Jenis, Potensi Dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat di Sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan

(1)

JENIS, POTENSI DAN NILAI EKONOMI HASIL HUTAN

YANG DIMANFAATKAN MASYARAKAT DI SEKITAR

TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) BUKIT BARISAN

SKRIPSI

Faujiah Nurhasanah R. 081203009/Teknologi Hasil Hutan

PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2012


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Jenis, Potensi Dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat di Sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan

Nama : Faujiah Nurhasanah R.

NIM : 081203009

Program Studi : Kehutanan/ Teknologi Hasil Hutan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

Ridwanti Batubara, S.Hut, MP Oding Affandi, S.Hut, MP Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan


(3)

ABSTRAK

FAUJIAH NURHASANAH RITONGA : Jenis, Potensi dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan yang Dimanfaatkan Masyarakat sekiata Tahura Bukit Barisan, dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan ODING AFFANDI.

TAHURA Bukit Barisan merupakan suatu gugus hutan yang berinteraksi langung antara masyarakat dengan hutan. Desa Doulu dan Desa Jaranguda adalah desa-desa yang berada pada kawasan Tahura tersebut. Oleh karena itu maka dilakukanlah penelitian ini untuk mengetahui jenis, potensi dan nilai ekonomi hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat sekitar TAHURA.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, jenis hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat di sekitar kawasan TAHURA adalah bambu regen, bambu bulak,tumbuhan obat, satwa dan madu. Nilai ekonomi yang paling besar pada kedua desa adalah pemanfaatan Bambu Regen sebesar 44.34% di Desa Jaranguda dan 48.42% pada Desa Doulu. Hasil hutan di Desa Jaranguda memberikan kontribusi 83.51% sementara dari luar hutan sebesar 16.49% dan untuk Desa Doulu kontribusi hasil hutan sebesar 83.09% dan luar hutan sebesar 16.91%.


(4)

ABSTRACT

FAUJIAH NURHASANAH RITONGA : Type, Potency And Economic Value of

Forest Result which exploited by Society around TAHURA guided by

RIDWANTI BATUBARA And ODING AFFANDI.

TAHURA Bukit Barisan represent a forest bunch which is have direct interaction between society and forest. Countryside Doulu and Countryside Jaranguda is countryside residing at the Tahura area. Therefore hence conducted this research to know type,potency and economic value of forest result which exploited by society around TAHURA.

Based on interview on responden, type of forest result which exploited by society around TAHURA area are regen bamboo, bulak bamboo ,medical plant, honey and animal . The biggest Economics value at both countryside is Bamboo Regen exploiting equal to 44.34% in Countryside Jaranguda and 48.42% in Countryside Doulu. The result of forest in Countryside Jaranguda give contribution 83.51% while from outside forest equal to 16.49% and for the Countryside of Doulu contribution result of forest equal to 83.09% and outside forest equal to 16.91%.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan pada tanggal 19 Januari 1990 dari ayah yang bernama Alamsyah Ritonga dn ibu Rosmidar Harahap. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA N 4 Padangsidimpuan dan pada tahun yang sama pemulis masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB). Penulis memilih Program Studi Ilmu Kehutanan Minat Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengolahan Ekosistem Hutan pada tahun 2010di Lau Kawar Gunung Sinabung Kabupaten Karo. Penulis juga pernah menjadi asisten Praktikum Sifat Anatomi dan Identifikasi Kayu. Pada bulan Februari – Maret 2012 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di HTI PT. Sumatera Silva Lestari Provinsi Riau. Pada tahun yang sama penulis melaksanakan penelitian dengan judul Jenis, Potensi dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan yang Dimanfaatkan Masyarakat Sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga hasil penelitian yang berjudul “Jenis, Potensi dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat di Sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan” berhasil diselesaikan dengan baik. Hasil penelitian ini merupakan suatu aplikasi ilmu yang didapat dari pembelajaran di ruang perkuliahan dan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut).

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP, dan Bapak Oding Affandi, S.Hut, MP. selaku komisi pembimbing yang telah banyak mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua, saudara-saudara serta teman-teman yang telah mendukung, membantu dan mendoakan penulis dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis menerima kritikan dan saran yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakannya di masa yang akan datang.

Medan, Agustus 2012


(7)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Hutan... 4

Potensi Sumber Daya Hutan Indonesia ... 5

Nilai Ekonomi Hasil Hutan ... 8

Hasil Hutan Kayu... 10

Non kayu... 11

Masyarakat dan Hutan... 14

Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 17

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Alat dan Bahan Penelitian ... 22

Prosedur Penelitian ... 22

Metode Pengumpulan Data ... 22

Teknik dan Tahapan Pengambilan Data ... 23

Analisis Data ... 24

Nilai Ekonomi Hasil Hutan ... 24


(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan Masyarakat ... 27

Bambu Regen ... 27

Bambu Bulak ... 30

Tanaman Obat ... 32

Buah-buahan ... 33

Madu ... 33

Satwa... 35

Potensi Hasil Hutan di Desa Doulu dan Jaranguda... 36

Nilai Ekonomi Hasil Hutan di Desa Doulu dan Jaranguda ... 39

Kontribusi Hasil Hutan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga di Desa Doulu dan Jaranguda ... 43

Kendala dalam Pengelolaan Hasil Hutan di Desa Doulu dan Jaranguda .. 46

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 48

Saran ... 48 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No Hal. 1. Matrik Metodologi ... 26 2. Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan Masyarakat Desa Jaranguda dan Desa Doulu ... 27 3. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat

Desa Jaranguda ... 40 4. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat

Desa Doulu ... 42 5. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun di Luar Pemanfaatan Hasil Hutan

di Desa Jaranguda ... 43 6. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun di Luar Pemanfaatan Hasil Hutan

di Desa Doulu ... 43 7. Persentase Kontribusi Bambu Terhadap Ekonomi Rumah Tangga... 44


(10)

DAFTAR GAMBAR

No Hal.

1. Bambu Regen di Desa Jaranguda ... 30

2. Tepas motif wajik ... 31

3. Obat Tradisional Karo ... 33

4. Pidem Lebah ... 35

5. Madu hasil budidaya ... 35

6. Pembuatan keranjang ... 37

7. Pembuatan tepas ... 37

8. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan dan Luar Hutan di Desa Jaranguda ... 45

9. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan dan Luar Hutan di Desa Jaranguda ... 45


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal.

1. Karakteristik Responden Masyarakat Desa Jaranguda ... 51

2. Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan Masyarakat Desa Jaranguda ... 52

3. Perhitungan Nilai Ekonomi Hasil Hutan yang Dimanfaatkan Masyarakat Desa Jaranguda ... 53

4. Manfaat Tumbuhan Obat di Desa Jaranguda ... 60

5. Karakteristik Responden Masyarakat Desa Doulu ... 63

6. Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan Masyarakat Desa Doulu ... 64

7. Perhitungan Nilai Ekonomi Hasil Hutan yang Dimanfaatkan Masyarakat Desa Doulu ... 65


(12)

ABSTRAK

FAUJIAH NURHASANAH RITONGA : Jenis, Potensi dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan yang Dimanfaatkan Masyarakat sekiata Tahura Bukit Barisan, dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan ODING AFFANDI.

TAHURA Bukit Barisan merupakan suatu gugus hutan yang berinteraksi langung antara masyarakat dengan hutan. Desa Doulu dan Desa Jaranguda adalah desa-desa yang berada pada kawasan Tahura tersebut. Oleh karena itu maka dilakukanlah penelitian ini untuk mengetahui jenis, potensi dan nilai ekonomi hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat sekitar TAHURA.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, jenis hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat di sekitar kawasan TAHURA adalah bambu regen, bambu bulak,tumbuhan obat, satwa dan madu. Nilai ekonomi yang paling besar pada kedua desa adalah pemanfaatan Bambu Regen sebesar 44.34% di Desa Jaranguda dan 48.42% pada Desa Doulu. Hasil hutan di Desa Jaranguda memberikan kontribusi 83.51% sementara dari luar hutan sebesar 16.49% dan untuk Desa Doulu kontribusi hasil hutan sebesar 83.09% dan luar hutan sebesar 16.91%.


(13)

ABSTRACT

FAUJIAH NURHASANAH RITONGA : Type, Potency And Economic Value of

Forest Result which exploited by Society around TAHURA guided by

RIDWANTI BATUBARA And ODING AFFANDI.

TAHURA Bukit Barisan represent a forest bunch which is have direct interaction between society and forest. Countryside Doulu and Countryside Jaranguda is countryside residing at the Tahura area. Therefore hence conducted this research to know type,potency and economic value of forest result which exploited by society around TAHURA.

Based on interview on responden, type of forest result which exploited by society around TAHURA area are regen bamboo, bulak bamboo ,medical plant, honey and animal . The biggest Economics value at both countryside is Bamboo Regen exploiting equal to 44.34% in Countryside Jaranguda and 48.42% in Countryside Doulu. The result of forest in Countryside Jaranguda give contribution 83.51% while from outside forest equal to 16.49% and for the Countryside of Doulu contribution result of forest equal to 83.09% and outside forest equal to 16.91%.


(14)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat 2, hutan didefenisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Ayat 3 juga menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Hutan memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, mulai dari pengatur tata air, paru-paru dunia sampai pada kegiatan industri. Pamulardi (1999), dalam perkembangannya hutan telah dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, antara lain pemanfaatan hutan dalam bidang Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.

Menurut Hutabarat (2001) paradigma baru pembangunan kehutanan di Indonesia sejak tahun 2000 adalah berupa pergeseran penekanan dari aspek ekonomi (orientasi pada laba/keuntungan) kepada suatu orientasi dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis, dan ekonomi hutan. Kemudian pergeseran dari kebijakan dan pengembangan hutan dengan penekanan pada pengelolaan hasil kayu, kepada suatu orientasi dengan penekanan pada pengelolaan hutan multiguna yaitu bahwa, selain kayu, hutan dapat memberikan keuntungan lain seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non-kayu lainnya,


(15)

rekreasi, dan pengaturan iklim mikro dan memberikan penekanan pada pembangunan kehutanan berbasis masyarakat (Community Based Forestry) untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempat/lokal).

Perumusan Masalah

Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan merupakan salah satu kekayaan alam di Propinsi Sumatera Utara yang menjadi sumber penghidupan masyarakat yang bernaung di bawahnya. Namun hingga saat ini belum diketahui jenis hasil hutan yang digunakan masyarakat yang berada di kawasan Tahura. Begitu juga dengan potensi serta nilai ekonomi yang didapatkan dari pemanfaatan hasil hutan tersebut.

