Hambatan Pengembangan Pariwisata Berbasis Komunitas

94

6.3 Hambatan Pengembangan Pariwisata Berbasis Komunitas

Tentu saja pengembangan PBK tidak tanpa kendala. Hambatan pertama bersumber dari komitmen kerjasama stakeholders yang rendah. Pengembangan PBK cenderung menuntut proses yang lebih lama dan hasilnya tidak dapat dipetik dalam waktu singkat. Hal ini membuat PBK tidak seindah harapan pemangku kepentingan. Sebagai contoh kecil, tidak banyak warga masyarakat yang mampu berperan aktif di dalam perencanaan pariwisata, bahkan di tingkat komunitas lokal sekalipun. Kehadiran mereka di dalam rapat yang difasilitasi oleh instansi pemerintah atau Ornop tidak otomatis menyuarakan aspirasi, ekspektasi dan tanggungjawab mereka di dalam pengembangan PBK. Terlepas dari metode partisipasi yang digunakan, hambatan subjektif masyarakat yang besar adalah mispersepsi, bahwa pengembangan pariwisata merupakan tanggungjawab pemerintah, atau “penuh perdebatan” dan “jauh di luar jangkauan berpikir masyarakat”. Bagi masyarakat perdesaan khususnya, keterlibatan dalam perencanaan kurang diminati, karena kebutuhan paling riil adalah bagaimana pariwisata memberikan dampak positif pada perubahan kehidupan sehari-hari Li, 2006. Hambatan kedua terkait dengan inkonsistensi kebijakan pemerintah. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap langkah pemerintah lokal yang dengan sadar mendahulukan perencanaan sebelum program aksi, saya ingin menggambarkan rendahnya konsistensi kebijakan pemerintah di sebuah kabupaten di Kawasan Timur Indonesia. Meskipun tidak 95 merepresentasi gambaran daerah di Indonesia, namun kasus seperti ini bukanlah hal yang ekstrem. Pada pertengahan tahun 2005 pemerintah mengalokasikan dana proyek penyusunan master plan pariwisata dalam jumlah besar. Tidak jelas logika yang mendasari pengutamaan program ini daripada program peningkatan gizi, layanan kesehatan dasar, pendidikan dasar dan ketahanan pangan yang justru merupakan kebutuhan dasar masyarakat di daerah miskin tersebut. Tidak satu pun LSM mengkritik program yang ambisius itu. Kemudian satu hingga dua tahun setelah dokumen master plan tersusun, rekomendasinya tidak ditindaklanjuti. Alasan klasik adalah keterbatasan APBD yang sudah terdeteksi dini tanpa memakai jasa konsultan. Ironisnya, program-program yang direkomendasikan tersebut lenyap dari agenda pembangunan daerah, seiring dengan pergantian rezim penguasa lokal yang mempunyai visi yang berbeda. Singkatnya, implementasi program PBK yang diharapkan mampu menginduksi peluang ekonomi bagi masyarakat tidak pernah terwujud. Kendala berikutnya adalah kelangkaan modal. PBK dikelola oleh masyarakat dengan modal yang terbatas dan dengan kelangkaan jaringan untuk memperoleh kredit dari berbagai lembaga keuangan formal. Pada umumnya pengusaha kecil di sektor pariwisata tidak pernah memperoleh kemudahan fasilitas kredit untuk menjalankan roda kegiatannya Saville, 2001. Fakta ini seakan mempertegas kontradiksi yang serius dalam kebijakan pariwisata, sebab di satu sisi pariwisata dijadikan alat untuk memperluas peluang kerja dan berusaha, tetapi di sisi lain skema-skema 96 pembiayaan untuk memudahkan pencapaian sasaran itu tidak disediakan secara memadai. Padahal, sia-sia dan mustahil mengharapkan pariwisata mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, jika dukungan lembaga keuangan bagi pengusaha kecil-menengah tidak tersedia Braman dan Fundación Acción Amazonia, 2001; Nicanor, 2001

6.4 Pengembangan Seni Tradisi sebagai Komoditas Pariwisata Budaya