baik yang kulakuakan saat ini, semuanya untuk mamak dan papa dulu. Terima kasih Ma…Pa..

“Allahumma igfir lana zunubana wa liwalidaina warhamhuma kama rabbayana sagira”.

2. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A.,Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, beserta pembantu Dekan I Drs.Aminullah, M.A.,Ph.D., Pembantu Dekan II Drs.Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs.Parlaungan Ritonga. Yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Sarjana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra.Khairawati, M.A.,Ph.D dan Bapak Drs.Mahmud Khudri, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra.Nursukma Suri, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dra.Fauziah, M.A selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan kritik dan saran, mengarahkan serta memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga Allah menambah dan mengabadikan ilmu dan pengetahuannya.


(5)

5. Para staff pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara khususnya Program Studi Bahasa Arab yang telah memberikan ilmu pengetahuannya dan mengajarkan ilmunya kepada penulis, serta bang Andika selaku Tata Usaha Program Studi Bahasa Arab yang telah membantu penulis dalam proses administrasi.

6. Kakak-kakakku tersayang : Ardhiana Wahyuni, Amirulouh Effendi dan Armayana Army, terima kasih atas segala kasih sayang dan perhatian serta “pengertian” yang amat berharga dan berarti. Buat para ponakan : Aulia, Attaya, Azhira, dan Adhan makasih ya.. 

7. Ibunda Almh.Hj.Suyati yang sudah memberikan semangat, nasihat, dukungan, perhatian, kasih sayang dan tempat tinggal kepada penulis selama masa perkuliahan. Wak Nani yang membantu memudahkan kelancaran akademis. Tante subi, serta adik-adikku tersayang Angga dan Ainun yang selalu setia menerima kedatangan penulis selama melakukan penulisan skripsi ini.

8. Keluarga Bapak Ir.H.Nurmansyah di Paduan Tenaga (Bapak dan Ibu yang sudah penulis anggap seperti orang tua sendiri)terima kasih atas segalanya dan kalianlah setelah orang tua yang tak bisa penulis balaskan segala budi baik, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. d’Oq, bulek adek, mbak Rina terima kasih banyak.

9. Teman-teman angkatan 2004 yang terus memberi semangat secara “nggak karuan dan nggak jelas” : AMInah, AHMAD sahputra tarigan, ahmad SUBUHan nasution, AsTrID maysarah, atika DIAN nova, DARWIN sati siregar, EKA sari, FARIDA hanum pasaribu, HARIS satria, HOTMAria rahma, ILyani, lidya VEGA simbolon (thankyou for everythings), m. husnul FADHILah nasution, MAWAdi, MAEL ritonga, nurhaKIKI, RAHMA, RISA anggriani, rODIah Saleh (as interpretor), SRI rahmayati, ZULFAN, and special thanks to my best freind “mbak” DEVI khairina (temen curhat, temen begadang, temen sok tau, dan temen yang mau direpotin, padahal dia sendiri juga repot) Syukran jazilan ilaikum jami’an atas bantuan serta dukungannya.Terimakasih untuk semuanya, semoga persahabatan kita tetap utuh dan terjaga selamanya.


(6)

10. Buat Didi Lazuardi dan Sann Sann D’keemjoon yang setia menerima kedatangan dan memberikan semangat kepada penulis. Keep our dreams alive..and we will survive!! Sahabat- sahabat lawas yang masih setia menemani di segala kesempatan Danoe, Juli, Fitri, Fatimah yang rajin menelpon dari seberang sana dan Sigit Suhendro (meskipun jauh jarak antara kita,hiks) thanks a lot ya.

11. Kakanda alumni, adik-adik dan seluruh mahasiswa jurusan Bahasa Arab yang tergabung dalam IMBA yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Buat Ape, Linda, Lyra, Sanah, Putra, Izala, Hasna dan Sarah, terima kasih atas segala bantuan dan motivasi yang kalian berikan.

12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Syukran Jazilan. Semoga Allah SWT memberikan balasannya. Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.

Medan, Juli 2010 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………..……….i

UCAPAN TERIMA KASIH……….ii

DAFTAR ISI………iv

ABSTRAK……….…..vi

BAB I PENDAHULUAN……….1

1.1 Latar Belakang……….1

1.2 Perumusan Masalah……….5

1.3 Tujuan Penelitian …..………..5

1.4 Manfaat Penelitian….………..5

1.5 Metode Penelitian……….6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………7

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN……….20

3.1 Jenis Maksim Yang Terdapat Pada Kisah Nabi Sulaiman as Dalam Al-Qur’an……….20

3.1.1 Maksim Kebijaksanaan…….………20

3.1.2 Maksim Kedermawanan………23

3.1.3 Maksim Penghargaan……….25

3.1.4 Maksim Kesederhanaan………..33

3.1.5 Maksim Permufakatan………..……….39

3.1.6 Maksim Simpati………40

BAB IV PENUTUP………..……….42

4.1 Kesimpulan………..42

4.2 Saran………..………..42

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

ABSTRAK

Sartika Sari Dewi, 2010. KISAH NABI SULAIMAN a.s DALAM AL-QUR’AN (Tinjauan Pragmatik)

Penelitian ini membahas tentang pragmatik. Pragmatik adalah telaah mengenai makna dalam hubungannya dengan aneka situasi ujar.

Adapun yang menjadi objek penelitian adalah Al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz dan 114 surat.

Permasalahan yang diteliti adalah prinsip sopan santun apa saja yang terdapat pada kisah nabi Sulaiman a.s ditinjau dari segi pragmatik.

Sopan santun adalah suatu sistem hubungan antar manusia yang diciptakan untuk mempermudah hubungan dengan meminimalkan potensi konflik dan perlawanan yang melekat dalam segala kegiatan manusia.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dan menggunakan metode deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Henry Guntur Tarigan dan teori R.Kunjana Rahardi sebagai teori pendukung.

Adapun hasil dari penelitian diketahui bahwa pada kisah nabi Sulaiman a.s dalam Al-Qur’an terdapat 6 (enam) maksim kebijaksanaan (Tact Maxim), 2 (dua) maksim kedermawanan (Generosty Maxim), 10 (sepuluh) maksim penghargaan (Approbation Maxim), 8 (delapan) maksim kesederhanaan (Modesty Maxim), 1 (satu) maksim permufakatan (Agreement Maxim), dan 1 (satu) maksim Simpati (Sympathy Maxim).


(9)

(10)

ABSTRAK

Sartika Sari Dewi, 2010. KISAH NABI SULAIMAN a.s DALAM AL-QUR’AN (Tinjauan Pragmatik)

Penelitian ini membahas tentang pragmatik. Pragmatik adalah telaah mengenai makna dalam hubungannya dengan aneka situasi ujar.

Adapun yang menjadi objek penelitian adalah Al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz dan 114 surat.

Permasalahan yang diteliti adalah prinsip sopan santun apa saja yang terdapat pada kisah nabi Sulaiman a.s ditinjau dari segi pragmatik.

Sopan santun adalah suatu sistem hubungan antar manusia yang diciptakan untuk mempermudah hubungan dengan meminimalkan potensi konflik dan perlawanan yang melekat dalam segala kegiatan manusia.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dan menggunakan metode deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Henry Guntur Tarigan dan teori R.Kunjana Rahardi sebagai teori pendukung.

Adapun hasil dari penelitian diketahui bahwa pada kisah nabi Sulaiman a.s dalam Al-Qur’an terdapat 6 (enam) maksim kebijaksanaan (Tact Maxim), 2 (dua) maksim kedermawanan (Generosty Maxim), 10 (sepuluh) maksim penghargaan (Approbation Maxim), 8 (delapan) maksim kesederhanaan (Modesty Maxim), 1 (satu) maksim permufakatan (Agreement Maxim), dan 1 (satu) maksim Simpati (Sympathy Maxim).


(11)

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya dalam kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari penggunaan bahasa. Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang akan menghubungkan suatu perwatakan dengan perwatakan yang lain dalam masyarakat, sehingga terciptalah jalinan yang kompak dan saling pengertian yang terus menerus dan sampai pada generasi seterusnya. Dengan bahasa dapat dicetuskan gagasan atau ide-ide kepada orang lain, sehingga dapat dikembangkan dan diterapkan di tengah-tengah masyarakat.

Manusia sejak lahir berusaha untuk dapat berkomunikasi dengan lingkungannya. Oleh sebab itu lahirlah bahasa masyarakat tertentu dengan tanpa harus musyawarah lebih dulu, karena setiap masyarakat melahirkan bahasa untuk berkomunikasi di kalangan mereka, maka terjadilah bahasa-bahasa yang beraneka ragam sesuai dengan taraf masyarakat dimana bahasa itu lahir (Mu’in, 2004 : 19)

Bahasa merupakan unsur kebudayaan yang menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan maksud, perasaan, dan pikiran kepada orang lain. Tanpa bahasa manusia akan sulit berkomunikasi antara satu manusia dengan manusia lainnya. Melalui bahasa seseorang dapat melakukan komunikasi yang baik sesuai dengan maksud dan tujuan bahasa tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997 : 77), bahasa diartikan dengan sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.

Al-Khuli (1982 : 148) mendefinisikan bahasa dalam A Dictionary of Theoretical Linguistics sebagai berikut :

/lugatun : nizāmun sautiyyun asāsan yatakawwanu min rumūzi i’tibāţ iyatin


(13)

suara dasar yang terdiri dari atas lambang-lambang arbitrer yang digunakan oleh suatu kelompok untuk mengungkapkan pendapatnya dan keinginannya’.

Menurut Al-khuli ( 1982 : 157) linguistik disebut dengan

/ ‘

ilmu al-lugati adalah:

/‘ilmun yabhasu fi al-lugati min jamī‘i jawānibihā al-sawtiyatu wa al-sarafiyyatu wa al- nahwiyyatu wa al-mufradatiyyatu wa al-dalāliyyatu wa al-nafsiyyatu wa al-ijtima‘iyyatu wa al- mu ‘jamiyatu wa al-tatbīqiyyatu/. ‘ilmu yang membahas tentang bahasa dari semua sisinya, yaitu sisi fonologi, morfologi, sintaksis, kosa kata, semantik, psikologi, masyarakat, perkamusan dan kasta-kasta.