Ketergantungan masyarakat sekitar hutan terhadap hutan dan hasil hutan di Tahura Bukit Barisan sangat tinggi, apalagi mayoritas penduduk yang tinggal di sekitar hutan hidup dari sektor pertanian. Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap sumberdaya hutan, terutama hasil hutan baik kayu maunpun non kayu bersama interaksi masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan tersebut, alasan penting untuk melakukan penelitian ini.

Penelitian ini fokus terhadap jenis-jenis hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat, potensi sumber daya hutan serta nilai ekonomi hasil hutan di Desa Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo Sumatera Utara.


(16)

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui jenis hasil hutan kayu dan non kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo Sumatera Utara.

2. Mengetahui potensi pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu oleh masyarakat Desa Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo Sumatera Utara.

3. Mengetahui nilai ekonomi serta kontribusi hasil hutan kayu dan non kayu oleh masyarakat Desa Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo Sumatera Utara.

Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan informasi kepada semua pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan hasil hutan kayu maupun non kayu di Desa Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo Sumatera Utara.

2. Dapat memberikan gambaran kepada masyarakat tentang potensi hasil hutan kayu dan non kayu dari Desa Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo Sumatera Utara.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi Hutan

Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem dikarenakan hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan pembentuk hutan, binatang liar, dan lingkungannya tidak berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan sangat erat kaitannya, serta tidak dapat dipisahkan karena saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Beberapa definisi hutan yang lazim digunakan : 1. Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem. 2. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon – pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan di luar hutan .3. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan yang dinamis (Awang et al, 2002).

Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber daya alam yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Awang et al, 2002).


(18)

Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional, bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia. Hutan memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan, yaitu : berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumber daya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan (Zain, 1995).

Potensi Sumber Daya Hutan Indonesia

Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi yang rusak. Kerusakan ini disebabkan oleh banyak hal. Beberapa diantaranya adalah adanya

over ekplorasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan hutan menjadi lahan non hutan (misalnya perkebunan, transmigrasi, jalan raya),

timber ekstraksion yang merupakan tujuan utama dalam pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan, adanya illegal logging dan kebakaran hutan, penegakan hukum yang lemah, pemberian fasilitas konsesi hutan kepada sekelompok kecil kroni, korupsi dan inefisiensi peraturan pemerintah dalam proses pengusahaan hutan (Rahmawaty, 2004).

Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa hutan merupakan paru-paru bumi tempat berbagai satwa hidup, pohon-pohon, hasil tambang dan berbagai sumberdaya lainnya yang bisa kita dapatkan dari hutan yang tak ternilai harganya


(19)

bagi manusia. Hutan juga merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan erosi (Rahmawaty, 2004).

Keberadaan hutan, dalam hal ini daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan di dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan (Reksohadiprojo dan Brodjonegoro, 2000).

Mengingat pentingnya arti hutan bagi masyarakat, maka peranan dan fungsi hutan tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Pemanfaatan sumberdaya alam hutan apabila dilakukan sesuai dengan fungsi yang terkandung di dalamnya, seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka, fungsi produksi, fungsi wisata dengan dukungan kemampuan pengembangan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, akan sesuai dengan hasil yang ingin dicapai ( Rahmawaty, 2004).

Secara umum klasifikasi sumberdaya alam terbagi ke dalam bentuk (Zain, 1997) :

a. lahan pertanian

b. hutan dengan aneka ragam hasilnya


(20)

d. perikanan darat dan laut

e. sumber mineral bahan bakar dan non bahan bakar

f. sumber energi non-mineral seperti : panas bumi, tenaga surya, angin, sumber tenaga air, gelombang pasang .

Sumber daya alam dapat dibedakan menjadi sumberdaya yang dapat diperbaharui atau dapat diisi kembali atau tidak akan habis dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan kembali sebagaimana keadaan semula. Biasanya kita kelompokkan sebagai renewable resources, seperti hutan, perikanan, hasil pertanian dan non-renewable resources, seperti biji mineral, bahan bakar fosil dan sebagainya(Rahmawaty, 2004).

Hutan sebagai bagian dari sumberdaya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia ( Rahmawaty, 2004).

Beberapa hal tersebut di atas, ditambah dengan kegiatan pengelolaan hutan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Konsep trickle down effect atau pertumbuhan untuk pemerataan terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai akibatnya adalah timbulnya kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar areal hutan, dengan para pekerja dan pengusaha di bidang kehutanan. Dengan adanya program (proyek) pembangunan kehutanan dengan pendekatan kehutanan sosial yang berorientasi pada pelestarian hutan, diharapkan pada gilirannya nanti akan


(21)

memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan (Hendarto, 2002).

Pemanfaatan sumber daya hutan ternayata selama ini tidak dinikmati secara proporsional oleh masyarakat. Kepentingan dan hakmasyarakat yang ada di dalam maupun di sekitar kawasan hutan sering terabaikan, termasuk aksesnya terhadap manfaat hutan. Sehingga memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat tersebut. Hal ini menyebabkan kemiskinan tetap menjadi masalah di Indonesia meskipun pemanfaatan sumber daya hutan telah berlangsung lama (Justianto, 2005).

Nilai Ekonomi Hasil Hutan

Nilai adalah merupakan persepsi manusia tentang makna sesuatu objek (sumberdaya hutan) tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Persepsi ini sendiri merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seorang (individu) tentang atau terhadap suatu benda, dengan proses pemahaman melalui panca indra yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan disini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut (Lidiawati, 2003).

Manfaat SDH sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar,sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi SDH dalam satuan moneter. Sebagai contoh manfaat hutan dalam menyerap karbon dan manfaat ekologis serta lingkungan lainnya. Karena sifatnya yang non market

tersebut menyebabkan banyak manfaat SDH belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Tetapi saat ini kepedulian akan pentingnya manfaat lingkungan semakin meningkat dengan melihat kondisi SDA yang semakin


(22)

terdegradasi. Untuk itu dkembangkan berbagai metode dan teknik penilaian manfaat SDH baik untuk manfaat SDH yang memiliki harga pasar ataupun tidak, dalam satuan moneter. Oleh karena itu nilai sumber daya hutan yang dinyatakan oleh suatu masyarakat di tempat tertentu akan beragam, tergantung kepada persepsi setiap anggota masyarakat tersebut, demikian juga keragaman nilai akan terjadi antar masyarakat yang berbeda. Keragaman nilai ini mencakup besar nilai maupun macam nilai yang ada. Nilai yang dimiliki oleh sumberdaya hutan tidak saja nilai ekonomi tetapi juga nilai ekologis dan nilai sosial

(Suparmoko dan Ratnaningsih, 2000).

Perlu dikemukakan disini bahwa pengertian nilai ekonomi adalah nilai barang dan jasa yang dapat diperjualbelikan sehingga memberikan pendapatan. Dari konsep ekonomi bahwa kegunaan, kepuasanatau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui jual beli (transaksi) saja, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan manfaat akan memberikan kesejahteraan bagi individu atau masyarakat. Bahwa barang dan jasa tersebut yaitu mmeiliki kegunaan, bersifat langka dan kepemilikan yang jelas (Lidiawati, 2003).

Berdasarkan kemampuan untuk dipasarkan, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu manfaat marketable dan manfaat non-marketable.

Manfaat hutan non;marketable adalah barang dan jasa hutan yang belum dikenal nilainya atau belum ada pasarnya, seperti beberapa jenis kayu lokal,kayu energi, binatang dan seluruh manfaat intangible hutan (Affandi dan Patana, 2002).


(23)

Hasil Hutan - Kayu

Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan hayati yang unik. Tipe-tipe hutan utama di Indonesia berkisar dari hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan-hutan monsoon musiman dan padang savana di Nusa Tenggara, serta hutan-hutan non-Dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan alpin di Irian Jaya (kadang juga disebut Papua). Indonesia juga memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Luasnya diperkirakan 4,25 juta hektar pada awal tahun 1990-an (FWI/GFW, 2001).

Indonesia merupakan salah satu eksportir utama kayu dan produk kayu pada skala global. Nilai total ekspor ini diperkirakan mencapai 9 miliar USD. Indonesia tidak mengekspor produk yang belum diolah seperti kayu gelondongan dan kayu gergajian kasar, sedangkan produk kayu utama dengan daerah tujuan UE adalah kertas dan karton, perabot mebel dan kayu lapis. Pasar tujuan utama di dalam UE adalah Jerman, Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Spanyol dan Italia (Kemitraan Sukarela FLEGT, 2010).

Indonesia adalah negara terpenting penghasil berbagai kayu bulat tropis dan kayu gergajian, kayu lapis dan hasil kayu lainnya, serta pulp untuk pembuatan kertas. Lebih dari setengah hutan di negara ini, sekitar 54 juta hektar, dialokasikan untuk produksi kayu (meskipun tidak semuanya aktif dibalak), dan ada 2 juta ha lagi hutan tanaman industri yang telah didirikan, yaitu untuk memasok kayu pulp.


(24)

Volume dan nilai produksi kayu Indonesia sulit ditentukan secara persis: data yang disediakan oleh FAO, the International Tropical Timber Organization dan Pemerintah Indonesia masing-masing berbeda dan tidak bisa dibandingkan begitu saja. Sebagian besar produksi kayu Indonesia digunakan untuk kepentingan domestik dan harganya umumnya jauh lebih rendah dibandingkan harga di pasar internasional. Namun jelas bahwa sektor kehutanan penting sekali bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 1997, sektor kehutanan dan pengolahan kayu menyumbang 3,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan ekspor kayu lapis, pulp dan kertas nilainya mencapai 5,5 miliar dolar. Jumlah ini nilainya hampir setengah dari nilai ekspor minyak dan gas, dan setara dengan hampir 10 persen pendapatan ekspor total(FWI/GFW, 2001).

Sektor kehutanan mengalami pertumbuhan yang hebat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian tahun 1980-an dan 1990-an, tetapi ekspansi ini dicapai dengan mengorbankan hutan karena praktek kegiatan kehutanan yang tidak lestari sama sekali. Industri pengolahan kayu di Indonesia saat ini membutuhkan sekitar 80 juta meter kubik kayu tiap tahun untuk memasok industri penggergajian, kayu lapis, pulp dan kertas. Jumlah kayu yang dibutuhkan ini jauh lebih besar daripada yang dapat diproduksi secara legal dari hutan alam dan HTI. Akibatnya, lebih dari setengah pasokan kayu di Indonesia sekarang diperoleh dari pembalakan illegal (FWI/GFW, 2001).

- Non kayu

Paradigma baru sektor kehutanan memandang sumber daya hutan mempunyai potensi multi fungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan umat manusia. Sumber daya hutan juga bersifat multi


(25)

guna dan memuat multi kepentingan serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari hasil hutan kayu yang hanya memberikan sumbangan 20%, melainkan juga manfaat hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan (pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan), yang memberikan sumbangan terbesar yakni 80 %, namun hingga saat ini potensi HHBK tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal (Rencana Penelitian Integratif, 2010).

