Petitum dalam Perkara Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian

39 DPD hanya menggunakan seluruh peluang kewenangan DPD yang serba terbatas dalam menjalankan tugas. Irman Gusman juga menyampaikan telah mengupayakan semacam perubahan konstitusional agar daerah lebih didengar. Walau ternyata pada akhirnya DPD harus berhadapan dengan kenyataan di mana resistensi pun terjadi dari kalangan politik membuat perjuangan perubahan konstitusional itu bergerak seperti yoyo, tarik ulur atau tampaknya banyak bergerak, tetapi sebenarnya yoyo statis di tempat yang itu-itu juga. 65 DPD menyatakan segala upaya yang mungkin legal dan beradab telah dilakukan secara kreatif agar undang-undang yang mengatur impelementasi kewenangan DPD sesuai dengan amanat konstitusi. 66 Setelah terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 berganti menjadi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, masih dianggap belum menyentuh mandat konstitusional yang digariskan ada kemajuan konsep keterlibatan DPD dalam law making process dibandingkan dengan UUD 1945.

B. Petitum dalam Perkara Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian

Undang-Undang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 92PUU-X2012 Petitum atau tuntutan dapat juga disebut dictum permohonan atau gugatan. Petitum merupakan kesimpulan dari permohonan atau gugatan yang berisikan rincian satu persatu apa yang diminta atau dikehendaki untuk dihukumkan kepada 65 Ibid,. 66 Ibid,. 40 para pihak, terutama kepada pihak Tergugat atau Termohon agar diputuskan oleh hakim. 67 Kedudukan petitum merupakan syarat formal permohonan atau gugatan yang bersifat mutlak dan jika tidak mencantumkan bagian ini, maka sebuah permohonan akan dianggap kabur dan dinyatakan tidak diterima oleh pengadilan. Memuat petitum di dalam sebuah permohonan diatur di dalam Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan diatur lebih rinci pada Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06PMK2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian undang-undang. 68 Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam sidang pengujian Undang- Undang oleh Pemohon dan bukti-bukti terlampir, Pemohon mengajukan kesimpulan permohonan kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk memberikan putusan, yaitu: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. a. Menyatakan: - Pasal 71 huruf d; - Pasal 71 huruf e, sepanjang frasa “...sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”; - Pasal 71 huruf g, sepanjang kata “...memperhatikan”; - Pasal 102 ayat 1 huruf d, sepanjang frasa “...atau DPD”; - Pasal 102 ayat 1 huruf e; 67 Op, cit. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Hal 74. 68 Ibid . 41 - Pasal 147 ayat 1, ayat 3, ayat 4, dan ayat 7; - Pasal 150 ayat 5; -Penjelasan Umum, sepanjang kalimat “Kedudukan DPD dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut sampai pada pembahasan tingkat pertama dan tidak turut serta dalam proses pengambilan keputusan.” Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lembaran Negara Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; b. Menyatakan: - Pasal 21 ayat 3 sepanjang kata “DPD”; - Pasal 43 ayat 2; - Pasal 46 ayat 1 sepanjang frasa “...atau DPD”; - Pasal 48 ayat 2 dan ayat 4; - Pasal 68 ayat 5; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 3. Menyatakan: 42 a. Pasal-pasal berikut dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lembaran Negara Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat: - Pasal 71 huruf a sepanjang tidak dimaknai bahwa, “membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden dan DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah untuk mendapat persetujuan bersama;” - Pasal 71 huruf f sepanjang tidak dimaknai bahwa, “menerima pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan Rancangan Undang- Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;” - Pasal 107 ayat 1 huruf c sepanjang tidak dimaknai bahwa, “membahas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dengan pertimbangan DPD, bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerianlembaga;” - Pasal 143 ayat 5 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang- Undang yang telah disiapkan oleh DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah disampaikan dengan surat pimpinan 43 DPR kepada pimpinan DPD dan Presiden;” - Pasal 144 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan pimpinan DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;” - Pasal 146 ayat 1 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang- Undang beserta penjelasan atau keterangan danatau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden;” - Pasal 150 ayat 3 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “DPD berwenang mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah dan mengikuti seluruh kegiatan pembahasan apabila Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dan DPR;” - Pasal 150 ayat 4 huruf a sepanjang kata “fraksi” tidak dimaknai “DPR;” - Pasal 151 ayat 1 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini DPR, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPR; c. pendapat akhir dari Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya; d. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPD yang disampaikan oleh pimpinan DPD terhadap Rancangan Undang-Undang berkaitan 44 dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;” - Pasal 151 ayat 3 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden serta DPD terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah terkait, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu;” - Pasal 154 ayat 5 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “pada rapat paripurna berikutnya, pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota DPR perihal diterimanya pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dan meneruskannya kepada Badan Musyawarah untuk diteruskan kepada alat kelengkapan yang akan membahasnya dengan alat kelengkapan DPD yang ditugaskan;” b. Pasal-pasal berikut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat: - Pasal 18 huruf g sepanjang tidak dimaknai bahwa, “rencana kerja pemerintah, 45 rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD;” - Pasal 20 ayat 1 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “penyusunan Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah;” - Pasal 21 ayat 1 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi;” - Pasal 22 ayat 1 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “hasil penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR;” - Pasal 23 ayat 2 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;” - Pasal 43 ayat 1 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD”. - Pasal 65 ayat 3 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan pada seluruh tingkat pembahasan”. - Pasal 68 ayat 2 huruf c sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Presiden 46 memberikan penjelasan dan DPR memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; atau” - Pasal 68 ayat 2 huruf d sepanjang tidak dimaknai, “Presiden memberikan penjelasan serta DPR dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berasal dari Presiden;” - Pasal 68 ayat 3 sepanjang tidak dimaknai, “Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b diajukan oleh: a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR atau DPD; b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden atau DPD; c. DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan dengan kewenangan DPD;” - Pasal 68 ayat 4 huruf a sepanjang kata “fraksi” tidak dimaknai “DPR”; - Pasal 69 ayat 1 huruf a dan huruf b sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini DPR, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPR; c. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPD yang disampaikan oleh pimpinan DPD terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta 47 penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;” d. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi; - Pasal 69 ayat 3 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden serta DPD terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, Rancangan Undang- Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu;” - Pasal 70 ayat 1 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama DPR, Presiden dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;” - Pasal 70 ayat 2 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR, Presiden, dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;” 48 4. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 5. Apabila Mahkamah berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya ex aequo et bono. Pada dasarnya DPD mengajukan permohonan agar Mahkamah memberikan tafsir atas kewenangan konstitusional DPD dalam proses legislasi, DPD terlibat penuh dalam penyusunan program legislasi nasional seperti halnya presiden dan DPR. Rancangan Undang-Undang dari DPD harus diperlakukan setara dengan RUU dari presiden. DPD ikut membahas Rancangan Undang- Undang yang terkait dengan mandat konstitusionalnya bersama DPR dan presiden, mulai dari awal hingga akhir. Termasuk tahap persetujuan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pembahasan RUU. Tafsir tersebut diperlukan agar DPD tidak menjadi objek talik ulur kepentingan dalam pembentukan undang-undang yang mengatur tentang DPD.

C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-