Linguistik sebagai ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia dalam perkembangannya memiliki beberapa cabang. Cabang-cabang linguistik itu secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Fonologi, 2. Morfologi, 3. Sintaksis, 4. Semantik, dan 5. Pragmatik.

Dari urutan cabang-cabang linguistik itu tampak bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang terakhir sekaligus terbaru. Berkenaan dengan usianya yang masih muda itulah ilmu pragmatik sering dikatakan young science.

Lazimnya fonologi dibicarakan secara berdampingan dengan fonetik. Dapat dikatakan demikian, karena pada dasarnya, keduanya sama-sama meneliti bunyi bahasa. Fonetik mempelajari bunyi bahasa menurut cara pelafalannya dan sifat akustiknya, sedangkan fonologi mempelajari bunyi bahasa menurut fungsinya. Morfologi dikatakan oleh pakar ini sebagai ilmu yang mempelajari struktur internal kata, sintaksis mempelajari susunan kata dalam kalimat, dan semantik mempelajari perihal makna. Pragmatik mempelajari apa saja yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur serta sebagai pengacuan tanda-tanda yang sifatnya extralinguistik. (Rahardi, 2005 : 47).

Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (1993: 176) mengartikan pragmatik sebagai (1) Syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa


(14)

dalam komunikasi, (2) Aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran.

Menurut Tarigan (1987 : 13) pragmatik adalah telaah mengenai makna dalam hubungannya dengan aneka situasi ujar.

Dari batasan-batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurutnya, pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itul. Konteks yang dimaksud mencakup dua macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yang bersifat sosietal (societal). Konteks sosial (sosial context) adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antar anggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Adapun yang dimaksud dengan konteks sosietal (sosietal context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang adad di dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menurut pakar ini, dasar dari munculnya konteks sosietal adalah adanya kekuasaan (power), sedangkan dasar dari konteks sosial adalah adanya solidaritas (solidarity).

Pragmatik mengkaji maksud penutur dalam menuturkan sebuah satuan lingual tertentu pada sebuah bahasa. Karena yang dikaji dalam pragmatik adalah makna, dapat dikatakan bahwa pragmatik dalam banyak hal sejajar dengan semantik yang juga mengkaji makna. Perbedaan antar keduanya adalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal, sedangkan semantik mengkaji makna satuan lingual secara internal. Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks, sedangkan makna yang dikaji dalam semantik bersifat bebas konteks.

Pragmatik umum dapat dibagi atas: 1. Pragmalinguistik

2. Sosiopragmatik

Al-Qur’an adalah sebuah Al-kitab yang diturunkan Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril. Sebagai orang


(15)

yang beriman dan sebagai makhluk Allah SWT yang daif tidak satu pun di antara manusia yang bisa menyanggah akan kesucian Al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan sumber utama yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia sebagai salah satu rahmat yang tak ada taranya bagi alam semesta. Di dalamnya terkumpul wahyu ilahi yang menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa saja yang mempercayai serta mengamalkannya. Al-Qur’an adalah kitab suci yang terakhir diturunkan Allah SWT, yang isinya mencakup segala pokok-pokok syariat yang terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya. Karena itu, setiap orang yang mempercayai Al-Qur’an akan bertambah cinta kepadanya cinta untuk membacanya, untuk mempelajari dan memahaminya serta pula untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai merata rahmatnya dirasai dan dikecap oleh penghuni alam semesta.

Al-Qur’an yang terdiri dari 114 surat, 6666 ayat, 77.437 kata dan 325.345, berisikan

/

as-syariat/ (hukum-hukum), /al-idzaru/ (peringatan),

/

at-tarikh

/ (sejarah),

/

al-qissatu/ (kisah para nabi) dan /al-ulumu/ (ilmu pengetahuan). (Said, 1984 : 164).

Adapun yang menarik perhatian penulis untuk menjadikan kisah ini menjadi suatu objek penelitian adalah:

Kisah-kisah para nabi dalam Al-Qur’an banyak disebutkan salah satunya adalah kisah nabi Sulaiman a.s beliau adalah seorang putra nabi Daud a.s sejak ayahnya memerintah, ia telah dipersiapkan sebagai penggantinya. Allah SWT memberinya banyak kepandaian dan keistimewaan, seperti mengerti bahasa binatang. Nabi Sulaiman a.s membangun rumah suci di Yerusalem yang diberi nama Baitulmakdis. Allah SWT memerintahkan hamba-hambanya untuk menunaikan ibadah ke tempat suci itu. Pada masa nabi Muhammad SAW, Baitulmakdis pernah menjadi kiblat hingga Allah SWT memerintahkan umat Islam mengganti kiblatnya ke Ka’bah di Mekah.

Nabi Sulaiman a.s memperoleh karunia Allah SWT dalam berbagai hal. Karunia itu memungkinkan dia menggenggam kebijaksanaan dan kekuatan terhadap alam, alam gaib dan alam manusia. Ini juga ujian dan godaan, tetapi semua itu tidak membuat nabi Sulaiman a.s kehilangan pegangan dan memanfaatkan semua karunia itu di jalan Allah SWT. Nabi Sulaiman a.s


(16)

melenyapkan praktek-praktek kemusyrikan (penyembahan berhala) dan membangun istana Yarusalem (tempat penyembahan Dzat Yang Maha Tunggal) yang sayangnya kini sudah tidak ada lagi. Nabi Sulaiman a.s juga bukan raja yang dzalim, tapi dia memerintah negerinya dengan keadilan dalam naungan keimanan. Kekuatan militer utama nabi Sulaiman a.s adalah kawanan burung yang sama efektifnya jika dibandingkan dengan infanteri yang memberitahukan semua peristiwa kepadanya.

Kisah nabi Sulaiman a.s dalam Al-Qur’an terdapat dalam 7 surat dan 52 ayat dengan perincian:

Al-Baqarah (2): 102 An-Naml (27): 15-44 An-Nisa (4): 163 Saba (34): 12-14 Al-An’am (6): 84 Shad (38): 30-40 Al-Anbiya (21): 78-82

1.2 Perumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

Prinsip sopan santun apa sajakah yang terdapat dalam kisah nabi Sulaiman a.s dalam Al-Qur’an ditinjau dari segi pragmatik?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui prinsip sopan santun yang terdapat dalam kisah nabi Sulaiman a.s dalam Al-Qur’an ditinjau dari segi pragmatik.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Menambah wawasan keilmuan penulis dan pembaca tentang kisah-kisah nabi ditinjau dari segi pragmatik.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi disiplin ilmu bahasa Arab, khususnya bidang ilmu linguistik sehingga dapat menambah referensi linguistik bagi mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra khususnya di jurusan Sastra Arab.


(17)

1.5 Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu menjelaskan dan memaparkan tentang hal yang diteliti dengan jelas. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan mengambil data dari Al-Qur’an dan Terjemahan milik Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2003 penerbit Lirtawarta Putra Jakarta.

Dalam memindahkan tulisan Arab ke dalam tulisan Latin, peneliti memakai sistem transliterasi Arab Latin berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988.

Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Mengumpulkan refrensi atau buku yang berkaitan dengan judul penelitian. 2. Mengumpulkan data dari Al-Qur’an dan Terjemahan milik Departemen

Agama Republik Indonesia tahun 2003 penerbit Lirtawarta Putra Jakarta dan kemudian mengklarifikasinya.

3. Mempelajari data dengan membaca berulang-ulang dan menganalisis data dari referensi yaitu penulis berpedoman pada tafsir Al-Azhar oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).

4. Menyusun hasil penelitian secara sistematis dalam bentuk laporan ilmiah yang kemudian disajikan dalam bentuk skripsi.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Linguistik sebagai ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia dalam peerkembangannya memiliki beberapa cabang. Cabang-cabang linguistik secara berurut-urut dapat disebutkan sebagai berikut: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Levinson dalam Rahardi (2005 : 48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.

Parker dalam Rahardi (2005 : 48) menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal.

Menurut Al-Khuli (1982 : 222) pragmatik adalah

/’ilmu rumuzi, dirasatu rumuzi lugawiyatu wa rumuzi gayra al-lugawiyatu/ ‘ilmu yang mempelajari simbol-simbol bahasa dan simbol-simbol yang bukan bahasa’.

Pragmatik adalah studi bahasa yang mendasarkan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan.

Bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial. Sepeti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lain, kegiatan bertutur dapat berlangsung baik apabila para peserta pertuturan itu semuanya bersikap aktif di dalam proses bertutur tersebut. Agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar, mereka harus bekerja sama. Bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya, dapat dilakukan dengan berprilaku sopan kepada pihak lain.

Agar pesan (message) dapat sampai dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut ini:


(19)

(1) prinsip kejelasan (clarity), (2) prinsip kepadatan (conciseness), dan (3) prinsip kelangsungan (directness). Prinsip-prinsip itu secara lengkap dituangkan dalam Prinsip Kerja Sama Grice (1975). Prinsip Kerja Sama Grice itu seluruhnya meliput i empat maksim yang satu per satu dapat disebutkan sebagai berikut: (1) maksim kuantitas (maxim of quantity), (2) maksim kualitas (maxim of quality), (3) maksim relevansi (maxim of relevance), (4) maksim pelaksanaan (maxim of manner). Tetapi maksim pelaksanaan pada Prinsip Kerja Sama Grice seringkali tidak dipatuhi atau bahkan harus dilanggar karena kesantunan bahasa banyak dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan, kekaburan, dan sebagainya. Oleh karena itu Prinsip Kerja Sama Grice tidak lagi banyak digunakan. Maka yang banyak digunakan sampai saat ini adalah Prinsip Sopan Santun Leech karena Prinsip Sopan Santun Leech dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relative paling komprehensif.

Sopan santun adalah suatu system hubungan antar manusia yang diciptakan untuk mempermudah hubungan dengan meminimalkan potensi konflik dan perlawanan yang melekat dalam segala kegiatan manusia.