Paradigma ini makin menyadarkan kita bahwa produk HHBK merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. HHBK terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa Negara

(Rencana Penelitian Integratif, 2010).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.35/Menhut-II/2007 telah ditetapkan jenis-jenis HHBK yang terdiri dari 9 kelompok HHBK yang terdiri dari 557 spesies tumbuhan dan hewan. Pada saat ini terdapat 5 jenis HHBK yang mendapat prioritas pengembangannya yaitu rotan, bambu, madu lebah, sutera dan gaharu. Selain 5 komoditas HHBK unggulan nasional, daerah dapat mengembangkan komoditas HHBK yang diunggulkan berdasarkan potensi HHBK dan kemampuan daerah. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menurut Permenhut tersebut adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani dan turunannya yang berasal dari hutan kecuali kayu. Produk HHBK ini mencakup (1) hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, rotan, bambu, rerumputan, tanaman


(26)

obat, jamur, getah-getahan, bagian atau yang dihasilkan tetumbuhan; dan (2) hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, serta bagian atau yang dihasilkan hewan hutan. Sedangkan benda non hayati yang secara ekologi merupakan suatu kesatuan ekosistem dengan organ hayati penyusun hutan seperti air, udara bersih dan sehat serta jasa tidak termasuk dalam definisi Permenhut ini. Selama ini HHBK hampir tidak tersentuh dalam kegiatan kehutanan yang masih mengandalkan hasil hutan kayu baik dari hutan alam maupun dari hutan tanaman. Padahal potensi pemanfaatan yang bernilai ekonomis sangat besar yang perlu digali dan pengelolaan perlu dioptimalkan (Suharisno, 2009).

Pemanfaatan HHBK pada umumnya masih bersifat tradisional dan masih menghadapi banyak kendala pengembangannya baik pada aspek budidaya, skala ekonomi, penanganan pasca panen, pengolahannya sederhana, rendahnya daya saing, kualitas produk serta pemasaran lokal. Pemungutan HHBK lebih banyak dilakukan secara manual (non-mekanis) yang tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Pemanfaatan HHBK umumnya dilakukan oleh masyarakat dan mempunyai peranan ekonomis langsung kepada masyarakat

(Suharisno, 2009).

Suhendang (1999) telah memperinci manfaat hutan yang sangat banyak, sebagai berikut :

1. Nilai hasil hutan berupa kayu dan HHBK (seperti rotan, bambu, resin (anis), biji-bijian, madu, minyak lemak, minyak atsiri, tanin dan tumbuhan bahan obat). Manfaat dari hasil hutan ini bemilai sekitar Rp 1,2 juta/ha/ tahun atau 0,04 % dari total nilai hutan (TNH).


(27)

2. Nilai fungsi hutan sebagai pencegah erosi, penghasil 02, penyerapan C02, pengendali banjir dan prasarana angkutan air: Rp 21,4 juta/ha/tahun (0,07 % dari TNH).

3. Nilai habitat satwa hidup (flora dan fauna) yang dilindungi dan endemik serta manfaat sosial budaya dan nilai religius, memberi manfaat keindahan alam, udara segar dan suasana nyaman sebagai objek wisata.

Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu yang kesemuanya bernilai sekitar Rp 28,83 milyar/ha/tahun (98,89 % dari TNH). Nilai lain yang sampai saat ini belum dapat dikalkulasikan. Nilai HHBK sebenarnya dapat diperoleh dari posisi nilai 1) dan 3), karena HHBK juga dapat dihasilkan dari satwa dan flora hidup. Peranan HHBK dalam menunjang kegiatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan serta pelestarian hutan sudah menjadi kenyataan. Pengelolaan hutan perlu diarahkan sebagai penghasil HHBK yang dapat membuka kegiatan dan penghasilan bagi masyarakat lokal dengan memperhatikan faktor ekologisnya. Untuk mencapai partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan yang lestari antara lain adalah program peningkatan peranan HHBK yang mampu meningkatkan kegiatan dan kesejahteraan masyarakat lokal sekitar hutan (Silva dan Atar dalam RPI, 2010).

Masyarakat dan Hutan

Hutan sebagai pendukung kesehatan hidup manusia yang bernilai tinggi, baru disadari saat ini setelah hutan tropika banyak mengalami kerusakan dan kepunahan. Saat ini ekosistem hutan tropika alam Indonesia yang masih tersisa ada dalam bentuk kawasan-kawasan hutan konservasi, terutama di kawasan taman nasional – taman nasional dan hutan lindung. Namun demikian hutan-hutan


(28)

produksi ke depan harus dilihat sebagai penghasil multi-produk, baik kayu maupun non-kayu harus dikelola totalitas dengan pendekatan multi-sistem silvikultur (Zuhud, 2008).

Hutan merupakan kekayaan alam anugerah Tuhan yang harus dilestarikan. Hutan memiliki multi fungsi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia, karena hutan berisi lebih dari sekedar kayu bundar, sebagai bahan baku industri, bahan bangunan maupun perabotan rumah tangga. Hutan mempunyai berbagai fungsi, yaitu fungsi ekonomis, ekosistem, sosial budaya dan sebagainya. Dari fungsi ekonomis, hutan merupakan sumber devisa bagi negara dan sumber lapangan kerja. Karena banyaknya fungsi hutan tersebut, maka sangat banyak kelompok atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah hutan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya (Warsid, 2000).

Sumber daya hutan mempunyai karakteristik yang sangat spesifik. Dengan spesifiknya karakter hutan ini, maka apabila satu fungi digunakan akan dapat menurunkan fungsi yang lainnya. Dari spesifiknya karakter sumber daya hutan ini maka dalam pengelolaan kehutanan hendaknya diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup serta memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha(Warsid, 2000).

Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional, bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia. Hutan memiliki


(29)

berbagai manfaat bagi kehidupan, yaitu : berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumber daya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan (Zain, 1995).

Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kelangkaan sumber daya hutan di masa mendatang perlu dilakukan beberapa perubahan dan inovasi mendasar dengan melibatkan masyarakat setempat / lokal yang akan memberikan peluang kepada mereka untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan guna meningkatkan kesejahteraannya . Saat ini masyarakat lokal masih ada yang belum diakui haknya dalam pengelolaan hutan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus konflik yang terjadi antara pihak pengusaha pengelola lahan dengan masyarakat lokal misalnya dengan pembakaran hutan, pencurian kayu dan lain-lain. Namun penduduk lokal tetap mengklaim bahwa hutan yang mereka usahakan adalah merupakan hak/miliknya, karena mempunyai ikatan yang kuat antara masyarakat lokal dan tanahnya. Tidak saja ikatan ekonomis tetapi juga ikatan sosial, psikologis dan religius. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal baik dalam bentuk keluarga maupun komunitas tidak terlepas dari sistem budaya yang mereka miliki seperti nilai, norma, kepercayaan dan etika lingkungan. Lestari atau rusaknya hutan sangat tergantung dari sistem sosial, teknologi dan sistem budaya yang dimilikinya dalam memanfaatkan hutan. Dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat lokal / adat yang perekonomiannya sangat


(30)

tergantung pada lahan sekitarnya, maka penguasaan lahan oleh masyarakat tersebut perlu diakui sepanjang kondisi lahan dapat terjaga kelestariannya

(Raga, 2001)

Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa sekitar hutan tampaknya sesuatu hal yang biasa dijumpai di seluruh wilayah pedesaan di negara berkembang manapun. Inilah salah satu pekerjaan rumah yang menjadi tugas para penopang untuk mengukur dan menilai sejauh mana peran masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat ditingkatkan. Di lain pihak dalam kerangka pengelolaan hutan yang partisipatif perlu pula dilaksanakan peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan dan kualitas organisasi mereka, baik yang formal maupun informal. Ini menjadi tugas bagi siapa saja yang berkeinginan melestarikan hutan. Secara umum ada tiga hal yang perlu dibenahi dalam upaya meningkatkan masyarakat, yaitu demokratisasi kehidupan sosial, penguatan kelembagaan dan organisasi, dan peningkatan perekonomian pedesaan (Arupa,2000).

Tiga hal ini cukup berat untuk dilaksanakan sendirian oleh penopang yang manapun. Untuk itulah dirasa perlu untuk membuat sebuah lembaga/konsorsium yang bekerja bersama-sama untuk mencukupi bekal yang diperlukan masyarakat untuk bisa mengelola hutannya dengan mandiri (Arupa, 2000).

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

TAHURA Bukit Barisan Sumatera Utara ditetapkan dalam suatu unit pengelolaan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas areal 51.600 Ha. TAHURA Bukit Barisan terletak di empat kabupaten yaitu Langkat, Deli Serdang, Simalungun dan Tanah Karo. Kawasan Hutan tersebut sebagian besar hutan lindung yang berupa hutan alam pegunungan


(31)

yang ditetapkan sejak zaman Belanda, yaitu Hutan Lindung Sibayak I, Hutan Lindung Simancik I, Huatan Lindung Sibayak II, Hutan Lindung Simancik II, Suaka Margasatwa Langkat Selatan dan Hutan Lindung Sinabung (Andayani,2005).

Bagian dari Tahura yang menjadi tempat penelitian adalah Desa Doulu dan Desa Jaranguda . Kedua desa ini diambil sebagai desa yang mewakili sekitar kawasan Tahura Bukit Barisan Kabupaten Karo.

Desa Doulu

Letak dan luas

Desa Doulu terletak pada Kecamatan Brastagi dengan luas 300 Ha. Adapun batas wilayah desanya adalah:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Deleng Macik - Sebelah Selatan berbatasan dengan Deleng Singukut - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Semangat Gunung - Sebelah Timur berbatasan dengan Sempulen Angin (Pemerintah Kabupaten Karo, 2010).

Topografi dan Ketinggian Tempat

Desa Doulu berada pada ketinggian 1000 mdpl, dengan curah hujan 2000 mm pertahun dan suhu rata-rata harian 16oC - 20 0C. Tingkat kesuburan tanahnya sedang dengan luas 290 Ha (Pemerintah Kabupaten Karo, 2010).

Aksesibilitas

Jarak dari Desa Doulu ke ibukota kecamatan 11 km dan jaraknya ke ibukota kabupaten 23 km serta ke ibukota propinsi 56 km. Waktu yang diperlukan dari desa untuk menempuh ke pusat fasilitas umum terdekat adalah ± 15 menit.


(32)

Dan desa ini sangat mudah diakses karena angkutan setiap saat ada (Pemerintah Kabupaten Karo, 2010).

