c. Upaya apakah yang dilakukan oleh pemerintah Daerah untuk mengatasi
hambatanmasalah dalam pengadaan tanah yang berasal dari hak ulayat untuk kepentingan umum ?
Namun penelitian mengenai kajian yuridis pelaksanaan pengadaan tanah untuk relokasi korban tsunami di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh
Barat, belum ada dalam penelusuran. Oleh karena obyek dan lokasi penelitiannya berbeda, maka dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini adalah asli.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
”Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”.
11
”Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan,
yang mampu menerangkan masalah tersebut”.
12
”Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus
atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis”.
13
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982, hlm. 6.
12
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Edisi 1, Andi, Yogjakarta, 2006, hlm. 6.
13
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80.
”Sehingga fungsi teori dalam penulisan tesis ini adalah untuk memberikan arahanpetunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati”.
14
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sehingga kerangka teori yang diarahkan adalah berdasarkan ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha
untuk memahami pelaksanaan pengadaan tanah untuk relokasi korban tsunami secara yuridis, memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau
sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
”Teori yang di pakai adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh perubahan hukum”.
15
Lahirnya peraturan hukum positif di luar KUHPerdata menunjukkan bahwa hukum akan selalu berkembang dan akan digunakan sebagai sarana
pendukung perubahan dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound dalam Sociological Jurisprudence sebagaimana dikutip oleh Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,
mengemukakan bahwa : Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Jadi mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hukum merupakan a tool of sosial engineering atau hukum sebagai alat pembaharuan dalam
masyarakat. Hukum yang digunakan sebagai alat pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Jadi hukum merupakan
pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-
undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan.
16
14
Snelbecker dikutip oleh Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Bandung, 1993, hlm. 35.
15
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hlm. 101
16
H.Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 66-67.
Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum rechtstaat. Ada dua kata istilah rechtstaat yang perlu dicermati. Pertama “staat” dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan negara, sedangkan “rechts” diterjemahkan hukum. Dengan demikian istilah rechtstaat dalam bahasa Belanda yaitu hukum itulah yang harus dirujuk
pertama-tama dengan mengatasi norma-norma apapun lainnya demi terwujudnya kehidupan bersama di dalam organisasi negara nasional.
17
Di dalam hal ini dapat pula diartikan, bahwa di dalam doktrin negara hukum dalam kehidupan negara perilaku setiap orang harus mempunyai dasar pembenaran
hukum. Negara hukum berarti negara yang mengakui supremasi hukum. Baik pemerintah
maupun rakyat wajib taat kepada hukum dan bertingkah laku sesuai dengan ketentuan hukum. Semua pejabat negara dan pemerintah, dari kepala negara, para menteri,
anggota MPR dan DPR, Hakim dan Jaksa sampai Pegawai Negeri yang rendah, di dalam menjalankan tugasnya masing-masing harus taat kepada hukum. Mereka wajib
menjunjung tinggi hukum, mengambil keputusan sesuai dengan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan dari hal tersebut adalah semata-mata demi
tegaknya hukum dan keadilan.
18
“Sehingga dalam negara hukum, kedudukan warga negara demikian juga pejabat pemerintah adalah sama, dan tak ada bedanya dimuka hukum. Keduanya tidak boleh
melanggar hukum tetapi harus sama-sama melaksanakannya. Apabila tidak ada persamaan dimuka hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan kebal
hukum. Hal mana pada umumnya akan menindas yang lemah”.
19
Dari penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa negara hukum juga berarti negara yang berlandaskan hukum dan menjamin keadilan bagi warganya, di mana segala
kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata
17
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, 2000, hlm. 472.
18
Kirdi Dipoyudo, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Keadilan Sosial, Rajawali. Jakarta, 1985, hlm. 9.
19
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 113 .
berdasarkan hukum atau diatur oleh hukum. Hal demikian mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya. Negara menjamin agar setiap orang dapat memiliki
dan menikmati hak-haknya dengan aman dan semua orang berhak mendapatkan jaminan hukum sebagai hak asasinya. Dalam rangka itu negara dan kehidupannya
harus didasarkan atas hukum dan menurut hukum seperti yang dituangkan dalam konstitusi, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
“Manusia dengan tanahnya mempunyai hubungan kosmos-magis-religius selain hubungan hukum. Hubungan ini bukan saja antara individu dengan tanah, tetapi juga
antara kelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat rechtgemeenschap di dalam hubungan dengan hal ulayat. Hal ini dikemukakan oleh
Jhon Salindeho yang dikutip Moehammad Koesno”.
20
Dari pengertian di atas maka begitu bernilai suatu bidang tanah bagi seseorang atau bagi manusia, sebab di situ ia hidup dan dibesarkan dan tanah itu pula yang
memberi kehidupan kepadanya. “Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi pengertian tentang tanah yaitu :
1. Permukaan bumi atau bumi yang diatas sekali.
2. Keadaan bumi di suatu tempat, permukaan bumi yang di beri batas
3. Permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah suatu
negara atau menjadi daerah negara”.