Prinsip Sopan Santun terbagi atas enam maksim yaitu: maksim kebijaksanaan (taxt maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim penghargaan (approbation maxim), maksim kesederhanaan (modesty maxim), maksim permufakatan (agreement maxim), maksim simpati (sympathy maxim).

Dalam penelitian ini penulis hanya meneliti Prinsip Sopan Santun yang telah dirumuskan oleh Leech berdasarkan pada teori Henry Guntur Tarigan dan Kunjana Rahardi, karena Henry Guntur Tarigan dan Kunjana Rahardi saling melengkapi dalam mengkaji pragmatik.

Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim sebagai berikut: 1. Taxt maxim: Minimize cost to other. Maximize benefit to other. 2. Generosity maxim: Minimize benefit to self. Maximize cost to self. 3. Approbation maxim: Minimize dispraise. Maximize praise of other. 4. Modesty maxim: Minimize praise of self. Maximize dispraise of self. 5. Agreement maxim: Minimize disagreement between self and other.

Maximize agreement between self and other.

6. Sympathy maxim: Minimize antiphaty between self and other. Maximize sympathy between self and other. (Leech, 1983 : 119)

Tarigan (1990) menterjemahkan maksim-maksim dalam Prinsip Sopan Santun yang disampaikan Leech (1983) di atas berturut-turut sebagai berikut.


(20)

1. Maksim Kebijaksanaan Kurangi kerugian orang lain. Tambahi Keuntungan orang lain. 2. Maksim Kedermawanan Kurangi keuntungan diri sendiri. Tambahi pengorbanan diri sendiri. 3. Maksim Penghargaan

Kurangi cacian pada orang lain Tambahi pujian pada orang lain. 4. Maksim Kesederhanaan Kurangi pujian pada diri sendiri. Tambahi cacian pada diri sendiri. 5. Maksim Permufakaatan

Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. 6. Maksim Simpati

Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. (Tarigan, 1990: 82-83)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 704) maksim diartikan sebagai pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran umum tentang sifat manusia.

Dalam The Holt Intermediate Dictionary (Walters, 1966:482) maksim didefinisikan dengan general truth expressed as a wise saying, ‘Kebenaran diekspresikan/diungkapkan sebagai sebuah kalimat yang bijak’.

1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) /hikmatun labiqatun/)

Gagasan dasar dari maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur.

Sebagai pemerjelas atas pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini di dalam komunikasi yang sesungguhnya dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.


(21)

Tuan rumah :“Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami semua sudah mendahului.”

Tamu :”Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”

Dituturkan oleh seorang ibu kepada anak muda yang sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.

Contoh maksim kebijaksanaan dalam Al-Qur’an terdapat pada surat Yusuf ayat 4 dan 6, sebagai berikut:

Q.S Yusuf ayat 4

/iz qala yusufu liabihi ya’bati inni raaytu ahada `asyara kawakaban wa syamsa wa al-qamara ra’aytuhum li sajidina/’(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya:”Wahai ayahku sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan. Kulihat semuanya sujud kepadaku” ’.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya pada suatu ketika nabi Yusuf a.s memberitahukan kepada ayahnya nabi Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim bahwa ia bermimpi dan melihat dalam mimpinya itu sebelas buah bintang, matahari, dan bulan, semuanya tunduk dan sujud kepadanya. Tentu saja sujud disini bukanlah dengan arti menyembah seperti yang kita kenal, tetapi hanyalah sujud dengan arti kiasan yaitu tunduk dan patuh. Sujud dengan arti tunduk dan patuh itu ada juga terdapat dalam Al-Qur’an. Setelah mendengar cerita itu, mengertilah nabi Ya’qub a.s bahwa mimpi anaknya itu bukanlah mimpi biasa, sekedar hiasan tidur, tetapi mimpinya itu adalah suatu ilham dari Allah SWT sebagaimana kerapkali dialami oleh para nabi. Ia yakin bahwa anaknya ini akan menghadapi suatu urusan yang sangat penting dan setelah dewasa menjadi penguasa dimana masyarakat akan tunduk kepadanya tidak terkecuali saudara-saudaranya, dan tentulah mereka akan


(22)

merasa iri dan dengki terhadapnya dan berusaha untuk menyingkirkannya atau membinasakannya apalagi mereka telah merasa bahwa ayah mereka lebih banyak menumpahkan kasih sayang kepadanya. Tergambarlah dalam khayalnya bagaimana nasib anaknya bila mimpi itu diketahui oleh saudara-saudaranya, tentulah mereka dengan segala usaha dan tipu daya akan mencelakakannya.

Q.S Yusuf ayat 6

/qala yabunaya la taqsus ru’yaka ‘ala ikhwatika fayakidu laka kaidan inna syastana lil’insani ‘aduwwun mubinun/’Ayahnya berkata: “Hai anakku. Janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat maker (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata”.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya nabi Ya’qub a.s berkata kepada anaknya: Hai anakku jangan sekali-kali engkau beritahukan apa yang engkau lihat dalam mimpi itu, karena kalau sampai mereka mengetahuinya, mereka akan mengerti tabir mimpi itu dan mereka akan iri dan dengki terhadapmu. Aku melihat bahwa mimpi itu bukan sembarang mimpi. Mimpimu itu adalah sebagai ilham dari Allah SWT bahwa engkau dibelakang hari akan menjadi orang besar dan berpengaruh dan manusia akan tunduk patuh kepadamu termasuk saudaramu dan aku beserta ibumu. Aku tidak dapat menjamin bahwa saudara-saudaramu tidak akan melakukan tindakan-tindakan buruk terhadapmu karena memang manusia ini selalu diperdayakan oleh setan semenjak dari nabi Adam a.s sampai sekarang dan tetap akan memperdayakan sampai hari kiamat agar mereka tersesat dari jalan yang benar dan tetap akan membujuk dan merayunya untuk rela melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan agama dan prikemanusiaan. Nasihat ayahnya itu disadari sepenuhnya oleh nabi Yusuf a.s dan selalu diingat dan dikenangnya sehingga nanti pada akhir kisah ketika ia telah dapat bertemu dengan seluruh keluarganya ia tetap mengatakan bahwasannya


(23)

setanlah yang memperdayakan saudara-saudaranya sehingga terputus hubungan antara dia dengan keluarganya.

2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) /hikmatun sakhiyatun/)

Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.

Tuturan pada contoh berikut ini dapat memperjelas maksim kedermawanan. Anak kos A : “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak, kok,

yang kotor.”

Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok” Dari tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B.

Contoh maksim kedermawanan dalam Al-Qur’an terdapat pada surat Yusuf ayat 62, sebagai berikut:

Q.S Yusuf ayat 62

/wa qala lifityanihi aj`alu bida`atahum fi rihalihim la`allahum ya’rifuhunaha iza

Anqalabu ila ahlihim la’allahum yarji’una/’yusuf berkata kepada bujang-bujangnya: Umasukkanlah barang-barang (penukar kepunyaan mereka) ke

dalam karung-karung kepunyaan merekaU, supaya mereka mengetahui

apabila mereka telah kembali kepada keluarganya, mudah-mudahan mereka kembali lagi’.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya nabi Yusuf a.s memerintahkan kepada petugas-petugasnya yang mengurus bahan makanan agar semua


(24)

barang-barang yang dibawa oleh saudara-saudara Yusuf dimasukkan kembali ke dalam karung-karung bahan makanan tanpa setahu mereka. Barang-barang itu terdiri dari berbagai macam bahan hasil produksi padang pasir seperti kulit bulu domba dan lain sebagainya. Dengan mengembalikan barang-barang itu, nabi Yusuf a.s bermaksud supaya bila mereka sampai di kampung halaman dan membuka barang-barang itu semua dan terdapat didalamnya selain bahan makanan ada pula barang-barang dagangan yang mereka bawa sendiri, tentulah mereka akan menyadari sepenuhnya betapa baiknya hati penguasa Mesir itu, dan betapa tinggi budi dan jasanya terhadap mereka. Mereka telah diperlakukan sebagai tamu selama di Mesir kemudian diberi pula bahan makanan serta barang-barang dagangan mereka sendiri dikembalikan, lagi pula seakan-akan bahan makanan yang sepuluh pikul itu diberikan kepada mereka secara cuma-cuma sebagai hadiah yang bagi mereka sendiri sangat diperlukan dan tak ternilai harganya. Dengan kesadaran itu semoga timbullah tekad yang kuat dalam hati mereka untuk kembali ke Mesir membawa barang-barang dan membawa Bunyamin sekaligus sebagaimana diamanatkan oleh nabi Yusuf a.s.

3. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

/hikmatun istihsāniyatun/)

Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur yang lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Karena merupakan perbuatan tidak baik, perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya. Tuturan pada contoh berikut ini dapat memperjelas maksim penghargaan.

Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”


(25)

Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.

Contoh maksim penghargaan dalam Al-Qur’an terdapat pada surat Al-Qashash ayat 84, sebagai berikut:

Q.S Al-Qashash ayat 84

/man ja’ala bi al-hasanati falahu khayrun minha wa man ja’a bissayy’ati fala yujza allazina ‘amilu sayyiati illa ma kanu ya’maluna/’Barang siapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu. Dan barang siapa yang datang dengan (membawa) kejahatan maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan seimbang dengan apa yang dahulu mereka kerjakan’.

Berdasarkan kutipan diatas Allah SWT menerangkan bahwa barangsiapa di akhirat nanti datang dengan suatu amal kebajikan, akan dibalas dengan yang lebih baik, akan dilipat gandakan sebanyak-banyaknya, tidak ada yang

mengetahui kecuali Allah SWT sebagai karunia dan rahmat dari pada-Nya. Sebaliknya orang yang datang dihari kiamat dengan membawa satu kejahatan, maka ia akan dibalas oleh Allah SWT hanya setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya sebagai rahmat dan keadilan dari pada-Nya.

4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) /hikmatun

mutawādi’atun/)

Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.


(26)

Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang.

Tuturan pada contoh berikut ini dapat memperjelas maksim kesederhanaan.

Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan do’a dulu, ya! Anda yang memimpin”.

Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi, saya jelek, lho.”

Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka.