Kependudukan

Jumlah penduduk desa 1737 jiwa (596 KK). Penduduk didominasi usia kerja produktif, laki-laki 873 jiwa dan perempuan 864 jiwa. Mayoritas penduduk beragama Kristen (1257 orang) dan sisanya beragama Islam dan Katolik. Terdapat tempat ibadah yaitu 2 mesjid, 3 gereja Kristen dan 1 gereja Katolik, semuanya dalam keadaan baik. Mata pencaharian penduduk Desa Doulu umumnya bertani, sebagian PNS, berdagang dan beternak (Pemerintah Kabupaten Karo, 2010).

Sosial Budaya

Penduduk asli Desa Doulu adalah Suku Karo. Masyarakat pendatang cukup paham dan mengerti adat istiadat penduduk desa karena mereka sudah lama mendiami desa ini. Bahkan sudah banyak yang diangkat menjadi Suku Karo. Secara umum, mata pencaharian penduduk adalah bertani dan tepah ada kelompok – kelompok tani di Desa Jaranguda ini (Pemerintah Kabupaten Karo, 2007). Desa Jaranguda

Letak dan Luas

Desa Jaranguda terletak pada Kecamatan Merdeka dengan luas 56 Ha dan berada pada kawasan hutan Negara. Jumlah penduduk desa ini adalah 375 kepala keluarga. Adapun batas administrasi Desa Jaranguda adalah :

-

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lau Gumba

-

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Merdeka

-

Sebekah Selatan berbatasan dengan Desa Gongsol

-

Sebelah Utara berbatasan dengan Tahura Bukit Barisan


(33)

Topografi dan Ketinggian Tempat

Desa Jaranguda memiliki ketinggian 1300 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 2000 – 3000 mm per tahun. Suhu rata-rata 17-25 0C. Kondisi permukaan tanah rata sampai bergelombang dengan tingkat kesuburan tanah subur ( Pemerintah Kabupaten Karo, 2007).

Kependudukan

Desa Jaranguda terdiri dari 375 kepala keluarga atau 1570 jiwa. Desa ini dihuni oleh Suku Karo, Toba, Simalungun, Aceh, Mandailing, Nias, Jawa, Minang dan Cina. Adapun agama yang dianut oleh masyarakat adalah islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik serta Budha. Tempat ibadah yang ada di desa ini antara lain sebuah masjid dan sebuah gereja dengan kondisi yang baik. Penduduk Desa Jaranguda sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani sayur mayur. Sementara yang lain bernata pencaharian sebagai perajin keranjang, pedagang dan PNS (Pemerintah Kabupaten Karo, 2007).

Aksesibilitas

Jarak antara Desa Jaranguda dengan ibukota kecamatan ± 2 km dan ± 13 km dari ibukota kabupaten. Sedangkan jarak ke ibukota propinsi ± 67 km. Waktu yang diperlukan dari desa untuk menempuh ke pusat fasilitas umum terdekat ± 30 menit. Ketersediaan alat angkutan umum setiap saat ada dari desa menuju kecamatan /desa lainnya (Pemerintah Kabupaten Karo, 2007).

Sosial Budaya

Penduduk asli Desa Jaranguda adalah Suku Karo. Masyarakat pendatang cukup pahamdan mengerti adat istiadat penduduk desa karena mereka sudah lama mendiami desa ini. Bahkan sudah banyak yang diangkat menjadi Suku Karo.


(34)

Secara umum, mata pencaharian penduduk adalah bertani dan tepah ada kelompok – kelompok tani di Desa Jaranguda ini (Pemerintah Kabupaten Karo, 2007).


(35)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai April 2012 hingga Mei 2012 di kawasan Tahura Bukit Barisan tepatnya di Desa Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Alat dan bahan

Adapun alat yang digunakan adalah kamera digital, kalkulator dan alat tulis sedangkan bahan yang diperlukan adalah kuisioner.

Prosedur Penelitian

Metode pengumpulan data

Dalam penelitian ini, digunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang di kumpulkan antara lain adalah jenis dan jumlah hasil hutan kayu maupun non kayu (manfaat tangible), data sosial ekonomi, frekuensi pengambilan, lama dan waktu pengambilan, biaya pengambilan dan bentuk pengolahan atau hasil pemasaran. Data primer tersebut diperoleh dengan metode snowball sampling yaitu metode pengambilan sampel dengan secara berantai (multi level). Sampel awal ditetapkan dalam kelompok anggota kecil. Kemudian masing-masing anggota diminta mencari anggota baru dalam jumlah tertentu dan masing-masing anggota baru diminta mencari anggota baru lagi. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain adalah: kondisi umum lokasi penelitian atau data umum yang ada pada instansi pemerintah desa dan kecamatan.


(36)

Teknik dan Tahapan Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan sebagai berikut: a. Identifikasi jenis hasil hutan kayu maupun non kayu yang ada di desa Doulu

Kecamatan Berastagi dan Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo Sumatera Utara.

b. Melakukan observasi dan analisis pengolahan data di lapangan untuk mengetahui sistem pengolahan hutan.

c. Wawancara dan diskusi dengan menggunakan kuesioner terhadap para responden penelitian dengan masing-masing banyaknya responden tiga puluh responden per desa.

d. Keseluruhan data, baik primer maupun sekunder selanjutnya ditabulasikan sesuai dengan kebutuhkan sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data. Data primer yang bersifat kualitatif selanjutnya dianalisis secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian, serta dilakukan analisis para pihak yang terkait dalam pengolahan hutan . Sedangkan data yang bersifat kuantitatif diolah secara tabulasi.

Teknik untuk memperoleh informasi dan data dari responden dilakukan dengan wawancara. Informasi yang diperoleh dari setiap responden meliputi: a. Faktor sosial, ekonomi dan budaya responden yang meliputi umur, suku,

agama, pekerjaan, pendapatan, mata pencaharian, pendidikan, jumlah tanggungan, usaha pertanian yang di miliki.

b. Jenis dan jumlah hasil hutan kayu maupun non kayu yang di ambil dari responden adalah frekuensi pengambilan, lama dan waktu pengambilan, serta metode pemasaran yang diperoleh.


(37)

Analisis Data

Nilai Ekonomi Hasil Hutan

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan baik melalui wawancara maupun kuesioner kemudian dianalisis secara kuantitatif. Nilai barang hasil hutan untuk setiap jenis per tahun yang di peroleh masyarakat di hitung dengan cara:

1. Harga barang hasil hutan (manfaat tangible) yang di peroleh di analisis dengan pendekatan harga pasar, harga relative dan pendekatan biaya pengadaan. Untuk barang dan jasa hutan yang sudah di kenal pasarnya, penilaian di lakukan dengan nilai pasar (nilai yang berlaku di pasar). Untuk hasil hutan yang belum di kenal harga pasarnya tetapi dapat di tukarkan atau di bandingkan dengan nilai barang dan jasa yang telah ada pasarnya, maka penilaian di satukan dengan metode relatif. Sedangkan untuk barang dan jasa hasil hutan yang belum di kenal pasarnya dan tidak termasuk dalam sistem pertukaran, maka penilaian di lakukan dengan metode biaya pengadaan, yaitu banyaknya biaya yang di keluarkan untuk mendapatkan barang dan jasa hutan tersebut.

2. Menghitung nilai rata-rata jumlah barang yang diambil per respon per jenis. Rata-rata jumlah barang yang diambil:

=

n

Xn .... Xii Xi+ + +

(Affandi dan Patana, 2002).

Keterangan:

Xi : Jumlah Barang yang diambil Responden n : Jumlah Banyak Pengambil per Jenis Barang


(38)

3. Menghitung nilai potensi/ total pengambilan per unit barang per tahun TP = RJ x FP x JP

(Affandi dan Patana, 2002) Keterangan:

TP : Total Pengambilan per Tahun RJ : Rata-rata Jumlah yang diambil FP : Frekuensi Pengambilan

JP : Jumlah Pengambilan

4. Menghitung nilai ekonomi barang hasil hutan per jenis barang per tahun NH = TP x HH

(Affandi dan Patana, 2002). Keterangan:

NH : Nilai Hasil Hutan per Jenis TP : Total Pengambilan (unit/ tahun) HH : Harga Hasil Hutan

5. Mengitung persentasi nilai ekonomi dengan cara: % NE =

NE NEi

∑ X 100%

(Affandi dan Panata, 2002). Keterangan:

%NE : Persentasi Nilai Ekonomi

NEi : Nilai Ekomoni Hasil Hutan/ Jenis

εNE : Jumlah Total Nilai Ekonomi dari Seluruh Hasil Hutan

6. Menghitung pendapatan total, pendapatan dari dalam hutan dan luar hutan Pendapatan Total = Jumlah rata-rata pendapatan/tahun

Pendapatan dalam hutan = Jumlah nilai ekonomi dari seluruh jenis Pendapatan Luar Hutan = Selisih antara pendapatan Total dengan

Pendapatan dalam Hutan.

Hasil perhitungan hasil hutan ini menunjukan total pendapatan hasil hutan seluruh jenis per tahun, sehingga dapat di hitung besar nilai kontribusi dari nilai hasil hutan ini terhadap pendapatan masyarakat. Menghitung tingkat kontribusi pemanfaatan hasil hutan.


(39)

Kontribusi = total Pendapatan hutan dalam Pendapatan x 100%

(Affandi dan Panata, 2002). Tabel 1. Matrik Metodologi yang Digunakan dalam Penelitian.

Tujuan Studi Pokok Bahasan

Data Kunci Sumber dan Metoda

Hasil Diharapkan 1.Mengidentifik

asi jenis hasil hutan kayu dan non kayu yang di manfaatkan oleh masyarakat di sekitar Kawasan Tahura. Kondisi hutan terhadap jenis-jenis hasil hutan kayu dan non kayu

Kondisi umum : lokasi penelitian, produksi dan luasan hutan dari hasil hutan kayu dan non kayu serta hasil penelitian lainnya yang terkait dengan tujuan penelitian. Pustaka, dokumen, instansi terkait a.Adanya informasi mengenai jenis-jenis hasil hutan kayu dan non kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar kawasan Tahura 2.Mengetahui potensi hasil hutan yang ada

di sekitar

kawasan Tahura.