21
20
Moehammad Koesno, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, 1997, hlm. 143-144.
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, 1991, hlm. 1001.
Menurut Abdurrahman, “tanah dapat di nilai sebagai harta yang mempunyai sifat permanen karena memberikan suatu kemantapan untuk dicadangkan bagi kehidupan
di masa mendatang, dan pada dasarnya tanah pulalah yang dijadikan tempat persemayaman terakhir bagi seorang yang meninggal dunia”.
22
Di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal 4 ayat 1
Undang-Undang Pokok Agraria memberi pengertian tentang tanah sebagai berikut : “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
Selanjutnya Abdurrahman, “memberikan definisi tentang tanah adalah tempat bermukim bagi umat manusia disamping sebagai sumber kehidupan bagi mereka
yang mencari nafkah melalui usaha tani”.
23
“Sedangkan hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah
yang dihakinya”.
24
Oleh karena itu tanah yang diberikan dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria tidak akan
bermakna, jika penggunannya terbatas pada permukaan bumi saja. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan, bahwa hak-hak atas
tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
22
Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 1.
23
Abdurrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 25.
24
Urip Santoso, Hukum Agraria Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 82.
permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya. Dengan demikian maka yang
dipunyai dengan hak-hak atas tanah itu adalah tanahnya sebagian tertentu dari permukaan bumi.
25
Berdasarkan hal tersebut maka tanah mempunyai nilai yang sangat strategis dan
berharga sebagai potensi modal yang menguntungkan. Akibatnya harga tanah cenderung meningkat dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan doktrin negara hukum yang dianut UUD 1945, pemerintah mempunyai hak untuk mendapatkan tanah, untuk pembangunan fasilitas kepentingan
umum antara lain dengan cara : a.
Jual beli b.
Pencabutan hak onteigening c.
Perampasan verbeurdverklaring d.
Nasionalisasi.
26
“Pada asasnya jika diperlukan tanah danatau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu diperoleh
dengan persetujuan dari yang mempunyai tanah, misalkan atas dasar jual beli, tukar menukar atau lain sebagainya”.
27
Demikian pula keperluan tanah bagi pemerintah yang diperlukan untuk pembangunan untuk kepentingan umum haruslah lebih dahulu
diusahakan agar tanah itu diperoleh dengan persetujuan dari yang mempunyai tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau dikenal dengan UUPA adalah undang-undang yang berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia yang
mengandung asas prinsip bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial, dan asas bahwa hak milik atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum. Kedua
25
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 18.
26
Muhammad Abduh, Beberapa Ciri Khas Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum USU, Medan, 1979, hlm. 4.
27
Syafruddin Kalo, Loc.cit, hlm 25.
prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam Pasal 6 dan Pasal 18 UUPA.
28
“Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria, menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
29
“Hal ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat”.
30
AP. Parlindungan berpendapat bahwa, “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial tetapi tidak
berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum.”
31
“Selanjutnya Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan pula bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat di cabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.
32
Sebagai realisasi dari ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria maka pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana yaitu Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, yaitu bahwa pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada
diatasnya, supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta cara-cara yanag adil dan bijaksana, segala sesuatu
sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
33
28
Syafruddin Kalo, Ibid, hlm. 124.
29
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, Cet. Ke-17, Tahun 2006, hlm. 7.
30
Penjelasan Umum Undang-Undang Pokok Agraria.
31
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 40.
32
Undang-Undang Pokok Agraria, hlm. 18
33
A.P. Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah, Suatu Perbandingan, Mandar Maju, Bandung, 1993, hlm. 103.
“Dengan ketentuan bahwa penggunaan undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 hanya dipakai sebagai senjata terakhir”.
34
Dari kedua asas yang tertuang dalam Pasal 6 dan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut di atas jelaslah bahwa Undang-Undang Pokok Agraria telah
meletakkan suatu sistem yang pasti bahwa pemerintah juga dapat melakukan pencabutan hak-hak atas tanah milik masyarakat untuk pembangunan berbagai
fasilitas kepentingan umum tetapi harus dengan cara memberikan ganti rugi yang layak kepada pemilik menurut undang-undang. Begitu juga rakyat harus bersedia
melepaskan hak atas tanahnya sesuai dengan fungsi sosial dari tanah tersebut, setelah diberikan ganti rugi yang layak sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.
Kemudian dengan adanya ketentuan pencabutan hak tersebut, pemerintah secara legal dibenarkan untuk sesuai dengan tujuan undang-undang itu, memaksakan
kebijaksanaannya melakukan pencabutan hak untuk penyelenggaraan kepentingan umum.
Dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum memberikan pengertian bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
35
34
Marmin M. Roosadijo, Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada diatasnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1979, hlm. 13.
35
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
“Sementara kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyaraka”.