Contoh maksim kesederhanaan dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Qashash ayat 33, sebagai berikut:

Q.S Al-Qashash ayat 33

/qala rabbi inni qataltu minhum nafsan fa’akhafu `an yaqtuluni/’Musa berkata: Ya Tuhanku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku” ‘.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya nabi Musa a.s mengadukan kepada Tuhannya bahwa dahulu beliau pernah membunuh seorang Qibti di Mesir. Hal itu telah tersiar luas dikalangan orang Mesir, dan Fir’aun telah menetapkan akan membunuhnya. Sungguh hal itu sangat mengkhawatirkannya, siapa tahu baru saja beliau tiba disana, Fir’aun dan kaumnya telah bersiap-siap untuk membunuhnya. Dengan demikian akan terlantarlah risalah yang Tuhan bebankan kepadanya.

5. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim) /hikmatun

itifāqiyatun/)

Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila


(27)

terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.

Tuturan pada contoh berikut ini dapat memperjelas maksim permufakatan. Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”

Yuyun : “ Boleh. Saya tunggu di Banbu Resto.”

Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruang kelas.”

Contoh maksim permufakatan dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-A’raf ayat 115-116, sebagai berikut:

Q.S Al-A’raaf ayat 115

/qalu yamusa imam antulqiya wa imam `antulqiya wa imam annakuna nahnu al-mulqina/’Ahli-ahli sihir berkata: “Hai Musa, kamukah yang melemparkan lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan?” ‘

Q.S Al-A’raaf ayat 116

/qala `alqu falamma alqaw saharu ‘ayuna annasi wa `astarhabuhum wa ja’u bisihrin ‘azimin/’Musa menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!” maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata dan menjadikan orang banyak itu takut serta mereka itu mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya nabi Musa a.s melakukan kesepakatan kepada ahli-ahli sihir untuk menentukan siapa yang lebih dahulu melemparkan tongkat. Nabi Musa a.s dengan penampilan yang menyejukkan, menjawab para penyihir itu agar mereka yang memulainya terlebih dahulu.


(28)

Seperti disebutkan pada ayat kedua, ia (Musa) menjawab, “Lemparkanlah (lebih dahulu)!. Ketika para penyihir melemparkan tali-temalinya bersama benda yang lain ke tanah, mereka mempesonakan para penonton dan melakukan aksi mereka yang penuh tipu daya dan menghasut, berhasil menakut-nakuti para penonton secara tiba-tiba sambil terus melancarkan teror ke hadapan para penonton. Mereka membuat sihir yang menakjubkan. Lanjutan ayat ini mengatakan,…maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyihir orang-orang yang hadir dan membuatnya takut dengan menadatangkan sihir yang besar (menakjubkan). Kata sihr dalam bahasa Arab mengandung arti: ‘kebohongan, penipuan, ketangkasan dan keahlian bermain sulap’. Terkadang juga berarti: ‘apa saja yang merupakan sebab dan motif dari sesuatu yang tidak terlihat’.

6. Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

/

hikmatun ta‘atafiyatun/

Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Kesimpatisan terhadap pihak lain sering ditunjukkan dengan senyuman, angguka n, gandengan tangan, dan sebagainya.

Tuturan pada contoh berikut ini dapat memperjelas maksim Simpati. Ani : “Tut, nenekku meninggal.”

Tuti : “Innalillahiwainnailaihi rojiun. Ikut berduka cita”.

Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka.

Contoh maksim simpati dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Yusuf ayat 31, sebagai berikut:


(29)

Q.S Yusuf ayat 31

/falamma sami’at bimakrihinna arsalat ilayhinna wa a’tadat lahunna muttaka’an wa atat kulla wahidatin minhunna sikkinan wa qalati akhruju ‘alayhinna falamma raaynahu akbarnahu wa qatta’na aydiyahunna wa qulna hasya lillahi ma haza basyaran `in haza `illa malakun karimun/ ‘Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka." Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia” ‘.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya Zulaikha mendengar berita tentang dirinya yang menybabkan ia merasa marah bercampur malu. Dia tidak mengira bahwa berita mengenai dirinya akan tersebar luas seperti itu, sebab telah cukup usahanya untuk menutupi rahasia itu. Maka dia mencari akal, bagaimana caranya menutup malu yang sudah tersebar luas itu. Maka diundangnyalah perempuan-perempuan terkemuka itu datang ke rumahnya menghadiri suatu jamuan. Untuk pesta itu sudah diatur tempat sebaik-baiknya. Makanan yang enak-enak sudah disediakan, minuman yang berbagai macam sudah disiapkan. Tidak ketinggalan persediaan buah-buahan yang ranum dan manis yang bermacam jenis dan ragamnya. Di meja makanan sudah disusun kursi-kursi yang bagus untuk dapat duduk bersantai, menikmati makanan-makanan dan buah-buahan yang lezat cita rasanya. Undangan ini mendapat sambutan yang hangat, lebih-lebih dari perempuan-perempuan yang ingin mengetahui kejadian yang sudah menjadi buah bibir selama ini, terutama ingin melihat anak muda yang bernama Yusuf itu. Meriah sekali pesta itu. Gelak ketawa bersahut-sahutan, omong dan kelakar


(30)

menjadi-jadi. Bermacam makanan yang dihidangkan tidak putus-putusnya, habis satu datang yang lain. Begitu juga minum-minuman. Terakhir sekali dihidangkan buah-buahan. Kepada masing-masing yang hadir diserahkan sebuah pisau untuk mengupas buah-buahan. Zulaikha yang menjadi nyonya rumah memerintahkan kepada Yusuf untuk keluar ke tengah-tengah para tamu yang sedang duduk bersantai memotong buah-buahan untuk memperkenalkan dirinya. Maka keluarlah Yusuf di hadapan tamu-tamu itu. Baru saja perempuan-perempuan itu melihat wajah Yusuf yang elok itu seperti bulan purnama raya, kagumlah mereka melihatnya, bahkan lupa akan diri mereka masing-masing, terpesona oleh kegagahan (ketampanan) Yusuf. Dengan tidak sadar, pisau yang ada di tangan mereka, mereka potongkan ke tangan dan jari mereka sendiri dan mereka tidak merasakan sakit perihnya.


(31)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Jenis Maksim Yang Terdapat Pada Kisah Nabi Sulaiman a.s Dalam Al-Qur’an

3.1.1 Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) /hikmatun

labiqatun/)

Pada kisah nabi Sulaiman a.s dalam al-Qur’an maksim kebijaksanaan (Tact Maxim) /hikmatun labiqatun/) berjumlah 6 (enam) terdapat dalam surat An-Naml ayat 20, 21, 27, 28, 41 dan 42, sebagai berikut:

Q.S An-Naml ayat 20

/wa tafaqqada al-tayra faqala ma liya la `ara al-hud-huda `am kana mina

al-ga`ibin/ ‘UDan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: "Mengapa

aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir?U’

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya nabi Sulaiman a.s mempunyai tentara, dan diantaranya terdapat sejenis burung yang bernama Hud-hud. Burung Hud-hud termasuk jenis burung pemakan serangga, yaitu sejenis burung pelatuk. Ia mempunyai paruh yang panjang, berjambul dikepalanya, berekor panjang, dan berbulu indah beraneka warna. Ia hidup dengan membuat sarang atau lubang pada pohon-pohon kayu yang telah mati. Nabi Sulaiman a.s selalu memeriksa tentaranya itu, karena itu ia mengetahui tentara yang hadir dan yang tidak hadir waktu pemeriksaan itu. Setiap tentaranya berpergian atau melakukan sesuatu pekerjaan hendaklah mendapat izin dari padanya terlebih dahulu. Jika ada yang melanggar ketentuan ini akan mendapat hukuman dari nabi Sulaiman a.s. tentara nabi Sulaiman a.s itu mengikuti segala perintahnya dengan patuh dan tidak pernah ada yang mengingkarinya. Karena itu nabi Sulaiman a.s merasa heran dan tercengang atas kepergian burung Hud-hud tanpa pamit. Tidak pernah terjadi kejadian demikian itu sebelumnya. Karena itu ia mengancam burung Hud-hud


(32)

dengan hukuman yang berat seandainya nanti burung itu kembali tanpa mengemukakan alasan-alasan yang dapat diterima.

Q.S An-Naml ayat 21

/la`u ‘azzibannahu ‘azaban syadidan `au la`azbahannahu au laya`tiyanni bisultanin mubinin/ ‘Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang’.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya ayat ini menerangkan ancaman nabi Sulaiman a.s kepada burung Hud-hud yang pergi tanpa pamit, waktu ia memeriksa tentaranya, ia berkata : “seandainya burung Hud-hud kembali nanti, tanpa mengemukakan alasan yang kuat atas kepergiannya dengan tidak minta izin itu, maka aku akan menyiksanya dengan mencabut bulu-bulunya sehingga ia tidak dapat terbang lagi atau akan kusembelih. Salah satu dari dua hukuman itu akan aku laksanakan terhadapnya, agar dapat menjadi pengajaran bagi yang lain, yang bertidak seperti burung Hud-hud itu. Dari ayat ini dipahamkan bahwa jika burung Hud-hud itu dapat mengemukakan alasan-alasan kepergiannya tanpa pamit itu dan alasan-alasan itu dapat diyakini kebenarannya. Maka nabi Sulaiman a.s tidak akan melaksanakan hukuman yang telah diancamkan itu.

Q.S An-Naml ayat 27

/qala sananzuru `asadaqta `am kunta min al-kazibina/ ‘Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta’.

Berdasarkan kutipan tersebut bahwasannya cara sambutan seorang raja jelas terlihat benar dalam kata-kata nabi Sulaiman a.s. Meskipun perkataan itu sangat penting dan meyakinkan tetapi nabi Sulaiman a.s tidak langsung menyambut begitu saja. Beliau akan memeriksa terlebih dahulu kebenaran berita itu, benarkah berita si burung atau dia termasuk orang-orang pendusta.


(33)

Q.S An-Naml ayat 28

/azhab bikitabi haza fa`alqihi ‘ilayhim summa tawallu ‘anhum fanzur maza yarzi’una/ ‘Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan’.