Potensi hasil hutan yang ada di sekitar kawasan Tahura

Luas kawasan hutan serta luas ladang masyarakat sekitar Wawancara, diskusi, data statistik, pustaka, observasi lapangan, dokumentasi b.Adanya data potensi hasil hutan kayu dan non kayu yang dimanfaatkan masyarakat di kawasan Tahura 3.Untuk mengetahui nilai ekonomi dan besarnya kontribusi hasil hutan kayu dan non kayu yang dimanfaatkan masyarakat di sekitar kawasan Tahura Nilai ekonomi hasil hutan kayu dan non kayu serta pengaruh dari kegiatan pengolahan hasil hutan kayu dan non kayu dan pendapatan yang diperoleh masyarakat Volume hasil hutan, frekuensi panen/tahun, peningkatan SDM, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengolahan hasil hutan kayu dan non kayu , peningkatan taraf perekonomian Analisis pustaka, wawancara, diskusi kelompok, observasi lapangan, dokumentasi c.Adanya informasi nilai ekonomi dan besarnya kontribusi hasil hutan kayu dan non kayu yang diperoleh

masyarakat di sekita kawasan Tahura


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat

Hasil hutan di Desa Jaranguda dan Doulu merupakan hasil hutan yang sejak dulu dimanfaatkan oleh masyarakat. Hasil hutan tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual. Dari semua hasil hutan yang dijual tersebut menambah pendapatan rumah tangga. Adapun jenis hasil hutan yang dimanfaatkan penduduk di Desa Jaranguda dan Doulu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat Desa Jaranguda dan

Desa Doulu

No Jenis Hasil Hutan Jumlah Responden (orang) Desa Jaranguda Desa Doulu

1 Bambu Regen 27 28

2 Bambu Bulak - 3

3 Tumbuhan Obat 2 6

4 Madu 1 -

5 Satwa 3 3

6 Keranjang (olahan) 27 28

7 Tepas (olahan) - 3

8 Obat Karo (olahan) 1 1

Hasil hutan yang umumnya dimanfaatkan masyarakat Desa Jaranguda dan Doulu antara lain :

1. Bambu Regen

Bambu Regen (nama lokal) merupakan jenis bambu dengan nama latin

Gigantochloa pruriens. Klasifikasinya yaitu : Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)


(41)

Sub Kelas : Commelinidae Ordo : Poales

Famili

Genus

Spesies : Gigantochloa pruriens Widjaja

Bambu bulak yang berada di sekitar Tahura merupakan bambu yang ditanam oleh nenek moyang masyarakat setempat. Bambu bulak termasuk ke dalam jenis tanaman yang mudah diurus karena tidak memerlukan perlakuan khusus seperti tanaman lainnya. Bambu regen tidak memerlukan pupuk untuk menghasilkan kualitas yang baik tetapi membutuhkan lingkungan sekitar tempat tumbuh yang bersih dari rumput-rumputan. Maksudnya adalah agar perkembangbiakan bambu berjalan sempurna maka rumput di sekitarnya harus dibersihkan. Selain itu, saat melakuakn penebangan harus dilakukan dengan cara yang benar, yaitu dengan menebang habis batang sampai pada batas permukaan tanah. Selain itu juga harus menyisakan batang yang muda agar terjadi regenerasi bambu.

Agar perkembangbiakan bambu regen berjalan dengan baik juga harus diberi jarak tanam tiga kali tiga meter per rumpun. Sama halnya dengan pohon, bambu juga membutuhkan jarak tanam agar ukuran diameter batang besar. Waktu panen bambu regen sebaiknya sekali dalam tiga tahun. Namun kondisi di lapangan tidaklah demikian. Karena permintaan akan keranjang ataupun ajek-ajek (bahasa Karo) yang tinggi maka pemanenan bambu regen bisa sekali dalam tiga bulan. Panjang ajek-ajek berkisar 2.1 m dengan diameter 1-2 cm dan termasuk ke dalam batang bambu yang masih muda. Harga per batangnya Rp. 500.- hingga


(42)

Rp. 1,000.-. Tergantung jauh tidaknya ladang dari pemukiman penduduk. Semakin jauh ladang bambu dari pemukiman maka semakin mahal harga ajek-ajek.

Bambu regen yang siap untuk dipanen memiliki ciri-ciri bunyi yang nyaring saat dipukul dan juga terdapatnya bintik-bintik putih besar atau biasa disebut kapuran pada kulit. Tinggi bambu enam meter dengan diameter lima hingga enam meter. Produk hasil hutan yang dapat dijadikan dari jenis bambu regen antara lain keranjang, tepas , kandang ternak dan ajek-ajek. Keranjang yang dihasilkan ada dua macam. Yang pertama adalah keranjang untuk tomat dan yang kedua adalah keranjang jeruk. Keranjang tomat memiliki ukuran diameter lebih besar daripada keranjang jeruk yaitu 45 cm sedangkan keranjang jeruk berdiameter 43 cm. Tinggi juga berbeda, keranjang tomat memiliki tinggi 60 cm sedangkan keranjang jeruk 45 cm.

Untuk membuat satu keranjang tomat maupun jeruk, diperlukan 33 belembang, 17 kulit, 16 unung-unung, tiga pantil, satu buah bibir dan empat buah bingkai. Rata-rata empat keranjang dapat dihasilkan dari sebatang bamboo dengan ukuran diameter empat hingga lima cm dengan panjang enam meter. Kapasitas keranjang jeruk 70-75 kg dan keranjang tomat 80-90 kg. Pada kedua desa hanya satu orang yang menjadi perajin tutup keranjang karena dinilai kurang menguntungkan bagi perajin. Harga per tutup hanya Rp. 1,000.- sementara keranjang berkisar antara R. 7,000.- hingga Rp. 13,000.-. Saat musim jeruk tiba, maka permintaan akan keranjang jeruk meningkat sehingga harga keranjang akan naik. Sebaliknya, saat jeruk sedang tidak musim maka harga keranjang akan turun.


(43)

Seorang perajin keranjang biasanya membayar Rp. 1,000.- per keranjang pada pemilik ladang bambu. Sementara perajin tutup keranjang tidak membayar apapun pada pemilik ladang karena hanya menggunakan sisa-sisa irisan bambu yang tidak dipergunakan oleh perajin keranjang. Untuk membuat tutup keranjang harus menggunakan bagian dalam bambu yang keras agar saat keranjang ditimpa tidak terjadi kerusakan pada buah di dalamnya. Dan untuk membuat keranjang tidak dipergunakan bagian dalam bambu yang keras karena akan mengalami kesulitan saat bambu dianyam. Dibawah ini merupakan gambar bambu regen yang dibudidayakan oleh masyarakat Desa Jaranguda.

Gambar 1. Bambu Regen di Desa Jaranguda

2. Bambu Bulak

Bambu Bulak (bahasa Karo) dengan nama latin Schizostachyum brachycladum Kurz. Bambu jenis ini biasa juga disebut dengan nama bamboo talang. S. brachycladum Kurz digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepas pada Desa Doulu. Keberadaan bambu bulak ini jarang ditemui sehingga perajin


(44)

tepas biasanya mencarinya ke luar desa. Selain susah ditemukan, bambu bulak yang dijadikan tepas haruslah benar-benar tua agar tahan lama. Ciri umum bambu ini adalah batangnya yang tebal dan warna kulitnya hijau kekuningan. Sebenarnya untuk membuat tepas dapat juga digunakan jenis bambu regen. Namun karena ketebalan batangnya lebih tipis daripada bambu bulak menyebabkan perajin memilih bambu bulak sebagai bahan baku pembuatan tepas.

Dalam pembuatan tepas ukuran 2 x 2 m diperlukan 80 belembang dan 80 unung-unung. Dalam sehari, responden dapat membuat 8 m2 tepas yakni 2 lembar ukuran 2 x 2 m. Untuk harga per lembar tepas itu sendiri bervariasi. Tergantung kepada motif yang dipesan. Adapun macam-macam motifnya yaitu motif biasa, wajik, dua gambar dan banyak gambar. Harga per m2 tepas tersebut berturut-turut yaitu Rp. 28,000.- ; Rp. 30,000.- ; Rp. 45,000.- dan Rp. 60,000.-. Adapun motif yang paling sering dipesan adalah motif wajik (belah ketupat). Di bawah ini gambar yang memperlihatkansalah satu motif tepas yang diproduksi oleh Pak Rahmat Nasution.


(45)

3. Tumbuhan Obat

Setelah melakukan penelitian pada kedua desa, ternyata nama-nama tumbuhan obat yang diambil dari hutan masih khas dengan bahasa karo. Oleh karena tu terdapat kesulitan dalam pencarian nama ilmiahnya. Sehingga banyak nama tumbuhan obat pada penelitian ini merupakan bahasa karo. Adapun jumlah tumbuhan obat yang dimanfaatkan pada Desa Doulu adalah 133 jenis sedangkan pada Desa Jaranguda 126 jenis.

Dari hasil wawancara dengan para responden, banyak jenis tumbuhan obat tersebut yang digunakan untuk pertolongan pertama pada luka. Misalnya untuk menghentikan pendarahan pada luka goresan. Namun, untuk penyakit yang lebih kompleks maka digunakanlah ramuan-ramuan obat Tradisional seperti parem, minyak kusuk khas karo, ataupun tawar (jamu).

Pembuatan obat tradisional karo pada dasarnya menggunakan campuran bermacam-macam tumbuhan obat. Seperti contoh dalam pembuatan minyak kusuk membutuhkan 100 macam tumbuhan obat antara lain yaitu akar pinang, akar besi-besi, akar siraprap, daun lancing, sereh wangi, kelapa hijau, sigara urat, daun paris, akar rotan, dan lain-lain.

Harga dari produk olahan tersebut bermacam-macam. Untuk minyak kusuk berkisar Rp. 50,000.- per botol sprite dan Rp. 15,000.- per botol kecil. Sedangkan obat gatal Rp. 30,000.- per botol kratingdaeng dan harga tawar Rp. 50,000.- per botol sprite. Perlu diketahui bahwa tawar merupakan jenis obat tradisonal Karo yang fungsinya seperti jamu pada umumnya. Biasanya masyarakat menggunakan tawar untuk mengobati pegal-pegal, masuk angin,


(46)

ataupun pada ibu-ibu sehabis melahirkan. Pada gambar 3 terlihat produk obat tradisional karo yang dijual di sepanjang jalan Desa Doulu.

Gambar 3. Obat Tradisional Karo 4.Buah-buahan

Buah-buahan yang dimanfaatkan masyarakat pada Desa Jaranguda adalah terung belanda (Cyphomandra betacea), markisa bandung (Passiflora flavicarva) dan markisa sirup (Passiflora edulis). Ketiga jenis buah tersebut diperoleh dari dalam hutan oleh responden Magdalena Sitanggang. Banyaknya pengambilan rata-rata hanya dua buah per jenis dengan frekuensi per tahun hanya lima puluh enam kali. Untuk harga dari buah-buahan tersebut berkisar Rp. 300.- hingga Rp. 1,000.- per buah. Dan penting untuk diketahui bahwa buah-buahan yang diperoleh dari hutan tidak diperjualbelikan namun hanya untuk konsumsi pribadi responden.