36
Dari ketentuan peraturan diatas dapat dimengerti bahwa Pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan
sebagian besar lapisan masyarakat dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah. Salah satu kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat ini adalah relokasi korban tsunami.
“Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah itupun dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah”.
37
Pemerintah yang memperoleh tanah untuk kepentingan pembangunan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
terlebih dahulu harus ada consensuskesepakatan antara masyarakat yang mempunyai tanah.
Pasal 6 Angka 1 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 menentukan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah KabupatenKota dilakukan
dengan bantuan panitia pengadaan tanah KabupatenKota yang dibentuk oleh BupatiWalikota.
Yang mana Panitia pengadaan tanah bertugas : a.
mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan
atau diserahkan.
36
Pasal 1 Angka 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
37
Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006.
b. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya c.
menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan
d. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena
rencana pembangunan danatau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui
tatap muka, media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan danatau pemegang hak
atas tanah.
e. mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi
pemerintah danatau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk danatau besarnya ganti rugi.
f. menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah. g.
membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. h.
mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.
38
“Dari ketentuan Pasal 7 Terlihat bahwa salah satu tugas dari panitia pengadaan tanah adalah mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan
instansi pemerintah danatau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk danatau besarnya ganti rugi”.
39
Tetapi cara demikian itu tidak selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang empunya meminta harga yang terlampau tinggi
ataupun tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanah yang diperlukan itu. Oleh karena kepentingan umum harus di dahulukan dari kepentingan orang seorang, maka
jika tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa
hasil yang diharapkan haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan. Pengambilan itu dilakukan
dengan jalan mengadakan pencabutan hak sebagai yang dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut diatas.
40
38
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006.
39
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006.
40
Syafruddin Kalo, Loc.cit hlm. 127.
Teranglah kiranya bahwa pencabutan hak adalah jalan terakhir untuk memperoleh tanah danatau benda lainnya yang diperlukan untuk kepentingan umum.
Dalam pada itu dalam menjalankan pencabutan hak tersebut kepentingan dari yang mempunyai tanah tidak boleh diabaikan begitu saja dimana dalam Pasal 18 Undang-
Undang Pokok Agraria dimuat pula jaminan-jaminan yang mempunyai tanah. Yaitu bahwa pencabutan hak harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak dan harus
pula dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dengan ketentuan bahwa apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang
ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden, karena dianggap jumlahnya
kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.
41
Mengenai pencabutan atau pelepasan hak atas tanah A.P. Parlindungan menyatakan “Orang yang dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaan lebih miskin
ataupun menjadi lebih miskin setelah pencabutan hak tersebut, ataupun akan menjadi miskin kelak karena uang pembayaran ganti rugi itu telah habis karena dikonsumsi.
Minimal dia harus dapat dalam situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti dicabut haknya syukur kalau bertambah lebih baik”.
42
“Artinya pencabutan hak atas pembebasan tanah harus dengan suatu ganti rugi yang layak”.
43
41
Pasal 18 A Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006.
42
A.P. Parlindungan Loc.cit, hlm. 5.
43
A.P. Parlindungan, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung,1990, hlm. 44.
Sejalan dengan pendapat di atas Boedi Harsono merumuskan baik dalam perolehan tanah atas dasar kata sepakat maupun cara pencabutan hak, kepada pihak
yanag telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak sehingga dengan sedemikian rupa keadaan sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi
mundur. Dengan demikian maka pemberian ganti rugi ini harus betul-betul mampu mengantisipasi munculnya kemiskinan dalam masyarakat bukan penyebab timbulnya
kemiskinan baru.
44
Berdasarkan ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa ganti rugi adalah merupakan suatu imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah sebagai
pengganti dari nilai tanah termasuk yang ada diatasanya, terhadap tanah yang telah dilepas atau diserahkan.
Dari ketentuan diatas maka pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus dilakukan dengan prinsip keadilan, yaitu dengan
penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang diusahakan dengan cara seimbang dan dilakukan dengan cara musyawarah. Perlakuan yang seimbang antara pemilik
tanah dan yang membutuhkan tanah adalah merupakan pemenuhan rasa keadilan bagi masing-masing pihak. Dalam hal ini maka, pemerintah harus bertindak secara adil
dan dilaksanakan dengan etika moral yang tinggi. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan pembebasan hak-hak atas
tanah masyarakat haruslah di atur dalam suatu undang-undang, yang mencerminkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak
keperdataan dan hak ekonominya yang substansinya didasarkan atas asas-asas hukum, yang antara lain sebagai berikut :
1.
Asas KesepakatanKonsensus 2.
Asas Kemanfaatan 3.
Asas Kepastian 4.
Asas Keadilan 5.
Asas Musyawarah
44
Boedi Harsono, Aspek Yuridis Penyediaan Tanah, Makalah Pada Seminar Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan, Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1990, hlm. 7.
6. Asas Keterbukaan
7. Asas Keikutsertaan
8. Asas Kesetaraan
9. Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan ekonomi.
45
2. Konsepsi