Berdasarkan kutipan tersebut bahwasannya ini merupakan ujian pertama tentang benar atau dustanya perkataan si burung. Dia harus terbang kembali ke negeri itu dengan membawa surat dari nabi Sulaiman a.s. Kemudian setelah burung itu mengantarkan surat, nabi Sulaiman a.s memerintahkan kepada burung untuk terbang ke tempat yang aman di dalam istana itu juga agar tidak tertangkap oleh mereka dan hendaknya si burung itu memperhatikan bagaimana sambutan dari mereka, bagaimana sikap yang mereka ambil setelah menerima surat itu.

Q.S An-Naml ayat 41

/qala nakiru laha ‘arsyaha nanzuru `atahtadi `am takunu mina allazina la yahtadun/ ‘Dia berkata: "Robahlah baginya singgasananya; maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal(nya)” ‘.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya nabi Sulaiman a.s memerintahkan kepada pemimpin-pemimpin kaumnya, agar merubah sebahagian bentuk dari singgasana Ratu Balqis. Maksud dari nabi Sulaiman a.s merubah singgasana Ratu Bilqis untuk menguji apakah Ratu Balqis dapat mengenal singgasananya sendiri atau tidak, supaya kesan yang tinggal dalam diri Ratu tersebut ialah bahwa nabi Sulaiman a.s bukanlah semata-mata seorang Raja besar yang ingin menaklukkannya dan mengakui kekuasaannya sebagai seorang Raja yang kecil dan demikian nabi Sulaiman a.s memperluas daerah. Dengan cara yang demikan itu diharapkan agar Ratu Balqis bertambah yakin bahwa Sulaiman adalah Rasul Allah, ia tidak mengharapkan sesuatu selain keimanan Ratu Balqis.


(34)

Q.S An-Naml ayat 42

/falamma ja`at qila `ahakaza ‘arsyuki qalat ka`annahu huwa wa `aw tina al-‘ilma min qabliha wa kunna muslimina/ ‘Dan ketika Bilqis datang, ditanyakanlah kepadanya: "Serupa inikah singgasanamu?" Dia menjawab: "Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnyadan kami adalah orang-orang yang berserah diri."

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya setelah Ratu Balqis tiba di Palestina tentu diperhatikannya secara seksama singgasana tersebut. Berubah warnanya, tetapi bentuknya serupa juga dengan yang dia punya. Di sana sini ada yang serupa tetapi akan dipastikan dia punya, dia tidak berani. Karena ia ingat betul bahwa singgasananya itu telah dibuatkannya keranda besar tujuh lapis, dikunci pula dari luar. sebagai Ratu yang bijaksana, hatinya sudah mendapat firasat bahwa memang singgasananya yang telah dipindahkan dengan Mu’jizat nabi Sulaiman a.s sebagai seorang nabi Allah ketempat ini. Oleh sebab itu ditumpahkannya terus apa yang terasa di hatinya sejak dia melangkah meninggalkan kerajaannya: “Dan kami telah diberi pengetahuan sebelumnya”. Bahwa beliau itu memang bukan seorang Raja besar yang ingin memperluas daerah. Jika kami disuruh datang menyerah, bukanlah menyerah kepada beliau, melainkan menyerahkan diri kepada Allah SWT, menjadi orang islam, tidak lagi memegang kepercayaan yang lama.

3.1.2 Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) /hikmatun sakhiyatun/)

Pada kisah nabi Sulaiman a.s dalam al-Qur’an maksim kedermawanan (Generosity Maxim) /hikmatun sakhiyatun/) berjumlah 2 (dua) terdapat dalam surat Shaad ayat 32 dan 40, sebagai berikut:


(35)

Q.S Shaad ayat 32

/faqala `inni `ahbabtu hubba khayri ‘an zikri rabbi hatta tawarat bi al-hijabi/’

‘maka ia berkata: “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan’.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya nabi Sulaiman a.s menyukai kuda karena kuda itu sangat berguna untuk digunakan sebagai alat menegakkan kebenaran dan membela agama Allah. Kesenangannya melatih kuda itu sedemikian mencekam dirinya, sehingga tiap sore hari ia mengunjungi hingga matahari terbenam di ufuk bagian barat yaitu hingga cahaya matahari mulai sirna dan gelapnya malam menghalangi pemandangannya untuk menyaksikan latihan itu. Pada saat-saat itulah terjadi pergolakan dalam dirinya, kepentingan manakah yang harus didahulukan di antara kedua kepentingan. Kepentingan pertama ialah kesadaran jiwanya untuk beribadah kepada Allah, sedangkan kepentingan kedua ialah melatih kuda untuk kepentingan menegakkan kebenaran dan membela kalimat Tauhid. Dalam keadaan seperti itu ia menyadari bahwa apabila ia menyaksikan latihan berkuda itu hingga larut, berarti ia mengabaikan ibadah yang harus ia lakukan. Namun dapat dipahami dari ayat tersebut bahwasannya pada saat nabi Sulaiman a.s menyaksikan latihan kuda, terbetiklah dalam hatinya adanya kesadaran untuk beribadah kepada Allah, yang apabila keasikkannya melihat kuda itu dituruti niscaya berlarut-larut hingga kehilangan kesempatannya untuk bermunajat dengan Allah. Maka pengetian yang dapat diambil dari ayat ini adalah, pergolakan yang terjadi pada diri nabi Sulaiman a.s itu penyesalan karena tidak melakukan ibadah kepada Allah pada awal waktunya, karena sibuk menyaksikan latihan kuda.


(36)

/wa inna lahu ‘indana lazulfa wa husna ma`abin/ ‘Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan mempunyai tempat kembali yang baik’.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya Allah SWT menjelaskan bahwa disamping kemuliaan yang telah dicapainya di dunia, yang sangat menakjubkan itu, ia akan dilimpahi karunia yang lebih nikmat lagi dan kedudukannya yang lebih mulia. Allah menjanjikan kepadanya bahwa ia akan dimasukkan dalam deretan hamba-hambaNya yang mempunyai kedudukan yang sangat dekat kepada Allah, yaitu kedudukan yang diperoleh para rasul dan para nabi, tempat kembali yang baik yaitu surga na’m yang penuh dengan segala macam kenikmatan.

3.1.3 Maksim Penghargaan (Approbation Maxim) /hikmatun

istihsāniyatun/)

Pada kisah nabi Sulaiman a.s dalam al-Qur’an maksim penghargaan (Approbation Maxim) /hikmatun istihsāniyatun/) berjumlah 10 (sepuluh), terdapat dalam surat Baqarah ayat 102, An-Nisaa’ ayat 163, Al-An’aam ayat 84, Al-Anbiya ayat 81, An-Naml ayat 15, 17 & 44, Saba ayat 12, dan Shaad ayat 30 & 34 sebagai berikut.


(37)

/wa attaba’u ma tatlu al-syayatini ‘ala mulki sulaymana wa ma kafara sulaymanu walakinna al-syayatina kafaru yu’alimuna annasi assihra wa ma `unzila ‘ala al-malakayni bibabili haruta wa maruta wa ma yu’alimani min `ahadin hatta yaqula `innama nahnu fitnatun fala takfur fayata’allamuna minhuma ma yufarriqunabihi bayna al-mar`i wa zawjihi wa ma hum bidarrinabihi min `ahadin `illa bi`iznillahi wa yata’allamuna ma yadurruhum wa la yafa’uhum walaqad ‘alimu lamanisytarahu malahu fi al-akhirati min khalaqi walabi`sa ma syarawbihi `anfusahum laukanu ya’lamuna/’ Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaita pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya Allah SWT memberitakan bahwa ada satu golongan dari Yahudi yang menolak kitab suci dan mengikuti apa yang dibacakan setan. Karena an-nabaz (melemparkan) kebalikan dari al-itba’ (mengikuti) sedangkan maksud dari “mereka mengikuti” adalah mereka mengikuti jalan petunjuk yang dibaca oleh setan pada masa kerajaan Sulaiman. Tradisi ini terus berlangsung hingga sekarang. Seolah-olah mereka tidak membatasi masalah dengan waktu tertentu. Sampai saat ini masih ditemukan sebagian kaum Yahudi yang mengikuti apa yang dibacakan setan pada masa kerajaan Sulaiman. Ini merupakan bukti bahwa mereka masih beriman dan membenarkan tradisi nenek moyang dalam mengikuti ajaran setan tersebut. Setan adalah makhluk durhaka dari jenis jin. Sedangkan jin ada yang durhaka, ada yang taat dan juga ada yang beriman. Dengan demikian jin ada yang mukmin dan ada yang kafir. Yang mukmin itu pun jin ada yang taat dan ada yang berbuat maksiat. Sedangkan setan adalah jin pembangkang terhadap manhaj Allah. Maka setiap


(38)

yang membangkak dari manhaj Allah dinamakan setan, baik dari jenis jin maupun manusia.

An-Nisaa’ 163

/inna `aw hayna ilayka kama aw hayna ila nawhin wa nabiyyina min ba’dihi wa aw hayna ila ibrahima wa isma’ila wa ishaqa wa ya’quba wa al-asbati wa ‘isa wa ayyuba wa yunusa wa haruna wa sulaymana wa atayna dawuda zuburan/ ‘Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud’. Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya ada orang-orang Yahudi dan Nasrani hanya mau percaya sebahagian rasul dan tidak percaya kepada yang lain. Percaya kepada Musa, tidak percaya kepada Isa dan Muhammad. Padahal isi pengajaran sekalian rasul itu hanyalah satu. Maka datanglah ayat ini menegaskan kepada Muhammad, untuk disampaikan kepada seluruh manusia yang mau beriman. Disinilah dijelaskan bahwa perintah Allah yang disampaikan kepada rasul-rasul itu, sejak Nuh sampai kepada nabi-nabi yang dibelakangnya adalah berupa wahyu. Wahyu bukanlah suatu kitab tertulis di atas batu lalu dikirim dari langit. Sebagaimana yang mereka minta itu. Bahkan batu untuk menuliskan wahyu 10 kepada Musa pun dilukiskan sesudah diwahyukan, di atas batu di bumi ini juga, batu dari gunung Sina. Wahyu yang demikian itulah yang diterima oleh nabi Muhammad SAWyang telah tersusun menjadi Al-Qur’an, dan wahyu yang begitu pula yang diterima oleh nabi Nuh dan nabi-nabi sesudahnya. Dikhususkan pula nama-nama itu, meskipun terang dalam sejarah bahwa Harun terlebih dahulu datangnya dari Isa dan Sulaiman dan terdahulu dari Yunus, demikian juga Ayyub, sebab rasul-rasul itu dikenal namanya semua oleh orang Yahudi itu, tetapi didahulukan menyebut Isa, sebab mereka tidak mau mengakui beliau.