5.Madu

Madu termasuk dalam salah satu hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa Jaranguda. Madu yang dimaksud pada bagian ini adalah madu alam (madu liar) yang berasal dari lebah Apis dorsata dan juga madu budidaya yaitu lebah Apis cerana. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Sarwandi


(47)

Pasaribu, keberadaan madu liar yang ada di dalam hutan sangatlah melimpah. Namun karena kesulitan dalam pengambilannya menyebabkan hasil hutan tersebut kurang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Pada Desa Jaranguda hanya satu responden yang memanfaatkan hasil hutan berupa madu.

Sebagai seorang petani madu, pak Sarwandi Pasaribu mempunyai 28 pidem. Pidem merupakan rumah tempat lebah dibudidayakan. Dapat dilihat pada gambar 4. Dalam sebulan, pemanenan madu dilakukan sekali yaitu berkisar antara tanggal 8 hingga 17. Untuk lebah budidaya, jumlah pidem yang dimiliki responden sebanyak 28 dengan perbandingan empat pidem berada di sekitar rumah responden dan sisanya berada di hutan. Banyaknya madu yang dapat dihasilkan adalah lima kg per pidem setiap bulan.

Biasanya, Pak Pasaribu mencari lebah liar di kawasan gunung Sibayak. Jumlah sarang lebah yang dijumpai tidak menentu namun rata-rata sarang lebah dijumpai pada pohon-pohon yang tingginya mencapai 10 meter. Bila dikalkulasikan, perbandingan banyaknya madu liar dan madu budidaya sebesar 30:140 botol dengan harga per botol Rp. 100,000.-. Sistem pembayarannya tidak menentu tergantung kondisi keuangan para pembeli. Namun, sebagian besar pembeli madu membayar tidak tunai. Untuk lapisan lilin dari madu tidak dijual ataupun dimanfaatkan karena dinilai tidak ekonomis bila harus dijual ke pasar. Sehingga lapisan lilin tersebut hanya dibuang saja. Pada saat musim hujan, lebah tidak mencari nektar sehingga madu berkurang.

Pemasaran madu dilakukan dari mulut ke mulut. Pembeli memesan madu terlebih dahulu kepada Pak Pasaribu dan pembayarannya biasanya tidak tunai. Pembeli umumnya lebih menyukai madu liar karena rasanya lebih manis


(48)

dibandingkan madu hasil budidaya. Berikut ini gambar pidem dan madu hasil budidaya.

Gambar 4. Pidem Lebah Gambar 5 . Madu hasil budidaya 6. Satwa

Secara umum ada tiga alasan manusia memanfaatkan hewan hutan yaitu : 1. Tujuan konsumsi. Tujuan ini biasanya banyak dilakukan oleh masyarakat di

sekitar hutan. Mereka berburu dalam rangka mencukupi kebutuhan sehari-hari dan jumlahnya juga terbatas. Kegiatan ini biasanta masih dalam tahap wajar dan tidak membahayakan keseimbangan ekosistem.

2. Tujuan koleksi. Tujuan ini biasanya dilakukan oleh kolektor hewan langka. Mereka melakukan perburuan untuk menambah koleksi semata.

3. Tujuan produksi. Tujuan ini membahayakan keseimbangan alam. Mereka berburu dalam jumlah yang tidak terbatas untuk memanfaatkan kulit atau bagian tubuh lain untuk barang kerajinan.

Di kedua desa, masyarakat memanfaatkan satwa hanya saat melakukan perburuan. Mereka melakukan perburuan hanya sekedar untuk hobbi ataupun mengisi waktu kosong. Biasanya masyarakat melakukan perburuan pada bulan


(49)

Juni hingga Juli karena pada saat itu banyak burung di hutan. Babi hutan biasanya diburu karena mengganggu ladang masyarakat sehingga harus diburu untuk mencegah kerusakan tanaman pertanian. Semua satwa yang diperoleh dari hutan tidak dijual melainkan untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Untuk menentukan harga semua satwa tersebut digunakan metode harga pasar dan harga relative. Seperti musang, harga relatifnya sebesar Rp. 10,000,-. Adapun satwa yang dimanfaatkan di Desa Jaranguda adalah musang dan babi hutan. Sedangkan di Desa Doulu berupa burung cicet, burung tuku ketut dan burung pamal. Burung-burung yang dimanfaatkan tersebut biasanya dikonsumsi langsung ketika berada di hutan. Adapun harga dari masing-masing burung berturut-turut yaitu Rp. 50,000.-; Rp. 50,000.- dan Rp. 50,000.-. Karena burung-burung tersebut tidak dijual maka pemberian harga berdasarkan penilaian metode relatif yaitu hasil hutan yang belum dikenal pasarnya namun dapat ditukarkan dengan barang atau jasa yang ada pasarnya.

Masyarakat pad kedua desa umumnya berburu pada hari minggu. Namun pada bulan Juni hingga Juli banyak masyarakat yang sengaja berburu untuk mencari burung. Hal ini dikarenakan karena saat bulan Juni-Juli burung-burung banyak ditemukan di hutan. Seperti bururng Pamal, merupakan salah satu jenis burung yang hanya ditemukan pada bulan Juni-Juli di sekitar gunung Sibayak. Potensi Hasil Hutan di Desa Jaranguda dan Doulu

Setelah melakukan penelitian di Desa Jaranguda dan Desa Doulu, hasil hutan yang dimanfaatkan sangat besar jumlahnya. Mekipun keanekaragaman jenis yang dimanfaatkan sedikit namun potensi untuk pemanfaatan ke depan sangat bagus. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jenis pemanfaatan bambu selain dijadikan keranjang ataupun tepas. Dapat diperkirakan pada Desa Doulu sekitar


(50)

400 KK memiliki ladang bambu dengan luas minimal yang dimiliki sekitar 0.5 ha. Hal ini berarti, bahwa sekitar 200 ha ladang bambu terdapat pada desa Doulu. Berdasarkan keterangan beberapa responden, ladang bambu yang mereka miliki merupakan warisan turun-temurun keluarga. Sehingga, meskipun status ladang tersebut merupakan hutan negara namun masyarakat menganggap ladang tersebut milik pribadi karena merupakan warisan turun-temurun keluarga. Padahal pada dasarnya mereka tidak memiliki sertifikat tanah yang mereka kelola.

Potensi bambu sendiri untuk Kabupaten Karo berdasarkan Badan Pusat Satistik (2006) menyebutkan bahwa potensi bambu sebesar 1255.25 ha. Sebenarnya, bambu bisa dijadikan perabot rumah tangga, sumpit, hiasan dinding dan sebagainya. Namun melihat kondisi masyarakat pada kedua desa yang termasuk pada kategori masyarakat tidak terdidik sehingga kreatifitas dalam mengolah hasil hutan masih sangat minim. Hal ini terlihat dari jenis produk berbahan bambu yang hanya berupa keranjang dan tepas seperti yang terlihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 6. Pembuatan Keranjang Gambar 7. Pembuatan Tepas

Potensi bambu sebagai tanaman konservasi DAS juga sangat besar. Selain memiliki keunggulan untuk memperbaiki sumber tangkapan air yang sangat baik,


(51)

sehingga mampu meningkatkan water storage (cadangan air bawah tanah) secara nyata, maka pertimbangan menggunakan bambu sebagai tanaman konservasi adalah karena bamboo merupakan tanaman yang mudah ditanam serta memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, tidak membutuhkan perawatan khusus, dapat tumbuh pada semua jenis tanah, tidak membutuhkan investasi besar, sudah dewasa pada umur 3 – 5 tahun dan dapat di panen setiap tahun tanpa merusak rumpun serta memiliki toleransi tinggi terhadap gangguan alam dan kebakaran. Disamping itu, bambu juga memiliki kemampuan peredam suara yang baik dan menghasilkan banyak oksigen sehingga dapat ditanam di daerah pemukiman maupun dipinggir jalan raya. Tanaman bambu mempunyai sistem perakaran serabut dengan akar rimpang yang sangat kuat, meskipun berakar serabut pohon bambu sangat tahan terhadap terpaan angin kencang. Perakarannya tumbuh sangat rapat dan menyebar ke segala arah, serta memiliki struktur yang unik karena terkait secara horizontal dan vertikal, sehingga tidak mudah putus dan mampu berdiri kokoh untuk menahan erosi dan tanah longsor di sekitarnya, disamping itu lahan di bawah tegakan bambu menjadi sangat stabil dan mudah meresapkan air. Dengan karakteristik perakaran seperti itu, memungkinkan tanaman ini menjaga sistem hidrologis yang menjaga ekosistem tanah dan air, sehingga dapat dipergunakan sebagai tanaman konservasi.

Selain pemanfaatan bambu, di Desa Jaranguda juga terdapat masyarakat yang memanfaatkan madu. Baik madu alam maupun madu yang dihasilkan dari budidaya. Diantara begitu banyak penduduk yang mendiami Desa Jaranguda hanya terdapat satu masyarakat yang memanfaatkan keberadaan madu alam atau biasa disebut madu liar yang ada di hutan. Sementara bila dilakukan taksasi


(52)

sumber daya madu yang terdapat di hutan Tahura keberadaan madu liar sangat banyak dan melimpah. Untuk budidaya lebah madu yang sudah dilakukan, dalam setiap bulannya mencapai 140 botol.

Sementara untuk tumbuhan obat, pada kedua desa sangatlah beragam. Pada Desa Jaranguda, jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan berjumlah 126 jenis. Sementara di Desa Doulu sebanyak 133 jenis. Tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat memang diperoleh dari hutan di sekitar Desa Jaranguda dan Doulu tersebut.

Kemudian untuk jenis satwa, di Desa Doulu hanya sedikit orang yang memanfaatkan satwa. Hal ini dikarenakan oleh pola pikir masyarakat yang sudah semakin mengerti akan satwa yang dilindungi. Dan hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Desa Jaranguda.

Berdasarkan hal di atas, manfaat tangible yang dimanfaatkan masyarakat pada kedua desa sangatlah besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahmawaty (2004) yang menyatakan bahwa hutan memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dilihat dari ketersediaan bambu untuk diolah menjadi keranjang, satwa yang diburu, ataupun hasil hutan lainnya. Sementara untuk manfaatn tidak langsung yang didapatkan oleh masyarakat pada kesua desa adalah manfaat rekreasi, pengaturan tata air dan pencegahan erosi. Hal yang paling nyata pada hal ini adalah manfaat rekreasi. Desa Doulu merupakan daerah pemandian air panas sehingga banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang memanfaatkan keindahan alam serta air panas tersebut.