(39)

Q.S Al-An’aam ayat 84

/wa wahabnalahu `ishaqa wa ya’quba kuullan hadayna wa nuhan hadayna min qablu wa min zurriyatihi dawuda wa sulaymana wa `ayyuba wa yusufa wa musa wa haruna wa kazalika najri al-muhsinina/ ‘Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya Allah SWT menjelaskan: “ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun dari ciptaan Ku, kecuali jika memang Aku ditetapkan itu sebagai haknya. Yang Aku berikan kepada makhluk Ku tidak lebih dari hibah atau pemberian saja”. Hibah yang paling besar bagi manusia adalah ketika ia dijadikan khalifah dimuka bumi, dan setelah itu hibah dengan tingkatan sedang dan kecilpun diturunkan-Nya. Allah SWT menjelaskan bahwa dia telah memberikan Ishak kepada Ibrahim, dan setelah Ishak lahirlah cucu Ibrahim yang bernama Ya’qub. Sebagai manusia kita tahu benar akan hokum alam bahwa semua kita akan mati tanpa terkecuali. Ketika manusia menanjak tua dia akan menginginkan anak yang dapat melanjutkan namanya dalam hidup ini seakan-akan menjadi jaminan baginya. Ketika cucu lahir kedunia, maka sang kakek merasa telah hidup kembali di generasi yang lain.

Q.S Al-Anbiya ayat 81

/wa lisulaymana al-riha ‘asifatan tajri bi`amrihi `ila al-ardi allati barakna fiha wwa kunna bikulli sya`in ‘alimin/ ‘Dan (telah Kami tundukkan) untuk


(40)

Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya Allah SWT mulai menyebutkan nikmat-Nya yang khusus dilimpahkan Nya kepada nabi Sulaiman a.s, yaitu bahwa Dia telah menundukka n angin tersebut dengan patuh melakukan apa yang diperintahkannya. Misalnya angin tersebut berhembus kearah negeri tertentu, dengan hembusan yang keras dan kencang ataupun lunak dan lambat, sesuai dengan kehendak nabi Sulaiman a.s. pada akhir ayat ini Allah SWT menegaskan, bahwa Dia senantiasa mengetahui segala sesuatu, sehingga tidak sesuatu pun tersembunyi bagi Nya. Angin yang berhembus keras itu, dapat dipergunakan oleh nabi Sulaiman a.s dengan petunjuk Allah SWT. ”bertiup dengan perintahnya ke bumi yang Kami beri berkat padanya”. Angin yang diperintah nabi Sulaiman a.s mula-mula berkumpul laksana gunung besar. Kemudian beliau perintah mengangkat permadani tempat beliau sedang semayam dihadapi oleh pembesar-pembesar. Setelah terangkat beliau perintahkan kuda bersayap mengangkat dan jadi kendaraan. Lalu beliau perintahkan angin mengangkat lebih tinggi, sampai mendekati langit. Pada saat itu nabi Sulaiman a.s melihat ke kanan dan ke kiri, ingat akan kebesaran Allah dan bersyukur kepada Tuhan, karena dengan tamasya yang begitu ariflah nabi Sulaiman a.s bahwa kekuasaan dan kerajaannya itu tidak berarti dibandingkan dengan kekuasaan dan kerajaan Allah SWT.

An-Naml ayat 15

/wa laqad `atayna dawuda wa sulaymana ‘ilman wa qala alhamdulillahi allazi faddalna ‘ala kasirin min ‘ibadihi al-mu`minina/’Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman’.


(41)

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya Allah SWT telah menganugerahkan kepada nabi Daud a.s dan kepada puteranya nabi Sulaiman a.s ilmu pengetahuan, baik yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan ketuhanan dan syari’at-syari’atnya, maupun yang berhubungan dengan pengetahuan umum, seperti kemampuan memimpin dan mengatur bangsanya. Kedua nabi ini tidak saja memiliki pengetahuan tetapi juga mengamalkannya dengan baik, maka ilmu pengetahuan yang dipunyai oleh masing-masing nabi itu berfaedah bagi dirinya sendiri, bagi masyarakat, nikmat dan umatnya di dunia dan di akhirat kelak . karena mensyukuri dengan mengucapkan “alhamdulillahil lazi faddalana ‘alakasirin mim ibadihil mu’minin” artinya “ segala puji bagi Allah yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba yang beriman”. Sikap nabi Daud a.s dan nabi Sulaiman a.s dalam menerima nikmat Allah itu, suatu sikap yang terpuji. Karena itu para ulama menganjurkan agar kaum muslimin meneladani sikap seorang hamba mengucapkan hamdalah (alhamdulillah = segala puji bagi Allah). Hal ini berarti bahwa hamba yang menerima nikmat itu, benar-benar merasakan bahwa yang diterimanya itu benar-benar merupakan pernyataan kasih sayang Allah SWT kepadanya dan ia merasa bahwa ia benar-benar memerlukan nikmat Allah SWT. Tanpa nikmat itu ia tidak akan hidup dan merasakan kebahagiaan.

Q.S An-Naml ayat 17

/wa husyira lisulaymana junuduhu mina al-jinni wa al-`insi wa al-tayri fahum yuza’un/ ‘Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya nabi Sulaiman a.s telah dapat membentuk suatu bala tentara yang terdiri dari berbagai macam-macam jenis makhluk Allah, seperti jin, manusia, burung-burung dan binatang-binatang yang lain, yang setiap saat dikerahkan untuk memerangi orang-orang yang tidak mau


(42)

mengindahkan seruannya. Semua tentara tersusun rapi, bersatu dan berkumpul dibawah pimpinannya.

Q.S An-Naml ayat 44

/qila lahu adkhuli al-sarha falamma ra `athu hasibathu lujjatan wa kasyafat ‘an saqayha qala innahu sarhun mumarradun mina qawarira qalat rabbi `inni zalamtu nafsi wa `aslamtu ma’a sulaymana lillahi rabbi al-‘alamina/ ‘Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana." Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca." Berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam’.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya untuk menyambut kedatangan Ratu Balqis, nabi Sulaiman a.s telah membuat sebuah mahligai yang sangat indah, yang dalam mahligai itu akan diletakkan singgasananya dan dia akan duduk bersanding dengan nabi Sulaiman a.s

Q.S Saba ayat 12

/wa lisulymana al-riha guduwwha syahrun wa rawa huha syahrun wa `asalnalahu ‘ayna al-qitri wa mina al-jinni man ya’malu bayna yadayhi bi`izni rabbihi wa man yazig minhum ‘an `amri na nuziqhu min ‘azabi al-sa’iri/. ‘Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya


(43)

(di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya dengan izin Allah SWT, nabi Sulaiman a.s berhasil mengendalikan angin selama dalam perjalanan dengan kapal. Sampai ada yang menyebutkan, beliau berhasil keluar dari Yerussalem dan tidur siang di Istikhar, kemudian bermalam di Khurasan. Pada ayat ini diberikan penjelasan kepada orang-orang yang masih ragu-ragu selama ini lalu memuliakan jin, memandang bahwa jin itu makhluk halus, yang sangat ditakuti dan manusia hendaknya memujanya supaya jangan dianiayanya. Telah dijelaskan bahwa diantara mereka ada yang dijadikan kuli pekerja oleh nabi Sulaiman a.s dengan izin Tuhan. Dengan ini didapat pula kesan bahwa seseorang yang telah dekat kepada Tuhan, dapatlah memerintah jin, bahkan dapat mengatur dan memerintah makhluk yang lain dengan izin Allah SWT.

Q.S Shaad ayat 30

/wa wahabna lidawuda li sulaymana ni’ma al-abdu `innahu `awabun/ ‘Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)’

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya Allah SWT menjelaskan bahwa Daud yang dianugerahi putra yang saleh yang mempunyai kemampuan melanjutkan perjuangannya, bernama Sulaiman. Ia mewarisi sifat-ifat ayahnya. Ia terkenal sebagai hamba yang taat beribadah dan dalam segala urusan ia memulangkan puji kepada Allah atas dasar keyakinannya bahwa segala macam kenikmatan dan keindahan itu terwujud hanyalah semata-mata bahwa segala kenikmatan dan keindahan itu terwujud hanyalah semata-mata karena limpahan rahmat Allah dan taufik-Nya. Itulah sebabnya maka ia disebut sebagai hamba Allah yang paling baik dan sebagai pujian yang pantas diberikan kepadanya Allah menyifatinya sebagai hamba-Nya yang amat taat kepada Tuhannya.dengan demikan Allah mengangkat nabi Sulaiman a.s menjadi nabi menggantikan dan


(44)

meneruskan kenabian dan kerajaan nabi Daud a.s serta mewarisi ilmu pengetahuannya yang tertuang dalam kitab zabur.

Q.S Shad ayat 34

/wa laqad fatanna sulaymana wa `alqayna ‘ala kursiyyihi jasadan summa `anaban/ ‘Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya Allah SWT menjelaskan keadaan nabi Sulaiman a.s pada saaat mendapat cobaan dan keadaannya setelah selesai menghadapi cobaan itu. Allah SWT mencobanya dengan menimpakan sakit keras. Demikian hebatnya serangan penyakitnya itu hingga kehilangan kekuatan sama sekali. Badannya lemah lunglai tergeletak diatas kursinya seolah-olah tak bernyawa lagi. Disaat-saat menerima cobaan seperti itu, ia selalu meluangkan harapannya kepada Allah serta menerima cobaan itu dengan ikhlas. Pada penghujung ayat Allah SWT menegaskan bahwa nabi Sulaiman lalu bertaubat meminta ampun atas kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya serta berserah diri kepada Allah SWT.

3.1.4 Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) /hikmatun

mutawādi’atun/)

Pada kisah nabi Sulaiman a.s dalam al-Qur’an maksim kesederhanaan (Modesty Maxim) /hikmatun mutawādi’atun/) berjumlah 8 (delapan) terdapat dalam surat An-Naml ayat 15, 16, 19, 35, 36, 37, 40, dan 43 sebagai berikut:


(45)

Q.S An-Naml ayat 15

/wa laqad `atayna dawuda wa sulaymana ‘ilman wa qala alhamdulillahi allazi faddalana ‘ala kasirin min ‘ibadihi al-mu`minina/ ‘Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman” ‘

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya sikap nabi Daud a.s dan nabi Sulaiman a.s dalam menerima nikmat Allah itu, suatu sikap yang terpuji. Karena itu para ulama menganjurkan agar kaum muslimin meneladani sikap seorang hamba mengucapkan hamdalah (alhamdulillah = segala puji bagi Allah). Hal ini berarti bahwa hamba yang menerima nikmat itu, benar-benar merasakan bahwa yang diterimanya itu benar-benar merupakan pernyataan kasih sayang Allah SWT kepadanya dan ia merasa bahwa ia benar-benar memerlukan nikmat Allah SWT. Tanpa nikmat itu ia tidak akan hidup dan merasakan kebahagiaan.

An-Naml ayat 16

/wa warisa sulaymanu dawuda wa qala ya`ayyuha annasu ‘ulimna mantiqa al-atayri wa `utina min kulli syai`in `inna haza lahuwa al-fadlu al-mubinu/ ‘Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata” ‘.

Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya yang dimaksud dengan mewarisi disini adalah bukan mewarisi emas atau perak melainkan menerima waris nubuwwat dan kerajaan. Mu’jizat beliau yang terbesar adalah kesanggupannya mengetahui percakapan burung-burung maka tanda bersyukur nabi Sulaiman a.s kepada Allah SWT tidaklah beliau sembunyikan hal itu. Pada ayat ini


(46)

menerangkan bahwa nabi Sulaiman a.s putera nabi Daud a.s menggantikan bapaknya sebagai kepala pemerintahan dan sebagai rasul Allah, menurut Ibnu ‘Attiyah: “Daud adalah raja dan rasul Allah, yang diutus Nya kepada Bani Israil jabatan ini dipegang oleh Sulaiman setelah bapaknya itu meninggal dunia. Karena Sulaiman menerima kedua jabatan itu setelah bapaknya meninggal dunia, maka disebutlah dalam ayat ini: dan Sulaiman telah mewarisi Daud”. Nabi Sulaiman a.s dengan kekuatan dan kesanggupan yang telah diberikan Allah SWT kepadanya, telah dapat memahami suara-suara binatang-binatang yang lain, selain suara burung. Dalam ayat ini dikhususkan menyebutkan bahwa nabi Sulaiman a.s memahami suara burung adalah karena burung adalah tentara khusus nabi Sulaiman a.s yang mempunyai keistimewaan khusus pula, seperti yang telah dilakukan oleh burung Hud-hud.

An-Naml ayat 19

/fatabassama dahikan min qawliha wa qala rabbi awzi’ni an asykura ni’mataka allati an’amta ‘alayya wa ‘ala walidayya wa an a’mala salihan tardahu wa adkhilni birahmatika fi ‘ibadika salihina/ ‘maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh’. Berdasarkan kutipan diatas bahwasannya nabi Sulaiman a.s sangat mensyukuri karena ilmu yang dianugerahkan Tuhan kepadanya dapat mengetahui perkataan semut sehingga beliau dapat mengetahui kehidupan semut. Di samping nikmat-nikmat yang lain: nikmat kekuasaan, nikmat kerajaan, nikmat nubuwwat terutama dan nikmat dapat menguasai pula makhluk-makhluk halus. “Dan kedua ayah bundaku”. Sebab nikmat yang telah beliau terima adalah sebagai warisan dari ayahnya, yang diwariskan Tuhan kepada dirinya. Ayahnya (nabi Daud a.s)


(47)

pun adalah seorang nabi dan raja juga, dibantu oleh ibunya yang telah melahirkannya ke dunia. Oleh sebab itu meskipun yang terkemuka hanya ayahnya saja tetapi nabi Sulaiman a.s sebagai putera yang berbakti tidaklah mau melupakan bahwa ibunya pun sangat patut turut disebutnya di hadapan Tuhan. Karena ibu yang melahirkan ke dunia.”dan supaya aku beramal dengan amalan yang saleh”. Pekerjaan yang baik, amal yang berfaedah, perbuatan yang berguna: “Yang engkau ridhai”, yaitu bahwa sesuai bahwa hendaknya baik yang beliau pilih itu dengan kehendak dan keridhaan Allah SWT. “Dan masukkanlah aku ke dalam golongan hamba-hambamu yang saleh”. Tercatat kiranya beliau termasuk ke dalam golongan atau daftar Tuhan sebagai hamba-hamba-Nya yang saleh, yang berfaedah, yang berjasa, yang hidupnya di dunia ini tidak sia-sia. Dengan itulah nabi Sulaiman a.s menyatakan syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang berlipat ganda yang beliau terima. Sedang Allah SWT akan sangat gembira apabila hamba-Nya mensyukuri nikmat yang telah Dia berikan itu disyukuri dan berjanji akan melipatgandakannya lagi.

Q.S An-Naml ayat 35

/wa `inni mursilatun `ilayhim bihadiyyatin fanaziratun bima yarji’u al-mursaluna/ ‘Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu”

Berdasarkan kutipan tersebut bahwasannya ayat ini menerangkan kebijaksanaan Ratu Balqis dalam menghadapi kaumnya terhadap surat dari nabi Sulaiman a.s. ia tidak terpengaruh sikap sombong dan merasa diri kuat yang tercermin dari ucapan-ucapan mereka. Pada umumnya sikap dan tabiat raja-raja itu akan sama, sama-sama suka menindas dan membunuh secara kejam musuh-musuh yang dikalahkannya, mereka akan merusak kota-kota dan menghina pembesar-pembesar negeri yang telah ditaklukannya itu. Untuk menghindarkan semua kejadian yang tidak diinginkan itu Ratu Balqis mempunyai suatu pikiran yang jika dilaksanakan akan membawa keuntungan bagi dirinya dan kerajaannya. Yaitu dengan cara melunakkan hati nabi Sulaiman a.s dengan mengirimkan


(48)

hadiah-hadiah kepadanya. Hadiah itu dikirimkan diantar oleh orang-orang yang berilmu pengetahuan sehingga dapat mengetahui dengan pasti keadaan nabi Sulaiman a.s dan akan melihat bagaimana kesan penerimaannya atas hadiah itu. Karena memang sudah menjadi kebiasaan bagi manusia yang berbudi jika dia menerima hadiah yang layak, hadiah itu akan mempengaruhi sikapnya. Kalau sebelumnya ada rasa permusuhan, mungkin akan bertukar jadi persahabatan atau penghargaan yang baik.

Q.S An-Naml ayat 36

/falamma ja`a sulaymana qala `atumiddunani bimalin fama `atani allahu khayrun mimma `atakum bal `antum bihadiyyatikum tafrahuna/ ‘Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "UApakah

(patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamuU; tetapi

kamu merasa bangga dengan hadiahmu.’

Berdasarkan kutipan tersebut bahwasannya nabi Sulaiman a.s tidak suka dengan hadiah itu. Meskipun hadiah yang diberikan Ratu Balqis merupakan barang-barang yang mahal, sebagaimana mestinya dari seorang ratu kepada seorang raja. Karena bagaimanapun besarnya hadiah, bagaimanapun mahalnya semua tidak menarik hati nabi Sulaiman a.s, sebab nabi Sulaiman a.s tidak memerlukan hadiah itu. Pemberian Allah SWT yang diberikan kepada nabi Sulaiman a.s jauh lebih mulia dari pada yang diberikan Allah SWT kepada Ratu Balqis, tetapi Ratu Balqis menyangka bahwa hadiah yang diberikannya kepada nabi Sulaiman a.s sudah sangat bagus.


(49)

Q.S An-Naml ayat 37

/arji’u `ilayhim falana`tiyannahum bijunudin la qibalalahum biha walanukhrijannahum minha `azillatan wa hum sagiruna/ ‘Kembalilah kepada mereka sungguh kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina."

Berdasarkan kutipan tersebut bahwasannya setelah para utusan Ratu Balqis menghadap nabi Sulaiman a.s maka nabi Sulaiman a.s berkata kepada mereka: “Hai para utusan Ratu Balqis, apakah kamu bermaksud memberikan harta-hartamu kepadaku? Aku tidak akan mencari dan meminta kesenangan dan kekayaan duniawi, yang aku inginkan ialah kamu semua beserta rakyatmu mengikuti agamaku, yang menyembah Allah semata, Tuhan Yang Maha Esa, tidak menyembah matahari, sebagaimana yang kamu lakukan. Allah SWT telah menganugerahkan kepadaku nikmat-nikmat yang tak terhingga banyakknya, seperti nikmat kenabian, ilmu pengetahuan, dan kerajaan yang besar. Karena nikmat itu aku dapat menguasai jin, berbicara dengan binatang-binatang, menguasai angin dan banyak lagi pengetahuan yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadaku. Jika aku bandingkan dengan nikmat yang kamu peroleh itu tidak ada artinya bagiku sedikitpun. Karena kamu tidak mengetahui agama Allah, maka kamu anggap harta yang banyak dan kesenangan duniawi itu dapat memuaskan hatimu. Kesenangan dan kebahagiaan yang aku cari adalah kesenangan dan kebahagiaan abadi, sesuai dengan yang dijanjikan Allah SWT kepada hamba-hambaNya yang saleh”. Selanjutnya nabi Sulaiman a.s menyatakan kepada utusan Ratu Balqis; jika kamu sekalian tidak memenuhi seruanku maka kembalilah kepada kaummu.