(53)

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, potensi sumber daya hutan pada kedua desa merujuk pada pola tujuan konsumtif, koleksi dan produktif. Dimana, pola tujuan konsumtif berarti adanya pemakaian pribadi dan sehari-hari seperti contohnya buah-buahan, tumbuhan obat dan satwa. Sedangkan untuk pola tujuan koleksi sendiri tidak ditemukan pada salah satu responden. Dan untuk pola produksi contohnya pada pemanfaatan bambu regen, bambu bulak, madu dan tumbuhan obat.

Menurut keterangan salah satu responden, dalam satu ha bambu terdapat lebih kurang 300 rumpun bambu. Setiap rumpun memiliki 40 batang bambu. Dimana sekali dalam tiga bulan bambu tersebut dipanen sebanyak 6000 batang bambu. Berarti, perbandingan ketersediaan dengan pengambilan 12000:6000. Karena bambu merupakan salah satu tumbuhan vegetatif maka tidak perlu dilakukan budidaya khusus. Bambu akan tumbuh dengan sendirinya disamping juga harus dibersihkan dari rumput-rumput yang akan mengganggu proses perkembangannya.

Nilai Ekonomi Hasil Hutan di Desa Jaranguda dan Desa Doulu

Nilai ekonomi hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat di Desa Jaranguda lebih tinggi dari nilai ekonomi di luar hasil hutan seperti pertanian, buruh, perkebunan, wiraswasta dan sebagainya. Nilai ekonomi hasil hutan diperoleh dari perkalian total pengambilan per jenis per tahun dengan harga hasil hutan per jenis (Lampiran 3 dan 7). Hasil penelitian di Desa Jaranguda menunjukkan bahwa nilai ekonomi dari pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat yaitu sebesar Rp. 1,219,958,800 ,- per tahun. Nilai ini diperoleh dari hasil


(54)

penjumlahan nilai ekonomi bambu regen, tanaman obat, madu, satwa dan buah-buahan.

Jenis hasil hutan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pendapatan masyarakat adalah bambu regen yang diolah menjadi keranjang. Adapun nilai ekonominya yaitu sebesar Rp. 540,992,000,- atau dengan persentase jenis sebesar 44.34 % dari jumlah total keseluruhan nilai hasil hutan yang dimanfaatkan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat Desa Jaranguda No Jenis Hasil Hutan Pengambila n (Unit/Tahu n) Satuan (Unit) Harga (Rp/Unit) Nilai Hasil Hutan (Rp/Tahun) Persentase Nilai Ekonomi (%) 1 Bambu

Regen 93416 batang 1,000-7,000 540,992,000 44.34

2

Buah-buahan 336 buah 300-1,000 212,800 0.02

3 Satwa 85 ekor

10,000;

750,000 63,010,000 5.16 4 Madu 2040 botol 100,000 204,000,000 16.72

5

Tumbuhan

Obat 46320

genggam,

biji 1,000-100,000 411,744,000 33.76 Jumlah 1,219,958,800 100

Besarnya kontribusi bambu pada Desa Jaranguda disebabkan oleh sistem kerja pembuatan keranjang yang tidak terikat sepanjang hari. Sehingga, masyarakat berpikir menjadi perajin keranjang adalah pekerjaan yang sangat menguntungkan. Pada pukul 14.00 WIB perajin keranjang telah selesai membuat keranjang dan dapat melanjutkan pekerjaan yang terbengkalai di ladang hingga sore hari. Selain itu, kebutuhan akan keranjang yang sangat banyak untuk mencukupi keranjang jeruk dan tomat sehingga masyarakat tidak pernah berhenti membuat keranjang setiap hari kecuali minggu.

Jenis hasil hutan satwa dan buah-buahan hanya memberikan persentase nilai ekonomi masing-masing 5.16 % dan 0.02 %. Hal ini disebabkan oleh


(55)

persepsi masyarakat yang sudah mulai paham akan peraturan pemerintah yang melarang perburuan liar. Tanaman obat yang dimanfaatkan masyarakat di Desa Jaranguda hanya sedikit. Hal ini karena masyarakat lebih suka menggunakan obat yang praktis daripada harus mencari ke hutan dan meramu sendiri obatnya.

Setelah melakukan wawancara dengan seorang ahli pengobatan Karo, ternyata responden memanfaatkan 122 jenis tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Tahura. Adapun kontribusi tumbuhan obat sebesar Rp. 411,744,000,- dengan persentase nilai ekonomi 33.76 %. Responden tersebut menjelaskan bahwa tumbuhan obat tersebut rata-rata diambil sekali hingga dua kali seminggu dan kemudian diracik menjadi minyak kusuk, parem, tawar dan sebagainya. Mengingat permintaan pasien yang berobat ke praktek pengobatan responden sangat banyak maka hal tersebut menjadi alasan cukup besarnya nilai ekonomi dari tumbuhan obat tersebut.

Sedangkan nilai ekonomi hasil hutan dari madu, diperoleh persentase sebesar 16.72 % dengan nilai ekonomi Rp. 204,000,000 dalam setahun. Pemanfaatan madu ini masih sebatas untuk satu responden saja. Bayangkan bila seandainya terdapat beberapa orang lagi yang bermata pencaharian sebagai peternak madu.

Sama halnya dengan Desa Jaranguda, Desa Doulu juga didominasi oleh hasil hutan berupa bambu regen dengan nilai hasil hutan Rp. 528,264,000,- dengan persentase nilai ekonomi 48.42 %. Diikuti oleh nilai ekonomi tumbuhan obat pada posisi kedua dengan nilai Rp. 437,232,000,- dan persentasenya sebesar 40.08 %. Lain halnya dengan Desa Jaranguda yang hanya memanfaatkan satu jenis bambu, Desa Doulu memanfaatkan dua jenis bambu yaitu bambu regen dan


(56)

bulak. Bambu bulak digunakan untuk membuat tepas. Perbedaan ini disebabkan oleh masyarakat Desa Jaranguda tidak ada yang menjadi perajin tepas. Sementara di Desa Doulu terdapat tiga orang yang menjadi perajin tepas. Nilai ekonomi yang diperoleh dari tepas sebesar Rp. 119,040,000,- per tahun dengan persentase nilai ekonominya sebesar 10.91 %. Satwa tidak memberikan kontribusi yang banyak karena sama halnya dengan masyarakat Desa Jaranguda, masyarakat Desa Doulu juga paham akan perlindungan satwa sehingga mereka jarang melakukan perburuan ke hutan sehingga persentase nilai ekonominya hanya sebesar 0.59 %. Pada Tabel 4 dapat dilihat persentase nilai ekonomi hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat Desa Doulu.

Tabel 4. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat Desa Doulu. No Jenis Hasil hutan Pengam bilan (Unit/ Tahun) Satuan (Unit) Harga (Rp/Unit) Nilai Hasil Hutan (Rp/tahun) Persentase Nilai Ekonomi (%) 1 Bambu

Regen 77900 batang 1,000-7,000 528,264,000 48.42

2

Bambu

Bulak 3936 m2 30,000-40,000 119,040,000 10.91

3

Tumbuhan

Obat 51456

genggam, biji,

lembar 1,000-100,000 437,232,000 40.08

4 Satwa 52 ekor

750,000-3,000,000 6,250,000 0.59 Total 1,090,786,000 100

Sesuai dengan pernyataan Pearce (2001), nilai ekonomi hasil hutan tinggi jika hutan tersebut mudah diakses dan sebaliknya nilai yang rendah atau bahkan bias mencapai nol jika hutan tersebut susah untuk diakses sehingga biaya aksesnya tinggi dan ditambah dengan biaya pengolahan. Untuk desa Doulu maupun Jaranguda, karena hutan di sekitarnya masih tergolong hutan yang mudah diakses menyebabkan nilai ekonomi jenis hasil hutan masih tergolong tinggi.


(57)

Kontribusi Hasil Hutan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga di Desa Jaranguda dan Desa Doulu

Sebagai masyarakat tani, pendapatan utama masyarakat adalah bertani. Namun melihat kondisi pertanian di kedua desa tersebut maka sumber pendapatan dari pertanian tidak sebanyak dari pengolahan bambu, tumbuhan obat ataupun madu. Sehingga tidak jarang petani juga berprofesi sebagai perajin keranjang. Hal ini disebabkan dengan menjadi perajin keranjang, para petani memiliki modal untuk mencukupi kebutuhan ladang. Pendapatan dari pertanian juga tidak dapat disamakan setiap waktu. Karena, sering terjadi gagal panen ataupun hasil panen yang tidak dapat mengembalikan modal ladang. Pendapatan masyarakat Desa Jaranguda dan Doulu di luar Pemanfaatan hasil hutan dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun Di Luar Pemanfaatan Hasil Hutan Di Desa Jaranguda

No Sumber Pendapatan Jumlah (Rp) Persentase (%)

1 Pertanian 218,400,000 90.62 2 Buruh Tani 7,800,000 3.23 3 Buruh Bangunan 2,400,000 0.99 4 Ahli Pengobatan 2,000,000 0.83 5 Pemandu Wisata 400,000 0.17

6 Dagang 5,000,000 2.08

7 Perkebunan 5,000,000 2.08 Jumlah 241,000,000 100

Tabel 6. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun Di Luar Pemanfaatan Hasil Hutan Di Desa Doulu

No Sumber Pendapatan Jumlah (Rp) Persentase (%)

1 Pertanian 148,800,000 67.02

2 Dagang 22,800,000 10.27

3 Tukang Kusuk 9,600,000 4.33 4 Buruh Tani 10,800,000 4.86 5 Tukang Ojek 30,000,000 13.52


(58)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pemanfaatan hasil hutan per KK per tahun pada Desa Jaranguda dan Desa Doulu sebesar Rp. 40,665,293,- dan Rp. 36,559,533,- . Hal ini membuktikan bahwa pemanfaatan hasil hutan pada kedua desa memberikan kontribusi yang nyata. Berarti, pada kedua desa tersebut keberadaan hutan masih menjadi penopang kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi.

Berdasarkan Rensis Likert dalam Usman dan Purnomo (2009) kontribusi pendapatan bambu regen termasuk ke dalam kontribusi pendapatan sedang yaitu 41%-60%. Sementara bambu bulak masuk ke dalam kontribusi pendapatan sangat kecil yaitu 0%-20%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini. Tabel 7. Persentase Kontribusi Bambu Terhadap Ekonomi Rumah Tangga

No Persentase Kontribusi

Pendapatan Hasil Bambu Keterangan

1 0%-20% Kontribusi pendapatan sangat kecil

2 21%-40% Kontribusi pendapatan kecil

3 41%-60% Kontribusi pendapatan sedang

4 61%-80% Kontribusi pendapatan besar

5 81%-100% Kontribusi pendapatan sangat besar

Sementara pada pendapatan di luar hutan per KK per tahun pada Desa Jaranguda dan Desa Doulu sebesar Rp. 8,033,333- dan Rp. 7,400,000,-. Berdasarkan nilai tersebut terlihat dengan jelas perbandingan pendapatan dari hutan dan juga luar hutan. Untuk lebih jelas di bawah ini terdapat grafik persentase nilai ekonomi hasil hutan dan luar hutan pada kedua desa tersebut.