(50)

Q.S An-Naml ayat 40

/qala allazi ‘indahu ‘ilmun mina al-kitabi `ana `atikabihi qabla `an yartadda `ilayka tarfuka falamma ra`ahu mustaqiran ‘indahu qala haza min fadli rabbi liyabluwani `a`asykuru `am `akfuru wa man syakara fa`innama yasykuru linafsihi wa man kafara fainna rabbi ganniyun karimun/ ‘Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia’

Berdasarkan kutipan tersebut bahwasannya setelah singgasana itu berdiri dihadapan nabi Sulaiman a.s, beliau sangat terharu dan mengakui bahwa itu semata-mata karunia Allah SWT atas dirinya. Beliau berpikir, kalaulah dengan kekuatan manusia biasa tidaklah akan sanggup mengerjakannya. Dan patutlah beliau bersyukur dan berterimakasih kepada ilahi sebab itu mukjizat yang luar biasa dan beliau tidak menyangka permohonannya terkabul dengan cepat, merasakan bahwa ini adalah ujian untuk dirinya sendiri, bersyukurkah atau kufur, melupakan jasa Tuhan atas dirinya.

3.1.5 Maksim Permufakatan (Agreement Maxim) /hikmatun

itifāqiyatun/)

Pada kisah nabi Sulaiman a.s dalam al-Qur’an maksim maksim permufakatan (agreement maxim) /hikmatun itifāqiyatun/) berjumlah 1 (satu) terdapat dalam surat An-Naml ayat 38, sebagai berikut:


(51)

Q.S An-Naml ayat 38

/qala ya`ayyuha al-mala`wu `ayyukum ya`tini bi’arsyiha qabla `an ya`tuni muslimina/ ‘Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri." Berdasarkan kutipan tersebut bahwasannya nabi Sulaiman a.s memerintahkan jin-jin yang jadi mata-mata beliau memberikan laporan sampai dimana perjalanan Ratu Balqis. Maka setelah tinggal beberapa hari saja akan sampai ke istana nabi Sulaiman a.s memerintahkan kepada para pembesar untuk memindahkan singgasana Ratu Balqis ke hadapannya sebelum Ratu Balqis datang berserah diri, maksud berserah diri disini adalah dengan mengakui agama yang didakwahkan oleh nabi Sulaiman a.s yaitu agama islam. Islam itu artinya menyerahkan diri dengan segala keikhlasan. Oleh sebab pengakuan kesediaan Ratu Bilqis untuk memeluk agam islam telah disampaikan oleh Ratu Bilqis melalui perantaranya yang sudah lebih dulu menghadap nabi Sulaiman a.s maka kedatangan Ratu Bilqis di istana nabi Sulaiman a.s tidaklah dipandang sebagai seorang raja yang mengakui dirinya jadi vazal, mengakui mohon perlindungan kepada raja yang lebih besar, melainkan disambut dengan sebagai saudara seagama. Dia akan disambut dengan serba kemuliaan, sambutan persaudaraan. Maka dari itu Ratu Bilqis duduk di istananya sendiri.

3.1.6 Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

/

hikmatun

ta‘atafiyatun/)

Pada kisah nabi Sulaiman a.s dalam Al-Qur’an maksim simpati

/

hikmatun ta‘atafiyatun/) berjumlah 1 (satu) terdapat dalam surat An-Naml ayat 19, sebagai berikut:


(52)

Q.S An-Naml ayat 19

/fatabassama dahikan min qawliha wa qala rabbi `awzi’ni `an `asykura ni’mataka allati `an’amta ‘ala walidayya wa `an `amla salihan tardahu wa `adkhilni birahmatika fi ‘ibadika assalihina/ ‘maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”.’

Berdasarkan kutipan tersebut bahwasannya nabi Sulaiman a.s tersenyum mendengar perkataan raja semut itu. Dari do’a nabi Sulaiman a.s itu dapat dipahami bahwa yang diminta oleh nabi Sulaiman a.s kepada Allah SWT ialah kebahagiaan yang abadi di akhirat nanti. Sekalipun Allah telah melimpahkan beraneka ragam kesenangan dan kekuasaan duniawi itu, karena ia telah yakin bahwa kesenangan duniawi itu adalah kesenangan yang sementara sifatnya tidak kekal. Sikap nabi Sulaiman a.s di waktu menerima nikmat Allah itu, adalah sikap yang harus di contoh dan dijadikan suri tauladan oleh setiap kaum muslimin, jagan sekali-kali bersikap mengingkari nikmat Allah SWT. Berdo’a dan bersyukur kepada Allah pada setiap saat menemui nikmat Allah SWT.


(1)

BAB IV

PENUTUP

4.1Kesimpulan

Berikut ini kesimpulan dari uraian pada bab I hingga bab III, sebagai berikut: 1. Pengertian pragmatik menurut Tarigan (1987 : 13) adalah telaah mengenai

makna dalam hubungannya dengan aneka situasi ujar.

2. Prinsip sopan santun adalah suatu sistem hubungan antara manusia yang diciptakan untuk mempermudah hubungan dengan meminimalkan potensi konflik dan perlawanan yang melekat dalam segala kegiatan manusia. 3. Pengertian maksim secara etimologis dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran umum tentang sifat manusia.

4. Maksim Kebijaksanaan berjumlah 6 (enam) 5. Maksim Kedermawanan berjumlah 2 (dua) 6. Maksim Penghargaan berjumlah 10 (sepuluh) 7. Maksim Kesederhanaan berjumlah 8 (delapan) 8. Maksim Permufakatan berjumlah 1 (satu) 9. Maksim Simpati berjumlah 1 (satu)

4.2 Saran

Penulis berharap agar tulisan ini dapat berkembang dan dikembangkan lagi, sehingga pragmatik bahasa Arab dapat dipelajari bahkan diteliti lebih banyak maupun lebih luas lagi. Oleh karena itu penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Bagi mahasiswa/i program studi bahasa Arab, penulis mengharapkan untuk meningkatkan wawasan berfikir dalam memahami pragmatik.

2. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan penulis mengharapkan perhatian mahasiswa/i Program Studi Bahas Arab dalam mempelajari ilmu linguistik khususnya pragmatik.

3. Penulis berharap, semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi dan inspirasi bagi pecinta maupun peneliti pragmatik selanjutnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Khalil, Syauqi. 2000. Atlas Al-Qur’an. Jakarta: Almahira.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1996. Kamus Kontemporer Arab –

Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum.

Al-Khuli, Muhammad Ali. 1982. A Dictionary of Theoritical Linguistics (English

– Arabic). Beirut: Libraire du Liban.

Amrullah, Haji Abdul Malik Karim. 1981. Tafsir Al-Azhar. Surabaya: Bina Ilmu Offset.

Ba’albaki. 1988. A Modern English Arabic Dictionary. Beirut: Dar El-Ilm Ul-Malayen.

Departemen Agama. 2003. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lirtawarta Putra.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2003. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Kridalaksana. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey (terj. M.D.D Oka). 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Mendikbud 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka

---.2006. Ejaan Yang Disempurnakan. Jakarta: Bumi Aksara.

Mu’in, Abdul. 2004. Analisis Kontrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia

(Telaah Terhadap Fonetik dan Morfologi). Jakarta: Pustaka al-Husna.

Rahardi, R Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Stork, Mochtar dan Muhammad Iqbal. tt. Buku Pintar Al-Qur’an. Jakarta: Ladang Pustaka dan Inti Media.

Syarwi, Syekh Muhammad Mutawalli. 2006. Tafsir Sya’rawi. Jakarta: Pustaka Dunia.

Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Tim Penyusun. 2005. Pedoman akademik Prodi Bahasa Arab FS USU: Medan.


(3)

Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Walters, Morgan L, dkk. 1966. The Hold Intermediate Dictionary Of American

English. United State of America: Holt Rinehart and Winson Inc.


(4)

LAMPIRAN

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi yang digunakan adalah Sistem Transliterasi Arab-Latin Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P&K RI no. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988.

I. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

Alif - tidak dilambangkan

b -

t -

s s (dengan titik diatasnya)

Jīm j -

h h (dengan titik di bawahnya)

K kh -

Dal d -

żal z z (dengan titik di atasnya)

r -

zai z -

sīn s -

syīn sy -

şād ş s (dengan titik di bawahnya)

dād d d (dengan titik di bawahnya)

ţ t t (dengan titik di bawahnya)

z z (dengan titik di bawahnya) ‘ain ‘ koma terbalik (di atas)

gain g -


(5)

qāf q -

kāf k -

lām l -

mīm m -

nūn n -

wāwu w -

h -

hamzah ′ apostrof, tetapi lambang ini tidak dipergunakan untuk hamzah di awal kata

y -

II.Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. Contoh: ditulis Ahmadiyyah

III. h di akhir kata

1. Bila dimatikan ditulis h,kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi bahasa Indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya.

Contoh: ditulis jamā’ah

2. Bila dihidupkan ditulis t

Contoh: ditulis karāmatul-auliyā′ IV. Vokal Pendek

Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u

V. Vokal Panjang

A panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī, dan u panjang ditulis ū, masing-masing dengan tanda hubung ( - ) di atasnya.


(6)

Fathah + tanpa dua titik yang dimatikan ditulis ai, ditulis dan fathah +

wu mati ditulis au.

VII.Vokal-Vokal Pendek yang Berurutan dalam satu kata Dipisahkan dengan apostrof ( ′ )

Contoh: ditulis a′antum

ditulis mu′annaś

VIII.Kata Sandang Alif + Lam

1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al- Contoh: ditulis Al-Qura′ān

2. Bila diikuti huruf syamsiyyah, huruf 1 diganti dengan huruf syamsiyyah yang mengikutinya.

Contoh: ditulis asy-Syī‛ah IX. Huruf Besar

Penulisan huruf besar disesuaikan dengan EYD

X. Kata dalam Rangkaian Frasa atau Kalimat

1. Ditulis kata per kata, atau

2. Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya dalam rangkaian tersebut. Contoh:

ditulis Syaikh al-Islām atau Syakhul-Islām