(59)

Gambar 8. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan dan Luar Hutan di Desa Jaranguda

Pada Desa Jaranguda, terlihat bahwa pendapatan masyarakat didominasi dari pemanfaatan hasil hutan. Meskipun dari letaknya desa ini merupakan saah atu desa yang dekat sekali ke pusat kota. Begitu juga dengan akses ke hutan, desa ini berbatasan langsung dengan Tahura Bukit Barisan. Sementara Desa Doulu merupakan desa yang dikelilingi oleh deleng-deleng yang menyebabkan masyarakat bergantung sekali dengan hutan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Gambar 9 . Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan dan Luar Hutan di Desa Doulu

Persentase hasil hutan dan luar hutan yang ada di kedua desa tersebut dapat dilihat pada grafik di atas. Untuk Desa Jaranguda, persentase hasil hutan sebesar 83.58% sedangkan luar hutan sebesar 16.42%. lebih dari setengah pendapatan masyarakat berasal dari hasi hutan. Sementara untuk Desa Doulu

Hasil Hutan, 83.51% Luar Hutan,

16.49%

Hasil Hutan, 83.09% Luar Hutan,


(60)

persentase hasil hutan dan luar hutan adalah 83.16% dan 16.84%. dari besarnya hasil hutan yang dimanfaatkan pada kedua desa, tidak satupun terdapat masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan kayu. Semua masyarakat yang menjadi responden hanya menggunakan hasil hutan non kayu. Berdasarkan Adger

et al (1994), pemanfaatan hasil hutan non kayu sebenarnya memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian penduduk. Selain itu juga akan sangat berkontribusi bagi masyarakat tidak mampu untuk menyokong kehidupan mereka. Pernyataan di atas terlihat jelas pada Desa Jaranguda dan juga Doulu. Dimana masyarakatnya mengolah hasil hutan non kayu untuk mata pencaharian, makanan, dan juga obat-obatan.

Menurut Ramelgia (2009) dalam Linda Sri Agustina Wati (2011) tingkat ketergantungan masyarakat dengan persentase kontribusi 75% - 100% termasuk ke dalam kategori tergantung sekali. Pada Desa Jaranguda sebesar 83.51% sedangkan pada Desa Doulu 83.09%. terlihat dari hasil tersebut bahwa Desa Doulu dan Desa Jaranguda tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam pemanfaatan hasil hutan.

Adapun model interaksi yang paling dominan pada kedua desa adalah model interaksi produktif yang akhirnya menuju pada konsep komersil. Seperti pemnafaatan bambu regen dan bambu bulak yang diolah menjadi keranjang dan tepas untuk dijual pada konsumen. Begitu juga dengan tumbuhan obat yang diolah menjadi minyak kusuk, parem ataupun tawar. Namun untuk satwa dan buah-buahan pola interaksi yang digunakan adalah konsumtif. Khusus untuk madu, interaksi yang berlangsung adalah interaksi konsumtif dan produktif.


(1)

persentase hasil hutan dan luar hutan adalah 83.16% dan 16.84%. dari besarnya hasil hutan yang dimanfaatkan pada kedua desa, tidak satupun terdapat masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan kayu. Semua masyarakat yang menjadi responden hanya menggunakan hasil hutan non kayu. Berdasarkan Adger et al (1994), pemanfaatan hasil hutan non kayu sebenarnya memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian penduduk. Selain itu juga akan sangat berkontribusi bagi masyarakat tidak mampu untuk menyokong kehidupan mereka. Pernyataan di atas terlihat jelas pada Desa Jaranguda dan juga Doulu. Dimana masyarakatnya mengolah hasil hutan non kayu untuk mata pencaharian, makanan, dan juga obat-obatan.

Menurut Ramelgia (2009) dalam Linda Sri Agustina Wati (2011) tingkat ketergantungan masyarakat dengan persentase kontribusi 75% - 100% termasuk ke dalam kategori tergantung sekali. Pada Desa Jaranguda sebesar 83.51% sedangkan pada Desa Doulu 83.09%. terlihat dari hasil tersebut bahwa Desa Doulu dan Desa Jaranguda tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam pemanfaatan hasil hutan.

Adapun model interaksi yang paling dominan pada kedua desa adalah model interaksi produktif yang akhirnya menuju pada konsep komersil. Seperti pemnafaatan bambu regen dan bambu bulak yang diolah menjadi keranjang dan tepas untuk dijual pada konsumen. Begitu juga dengan tumbuhan obat yang diolah menjadi minyak kusuk, parem ataupun tawar. Namun untuk satwa dan buah-buahan pola interaksi yang digunakan adalah konsumtif. Khusus untuk madu, interaksi yang berlangsung adalah interaksi konsumtif dan produktif.


(2)

Kendala Dalam Pengelolaan Hasil Hutan di Desa Jaranguda dan Desa Doulu Adapun kendala dalam pengelolaan hasil hutan yang dirasakan masyarakat adalah

1. Cuaca. Maksudnya, cuaca menjadi penghambat aktivitas masyarakat dalam mencari hasil hutan ke hutan. Apalagi bila hujan turun saat mereka akan pergi ke hutan. Terkecuali bila mereka sudah kembali dari hutan maka cuaca tidak menjadi masalah karena pengolahan hasil huatn dapat dilakukan di rumah. Karena cuaca merupakan factor alam sehingga tidak ada solusi bagi kendala tersebut.

2. Lokasi. Lokasi pengambilan hasil hutan yang tidak selalu datar menjadi kekhawatiran perajin karena dapat membahayakan jiwa mereka. Solusi yang mereka lakukan hanya berhati-hati saat mengambil hasil hutan.

3. Musim. Khususnya keranjang, musim jeruk yang tidak sepanjang tahun menyebabkan penjualan keranjang terhambat. Adapun solusi untuk menanggulangi hal ini adalah dengan beralih profesi sementara waktu menjadi aron ataupun petani.


(3)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Jenis Hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat di sekitar Kawasan Tahura adalah bambu regen, bambu bulak,tumbuhan obat, satwa dan madu.

2. Nilai ekonomi yang paling besar pada kedua desa adalah pemanfaatan bambu regen sebesar 44.34% di desa Jaranguda dan 48.42% pada Desa Doulu.

3. Hasil hutan di Desa Jaranguda memberikan kontribusi 83.51% sementara dari luar hutan sebesar 16.49% dan untuk Desa Doulu kontribusi hasil hutan sebesar 83.09% dan luar hutan sebesar 16.91%.

Saran

Diharapkan adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui proses pembuatan obat khas karo pada kedua desa tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, O dan P. Patana. 2002. Penelitian Perhitungan Nilai Ekonomi Pemanfaatan Hasi HUtan Non Marketable oleh Masyarakat Desa Sekitar Hutan. USU. Medan

Adger et al. 1994. Towards Estimating Total Economic Value of Forests in Mexico. Centre for Social and Economic Research on the Global Enviroment, University of East Angelia and University College London. London

Andayani, R. 2005. Promosi Potensi Dan Kelayakan Usaha TAHURA Bukit Barisan . Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara. Medan

Arief, A.2001. Hutan dan Kehutanan. Catatan ke-5. Penerbit kanisius.Yogyakarta Arupa, 2000. Desa Mengepung Hutan. Prosiding Seminar dan Lokakarya

Pengelolaan Hutan Partisipatif Terintegrasi Sebagai Implementasi PHBM di Randublatung.Yogyakarta

Awang, S.A., Andayani, W., Himmah, B., Widayanti, W.T., Affianto, A. 2002. Hutan Rakyat, Sosial Ekonomi dan Pemasaran. BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta

Darusman, D dan Suhardjito, D. 1998. Kehutanan Masyarakat. IPB dan The Ford Foundation. Bogor

FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor , Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch

Hendarto, K.A.2002. Proyek Kehutanan Sosial Dan Penganggaran Berwawasan Gender : Suatu Ulasan Teoritis

Hutabarat, S. 2001. Perkembangan Kehutanan Indonesia Pada Era Reformasi. Jurnal Analisis CSIS tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan dan Peran

Lembaga Donor. Tahun XXX/2001. No.2. CSIS. Jakarta

Justianto, A. 2005. Pilihan Strategi Pengurangan Kemiskinan Di Sekitar Hutan Studi Kasus Di Kalimantan Timur. Institut Pertanian Bogor

Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT Antara Indonesia dan Uni Eropa. 2010. Upaya Bersama untuk Memastikan dan Meningkatkan Perdagangan Kayu Legal dan Tata Kelola Yang Baik Pada Sektor Kehutanan

Lidiawati, I. 2003. Penilaian Ekonomi Kerusakan Hutan dan Lahan Akibat Kebakaran. Institut Pertanian Bogor. Bogor


(5)

Lutfannisa. 2011. Pemanfaatan Madu. http:www. Pemanfaatan Madu. Html. Diakses 2 Juni 2012

Pamulardi, B. 1999. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Pearce, D. 2001. The Economic Value of Forest Ecosystems. CSERGE-Economics, University College London. London

Pemerintah Kabupaten Karo. 2010. Data Dasar Profil Desa Doulu. Pemerintahan Karo. Kabanjahe

---. 2007. Data Dasar Profil Desa Jaranguda. Pemerintahan Karo. Kabanjahe

Rahmawaty, 2004. Hutan: Fungsi Dan Peranannya Bagi Masyarakat. USU. Medan

Raga, G. 2001. Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat Bagi Masyarakat Desa Dalam Perspektif Sodial Budaya. Studi kasus di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgah, Buleleng Bali. Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar

Rencana Penelitian Integratif, 2010. Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu hal 595-626. Jakarta

Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro. 2000. Ekonomi Lingkungan . Yogyakarta. Edisi Kedua. Yogyakarta

Suharisno, 2009. Grand Strategy Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Prosiding Workshop Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Pada: Pekan Raya Hutan dan Masyarakat 2009 Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta. Yogyakarta, p. 1-28.

Suparmoko,M dan Ratnaningsih, M. 2000. Ekonomika Lingkungan. Edisi Pertama BPFE. Yogyakarta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Januari 2012)

Warsid. 2000. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Sebagai Sarana Pengembangan Perekonomian Daerah Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Zain, AS. 1997. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Penerbit Rineka cipta. Jakarta


(6)

Zuhud, E, A, M. 2008. Kebijakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dengan Pengembangan Potensi Lokal Ethno-Forest-Pharmacy (Etno-Wanafarma) pada Setiap Sosial-Biologi Satu-satuan Masyarakat Kecil. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor